33615704 herpes zoster

21
BAB I PENDAHULUAN Herpes zoster atau shingles, dampa atau cacar ular telah dikenal sejak zaman Yunani kuno. Herpes zoster disebabkan oleh infeksi virus yang sama dengan varisela, yaitu virus varisela zoster (VZV). Infeksi ini merupakan reaktivasi virus varisela zoster dari infeksi endogen yang telah menetap dalam bentuk laten setelah infeksi primer oleh virus. Herpes zoster ditandai dengan adanya nyeri hebat unilateral serta timbulnya lesi vesikuler yang terbatas pada dermatom yang dipersarafi serabut saraf spinal maupun ganglion serabut saraf sensorik dan nervus kranialis. 1,2 Insiden herpes zoster tersebar merata di seluruh dunia, tidak ada perbedaan angka kesakitan antara pria dan wanita. Angka kesakitan meningkat dengan peningkatan usia. Diperkirakan terdapat antara 2-5 per 1000 orang per tahun. Lebih dari 2/3 kasus berusia di atas 50 tahun dan kurang dari 10% kasus berusia di bawah 20 tahun. 3 Patogenesis herpes zoster belum seluruhnya diketahui. Selama terjadi varisela, virus varisela zoster berpindah tempat dari lesi kulit dan permukaan mukosa ke ujung saraf sensorik dan ditransportasikan secara sentripetal melalui serabut saraf sensoris ke ganglion sensoris. Pada ganglion terjadi infeksi laten, virus tersebut tidak lagi menular dan tidak bermultiplikasi, tetapi tetap mempunyai kemampuan untuk berubah 1

Upload: nanda-citra-hafina

Post on 28-Oct-2015

35 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

herpes zooster

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

Herpes zoster atau shingles, dampa atau cacar ular telah dikenal sejak zaman

Yunani kuno. Herpes zoster disebabkan oleh infeksi virus yang sama dengan varisela,

yaitu virus varisela zoster (VZV). Infeksi ini merupakan reaktivasi virus varisela zoster

dari infeksi endogen yang telah menetap dalam bentuk laten setelah infeksi primer oleh

virus. Herpes zoster ditandai dengan adanya nyeri hebat unilateral serta timbulnya lesi

vesikuler yang terbatas pada dermatom yang dipersarafi serabut saraf spinal maupun

ganglion serabut saraf sensorik dan nervus kranialis.1,2

Insiden herpes zoster tersebar merata di seluruh dunia, tidak ada perbedaan

angka kesakitan antara pria dan wanita. Angka kesakitan meningkat dengan

peningkatan usia. Diperkirakan terdapat antara 2-5 per 1000 orang per tahun. Lebih dari

2/3 kasus berusia di atas 50 tahun dan kurang dari 10% kasus berusia di bawah 20

tahun.3

Patogenesis herpes zoster belum seluruhnya diketahui. Selama terjadi varisela,

virus varisela zoster berpindah tempat dari lesi kulit dan permukaan mukosa ke ujung

saraf sensorik dan ditransportasikan secara sentripetal melalui serabut saraf sensoris ke

ganglion sensoris. Pada ganglion terjadi infeksi laten, virus tersebut tidak lagi menular

dan tidak bermultiplikasi, tetapi tetap mempunyai kemampuan untuk berubah menjadi

infeksius. Herpes zoster pada umumnya terjadi pada dermatom sesuai dengan lokasi

ruam varisela yang terpadat. Aktivasi virus varisela zoster laten diduga karena keadaan

tertentu yang berhubungan dengan imunosupresi, dan imunitas selular merupakan

faktor penting untuk pertahanan pejamu terhadap infeksi endogen.3,4

Infeksi pada mata terjadi jika reaktivasi virus berada pada ganglion sensoris

dari nervus trigeminus (N.V), meskipun masuknya virus dari luar juga mungkin dapat

terjadi. Reaktivasi terjadi saat imunitas seluler terhadap virus menurun. Penyakit ini

jarang ditemukan pada anak-anak, tetapi terjadi konstan pada usia 20-50 tahun dan

lebih tinggi pada usia >60 tahun. Faktor risiko lainnya adalah pengobatan dengan

1

kortikosteroid, terapi radiasi, imunosupresi, transplantasi organ dan penyakit sistemik

seperti SLE, AIDS, leukemia, atau lymphoma. Pada orang dewasa muda lebih sering

terjadi reaktivasi dikarenakan penggunaan obat imunosupresif dan meningkatnya AIDS

pada usia ini. Oleh sebab itu, karena herpes zoster dapat terjadi pada orang dengan

AIDS, maka tes sindroma ini diindikasikan pada pasien dibawah 50 tahun.5

Komplikasi herpes zoster dapat terjadi pada 10-15% kasus, komplikasi yang

terbanyak adalah neuralgia paska herpetik yaitu berupa rasa nyeri yang persisten

setelah krusta terlepas. Komplikasi jarang terjadi pada usia di bawah 40 tahun, tetapi

hampir 1/3 kasus terjadi pada usia di atas 60 tahun. Penyebaran dari ganglion yang

terkena secara langsung atau lewat aliran darah sehingga terjadi herpes zoster

generalisata. Hal ini dapat terjadi oleh karena defek imunologi karena keganasan atau

pengobatan imunosupresi.4

Secara umum pengobatan herpes zoster mempunyai 3 tujuan utama yaitu:

mengatasi infeksi virus akut, mengatasi nyeri akut yang ditimbulkan oleh virus herpes

zoster dan mencegah timbulnya neuralgia paska herpetik. Prognosis umumnya baik

tergantung pada factor predisposisi yang mendasari. Pada herpes zoster oftalmikus

prognosis tergantung pada perawatan dan pengobatan secara dini.6

2

BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien

Nama : Nn. C.

Jenis kelamin : Perempuan

Usia : 19 tahun

Alamat : Jl Perunggu RT 02 No 15

Pekerjaan : Pelajar

No RM : 10904803

Tanggal pemeriksaan : 16 Juni 2010

2.2 Anamnesis

Keluhan utama : Nyeri dan panas di wajah (pelipis kanan)

Pasien mengeluh nyeri dan terasa panas di wajah (pelipis kanan) dan

muncul bentol-bentol berisi cairan sejak ± 3 hari yang lalu. Awalnya timbul bintik-

bintik kecil, tetapi setelah minum obat dari Puskesmas (acyclovir, parasetamol,

dan salep acyclovir), bintil menjadi besar sehingga pelipis kanan menjadi

bengkak dan mata kanan sulit membuka. Pasien tidak mengeluh demam.

Riwayat penyakit dahulu:

Pasien menyangkal pernah sakit cacar air sebelumnya.

Riwayat keluarga :

Kakak pasien sakit serupa ± 7 hari yang lalu. Muncul bentol-bentol di

sekitar kepala, berair, dan belum sembuh sampai sekarang.

3

2.3 Status Dermatologis

Lokasi : temporal kanan

Distribusi : terlokalisir di temporal kanan (unilateral)

Efloresensi : vesiculae bergerombol, sebagian ada vesikel konfluen dengan

dasar eritematous, tepi ireguler, batas tegas, disertai krustae.

Diantara gerombolan vesiculae, kulitnya sehat.

2.4 Status generalis

KU : tampak sakit ringan

Kepala/Leher : anemis (-), ikterus (-), kaku kuduk (-), pembesaran kgb (+)

preaurikuler

Thorax : tidak dilakukan pemeriksaan

Abdomen : tidak dilakukan pemeriksaan

Extremitas : akral hangat, edema (-)

4

2.5 Diagnosis banding

Herpes Zoster Ophtalmicus Dextra

Varisela

Imprtigo Bulosa

2.6 Pemeriksaan penunjang

Tzanck smear : ditemukan multinuclear giant cell

5

2.7 Diagnosis

Herpes Zoster Ophtalmicus Dextra

2.8 Terapi

Kausatif : Acyclovir 5x800 mg 6 hari

Simptomatik : Asam Mefenamat 3x500 mg 5 hari

Suportif : Hindari menggaruk

Menjaga agar tetap bersih, kering dan tidak terjadi

infeksi sekunder oleh bakteri

2.9 . Follow Up

Kontrol 3 hari lagi untuk mengevaluasi keluhan pasien dan kemajuan penyakit

(keluhan subyektif dan tanda obyektif)

2.10 KIE

Menjelaskan tentang penyakit pasien

Menjelaskan faktor penyebab dan faktor yang mempengaruhi timbulnya

penyakit

Menjelaskan tentang terapi dan aturan penggunaan

Menjelaskan tentang komplikasi dan prognosa

6

BAB III

PEMBAHASAN

Pasien Nn. C. datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSSA pada tanggal 16

Juni 2010 dengan keluhan utama nyeri dan terasa panasdisertai bentol-bentol berisi

cairan pada pelipis kanan. Pasien didiagnosa dengan Herpes Zoster Ophtalmicus

Dextra. Diagnose diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan

tambahan sederhana.

3.1 Etiologi

Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan infeksi virus varisela zoster

yang menyerang kulit dan mukosa. Infeksi ini merupakan reaktivasi virus varisela zoster

dari infeksi endogen yang telah menetap dalam bentuk laten setelah infeksi primer oleh

virus. Kadang-kadang infeksi primer berlangsung subklinis. Frekuensi penyakit pada

pria dan wanita sama, lebih sering mengenai usia dewasa.6

Virus varisela zoster (VZV) tergolong virus berinti DNA, virus ini berukuran 140-

200 nm, yang termasuk subfamili alfa herpes viridae. Berdasarkan sifat biologisnya

seperti siklus replikasi, penjamu, sifat sitotoksik dan sel tempat hidup laten

diklasifikasikan kedalam 3 subfamili yaitu alfa, beta dan gamma. VZV dalam subfamili

alfa mempunyai sifat khas menyebabkan infeksi primer pada sel epitel yang

menimbulkan lesi vaskuler. Selanjutnya setelah infeksi primer, infeksi oleh virus herpes

alfa biasanya menetap dalam bentuk laten didalam neuron dari ganglion. Virus yang

laten ini pada saatnya akan menimbulkan kekambuhan secara periodik. Secara in vitro

virus herpes alfa mempunyai jajaran penjamu yang relatif luas dengan siklus

pertumbuhan yang pendek serta mempunyai enzim yang penting untuk replikasi

meliputi virus spesifik DNA polimerase dan virus spesifik deoxypiridine (thymidine)

kinase yang disintesis di dalam sel yang terinfeksi.7

7

3.2 Patogenesis

Infeksi primer dari VZV ini pertama kali terjadi di daerah nasofaring. Disini virus

mengadakan replikasi dan dilepas ke darah sehingga terjadi viremia permulaan yang

sifatnya terbatas dan asimptomatik. Keadaan ini diikuti masuknya virus ke dalam

Reticulo Endothelial System (RES) yang kemudian mengadakan replikasi kedua yang

sifat viremia nya lebih luas dan simptomatik dengan penyebaran virus ke kulit dan

mukosa. Sebagian virus juga menjalar melalui serat-serat sensoris ke satu atau lebih

ganglion sensoris dan berdiam diri atau laten didalam neuron. Virus berdiam diri di

ganglion posterior saraf tepid an ganglion kranialisSelama antibodi yang beredar

didalam darah masih tinggi, reaktivasi dari virus yang laten ini dapat dinetralisir, tetapi

pada saat tertentu dimana antibodi tersebut turun dibawah titik kritis maka terjadilah

reaktivasi dari virus sehingga terjadi herpes zoster.6,8,9

Herpes Zoster Ophtalmicus (HZO) terjadi sekitar 10-15% dari kasus Zoster.

HZO terjadi karena virus menginvasi ganglion Gasserian. Untuk alasan yang belum

jelas, keterlibatan cabang ophtalmicus (N. V1) 5 kali lebih sering daripada keterlibatan

dari cabang maksilaris (N. V2) atau cabang mandibularis (N. V3).10

3.3 Gejala Klinis

Gejala prodromal herpes zoster biasanya berupa rasa sakit dan parestesi pada

dermatom yang terkena. Gejala ini terjadi beberapa hari menjelang timbulnya erupsi.

Gejala konstitusi, seperti sakit kepala, malaise, dan demam, terjadi pada 5% penderita

(terutama pada anak-anak) dan timbul 1-2 hari sebelum terjadi erupsi.

Gambaran yang paling khas pada herpes zoster adalah erupsi yang lokalisata dan

unilateral. Jarang erupsi tersebut melewati garis tengah tubuh. Umumnya lesi terbatas

pada daerah kulit yang dipersarafi oleh salah satu ganglion saraf sensorik.

Erupsi mulai dengan eritema makulopapular. Dua belas hingga dua puluh empat jam

kemudian terbentuk vesikula yang dapat berubah menjadi pustula pada hari ketiga.

Seminggu sampai sepuluh hari kemudian, lesi mengering menjadi krusta. Krusta ini

dapat menetap menjadi 2-3 minggu. Keluhan yang berat biasanya terjadi pada

penderita usia tua. Pada anak-anak hanya timbul keluhan ringan dan erupsi cepat

menyembuh. Rasa sakit segmental pada penderita lanjut usia dapat menetap, walaupun

8

krustanya sudah menghilang. Frekuensi herpes zoster menurut dermatom yang

terbanyak pada dermatom torakal (55%), kranial (20%), lumbal (15%), dan sakral

(5%).6,11 Kelainan pada wajah diakibatkan oleh gangguan nervus trigeminus (dengan

ganglion gaseri) yang salah satu gejalanya adalah herpes zoster ophtalmicus atau

nervus fasialis dan otikus (dari ganglion genikulatum) yang disebut Ramsay Hunt

Sindrom.

Pada Herpes zoster oftalmikus ditandai erupsi herpetic unilateral pada kulit.

Gejala prodromal seperti lesu, demam ringan, mual muntah dapat timbul. Gejala

prodromal berlangsung 1 sampai 4 hari sebelum kelainan kulit timbul. Tanda iritasi

meningeal seperti kaku kuduk juga dapat timbul. Selain itu timbul juga gejala fotofobia,

banyak keluar air mata, kelopak mata bengkak dan sukar dibuka karena perjalanan

cabang dari nervus ophtalmicus yang member cabang ke nervus Arnold rekuren dan N

III dan N VI.7

3.4 Diagnosis dan Pemeriksaan Klinis

Diagnosis herpes zoster pada anamnesis didapatkan keluhan berupa neuralgia

beberapa hari sebelum atau bersama-sama dengan timbulnya kelainan kulit.

Adakalanya sebelum timbul kelainan kulit didahului gejala prodromal seperti demam,

pusing dan malaise. Kelainan kulit tersebut mula-mula berupa eritema kemudian

berkembang menjadi papula dan vesikula yang dengan cepat membesar dan menyatu

sehingga terbentuk bula. Isi vesikel mula-mula jernih, setelah beberapa hari menjadi

keruh dan dapat pula bercampur darah. Jika absorbsi terjadi, vesikel dan bula dapat

menjadi krusta. Dalam stadium pra erupsi, penyakit ini sering dirancukan dengan

penyebab rasa nyeri lainnya, misalnya pleuritis, infark miokard, kolesistitis, apendisitis,

kolik renal, dan sebagainya. Namun bila erupsi sudah terlihat, diagnosis mudah

ditegakkan. Karakteristik dari erupsi kulit pada herpes zoster terdiri atas vesikel-vesikel

berkelompok, dengan dasar eritematosa, unilateral, dan mengenai satu dermatom.7,9,10

Secara laboratorium, pemeriksaan sediaan apus tes Tzanck membantu

menegakkan diagnosis dengan menemukan sel datia berinti banyak. Demikian pula

pemeriksaan cairan vesikula atau material biopsi dengan mikroskop elektron, serta tes

serologik. Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan sebukan sel limfosit yang

9

mencolok, nekrosis sel dan serabut saraf, proliferasi endotel pembuluh darah kecil,

hemoragi fokal dan inflamasi bungkus ganglion. Partikel virus dapat dilihat dengan

mikroskop elektron dan antigen virus herpes zoster dapat dilihat secara

imunofluoresensi. Apabila gejala klinis sangat jelas tidaklah sulit untuk menegakkan

diagnosis. Akan tetapi pada keadaan yang meragukan diperlukan pemeriksaan

penunjang antara lain:

1. Isolasi virus dengan kultur jaringan dan identifikasi morfologi dengan

mikroskop elektron

2. Pemeriksaan antigen dengan imunofluoresen

3. Tes serologi dengan mengukur imunoglobulin spesifik.11

3.5 Diagnosis Banding

Herpes simpleks

Herpes simpleks ditandai dengan erupsi berupa vesikel yang bergerombol, di atas dasar

kulit yang kemerahan. Sebelum timbul vesikel, biasanya didahului oleh rasa gatal atau

seperti terbakar yang terlokalisasi, dan kemerahan pada daerah kulit. Herpes simpleks

terdiri atas 2, yaitu tipe 1 dan 2. Lesi yang disebabkan herpes simpleks tipe 1 biasanya

ditemukan pada bibir, rongga mulut, tenggorokan, dan jari tangan. Lokalisasi penyakit

yang disebabkan oleh herpes simpleks tipe 2 umumnya adalah di bawah pusat,

terutama di sekitar alat genitalia eksterna.

Varisela

Gejala klinis berupa papul eritematosa yang dalam waktu beberapa jam berubah

menjadi vesikel. Bentuk vesikel ini seperti tetesan embun (tear drops). Vesikel akan

berubah menjadi pustul dan kemudian menjadi krusta. Lesi menyebar secara sentrifugal

dari badan ke muka dan ekstremitas.

Impetigo vesiko-bulosa

Terdapat lesi berupa vesikel dan bula yang mudah pecah dan menjadi krusta. Tempat

predileksi di ketiak, dada, punggung dan sering bersamaan dengan miliaria. Penyakit ini

lebih sering dijumpai pada anak-anak.

10

3.6 Penatalaksanaan

Penatalaksaan herpes zoster bertujuan untuk:

1. Mengatasi infeksi virus akut

2. Mengatasi nyeri akut yang ditimbulkan oleh virus herpes zoster

3. Mencegah timbulnya neuralgia pasca herpetik.6

Pengobatan Umum

Selama fase akut, pasien dianjurkan tidak keluar rumah, karena dapat

menularkan kepada orang lain yang belum pernah terinfeksi varisela dan orang dengan

defisiensi imun. Usahakan agar vesikel tidak pecah, misalnya jangan digaruk dan pakai

baju yang longgar. Untuk mencegah infeksi sekunder jaga kebersihan badan.8

Pengobatan Khusus

1. Obat Antivirus

Obat yang biasa digunakan ialah asiklovir dan modifikasinya, misalnya valasiklovir dan

famsiklovir. Asiklovir bekerja sebagai inhibitor DNA polimerase pada virus. Asiklovir

dapat diberikan peroral ataupun intravena. Asiklovir Sebaiknya pada 3 hari pertama

sejak lesi muncul. Dosis asiklovir peroral yang dianjurkan adalah 5×800 mg/hari selama

7 hari, sedangkan melalui intravena biasanya hanya digunakan pada pasien yang

imunokompromise atau penderita yang tidak bisa minum obat. Obat lain yang dapat

digunakan sebagai terapi herpes zoster adalah valasiklovir. Valasiklovir diberikan

3×1000 mg/hari selama 7 hari, karena konsentrasi dalam plasma tinggi. Selain itu

famsiklovir juga dapat dipakai. Famsiklovir juga bekerja sebagai inhibitor DNA

polimerase. Famsiklovir diberikan 3×200 mg/hari selama 7 hari.12,13

2. Analgetik

Analgetik diberikan untuk mengurangi neuralgia yang ditimbulkan oleh virus herpes

zoster. Obat yang biasa digunakan adalah asam mefenamat. Dosis asam mefenamat

adalah 1500 mg/hari diberikan sebanyak 3 kali, atau dapat juga dipakai seperlunya

ketika nyeri muncul.12,13

11

3. Kortikosteroid

Indikasi pemberian kortikostreroid ialah untuk Sindrom Ramsay Hunt. Pemberian harus

sedini mungkin untuk mencegah terjadinya paralisis. Yang biasa diberikan ialah

prednison dengan dosis 3×20 mg/hari, setelah seminggu dosis diturunkan secara

bertahap. Dengan dosis prednison setinggi itu imunitas akan tertekan sehingga lebih

baik digabung dengan obat antivirus.6

Pengobatan topikal

Pengobatan topikal bergantung pada stadiumnya. Jika masih stadium vesikel diberikan

bedak dengan tujuan protektif untuk mencegah pecahnya vesikel agar tidak terjadi

infeksi sekunder. Bila erosif diberikan kompres terbuka. Kalau terjadi ulserasi dapat

diberikan salap antibiotik.6

Pada HZO dibutuhkan pengobatan yang agresif dan monitoring karena

kemungkinan keterlibatan infeksi mata. Keterlibatan infeksi pada mata terjadi pada

setengah dari herpes zoster ophtalmicus. Secara sederhana, keterlibatan mata ditandai

dengan adanya vesikel pada ujung hibung karena keterlibatan cabang nasociliar

(hukum Hutchinson).10

3.7 Komplikasi

Neuralgia paska herpetik

Neuralgia paska herpetik (PHN) adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas

penyembuhan. Neuralgia ini dapat berlangsung selama berbulan-bulan sampai

beberapa tahun. Keadaan ini cenderung timbul pada umur diatas 40 tahun,

persentasenya 10-15 % dengan gradasi nyeri yang bervariasi. Semakin tua umur

penderita maka semakin tinggi persentasenya. Pada HZO, kejadian PHN lebih sering

daripada manifestasi zoster yang lain.

Infeksi sekunder

12

Pada penderita tanpa disertai defisiensi imunitas biasanya tanpa komplikasi. Sebaliknya

pada yang disertai defisiensi imunitas, infeksi H.I.V., keganasan, atau berusia lanjut

dapat disertai komplikasi. Vesikel sering manjadi ulkus dengan jaringan nekrotik.

Kelainan pada mata

Keterlibatan mata dapat mengancam penglihatan jika tidak terdeteksi dan diterapi

dengan tepat. Adanya edem orbita adalah emergensi ophtalmologi dan pasien harus

dirujuk ke spesialis mata. Iritis, iridocyclitis, glaucoma, dan ulkus kornea dapat terjadi

pada kasus ini. Keterlibatan hanya di daerah dibawah fisura palpebra inferior tanpa

disertai keterlibatan dari kelopak atas dan nasal menunjukkan tidak adanya komplikasi

pada mata karena daerah kelopak bawah diinervasi oleh nervus maksillaris superior.

Sindrom Ramsay Hunt

Sindrom Ramsay Hunt terjadi karena gangguan pada nervus fasialis dan otikus ganglion

genikulatum), sehingga memberikan gejala paralisis otot muka (paralisis Bell), kelainan

kulit yang sesuai dengan tingkat persarafan, tinitus, vertigo, gangguan pendengaran,

nistagmus, nausea, dan gangguan pengecapan.

Paralisis motorik

Paralisis motorik dapat terjadi pada 1-5% kasus, yang terjadi akibat perjalanan virus

secara kontinuitatum dari ganglion sensorik ke sistem saraf yang berdekatan. Paralisis

ini biasanya muncul dalam 2 minggu sejak munculnya lesi. Berbagai paralisis dapat

terjadi seperti: di wajah, diafragma, batang tubuh, ekstremitas, vesika urinaria dan anus.

Umumnya akan sembuh spontan.

3.8 Prognosis

Terhadap penyakitnya pada dewasa dan anak-anak umumnya baik, tetapi usia tua

risiko terjadinya komplikasi semakin tinggi, dan secara kosmetika dapat menimbulkan

makula hiperpigmentasi atau sikatrik. Dengan memperhatikan higiene & perawatan

yang teliti akan memberikan prognosis yang baik & jaringan parut yang timbul akan

menjadi sedikit.

13

BAB IV

KESIMPULAN

Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus varisela-

zoster yang menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan reaktivasi virus yang

terjadi setelah infeksi primer. Berdasarkan lokasi lesi, herpes zoster dibagi atas: herpes

zoster oftalmikus, fasialis, brakialis, torakalis, lumbalis dan sakralis. Manifestasi klinis

herpes zoster dapat berupa kelompok-kelompok vesikel sampai bula di atas daerah

yang eritematosa. Lesi yang khas bersifat unilateral pada dermatom yang sesuai

dengan letak syaraf yang terinfeksi virus.

Diagnosa herpes zoster dapat ditegakkan dengan mudah melalui anamnesis

dan pemeriksaan fisik. Jika diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium

sederhana, yaitu tes Tzanck dengan menemukan sel datia berinti banyak. Pada

umumnya penyakit herpes zoster dapat sembuh sendiri (self limiting disease), tetapi

pada beberapa kasus seperti herpes zoster ophtalmicus dan Ramsay Hunt Sindrom

dapat timbul komplikasi sehingga butuh pengobatan yang agresif. Semakin lanjut usia,

semakin tinggi frekuensi timbulnya komplikasi.

14

DAFTAR PUSTAKA

1. Melton CD. Herpes Zoster. eMedicine World Medical Library: http://www.emedicine.com/EMERG/topic823.htm [diakses pada tanggal 24 September 2000]. 2. Stawiski MA. Infeksi Kulit. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC, 1995; 1291. 3. Siregar RS. Penyakit Virus. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi Ke-2. Jakarta: ECG, 2005 ; 84-7. 4. Hartadi, Sumaryo S. Infeksi Virus. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates, 2000; 92-4. 5. Achdannasich. Herpes Zoster Bilateral Asimetris-Pada Anak. Perkembangan Penyakit Kulit dan Kelamin Indonesia Menjelang Abad 21. Perdoski. Surabaya: Airlangga University Press, 1999 ; 212-4. 6. Indrarini, Soepardiman L. Penatalaksaan Infeksi Virus Varisela-Zoster pada Bayi dan Anak. Media Dermato-Venereologica Indonesiana. Volume 27. Jakarta: Perdoski, 2000; 65s-71s. 7. Niode NJ, Suling PL. Insiden Herpes Zoster Pada Anak di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Manado. Perkembangan Penyakit Kulit dan Kelamin di Indonesia Menjelang Abad 21. Perdoski. Surabaya: Airlangga University Press, 1999 ; 215. 8. Stankus SJ, Dlugopolski M, Packer D. Management of Herpes Zoster and Post Herpetic Neuralgia. eMedicine World Medical Library: http://www.emedicine.com/info_herpes_zoster.htm [diakses pada tanggal 17 Juni 2010]. 9. Handoko RP. Penyakit Virus. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ke-4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005; 110-2. 10. Naros WE. Tinjauan Retrospektif Penyakit Herpes Zoster Pada Penderita Yang Dirawat Di Bagian Kulit Dan Kelamin RSUP DR. M. Djamil Padang Periode 1993-1997. Skripsi. Padang: 1999; 5-9. 11. Martodihardjo S. Penanganan Herpes Zoster dan Herpes Progenitalis. Ilmu Penyakit kulit dan Kelamin. Surabaya: Airlangga University Press, 2001. 12. Andrews. Viral Diseases. Diseases of the Skin. Clinical Dermatology. 9th Edition. Philadelphia: WB Saunders Company, 2000; 486-491. 13. Wilmana PF. Antivirus dan Interferon. Farmakologi dan Terapi. Edisi Ke-4. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995; 617. 14. Daili ES, Menaldi SL, Wisnu IM. Penyakit Kulit yang Umum di Indonesia. Jakarta: Medical Multimedia, 2005; 68-9. 15. Moon JE. Herpes Zoster. eMedicine World Medical Library: http://www.emedicine.com/med/topic1007.htm [diakses pada tanggal 17 Juni 2010]. 16. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Penyakit Virus. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ke-3. Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius. 2000, 128-9.

15

16