305984786 pertanggungjawaban-pidana-korporasi-makalah-docx

36
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan Hak Asasi Manusia, dan merupakan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang berukualitas dan terjangkau oleh masyarakat sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar RI 1945. Pembangunan di bidang kesehatan diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk, agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyaraka Indonesia.

Upload: ratih-pratiwi

Post on 07-Jan-2017

136 views

Category:

Law


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: 305984786 pertanggungjawaban-pidana-korporasi-makalah-docx

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan merupakan Hak Asasi Manusia, dan merupakan salah satu

unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai

upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan

pembangunan kesehatan yang berukualitas dan terjangkau oleh masyarakat

sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam

Pancasila dan Undang-Undang Dasar RI 1945.

Pembangunan di bidang kesehatan diarahkan guna tercapainya

kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk,

agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyaraka

Indonesia.

Perbaikan kesehatan secara keseluruhan dikelola oleh Rumah Sakit.

Rumah sakit dituntut untuk memberikan pelayanan kesehatan yang memenuhi

standar pelayanan yang optimal. Hal tersebut sebagai akuntabilitas rumah sakit

supaya mampu bersaing dengan Rumah Sakit lainnya.

Rumah sakit adalah terjemahan dari “hospital” yang merupakan bentuk

organisasi pelayanan kesehatan yang bersifat komprehensif, mencakup aspek

promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, serta sebagai pusat rujukan

Page 2: 305984786 pertanggungjawaban-pidana-korporasi-makalah-docx

kesehatan masyarakat. Kini dengan perkembangan zaman, dan teknologi yang

semakin lama semakin berkembang, dan semakin berkembang pula padat

modal, padat tenaga, padat teknologi, dan padat persoalan dalam berbagai

bidang, antara lain : hukum, ekonomi, etik, HAM, teknologi, dan lain-lain.

Pada hakekatnya Rumah Sakit adalah sebuah organisasi yang dibentuk

oleh suatu badan hukum (pemerintah, Perjan, Yayasan, Perseroan Terbatas, dan

Perkumpulan). Salah satu prinsip organisasi adalah “authority”, yang dilihat

dari sudut majemen, maka di dalam setiap organisasi termasuk juga organisasi

Rumah Sakit, harus ada pimpinan tertinggi yang memikul tanggung jawab dan

wewenang yang tinggi juga.

Tanggung jawab hukum rumah sakit dalam pelaksanaan pelayanan

kesehatan terhadap pasien dapat dilihat dari aspek etika profesi, disiplin, dan

secara khusus hukum pidana terkait dengan tindakan kedokteran yang diduga

terjadi kesalahan medis maupun pelayanan medis lainnya yang tidak

dilaksanakan oleh segenap unsur pelayanan kesehatan dengan baik.

Hakikat dasar dari Rumah Sakit merupakan pemenuhan kebutuhan dan

tuntutan pasien yang mengharapkan penyelesaian masalah kesehatannya pada

rumah sakit. Pasien memandang bahwa hanya rumah sakit yang mampu

memberikan pelayanan medis sebagai upaya penyembuhan dan pemulihan atas

rasa sakit yang dideritanya. Pasien mengharapkan pelayanan yang siap, cepat,

tanggap dan nyaman terhadap keluhan penyakit pasien.

Page 3: 305984786 pertanggungjawaban-pidana-korporasi-makalah-docx

Dewasa ini, kedudukan rumah sakit secara hukum sangat berbeda jauh

dengan kedudukan rumah sakit terdahulu. Di mana kedudukan hukum rumah

sakit terdahulu tidak bisa dimintai tanggung jawab hukum, khususnya hukum

pidana, dikarenakan rumah sakit masih dianggap sebagai lembaga sosial, rumah

sakit bersift murni untuk amal, yang apabila jika dimintai pertanggungjawaban

hukum terhadap pasien, maka akan mengurangi kemampuan menolong pasien.

Selain itu juga, perkembangan dan pertumbuhan korporasi dampaknya dapat

menimbulkan efek negatif, maka kedudukan korporasi mulai bergeser dari

subjek hukum biasa menjadi subjek hukum pidana, sehingga badan hukum

dapat dituntut pidana.

Kesadaran masyarakat semakin meningkat, masyarakat lebih kritis akan

pentingnya perlindungan hak-hak pasien sebagai pihak yang menggunakan jasa

dan pelayanan dari rumah sakit. Sehingga, pihak rumah sakit yang

menyediakan layanan kesehatan tidak bisa lagi melakukan hal-hal atau

perbuatan yang dapat melanggar hak-hak pasien. Walaupun, masih ada

beberapa pasien yang menempuh jalur damai. Berdamai memang pilihan

mudah bagi korban atau pihak rumah sakit, korban mendapatkan ganti rugi

berupa materi, sementara rumah sakit dan dokter tidak perlu risau dengan

publikasi bernada miring di media massa.

B. Rumusan Masalah

Ketidakberdayan pasien menerima pelayanan kesehatan dalam

menghadapi penyedia jasa pelayanan kesehatan ini jelas sangat merugikan

Page 4: 305984786 pertanggungjawaban-pidana-korporasi-makalah-docx

masyarakat. Oleh sebab itu, penulis hendak membahas secara sederhana, 2

(dua) rumusan masalah di bawah ini :

1. Siapa yang bertanggungjawab apabila terjadi kriminalisasi korporisasi di rumah

sakit ?

2. Perbuatan yang bagaimana yang dapat dibebankan kepada korporasi(Rumah

Sakit)?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah:

1. Menganalisis pertanggungjawaban kepada rumah sakit sebagai korporasi

2. Membandingkan masalah yang diangkat penulis dengan doktrin vicarious

responsibility

Page 5: 305984786 pertanggungjawaban-pidana-korporasi-makalah-docx

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KORPORASI

Selama ini hanya manusia yang dianggap sebagai subjek

hukum pidana artinya hanya manusia yang dapat dipersalahkan dalam

suatu peristiwa tindak pidana. Apabila dalam suatu perkumpulan terjadi

suatu tindak pidana, maka dicari siapa yang bersalah terhadap terjadinya

tindak pidana tersebut, atau para pengurus/pimpinan perkumpulan itu

yang harus dipertanggungjawabkan secara pidana. Dalam KUHP hal ini

terlihat pada pasal 59 KUHP.

Dengan berlakunya UU No 7/ Drt/ 1955, korporasi dipandang

dapat melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan

pidana, yang kemudian disusul dengan peraturan hukum pidana yang

tersebar di luar KUHP lainnya.

Masalah pertama dalam membahas pertanggungjawaban pidana

korporasi adalah membahas apa yang dimaksud dengan korporasi

itu?.Batasan pengertian atau defenisi korporasi tidak bisa dilepaskan

dengan bidang hukum perdata. Istilah ini digunakan oleh para ahli

hukum dan kriminologi untuk menyebutkan apa yang dalam bidang

hukum perdata disebut dengan badan hukum atau dalam Bahasa Belanda

disebut Rechts Persoon.

Secara etimologis kata korporasi (corporatie,Belanda),

corporation (Inggris), korporation (Jerman) berasal dari kata

“corporatio” dalam bahasa Latin, seperti halnya dengan kata lain yang

berakhir dengan “tio” maka “corporatio” sebagai kata benda

(substantivum), berasal dari kata kerja “corporare” yang banyak dipakai

orang pada jaman abad pertengahan atau sesudah itu . “Corporare”

Page 6: 305984786 pertanggungjawaban-pidana-korporasi-makalah-docx

sendiri berasal dari kata “corpus” (Indonesia = badan), yang berarti

memberikan badan atau membadankan. Dengan demikian maka akhirnya

“corporatio” itu berarti hasil pekerjaan membadankan, dengan lain

perkataan badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan

perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia, yang

terjadi menurut alam1.

Menurut Chidir Ali2 30 arti badan hukum atau korporasi bisa

diketahui dari jawaban atas pertanyaan “apakah subjek hukum itu ?”.

Pengertian subjek hukum pada pokoknya adalah manusia dan segala

sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat yng oleh

hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban. Pengertian yang

kedua inilah yang dinamakan badan hukum.

Berbicara mengenai konsep “badan hukum” sebenarnya konsep ini

bermula timbul sekedar dalam konsep hukum perdata sebagai kebutuhan

untuk menjalankan kegiatan yang diharapkan lebih berhasil. Apa yang

dinamakan dengan “badan hukum” itu sebenarnya tiada lain sekedar

suatu ciptaan hukum, yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu badan

yang diberi status sebagai subjek hukum, disamping subjek hukum yang

berwujud manusia alamiah (natuurlijke persoon). Diciptakan pengakuan

adanya suatu badan, yang sekalipun badan ini sekedar suatu badan,

namun badan ini dianggap bisa menjalankan segala tindakan hukum

dengan segala harta kekayaan yang timbul dari perbuatan itu. Dan harta

ini harus dipandang sebagai harta kekayaan badan tersebut, terlepas dari

pribadi-pribadi manusia yang terhimpun di dalamnya. Jika dari perbuatan

1 Soetan K Malikoel Adil, Dalam Muladi, Dwidja Priyatno.1991 , Hal 12

2 Chidir Ali, Badan Hukum, Bandung, Alumni 1991, Hal 18.

Page 7: 305984786 pertanggungjawaban-pidana-korporasi-makalah-docx

itu timbul kerugian maka Kerugian inipun hanya dapat

dipertanggungjawabkan semata-mata dengan harta kekayaan yang ada

dalam badan yang bersangkutan Dari uraian di atas ternyata bahwa

korporasi adalah badan yang diciptakan oleh hukum yang terdiri dari

“corpus”, yaitu struktur fisiknya dan ke dalamnya hukum memasukkan

unsur “animus” yang membuat badan itu mempunyai kepribadian. Oleh

karena badan hukum ini merupakan ciptaan hukum, maka kecuali

penciptaannya, kematiannya juga ditentukan oleh hukum3.

Menurut Loebby Loqman 4, dalam diskusi yang dilakukan oleh

para sarjana tentang korporasi berkembang 2 (dua) pendapat mengenai

apa yang dimaksud dengan korporasi itu ?. Pendapat pertama

mengatakan bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah kumpulan

dagang yang berbadan hukum.

Jadi dibatasi bahwa korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan

secara pidana adalah korporasi yang telah berbadan hukum . Alasannya

adalah bahwa dengan berbadan hukum, telah jelas susunan pengurus

serta sejauh mana hak dan kewajiban dalam korporasi tersebut.

Pendapat lain adalah yang bersifat luas, dimana dikatakan bahwa

korporasi tidak perlu harus berbadan hukum, setiap kumpulan manusia,

baik dalam hubungan suatu usaha dagang ataupun usaha lainnya, dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana.

Pendapat kedua tersebut di atas dianut oleh Undang-Undang No 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana

tertuang dalam Pasal 1 butir 1 yang bunyinya:“ korporasi adalah

kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan

badan hukum maupun bukan badan hukum”

3 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung , PT Citra Aditya Bakti, 2000, Hal 69.4 Loebby Loqman, Kapita Selekta , Hal 32.

Page 8: 305984786 pertanggungjawaban-pidana-korporasi-makalah-docx

Rancangan KUHP tahun 1987/1988, mendefinisikan korporasi

sebagai “kumpulan terorganisasi dari orang atau kekayaan baik merupakan

badan hukum maupun bukan”. Dari beberapa pengertian di atas, sudah jelas,

bahwa korporasi adalah badan hukum yang menyandang hak dan kewajiban

berdasarkan hukum. Sebagai badan hukum pula, korporasi tidak lepas dari

tanggung jawab pidana yang dilakukannya. Namun sayangnya,

pertanggungjawaban pidana korporasi sejauh ini masih belum diterapkan

secara maksimal.

Berdasarkan Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Rumah

Sakit, Pasal 1 ayat (1) memberikan definisi tentang Rumah Sakit, yang mana

dijelaskan bahwa Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang

menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang

menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.

Dari kata ”institusi”, sudah dapat diketahui bahwa Rumah Sakit

termasuk sebuah badan hukum yang terorganisir dalam menjalankan

kegiatan usahanya yakni memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien.

Sebagai badan usaha yang menjalankan pelayanan publik, Rumah

Sakit secara otomatis memegang hak dan kewajiban seperti yang diatur

dalam undang- undang. Dilihat dari hak dan kewajiban yang disandangnya,

Rumah Sakit juga merupakan Korporasi yang berbadan hukum. Hal ini akan

memberikan pengertian bahwa Rumah Sakit bisa saja melakukan delik yang

memenuhi rumusan dalam undang- undang.

Eksistensi Rumah sakit sebagai korporasi badan hukum tidak muncul

begitu saja. Dalam arti, harus ada yang mendirikan, yakni oleh pendiri-

pendirinya yang menurut hukum perdata diakui memiliki kewenangan secara

hukum. Menurut hukum perdata pula, yang diakui memiliki kewenangan

mendirikan korporasi adalah orang (manusia) atau natural person dan badan

hukum atau legal person.

Page 9: 305984786 pertanggungjawaban-pidana-korporasi-makalah-docx

Demikian pula halnya dengan Rumah Sakit. Dalam hal “mati/

bubarnya”, suatu korporasi dapat dikatakan “bubar/berakhirnya”

eksistensinya secara hukum, maka Korporasi sudah tidak dapat melakukan

perbuatan hukum. Ada beberapa alasan yang menyebabkan korporasi

menjadi bubar, yaitu:

a. Jangka waktu pendiriannya telah sampai, sedangkan para

pendirinya tidak memperpanjang “usia” dari korporasi tersebut;

disebut bubar demi hukum.

b. Dibubarkan oleh para pendirinya atau oleh para pemegang saham.

c. Dibubarkan oleh pengadilan berdasarkan putusan pengadilan atas

pertimbangan – pertimbangan hukum yang diambil oleh hakim

atau majelis hakim yang memeriksa suatu perkara.

d. Dibubarkan oleh Undang-undang.

Rumah Sakit sebagai korporasi yang terorganisasi memiliki pimpinan

dan orang- orang di dalamnya yang melakukan perbuatan hukum, misalkan

perjanjian dalam rangka kegiatan usaha atau kegiatan sosial yang dilakukan

pengurus untuk dan atas nama orang- orang dalam Rumah sakit tersebut.

Dalam melakukan perbuatan hukum, tentu saja Rumah Sakit tidak lepas dari

beban hukum yang ditanggungkan di atasnya, dimana Rumah sakit bisa

dipertanggungjawabkan dalam suatu perbuatan pidana yang melibatkan

Rumah Sakit itu sendiri.

Page 10: 305984786 pertanggungjawaban-pidana-korporasi-makalah-docx

B. SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

Berbicara tentang pertanggungjawaban pidana korporasi, tidak

dapat dilepaskan dengan tindak pidana. Walaupun dalam pengertian

tindak pidana tidak termasuk masalah pertanggungjawaban. Tindak

pidana hanya menunjukkan kepada dilarangnya suatu perbuatan5.

Pandangan di atas sejalan dengan pendapat yang dikemukakan

oleh Moelyatno, yang membedakan dengan tegas “dapat dipidananya

perbuatan” (de strafbaarheid van het feit atau het verboden zjir van

het feit) dan “dapat dipidananya orang” (strafbaarheid van den

persoon), dan sejalan dengan itu beliau memisahkan antara pengertian

“perbuatan pidana” (criminal act) dan “pertanggungan jawab

pidana” (criminal responsibility atau criminal liability)6.

Oleh karena hal tersebut dipisahkan, maka pengertian

perbuatan pidana tidak meliputi pertanggungjawaban pidana.

Pandangan ini disebut pandangan dualistis mengenai perbuatan

pidana. Pandangan ini merupakan penyimpangan dari pandangan

yang monistis antara lain yang dikemukakan oleh Simons yang

merumuskan “strafbaar feit” adalah : “een strafbaar gestelde,

onrechtmatige met schuld verband staande handeling van een

toerekeningsvatbaar persoon”. Jadi unsur-unsur strafbaar feit adalah :

1) Perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak

berbuat atau membiarkan);

2) Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld);

3) Melawan hukum (onrechtmatig);

4) Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand)

C. SISTEM KEPENGURUSAN PERTANGGUNGJAWABAN

5 Dwidja Priyatno, op cit, Hal 30.6 Moelyatno, Seperti dikutip oleh Sudarto, Dalam Sudarto, Hukum Pidana I, Cetakan ke II, Semarang, Yayasan Sudarto, 1990, Hal 40.

10

Page 11: 305984786 pertanggungjawaban-pidana-korporasi-makalah-docx

KORPORASI

Sistem ini sejalan dengan perkembangan korporasi sebagai

subjek hukum pidana tahap I. Dimana para penyusun KUHP, masih

menerima asas “societas/universitas delinquere non potest” (badan

hukum tidak dapat melakukan tindak pidana). Asas ini sebetulnya

berlaku pada abad yang lalu pada seluruh Eropa kontinental. Hal ini

sejalan dengan pendapat-pendapat hukum pidana individual dari

aliran klasik yang berlaku pada waktu itu dan kemudian juga dari

aliran modern dalam hukum pidana.

Bahwasannya yang menjadi subjek tindak pidana itu sesuai

dengan penjelasan (MvT ) terhadap Pasal 59 KUHP, yang

berbunyi :”suatu tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia”.

Von Savigny pernah mengemukakan teori fiksi (fiction theory),

dimana korporasi merupakan subjek hukum, tetapi hal ini tidak diakui

dalam hukum pidana, karena pemerintah Belanda pada waktu itu

tidak bersedia mengadopsi ajaran hukum perdata ke dalam hukum

pidana7.

Ketentuan dalam KUHP yang menggambarkan penerimaan

asas “societas/universitas delinquere non potest”adalah ketentuan

Pasal 59 KUHP. Dalam pasal ini juga diatur alasan penghapus pidana

(strafuitsluitingsgrond). yaitu pengurus, badan pengurus atau

komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran,

tidak dipidana.

BAB II

7 Hatrick, Hamzah, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia (strict liability dan vicarious liability), Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996, Hal 30.

11

Page 12: 305984786 pertanggungjawaban-pidana-korporasi-makalah-docx

PEMBAHASAN

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI RUMAH SAKIT

Rumah sakit sebagai sebuah korporasi menurut hukum perdata

merupakan legal person (rechtspersoon) yaitu badan hukum yang sifatnya

legal personality. Pada awalnya, pembuat undang-undang pidana

berpandangan hanya manusia yang dapat menjadi subjek tindak pidana,

namun, seiring perkembangan zaman, korporasi juga bisa menjadi subjek

tindak pidana. Di Amerika Serikat ada konsep untuk minta

pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu melalui doktrin respondent

superior atau vicarious liability. Menurut doktrin ini, apabila pekerja suatu

korporasi melakukan tindak pidana dalam lingkup pekerjaannya dengan

maksud menguntungkan korporasi, maka tanggung jawab pidananya dapat

dibebankan kepada korporasi. Prinsip ini bertujuan mencegah perusahaan

melindungi diri dan lepas tanggung jawab, dengan melimpahkan kegiatan

perusahaan yang melanggar hukum kepada pekerjanya. Ajaran vicarious

liability biasanya berlaku dalam hukum perdata tentang perbuatan melawan

hukum (the law of tort), yang kemudian diterapkan pada hukum pidana.

Kejahatan yang ditimbulkan oleh korporasi sangat besar. Korbannya adalah

pekerja. Korporasi, dengan kekuatan finansial dan ahli-ahli yang dimiliki,

dapat menghilangkan bukti-bukti kejahatan. KUHP mengadopsi pendirian

bahwa korporasi dapat menjadi subjek tindak pidana sebagaimana terdapat

pada Pasal 47 KUHP yaitu “Korporasi merupakan subjek tindak pidana”.

Pengaturan tentang tanggung jawab pidana korporasi dalam KUHP terdapat

dalam Pasal 47-53. Meskipun dalam RUU KUHP pidana pokok hanya

berupa denda, ancaman sanksi maksimum bagi korporasi dapat lebih berat

dibanding terhadap perseorangan.

Menyangkut denda dinyatakan: “Pidana denda paling banyak untuk

korporasi yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana

12

Page 13: 305984786 pertanggungjawaban-pidana-korporasi-makalah-docx

penjara paling lama 7 tahun sampai dengan 15 tahun adalah denda Kategori

V, yaitu sebesar tiga ratus juta rupiah. Sedangkan pidana mati, pidana

penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 tahun adalah

denda Kategori VI, yaitu sebesar tiga miliar rupiah.” Selain denda

maksimum, telah pula ditetapkan denda minimum bagi korporasi, yaitu

denda Kategori IV sebesar tujuh puluh lima juta rupiah. KUHP juga telah

mengantisipasi jika korporasi tidak mampu membayar sanksi pidana denda,

maka dikenakan pidana pengganti berupa pencabutan izin usaha atau

pembubaran korporasi. Dengan diaturnya kejahatan korporasi dalam RUU

KUHP, diharapkan korporasi tidak lagi berdalih untuk melarikan diri dari

tanggung jawabnya, dalam hal ini tanggung jawab pidana. Pada awal

sejarahnya, rumah sakit tidak lebih dari sekedar institusi yang menerima

sumbangan dermawan, sehingga perannya hanya menyediakan makanan dan

tempat tidur bagi pasien yang memerlukan rawat inap.

Keadaan berubah dengan hadirnya banyak dokter yang membantu para

pasien, sehingga peran rumah sakit pun bertambah seperti menyediakan

peralatan medik, obat-obatan dan tenaga profesional guna meningkatkan

fungsi dan peran pelayanan kesehatan. Tidak cukup sampai di situ, masing-

masing rumah sakit berlomba- lomba mengembangkan diri menjadi sebuah

institusi dengan pelayanan total dan komprehensif. Konsekuensinya adalah

tidak hanya menampilkan kualitas pelayanan medik dan penunjang umum

lainnya, melainkan memunculkan lebih banyak tanggunggugat korporasi

(corporate liability) serta tanggung renteng (vicarious liability) akibat

kesalahan yang dilakukan oleh dokter yang bekerja di dalamnya.

Munculnya tanggung jawab rumah sakit awalnya diakibatkan oleh

penerapan langkah-langkah manajerial yang kurang tepat seperti:

1. Hospital equitment, supplies, medication and food.

2. Hospital environment.

13

Page 14: 305984786 pertanggungjawaban-pidana-korporasi-makalah-docx

3. Safety Procedures.

4. Selection and retention of employees and conferral of staff privileges.

5. Responsibilities for supervision of patient care.

Namun dalam perkembangan sering di akibatkan oleh cacatnya

pelaksanaan perjanjian dokter dan pasien. Cacatnya pelaksanaan perjanjian

tidak disebabkan belum sahnya hubungan terapeutik, namun pasien merasa

tidak puas terhadap hasil perawatan medik.

Tanggung jawab rumah sakit selanjutnya disebut sebagai hospital

liability. Dalam Pasal 1338 KUHPerdata disebutkan: ”Semua persetujuan

yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan

kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan

oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”.

Jadi perjanjian dua subyek hukum antara dokter dan pasien bersifat sah lalu

mengikat para pihak. Perjanjian itu berisi hal-hal implisit yang menurut

sifatnya harus dipatuhi menurut undang-undang seperti terungkap dalam

Pasal 1339 KUHPerdata yang berbunyi: ”Persetujuan tidak hanya mengikat

apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya, melainkan juga segala

sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan,

kebiasaan atau undang-undang”.

Hospital Liability terjadi bila timbul masalah karena kesalahan health

care provider seperti kesalahan dokter (malpractice), yang dilakukan sengaja

(intensional), kecerobohan (recklessness) atau kelalaian (negligence). Jika

hal ini sungguh terjadi, maka undang-undang memungkinkan pasien untuk

menuntut ganti rugi kepada health care provider.

Malpraktik secara harafiah berarti pelaksanaan atau tindakan yang

salah dari profesional (professional misconduct, unreasonable, lack of skill).

14

Page 15: 305984786 pertanggungjawaban-pidana-korporasi-makalah-docx

Sifat Hospital Liability berupa:

1. Contractual liability, yaitu tidak dilaksanakannya kewajiban dokter

sebagai suatu prestasi akibat hubungan kontraktual. Dalam hubungan

terapeutik, kewajiban atau prestasi bukan dinilai dari hasil (result)

tetapi upaya (effort). Hospital Liability terjadi jika upaya medik tidak

memenuhi standar medik.

2. Liability in tort, yaitu perbuatan melawan hukum yang bersifat bukan

kewajiban tetapi menyangkut kesusilaan atau berlawanan dengan

ketelitian yang dilakukan dokter. Misalnya: membuka rahasia

kedokteran, kecerobohan yang mengakibatkan cacat atau meninggal

dunia.

3. Strict Liability, yaitu tanggung jawab bukan karena melakukan

kesalahan, tetapi akibat yang dihasilkan. Misalnya: limbah sampah

rumah sakit membuat warga sekitar sakit.

4. Vicarius liability, yaitu tanggung jawab akibat kesalahan yang dibuat

karyawan atau employee. Dalam hubungan dengan rumah sakit, jika

dokter sebagai karyawan melakukan kesalahan maka rumah sakit turut

bertanggung jawab.

Apabila kembali melihat aturan pokok yang terdapat dalam rumah

sakit sebagai aturan yang mengatur segala pelayanan kesehatan dan tenaga

kesehatan khususnya direktur/pimpinan rumah sakit, pemilik serta dokter

ataupun dokter gigi, maka dapat merujuk pada hospital bylaws serta Standar

Operasional Prosedur sebagai aturan pelaksana. Hospital Bylaws secara

tegas mengatur terkait hubungan antara direktur/pimpinan dan pemilik

rumah sakit dengan dokter ataupun dokter gigi terkait dengan tindakan

kedokteran, dimana hospital bylaws juga menjadi konstitusi bagi dokter

dengan direktur/pimpinan rumah sakit, pemilik, untuk menyelesaikan

konflik dan memberi perlindungan hukum khususnya bagi dokter dan dokter

gigi sebagai tenaga medis.

15

Page 16: 305984786 pertanggungjawaban-pidana-korporasi-makalah-docx

Sebagaimana diatur dalam Medical Staff Bylaws bahwa

direktur/pemilik, pimpinan rumah sakit beserta dokter dan dokter gigi

merupakan tritunggal yang bersama-sama secara fungsional memimpin

rumah sakit dan bertanggungjawab bersama terkait pelayanan medis kepada

masyarakat. Seperti yang telah dijelaskan secara ringkas, terkait dengan

hospital bylaws dan medical staff bylaws, maka hukum pidana sebagai

hukum publik, bisa meminta pertanggungjawaban pidana korporasi, tidak

hanya terbatas pada dokter ataupun dokter gigi, namun juga pada rumah

sakit sebagai korporasi yang bertanggungjawab atas segala tindakan

kedokteran yang salah,  yang dilakukan oleh dokter ataupun dokter gigi

kepada pasien.

Undang-undang memberikan peluang kepada pasien untuk menuntut

rumah sakit secara pidana maupun perdata. Tuntutan perkara ini

dimungkinkan sejauh tenaga medik melakukan kekeliruan fatal. Namun

tuntutan bisa diterima atau tidak tergantung pembuktian yang dilakukan

oleh masing-masing pihak dan penilaian hasil pembuktian oleh hakim.

Menurut Pasal 2 Undang- Undang No.14 Tahun 1970 tugas hakim adalah

memeriksa, mengadili dan menjatuhkan putusan serta menyelesaikan setiap

perkara. Dalam perkara malpraktik, harus dapat dibuktikan apakah benar

ada kesalahan, kecerobohan atau kelalaian dokter, di mana dan kapan

terjadi, siapa pelaku dan saksinya. Apa ada alat-alat bukti misalnya: berupa

tulisan. Dalam kacamata hukum makna kebenaran tidak bersifat mutlak

sebagaimana kebenaran ilmiah. Kebenaran hukum dibedakan atas:

1. Kebenaran formil, yaitu kebenaran berdasarkan kehendak para pihak

dan formalitas pembuktian dan lainnya (preponderance of evidence).

2. Kebenaran materiil, yaitu kebenaran sesungguhnya yang sesuai

dengan fakta yang terjadi (beyond reasonable doubt).

Setiap hubungan hukum antara dokter dan pasien dalam lingkungan

rumah sakit merupakan perikatan (Verbintenis) yang menimbulkan hak di

16

Page 17: 305984786 pertanggungjawaban-pidana-korporasi-makalah-docx

satu pihak dan kewajiban di pihak lain. Doktrin perikatan bertujuan untuk

mencapai suatu hasil atau prestasi dan ikhtiar (Inspanning) atau upaya

profesional semaksimal mungkin. Sedangkan perjanjian merupakan bagian

dari perikatan yang mengandung kesepakatan dua pihak atau lebih untuk

saling mengikatkan diri dalam hubungan hukum. Di situlah makna

hubungan terapeutik antara dokter dan pasien menjadi penting. Maka

sahnya perjanjian harus memenuhi syarat sebagaimana ditentukan dalam

Pasal 1320 KUHPerdata yaitu ada kesepakatan, kecakapan, obyek tertentu

dan kausa yang halal. Setiap perjanjian mengandung adanya kebebasan

(Pasal 1338 KUHPerdata) di mana isinya:

1. Perjanjian yang dibuat dengan sah itu mengikat sebagai undang-

tmdang bagi pembuatnya.

2. Dijalankan dengan itikad baik.

3. Tidak dapat diputuskan tanpa persetujuan pihak lain.

Hubungan terapeutik menimbulkan hak dan kewajiban para pihak.

Akibat lain dan hubungan terapeutik sering menimbulkan dugaan

pelanggaran yang oleh umum disebut malpraktik kedokteran. Dugaan

pelanggaran dapat berupa:

1. Pelanggaran etik yang ditangani organisasi Ikatan Dokter Indonesia

(IDI) dan Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK), dengan sanksi

peringatan atau pemecatan sementara yang berdampak rasa malu.

2. Pelanggaran disiplin yang ditangani Majelis Kehormatan Disiplin

Kedokteran Indonesia (MKDKI) dengan sanksi disiplin yang bersifat

mumi etik profesi seperti peringatan, pencabutan surat izin praktik,

pencabutan surat tanda registrasi, re-schooling, penjara dan denda;

sedangkan jika ada dugaan pelanggaran malpraktik akan ditangani

Konsil Kedokteran Indonesia.

17

Page 18: 305984786 pertanggungjawaban-pidana-korporasi-makalah-docx

3. Pelanggaran hukum yang ditangani oleh pengadilan umum perdata

atau pidana, dengan sanksi hukuman pidana atau ganti rugi materi.

4. Dalam Undang-Undang No 29 Tahun 2004 disebutkan bahwa

penyalahgunaan disiplin tidak menutup kemungkinan adanya tuntutan

melalui pengadilan.

Menjelaskan pertanggungjawaban pidana, yang mana apa yang

dilakukan sesorang dipertanggungjawabkan kepada orang lain. Misalkan A

yang melakukan perbuatan pidana dan perbuatan itu dipertanggunjawabkan

kepada si B. Hal ini hampir mirip dalam pasal 55 KUHP ayat (1) angka

1”dipidana sebagai pelaku tindak pidana : mereka yang melakukan, yang

menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan”.

Bedanya, dalam KUHP ini, yang disuruh melakukan adalah orang yang

tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sementara, dalam ajaran Vicarious

Responsibility baik kedua pihak sama- sama dapat dipertanggungjawabkan.

Hal ini nampak dalam tujuan teori Vicarious Responsibility yakni

memperluas wilayah pertanggungjawaban pidana, tidak hanya pelaku fisik

tetapi juga pelaku intelektual. Untuk menjelaskan teori ini, ada ajaran

doctrine of identification yang tidak hanya menjelaskan “directing mind”,

tetapi juga menjelaskan syarat- syarat perbuatan individu yang bisa

diatributkan kepada perusahaan atau korporasi.

Berdasarkan doctrine of identification,untuk dapat membebankan

pertanggungjawaban pidana kepada korporasi, hal pertama yang perlu

diidentifikasikan adalah “directing mind” dalam korporasi. Jika suatu

perbuatan pidana di dalam korporasi itu dilakukan oleh “directing mind”,

maka pertanggungjawaban pidana baru dapat dibebankan kepada korporasi

itu. Dalam kejadian tertentu, identifikasi dari perilaku dan sikap kalbu dari

seseorang yang terkait dengan suatu perusahaan dapat diatributkan kepada

perusahaan agar pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada

perusahaan tersebut. Dalam arti, bahwa apa yang menjadi tindakan individu

dapat dikategorikan sebagai tindakan perusahaan.

18

Page 19: 305984786 pertanggungjawaban-pidana-korporasi-makalah-docx

Akan tetapi, tidak semua perbuatan individu dapat diatributkan kepada

perusahaan. Secara tegas, teori identifikasi menjelaskan syarat- syarat

perbuatan individu yang dipertanggungjawabkan kepada korporasi, antara

lain:

a. Perbuatan yang dimaksud adalah termasuk dari yang ditugaskan

b. Perbuatan tersebut bukan merupakan kecurangan terhadap korporasi

c. Kegiatan yang dilakukan individu tersebut mendatangkan keuntungan

bagi korporasi

Pasal 190 ayat (1) menentukan bahwa “Pimpinan fasilitas pelayanan

kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan

pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan

pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2)

dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling

banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) Sedangkan dalam ayat (2)

undang- undang yang sama menyebutkan bahwa dalam hal perbuatan

sebagaimana dimaksud pada ayat(1) mengakibatkan terjadinya kecacatan

atau kematian,pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga

kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)

tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Berdasarkan analisa penulis terhadap kasus di atas, tindak pidana yang

dilakukan oleh dokter tersebut memenuhi rumusan pada pasal 191 Undang-

Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Untuk mendeskripsikan

pelaku tindak pidana dala kasus ini, ada dua kemungkinan, yakni:

Tindakan dapat dibebankan kepada Rumah Sakit, alasannya:

a) Dokter hanya mengikuti prosedur yang diwajibkan dari Rumah sakit

b) Fasilitas tidak lengkap tetapi Rumah sakit yang dimaksud tidak

membuat rujukan kepada Rumah sakit lain yang lebih lengkap

19

Page 20: 305984786 pertanggungjawaban-pidana-korporasi-makalah-docx

c) Pihak Rumah sakit tidak memberikan informasi yang jelas kepada

pasien atau keluarganya

d) Tidak mengeluarkan Inform Consent terlebih dahulu sebelum

melakukan tindak medik yang beresiko bagi pasien (dalam keadaan

yang mendesak dokter berhak mengambil tindakan tanpa harus

menunggu persetujuan keluarga pasien)

Sementara Rumah sakit tidak dibebankan apa- apa dalam kasus ini. Ini

yang perlu ditinjau kembali, apakah Rumah sakit tersebut dapat

dipertanggungjawabkan atau tidak. Jika dihubungkan dengan teori agregasi,

yang menekankan pada kesalahan banyak orang, Hal ini memenuhi rumusan

definisi dari korporasi, yang mana dijelaskan bahwa korporasi merupakan

kumpulan terorganisasi dari orang atau kekayaan baik yang merupakan

badan hukum atau pun yang bukan.

Bertolak dari teori vicarious responsibility yang bertujuan memperluas

jangkauan pidana, bukan hanya pelaku fisik, tetapi juga pelaku intelektual

Untuk korporasi, pidana yang tepat menurut Undang- Undang Nomor 44

Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit pasal 27 yakni dengan pencabutan izin dan

pasal 201 Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 yang berbunyi: “Dalam

hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191,

Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200

dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap

pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana

denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196 , Pasal

197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200.”Akan tetapi, pelaksanaan pidana

penjara adalah tidak mungkin. Bagaimana eksekusinya, jika korporasi

dipidana penjara. Sampai sekarang banyak produk hukum yang memuat

ketesntuan pidana untuk korporasi yakni dengan pidana penjara.

Menurut penulis, pidana penjara sangat tidak tepat untuk korporasi.

Alternatif lain yang bisa dilaksanakan adalah menurut Undang- Undang

20

Page 21: 305984786 pertanggungjawaban-pidana-korporasi-makalah-docx

Nomor 44 Tahun 2009 pasal 63 ayat 2, yakni: pencabutan ijin usaha dan/ atau

pencabutan status badan hukum.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa;

1. Berdasarkan doctrine of identification,untuk dapat membebankan

pertanggungjawaban pidana kepada korporasi, hal pertama yang

perlu diidentifikasikan adalah “directing mind” dalam korporasi.

Jika suatu perbuatan pidana di dalam korporasi itu dilakukan oleh

“directing mind”, maka pertanggungjawaban pidana baru dapat

dibebankan kepada korporasi itu. Dalam kejadian tertentu,

identifikasi dari perilaku dan sikap kalbu dari seseorang yang

terkait dengan suatu perusahaan dapat diatributkan kepada

perusahaan agar pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan

kepada perusahaan tersebut. Dalam arti, bahwa apa yang menjadi

tindakan individu dapat dikategorikan sebagai tindakan perusahaan.

Akan tetapi, tidak semua perbuatan individu dapat diatributkan

kepada perusahaan. Secara tegas, teori identifikasi menjelaskan

syarat- syarat perbuatan individu yang dipertanggungjawabkan

kepada korporasi, antara lain:

a) Perbuatan yang dimaksud adalah termasuk dari yang ditugaskan

b) Perbuatan tersebut bukan merupakan kecurangan terhadap

korporasi

c) Kegiatan yang dilakukan individu tersebut mendatangkan

keuntungan bagi korporasi

2. Tindakan dapat dibebankan kepada Rumah Sakit :

a) Dokter hanya mengikuti prosedur yang diwajibkan dari Rumah

sakit

21

Page 22: 305984786 pertanggungjawaban-pidana-korporasi-makalah-docx

b) Fasilitas tidak lengkap tetapi Rumah sakit yang dimaksud tidak

membuat rujukan kepada Rumah sakit lain yang lebih lengkap

c) Pihak Rumah sakit tidak memberikan informasi yang jelas kepada

pasien atau keluarganya.

B. Saran

Undang-undang memberikan peluang kepada pasien untuk menuntut rumah

sakit secara pidana maupun perdata. Tuntutan perkara ini dimungkinkan

sejauh tenaga medik melakukan kekeliruan fatal. Namun tuntutan bisa

diterima atau tidak tergantung pembuktian yang dilakukan oleh masing-

masing pihak dan penilaian hasil pembuktian oleh hakim.

22

Page 23: 305984786 pertanggungjawaban-pidana-korporasi-makalah-docx

DAFTAR PUSTAKA

Fahamsyah dan Suarda, 2006. Implementasi Teori Pertanggungjawaban Pidana. Mimbar Hukum Volume 18, Nomor 2, Juni 2006

Hendrojono Soewaono, 2006. Perlindungan Hak-Hak Pasien dalam Transaksi Terapeutik. Penerbit Srikandi Surabaya.

Laden Merpaung, 1998. Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Profesinya; Jakarta.

Setiyono, 2003. Kejahatan Korporasi. Bayumedia. Malang.

Soeraryo D, 2004. Etik, Hukum Kesehatan Kedokteran. Badan Penerbit Undip. Semarang.

Sofwan Dahlan, 2000. Hukum Kesehatan. Badan Penerbit Undip. Semarang.

Sofwan Dahlan, 2007. Malpraktek. Badan Penerbit Undip. Semarang.

Sudarto, 1990. Hukum Pidana I. Yayasan Sudarta. Semarang.

Wibisono M, 2007. Doctor’s Criminal Responsibility of Medical Treatment. Unair. Surabaya.

Wila C. 2001. Hukum Kedokteran. Penerbit PT. Mandar Maju. Bandung.

i

23