393-398 herlinah kepiting - bppbapmaros.kkp.go.id · l. air yang digunakan sebelumnya disaring...

6
393 Pengaruh suhu dan salinitas pada sintasan larva ... (Herlinah) PENGARUH SUHU DAN SALINITAS PADA SINTASAN LARVA KEPITING BAKAU, Scylla olivacea DI PANTI BENIH KEPITING INSTALASI TAMBAK MARANAK, MAROS Herlinah, Aan Fibro Widodo, dan Gunarto Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sittaka No.129, Maros 90512, Sulawesi Selatan Email: [email protected] ABSTRAK Kualitas air media pemeliharaan pada fase awal larva yang sangat dominan berpengaruh adalah faktor suhu dan salinitas. Untuk itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui suhu dan salinitas yang optimal bagi sintasan zoea kepiting bakau Scylla olivacea. Penelitian dilaksanakan di panti benih Kepiting Instalasi Tambak Maranak BRPBAP Maros. Penelitian dilaksanakan dalam 2 (dua) tahap yakni penelitian dan pengamatan suhu dan salinitas pada waktu/periode yang berbeda. Suhu diset dalam 3 perlakuan yakni 28°C, 30°C, dan 32°C sedangkan salinitas 26 ppt, 28 ppt, dan 30 ppt masing-masing dua ulangan dan keduanya didesain dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Zoea-1 dipelihara di dalam bak fiber 300 L dengan padat tebar larva 100 ekor/L. Pakan yang diberikan berupa rotifera dan naupli Artemia. Pengaturan suhu menggunakan thermostat heater dan salinitas diatur melalui mengenceran dengan air tawar. Pergantian air dilakukan pada stadia zoea-1 dan zoea-2 sebanyak 10%, stadia zoea-3 dan 4 sebanyak 30% dan zoea 5 sebanyak 40%. Peubah yang diamati adalah sintasan, kecepatan perkembangan stadia, dan kualitas air berupa salinitas, pH, DO, suhu air, nitrit dan amoniak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi suhu maupun salinitas tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap perkembangan dan sintasan larva. Namun demikian, pada bak pemeliharaan dengan suhu 30°C relatif lebih baik dibanding pemeliharaan pada suhu 28°C dan 32°C. Sedangkan untuk penelitian salinitas diperoleh pemeliharaan larva pada salinitas 26 ppt relatif lebih baik dibanding salinitas 28 dan 30 ppt. KATA KUNCI: suhu, salinitas, sintasan, kepiting bakau, S. olivacea PENDAHULUAN Kegiatan penelitian perbenihan dan pembesaran kepiting bakau genus Scylla telah dirintas sejak lama karena merupakan salah satu komoditas perikanan yang mempunyai nilai ekonomis penting, sebagai komoditas budidaya. Menurut Noor et al. (1992), kepiting bakau sangat digemari masyarakat di wilayah Indo Pasifik karena hewan ini memiliki daging dan telur dengan kandungan protein yang cukup tinggi. Namun demikian budidaya kepiting bakau menjadi kurang berkembang dengan baik yang antara lain disebabkan oleh terbatasnya ketersediaan benih alam, sifat kanibalisme yang tinggi pada setiap stadia dan patogen yang menyebabkan tingginya kematian pada tahap perbenihan sehingga diangga kegiatan budidaya kepiting menjadi tidak ekonomis. Teknologi perbenihan kepiting bakau yang telah ada saat ini diakui belum sempurna, namun perkembangannya dalam beberapa tahun terakhir ini meskipun sangat lamban dan belum optimal namun telah menunjukkan beberapa kemajuan. Berbagai aspek mulai dari penyediaan induk hingga pemeliharaan larva masih harus diteliti dalam upaya peningkatan produksi benih kepiting dari perbenihan. Aspek yang kritis dalam pembenihan kepiting bakau adalah pemeliharaan larva hingga menjadi megalopa. Periode kritis pada larva ikan adalah pada saat peralihan sumber nutrisi dari dalam (endogenous) yang berupa kuning telur (yolk) dan butir minyak (oil globule) ke nutrisi dari luar (Imai, 1980). Selanjutnya Battaglene et al. (1994) menyatakan bahwa sintasan larva ikan dipengaruhi oleh faktor nutrisi, ukuran makanan, kepadatan makanan, kelengkapan nutrisi pakan dan kondisi pemeliharaan larva (intensitas cahaya, suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut). Hal tersebut kemungkinan juga berlaku pada larva kepiting bakau. Boer et al. (1993) menyatakan bahwa kepiting bakau (Scylla spp.) terjadi beberapa fase dalam pertumbuhannya, antara lain fase zoea, megalopa, kepiting muda dan selanjutnya kepiting dewasa. Selain itu, jenis kepiting ini juga mengalami beberapa kali proses

Upload: vodien

Post on 12-Mar-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 393-398 herlinah kepiting - bppbapmaros.kkp.go.id · L. Air yang digunakan sebelumnya disaring dengan saringan pasir dan arang selanjutnya air dialirkan lagi melalui saringan membran

393 Pengaruh suhu dan salinitas pada sintasan larva ... (Herlinah)

PENGARUH SUHU DAN SALINITAS PADA SINTASAN LARVA KEPITING BAKAU,Scylla olivacea DI PANTI BENIH KEPITING

INSTALASI TAMBAK MARANAK, MAROS

Herlinah, Aan Fibro Widodo, dan GunartoBalai Riset Perikanan Budidaya Air Payau

Jl. Makmur Dg. Sittaka No.129, Maros 90512, Sulawesi SelatanEmail: l [email protected]

ABSTRAK

Kualitas air media pemeliharaan pada fase awal larva yang sangat dominan berpengaruh adalah faktor suhudan salinitas. Untuk itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui suhu dan salinitas yang optimal bagisintasan zoea kepiting bakau Scylla olivacea. Penelitian dilaksanakan di panti benih Kepiting Instalasi TambakMaranak BRPBAP Maros. Penelitian dilaksanakan dalam 2 (dua) tahap yakni penelitian dan pengamatan suhudan salinitas pada waktu/periode yang berbeda. Suhu diset dalam 3 perlakuan yakni 28°C, 30°C, dan 32°Csedangkan salinitas 26 ppt, 28 ppt, dan 30 ppt masing-masing dua ulangan dan keduanya didesain denganRancangan Acak Lengkap (RAL). Zoea-1 dipelihara di dalam bak fiber 300 L dengan padat tebar larva 100ekor/L. Pakan yang diberikan berupa rotifera dan naupli Artemia. Pengaturan suhu menggunakan thermostatheater dan salinitas diatur melalui mengenceran dengan air tawar. Pergantian air dilakukan pada stadiazoea-1 dan zoea-2 sebanyak 10%, stadia zoea-3 dan 4 sebanyak 30% dan zoea 5 sebanyak 40%. Peubahyang diamati adalah sintasan, kecepatan perkembangan stadia, dan kualitas air berupa salinitas, pH, DO,suhu air, nitrit dan amoniak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi suhu maupun salinitas tidakberpengaruh nyata (p>0,05) terhadap perkembangan dan sintasan larva. Namun demikian, pada bakpemeliharaan dengan suhu 30°C relatif lebih baik dibanding pemeliharaan pada suhu 28°C dan 32°C.Sedangkan untuk penelitian salinitas diperoleh pemeliharaan larva pada salinitas 26 ppt relatif lebih baikdibanding salinitas 28 dan 30 ppt.

KATA KUNCI: suhu, salinitas, sintasan, kepiting bakau, S. olivacea

PENDAHULUAN

Kegiatan penelitian perbenihan dan pembesaran kepiting bakau genus Scylla telah dirintas sejaklama karena merupakan salah satu komoditas perikanan yang mempunyai nilai ekonomis penting,sebagai komoditas budidaya. Menurut Noor et al. (1992), kepiting bakau sangat digemari masyarakatdi wilayah Indo Pasifik karena hewan ini memiliki daging dan telur dengan kandungan protein yangcukup tinggi. Namun demikian budidaya kepiting bakau menjadi kurang berkembang dengan baikyang antara lain disebabkan oleh terbatasnya ketersediaan benih alam, sifat kanibalisme yang tinggipada setiap stadia dan patogen yang menyebabkan tingginya kematian pada tahap perbenihansehingga diangga kegiatan budidaya kepiting menjadi tidak ekonomis. Teknologi perbenihan kepitingbakau yang telah ada saat ini diakui belum sempurna, namun perkembangannya dalam beberapatahun terakhir ini meskipun sangat lamban dan belum optimal namun telah menunjukkan beberapakemajuan. Berbagai aspek mulai dari penyediaan induk hingga pemeliharaan larva masih harusditeliti dalam upaya peningkatan produksi benih kepiting dari perbenihan.

Aspek yang kritis dalam pembenihan kepiting bakau adalah pemeliharaan larva hingga menjadimegalopa. Periode kritis pada larva ikan adalah pada saat peralihan sumber nutrisi dari dalam(endogenous) yang berupa kuning telur (yolk) dan butir minyak (oil globule) ke nutrisi dari luar (Imai,1980). Selanjutnya Battaglene et al. (1994) menyatakan bahwa sintasan larva ikan dipengaruhi olehfaktor nutrisi, ukuran makanan, kepadatan makanan, kelengkapan nutrisi pakan dan kondisipemeliharaan larva (intensitas cahaya, suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut). Hal tersebut kemungkinanjuga berlaku pada larva kepiting bakau. Boer et al. (1993) menyatakan bahwa kepiting bakau (Scyllaspp.) terjadi beberapa fase dalam pertumbuhannya, antara lain fase zoea, megalopa, kepiting mudadan selanjutnya kepiting dewasa. Selain itu, jenis kepiting ini juga mengalami beberapa kali proses

Page 2: 393-398 herlinah kepiting - bppbapmaros.kkp.go.id · L. Air yang digunakan sebelumnya disaring dengan saringan pasir dan arang selanjutnya air dialirkan lagi melalui saringan membran

Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011 394

pergantian kulit (moulting). Setiap proses tubuhnya akan tumbuh menjadi lebih besar. Selama siklushidupnya kepiting bakau menempati dua macam habitat yaitu air payau masa juvenil (kepiting muda)sampai dewasa, dan air laut masa pemijahan sampai megalopa. Fase larva adalah fase yang sangatsensitif karena larva sangat dipengaruhi oleh lingkungan baik suhu maupun salinitas serta jenis dankualitas pakan yang diberikan. Untuk itu, perlu diketahui secara tepat mengenai aspek lingkungankhususnya suhu dan salinitas yang sesuai bagi kehidupan larva pada fase awal zoea-1 hingga zoea-5 sebelum masuk ke fase selanjutnya yakni megalopa.

Berdasarkan daur hidup kepiting bakau diperkirakan melewati berbagai kondisi perairan. Padasaat pertama kali kepiting ditetaskan, suhu air laut umumnya berkisar 25°C-27°C dan salinitas 29‰-33‰ dan secara gradual salinitas dan suhu air ke arah pantai akan semakin rendah. Kepiting mudayang baru berganti kulit dari megalopa yang memasuki muara sungai dapat mentolerir salinitas airyang rendah (10‰-24‰). Tingkat zoea berlangsung lebih kurang 3-4 hari berganti kulit sebelummenjadi tingkat selanjutnya (Kasry, 1996 dalam Rosmaniar, 2008).

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Panti Benih Kepiting Instalasi Tambak Maranak BRPBAP Maros. Penelitianbertujuan untuk mendapatkan suhu dan salinitas yang optimal bagi sintasan zoea (zoea 1 – zoea 5)kepiting bakau S. olivacea. Larva zoea yang digunakan merupakan hasil pemijahan induk kepitingyang diperoleh dari pengumpul kepiting bakau di Kabupaten Bone. Induk tersebut kemudian dipeliharadi dalam bak fiber dengan dasar pasir menggunakan sistem resirkulasi air. Larva (zoea-1) yang barumenetas dipelihara menggunakan bak fiberglass kerucut volume 300 L, diisi air payau sebanyak 250L. Air yang digunakan sebelumnya disaring dengan saringan pasir dan arang selanjutnya air dialirkanlagi melalui saringan membran (membrane filter) dan disinari dengan sinar ultraviolet (UV). Padattebar zoea-1 adalah 100 ind./L. Pakan larva adalah rotifer yang dipertahankan pada kepadatan 10 20individu/mL dan setelah masuk ke stadia Zoea-3, selain rotifer juga ditambahkan naupli artemiasebanyak 2-5 individu/mL.

Penelitian dilaksanakan dalam 2 (dua) tahap yakni penelitian suhu dan penelitian salinitas padawaktu/periode yang berbeda. Suhu diset dalam 3 perlakuan yakni 28°C, 30°C, dan 32°C sedangkansalinitas 26 ppt, 28 ppt, dan 30 ppt masing-masing dua ulangan dan keduanya didesain denganRancangan Acak Lengkap (RAL). Pengamatan dilakukan terhadap sintasan zoea setiap tiga hari sekalidengan cara mengambil air sebanyak 200 mL sebanyak tiga hingga empat kali di setiap bak, kemudiandihitung kepadatan larva/200 mL, selanjutnya hasilnya dikonversi ke rata-rata kepadatan larva/L. Disamping itu, juga dimonitor kecepatan perkembangan stadia menggunakan mikroskop fluoresensi.Kualitas air juga dipantai terutama kestabilan suhu dan salinitas yang diset sesuai perlakuan, sertaamoniak, nitrit dan fosfat dari masing-masing perlakuan. Data suhu dan salinitas yang diperolehdianalisis secara terpisah dengan analisis ragam menggunakan perangkat lunak SPSS 19.

HASIL DAN BAHASAN

Hasil penelitian aplikasi suhu maupun salinitas yang diterapkan pada larva zoea kepiting bakaujenis S.olivacea tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap sintasan zoea sepertiyang terlihat pada Gambar 1 dan 2.

Berdasarkan Gambar hingga hari ketiga kepadatan larva masih stabil, namun memasuki harikeempat, kepadatan larva pada ketiga perlakuan suhu langsung drop hingga 60% meskipunsebelumnya telah dilakukan antisipasi penyediaan pakan alami berupa rotifer yang cukup. Padapenelitian ini ukuran rotifer yang diberikan ke zoea-1 sekitar 30 mikron dengan populasi 20 individu/mL. Sirait (1997) dalam Rosmaniar (2008) mengatakan larva kepiting lebih bersifat pemakan plankton,khususnya larva tingkat zoea. Makanan terdiri dari berbagai jenis organisme planktonik sepertidiatom, chlorella, rotifer, larva echinodermata, larva berbagai moluska dan cacing. Perlakuan suhu30°C memberikan hasil sintasan yang relatif lebih baik daripada suhu 28°C dan 32°C meskipunberdasarkan analisa statistik tidak terdapat perbedaan nyata (P>0,05) antara ketiga perlakuan. Widododan Sulaeman (2009) melaporkan bahwa perbedaan salinitas tidak berpengaruh nyata (P<0,05)terhadap sintasan tetapi berbeda nyata (P>0,05) terhadap pertumbuhan megalopa kepiting bakau

Page 3: 393-398 herlinah kepiting - bppbapmaros.kkp.go.id · L. Air yang digunakan sebelumnya disaring dengan saringan pasir dan arang selanjutnya air dialirkan lagi melalui saringan membran

395 Pengaruh suhu dan salinitas pada sintasan larva ... (Herlinah)

S. serrata. Pertumbuhan bobot mutlak dan laju pertumbuhan harian tertinggi diperoleh pada perlakuansalinitas 25 dan 30 ppt.

Hasil yang senada juga ditunjukkan oleh spesies Scylla paramamosain. Rusdi & Karim (2006)melaporkan, salinitas media tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap sintasan crablet kepitingbakau (S. paramamosain) akan tetapi memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap pertumbuhanbobot mutlak dan laju petumbuhan harian. Pertumbuhan bobot mutlak dan laju pertumbuhan hariantertinggi dihasilkan pada media bersalinitas 16 ppt dan terendah 34 ppt. Menurut Nontji (2005),suhu merupakan faktor yang banyak mendapat perhatian dalam pengkajian kelautan. Data suhudimanfaatkan untuk mempelajari gejala-gejala fisik dalam laut serta kaitannya dengan kehidupanhewan atau tumbuhan. Hill et al. (1989) dan Anonim (1989), suhu mempengaruhi pertumbuhan,aktifitas dan nafsu makan kepiting bakau. Suhu air yang lebih rendah dari 20°C dapat mengakibatkanaktivitas dan nafsu makan kepiting bakau turun secara drastis. Pada saat itu pertumbuhan berhenti.Apabila suhu di permukaan air meningkat, kepiting akan lebih lama tinggal dalam lubang. Perairanyang mempunyai suhu tinggi cenderung menaikkan angka pertumbuhan kepiting bakau dan waktu

Gambar 1. Sintasan larva kepiting S.olivacea dengan suhu berbeda

Gambar 2. Sintasan larva kepiting S.olivacea dengan salinitas berbeda

Page 4: 393-398 herlinah kepiting - bppbapmaros.kkp.go.id · L. Air yang digunakan sebelumnya disaring dengan saringan pasir dan arang selanjutnya air dialirkan lagi melalui saringan membran

Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011 396

untuk mencapai dewasa menjadi singkat. Masih menurut Hill et al. (1989), bahwa di perairan estuaria,kepiting bakau didapatkan pada kisaran suhu 24°C-28°C, di perairan hutan mangrove, kepiting bakaudidapatkan pada kisaran 26,5°C-35°C (Hutasoit, 1991).

Sama halnya dengan perlakuan suhu, kecenderungan pada perlakuan salinitas juga menunjukkanpenurunan populasi larva zoea pada hari keempat. Dan secara umum, salinitas 26 ppt memperlihatkanjumlah populasi yang relatif lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan salinitas 28 dan 30 pptmeskipun berdasarkan analisis statistik tidak terdapat perbedaan nyata (P>0,05) antara ketigaperlakuan (Gambar 2).

Salinitas seringkali disebut kadar garam atau kegaraman yang maksudnya ialah jumlah bobotsemua garam yang terlarut dalam 1 liter air yang dinyatakan dalam satuan ‰ (per mil, garam permil) (Nontji, 2005). Menurut Hill (1976), salinitas berpengaruh terhadap setiap fase kehidupan kepitingbakau, terutama pada saat ganti kulit (moulting). Anonim (1989), melaporkan walaupun kisaransalinitas ideal untuk pertumbuhan kepiting bakau, belum dapat ditentukan, namun diketahui bahwalarva zoea sangat sensitif denga kondisi perairan yang bersalinitas rendah. Kasry (1996), mengatakansebaliknya kepiting bakau dewasa kawin dan mematangkan telurnya pada perairan yang mempunyaisalinitas 15- 29 ppt walapun belum diketahui pengaruh salinitas terhadap pertumbuhannya. Anonim(1989) menyebutkan perubahan salinitas mempengaruhi sifat fungsional dan struktur organismekepiting bakau (Scylla sp.) dan dapat menyesuaikan diri dengan perubahan salinitas. Anwar et al.(1984) menyatakan, kepiting bakau akan mengubah konsentrasi cairan tubuhnya sesuai denganlingkungan melalui kombinasi proses osmosis dan difusi. Menurut Soim (1999), kisaran salinitasyang sesuai bagi kepiting adalah 10-30 ppt atau digolongkan ke dalam air payau.

Rendahnya sintasan atau jumlah populasi pada kedua siklus pemeliharaan dengan suhu dansalinitas berbeda akibat serangan jamur yang memenuhi permukaan tubuh larva (Gambar 3 ataskanan). Kondisi ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor di luar faktor utama yang menjadi fokus

Gambar 3 . Visualisasi dengan mikroskop fluoresensi : zoea sehat (atas kiri), zoea terinfeksiLagenidium sp. (atas kanan), rotifera (bawah kiri), dan artemia (bawah kanan)

Page 5: 393-398 herlinah kepiting - bppbapmaros.kkp.go.id · L. Air yang digunakan sebelumnya disaring dengan saringan pasir dan arang selanjutnya air dialirkan lagi melalui saringan membran

397 Pengaruh suhu dan salinitas pada sintasan larva ... (Herlinah)

penelitian. Hal ini seperti yang terlihat pada Tabel 1, di mana kandungan amoniak maupun nitritpada media pemeliharaan larva berada di atas ambang toleransi. Nilai amoniak yang disarankanuntuk media air pemeliharaan budidaya adalah 0,05-0,1 mg/L dan nitrit 0,01-0,05 mg/L (Adiwijaya etal., 2003; Effendi, 2000; SNI, 2006). Hal ini memicu munculnya organisme pengganggu sepertiprotozoa dan tumbuhnya jamur yang menyerang larva hingga memicu kematian massal. Apabilalarva kepiting terbebas dari serangan protozoa dan jamur, maka populasi larva yang dipelihara akanstabil setelah hari ke empat. Hal ini mengindikasikan bahwa rotifer yang disediakan dimakan olehlarva kepiting tersebut (Gambar 3 bawah kiri).

Pengelolaan larva agar tidak terinfeksi jamur dan protozoa sangat penting untuk langkahkeberhasilan pemeliharaan larva kepiting bakau. Untuk hal tersebut harus diawali sejak masapengeraman, dimana induk setelah memijah harus segera dipisahkan secara tersendiri dan disterilkandengan larutan formalin 200 mg/L selama 5 menit, sebelum masuk ke wadah pengeraman. Setelahlarva menetas hanya larva yang lincah berenang-renang di permukaan air yang digunakan untukpenelitian/dibudidayakan.

KESIMPULAN

Suhu dan salinitas yang mampu memberikan sintasan serta perkembangan larva yang lebih baikpada pemeliharaan larva zoea kepiting bakau S.olivacea adalah masing-masing 30°C dan 26 ppt.

DAFTAR ACUAN

Adiwijaya, D., Rahardjo, S.P., Sutikno, E., Sugeng, & Subiyanto. 2003. Petunjuk teknis budidaya udangvanname (Litopennaeus vannamei) sistem tertutup yang ramah lingkungan. Departemen Kelautandan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Besar Pengembangan Budidaya AirPayau. Jepara, 29 hlm.

Anonim. 1989. Life Cycle of Mud Crab (Scylla serrata). Queesland Departement of Primary Industries. QDPILeaflet QL 84002. Brisbane IP.

Anwar, J., S.J. Damanik, N. Hisjam, & A.J. Whitten. 1984. Ekologi ekosistem Sumatera. Gadja MadaUniversity Press. Yogyakarta, hlm. 127-148

Battaglene, S., C., S, McBride, & R. B. Talbot. 1994. Swim bladder inflantion in larvae of cultured sandwhiting, Sillago ciliata Cuvier (Sillaginidae). Aquaculture 128 : 177 – 192.

Boer, D.R., Zafran, A. Parenrengi, & T. Ahmad. 1993. Studi pendahuluan penyakit kunang-kunangpada larva kepiting bakau, Scylla serrata. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai, 9(3): 119-124.

Effendi, H. 2000. Telaahan kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya lingkungan perairan. JurusanManajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor, hlm. 146-154.

Hill, B.J., D.L. Fowler, & M.J. Van Den Avyle. 1989. Blue crab, fish and wildlife service. U.S. Army ofEnginering Coastal Ecology Group and U.S. Department of the Interior Washington D.C. 18 pp.

Hill, B.J. 1976. Natural food foregint clearance rose and activity of mud crab, Scylla serrata. MarineBiology. 34: 109-116

Hutasoit, B. 1991. Telaah segi-segi ekologi kepiting bakau. Fakultas Perikanan IPB. Bogor

Tabel 1. Kisaran kualitas air selama penelitian

Peubah KA Nilai Kisaran (mg/L)

Nitrat (NO3-N) 0,521 – 0,678

Amoniak (NH3-N) 0,009 – 0,231

Nitrit (NO2-N) 0,0763 – 1,098

Fosfat (PO4-P) 1,480 – 2,407

Sulfat (SO4) 1,122 – 1,143

Page 6: 393-398 herlinah kepiting - bppbapmaros.kkp.go.id · L. Air yang digunakan sebelumnya disaring dengan saringan pasir dan arang selanjutnya air dialirkan lagi melalui saringan membran

Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011 398

Imai, T. 1980. Sensory anatomy and feeding of fish larvae. In J.E. Bardach, J.J. Magnuson, R.C. May, &J.M. Reinhard (Eds.). Fish behavior and its use in the capture and culture of fishes. ICLARM Confer-ence Proceeding, 5: 512.

Kasry, A. 1996. Budidaya kepiting bakau dan biologi ringkas. Penerbit Bharata. Jakarta.Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.Noor, G.R, M. Khazali, & I.N.N. Suryadipura. 1992. Panduan pengenalan mangrove di Indonesia. PKA/

WI – IP. Bogor.Rosmaniar. 2008. Kepadatan dan distribusi kepiting bakau (Scylla spp) serta hubungannya dengan faktor

fisik kimia di Perairan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang. Tesis. Sekolah Pascasarjana UniversitasSumatera Utara. Medan.

Rusdi, I. & Karim M.Y. 2007. Salinitas optimum bagi sintasan dan pertumbuhan krablet kepitingbakau (Scylla paramamosain). Jurnal Sains & Teknologi, 6(3): 149-157.

Soim, A. 1999. Pembesaran kepiting. Penerbit Swadana. Jakarta, 21 hlm.SNI. 2009. SNI 01-7246-2006 produksi udang vaname di tambak intensif.Widodo, A.F., & Sulaeman. 2009. Pengaruh Salinitas Terhadap Pertumbuhan dan Sintasan Megalopa

Kepiting Bakau. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur, hlm. 191-196.