3. polarisasi terimbas - manajemen islam | by khoril arief  · web viewcontoh pengukuran ip dengan...

35
BAB 7 POLARISASI TERIMBAS (IP) Telah banyak buku menerangkan prinsip dasar atau filosofi pengukuran IP. Dalam buku ini hanya dititik beratkan pada manajemen penerapan IP pada eksplorasi mineral. Meskipun telah ada studi tentang penerapan IP pada geologi teknik dan eksplorasi minyak tetapi dalam buku ini belum membahasnya. Ada dua metoda dalam mengukur IP, bahkan dapat dikatakan ada 3 metoda dalam mengukur IP di lapangan, yaitu: a. Frekuensi domain, dikenal dengan sebutan frekuensi domain IP b. Time domain, dikenal dengan sebutan TDIP c. Phase domain, dikenal dengan sebutan RPIP. Pada pengukuran frekuensi domain IP diperoleh dua parameter yaitu tahanan jenis (ohm-m) dan persen frekuensi efek (%fe), TDIP diperoleh parameter tahanan jenis (ohm-m) dan chergeability (m), sedang pada RPIP diperoleh paramater tahanan jenis (ohm-m) dan phase (miliradian). Dari ketiga metoda tersebut dapat dibuat smoot modelnya. Contoh hasil pengukuran dan hasil smoot model ditunjukkan pada Gambar 7.1. Ketiga metoda tersebut sama-sama menunjukkan adanya kandungan sulfida yang ada pada mineral target. Kandungan sulfida di bawah 5% masih dapat dideteksi pada pengukuran IP. Hal tersebut tidak dapat dilakukan pada jenis-jenis survei lainnya. Telah banyak pabrik peralatan geofisika membuat peralatan pengukur IP, dari power transmitter kecil hingga 30 KVA. Biasanya tiap alat hanya menggunakan satu atau dua metoda mengukur IP saja. Sangat jarang ketiga metoda tersedia dalam satu unit peralatan. Pada peralatan buatan Zonge Engineering, ketiga metoda tersebut tersedia dalam satu unit alat dan bisa mengukur secara bergantian tergantung dari ahli geofisika memilihnya. 7.1. Merencana Survei IP Untuk merencana survei IP diperlukan pengetahuan mengenai metoda, konfigurasi, perkiraan model geologi dan aspek-aspek lain yang mempengaruhi efisiensi pengukuran dan hasilnya. 7.1.1. Metoda Pengukuran IP 7.1

Upload: vuhuong

Post on 24-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB 7POLARISASI TERIMBAS (IP)

Telah banyak buku menerangkan prinsip dasar atau filosofi pengukuran IP. Dalam buku ini hanya dititik beratkan pada manajemen penerapan IP pada eksplorasi mineral. Meskipun telah ada studi tentang penerapan IP pada geologi teknik dan eksplorasi minyak tetapi dalam buku ini belum membahasnya.

Ada dua metoda dalam mengukur IP, bahkan dapat dikatakan ada 3 metoda dalam mengukur IP di lapangan, yaitu:a. Frekuensi domain, dikenal dengan sebutan frekuensi domain IPb. Time domain, dikenal dengan sebutan TDIPc. Phase domain, dikenal dengan sebutan RPIP.

Pada pengukuran frekuensi domain IP diperoleh dua parameter yaitu tahanan jenis (ohm-m) dan persen frekuensi efek (%fe), TDIP diperoleh parameter tahanan jenis (ohm-m) dan chergeability (m), sedang pada RPIP diperoleh paramater tahanan jenis (ohm-m) dan phase (miliradian). Dari ketiga metoda tersebut dapat dibuat smoot modelnya. Contoh hasil pengukuran dan hasil smoot model ditunjukkan pada Gambar 7.1. Ketiga metoda tersebut sama-sama menunjukkan adanya kandungan sulfida yang ada pada mineral target. Kandungan sulfida di bawah 5% masih dapat dideteksi pada pengukuran IP. Hal tersebut tidak dapat dilakukan pada jenis-jenis survei lainnya.

Telah banyak pabrik peralatan geofisika membuat peralatan pengukur IP, dari power transmitter kecil hingga 30 KVA. Biasanya tiap alat hanya menggunakan satu atau dua metoda mengukur IP saja. Sangat jarang ketiga metoda tersedia dalam satu unit peralatan. Pada peralatan buatan Zonge Engineering, ketiga metoda tersebut tersedia dalam satu unit alat dan bisa mengukur secara bergantian tergantung dari ahli geofisika memilihnya.

7.1. Merencana Survei IPUntuk merencana survei IP diperlukan pengetahuan mengenai metoda, konfigurasi, perkiraan model geologi dan aspek-aspek lain yang mempengaruhi efisiensi pengukuran dan hasilnya.

7.1.1. Metoda Pengukuran IP

Telah diterangkan di depan bahwa ada 3 metoda pengukuran IP yaitu frekuensi domain (FDIP), time domain (TDIP), dan resistivity phase (RPIP). Ketiga metoda tersebut mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing. Banyak keuntungan yang diperoleh bila ketiga metoda tersebut dapat diuji coba dipilih dalam suatu pengukuran di lapangan eksplorasi. Cara TDIP sangat sensitif terhadap nois lokal, sensitif juga terhadap anomali targetnya. Sebaliknya frekuensi domain IP tidak sensitif terhadap nois, relatif kurang sensitif terhadap anomali target dibandingkan dengan TDIP. Pada pengukuran metoda TDIP, biasanya magnitude anomali berkisar antara 5 dan 40 dengan kesalahan (error) pengukuran rata-rata berkisar antara 0,1 dan 2.5. Biasanya magnitude anomali pada metoda frekuensi domain IP berkisar antara 1 %fe dan 8 %fe dengan error pengukuran berkisar antara 0,1 %fe dan 0,5 %fe.

7.1

Gambar 7.1

CONTOH HASIL PENGUKURAN IP METODA RESISTIVITY PHASE

Zonge Engenering

Menurut penulis, frekuensi domain IP sangat cocok diterapkan pada daerah yang relatif bernois tetapi mempunyai magnitude anomali target relatif besar, sedang TDIP cocok pada tempat yang benar-benar bebas nois (di hutan) dengan magnitude anomali target relatif kecil. RPIP kondisinya relatif sama dengan TDIP.

7.1.2. Konfigurasi pengukuran IP

Meskipun banyak macam konfigurasi pengukuran tetapi hanya 2 macam konfigurasi yang sering dilakukan, yaitu gradient array dan dipole-dipole.

Kedua konfigurasi tersebut digunakan sebagai profiling dan mapping. Konfigurasi pole-pole, pole-dipole, Wenner, Schlumberger dan sebagainya jarang digunakan. Pemilihan konfigurasi gradient array dimaksudkan agar survei berjalan cepat sedang konfigurasi dipole-dipole dipilih karena resolusinya relatif baik dalam arah lateral.

7.2

7.1.2.1 Konfigurasi gradient array

Konfigurasi ini dilakukan untuk mendapatkan peta penyebaran IP pada kedalaman ekuivalen tertentu. Kedalaman pemetaannya tergantung dari bentangan elektroda arus AB yang digunakan (diperkirakan sekitar 0,125 kali bentangan AB). Pada pengukuran ini, data relatif baik bila dilakukan dengan bentangan elektroda potensial 50 m. 10% dari jumlah data harus berupa pengukuran overlap. Error pada pengukuran overlap tersebut dijadikan dasar sebagai evaluasi kualitas data. Penggunaan receiver berchannel banyak sangat membantu kecepatan produksi di lapangan. Penggunaan transmitter dan generator berkekuatan besar (7,5 KVA), sangat menentukan mutu data yang diperoleh. Pada bentangan AB sebesar 3 sampai 4 km diperlukan arus minimal 4 Amper untuk memperoleh data bermutu baik. Peningkatan arus dapat dilakukan dengan menggunakan plat tembaga disiram air garam pada elektroda arus. Data bermutu baik biasanya terletak pada lintasan yang relatif dekat dengan bentangan elektroda arus AB, semakin jauh dari bentangan elektroda arus AB mutu data semakin menurun. Untuk mengatasi hal tersebut harus dilakukan pemindahan bentangan alektroda AB agar relatif dekat dengan lintasan pengukuran elektroda potensial.

Anomali peta tahanan jenis atau IP yang diperoleh dapat mengarahkan pengukuran relatif lebih detil menggunakan konfigurasi dipole-dipole.

7.1.2.2 Konfigurasi dipole-dipole

Biasanya konfigurasi ini dilakukan untuk memperoleh data lebih detil dibanding gradient array. Dipole-dipole dapat dilakukan dengan berbagai harga x dan n tergantung dari penetrasi yang dikehendaki. Meskipun harga x diubah-ubah dari 25 m, 50 m, 100 m, 200 m hingga 300 m, biasanya harga n selalu dipergunakan dari 1 hingga 6. Pengukuran dengan n=7 sangat jarang dilakukan karena sinyalnya yang relatif lemah mengakibatkan data relatif besar kesalahannya.

Pemakaian receiver berchannel banyak (6 channel) sangat membantu produksi pengukuran di lapangan. Digunakannya receiver berchannel banyak, relatif mengurangi kesalahan pengukuran. Berikut ini ditunjukkan beberapa cara mengukur dipole-dipole dan hasil ploting point pengukurannya dengan menggunakan receiver berchannel banyak. Gambar 7.2 menjelaskan tentang mengukur IP cara bergerak searah. Transmitter selalu bergerak menyusul bentangan kabel receiver dan menghasilkan rangkaian data yang seragam sepanjang lintasan. Gambar 7.3 menjelaskan tentang pengukuran IP cara receiver ditengah. Pada setiap posisi receiver selalu dilakukan dua set pengukuran; satu set pengukuran dengan transmitter dibelakang (gambar 7.4) dan satu set dengan transmitter di depan. Cara ini menghasilkan data overlap sebanyak 7-10 %.

7.1.3. Perkiraan model geologi aspek-aspek lain yang mempengaruhi efisiensi

Perkiraan model geologi daerah eksplorasi sangat menentukan kesuksesan penerapan survei IP. Perkiraan model geologi menentukan konfigurasi kerapatan data dalam lintasan, jarak antar lintasan dan design penetrasi survei. Lintasan survei IP diusahakan agar relatif tegak lurus dengan benda anomali. Ketajaman seorang perencana survei IP sangat ditentukan oleh pengalaman dan perbendaharaan model-model geologi atau model-model IP yang pernah diketahui dan dihayatinya.

7.3

Gambar 7.2

CONTOH PENGUKURAN IP DENGAN CARA BERGERAK SEARAH

Zonge Engenering

7.4

Gambar 7.3

CONTOH PENGUKURAN IP DENGAN CARA RECEIVER DITENGAH

Zonge Engenering

7.5

Gambar 7.4

CONTOH PENGUKURAN IP DENGAN

RECEIVER DITENGAH DAN TRANSMITTER DISALAH SATU SISI

Zonge Engenering

7.6

Beberapa model IP dan contoh-contoh pengukuran IP beserta kontrol pemborannya ditunjukkan pada sub-bagian 7.3. Diharapkan dari contoh-contoh tersebut dapat mempertajam kemampuan ahli geofisika untuk merencana survei IP.

Untuk memperoleh efisiensi yang relatif besar dan hasil relatif baik, pada rencana survai harus mencantumkan syarat-syarat sebagai berikut :a. Membuat panjang lintasan survai dipole-dipole IP berkelipatan bulat dari jarak satu set

rangkaian bentangan kabel pengukuran.b. Menggunakan tenaga ahli yang telah berpengalaman cukup pada pengukuran konfigurasi

domain IP, TDIP, dan RPIP serta dapat berkomunikasi baik dengan buruh lokal.c. Menyediakan buruh dan kabel yang cukup agar dapat memasang rangkaian bentangan kabel

terlebih dahulu sebelum peralatan datang mengukurnya.d. Menyediakan sarana komunikasi yang baik.

7.2. Pengontrolan Kualitas Dataa. Pada pengontrolan kualitas data dilapangan, tidak terlepas dari lima aspek penting dan masih

banyak hal-hal lain yang harus diperhatikan. Aspek penting tersebut adalah:b. Evaluasi harga magnitude anomali, untuk menentukan standart error data lapangan. c. Evaluasi lebar dan panjang anomali, untuk menentukan kerapatan data.d. Menghindari efek kopling yang tidak diinginkan.e. Efisiensi pengukuran.f. Mempertinggi mutu data.

Hal-hal tersebut dijelaskan dalam subbab-subbab berikut.

7.2.1. Melakukan evaluasi magnitude anomali

Evaluasi magnitude anomali dilakukan dari data yang diperoleh dari hasil pengukuran percobaan di target yang telah ditentukan/diketahui. Magnitude anomali besar memberikan kelonggaran error pengukuran, sedang magnitude anomali kecil harus diimbangi dengan error yang kecil pula. Anomali kecil menuntut pengukuran yang sangat teliti, hal tersebut harus dilakukan oleh pelaksana-pelaksana yang benar-banar profesional dan menggunakan alat yang teliti.

Pada setiap lintasan pengukuran selalu membuat data overlap dengan posisi elektroda arus dan elektroda potensial dibolak-balik. Jumlah data overlap tersebut disarankan sebesar kurang lebih 10% dari jumlah data pada lintasan yang bersangkutan. Error data overlap tersebut dibandingkan terhadap magnitude anomali yang diperoleh atau terhadap harga rata-rata pengukurannya.

Diharapkan error berkisar antara 10% hingga 25% dari magnitude anomali. Error dibawah 10% bahkan dibawah 5% dari magnitude anomali merupakan data yang sangat bagus. Setiap pengukuran harus diusahakan untuk mencapai data yang sangat bagus tersebut. Sebagian ahli berpendapat bahwa harga error harus lebih kecil dari 10% dari harga rata-rata pengukuran. Tidak dapat dipenuhinya persyaratan tersebut menjadikan gugurnya penerapan magnitude IP. Hal tersebut juga berlaku pada pengukuran tahanan jenis dan tahanan jenis kompleks.

7.2.2. Melakukan evaluasi dimensi anomali

Lebar dan panjang anomali menentukan design atau perubahan design pengukuran IP. Lebar anomali menentukan kerapatan data yang mana dapat diatur dari jarak stasion pengukuran atau

7.7

lebar bentangan dipole (x), nilai harga n. Panjang anomali menentukan jarak antar lintasan pengukuran.

7.2.3. Menghindari efek kopling yang tidak diinginkan

Efek kopling terjadi pada pengukuran dipole-dipole pada bentangan panjang (x = 300 m) atau kondisi permukaan yang sangat konduktif (<10 Ohm-m). Persilangan kabel transmitter dan receiver dapat juga menyebabkan efek kopling.

Untuk menghindari efek kopling yang tidak diinginkan diusahakan tidak menggunakan kabel elektroda potensial maupun kabel elektroda arus dalam kondisi banyak tergulung dan bertumpuk-tumpuk pada saat dilakukan pengukuran. Setiap pengukuran tidak diperbolehkan untuk melakukan penumpukan kabel elektroda arus dengan kabel elektroda potensial. Pengukuran dilakukan pada satu arah, dimana posisi elektroda arus beserta kabelnya selalu di belakang atau di depan dari rangkaian kabel elektroda potensial. Pada teknik pengukuran ini tidak mungkin terdapat pertemuan kabel elektroda arus dan elektroda potensial sehingga efek kopling yang tidak diinginkan dapat dihindari. Contoh cara pengukuran dipole-dipole IP pada gambar 7.2, 7.3 dan 7.4 dapat menghindari efek kopling tersebut.

7.2.4. Mengefisienkan pengukuran di lapangan

Efisiensi pengukuran lapangan dapat dilakukan dengan menggunakan receiver berchannel banyak (6 channel). Dengan menggunakan 6 channel tersebut dapat diukur 6 data secara bersamaan dari satu posisi elektroda arus. Panjang lintasan pengukuran diusahakan sedemikian rupa agar merupakan kelipatan bulat dari rangkaian seting kabel dan peralatan yang telah dijelaskan pada gambar 7.2, 7.3 dan 7.4.

7.2.5. Mengusahakan kualitas data sebaik mungkin

Mutu data pengukuran IP dapat ditingkatkan dengan melakukan pengontrolan kualitas sebagai berikut:a. Hanya mencatat atau mememori harga pengukuran yang benar-benar stabil, atau Standard

Error Mean (SEM) yang benar-benar kecil. Bila SEM tidak dapat kecil, maka harus mememori dalam banyak blok data.

b. Mengusahakan arus yang cukup sehingga receiver dapat menerimanya dengan besaran di atas 0.1 mVolt.

c. Pengeplotan data dan pengonturan manual pada pseudo-section harus dilakukan secara langsung di lintasan lapangan. Hal tersebut dimaksudkan agar dapat diketahui secara cepat bila terdapat penyimpangan pengukuran; baik yang diakibatkan oleh kesalahan pemasangan kabel, adanya efek kopling atau nois-nois lokal lainnya.

Dengan diikutinya semua petunjuk tersebut, diharapkan dapat diperoleh data sebaik-baiknya dan sesuai dengan target anomalinya. Sebelum membuat pseudosection final, terlebih dahulu data harus dievaluasi dan dilakukan penyortiran.

Data yang tergolong berkualitas sangat jelek, dibuang. Bila dengan dibuangnya data berkualitas jelek menyebabkan hilangnya data pada pseudo section, maka pada posisi data tersebut ditulis keterangan "tidak ada data" atau "noise".

7.8

7.3. Potensi problem dan AntisipasinyaMeskipun telah mengikuti petunjuk pengukuran dan teknik mengontrol kualitas survei seperti telah dijelaskan di atas, diperkirakan masih ada potensi-potensi problem yang harus diantisipasi. Potensi-potensi problem tersebut antara lain:

7.3.1. Kesulitan mengirim arus

Kesulitan mengirim arus sesuai dengan permintaan receiver, agar diperoleh bacaan receiver stabil atau lebih dari 0.1 mVolt antara lain disebabkan oleh kondisi tanah/batuan yang kering dan adanya lapisan lava yang menutup daerah eksplorasi. Kesulitan tersebut dapat diatasi dengan melakukan hal-hal sebagai berikut:a. Elektroda arus dibuat dari alumunium foil dan disiram dengan air garam.b. Menggunakan kabel dengan tahanan jenis yang cukup kecil.c. Menggunakan transmitter dan generator berkekuatan relatif besar (3 KVA sampai dengan 7,5

KVA).

7.3.2. Kekeliruan penentuan posisi

Kekeliruan penentuan posisi elektroda arus maupun potensial akan menyebabkan kesalahan "ploting point" dan kesalahan harga tahanan jenis semu tetapi tidak terlalu mempengaruhi harga persen frekuensi efek ataupun chergeability.

Kekeliruan penentuan posisi dapat disebabkan oleh teknik pengukuran yang tidak baik (hanya menggunakan kompas dan meteran saja) dan penggunaan sistem peta yang berbeda-beda. Kekeliruan ini dapat berkisar antara 25 m hingga 500 m. Kekeliruan 25 m hingga 200 m dapat disebabkan oleh kesalahan pengukuran di lapangan sedang kekeliruan hingga 500 m dapat disebabkan oleh penggunaan sistem peta yang berbeda-beda atau campuran keduanya. Kesalahan ini banyak dialami pada eksplorasi-eksplorasi mineral karena biasanya pada eksplorasi mineral dilakukan oleh ahli-ahli geologi atau geofisika yang rata-rata mengabaikan masalah positioning. Untuk menghemat biaya biasanya masalah positioning banyak dikorbankan dengan cara antara lain:a. mempercayakan pada asisten lapangan yang belum tentu tahu masalah positioning tanpa ada

kontrol kualitas.b. menggunakan peralatan teresteristis yang sangat sederhana (compas dan meteran) tanpa

memperhatikan faktor-faktor blundernya.c. menggunakan peralatan hand held GPS tanpa memahami kesalahan-kesalahannya dan sistem

peta yang digunakan.d. Selain hal-hal tersebut diatas, banyak peta-peta batas wilayah kerja yang diberikan

Departemen Pertambangan dan Energi tanpa menyebut sistem dan elipsoide yang digunakannya (kasus di Indonesia).

e. Untuk menghindari kesalahan-kesalahan tersebut dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut:f. semua pengukuran posisi pada tahap survei lebih detil harus menggunakan minimal peralatan

teodolit T0. Penggunaan GPS cara single fix dapat dilakukan pada tahap survei pendahuluan atau regional.

g. harus menggunakan sistem peta (proyeksi & ellipsoide) yang seragam, baik untuk posisi data geologi, geofisika, geokimia, batas wilayah dan sebagainya.

h. bila menggunakan sistem koordinat dan elevasi lokal harus dibuat benchmark sebagai titik tetapnya. Semua pengukuran selanjutnya harus mengacu pada benchmark tersebut.

7.9

7.4. Beberapa Contoh Model Anomali IPUntuk mempertajam lokasi eksplorasi dan mengontrol kualitas survei IP, perlu pengetahuan mengenai model-model anomali IP. Dalam hal ini sengaja penulis mengumpulkan contoh-contoh model ideal pada pseudo section IP dan contoh-contoh anomali pseudo section dari pengukuran konfigurasi IP yang telah dibuktikan dengan pemboran. Kumpulan tersebut disajikan dalam bentuk gambar-gambar yang disalin dari “Practical Geophysics II”.

7.4.1. Model benda ideal

Contoh beberapa anomali IP dari model 2,5 dimensi benda ideal ditunjukkan pada Gambar 7.5 hingga Gambar 7.10. Model-model tersebut dibuat pada konfigurasi dipole-dipole dengan n=1 hingga n=3 atau 5 atau 6.

Gambar 7.5 menunjukkan model 2,5 dimensi benda horizontal berpolarisasi tinggi tanpa overburden. Gambar 7.6 menunjukkan benda tegak bersulfida tinggi (berpolarisasi tinggi) tanpa overburden, sedang gambar 7.7 ditutupi dengan overburden. Gambar 7.8, 7.9 dan 7.10 masing-masing menunjukkan model benda berpolarisasi tinggi di berbagai macam kedalaman. Pada Gambar 7.8 mempunyai kedalaman sebesar 1600 ft, Gambar 7.9 berkedalaman 2000 ft, sedang Gambar 7.10 berkedalaman 2400 ft.

7.4.2. Anomali tahanan jenis semu dan persen frekuensi efek terkontrol

Beberapa anomali IP dari pengukuran konfigurasi dipole-dipole berupa tahanan jenis semu ( a), persen frekuensi efek (fe) dan metal faktor (mf) yang telah dibuktikan dengan pemboran ditunjukkan pada gambar-gambar berikut. Anomali-anomali tersebut dibagi menjadi dua bagian, yaitu anomali bermagnitude normal dan bermagnitude relatif kecil.

7.4.2.1. Anomali bermagnitude normal

Gambar 7.13 dan Gambar 7.14 memperlihatkan hasil pengukuran dipole-dipole IP disertai hasil pemboran, dari "Pine Point type Mineralization". Gambar 7.11 memperlihatkan pengukuran dipole-dipole n=1 hingga n=3 dengan harga x=200 ft, sedang Gambar 7.12 menggunakan harga x=100 ft. Kedua gambar menunjukkan anomali klasik dengan magnitude sangat besar. Magnitude anomali persen frekuensi efek membesar (positif) dari harga umumnya dan anomali tahanan jenis semunya mengecil (negatif) dari harga umumnya.

Hal serupa diperlihatkan pada Gambar 7.13 dan Gambar 7.14. Dipole-dipole IP, n=1 hingga n=4 dengan x=200 ft pada Gambar 7.13 dan x=25 ft pada Gambar 7.14. Kedua pseudo-section tersebut memperlihatkan anomali klasik dengan magnitude besar.

7.10

Gambar 7.5

MODEL BENDA HORIZONTAL BERPOLARISASI TINGGI TANPA OVERBURDEN

7.11

Gambar 7.6

MODEL BENDA TEGAK HINGGA DALAM SEKALI BERPOLARISASI TINGGITANPA OVERBURDEN

7.12

Gambar 7.7

MODEL BENDA TEGAK HINGGA DALAM SEKALI BERPOLARISASI TINGGIDENGAN OVERBURDEN

7.13

Gambar 7.8

MODEL BENDA BERPOLARISASI TINGGI DIKEDALAMAN 1600 FT.

7.14

Gambar 7.9

MODEL BENDA BERPOLARISASI TINGGI DIKEDALAMAN 2000 FT.

7.15

Gambar 7.10

MODEL BENDA BERPOLARISASI TINGGI DIKEDALAMAN 2400 FT.

7.16

Gambar 7.11

HASIL PENGUKURAN DIPOLE-DIPOLE IP DENGAN X=200FT DARI PINE POINT TYPE MINERALIZATION PADA ORE BODY

7.17

Gambar 7.12

HASIL PENGUKURAN DIPOLE-DIPOLE IP DENGAN X=100FT DARI PINE POINT TYPE MINERALIZATION PADA ORE BODY

7.18

Gambar 7.13

HASIL PENGUKURAN DIPOLE-DIPOLE IP DENGAN X=200FT DARI PINE POINT TYPE MINERALIZATION PADA ORE ZONE

7.19

Gambar 7.14

HASIL PENGUKURAN DIPOLE-DIPOLE IP DENGAN X=25FT DARI PINE POINT TYPE MINERALIZATION PADA ORE ZONE

7.20

7.4.2.2 Anomali bermagnitude relatif kecil

Rangkaian contoh hasil pengukuran IP berikut mempunyai magnitude anomali yang relatif kecil. Harga magnitude anomalinya lebih kecil dari 2% fe, interpretasinya relatif sulit dan harus benar-benar hati-hati mempertimbangkan kesalahan maupun pola anomali.

Rangkaian Gambar 7.15 hingga 7.16 memperlihatkan anomali pengukuran IP yang telah dikontrol oleh hasil pemboran, dari "Lakeshore orebody", Pinal Country, Arizona pada tahun 1966 dan 1967. Pengukuran tahun 1996 dilakukan pada line-500N menggunakan konfigurasi dipole-dipole n=1 hingga n=5 dengan x=200ft (Gambar 7.15) dan x=300 ft (Gambar 7.16). Pada tahun berikutnya pengukuran dilakukan pada line 498N menggunakan konfigurasi yang sama dengan harga x=500ft (Gambar 7.17) dan x=1000 ft (Gambar 7.18), magnitude anomali Persen Frekuensi Effek sebesar 1% fe hingga 1,5% fe dengan harga umum (background) sekitar 2% fe. Pada kondisi seperti ini pengukuran IP harus dilakukan dengan ketelitian yang tinggi.

Gambar 7.19, 7.20 dan 7.21 menunjukkan hasil pengukuran dipole-dipole IP pada x=1 hingga n=4 masing-masing pada harga x=500 ft, x=300 ft dan x=100 ft. Ketiga rangkaian gambar tersebut merupakan hasil pengukuran IP line-25N yang telah dikontrol oleh hasil pemboran dari "massive sulfides" atau "massive lead-silver ore with pyrite" di daerah Broken Hill, New South Wales. Magnitude anomalinya relatif kecil, yaitu sekitar 1,5% fe dengan harga background 2% fe. Pada survei ini harus diukur dengan ketelitian yang tinggi.

Pengukuran dipole-dipole IP, n=1 hingga n=3 dan x=100 ft, di daerah Kalgoorlie, West Australian diperlihatkan pada Gambar 7.22. Hasil pengukuran mencerminkan anomali mineralisasi sulfida masif.

Gambar 7.23 memperlihatkan hasil survei dipole-dipole IP, n=1 hingga n=4 dan x=200 ft dapat mengungkapkan adanya Cn-Zn sulfida zone di daerah Hebecort Township, Noranda, Quebec, Canada.

7.21

Gambar 7.15

HASIL PENGUKURAN DIPOLE-DIPOLE IP DENGAN X=200FT DARI LAKESHORE ORE ZONE

7.22

Gambar 7.16

HASIL PENGUKURAN DIPOLE-DIPOLE IP DENGAN X=300FT DARI LAKESHORE ORE ZONE

7.23

Gambar 7.17

HASIL PENGUKURAN DIPOLE-DIPOLE IP DENGAN X=500FT DARI LAKESHORE ORE ZONE

7.24

Gambar 7.18

HASIL PENGUKURAN DIPOLE-DIPOLE IP DENGAN X=1000FT DARI LAKESHORE ORE ZONE

7.25

Gambar 7.19

HASIL PENGUKURAN DIPOLE-DIPOLE IP DENGAN X=500FTDARI SULFIDA MASIF

7.26

Gambar 7.20

HASIL PENGUKURAN DIPOLE-DIPOLE IP DENGAN X=300FTDARI SULFIDA MASIF

7.27

Gambar 7.21

HASIL PENGUKURAN DIPOLE-DIPOLE IP DENGAN X=100FTDARI SULFIDA MASIF

7.28

Gambar 7.22

HASIL PENGUKURAN DIPOLE-DIPOLE IP DENGAN X=100FTDARI SULFIDA MASIF DISERTAI PEMBORAN

7.29

Gambar 7.23

HASIL PENGUKURAN DIPOLE-DIPOLE IPUNTUK MENGETES ISO-COPPER FIELD DISERTAI PEMBORAN

7.30

DAFTAR PUSTAKA

POLARISASI TEREMBAS (IP)

Geoservices, P.T., Laporan-Laporan Survei Kombinasi, Gravitasi, Magnetik, Tahanan Jenis Kompleks, Elektromagnetik, CSAMT, TEM, GPS, Topografi, Leveling, Kelogistikan dan Lingkungan tahun 1980 - 1995 (bersifat tertutup).

Grant, F. S., and West, G. F.,1965, Interpretation theory in applied geophysics, McGraw-Hill, New York, U.S.A.

Parasnis, D.S.,1966, Mining Geophysics, Elsevier, Amsterdam.

Richard von Blaricom, 1992, Practical Geophysics II for the Exploration Geologist, Northwest Mining Association, U.S.A.

Robert E. Syarif, 1978, Geophysical Exploration and Interpretation, International Human Resources Development Corporation, Boston.

7.31