36467

25
Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT.36467/PP/M.XI/16/2012 Jenis Pajak : Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak : Mei 2009 Pokok Sengketa : Koreksi positif Pajak yang dapat diperhitungkan PPN Barang dan Jasa Masa Pajak Mei 2009 sebesar Rp213.596.069,00 yang tidak disetujui oleh Pemohon Banding; Menurut Terbanding : bahwa Pemeriksa melakukan koreksi atas PPN Masukan dengan dasar : - bahwa Klasifikasi Lapangan Usaha yang dijalankan oleh Pemohon Banding adalah Pertambangan Emas dan Perak (KLU 13206), serta barang yang diproduksi adalah emas batangan; - bahwa sesuai dengan Pasal 4A ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tanggal 02 Agustus 2000 juncto Pasal 1 huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tanggal 22 Desember 2000 mengatur bahwa emas batangan merupakan jenis barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai; - bahwa sejak Masa Agustus 2005, Pemohon Banding sudah tidak berproduksi lagi. Sampai dengan Desember 2005 hasil produksi Pemohon Banding telah terjual seluruhnya. Pemeriksa tidak melakukan peninjauan ke lokasi usaha Pemohon Banding di Bolaang Mongondow, Minahasa; - bahwa peraturan koreksi atas Pajak Masukan diperkuat oleh Surat Dirjen Pajak Nomor : S-1090/PJ.51/2002 tanggal 24 Oktober 2002 dan Surat Dirjen Pajak Nomor : S-161/PJ.51/2003 tanggal 17 Februari 2003; Menurut Pemohon : bahwa Pemohon Banding tidak setuju atas koreksi yang dilakukan oleh KPP Pratama Jakarta Setiabudi Tiga. Pemohon Banding menyatakan bahwa analisis atas PPN harus juga memperhatikan ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam Kontrak Karya. Menurut Majelis : bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis atas data yang ada dalam berkas banding berupa Laporan Pemeriksaan Pajak diperoleh petunjuk bahwa Pemeriksa melakukan koreksi positip atas Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan Masa Pajak Mei 2009 sebesar Rp213.596.069,00 dengan dasar sebagai berikut : a. Alasan Koreksi - bahwa Klasifikasi Lapangan Usaha yang dijalankan oleh Pemohon Banding adalah Pertambangan Emas dan Perak (KLU 13206), serta barang yang diproduksi adalah emas batangan; - bahwa sesuai dengan Pasal 4A ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tanggal 02 Agustus 2000 juncto Pasal 1 huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tanggal 22 Desember 2000 mengatur bahwa emas batangan merupakan jenis barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai; - bahwa sejak Masa Agustus 2005, Pemohon Banding sudah tidak berproduksi lagi. Sampai dengan Desember 2005 hasil produksi Pemohon Banding telah terjual seluruhnya. Pemeriksa tidak melakukan peninjauan ke lokasi usaha Pemohon Banding di Bolaang Mongondow, Minahasa; - bahwa peraturan koreksi atas Pajak Masukan diperkuat oleh Surat Dirjen Pajak Nomor : S-1090/PJ.51/2002 tanggal 24 Oktober 2002 dan Surat Dirjen Pajak Nomor : S-161/PJ.51/2003 tanggal 17 Februari 2003; b. Dasar Hukum : - Pasal 9 ayat (9) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2000; - Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000; - Pasal 16 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 81/PMK.03/2009 tanggal 22 April 2009; - Pasal 46 ayat (4) dan (5) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001; - Pasal 19 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 18 tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang;

Upload: lukman-arimarta

Post on 28-Dec-2015

15 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT.36467/PP/M.XI/16/2012 Jenis Pajak : Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak : Mei 2009 Pokok Sengketa : Koreksi positif Pajak yang dapat diperhitungkan PPN Barang dan Jasa Masa Pajak

Mei 2009 sebesar Rp213.596.069,00 yang tidak disetujui oleh Pemohon Banding; Menurut Terbanding : bahwa Pemeriksa melakukan koreksi atas PPN Masukan dengan dasar :

- bahwa Klasifikasi Lapangan Usaha yang dijalankan oleh Pemohon Banding adalah Pertambangan Emas dan Perak (KLU 13206), serta barang yang diproduksi adalah emas batangan;

- bahwa sesuai dengan Pasal 4A ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tanggal 02 Agustus 2000 juncto Pasal 1 huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tanggal 22 Desember 2000 mengatur bahwa emas batangan merupakan jenis barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai;

- bahwa sejak Masa Agustus 2005, Pemohon Banding sudah tidak berproduksi lagi. Sampai dengan Desember 2005 hasil produksi Pemohon Banding telah terjual seluruhnya. Pemeriksa tidak melakukan peninjauan ke lokasi usaha Pemohon Banding di Bolaang Mongondow, Minahasa;

- bahwa peraturan koreksi atas Pajak Masukan diperkuat oleh Surat Dirjen Pajak Nomor : S-1090/PJ.51/2002 tanggal 24 Oktober 2002 dan Surat Dirjen Pajak Nomor : S-161/PJ.51/2003 tanggal 17 Februari 2003;

Menurut Pemohon : bahwa Pemohon Banding tidak setuju atas koreksi yang dilakukan oleh KPP

Pratama Jakarta Setiabudi Tiga. Pemohon Banding menyatakan bahwa analisis atas PPN harus juga memperhatikan ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam Kontrak Karya.

Menurut Majelis : bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis atas data yang ada dalam berkas banding

berupa Laporan Pemeriksaan Pajak diperoleh petunjuk bahwa Pemeriksa melakukan koreksi positip atas Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan Masa Pajak Mei 2009 sebesar Rp213.596.069,00 dengan dasar sebagai berikut :

a. Alasan Koreksi

- bahwa Klasifikasi Lapangan Usaha yang dijalankan oleh Pemohon Banding

adalah Pertambangan Emas dan Perak (KLU 13206), serta barang yang diproduksi adalah emas batangan;

- bahwa sesuai dengan Pasal 4A ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tanggal 02 Agustus 2000 juncto Pasal 1 huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tanggal 22 Desember 2000 mengatur bahwa emas batangan merupakan jenis barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai;

- bahwa sejak Masa Agustus 2005, Pemohon Banding sudah tidak berproduksi lagi. Sampai dengan Desember 2005 hasil produksi Pemohon Banding telah terjual seluruhnya. Pemeriksa tidak melakukan peninjauan ke lokasi usaha Pemohon Banding di Bolaang Mongondow, Minahasa;

- bahwa peraturan koreksi atas Pajak Masukan diperkuat oleh Surat Dirjen Pajak Nomor : S-1090/PJ.51/2002 tanggal 24 Oktober 2002 dan Surat Dirjen Pajak Nomor : S-161/PJ.51/2003 tanggal 17 Februari 2003;

b. Dasar Hukum :

- Pasal 9 ayat (9) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2000;

- Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000;

- Pasal 16 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 81/PMK.03/2009 tanggal 22 April 2009;

- Pasal 46 ayat (4) dan (5) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001;

- Pasal 19 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 18 tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang;

bahwa menurut Pemohon Banding Kontrak Karya bersifat lex specialis dan kedudukannya dipersamakan dengan Undang-Undang, dalam arti bahwa ketentuan perpajakan yang diatur di dalam Kontrak Karya tersebut berlaku secara khusus dan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang perpajakan berlaku secara umum. Hal ini secara jelas disebutkan di dalam surat Menteri Keuangan Nomor : S-1032/MK.04/1988 tertanggal 15 Desember 1988 serta di dalam Surat Edaran Direktur Jendaral Pajak Nomor : SE-34/PJ.22/1988 tertanggal 01 Oktober 1988. Didalam Pasal II dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 juga disebutkan bahwa :

“Pengenaan PPN dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas usaha di bidang

pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-Undang ini, tetap dihitung berdasarkan ketentuan dalam Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan berakhir;”

bahwa sedangkan didalam penjelasannya dinyatakan : Ketentuan mengenai pengenaan PPN dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah

yang diatur secara khusus dalam Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut berakhir;

Dengan demikian, semua ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini baru

diberlakukan untuk Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang dibuat setelah berlakunya Undang-Undang ini;”

bahwa berkaitan dengan PPN, di dalam Kontrak Karya antara Pemerintah RI dan PT.

NMR, khususnya mengenai Pasal 13 ayat (7) huruf (i)(a) telah diatur secara khusus mengenai perlakuan BKP terhadap emas murni batang tuangan, yang antara lain memuat hal-hal sebagai berikut:

- Bahwa Pemohon Banding harus mendaftarkan diri sebagai Pengusaha Kena

Pajak (PKP); - Bahwa PPN sebesar 10% harus dikenakan atas penjualan di dalam negeri; - Bahwa PPN sebesar 0% harus dikenakan atas penjualan ke luar negeri; - Bahwa besarnya tarif PPN atas penjualan di dalam negeri mengikuti ketentuan

yang berlaku pada saat transaksi terjadi; bahwa lebih lanjut, jika Pasal 13 ayat 7 dari Kontrak Karya dirancang untuk mengikuti

peraturan PPN yang berlaku, maka tidak semestinya di dalam pasal tersebut dijabarkan secara terperinci mengenai hal-hal yang diatur, melainkan cukup dituangkan dalam satu kalimat, yaitu: “Perlakuan PPN mengikuti Undang-Undang dan Peraturan PPN yang berlaku”. Justru dengan Pasal 13 ayat 7 dibuat sedemikian terperinci mengenai masalah PPN, dan dengan sifat “lex specialis” atas Kontrak Karya;

bahwa dengan demikian, dari uraian di atas nampak jelas bahwa ketentuan Pasal 13

ayat (7) huruf (i)(a) yang bersifat "lex specialis" mengatur secara khusus bahwa barang hasil produksi Pemohon Banding adalah Barang Kena Pajak;

bahwa berkaitan dengan Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan, didalam Pasal

9 ayat (2), ayat (2a) dan ayat (8) Undang-Undang No. 18 Tahun 2000 diatur bahwa:

2) Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama.

2a) Dalam hal belum ada Pajak Keluaran dalam suatu Masa Pajak, maka Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan.

8) Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara sebagaimana diatur dalam ayat (2) bagi pengeluaran untuk: a) perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha

dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak b) perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai

hubungan langsung dengan kegiatan usaha; bahwa Pasal tersebut di atas dengan jelas mengatur bahwa jika telah dikukuhkan

sebagai Pengusaha Kena Pajak, wajib pajak dapat mengkreditkan pajak masukan

dengan pajak keluaran atas perolehan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;

bahwa didalam Undang-Undang No.18 Tahun 2000 tersebut tidak diatur bahwa

PPN masukan tidak dapat dikreditkan apabila PKP sudah tidak berproduksi atau apabila PKP tersebut sudah tidak mempunyai PPN keluaran. Undang-Undang No.18 Tahun 2000 Pasal 9 ayat (8) (b) mengatur secara jelas bahwa PPN masukan tidak dapat dikreditkan apabila perolehan BKP/JKP tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha;

bahwa selanjutnya dalam sidang Pemohon Banding menyerahkan kepada Majelis

Surat Tanggapan Tertulis No. JAO-ek/NMR/VI/11-087 tanggal 17 Juni 2011 yang pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut :

A. Reklamasi

bahwa sifat dari industri Pemohon Banding adalah pertambangan dimana terdapat

kewajiban reklamasi dan penutupan tambang, yang mana terjadi setelah kegiatan produksi berakhir. Berdasarkan Surat Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral (DJG) Nomor 4274/87.03/DJG/2002 perihal Persetujuan Rencana Penutupan Tambang PT XXX tertanggal 31 Desember 2002, nampak jelas bahwa kegiatan reklamasi/rehabilitasi alam merupakan kewajiban bagi Pemohon Banding. Dengan demikian, nampak jelas bahwa reklamasi merupakan bagian dari kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan usaha.

bahwa perlu Pemohon Banding sampaikan sebelumnya bahwa di dalam Surat

Uraian Bandingnya, pihak Kanwil antara lain mengemukakan hal-hal sebagai berikut:

1. bahwa berdasarkan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan tentang pertambangan di antaranya adalah Pasal 46 ayat (4) dan (5) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2011 menyatakan bahwa: (4) Sebelum meninggalkan bekas wilayah Kuasa Pertambangannya, baik

karena pembatalan maupun karena hal yang lain, pemegang Kuasa Pertambangan harus terlebih dahulu melakukan usaha-usaha pengamanan terhadap benda-benda maupun bangunan-bangunan dan keadaan tanah di sekitarnya yang dapat membahayakan keamanan umum.

(5) Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya dapat

menetapkan pengaturan keamanan bangunan dan pengendalian keadaan tanah yang harus dipenuhi dan ditaati oleh pemegang Kuasa Pertambangan sebelum meninggalkan bekas wilayah Kuasa Pertambangnnya.

Dengan demikian, reklamasi merupakan kegiatan yang berhubungan dengan

kegiatan usaha pertambangan. bahwa dalam surat uraian banding ini, Terbanding telah menyatakan dan mengakui

bahwa reklamasi merupakan kegiatan yang berhubungan dengan usaha pertambangan (Butir C, halaman 7). Pemohon Banding setuju dengan pengakuan Terbanding bahwa reklamasi merupakan kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan usaha pertambangan sehingga dengan demikian biaya reklamasi merupakan biaya yang dapat dikurangkan sebagai biaya dan PPN atas biaya reklamasi merupakan PPN yang dapat dikreditkan terhadap PPN Keluaran.

B. Pencatatan PPN atas kegiatan Reklamasi

bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan pendapat Terbanding bahwa Pajak

Masukan atas biaya yang berkaitan dengan reklamasi Pemohon Banding tidak dapat dikreditkan.

bahwa Pasal 9 ayat (9) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN dan

PPnBM sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 menyatakan sebagai berikut:

“Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak

Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.

bahwa dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa PPN Masukan yang telah dibebankan sebagai biaya tidak dapat lagi dikreditkan. Dengan demikian tidak terjadi situasi dimana PPN Masukan yang telah dibiayakan dan mengurangi PPh Badan kemudian dimintakan restitusi (dengan cara dikreditkan) sehingga negara dapat dirugikan. bahwa nampaknya Terbanding telah menarik kesimpulan secara sepihak tanpa meneliti keadaan yang sebenarnya dan berpendapat bahwa PPN Masukan atas biaya reklamasi telah Pemohon Banding bebankan sebagai biaya. Pendapat Terbanding dalam hal ini tidak berdasarkan fakta melainkan semata-mata berdasarkan dugaan yang keliru. Pada kenyataannya, untuk keperluan perhitungan Pajak Penghasilan, Pemohon Banding tidak pernah membebankan cadangan biaya reklamasi sebagai pengurang di dalam menghitung PPh Badan (telah dilakukan koreksi positif atas biaya cadangan reklamasi di dalam SPT 1771).

bahwa Lampiran I Bab V Peraturan Menteri Energi dan Sumber daya Mineral Nomor

18 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa "Uraian mengenai total biaya langsung ditambah dengan biaya tidak langsung dan biaya-biaya tersebut sudah harus memperhitungkan pajak-pajak yang berlaku dan dibuat dalam mata uang Rupiah atau Dollar Amerika Serikat", menurut hemat Pemohon Banding, "pajak" yang dimaksud disini bukan merupakan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud oleh Terbanding. Karena biaya yang dicadangkan tersebut hanya merupakan estimasi sehingga Pajak Pertambahan Nilai belum dapat dikenakan.

Sesuai pasal 9 ayat 8(b) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai No. 18/2000,

dinyatakan bahwa: "Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara sebagaimana diatur dalam

ayat (2) bagi pengeluaran untuk..

b. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha; "

bahwa Pemohon Banding berpendapat adalah sangat tidak tepat interpretasi pihak

Terbanding yang mengatakan bahwa dengan telah terbentuknya cadangan biaya reklamasi, maka biaya tersebut dianggap mengandung unsur PPN, sehingga PPN yang benar-benar timbul pada saat pelaksanaan kegiatan reklamasi tidak dapat lagi dikreditkan;

bahwa sesuai dengan prinsip "substance over the form" maka PPN yang timbul dari

biaya reklamasi yang sungguh-sungguh telah terjadi tetap dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 9 dari Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.

bahwa lebih jauh ingin Pemohon Banding sampaikan pula bahwa pada saat biaya

reklamasi tersebut sungguh-sungguh terjadi, maka Pemohon Banding tidak pernah membebankan PPN Masukan tersebut sebagai biaya, melainkan Pemohon Banding mengkreditkan PPN masukan tersebut. Oleh sebab itu PPN Masukan sebesar Rp.213.596.069 untuk masa Mei 2009 merupakan PPN yang dapat dikreditkan.

bahwa hal ini sesuai dengan peraturan Pasal 9 ayat (9) Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 menyatakan:

"Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak

Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan."

bahwa maka berdasarkan pada alasan dan penjelasan di atas, Pemohon Banding

berpendapat bahwa Pajak Masukan sebesar Rp 213.596.069,00 tersebut di atas seharusnya bisa dikreditkan.

bahwa selanjutnya dalam sidang Pemohon Banding kembali menyerahkan surat

Tanggapan tertulis No. JAO-ek/NMR/IX/11-111 tanggal 26 September 2011 yang pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut :

A. Jangka Waktu Kotrak Karya

bahwa di dalam Pasal 31 ayat 2 Kontrak Karya disebutkan bahwa :sesuai dengan

ketentuan-ketentuan yang tercantum didalamnya, Persetujuan ini akan tetap berlaku sampai berakhirnya Periode Operasi terakhir untuk suatu Wilayah Pertambangan dan jika ada untuk suatu jangka waktu pembaharuan atau perpanjangan persetujuan;

bahwa di dalam Pasal 10 ayat 2 Kontrak Karya tersebut juga disebutkan bahwa ..... Periode Operasi untuk setiap Wilayah Pertambangan akan berlangsung selama 30 (tiga puluh) tahun setelah saat dimulainya operasi penambangan yang pertama, atau periode yang lebih lama yang dapat disetujui oleh Departemen, atas permohonan tertulis dari Perusahaan;

bahwa dengan demikian, hingga saat ini Kontrak Karya tersebut masih berlaku dan

baru akan berakhir apabila Pemohon Banding mendapat persetujuan dari Pemerintah atas pengajuan permohonan pengakhiran Kontrak Karya kepada Pemerintah sesuai dengan ketentuan dalam Kontrak Karya;

bahwa dalam industri pertambangan, reklamasi merupakan tahapan akhir dari siklus

pertambangan. Hal ini terkait dengan sifat usaha perusahaan pertambangan, dimana pada tahap awal hingga berproduksi, perusahaan tambang akan membuka lahan untuk kemudian mengeksploitasi sumber tambang yang terdapat di dalam bumi. Dampak dari adanya pembukaan lahan dan eksploitasi ini ialah lahan menjadi berubah bentuk dari kondisi awalnya. Oleh karena itu, merupakan kewajiban perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan untuk melakukan reklamasi atas lahan yang digunakan untuk kegiatan penambangan. Hal ini bertujuan supaya keseimbangan alam di daerah pertambangan bisa kembali seperti sediakala.

bahwa dalam kasus Pemohon Banding, Departemen Energi dan Sumber Daya Alam

telah menerbitkan surat persetujuan kepada Termohon PK atas Persetujuan Rencana Penutupan Tambang PT XXX dengan Surat Nomor : 4274/87.03/DJG/2002 tertanggal 31 Desember 2002. Di dalam surat tersebut dinyatakan bahwa DJG menyetujui Rencana Penutupan Tambang (RPT) Pemohon Banding dengan ketentuan sebagai berikut:

a. bahwa Pemohon Banding wajib melaksanakan pengelolaan dan pemantauan

lingkungan pasca tambang (pasca penutupan) sebagaimana tercantum dalam dokumen RPT Pemohon Banding;

b. bahwa Pemohon Banding wajib melaksanakan dan mengikuti petunjuk sebagaimana tercantum dalam lampiran surat persetujuan ini;

c. bahwa Pemohon Banding bertanggung jawab dalam upaya pencegahan dan penanggulangan perusakan dan pencemaran lingkungan dari areal bekas tambang, lokasi penempatan tailing dan daerah penunjang lainny a sampai ada persetujuan tertulis dari Direktur Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral yang membebaskan tanggung jawab tersebut.

bahwa berdasarkan surat tersebut, nampak jelas bahwa kegiatan

reklamasi/rehabilitasi alam merupakan kewajiban bagi Pemohon Banding yang menjadi satu kesatuan dengan usaha pertambangan. Dengan demikian, reklamasi merupakan kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan usaha;

bahwa dapat Pemohon Banding tambahkan bahwa pada tanggal 24 Maret 2011,

Kementerian Energi Sumber Daya Mineral telah mengeluarkan Keputusan dengan No. 513.K/30/DJB/2011 tentang Persetujuan Penutupan Tambang PT. XXX. Didalam Keputusan tersebut pada diktum Ketiga, Menteri Energi Sumber Daya Mineral telah memutuskan bahwa:

"Dengan diberikannya persetujuan penutupan tambang pada diktum Kesatu, PT.

XXX wajib segera mengajukan permohonan pengakhiran Kontrak Karya kepada Pemerintah sesuai dengan ketentuan dalam Kontrak Karya"

bahwa dengan demikian, maka berdasarkan keterangan diatas, bisa disimpulkan

bahwa Kontrak Karya antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemohon Banding belum berakhir, seperti yang telah dinyatakan oleh Terbanding dalam sidang banding;

B. Penambang Emas Merupakan Subyek pajak

bahwa sesuai dengan Pasal 13 dari Kontrak Karya, Pemohon Banding menjelaskan

bahwa didalam Pasal 13 ayat 7(i)(a) telah diatur secara khusus, tegas, dan jelas mengenai perlakuan PPN terhadap emas murni batang tuangan, yang antara lain memuat hal-hal sebagai berikut :

bahwa Pemohon Banding harus mendaftarkan diri sebagai Pengusaha Kena Pajak;

Bahwa PPN sebesar 10% harus dikenakan atas penjualan produksi Pemohon Banding di dalam negeri, termasuk tetapi tidak terbatas kepada dore bullion; Bahwa PPN sebesar 0% harus dikenakan atas penjualan ekspor dari hasil produksi Pemohon Banding;

bahwa Pasal 13 ayat 7(i)(a) tidak merujuk pada satu Undang-Undang PPN tertentu, maka hal ini menunjukkan bahwa pengaturan masalah PPN diatur secara berdiri sendiri sebagaimana tertuang di dalam Pasal 13 ayat 7(i)(a) tsb. Dengan sifat "lex specialis" dari Kontrak Karya, maka ketentuan di dalam Pasal 13 ayat 7(i)(a) akan tetap berlaku, meskipun Undang-Undang PPN dan peraturan pelaksanaannya mengalami perubahan. Apabila satu pasal di dalam Kontrak Karya dimaksudkan untuk mengikuti peraturan yang berlaku dari waktu ke waktu, maka di dalam pasal dari Kontrak Karya tersebut secara tegas disebutkan demikian, contohnya pasal 13 ayat 9(ii) dan (iii) dan pasal 13 ayat 7(ii).

Pasal 13 ayat 9 :

ii. Barang-barang lain termasuk milik pribadi akan tunduk kepada peraturan¬peraturan pajak impor yang berlaku.

iii. Cukai atas tembakau dan minuman keras tunduk kepada ketentuan perpajakan sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku.

Pasal 13 ayat 7(ii) : "Sejak didaftarkan sebagai pengusaha kena pajak, kelebihan dari pajak PPN

sebagaimana terlihat dalam Risalah pengembalian Pajak yang dibuat Perusahaan dengan Direktorat Jenderal Pajak akan dibayar kembali oleh Pemerintah kepada perusahaan sesuai dengan Undang-Undang dan peraturan peraturan perpajakan yang berlaku."

bahwa Pasal 13 ayat 7(i)(a) merupakan peraturan yang mengatur secara khusus,

tegas, dan jelas mengenai perlakuan PPN atas hasil produksi Pemohon Banding, yaitu bahwa atas penjualan hasil produksi Pemohon Banding (yang mana berupa emas batangan) didalam negeri dikenakan PPN dengan tarif 10% dan atas penjualan ekspor hasil produksi Pemohon Banding harus dikenakan PPN sebesar 0%. Dengan keharusan bahwa atas penjualan hasil produksi Pemohon Banding dikenakan PPN dengan tarif 10% atau 0%, maka sangat jelas bahwa hasil produksi Pemohon Banding adalah Barang Kena Pajak.

bahwa dengan demikian, dari uraian di atas nampak jelas bahwa ketentuan Pasal 13

ayat 7(i)(a) yang bersifat "lex specialis" mengatur secara khusus bahwa barang hasil produksi Pemohon Banding adalah Barang Kena Pajak. Sementara untuk proses pengembalian kelebihan pembayaran PPN, Kontrak Karya Pasal 13 ayat 7(ii) mengatur bahwa tata cara dan prosedur pengembalian kelebihan bayar PPN mengikuti Undang-Undang dan peraturan perpajakan yang berlaku dari waktu ke waktu. Justru disini nampak bahwa memang dalam hal proses restitusi kelebihan bayar PPN, Kontrak Karya mengatur untuk mengikuti Undang-Undang dan peraturan perpajakan yang berlaku;

bahwa maka berdasarkan pada alasan dan penjelasan di atas, Pemohon Banding

berpendapat bahwa Pajak Masukan sebesar Rp 213.596.069 tersebut di atas seharusnya bisa dikreditkan.

bahwa selanjutnya Pemohon Banding kembali menyerahkan Surat Tanggapan

Tertulis No. JAO-ek/NMR/X/11-114 tanggal 10 Oktober 2011 yang pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut :

A. Penjelasan tentang dokumen pendukung untuk koreksi beda waktu PPN

tahun 2000 dan tahun 2001 bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan pendapat Terbanding yang

berpendapat bahwa Pemohon Banding telah melakukan pembebanan atas Biaya Pajak Tidak Langsung (PPN) atas provisi biaya reklamasi untuk perhitungan pajak PPh Badan tahun 2000 dan tahun 2001 yaitu melalui koreksi fiskal beda waktu;

bahwa menurut Pemohon Banding koreksi beda waktu sebesar USD 399,940.72

untuk tahun 2000 dan sebesar USD 440,208 untuk tahun 2001 tidak berkaitan sama sekali dengan provisi atas biaya reklamasi. Adapun Biaya Pajak Tidak Langsung (PPN) tersebut adalah berkaitan dengan koreksi PPN Masukan tahun 1997, 1998, 1999 dan tahun 2000 yang oleh pihak Kantor Pajak (KPP PMA III) pada tahun 2000 dan 2001, telah ditetapkan sebagai PPN yang tidak dapat dikreditkan karena berbagai sebab seperti Faktur Pajak Cacat, Jawaban Konfirmasi Negatif dari KPP Lain atas Faktur Pajak yang diklaim, Faktur Pajak Asli tidak ada, dsb;

bahwa pada saat menyiapkan SPT PPh Badan tahun 2000 dan 2001 Pemohon

Banding berpendapat, karena saat timbulnya kepastian bahwa Pajak Masukan tahun 1997– tahun 2000 tersebut diatas tidak dapat dikreditkan adalah di tahun 2000 dan 2001, maka di tahun 2000 dan 2001 timbul biaya PPN bagi Pemohon Banding

(sebagaimana diketahui, berdasarkan pasal 6(1)(a) dari Undang-Undang No. 17 tahun 2000, biaya PPN merupakan biaya yang dapat dikurangkan dalam menghitung PPh Badan). Oleh karena itu, untuk keperluan akuntansi dan perpajakan, kerugian tersebut harus di bebankan sebagai biaya di tahun timbulnya kepastian kerugian tersebut (yaitu tahun 2000 dan 2001);

bahwa lebih lanjut, dalam pemeriksaan PPh Badan tahun 2000 dan 2001, pihak

Kantor Pajak juga telah melakukan koreksi positif atas biaya PPN tersebut (tidak menyetujui pembebanan biaya PPN tersebut). Menanggapi koreksi tersebut pihak Pemohon Banding telah melakukan proses keberatan;

bahwa sengketa pajak ini (koreksi positif atas biaya PPN) telah diputus dalam proses

Banding, dimana Majelis Hakim mengeluarkan Putusan menolak permohonan banding Pemohon Banding untuk tahun pajak tahun 2000 dan 2001 atas pembebanan Biaya PPN tersebut;

bahwa oleh karena itu menurut Pemohon Banding koreksi beda waktu atas biaya

PPN untuk tahun 2000 dan 2001 atas biaya PPN telah dikoreksi (tidak diterima sebagai Biaya) oleh Kantor Pajak dan keputusan tersebut kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Pajak. Disini juga nampak jelas bahwa biaya PPN tahun 2000 dan tahun 2001 yang dipermasalahkan oleh Pihak Terbanding sama sekali tidak terkait dengan provisi biaya reklamasi (karena biaya reklamasi yang berbentuk provisi memang tidak mengandung unsur PPN didalamnya)

B. Status PKP PT NMR

bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan pendapat Terbanding bahwa

Pemohon Banding memiliki keraguan atas status PKP dengan menanyakan perihal tersebut ke Kantor Pajak pada tahun 2002.

bahwa menurut Pemohon Banding adalah sangat lazim apabila ada pertanyaan atau

perbedaaan pendapat dengan pihak Kantor Pajak maka Wajib Pajak menanyakan atau meminta klarifikasi ke Kantor Pajak tersebut kepada Direktorat Jenderal Pajak. Pada tahun 2002, Pemohon Banding menanyakan tentang status Pemohon Banding sebagai PKP terkait dengan emas batangan sebagai Barang Kena Pajak.

bahwa namun karena Pemohon Banding tidak setuju dengan pendapat dari Kantor

Pajak dan Direktorat Jenderal Pajak, maka sesuai dengan peraturan yang berlaku, Pihak Pemohon Banding telah melakukan upaya hukum dengan melanjutkan proses sengketa tersebut ke Pengadilan Pajak dan ke Mahkamah Agung.

C. Pasal 13 ayat 7(i)(a) Kontrak Karya bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan penafsiran Tebanding mengenai

Pasal 13 ayat 7(i)(a) khususnya pada bagian:" Tarif PPN atas dore bullion 10% dari harga jual atau tarif lain sesuai dengan undang-undang pajak dan peraturan yang berlaku" dimana menurut Terbanding berdasarkan bagian kalimat diatas, semua perlakuan PPN harus tunduk pada undang-undang pajak yang berlaku.

bahwa menurut Pemohon Banding sesuai dengan Pasal 13 ayat 7(i)(a) dari Kontrak

Karya, telah diatur secara khusus, tegas, dan jelas mengenai perlakuan PPN terhadap emas murni batang tuangan, yang antara lain memuat hal-hal sebagai berikut :

- Bahwa PT. XXX harus mendaftarkan diri sebagai Pengusaha Kena Pajak; - Bahwa PPN harus dikenakan atas penjualan produksi PT. XXX di dalam negeri,

termasuk tetapi tidak terbatas kepada dore bullion dengan tarip 10% dari harga jual atau tarip lain sesuai dengan undang-undang pajak dan peraturan-peraturan yang berlaku;

- Bahwa PPN sebesar 0% harus dikenakan atas penjualan ekspor dari hasil produksi PT. XXX.

bahwa Pasal 13 ayat 7(i)(a) tidak merujuk pada satu Undang-Undang PPN tertentu,

maka hal ini menunjukkan bahwa pengaturan masalah PPN diatur secara berdiri sendiri sebagaimana tertuang di dalam Pasal 13 ayat 7(i)(a) tsb. Dengan sifat "lex specialis" dari Kontrak Karya, maka ketentuan di dalam Pasal 13 ayat 7(i)(a) akan tetap berlaku, meskipun Undang-Undang PPN dan peraturan pelaksanaannya mengalami perubahan. Namun demikian, khusus menyangkut tarif PPN, pasal 13 ayat 7(1)(a) mengatur bahwa tarif PPN yang 10% dapat berubah apabila undang¬undang PPN atau peraturan yang berlaku merubah tarif tersebut. Dengan demikian, ketentuan bahwa emas batangan merupakan Barang Kena Pajak tidak akan berubah meskipun undang-undang PPN yang berlaku mengatur berbeda, yang dapat berubah adalah tarif PPN tersebut yaitu mengikuti pengaturan Undang -

undang PPN yang berlaku. Apabila satu pasal di dalam Kontrak Karya dimaksudkan untuk mengikuti peraturan yang berlaku dari waktu ke waktu, maka di dalam pasal dari Kontrak Karya tersebut secara tegas disebutkan demikian, contohnya pasal 13 ayat 9(ii) dan (iii) dan pasal 13 ayat 7(ii).

Pasal 13 ayat 9 :

i. Barang-barang lain termasuk milik pribadi akan tunduk kepada peraturan peraturan pajak impor yang berlaku.

ii. Cukai atas tembakau dan minuman keras tunduk kepada ketentuan perpajakan sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku

Pasal 13 ayat 7(ii) : "Sejak didaftarkan sebagai pengusaha kena pajak, kelebihan dari pajak PPN

sebagaimana terlihat dalam Risalah pengembalian Pajak yang dibuat Perusahaan dengan Direktorat Jenderal Pajak akan dibayar kembali oleh Pemerintah kepada perusahaan sesuai dengan Undang-Undang dan peraturan peraturanperpajakan yang berlaku."

bahwa Pasal 13 ayat 7(i)(a) merupakan peraturan yang mengatur secara khusus,

tegas, dan jelas mengenai perlakuan PPN atas hasil produksi Pemohon Banding, yaitu bahwa atas penjualan hasil produksi Pemohon Banding (yang mana berupa emas batangan) didalam negeri dikenakan PPN.

bahwa dengan demikian, dari uraian di atas nampak jelas bahwa ketentuan Pasal 13

ayat 7(i)(a) yang bersifat "lex specialis" mengatur secara khusus bahwa barang hasil produksi Pemohon Banding adalah Barang Kena Pajak. Sementara untuk proses pengembalian kelebihan pembayaran PPN, Kontrak Karya Pasal 13 ayat 7(ii) mengatur bahwa tata cara dan prosedur pengembalian kelebihan bayar PPN mengikuti Undang-Undang dan peraturan perpajakan yang berlaku dari waktu ke waktu. Justru disini nampak bahwa memang dalam hal proses restitusi kelebihan bayar PPN, Kontrak Karya mengatur untuk mengikuti Undang-Undang dan peraturan perpajakan yang berlaku

bahwa maka berdasarkan pada alasan dan penjelasan di atas, kami berpendapat

bahwa Pajak Masukan sebesar Rp 124.402.545 tersebut di atas seharusnya dapat dikreditkan.

bahwa atas Surat Tanggapn Tertulis Pemohon Banding tersebut di atas Terbanding

dalam sidang menyerahkan kepada Majelis Surat Tanggapan Tertulis No. S-7144/PJ.07/2011 tanggal 9 Nopember 2011 yang pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut :

A. Pokok Sengketa, Dasar Koreksi Terbanding, dan Alasan Banding Pemohon

Banding

1. Pokok Sengketa bahwa yang menjadi pokok sengketa banding adalah koreksi atas pajak

masukan yang dapat dikreditkan.

2. Dasar Koreksi Terbanding bahwa berdasarkan Laporan Pemeriksaan Pajak diketahui bahwa

Terbanding melakukan koreksi atas pajak masukan dengan alasan penyerahan emas batangan (dore bullion) adalah penyerahan yang tidak terutang PPN berdasarkan Pasal 4A Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 (selanjutnya disebut Undang-Undang PPN) dan Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan PPN, sehingga pajak masukannya tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (5) Undang-Undang PPN.

bahwa selain itu, berdasarkan penelitian lebih lanjut diketahui bahwa

Pemohon Banding telah membebankan PPN-nya, sehingga Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan berdasarkan Pasal 9 ayat (9) Undang-Undang PPN.

3. Alasan Banding Pemohon Banding bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan koreksi pajak masukan

tersebut dengan alasan bahwa berdasarkan kontrak karya, penyerahan emas batangan merupakan penyerahan Barang Kena Pajak, sehingga seharusnya pajak masukannya dapat dikreditkan.

bahwa Pemohon Banding berpendapat bahwa Kontrak Karya bersifat lex

specialis sesuai dengan Surat Menteri Keuangan Nomor: S-1032/MK.04/1988 tanggal 15 September 1988 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-34/PJ.22/1988 tanggal 1 Oktober 1988.

bahwa oleh karena itu, perlakuan PPN atas penyerahan emas batangan

mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam kontrak karya antara Pemerintah RI dengan Pemohon Banding.

bahwa selain itu, untuk perlakuan pajak penghasilannya, Pemohon Banding

telah konsisten menerapkan kontrak karya, sekalipun dalam kontrak karya tersebut dikenakan tarif PPh yang lebih tinggi dibandingkan dengan Undang-Undang PPh yang berlaku.

bahwa dalam suratnya nomor JAO-ek/NMR/VI/11-087 tanggal 17 Juni 2011

perihal Penjelasan Tambahan atas Kasus Banding dengan Nomor Sengketa Pajak: 16-0534392009, sebagaimana tersebut di atas, Pemohon Banding memberikan penjelasan tambahan sebagai berikut:

bahwa dalam Surat Uraian Banding, Terbanding telah menyatakan dan

mengakui bahwa reklamasi merupakan kegiatan yang berhubungan dengan usaha pertambangan. Pemohon Banding setuju dengan pengakuan Terbanding bahwa reklamasi merupakan kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan usaha pertambangan sehingga dengan demikian biaya reklamasi merupakan biaya yang dapat dikurangkan sebagai biaya dan PPN atas biaya reklamasi merupakan PPN yang dapat dikreditkan terhadap PPN Keluaran.

bahwa Pemohon Banding tidak pernah membebankan PPN Masukan

sebagai biaya, melainkan Pemohon Banding mengkreditkan PPN Masukan tersebut.

bahwa untuk mendukung argumentasinya, dalam persidangan tanggal 03 Agustus

2011 Pemohon Banding menyampaikan bukti-bukti berupa SPT Tahunan PPh Badan Tahun Pajak 2000 dan 2001, termasuk di dalamnya perhitungan Laba Rugi Fiskal dan Daftar Koreksi Fiskal.

B. Dasar Hukum dan Tanggapan Terbanding

1. Dasar Hukum

a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai

Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 (selanjutnya disebut Undang-Undang PPN):

Pasal 4A ayat (2):

Penetapan jenis barang yang tidak dikenakan Pajak

Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas kelompok-kelompok barang sebagai berikut : a. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil

langsung dari sumbernya; b. barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh

rakyat banyak; c. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah

makan, warung, dan sejenisnya; d. uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.

Pasal 9 ayat (5):

Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain

melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari

pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.

Penjelasan Pasal 9 ayat (5): Dalam ayat ini, yang dimaksud dengan penyerahan yang terutang

pajak adalah penyerahan barang atau jasa yang sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini, dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

Yang dimaksud dengan penyerahan yang tidak terutang pajak yang

Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan adalah penyerahan barang dan jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A dan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud Pasal 16B.

Pengusaha Kena Pajak yang dalam suatu Masa Pajak melakukan

penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak, hanya dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.

Pasal 9 ayat (9):

Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan

dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.

b. Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan

Jasa yang Tidak Dikenakan PPN:

Kelompok barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai adalah :

a. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran, yang diambil langsung dari sumbernya;

b. Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;

c. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya; dan

d. Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.

c. Pasal 33A ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (selanjutnya disebut Undang-Undang Pajak Penghasilan):

Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas

bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud.

d. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata):

Pasal 1338 Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang

bagi mereka yang membuatnya.

Pasal 1320 Untuk syarat syahnya perjanjian diperlukan empat syarat

1. Sepakat mereka mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal

Pasal 1335 Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sebab yang

palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.

Pasal 1337 Suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh Undang-undang

atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.

2. Tanggapan Terbanding

a. Mengenai pernyataan Pemohon Banding sebagaimana diuraikan dalam surat nomor: JA0 ek/NMR/V1/11-087 tanggal 17 Juni 2011, Terbanding berpendapat sebagai berikut:

1) Atas pernyataan Pemohon Banding bahwa "Dalam Surat Uraian

Banding, Terbanding telah menyatakan dan mengakui bahwa reklamasi merupakan kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan pertambangan (butir C, halaman 7), sehingga Pemohon Banding berkesimpulan PPN atas biaya reklamasi dapat dikreditkan terhadap PPN keluaran", Terbanding menyampaikan tanggapan sebagai berikut: - bahwa dalam SUB, Terbanding memang menyatakan hal tersebut,

namun pernyataan tersebut dimaksudkan untuk menegaskan bahwa Pemohon Banding adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang pertambangan, sehingga dalam pembukuan atas biaya pembentukan atau pemupukan dana cadangan reklamasi, mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 18 Tahun 2008, tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang.

- Terbanding tidak pernah menyatakan bahwa perolehan BKP dan/ atau JKP terkait biaya reklamasi mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha Pemohon Banding, karena pada prinsipnya Terbanding tetap berpendapat bahwa penyerahan atas emas batangan (dore bullion) merupakan penyerahan yang tidak terutang PPN berdasarkan Pasal 4A Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 18 Tahun 2000 jo. Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000.

- Dalam Lampiran I Bab V Peraturan Menteri ESDM Nomor 18 Tahun 2008 mengenai perhitungan biaya reklamasi, antara lain diatur bahwa perhitungan total biaya terdiri dari uraian mengenai total biaya langsung ditambah dengan biaya tidak langsung dan biaya-biaya tersebut sudah harus memperhitungkan pajak-pajak yang berlaku.

- Mengingat bahwa Pemohon Banding adalah perusahaan pertambangan, maka pajak-pajak termasuk PPN atas biaya reklamasi telah diperhitungkan sebagai total biaya, sehingga dengan demikian, pajak masukannya tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (9) Undang-Undang PPN.

2) Pencatatan PPN atas Kegiatan Reklamasi

Pemohon Banding menyatakan tidak pernah membebankan PPN Masukan sebagai biaya, melainkan mengkreditkan pajak masukan tersebut.

Untuk membuktikan bahwa Pemohon Banding tidak pernah membiayakan PPN Masukan tersebut, Pemohon Banding memberikan bukti pendukung berupa SPT Tahunan PPh Badan Tahun Pajak 2000 dan 2001 beserta dengan dokumen-dokumen yang dilampirkan dalam SPT.

Setelah mempelajari bukti-bukti yang disampaikan Pemohon Banding tersebut, diperoleh fakta-fakta sebagai berikut:

a) SPT PPh Badan Tahun Pajak 2000 dan Lampiran-lampirannya

Lampiran 2/10 (Laba Rugi Fiskal Tahun 2000)

Keterangan

USD

Rp

Laba sebelum pajak (komersial) 25.049.259,17 232.582.371.393

Beda tetap 2.908.277,95 27.893.254.200

Beda waktu 17.436.078,59 145.669.763.343

Laba sebelum pajak (fiskal) 45.393.615,71 421.479.721.867

Dalam Lampiran 9/10 (Daftar Koreksi Fiskal Tahun 2000), beda waktu sebesar US$17.436.078,59 terdiri dari:

No.

Account

Nama Account USD

Depresiasi 9.415.192

Amortisasi 6.273.528

953001 Other Expense- VAT (223.380)

953002 Other Expense – Income Tax 160.787

953008 Other Expense – CAS (Regional Taxes,

Closure, Inventory Valuation)

1.603.673

330206 Petrosea Demob Provision 56.840

90A200 Reclamation reserve (after deducted with

the expenditure)

149.438

Jumlah 17.436.079

b) SPT PPh Badan Tahun Pajak 2001 dan Lampiran-Iampirannya

Attachment (Lampiran) 2/10 (Income Statement Year 2001):

Keterangan USD Rp

Other Expense – Commercial (1.719.917,04) (17.500.155.882)

Tax Adjustment – Permanent 0 0

Tax adjustment – Timing (468.520,42) (4.767.195.274)

Other Expense - Fiscal (2.188.437,46) (22.267.351.158)

Dalam Lampiran 9/10 (Daftar Koreksi Fiskal Tahun 2001), beda waktu dari Other expense sebesar US$468.520,42 terdiri dari:

No.

Account

Nama Account USD

953008 Other Expense – (Closure, demob, etc) 12.312,28

953000 Income tax provision 16.000,00

953001 Other expense C/AT (prow – less exp) 440.208,14

Jumlah 468.520,14 Dari bukti-bukti yang disampaikan Pemohon Banding tersebut di

atas, seluruhnya membuktikan bahwa Pemohon Banding telah membebankan pajak masukannya, sehingga pajak masukannya tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (9) Undang-Undang PPN.

b. Pernyataan Pemohon Banding Dalam Persidangan dan Tanggapan Terbanding

1) Menurut Pemohon Banding

Terkait dengan pendapat Terbanding bahwa emas batangan bukan

merupakan Barang Kena Pajak sehingga pajak masukannya tidak dapat dikreditkan, Pemohon Banding menyatakan bahwa berdasarkan Pasal 13 ayat 7 (i) (a) Kontrak Karya, disebutkan bahwa Pemohon Banding harus didaftarkan sebagai PKP dan PPN harus dikenakan pada penjualan produksi dalam negeri termasuk tetapi tidak terbatas pada dore bullion dengan tarip 10% (sepuluh persen) dari harga jual atau tarip lain sesuai dengan undang-undang pajak dan peraturan-peraturan yang berlaku, dan untuk penjualan ekspor atas hasil produksi dengan tarip 0% (nol persen) dari harga jual.

Pasal tersebut menegaskan bahwa emas batangan merupakan BKP, sehingga pajak masukan yang terkait dapat dikreditkan.

2) Tanggapan Terbanding

a) Berdasarkan Kontrak Karya antara Pemerintah RI dengan Pemohon

Banding disebutkan bahwa:

Pasal 13 ayat (7):

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas pembelian dan penjualan barang kena pajak.

(i). Perusahaan harus didaftarkan sebagai pengusaha kena pajak

untuk Pajak Pertambahan Nilai dan dengan demikian Pajak Pertambahan Nilai harus dikenakan pada: (a) atas penjualan produksi dalam negeri termasuk tetapi tidak

terbatas pada dore bullion dengan tarif 10% atau tarif lain sesuai dengan Undang-Undang Pajak dan peraturan-peraturan perpajakan yang berlaku dan untuk penjualan ekspor sebesar 0% dari harga jual.

Pasal 28 ayat (6):

Kecuali konteks itu menentukan lain, maka referensi yang dibuat dalam persetujuan ini dibuat untuk undang-undang atau peraturan-peraturan Indonesia, referensi itu dimaksudkan untuk Undang-Undang dan peraturan-peraturan Indonesia yang berlaku umum bagi perusahaan-perusahaan pertambangan asing di Indonesia yang berlaku.

Dalam Pasal 13 ayat 7 (i) (a) Kontrak Karya disebutkan bahwa Pemohon

Banding harus didaftarkan sebagai PKP dan atas penjualannya harus dipungut PPN sebesar 10% atau tarif lain sesuai dengan undang-undang pajak peraturan yang berlaku (untuk penjualan produksi dalam negeri) dan 0% dalam hal ekspor.

Dalam Pasal tersebut di atas, tidak disebutkan bahwa perlakuan PPN

tunduk terhadap undang-undang PPN tertentu, sehingga perlakuan PPN-nya mengikuti undang-undang pajak dan peraturan-peraturan yang berlaku dari waktu ke waktu.

b) Mengenai klausul dalam Pasal 13 ayat 7 (i) (a) Kontrak Karya yang

mewajibkan Pemohon Banding untuk didaftarkan sebagai PKP dan memungut PPN sebesar 10% atau tarif lain sesuai dengan undang-undang pajak dan peraturan-peraturan yang berlaku untuk penjualan produksi dalam negeri dan 0% untuk ekspor, perlu dipahami bahwa kontrak karya tersebut didasarkan pada Surat Presiden Republik Indonesia Nomor: B-43/Pres/11/1986 tanggal 6 Nopember 1986 perihal Persetujuan bagi 34 (tiga puluh empat) buah Naskah Kontrak Karya, dan dibuat dalam periode berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984), dimana berdasarkan Undang-Undang tersebut, emas batangan tidak dikecualikan dari jenis barang yang tidak dikenakan PPN, sehingga pengusaha yang melakukan penyerahan emas batangan harus dikukuhkan sebagai PKP.

Sedangkan sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Undang-Undang Perubahan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984), maka emas batangan tidak lagi dikenakan PPN (bukan lagi merupakan Barang Kena Pajak)

3) Pemohon Banding selanjutnya menyampaikan alasan bahwa bahwa terkait

dengan Pajak Penghasilannya, Pemohon Banding konsisten menerapkan tarif sesuai dengan kontrak karya, sekalipun tarif PPh dalam kontrak karya tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan Undang-Undang yang berlaku saat ini.

Atas argumen Pemohon Banding tersebut, Terbanding berpendapat sebagai

berikut:

Berdasarkan Pasal 13 ayat (4) Kontrak Karya, disebutkan hal-hal sebagai berikut: (i). Perusahaan akan membayar pajak penghasilan perseroan atas

pendapatan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh perusahaan, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, dengan nama dan bentuk apapun, termasuk tetapi tidak terbatas kepada laba bruto atas usaha, dividen, bunga, dan royalti dan tarif pajak yang dikenakan selama jangka waktu persetujuan adalah sebagai berikut: (a) Tarip pajak 15% untuk penghasilan kena pajak sampai dengan

Rp.10.000.000 (sepuluh juta rupiah). (b) Tarip pajak 25% untuk penghasilan ke pajak di atas

Rp.10.000.000 (sepuluh juta rupiah) sampai dengan Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah).

(c) Tarip pajak 35% untuk penghasilan kena pajak di atas Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah).

(ii). Untuk tujuan-tujuan perhitungan penghasilan kena pajak akan berlaku tata cara perhitungan pajak sebagaimana tercantum dalam lampiran "H" yang merupakan bagian dari persetujuan ini, kecuali ditetapkan lain dalam Persetujuan ini dan dalam Lampiran H tersebut, maka ketentuan-ketentuan sebagaimana dinyatakan dalam UndangUndang Pajak Penghasilan 1984, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 dan peraturan pelaksanaannya akan berlaku.

Berdasarkan pasal di atas, disebutkan dengan jelas bahwa selama jangka waktu persetujuan, atas penghasilan yang diterima Pemohon Banding dikenakan tarif sesuai dengan kontrak karya (tarif progresif 15%, 25%, dan 35%). Lebih lanjut, disebutkan bahwa apabila tidak diatur secara khusus dalam kontrak karya, maka berlaku Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 dan peraturan pelaksanaannya.

Dalam Pasal 33A ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan mengenai Ketentuan Peralihan, diatur bahwa untuk Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud.

Berdasarkan ketentuan di atas, maka perlakuan Pajak Penghasilannya

tetap harus mengikuti ketentuan sesuai dengan Kontrak Karya. Perbedaan Perlakuan Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai

a) Terkait dengan perlakuan PPh disebutkan secara khusus tunduk terhadap Undang-Undang tertentu, sedangkan terkait dengan perlakuan PPN-nya tidak disebutkan.

Bahwa sebagaimana diuraikan sebelumnya, dalam Pasal 13 ayat (4) Kontrak Karya yang mengatur mengenai perlakuan pajak penghasilan, disebutkan dengan jelas perlakuan PPh-nya tunduk terhadap Undang-Undang tertentu, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983. Sedangkan dalam Pasal 13 ayat (7) (i) (a) mengenai perlakuan PPN-nya tidak disebutkan bahwa perlakuan PPN-nya tunduk terhadap Undang-Undang PPN tertentu.

Terbanding berpendapat disebutkannya Undang-Undang tertentu atas perlakuan

PPh dan tidak disebutkannya Undang-Undang tertentu dalam pengenaan PPN dalam Kontrak Karya telah sesuai dengan prinsip hukum perdata, dengan pertimbangan sebagai berikut:

- Kontrak Karya yang dibuat oleh Pemerintah RI dan Pemohon Banding

merupakan perjanjian perdata, yang hanya mengikat para pihak, yakni Pemerintah RI dan Pemohon Banding.

- Dalam PPh, yang menjadi penanggung pajak adalah Pemohon Banding sendiri sehingga persetujuan tarif tertentu oleh kedua belah pihak tersebut sah.

- Namun terkait dengan pengenaan PPN, perlu dipahami bahwa PPN merupakan pajak tidak langsung, dimana yang menjadi penanggung pajak sebenarnya adalah pihak pembeli, dimana pihak pembeli tidak termasuk dalam para pihak, sehingga tidak mungkin pembeli diminta untuk menanggung pajak berdasarkan kesepakatan para pihak, sementara berdasarkan Undang-Undang yang berlaku emas batangan bukan merupakan Barang Kena Pajak.

b) Dalam Kontrak Karya, dalam Pasal 13 ayat (4) yang mengatur mengenai pajak

penghasilan disebutkan dengan jelas bahwa tarif PPh dikenakan selama jangka waktu persetujuan. Sedangkan untuk perlakuan PPNnya, dalam Pasal 13 ayat (7) (i) (a) tidak disebutkan bahwa tarif PPN sebesar 10% berlaku selama jangka waktu persetujuan, melainkan terdapat klausul dikenakan tarif lain sesuai dengan Undang-Undang Pajak dan peraturan-peraturan yang berlaku.

Hal ini mempertegas bahwa pengenaan PPN-nya mengikuti Undang-Undang yang berlaku dari waktu ke waktu.

c) Dalam Pasal 33A Undang-Undang Pajak Penghasilan yang berlaku mengenai

ketentuan peralihan mengatur bahwa terkait dengan kontrak karya yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-Undang ini, ketentuan pajak penghasilannya mengikuti ketentuan dalam kontrak karya. Sedangkan dalam Undang-Undang PPN, tidak ada ketentuan peralihan seperti itu.

Berdasarkan uraian di atas, alasan yang dikemukakan oleh Pemohon Banding

mengenai konsistensi antara perlakuan PPh dan PPN-nya adalah tidak relevan, karena memang terdapat pengaturan yang berbeda antara PPh dan PPN baik dalam kontrak karya maupun Undang-Undang yang berlaku.

c. Tinjauan Atas Perlakuan PPN Dalam Kontrak Karya, Dilihat Dari Hukum Perdata

1) Dalam Pasal 13 ayat 7 (i) (a) Kontrak Karya diatur bahwa Atas penjualan

produksi dalam negeri termasuk tetapi tidak terbatas pada dore bullion dengan tarif 10% atau tarif lain sesuai dengan Undang-Undang Pajak dan peraturan-peraturan yang berlaku dan untuk penjualan ekspor sebesar 0% dari harga jual.

2) Bahwa Kontrak Karya antara Pemerintah RI dengan Pemohon Banding adalah perjanjian yang bersifat perdata.

3) Berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata disebutkan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Untuk melihat sah atau tidaknya suatu perjanjian, harus memperhatikan

ketentuan yang diatur dalam Pasal 1320 – 1337 KUH Perdata (Buku III tentang Perikatan, Bab II Bagian Ke Dua tentang syarat-syarat yang diperlukan untuk sahnya suatu perjanjian).

Perjanjian dapat dikatakan sah apabila memenuhi empat syarat (kumulatif)

sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yang di antaranya adalah suatu sebab yang halal.

Dalam Pasal 1335 KUH Perdata disebutkan bahwa suatu perjanjian tanpa

sebab, atau yang telah dibuat karena sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.

Selanjutnya dalam Pasal 1337 diatur Iebih lanjut bahwa suatu sebab adalah

terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.

4) Bahwa dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, dalam ketentuan

peralihannya diatur bahwa ketentuan pajak penghasilannya mengikuti ketentuan dalam kontrak karya (Pasal 33A ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan), sedangkan dalam Undang-Undang PPN tidak diatur demikian.

5) Bahwa berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku (Pasal 4A Undang-Undang PPN dan Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000), penyerahan emas batangan bukan merupakan penyerahan Barang Kena

Pajak, sehingga pajak masukannya tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (5) Undang-Undang PPN.

6) Memperhatikan klausul Pasal 13 ayat 7 (i) (a) Kontrak Karya, Pasal 1320 –

1338 KUH Perdata dan ketentuan perpajakan yang berlaku, kami berpendapat sebagai berikut:

- Dalam Pasal 13 ayat 7 (i) (a) Kontrak Karya terdapat klausul "tarif lain

sesuai dengan Undang-Undang Pajak dan peraturan-peraturan yang berlaku", sehingga Terbanding berpendapat atas penjualan emas batangan seharusnya mengikuti undang-undang pajak dan peraturan-peraturan yang berlaku. Berdasarkan Pasal 4A Undang-Undang PPN dan Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000, emas batangan bukan merupakan Barang Kena Pajak.

- Apabila ketentuan Pasal 13 ayat 7 (i) (a) ditafsirkan bahwa penjualan emas batangan dikenakan PPN 10% untuk penjualan dalam negeri atau tarif 0% dalam hal ekspor (sesuai dengan penafsiran Pemohon Banding), penafsiran tersebut menjadi bertentangan dengan undang-undang karena ada sebab yang terlarang (Pasal 1337 KUH Perdata) sehingga tidak mempunyai kekuatan (Pasal 1335 KUH Perdata).

Oleh karena itu, ketentuan perlakuan PPN dalam kontrak karya menurut

penafsiran Pemohon Banding tidak mempunyai kekuatan, sehingga untuk perlakuan PPN-nya Pemohon Banding seharusnya mengikuti Undang-Undang PPN dan peraturan pelaksanaannya yang berlaku.

C. Kesimpulan

Berdasarkan ketentuan-ketentuan perpajakan yang berlaku dan fakta-fakta yang

terungkap dalam persidangan, Terbanding berkesimpulan sebagai berikut:

1. Emas batangan bukan merupakan Barang Kena Pajak berdasarkan Pasal 4A UndangUndang PPN dan Peraturan Pemerintah 144 Tahun 2000. Oleh karena itu, pajak masukannya tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (5) UndangUndang PPN.

2. Berbeda dengan perlakuan pajak penghasilannya, perlakuan PPN sebagaimana diatur dalam Pasal 13 (7) (i) (a) Kontrak Karya tidak mengatur secara khusus tunduk terhadap Undang-Undang tertentu, sehingga perlakuan PPN atas penyerahan emas batangan mengikuti peraturan perpajakan yang berlaku dari waktu ke waktu.

3. Apabila ketentuan Pasal 13 ayat (7) (i) (a) ditafsirkan berbeda oleh Pemohon Banding bahwa emas batangan merupakan Barang Kena Pajak, maka perlakuan PPN menurut Pemohon Banding tersebut menjadi tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan karena bertentangan dengan undang-undang (berdasarkan Pasal 1320, Pasal 1335, dan Pasal 1337 KUH Perdata). Apabila ketentuan tersebut tidak mempunyai kekuatan, maka yang seharusnya diikuti oleh Pemohon Banding peraturan perpajakan yang berlaku.

Oleh karena itu, Keputusan Terbanding Nomor: KEP-2412/WPJ.04/2010 tanggal

12 Oktober 2010 yang menolak keberatan Pemohon Banding dan mempertahankan SKPN PPN Nomor: 00004/507/09/063/09 Masa Pajak Mei 2009 telah benar dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sehingga Terbanding mengusulkan kepada Majelis yang Terhormat untuk menolak permohonan banding Pemohon Banding.

bahwa atas tanggapan Terbanding tersebut di atas Pemohon Banding menyampai

Surat Tanggapan No. JAO-ek/NMR/XI/11-121 tanggal 15 Nopember 2011 yang pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut :

1. Pemohon Banding beroperasi di Indonesia berdasarkan Kontrak Karya yang

ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Pemohon Banding pada tanggal 2 Desember 1986 (selanjutnya disebut Kontrak Karya). Perlu Pemohon Banding jelaskan bahwa pengaturan masalah perpajakan di dalam Kontrak Karya tersebut bersifat `Lex Specialis', artinya masalah perpajakan yang secara spesifik diatur di dalam Kontrak Karya berlaku khusus (dipersamakan dengan Undang-Undang); dalam hal tidak diatur secara khusus maka berlaku ketentuan Undang-Undang Perpajakan yang ada.

Argumentasi Pemohon Banding di atas tentang karakteristik Kontrak Karya yang

bersifat `Lex Specialis' didukung dengan fakta-fakta sebagai berikut:

- bahwa berdasarkan Surat Menteri Keuangan R.I. Nomor : S-1032/MK.4/1988 tanggal 15 September 1988, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-34/PJ.22/1988 tanggal 1 Oktober 1988, Surat Menteri Keuangan R.I. Nomor : S-1427/MK.01/1992 tanggal 25 Nopember 1992 dan Surat Direktui

.

Jenderal Pajak Nomor : S488/PJ.51.1/2000 tanggal 13 April 2000 tersebut Majelis berpendapat bahwa Kontrak Karya antara Pemerintah Republik Indonesia dengan PT. XXX tanggal 2 Desember 1986, bersifat khusus (lex specialis), sehingga ketentuan perpajakannya harus mengacu kepada Kontrak Karya tersebut.

- Pasal 33A ayat 4 dari Undang-Undang No.17 tahun 2000 mengenai Pajak Penghasilan Pasal 33 (A) ini tercantum di dalam Undang-Undang No.10 tahun 1994 mengenai Pajak Penghasilan, yang mana tidak mengalami perubahan di Undang-Undang No.17 tahun 2000), yang berbunyi:

"Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan

gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud."

Didalam Undang-Undang No.17 tahun 2000, dalam hal terdapat pasal/ayat

dari Undang-Undang No.10 tahun 1994 yang diubah atau dihapuskan, maka hal tersebut akan secara eksplisit dinyatakan didalam Undang-Undang No. 17 tahun 2000.

- Pasal II dari Undang-Undang No. 11 tahun 1994 mengenai Pajak

Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN) (pasal ini tidak mengalami perubahan di dalam Undang-Undang No.18 tahun 2000) yang berbunyi:

"Dengan berlakunya Undang-undang ini : pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang

Mewah atas usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, tetap dihitung berdasarkan ketentuan dalam Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan berakhir. "

Didalam Undang-Undang No.18 tahun 2000, dalam hal terdapat pasal/ayat

dari Undang-Undang No.11 tahun 1994 yang diubah atau dihapuskan, maka hal tersebut akan secara eksplisit dinyatakan didalam Undang-Undang No. 18 tahun 2000.

- Bab XXV mengenai Ketentuan Peralihan Pasal 169 huruf (a) Undang-

Undang No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tersebut menyatakan bahwa :

"Kontrak Karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan

batubara yang telah ada sebelum berlakunya undang-undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian".

Dengan demikian sangatlah jelas bahwa Kontrak Karya memiliki sifat "Lex

Specialis" dimana ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam Kontrak Karya wajib untuk dihormati dan dilaksanakan baik oleh Perusahaan Pertambangan maupun Pemerintah (baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan semua Aparatur Negara) sebagai pihak yang telah menyetujui dan menandatangani Kontrak karya tersebut.

Lebih lanjut, di dalam Pasal 1 Kontrak Karya antara PT. XXX dan pemerintah

Republik Indonesia disebutkan bahwa yang dimaksud dengan "Pemerintah" berarti Pemerintah Republik Indonesia, Menteri, Departemen, Badan, Lembaga, Pemerintah Daerah, Kepala Daerah Tingkat I atau Tingkat II-nya.

Perlu Pemohon Banding sampaikan bahwa atas sifat "lex specialis" yang

dimiliki oleh Kontrak Karya, Hakim Majelis III dari Pengadilan Pajak telah juga mengakui konsep "lex specialis" ini yaitu antara lain melalui Putusan

Pengadilan Pajak No. Put. 05759/PP/M.III/16/2005. Hal ini kemudian diperkuat oleh Mahkamah Agung melalui Putusan Mahkamah Agung RI No. 137/B/PK/PJK/2005 tertanggal 2 Juli 2009. Didalam putusan tersebut Mahkamah Agung telah memenangkan PT. XXX dalam hal sifat "lex specialis" Kontrak Karya dimana emas batangan adalah merupakan obyek PPN (sebagai Barang Kena Pajak) berdasarkan Kontrak Karya Pasal 13(7), meskipun hal ini diatur berbeda didalam Pasal 4A ayat 2d Undang-Undang No. 18/2000 mengenai Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yang mana mengatur bahwa emas batangan bukan merupakan Barang Kena Pajak.

Jadi dengan sifat lex specialis dari Kontrak Karya yang mengatur bahwa

hasil produksi PT NMR berupa emas batangan adalah terhutang PPN, maka Hakim Majelis III dari Pengadilan Pajak dan Mahkamah Agung telah memutuskan dengan mendasarkan diri pada ketentuan yang terdapat di dalam Kontrak Karya.

2. Persyaratan sahnya suatu perjanjian berdasarkan KUH Perdata Pasal

1320,diatur sebagai berikut: - sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; - kecakapan untuk membuat suatu perikatan; - suatu hal tertentu; - suatu sebab yang halal;

Pemohon Banding tidak setuju dengan tanggapan dari pihak Terbanding yang

menyatakan bahwa perlakuan PPN menurut Pemohon Banding menjadi tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan karena bertentangan dengan Undang-Undang yang berlaku.

Perlu dijelaskan bahwa Kontrak Karya adalah perjanjian antara Pemerintah

Republik Indonesia dengan Pemohon Banding, dan berdasarkan definisi Pemerintah aquo mengikat dari Pemerintah Pusat sampai Pemerintah Daerah Kabupaten. Apabila merujuk kepada proses pembuatan Kontrak Karya maka nampak jelas bahwa pembuatan Kontrak Karya melibatkan banyak pihak, yang terdiri dari pejabat-pejabat Eselon 2 dan atau staf ahli dari Departemen-Departemen dan instansi-isntansi terkait seperti BKPM, Departemen Keuangan, Departemen Lingkungan Hidup, Departemen Kehutanan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Kehakiman, Direktorat Jenderal Pajak, dll., dan diketuai oleh Dirjen Pertambangan Umum. Kemudian pembuatan Kontrak Karya dikonsultasikan terlebih dahulu dengan DPR-RI dan BKPM melalui pengajuan naskah Kontrak Karya yang telah diparaf oleh para pihak, oleh Menteri Pertambangan dan Energi (Menteri P&E) kepada DPR-RI dan BKPM. Adapun pembahasan segala ketentuan yang tercantum dalam naskah Kontrak Karya, dalam sidang-sidang Komisi DPR-RI yang bersangkutan bersama Tim Perunding Interdepartemen, terbuka bagi umum. Atas dasar hasil pembahasan tersebut, surat rekomendasi/persetujuan DPR-RI yang ditanda tangani oleh Ketua DPR-RI, disampaikan kepada Presiden RI, lengkap dengan catatan-catatannya. Selanjutnya Ketua BKPM juga membuat Surat Rekomendasi untuk disampaikan kepada Presiden RI.

Berdasarkan Surat Rekomendasi/persetujuan dari DPR dan BKPM, Presiden RI

akan membuat surat pengesahan Kontrak Karya. Setelah surat pengesahan Kontrak Karya diperbaiki sesuai catatan-catatan dari DPR-RI dan/atau Ketua BKPM, Presiden RI akan memberikan Surat Perintah kepada Menteri Pertambangan dan Energi untuk menandatangani Kontrak Karya atas nama Pemerintah RI.

Jadi sangatlah tidak tepat apabila dikatakan bahwa Kontrak Karya tidak

memenuhi persyaratan "suatu sebab yang halal". Dapat ditambahkan disini bahwa sampai saat ini telah terdapat cukup banyak Kontrak Karya yang diterbitkan. Mengingat sejauh ini Pemerintah Indonesia telah menerbitkan banyak Kontrak Karya dengan perusahaan pertambangan lainnya, adalah tidak masuk akal apabila pemerintah telah membuat kesalahan yang berulang-ulang apabila Kontrak Karya tersebut dianggap tidak memenuhi persyaratan "suatu sebab yang halal".

Pemerintah harus juga diartikan mempunyai fungsi sebagai badan hukum privat

yang juga harus tunduk kepada ketentuan-ketentuan yang telah disepakatinya di dalam Kontrak Karya. Apabila di kemudian hari pemerintah membuat Undang-undang/peraturan yang bertentangan dengan isi dari Kontrak Karya, maka Kontrak Karya tersebut tetap harus dihormati (Pacta Sunt Servanda).

Oleh karena itu menjadi jelas dan nyata bahwa Kontrak Karya memenuhi persyaratan "suatu sebab yang halal" dan Kontrak Karya tersebut dibuat tidak melanggar undangundang yang berlaku pada saat Kontrak Karya tersebut ditandatangani. Juga Kontrak Karya, khususnya Pasal 13, mengadopsi prinsip "nailed down", dimana dikatakan secara jelas bahwa Pemohon Banding tidak wajib membayar lain-lain pajak, bea-bea pungutan-pungutan, sumbangan-sumbangan, pembebanan-pembebanan atau biaya-biaya sekarang maupun dikemudian hari yang dipungut atau dikenakan atau disetujui oleh pemerintah selain dari yang ditetapkan dalam pasal ini dan dalam ketentuan manapun dalam persetujuan ini (Kontrak Karya ini).

Dengan demikian, Kontrak Karya yang dimiliki oleh Pemohon Banding adalah

sah dan dibuat sesuai dengan peraturan yang berlaku pada saat pembuatan yaitu pada tanggal 6 November 1986. Berdasarkan uraian diatas maka nampak jelas bahwa, para pembuat Kotrak Karya (Pemerintah beserta DPR dan BKPM) telah sadar atas kemungkinan terjadinya pertentangan antara ketentuan dari Kontrak Karya dengan Undang-Undang yang dibuat kemudian hari, sehingga dengan prinsip lex specialis and "nailed down" masalah pajak dalam Kontrak Karya ini menjadi bersifat tetap dan tidak akan saling tumpang tindih dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan yang dibuat dikemudian hari. Karena keabsahannya itu maka Kontrak Karya ini bersifat mengikat bagi pihakpihak yang menyetujuinya yaitu pihak Pemerintah Republik Indonesia (dalam hal ini termasuk Direktorat Jenderal Pajak) dan pihak Pemohon Banding.

3. Pemohon Banding tidak setuju dengan penafsiran Tebanding mengenai Pasal 13

ayat 7(i)(a) khususnya pada bagian:" Tarif PPN atas dore bullion 10% dari harga jual atau tarif lain sesuai dengan undang-undang pajak dan peraturan yang berlaku" dimana menurut Terbanding berdasarkan bagian kalimat diatas, semua perlakuan PPN harus tunduk pada undang-undang pajak yang berlaku.

Menurut Pemohon Banding sesuai dengan Pasal 13 ayat 7(i)(a) dari Kontrak

Karya, telah diatur secara khusus, tegas, dan jelas mengenai perlakuan PPN terhadap emas murni batang tuangan, yang antara lain memuat hal-hal sebagai berikut : - Bahwa PT. XXX harus mendaftarkan diri sebagai Pengusaha Kena Pajak; - Bahwa PPN harus dikenakan atas penjualan produksi PT. XXX di dalam

negeri, termasuk tetapi tidak terbatas kepada dore bullion dengan tarip 10% dari harga jual atau tarip lain sesuai dengan undang-undang pajak dan peraturan-peraturan yang berlaku;

- Bahwa PPN sebesar 0% harus dikenakan atas penjualan ekspor dari hasil produksi PT. XXX.

Pasal 13 ayat 7(i)(a) tidak merujuk pada satu Undang-Undang PPN tertentu,

maka hal ini menunjukkan bahwa pengaturan masalah PPN diatur secara berdiri sendiri sebagaimana tertuang di dalam Pasal 13 ayat 7(i)(a) tsb. Dengan sifat "lex specialis" dari Kontrak Karya, maka ketentuan di dalam Pasal 13 ayat 7(i)(a) akan tetap berlaku, meskipun Undang-Undang PPN dan peraturan pelaksanaannya mengalami perubahan. Namun demikian, khusus menyangkut tarif PPN, pasal 13 ayat 7(1)(a) mengatur bahwa tarif PPN yang 10% dapat berubah apabila undang-undang PPN atau peraturan yang berlaku merubah tarif tersebut. Dengan demikian, ketentuan bahwa emas batangan merupakan Barang Kena Pajak tidak akan berubah meskipun undang-undang PPN yang berlaku mengatur berbeda, yang dapat berubah adalah tarif PPN untuk penjualan dalam negeri yaitu mengikuti pengaturan Undang - Undang PPN yang berlaku.

Apabila satu pasal di dalam Kontrak Karya dimaksudkan untuk mengikuti

peraturan yang berlaku dari waktu ke waktu, maka di dalam pasal dari Kontrak Karya tersebut secara tegas disebutkan demikian, contohnya pasal 13 ayat 9(ii) dan (iii) dan pasal 13 ayat 7(ii).

Pasal 13 ayat 9 :

i. Barang-barang lain termasuk milik pribadi akan tunduk kepada peraturan-peraturan pajak impor yang berlaku.

ii. Cukai atas tembakau dan minuman keras tunduk kepada ketentuan perpajakan sesuai dengan Undang- Undang yang berlaku.

Pasal 13 ayat 7(ii) : "Sejak didaftarkan sebagai pengusaha kena pajak kelebihan dari pajak PPN

sebagaimana terlihat dalam Risalah pengembalian Pajak yang dibuat Perusahaan dengan Direktorat Jenderal Pajak akan dibayar kembali oleh

Pemerintah kepada perusahaan sesuai dengan Undang- Undang dan peraturan peraturan perpajakan yang berlaku."

Dengan demikian, dari uraian di atas nampak jelas bahwa ketentuan Pasal 13

ayat 7(i)(a) yang bersifat "lex specialis" mengatur secara khusus bahwa barang hasil produksi PT. XXX adalah Barang Kena Pajak. Sementara untuk proses pengembalian kelebihan pembayaran PPN, Kontrak Karya Pasal 13 ayat 7(ii) mengatur bahwa tata cara dan prosedur pengembalian kelebihan bayar PPN mengikuti Undang-Undang dan peraturan perpajakan yang berlaku dari waktu ke waktu. Justru disini nampak bahwa memang dalam hal proses restitusi kelebihan bayar PPN, Kontrak Karya mengatur untuk mengikuti Undang-Undang dan peraturan perpajakan yang berlaku.

4. Atas tanggapan dari pihak Terbanding bahwa Pemohon Banding telah

membebankan pajak masukannya sehingga pajak masukannya tidak dapat kreditkan, Pemohon Banding telah memberikan penjelasan melalui surat No. JA0-ek/NMR/X/11-14 pada tanggal 10 Oktober 2011 bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan pendapat Terbanding dengan alasan:

Menurut Pemohon Banding koreksi beda waktu sebesar USD 399,940.72 untuk

tahun 2000 dan sebesar USD 440,208 untuk tahun 2001 tidak berkaitan sama sekali dengan provisi atas biaya reklamasi. Adapun Biaya Pajak Tidak Langsung (PPN) tersebut adalah berkaitan dengan koreksi PPN Masukan tahun 1997, 1998, 1999 dan tahun 2000 yang oleh pihak Kantor Pajak (KPP PMA III) pada tahun 2000 dan 2001, telah ditetapkan sebagai PPN yang tidak dapat dikreditkan karena berbagai sebab seperti Faktur Pajak Cacat, Jawaban Konfirmasi Negatif, Faktur Pajak Asli tidak ada, dsb. (Copy SPT PPh Badan tahun 2000 dan 2001 telah disampaikan pada sidang tanggal 28 September 2011)

Pada saat menyiapkan SPT PPh Badan tahun 2000 dan 2001 Pemohon Banding

berpendapat, karena saat timbulnya kepastian bahwa Pajak Masukan tahun 1997 –tahun 2000 tersebut diatas tidak dapat dikreditkan adalah di tahun 2000 dan 2001, maka di tahun 2000 dan 2001 timbul biaya PPN bagi Pemohon Banding (sebagaimana diketahui, berdasarkan pasal 6(1)(a) dari Undang-Undang No. 17 tahun 2000, biaya PPN merupakan biaya yang dapat dikurangkan dalam menghitung PPh Badan). Oleh karena itu, untuk keperluan akuntansi dan perpajakan, kerugian tersebut harus di bebankan sebagai biaya di tahun timbulnya kepastian kerugian tersebut (yaitu tahun 2000 dan 2001).

Lebih lanjut, dalam pemeriksaan PPh Badan tahun 2000 dan 2001, pihak Kantor

Pajak juga telah melakukan koreksi positif atas biaya PPN tersebut (tidak menyetujui pembebanan biaya PPN tersebut).Menanggapi koreksi tersebut pihak Pemohon Banding telah melakukan proses proses keberatan.

Sengketa pajak ini (koreksi positif atas biaya PPN) telah diputus dalam proses

Banding, dimana Majelis Hakim mengeluarkan Putusan menolak permohonan banding Pemohon Banding untuk tahun pajak tahun 2000 dan 2001 atas pembebanan Biaya PPN tersebut. (Copy Laporan Pemeriksaan Pajak, copy Surat Keberatan, copy Surat Permohonan Banding dan Putusan Pengadilan Pajak telah disampaikan pada sidang tanggal 28 September 2011)

Oleh karena itu menurut Pemohon Banding koreksi beda waktu atas biaya PPN

untuk tahun 2000 dan 2001 atas biaya PPN telah dikoreksi (tidak diterima sebagai Biaya) oleh Kantor Pajak dan keputusan tersebut kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Pajak. Disini juga nampak jelas bahwa biaya PPN tahun 2000 dan tahun 2001 yang dipermasalahkan oleh Pihak Terbanding sama sekali tidak terkait dengan provisi biaya reklamasi (karena biaya reklamasi yang berbentuk provisi memang tidak mengandung unsur PPN didalamnya). "

bahwa selanjutnya menurut Pemohon Banding sesuai dengan sifat dari industri

pertambangan terdapat kewajiban bagi pengelola pertambahan untuk melakukan reklamasi dan penutupan tambang, setelah kegiatan produksi berakhir.

bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis atas data yang ada dalam berkas banding

serta penjelasan Terbanding dan Pemohon Banding yang terungkap dalam persidangan Majelis berpendapat sebagai berikut :

bahwa ketentuan Pasal 4A ayat (2) huruf d Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983

sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 menyebutkan “Penetapan jenis barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas kelompok-kelompok barang sebagai berikut : d. uang, emas batangan, dan surat-surat berharga”;

bahwa selanjutnya berdasarkan pemeriksaan Majelis atas Kontrak Karya antara Pemerintah Republik Indonesia dengan PT. XXX tanggal 2 Desember 1986, diperoleh petunjuk bahwa Pasal 13 ayat (7) huruf (i)(a) menyatakan sebagai berikut :

“Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas pembelian dan penjualan Barang Kena Pajak.

(i) Perusahaan harus didaftarkan sebagai Pengusaha Kena Pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai dan dengan demikian Pajak Pertambahan Nilai harus dikenakan pada : (a) Penjualan produk-produk di dalam negeri termasuk tetapi tidak terbatas

kepada dore bullion dengan tarif 10% (sepuluh persen) dari harga jual atau tarif lain sesuai dengan Undang-undang pajak dan peraturan-peraturan yang berlaku, dan untuk penjualan ekspor atas hasil produksi dengan tarif 0% (nol persen) dari harga jual.

bahwa kontrak karya antara Pemerintah Republik Indonesia dengan PT XXX tanggal

2 Desember 1986 tersebut di atas masih berlaku sampai sekarang; bahwa selanjutnya ketentuan Pasal II huruf b Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983

sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (ketentuan Pasal II huruf b tidak ada perubahan sehingga tetap memakai teks Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994) menyebutkan :

Dengan berlakunya Undang-undang ini :

a. pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, tetap dihitung berdasarkan ketentuan dalam Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan tersebut sampai dengan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan berakhir.

bahwa selanjutnya berdasarkan pemeriksaan Majelis atas peraturan pelaksanaan

sebagai berikut :

Surat Menteri Keuangan R.I. Nomor : S-1032/MK.4/1988 tanggal 15 September 1988 menjelaskan sebagai berikut :

bahwa Kontrak Karya Pertambangan hendaknya diberlakukan/dipersamakan dengan Undang-undang, oleh karena itu ketentuan perpajakan yang diatur dalam Kontrak Karya diberlakukan secara khusus (special treatment/lex specialis).

Dengan perkataan lain, Undang-undang Perpajakan berlaku secara umum kecuali diatur secara khusus dalam Kontrak Karya ;

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-34/PJ.22/1988 tanggal 1

Oktober 1988 menjelaskan sebagai berikut :

bahwa sesuai dengan Surat Menteri Keuangan R.I. Nomor : S-1032 /MK.4/1988 tanggal 15 September 1988, maka ketentuan perpajakan yang diatur dalam Kontrak Karya Pertambangan yang telah disetujui oleh Pemerintah diberlakukan secara khusus (special treatment/lex specialis).

Dengan perkataan lain, Undang-undang Perpajakan berlaku secara umum

kecuali diatur secara khusus dalam Kontrak Karya yang telah disetujui oleh Pemerintah tersebut ;

Surat Menteri Keuangan R.I. Nomor : S-1427/MK.01/1992 tanggal 25 November

1992 menjelaskan sebagai berikut :

bahwa sehubungan dengan Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Batubara antara PN Tambang Batubara dengan PT Prima Coal, dengan ini diberitahukan bahwa Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Batubara yang telah mendapat persetujuan DPR dan Presiden, berlaku sama/dipersamakan dengan Undang-undang. Oleh karena itu, ketentuan perpajakan yang diatur dalam perjanjian di bidang pertambangan Batubara diberlakukan secara khusus (special treatment/lex specialis).

Dengan demikian, Undang-undang Perpajakan berlaku secara umum, kecuali diatur secara khusus dalam Perjanjian Kerja Pengusahaan Pertambangan Batubara ;

Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor : S-488/PJ.51.1/2000 tanggal 13 April

2000 menjelaskan sebagai berikut :

bahwa Kontrak Karya adalah sesuatu yang bersifat khusus (lex specialis), oleh karena itu apabila dalam perjanjian Kontrak Karya diatur secara khusus mengenai perlakuan PPN dan PPn BM maka yang berlaku adalah ketentuan yang diatur dalam Kontrak Karya. Untuk hal-hal yang tidak diatur dalam Kontrak Karya, berlaku Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 beserta peraturan pelaksanaannya ;

bahwa berdasarkan Surat Menteri Keuangan R.I. Nomor : S-1032/MK.4/1988 tanggal

15 September 1988, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-34/PJ.22/1988 tanggal 1 Oktober 1988, Surat Menteri Keuangan R.I. Nomor : S-1427/MK.01/1992 tanggal 25 November 1992 dan Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor : S-488/PJ.51.1/2000 tanggal 13 April 2000 tersebut Majelis berpendapat bahwa Kontrak Karya antara Pemerintah Republik Indonesia dengan PT. XXX tanggal 2 Desember 1986, bersifat khusus (lex specialis), sehingga ketentuan perpajakannya harus mengacu kepada Kontrak Karya tersebut ;

bahwa berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas Majelis berpendapat bahwa

pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, tetap dihitung berdasarkan ketentuan dalam Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan berakhir, sehingga Kontrak Karya antara Pemerintah Republik Indonesia dengan PT. XXX tanggal 2 Desember 1986 masih berlaku yaitu ekspor emas murni batang tuangan (dore bullion) sebagai Barang Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif sebesar 0% ;

bahwa berdasarkan data dan keterangan yang ada di dalam berkas banding serta

pemeriksaan dalam persidangan, terdapat cukup bukti yang dapat menyakinkan Majelis bahwa emas murni batang tuangan (dore bullion) yang diproduksi oleh Pemohon Banding dalam hal ini adalah merupakan Barang Kena Pajak sesuai dengan ketentuan dalam Kontrak Karya sehingga penjualan atau penyerahan emas murni batang tuangan (dore bullion) sebagai Barang Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif sebesar 0% ;

bahwa keyakinan Majelis di atas juga telah dikuatkan dengan putusan Mahkamah

Agung Republik Indonesia Reg. Nomor : 77/BPK/PJK/2007 tanggal 6 Mei 2010 mengenai Perkara Peninjauan Kembali Atas Putusan Pengadilan Pajak Nomor 09151/PP/M.III/16/2006 antara Direktur Jenderal Pajak melawan PT XXX dimana Mahamah Agung telah mengabulkan menolak permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Terbanding terkait dengan penjualan atau penyerahan emas murni batang tuangan (dore bullion);

bahwa selanjutnya dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983

tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 dinyatakan “Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama”;

bahwa dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang

Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 dinyatakan “Pajak Masukan tidak dapat dikeditkan menurut cara sebagaimana diatur dalam ayat (2) bagi pengeluaran untuk : perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha” ;

bahwa dalam penjelasan Pasal 9 ayat (8) huruf b Undang-undang Nomor 8 Tahun

1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 dinyatakan “yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan-kegiatan

produksi, distribusi, pemasaran dan manajemen. Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang usaha”;

bahwa sesuai dengan ketentuan di atas Majelis berpendapat karena emas murni

batang tuangan (dore bullion) yang diproduksi oleh Pemohon Banding merupakan Barang Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif sebesar 0%, maka apabila terdapat Faktur Pajak yang terkait dengan kegiatan produksi, distribusi, pemasaran dan manajemen, maka atas Faktur Pajak tersebut dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan;

bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis atas data yang ada dalam berkas banding

serta penjelasan kedua pihak dalam persidangan diperoleh petunjuk bahwa sejak Agustus 2004 Perusahaan Pemohon Banding sudah tidak lagi melakukan produksi;

bahwa dalam Pasal 26 Kontrak Karya antara Pemerintah Republik Indonesia dengan

PT. XXX tanggal 2 Desember 1986, mengenai Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan dinyatakan

1. Perusahaan sesuai dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan

Lingkungan Hidup dan suaka alam yang berlaku di Indonesia, harus melakukan kegiatannya sedemikian rupa untuk mengendalikan pemborosan atau kehilangan sumber daya alam, melindungi sumber daya alam terhadap kerusakan yang tidak perlu dan mencegah pencemaran dan pengotoran lingkungan dan secara umum memelihara kesehatan dan keselamatan pegawai-pegawainya dan peri kehidupan masyarakat setempat.Perusahaan juga bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian lingkungan alam secara layak dimana perusahaan beroperasi dan terutama sekali tidak akan melakukan tindakan yang mungkin menutup atau membatasi secara tidak perlu dan tidak wajar pengembangan lebih lanjut sumber daya daerah tersebut;”

2. Perusahaan harus memasukkan kedalam studi kelayakan setiap operasi pertambangannya suatu Studi Analisa Dampak Lingkungan untuk menganalisa pengaruh yang mungkin timbul akibat operasinya terhadap tanah, air, udara, sumberdaya, biologis dan pemukiman penduduk. Studi Lingkungan Hidup ini akan menguraikan tindakan-tindakan yang akan dilakukan perusahaan guna mengurangi pengaruh-pengaruh yang merugikan”

bahwa selanjutnya berdasarkan Surat Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya

Mineral No. 4274/87.03/DJG/2002 tanggal 31 Desember 2002 tentang Persetujuan Rencana Penutupan Tambang PT XXX dinyatakan .“.........sesuai peraturan dan ketentuan kontrak karya PT XXX Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral dapat menyetujui dokumen RPT PT XXX tersebut dengan ketentuan : 1. PT XXX Wajib melaksanakan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan pasca

tambang (pasca penutupan) sebagaimana tercantum pada dokumen RPT PT XXX;

2. PT XXX Wajib melaksanakan dan mengikuti petunjuk sebagaimana tercantum dalam bagian VII dari lampiran surat persetujuan ini;

3. PT XXX tetap bertanggung jawab dalam upaya pencegahan dan penanggulangan perusakan dan pencemaran lingkungan dari aral bekas tambang lokasi penempatan tailing dan daerah penunjang lainnya sampai ada persetujuan tertulis dari Direktur Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral yang membebaskan tanggungjawab tersebut;

bahwa selanjutnya dalam alinea VI angka 2 lampiran Persetujuan Rencana

Penutupan Tambang PT XXX di atas mengenai Jadwal Pelaksanaan dinyatakan “Pekerjaaan yang berkaitan dengan reklamasi seperti penataan kontur, pemasangan gubalan jerami, pencegahan/pemeriksaan erosi, stabilisasi geoteknik, penyebaran tanah pucuk, pemilihan spesies tanaman, revegetasi, pemeliharaan dan penyulaman dilakukan sejak kegiatan pertambangan masih aktif sampai dengan tambang dihentikan pada bulan Oktober 2001 dan terus dilaksanakan sampai bulan Desember 2004. Pemeliharaan daerah yang direklamasi akan dilanjutkan terus mulai bulan Januari 2005 sampai dengan bulan Desember 2006“

bahwa berdasarkan surat tersebut, nampak jelas bahwa kegiatan

reklamasi/rehabilitasi alam merupakan kewajiban bagi Pemohon Banding yang menjadi satu kesatuan dengan usaha pertambangan;

bahwa berdasasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No.

513.K/30/DJB/2011 tanggal 24 Maret 2011 tentang persetujuan penutupan Tambang PT XXX pada bagian Memutuskan dinyatakan :

“KESATU : memberikan persetujuan penutupan tambang PT XXX di areal

konsesi bekas lahan kegiatan pertambangan emas serta mineral pengikutnya seluas 452 hektar di Kabupaten Minahasa Tenggara

dan Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, Provinsi Sulawesi Utara;

KEDUA : Dengan diberikannya persetujuan penutupan tambang sebagaimana

dimaksud dalam Diktum Kesatu maka PT XXX wajib segera menyerahkan seluruh wilayah pinjam pake seluas 443.40 hektar kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan RI No. SK435/Menhut-II/2010 tanggal 29 Juli 2010

KETIGA : Dengan diberikannya persetujuan penutupan tambang pada diktum

Kesatu, PT XXX wajib segera mengajukan permohonan pengakhiran Kontrak Karya kepada Pemerintah sesuai dengan ketentuan dalam Kontrak Karya;

KEEMPAT : PT XXX wajib melakukan pengamanan terhadap wilayah seluas 452

Ha (sesuai dengan peta dan daftar koordinat yang diterbitkan oleh seksi informasi mineral dan batubara dengan kode wilayah 08PK0162 sebagaimana terlampir dalam lampiran Keputusan Manteri ini) sampai terbitnya pengakhiran Kontrak Karya

bahwa berdasarkan Surat Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No.

513.K/30/DJB/2011 tanggal 24 Maret 2011 tersebut terlihat bahwa Kontrak Karya antara Pemerintah Indonesia dengan Pemohon Banding belum berakhir ;

bahwa selanjutnya berdasarkan foto-foto wilayah yang telah direklamasi oleh

Pemohon Banding dari tahun 2001 s/d 2010 diperoleh gambaran mengenai progres dari reklamasi yang telah dilakukan oleh Pemohon Banding dari tahun ke tahun ;

bahwa selanjutnya terkait dengan pernyataan Terbanding bahwa Pemohon Banding

telah membebankan Pajak Masukannya sehingga Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan, Majelis berpendapat koreksi beda waktu sebesar USD 399,940.72 untuk tahun 2000 dan sebesar USD 440,208 untuk tahun 2001 tidak berkaitan sama sekali dengan provisi atas biaya reklamasi. melainkan berkaitan dengan koreksi PPN Masukan tahun 1997, 1998, 1999 dan tahun 2000 yang oleh pihak Tebanding pada tahun 2000 dan 2001, telah ditetapkan sebagai PPN yang tidak dapat dikreditkan karena berbagai sebab seperti Faktur Pajak Cacat, Jawaban Konfirmasi Negatif, Faktur Pajak Asli tidak ada, dan sebagainya

bahwa berdasarkan uraian serta penjelasan kedua belah pihak dalam persidangan

terdapat data yang cukup meyakinkan Majelis bahwa proses reklamasi yang dilakukan pasca penutupan tambang masih berkaitan langsung dengan kegiatan usaha Pemohon Banding;

bahwa selanjutnya berdasarkan pemeriksaan Majelis atas data yang ada dalam

berkas banding diperoleh petunjuk bahwa selama masa Mei 2009 Pemohon Banding telah melakukan pembelian Barang Kena Pajak/ pemanfaatan Jasa Kena Pajak yang terkait dengan reklamasi yang dilakukan oleh Pemohon Banding sebesar Rp.213.596.069,00

bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis atas Faktur Pajak Masa Pajak Mei 2009,

SPM PPN Masa Pajak Mei 2009 dan bukti Surat Setoran Pajaknya diperoleh petunjuk bahwa harga barang dan Pajak Pertambahan Nilai yang terdapat didalam Faktur Pajak tersebut telah dibayar lunas oleh Pemohon Banding kepada Pengusaha Kena Pajak Penjual serta telah dilaporkan dalam SPM PPN Masa Pajak Mei 2009;

bahwa karena biaya reklamasi terkait langsung dengan kegiatan usaha Pemohon

Banding dan penyerahan emas murni batang tuangan (dore bullion) juga Barang Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif sebesar 0% maka Majelis berpendapat atas Faktur Pajak yang terkait dengan reklamasi yang dilakukan oleh Pemohon Banding sebesar Rp.213.596.069,00 dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan;

bahwa berdasarkan uraian di atas Majelis berpendapat bahwa koreksi positip

Terbanding atas Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebesar Rp.213.596.069,00 tidak mempunyai dasar dan alasan yang kuat sehingga tidak dapat dipertahankan;

Menimbang, bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai

tarif pajak;

Menimbang : bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai sanksi administrasi kecuali besarnya sanksi administrasi tergantung pada penyelesaian sengketa lainnya;

Menimbang : atas hasil pemeriksaan dalam persidangan, Majelis berkesimpulan untuk

mengabulkan seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding sehingga Pajak yang dapat diperhitungkan Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak Mei 2009 dihitung kembali dengan perhitungan sebagai berikut :

Pajak yang dapat diperhitungkan menurut Keputusan Rp 0,00

Koreksi yang tidak dapat dipertahankan Rp.213.596.069,00

Pajak yang dapat diperhitungkan menurut Majelis Rp.213.596.069,00

Mengingat : Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dan ketentuan

perundang-undangan lainnya serta peraturan hukum yang berlaku dan yang berkaitan dengan ini;

Memutuskan : Menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding

terhadap Keputusan Terbanding Nomor : KEP-2412/WPJ.04/2010 tanggal 12 Oktober 2010, tentang keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Nihil Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak Mei 2009 Nomor : 00004/507/09/063/10 tanggal 25 Januari 2010 atas nama : PT. XXX, sehingga Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak Mei 2009 dihitung kembali menjadi sebagai berikut :

Dasar Pengenaan Pajak Rp 0,00

Jumlah Pajak Keluaran yang dipungut sendiri Rp 0,00

Pajak yang dapat diperhitungkan Rp 213.596.069,00

Pajak Pertambahan Nilai yang lebih dibayar Rp 213.596.069,00