3 kajian kerentanan kota bandar lampung1

Upload: erland-prasetya

Post on 30-Oct-2015

45 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • LAPORAN AKHIR

    KAJIAN KERENTANAN DAN ADAPTASI

    TERHADAP PERUBAHAN IKLIM DI KOTA

    BANDAR LAMPUNG

    2010

  • ii

    RINGKASAN

    Di masa depan, perubahan iklim yang ditimbulkan oleh pemanasan global diperkirakan akan menciptakan pola-pola risiko baru, dan risiko yang lebih tinggi secara umum. Kenaikan permukaan laut akibat mencairnya gletser dan es kutub dan ekspansi termal akan memberikan kontribusi pada peningkatan banjir pesisir. Bandar Lampung sebagai kota pesisir akan terpengaruh secara serius oleh perubahan iklim dan kenaikan permukaan laut. Saat ini, beberapa wilayah pesisir sudah dipengaruhi oleh peningkatan permukaan laut. Banjir dan kekeringan juga terjadi cukup sering. Pemerintah Kota Bandar Lampung telah melaksanakan berbagai program dan juga mengembangkan strategi jangka menengah dan panjang untuk mengelola bencana. Rencana untuk meningkatkan infrastruktur untuk pengendalian bencana iklim seperti sistem drainase dan tanggul telah disiapkan. Namun, dengan meningkatnya perubahan iklim pada frekuensi dan intensitas kejadian iklim yang ekstrim, desain saat ini mungkin sudah tidak efektif untuk mengelola bencana iklim pada masa mendatang. Oleh karena itu juga sangat penting untuk mempertimbangkan perubahan iklim dalam merancang sistem kontrol bencana iklim.

    ISET di bawah Asian Cities Climate Change Resilience Network (ACCCRN dengan dukungan dari Yayasan Rockefeller, mengkoordinasikan studi tentang penilaian kerentanan dan adaptasi perubahan iklim yang dilakukan oleh MercyCorps, URDI dan CCROM SEAP-IPB di Bandar Lampung. Penelitian bertujuan (i) mengkaji variabilitas iklim saat ini dan masa depan di Bandar Lampung, (ii) menilai kerentanan dan kapasitas adaptasi serta risiko iklim saat ini dan masa depan di tingkat kelurahan, (iii) mengidentifikasi dampak langsung dan tidak langsung dari bencana iklim sekarang dan di masa depan di tingkat kelurahan, (iv) mengidentifikasi daerah dan kelompok sosial yang paling rentan, dan dimensi kerentanan, termasuk kapasitas adaptasi masyarakat terhadap dampak perubahan iklim, (v) mengidentifikasi masalah kelembagaan dan tata kelola pemerintahan yang mngkin mempengaruhi ketahanan kota terhadap risiko iklim saat ini dan masa depan, dan (vi) mengembangkan rekomendasi awal untuk Bandar Lampung dalam meningkatkan ketahanan kota terhadap risiko iklim saat ini dan masa depan

    PROFIL DAN IKLIM KOTA BANDAR LAMPUNG

    Bandar Lampung adalah ibu kota Provinsi Lampung. Secara geografis Bandar Lampung terletak pada 5o20 '- 5o30 lintang dan bujur 105o28'-105o37'. Bandar Lampung memiliki luas wilayah 19.722 hektar yang terdiri dari 13 kecamatan dan 98 desa (Kelurahan). Kota ini dilalui oleh dua sungai besar yaitu Way Kuala dan Kuripan dan 23 sungai kecil. Semua sungai-sungai ini membentuk DAS yang terletak di daerah Bandar Lampung dan sebagian besar mengarah ke Teluk Lampung. Beberapa jaringan drainase buatan menghubungkan sistem sungai di wilayah ini. Fungsi jaringan drainase ini adalah untuk mengurangi aliran permukaan sebagai akibat dari air hujan yang berlebihan. sistem jaringan drainase yang telah terinstal di Bandar Lampung meliputi Teluk Betung, Tanjung Karang, Panjang dan Kandis.

  • iii

    Warga Bandar Lampung memenuhi kebutuhan air bersih melalui perusahaan air minum daerah (PDAM) dan dengan mengambil air tanah dangkal/dalam melalui sumur gali. Saat ini, PDAM hanya mampu melayani 32% dari total penduduk Bandar Lampung. Kedalaman sumur gali adalah sekitar 30 hingga 50 meter dari permukaan tanah setempat.

    Bandar Lampung merupakan kota pelabuhan yang penting untuk kawasan Sumatera. Pelabuhan Kota Bandar Lampung terletak di suatu pantai berbentuk teluk sehingga gelombang tinggi sebagai akibat angin kencang tidak sepenuhnya langsung mengenai kawasan pantai. Meskipun demikian, di beberapa tempat kawasan pantai, sudah terjadi abrasi oleh gelombang laut. Di beberapa lokasi, wilayah pesisir merupakan kawasan padat penduduk. Untuk memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal, penduduk membangun rumah tempat tinggal di lahan hasil penimbunan pantai (reklamasi) sehingga terjadi akresi. Banyak dari para pemukim tidak memiliki bukti kepemilikan tanah secara hukum. Kondisi ini akan menjadi salah satu masalah serius dalam mewujudkan rencana Pemerintah Kota Bandar Lampung untuk menciptakan Water Front City.

    Jumlah penduduk di Bandar Lampung pada tahun 2008 adalah 822.880 orang dengan kepadatan penduduk sekitar 42 orang per ha. Kepadatan penduduk tidak merata. Kecamatan dengan kepadatan penduduk tinggi berada di Tanjung Karang Tengah dan Teluk Betung Selatan. Berdasarkan kelompok umur, proporsi terbesar penduduk Bandar Lampung adalah kelompok umur 20-24 dengan populasi 95.597 orang, diikuti oleh kelompok usia 15-19 dengan populasi 95.537 orang. Usia produktif (usia 15-55 tahun) di Bandar Lampung mencapai jumlah 546.920 atau 64,75% dari total penduduk. Sumber pendapatan masyarakat bervariasi. Perdagangan adalah mata pencaharian utama penduduk. Sebagian besar Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Bandar Lampung berasal dari transportasi dan komunikasi (19,6%), industri pengolahan (17,6%), jasa (16,9%) dan perdagangan, hotel, restoran (16,6%). Pertanian hanya berkontribusi 5% terhadap PDRB.

    Berdasarkan analisis terhadap data iklim historis yang panjang, ditemukan bahwa ada perubahan trend dan variabilitas variabel iklim seperti suhu dan curah hujan. Bukti paling nyata dapat dilihat dari trend peningkatan suhu permukaan rata-rata selama 100 tahun terakhir di kota itu. Perubahan curah hujan musiman juga ditemukan, yaitu pergeseran awal musim dan perubahan frekuensi curah hujan ekstrim. Berdasarkan 14 model iklim global (GCM), diindikasikan bahwa curah hujan musim basah (musim hujan) Bandar Lampung City (DJF) di masa depan mungkin sedikit meningkat, terutama di kawasan pesisir. Sebaliknya, curah hujan musim kering (JJA) akan menurun. Namun, analisis iklim di masa mendatang mungkin perlu disempurnakan dengan menggunakan model iklim dengan resolusi tinggi seperti RCM. Penggunaan model global seperti GCM tidak akan mampu menangkap efek lokal. Analisis lebih lanjut mengenai cuaca ekstrim di bawah perubahan iklim juga harus dilakukan. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa pemanasan global akan mendatangkan kejadian lebih ekstrim.

  • iv

    DAMPAK KEJADIAN IKLIM EKSTRIM

    Kota Bandar Lampung sangat rawan terhadap bencana alam. Jenis bencana alam yang melanda Kota Bandar Lampung meliputi banjir, tanah longsor, air pasang menyebabkan rob, tsunami, gempa bumi dan kekeringan. Abrasi, erosi dan sedimentasi juga terjadi di wilayah pesisir. Untuk mengevaluasi dampak sosial-ekonomi bencana terkait iklim, survei dan wawancara dilakukan di enam kelurahan, yaitu; tiga Kelurahan non-pantai (Batu Putu, Pasir Gintung, dan Sukabumi Indah), dan tiga untuk desa pesisir (Kangkung, Kota Karang, Panjang Selatan). Survei ini melibatkan 256 orang, terdiri dari laki-laki 62,28% dan 36,72% perempuan. Selain dari survei, informasi ini juga dipertajam melalui diskusi kelompok terfokus (FGD) di empat Kelurahan: Panjang Selatan, Kota Karang, Batu Putu, dan Pasir Gintung serta melalui studi literatur.

    Dari studi ini terungkap bahwa terjadinya bencana iklim (banjir dan kekeringan) mempunyai potensi untuk mengubah urutan nilai-nilai sosial masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari kerja sama penduduk atau kekerabatan dalam menangani masalah-masalah yang terjadi di masyarakat, hubungan kerja, transaksi pola produksi dan nilai-nilai sosial lainnya. Hubungan sosial antara orang-orang pada saat bencana masih berjalan dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan untuk saling membantu saat terjadi bencana. Dalam hal hubungan kerja, dampak dari bencana tersebut menyebabkan penurunan hubungan patron-klien yang sebelumnya merupakan bagian dari kehidupan sosial masyarakat pesisir. Bencana juga dapat menyebabkan meningkatnya insiden kejahatan seperti pencurian.

    Ekonomi dampak bencana iklim dapat dievaluasi dari dampaknya terhadap pekerjaan utama, dan harga beberapa komoditas. Bencana mengurangi produktivitas kerja terutama jika pekerjaan utama masyarakat rentan terhadap dampak bencana, seperti pertanian, perikanan dan lain-lain. Banjir di wilayah pesisir dapat mengurangi orang yang bekerja di sektor perikanan. Berdasarkan sektor ekonomi, dampak banjir menyebabkan kerugian untuk sektor infrastruktur, perumahan dan sektor perikanan. Sementara itu, kekeringan menyebabkan kerugian di bidang pertanian, perikanan dan air minum. Bencana ini juga menyebabkan kenaikan harga beberapa produk pertanian seperti padi, tanaman dan ternak, tetapi ini terjadi hanya di daerah sekitar bencana tersebut.

    Berdasarkan sektor ekonomi, bencana banjir memberikan dampak terbesar pada sektor kesehatan, sektor air minum, perumahan, perikanan, dan pekerjaan umum (kerusakan fasilitas drainase dan infrastruktur lainnya). Sedangkan sektor yang paling terkena dampak kekeringan adalah air minum, kesehatan, dan pertanian. Masalah kekurangan minum air meningkat pada musim kemarau panjang atau selama bencana banjir. Dampak bencana terhadap kesehatan adalah meningkatnya jumlah orang yang terinfeksi penyakit, terutama malaria, dan batuk / flu / pilek.

    Karena potensi terulangnya kejadian iklim ekstrim yang dapat menyebabkan bencana di masa depan, kondisi perumahan padat penduduk dengan lingkungan relatif kurang nyaman, dan rencana pemerintah untuk membangun water front city di daerah pesisir, penduduk di daerah pesisir bersedia untuk pindah sepanjang mereka diberikan fasilitas dan rumah-rumah yang layak dan relokasi tidak jauh dari laut, sehingga mereka masih bisa melakukan pekerjaan mereka saat ini (nelayan).

  • v

    Sementara beberapa warga di daerah bukan pesisir merasa enggan pindah karena mereka khawatir kehilangan pekerjaan. Namun, jika bencana parah dan memaksa mereka untuk pindah, mereka mengharapkan pemerintah untuk menyediakan perumahan dan pekerjaan baru.

    Dampak bencana yang mengakibatkan perubahan perilaku merupakan suatu bentuk adaptasi. Adaptasi selama banjir disikapi oleh penduduk beragam, mulai dari tinggal di rumah, pindah ke daerah yang tidak terkena banjir, pembuatan tanggul, memperdalam saluran air, meninggikan lantai, menambah pasokan makanan dan bahan bakar. Adaptasi terhadap kekeringan dalam bentuk membeli air untuk kebutuhan sehari-hari, mengurangi konsumsi air, memompa air dari sumber terdekat, relokasi ke daerah yag tidak mengaklami kekeringan dan melakukan ritual untuk meminta hujan.

    Bentuk adaptasi juga dapat dilihat pada cara mencari nafkah. Strategi mata pencaharian yang dilakukan oleh penduduk adalah pertanian intensifikasi dan pola pendapatan ganda. Intensifikasi pertanian dilakukan dengan melakukan diversifikasi tanaman. Pola pendapatan ganda dilakukan dengan dua cara, pertama dengan keragaman pendapatan, yang merupakan kombinasi dari mata pencaharian on farm and off farm, yang dimiliki oleh seseorang. Biasanya kegiatan off farm adalah pekerjaan sampingan, selain pekerjaan utama. Yang kedua adalah dengan memberdayakan anggota keluarga, seperti istri dan anak-anak yang telah dewasa.

    Untuk lebih mempersiapkan diri dalam mengelola risiko bencana, masyarakat berharap di tempat tersedia sistem peringatan dini bencana. Namun, sebagian besar warga mengaku bahwa mereka tidak pernah mendapat informasi tentang iklim atau peringatan dini dari pemerintah, EWS (Early Warning System), atau instansi terkait lainnya dan tidak ada lembaga penanganan bencana di daerah mereka. Hal ini menggambarkan kurangnya respon pemerintah untuk bencana yang terjadi di masyarakat. Sebagian besar penduduk memperoleh informasi tentang prakiraan iklim secara tradisional dari para pemimpin tradisional dan para pemuka masyarakat. Warga juga menerima ramalan informasi melalui media televisi. Berdasarkan beberapa jenis informasi yang terkait dengan bencana, informasi tentang peringatan bencana lebih berguna daripada informasi lainnya.

    RISIKO IKLIM TINGKAT 'KELURAHAN'

    Tingkat risiko dari sistem untuk bencana atau kejadian iklim ekstrim (extreme climate event /ECE) akan tergantung pada kapasitas sistem untuk mengatasi kejadian (disebut coping capacity index) dan kemungkinan kejadian iklim ekstrim untuk terjadi. Penelitian ini mengevaluasi tingkat risiko iklim pada level Kelurahan (desa). The coping capacity index dikembangkan berdasarkan indeks kerentanan dan kapasitas adaptasi dari Kelurahan. Indeks kerentanan dan kapasitas Kelurahan diukur dengan menggunakan sejumlah indikator sosial-ekonomi dan biofisik. Kelurahan di mana banyak rumah tangga yang mendirikan rumah/bangunan yang terletak di tepi sungai, sumber air minum sebagian besar bukan dari PDAM (sistem perpipaan), kepadatan penduduk tinggi, banyak orang miskin dan sebagian besar wilayah Kelurahan dekat sungai dan pantai dengan daerah terbuka hijau kurang luas, akan lebih rentan (indeks kerentanan tinggi) dibandingkan dengan rumah tangga

  • vi

    yang bangunan di tepi sungainya sedikit, kepadatan penduduk rendah, mendapatkan pelayanan yang lebih baik dari PDAM, penduduk miskin sedikit, dan hanya sebagian kecil wilayah Kelurahan dekat sungai dan pantai dengan lebih banyak daerah terbuka hijau (indeks kerentanan rendah). Konsekuensi (kerusakan, kerugian ekonomi dll) yang disebabkan oleh kejadian bencana akan lebih parah di Kelurahan yang memiliki indeks kerentanan tinggi. Namun, konsekuensi kejadian bencana di Kelurahan rentan tinggi akan berkurang jika memiliki kapasitas adaptasi tinggi. Kelurahan dengan indeks kapasitas adaptasi tinggi adalah kelurahan di mana banyak rumah tangga yang berpendidikan tinggi, sumber pendapatan utama masyarakat tidak sensitif terhadap bencana iklim (misalnya perdagangan jauh kurang sensitif dibandingkan pertanian) dan memiliki fasilitas kesehatan yang lebih baik dan infrastruktur jalan. Dalam studi ini, kita normalkan semua skor indikator sehingga indeks kerentanan dan indeks kapasitas berada pada kisaran dari 0 hingga 1.

    Untuk mengklasifikasikan Kelurahan berdasarkan coping capacity index mereka, kerentanan (VI) dan indeks kapasitas (CI) masing-masing kelurahan dikurangi sebesar 0,5. Nilai-nilai VI dan CI dinormalisasi sehingga mempunyai nilai yang berada pada kisaran dari 0 ke 1, dengan mengurangi nilai indeks dengan 0,5, VI dan CI akan berkisar dari -0,5 sampai 0,5. Posisi relatif dari Kelurahan sesuai dengan VI dan CI ditentukan berdasarkan posisi mereka dalam lima kuadrannya (Gambar 1). Kelurahan yang terletak di kuadran 5 akan memiliki VI tinggi dan rendah CI. Sedangkan Kelurahan yang terletak di kuadran 1 akan memiliki VI rendah dan CI tinggi. Dengan menggunakan sistem klasifikasi, jika Kelurahan terletak di kuadran 5 terkena bencana tertentu, dampaknya akan lebih parah dibandingkan dengan Kelurahan yang terletak di kuadran 1. Untuk menilai perubahan VI dan CI di masa depan, kami hanya mempertimbangkan perubahan kepadatan penduduk (berdasarkan pada proyeksi pemerintah), wilayah yang bukan daerah terbuka hijau, dan pendidikan (berdasarkan rencana tata ruang atau RTRW) karena data lainnya tidak tersedia. Faktor-faktor digunakan untuk normalisasi skor indikator-indikator yang sesuai untuk tahun 2025 dan 2050 adalah sama dengan baseline tahun 2005.

    Gambar 1. Klasifikasi kelurahan berdasarkan coping capacity index (kuadran 1 sampai 5) dan jumlah kelurahan yang berada di setiap kuadran pada kondisi saat ini (2005).

    High Vulnerability

    Index

    Low Vulnerability

    Index

    High Capacity

    Index

    Low Capacity

    Index

    5

    1 2

    4

    3

    +0.25

    +0.50

    -0.50

    -0.25

    -0.50 -0.25 +0.25 +0.50

    14 kelurahans 5

    36 kelurahans

    22 kelurahans 21 kelurahans

  • vii

    Analisis menunjukkan bahwa pada saat ini sekitar 14,2% dari kelurahan berada pada kuadran 5 yang memiliki coping capacity index tinggi (kelurahan dengan indeks kerentanan tinggi dan kapasitas yang rendah atau coping capacity index tinggi), 5,1% di kuadran 4, 36,7% di Kuadran 3, 22,4% di Kuadran 2 dan 21,4% di Kuadran 1 (Kelurahan dengan kerentanan rendah dan indeks kapasitas tinggi). Kelurahan di kuadran 5 termasuk Bumi Waras, Garuntang, Gunung Terang, Kangkung, Kedaton, Kota Karang, Panjang Selatan, Perwata, Sepang Jaya, Srengsem, Tanjung Senang, Teluk Betung, Way Kandis dan Waydadi. Pada tahun 2025 dan 2050, 6-7 kelurahan di Kuadran 5 akan pindah ke kuadran 4 dan 3 menunjukkan bahwa ada peningkatan coping capacity index. Namun, coping capacity index beberapa kelurahan di kuadran 3 dapat berubah menjadi kuadran 4 pada masa yang akan datang (Gambar 2). Hal ini menunjukkan bahwa kapasitas bertahan dari kelurahan akan menurun di masa depan (Gambar 3).

    Gambar 2. Jumlah kelurahan menurut coping capacity index (kuadran 1-5) saat ini dan di masa depan (2025 dan 2050)

    Gambar 3. Coping capacity kelurahan di Bandar Lampung

  • viii

    Untuk menentukan tingkat risiko dari kelurahan terhadap dampak perubahan iklim didefinisikan sebagai fungsi dari probabilitas kejadian iklim yang tidak terduga (ekstrim) dan konsekuensi dari kejadian jika itu terjadi. Seperti digambarkan sebelumnya, kita dapat berharap bahwa kelurahan dengan kerentanan tinggi tetapi indeks kapasitas rendah (di kuadran 5) kemungkinan akan terpengaruh lebih parah oleh kejadian-kejadian yang ekstrim dibandingkan dengan kelurahan dengan kerentanan rendah dan indeks kapasitas tinggi (kuadran 1). Jadi kita dapat mendefinisikan bahwa risiko iklim akan sangat tinggi di kelurahan pada kuadran 5 jika probabilitas kejadian iklim ekstrim di Kelurahan ini tinggi. Risiko iklim akan sangat rendah di Kelurahan pada kuadran 1 dan probabilitas dari kejadian iklim ekstrim di kelurahan ini juga rendah.

    Untuk mengakomodasi beberapa bencana iklim yang terhimpun dalam penilaian risiko iklim, kami mengembangkan indeks komposit bencana iklim (composite climate hazard index /CCHI). Jenis bencana iklim termasuk banjir, kekeringan, tanah longsor, serta peningkatan muka laut. Kami klasifikasikan indeks bencana iklim (nilai indeks berkisar dari 0 sampai 4.5) menjadi tiga kategori, yaitu kurang dari 2.0, antara 2,0 dan 3,5 dan lebih dari 3,5. Kelurahan dengan CCHI sebesar 4,5 berarti bahwa seluruh wilayah kelurahan ini terkena banjir dan kekeringan, dan tanah longsor setiap tahun dan benar-benar kebanjiran ketika rob terjadi. Kelurahan dengan CCHI mendekati nol berarti bahwa tidak ada bencana terjadi di kelurahan. Kami menggunakan output curah hujan dari 14 model sirkulasi umum (GCM) untuk skenario emisi tinggi (SRESA2) dan skenario emisi rendah (SRESB1).

    Penelitian menunjukkan bahwa pada tahun 2005, CCHI di sebagian besar wilayah Bandar Lampung sebagian besar kurang dari 1.0. Di masa depan berdasarkan scenario A2, area indeks> 2 menurun pada tahun 2025, tetapi meningkat sedikit pada tahun 2050. Kelurahan dengan CCHI tinggi baik saat ini dan di masa mendatang adalah Kelurahan Gunung Mas, KecamatanTeluk Betung Utara.

    Selanjutnya, kami klasifikasi tingkat risiko iklim dari kelurahan berdasarkan coping capacity index dan CCHI (Tabel 1). Peta risiko iklim Bandar Lampung berdasarkan Kelurahan dihasilkan melalui tumpang tepat peta coping capacity index dan CCHI pada kondisi iklim saat ini dan masa depan seperti ditunjukkan pada Gambar 2.

    Tabel 1. Matrix risiko iklim menurut coping capacity index dan composite climate hazard index

    Coping Capacity Index (kuadran)

    Composite Climate Hazard Index (CCHI) > 3.5 2.0 - 3.5 < 2.0

    5 Sangat Tinggi (VH) Tinggi (H) Sedang ke Tinggi (M-H)

    4 Tinggi (H) Sedang ke Tinggi (M-

    H) Sedang (M)

    3 Sedang ke Tinggi (M-

    H) Sedang Medium (M) Sedang ke Rendah (M-

    L)

    2 Medium (M) Sedang ke Rendah (M-

    L) Rendah (L)

    1 Sedang ke Rendah

    (M-L) Rendah Low (L) Sangat Rendah (VL)

  • ix

    Gambar 4. Jumlah Kelurahan menurut kategori risiko iklim

    Gambar 5. Klasifikasi Kelurahan berdasarkan tingkat eksposur mereka terhadap risiko iklim (A) & (D) Risiko Iklim Baseline, (B) Risiko Iklim skenario A2 2025, (C) Risiko Iklim skenario A2 2050, (E) Risiko Iklim skenario B1 2025, (F ) Risiko Iklim skenario B1 2050

    A

    F E D

    C B

  • x

    Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada Kelurahan dengan kategori risiko iklim Sangat Tinggi (VH) saat ini (kondisi baseline). Kategori tertinggi adalah hanya Menengah ke Tinggi (M-H). Ada sekitar 14 Kelurahan (14,2%) dengan kategori risiko M-H. Ini termasuk Kota Karang dan Perwata (Kecamatan Teluk Betung Barat), Kelurahan Gunung Terang (Kecamatan Tanjung Karang Barat), Kelurahan Tanjung Senang dan Way Kandis (Kecamatan Tanjung Senang Sub-distrik), Kelurahan Waydadi (Kecamatan Sukarame), Sepang Jaya dan kelurahan Kedaton (Kecamatan Kedaton), Kelurahan Kangkung, Bumi Waras dan Teluk Betung (Kecamatan Teluk Betung Selatan), dan Kelurahan Panjang Selatan dan Srangsem (Kecamatan Panjang). Sisanya adalah 5 Kelurahan (5.1%) berada pada risiko iklim M (Menengah), 36 Kelurahan (36,7%) pada risiko iklim L-M (Rendah ke Medium), 22 Kelurahan (22,4%) pada risiko L (rendah) dan 21 (21,4%) Kelurahan pada risiko iklim VL (sangat rendah). Di masa depan (skenario 2025 dan 2050), lebih banyak Kelurahan, terutama di bawah skenario SRESB1, akan terkena risiko iklim yang lebih tinggi (Gambar 6.4). Ada dua Kelurahan akan pindah dari M-H ke kategori risiko iklim tinggi, yaitu kelurahan Gunung Mas di Kecamatan Teluk Betung Utara dan Kelurahan Garuntang di Kecamatan Teluk Betung Selatan. Sementara banyak dari Kelurahan dengan kategori risiko L-M akan pindah ke kategori risiko sedang (M) (Gambar 5).

    Analisis di atas menunjukkan bahwa perubahan dalam kondisi sosial-ekonomi dan biofisik akan mengubah kapasitas ketahanan Kelurahan. Adaptasi program harus diprioritaskan di Kelurahan dengan indeks kerentanan tinggi dan indeks kapasitas rendah dan sedang terkena atau berpotensi terkena indeks bencana iklim yang tinggi. Untuk mengurangi tingkat risiko Kelurahan terhadap dampak perubahan iklim, infrastruktur dan program pengembangan masyarakat harus diarahkan untuk meningkatkan indikator-indikator sosial-ekonomi dan biofisik mempersiapkan kapasitas kerentanan dan adaptasi dari Kelurahan.

    TATA PEMERINTAHAN DAN SISTEM KELEMBAGAAN

    Pemerintahan dan lembaga adalah dua faktor penentu yang mempengaruhi ketahanan kota terhadap perubahan iklim. Tata pemerintahan dan kelembagaan yang kuat akan meningkatkan ketahanan kota terhadap perubahan iklim. Ada tiga aspek penting perlu dinilai untuk menilai ketahanan kota terhadap perubahan iklim. Yang pertama adalah bagaimana stakeholder memainkan peran mereka dalam mengelola risiko iklim. Yang kedua adalah apa program (pendek dan jangka panjang) inisiatif saat ini untuk mengatasi risiko iklim dan seberapa efektif mereka. Ketiga adalah apa kapasitas pemerintah lokal dan institusi untuk mengintegrasikan perubahan iklim ke dalam perencanaan jangka pendek dan jangka panjang pembangunan.

    Dari hasil analisis terungkap bahwa manajemen perubahan iklim di Kota Bandar Lampung melibatkan stakeholder baik dari internal dan eksternal kota. Setiap stakeholder memiliki peran dan kontribusi mereka sendiri untuk beradaptasi dan memperkuat masyarakat untuk perubahan iklim. Kemitraan ini merupakan pra-kondisi untuk menciptakan masyarakat yang memiliki kapasitas untuk beradaptasi dengan perubahan iklim. Secara keseluruhan, pemerintah daerah Bandar Lampung memainkan peran besar dalam perubahan iklim baik untuk dukungan keuangan dan pelaksanaan program. Sedangkan peran pemerintah provinsi diklaim tidak terlalu signifikan, tetapi memiliki peran lebih dalam mengkoordinasikan program dan

  • xi

    kebijakan dari beberapa kota. Namun, koordinasi antar pemangku kepentingan dan sektor harus diperkuat untuk mendapatkan manfaat maksimal dari program untuk lingkungan dan masyarakat.

    Ada sejumlah program dan rencana yang disiapkan oleh pemerintah untuk menangani bencana alam di kota. Inisiatif saat ini yang dilakukan oleh pemerintah daerah sebagai respon untuk manajemen bencana adalah merumuskan program dan rencana aksi dalam mengurangi risiko bencana melalui studi intensif pada tahun 2008. Selain rencana aksi, pemerintah kota Bandar Lampung telah membentuk Badan Pengelolaan Bencana Daerah pada bulan November 2009 meskipun dewan tersebut belum efektif pada pelaksanaan program tersebut. Di sisi lain, perencanaan tata ruang kota dari Bandar Lampung belum mempertimbangkan isu-isu perubahan iklim. Rencana tata ruang (RTRW) yang tidak benar akan menyebabkan kota menghadapi risiko iklim yang lebih tinggi di masa depan. Beberapa masalah yang berpotensi menyebabkan kesulitan untuk menerapkan iklim dalam perencanaan tata ruang termasuk inkonsistensi dalam pelaksanaan perencanaan tata ruang, perubahan tata guna lahan, seperti kawasan sepanjang sungai dan lain-lain. Bagaimanapun, ada ruang untuk memberikan masukan tentang isu-isu perubahan iklim ke dalam RTRW Kota Bandarlampung yang sedang direvisi.

    Terkait dengan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah, ada beberapa lembaga yang terkait dengan pembentukan tim kota, pemerintah pusat dan dukungan donor pada pembiayaan dan beberapa pelaksanaan proyek yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan. Sementara sebagian besar kelemahan terkait dengan kebutuhan dalam hal koordinasi yang lebih baik antar sektor dan antar daerah dalam rangka mengurangi ketidakefektifan pelaksanaan proyek. Hal ini juga menunjukkan kebutuhan untuk memperkuat Tim Kota dalam memperjuangkan untuk memperkenalkan dan mengintegrasikan isu perubahan iklim ke dalam dokumen perencanaan daerah.

    Kapasitas pemerintah daerah dalam mengintegrasikan perubahan iklim ke dalam perencanaan pembangunan jangka panjang saat ini masih terbatas. Hal ini dapat dipahami mengingat perubahan iklim adalah masalah yang kompleks. Penelitian ilmiah yang kuat pada skenario perubahan iklim dan dampak perubahan iklim di Kota Bandar Lampung akan diperlukan untuk membantu pemerintah daerah dalam mengembangkan rencana cakrawala adaptasi perubahan iklim. Bantuan teknis dan program peningkatan kapasitas untuk aparat pemerintah daerah juga diperlukan, sehingga memungkinkan mereka dalam mengembangkan rencana cakrawala adaptasinya.

    Terdapat sejumlah kondisi yang menguntungkan di Kota Bandar Lampung, yang dapat secara positif berkontribusi pada proses pengembangan ketahanan kota terhadap perubahan iklim. Dalam peraturan dan kebijakan jelas disebutkan bahwa dokumen perencanaan harus mempertimbangkan mitigasi bencana dan adaptasi dan masalah perubahan iklim. Pemerintah Kota Bandar Lampung juga akan merumuskan rencana pembangunan jangka menengah baru sebagai hasil dari pemilihan langsung yang akan dilaksanakan pada bulan Juni 2010. Ini merupakan kesempatan yang baik untuk mengintegrasikan aspek perubahan iklim ke dalam dokumen, sehingga secara hukum dapat mengikat. Perlu komitmen politik dan pemahaman yang komprehensif dari Tim Kota untuk memperkenalkan masalah-masalah terkait perubahan iklim.

  • xii

    PERENCANAAN TINDAKAN ADAPTASI

    Untuk meningkatkan ketahanan kota terhadap perubahan iklim, dirasakan penting untuk memahami bagaimana orang-orang, masyarakat, dan sektor memberikan respon terhadap risiko iklim saat ini dan bagaimana kapasitas saat ini harus dikembangkan untuk memperkuat kapasitas dalam mengelola risiko iklim di masa mendatang. Proyek percontohan khusus dibutuhkan sebagai bahan pelajaran bagaimana risiko iklim dapat dikelola dengan baik dan bagaimana menggunakan metode pembelajaran tersebut untuk memperbaiki rencana adaptasi perubahan iklim.

    Berdasarkan studi mengenai Penilaian Kerentanan Berbasis Masyarakat (Community Based Vulnerability Assessment /CBA) di Kelurahan Kankung, Pasir Gintung, Kota Karang, dan juga mempertimbangkan temuan dari survei dan literatur, kita ekstrak sejumlah pelajaran yang dapat berkontribusi dalam mengembangkan strategi adaptasi. Kami belajar beberapa sifat umum yang terlihat dalam strategi adaptasi di tingkat masyarakat:

    Cukup hanya 'kerja mereka': ini adalah sense adaptasi yang sangat praktis yang memiliki bantalan nyata dan berpengaruh pada kehidupan sehari-hari mereka.

    Mereka yang murah dan bekerja dengan bahan yang tersedia: bagi masyarakat miskin perkotaan, sumber daya langka. Misalnya, bahan perumahan memulung dari tumpukan material di dekatnya, atau tabungan masyarakat bahkan kelompok yang mengumpulkan jumlah yang sangat minim. Ini adalah apa yang orang mampu dan yang masuk akal bagi mereka.

    Dapat diakses pada saat dibutuhkan: Dalam rangka untuk mendapatkan modal untuk memulihkan kondisi dari banjir keluarga mungkin menjual televisi, sepeda motor atau aset yang berfungsi lainnya, dibandingkan melalui proses aplikasi birokrasi yang mungkin berarti dokumen panjang. Umumnya di kota orang menginginkan akses ke sumber daya dengan cepat dan ini adalah karakteristik yang sangat penting dari strategi adaptasi yang bekerja, mereka dapat dengan mudah dikelola dan diakses.

    Mereka tidak bergantung atas proyek besar atau intervensi pemerintah: Orang-orang telah dibiasakan bergantung pada organisasi masyarakat dan inisiatif yang lebih baik dalam meresponkebutuhan mereka sendiri. Sementara intervensi pemerintah sangat dihargai dan instrumental kemandirian lokal tampaknya menjadi karakteristik kunci dari strategi adaptasi.

    Adaptasi terhadap peristiwa iklim yang parah harus bekerja sama dengan strategi adaptasi lainnya: Orang-orang yang paling terpengaruh oleh perubahan iklim mungkin tidak tahu atau peduli untuk merencanakan untuk itu, jika tidak bermanfaat bagi aspek-aspek lain dari kehidupan mereka. Demi keselamatan sendiri bukan merupakan faktor motivasi, tapi ketika manfaat lainnya dapat diturunkan maka solusinya dapat dijalankan.

    Seluruh lebih besar daripada jumlah dari bagian-bagian: Banyak strategi adaptasi berhasil karena mereka memanfaatkan upaya kolektif dan kekuatan orang. Orang-orang yang peduli satu sama lain dan ketika kekhawatiran ini diterjemahkan dalam aksi kolektif dapat memberikan hasil yang signifikan.

    Memanfaatkan dukungan pemerintah memberikan hasil yang lebih baik: Ketika masyarakat mampu bekerja sama dengan pemerintah daerah dan pemerintah kota (dan sebaliknya) strategi adaptasi tampaknya telah berhasil.

  • xiii

    Akses lebih ke informasi dapat menyebabkan hasil yang lebih baik: masyarakat miskin perkotaan biasanya terisolasi dan strategi adaptasi tampaknya begitu berhasil meningkatkan akses terhadap informasi.

    Dari metode pembelajaran, kita dapat disimpulkan bahwa adaptasi yang sukses di tingkat masyarakat tergantung dari beberapa faktor yaitu: (i) ketersediaan dana, (ii) tingkat kapasitas, (iii) akses terhadap informasi, (iv) kolaborasi dan keterlibatan pemerintah daerah, (v) migrasi dan tingkat pertumbuhan, (vi) pelayanan publik, dan (vii) mobilitas. Kota Bandar Lampung berada dalam posisi yang baik untuk pindah ke ketahanan kota sebagaimana sudah tersedia (i) ada kasus dan dapat dilaksanakan, (ii) jaringan sosial yang mungkin timbul dari orang-orang dalam situasi yang mirip dengan tahu bagaimana, (iii) tingkat pemerintah daerah setempat, (iv) kota dan program pemerintah nasional (misalnya PNPM), (v) Bahan dan pengetahuan dari industri dan kegiatan ekonomi, (vi) kepemimpinan lokal, (vii) kohesi masyarakat, dan (viii) lokal organisasi masyarakat sipil, (ix ) memanfaatkan sumber daya yang ada (seperti subsidi, narasi komunitas berbagi dan jaringan, pembiayaan biaya rendah perbaikan perumahan, Neighbourhood Vulnerability Index, peta yang terperinci untuk digunakan pemerintah daerah setempat, alternatif jaring pengaman sosial, dan koalisi berbasis luas untuk menangani masalah perubahan iklim).

    Pilot proyek diperlukan untuk membantu pemerintah daerah untuk lebih memahami bagaimana perubahan iklim akan berdampak pada masyarakat dan sektor, bagaimana kapasitas saat ini harus diperkuat dan rencana tata ruang untuk ditingkatkan untuk membentuk ketahanan kota terhadap perubahan iklim dan bagaimana menggunakan metode pembelajaran yang baik dari pilot proyek dalam merancang kebijakan dan strategi jangka panjang untuk mengatasi perubahan iklim. Tim Kota telah memfasilitasi berbagai pihak untuk mengembangkan sejumlah proyek percontohan. Tujuan dari pelaksanaan pilot adalah (i) untuk mempersiapkan dampak perubahan iklim di tingkat kota, (ii) untuk melibatkan para stakeholder tingkat kota (pemerintah kota, LSM, universitas, Ormas, sektor swasta, kelompok masyarakat), (iii) melaksanakan proyek percontohan dalam hal uji perubahan strategi ketahanan iklim, dan (iv) untuk menguji kapasitas adaptasi masyarakat. Untuk proyek-proyek percontohan, subjek adalah orang-orang rentan yang terkena dampak perubahan iklim. Penerima manfaat adalah perempuan, anak-anak, orang tua dan laki-laki, baik dalam faktor kesadaran yang meningkat, peningkatan kapasitas lokal, mempengaruhi kebijakan lokal dll.

    Kegiatan proyek percontohan juga dirancang untuk memenuhi kriteria sebagai berikut: (i) replicability, (ii) menangani risiko saat ini dan masa depan, (iii) manfaat kepada masyarakat lokal, (iv) inovasi, (v) kerjasama, (vi) skalabilitas , dan (vii) strategi keberlanjutan. Ada beberapa kriteria tambahan yang harus dilakukan oleh pelaksana proyek percontohan: (i) pelaksanaan pilot proyek harus berkaitan dengan masalah-masalah lokal di masyarakat lokal administratif atau lintas administratif berbatasan dengan isu-isu lingkungan, kesehatan, pendidikan, sosial, ekonomi yang terkait dengan dampak perubahan iklim, dan (ii) pelaksanaan proyek percontohan diarahkan untuk adaptasi dan kegiatan usaha respon terhadap dampak perubahan iklim, seperti: erosi, banjir kekeringan, tanah longsor dll.

  • xiv

    Ada dua proyek percontohan dipilih Asian Cities Climate Change Program (ACCCRN) sebagai kontribusi terhadap tujuan pembangunan dan mengatasi dampak perubahan iklim di Bandar Lampung:

    (A) Desain Partisipatif Adaptasi Ketahanan Masyarakat di Kangkung dan Kecamatan Kota Karang, Kota Bandar Lampung untuk Perubahan Iklim oleh Lampung Ikhlas - LSM Lokal. Tujuan dari proyek ini adalah "untuk meningkatkan pemahaman, kesadaran, dan keterlibatan partisipatif masyarakat dalam rangka membangun kapasitas adaptasi terhadap dampak perubahan iklim". Selanjutnya, target dari proyek ini adalah (i) untuk membangun pemahaman dan melaksanakan program kegiatan bagi masyarakat di Kangkung dan Kecamatan Kota Karang terhadap dampak perubahan iklim (dalam sosial, ekonomi, dan sektor-sektor kehidupan yang berkelanjutan), (ii) meningkatkan kapasitas masyarakat untuk beradaptasi dengan perubahan iklim, (iii) meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap perubahan iklim di Kangkung dan Kecamatan Kota Karang dan (iv) untuk membantu meningkatkan standar hidup masyarakat di bidang kesehatan, ketahanan ekonomi rumah tangga, manajemen lingkungan, dan adaptasi terhadap perubahan iklim.

    (B) Peningkatan Kapasitas Masyarakat Kecamatan Panjang Selatan untuk Mengatasi Perubahan Iklim oleh Mitra Bentala - Lokal LSM. Tujuan dari proyek ini adalah "sebagai upaya untuk memperkuat kapasitas masyarakat dalam rangka untuk meningkatkan ketahanan masyarakat Kecamatan Panjang Selatan terhadap perubahan iklim". Selanjutnya, target jangka pendek dari proyek tersebut (i) untuk meningkatkan kapasitas masyarakat melalui keterlibatan aktif dan meningkatkan pengetahuan tentang upaya adaptasi perubahan iklim; (ii) untuk membangun kesadaran masyarakat dalam memahami dan memecahkan masalah-masalah berkaitan dengan dampak perubahan iklim; dan (iii) untuk beradaptasi dengan perubahan iklim melalui pengelolaan limbah, penyediaan air minum isi ulang, dan rehabilitasi. Target jangka panjang adalah untuk (i) untuk mendorong pembentukan kelompok masyarakat dalam adaptasi perubahan iklim, dan (ii) untuk mendorong penciptaan kolektif untuk dukungan pelaksanaan adaptasi terhadap perubahan iklim di Kecamatan Panjang Selatan; dan membangun kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim.

  • xv

    KATA PENGANTAR

    Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau, garis pantai lebih dari 80.000 km dengan mayoritas penduduk hidup di wilayah pesisir di mana sebagian besar kegiatan ekonomi negara berlangsung. Indonesia adalah negara yang rawan terhadap bencana alam seperti banjir, kekeringan, badai, tanah longsor, letusan gunung berapi, dan kebakaran hutan. Di masa depan, perubahan iklim yang ditimbulkan oleh pemanasan global diperkirakan akan menciptakan pola-pola risiko baru dan secara umum lebih tinggi. Bandar Lampung merupakan salah satu kota pesisir yang rentan terhadap bencana tersebut.

    Saat ini, beberapa Kelurahan di Kota Bandar Lampung sudah terpengaruh oleh bencana iklim seperti banjir, kekeringan dan juga rob. Di masa depan, peristiwa-peristiwa ekstrem dapat terjadi lebih sering dengan intensitas tinggi. Sebagian besar Kelurahan Bandar Lampung yang terkena dampak adalah yang ditempati oleh keluarga dengan pendapatan rendah dan hidup dalam kemiskinan. Mereka sangat rentan terhadap dampak dari masalah lingkungan. Pemerintah Kota harus menangani hal ini secara lebih serius dalam rencana pengembangan pembangunan kota, dan segera mengambil tindakan untuk mengatasi masalah kebutuhan mendesak masyarakat saat ini. Oleh karena itu, Penilaian Kerentanan dan Adaptasi Perubahan Iklim di Kota Bandar Lampung telah dilaksanakan dan hasil penilaian ini disajikan dalam laporan ini.

    Laporan ini menjelaskan secara rinci mengenai: (i) karakteristik iklim Bandar Lampung saat ini dan masa depan, (ii) Dampak bahaya iklim dan kerentanan masyarakat terhadap kejadian iklim ekstrim, dan kemampuan adaptasi yang ada saat ini, (iii) Peta kerentanan saat ini dan masa depan dan peta kapasitas serta risiko iklim di Tingkat Kelurahan, (iv) Permasalahan pemerintahan dan isu-isu kelembagaan yang dapat mempengaruhi efektivitas pelaksanaan program perubahan iklim, (v) rekomendasi awal untuk meningkatkan ketahanan Kota terhadap risiko iklim saat ini dan masa depan, dan ( vi) Rekomendasi pada jenis proyek percontohan untuk meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap dampak perubahan iklim.

    Penelitian ini didukung oleh berbagai institusi. Institute for Social and Environmental Transition (ISET) adalah pengelola the Asian Cities Climate Change Resilience Network (ACCRN) sebagai bagian dari keseluruhan Rockefeller Foundation Climate Change Initiative. MercyCorp membantu ISET dalam pelaksanaan program ACCRN di Bandar Lampung bekerjasama dengan Pemerintah Daerah (Tim Kota), Urban and Regional Development Institute (URDI), Centre for Climate Risk and Opportunity Management in South East Asia and Pacific (CCROM SEAP) Institut Pertanian Bogor, institusi lokal, masyarakat lokal, dan LSM lokal. Dukungan mereka selama pelaksanaan penelitian ini adalah hal yang terpenting dan sangat dihargai.

    Kami berharap Pemerintah Kota Bandar Lampung dapat memanfaatkan beberapa hasil yang disajikan dalam laporan ini, untuk menangani masalah-masalah terkait rencana pembangunan kota dan dalam pelaksanaan program-program perubahan iklim.

  • xvi

    DAFTAR ISI

    Halaman Ringkasan i Kata Pengantar xv Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar

    xvi xviii

    xx

    1. PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang Studi 1 1.2. Tujuan 2 1.3. Outputs 2

    2. SEKILAS KONDISI KOTA BANDAR LAMPUNG DAN DESKRIPSI RESPONDEN

    3

    2.1. Lokasi dan Konteks Geografi Municipal Administration Resources Base Posisi Bandar Lampung dalam Konteks Kawasan Kondisi Demografi dan Sosial Kondisi Ekonomi dan Mata Pencaharian Profil Responden

    3 2.2. 3 2.3. 4 2.4. 7 2.5. 12 2.6. 14 2.7. 15

    2.7.1. Konteks Sosial Mata Pencaharian dan Ekonomi

    16 2.7.2. 29

    3. KONDISI IKLIM HISTORIS DI BANDAR LAMPUNG 41 3.1. Kondisi Iklim dan Cuaca Ekstrim 41

    3.1.1. Pengaruh ENSO dan IOD terhadap Variabilitas Curah Hujan di Bandar Lampung

    41

    3.1.2. Angin Ekstrim 42 3.2. Analisis Tren Perubahan Iklim di Kota Bandar Lampung 43

    3.2.1. Tren Curah Hujan 43 3.2.2. Tren Suhu 46

    3.3 Proyeksi Perubahan Iklim 47

    4. DAMPAK KEJADIAN IKLIM EKSTRIM 53 4.1. Dampak Biofisik

    Dampak Umum dari Kejadian Iklim Ekstrim Dampak Sosial Ekonomi dari Kejadian Iklim Ekstrim Respon Pemerintah dan Masyarakat terhadap Bencana Akibat Kejadian Iklim Ekstrim

    53 4.2. 55 4.3. 57 4.4. 68

    5. PEMETAAN KERENTANAN DAN KAPASITAS ADAPTIF 79 5.1. Metodologi untuk Pemetaan Kerentanan dan Kapasitas Adaptif

    Klasifikasi Kelurahan (Desa) Berdasarkan Indeks Kerentanan dan Kapasitas

    79 5.2. 83

  • xvii

    6. ANALISIS RESIKO IKLIM 87 6.1. Metodologi untuk Pemetaan Risiko Iklim

    Klasifikasi Kelurahan (Desa) berdasarkan Tingkat Eksposur terhadap Risiko Iklim

    87 6.2. 90

    7. PEMERINTAH DAN KELEMBAGAAN DALAM KAJIAN KERENTANAN PERUBAHAN IKLIM

    93

    7.1. Climate Hazard di Kota Bandar Lampung Ruang Lingkup Komponen Kepemerintahan dan Kelembagaan Pemetaan peran stakeholder dalam penyediaan dan pengelolaan sektor-sektor terkait dengan perubahan iklim

    93 7.2. 95 7.3. 96

    7.4. Permasalahan Perkotaan di Bandar Lampung yang Terkait dengan Adaptasi Perubahan Iklim

    98

    7.5. Analisis Pemangku Kepentingan (Stakeholder Analysis) Pemetaan Pemangku Kepentingan (Stakeholder Mapping) Mekanisme dan Proses Perencanaan Pembangunan di daerah dan Penanggulangan Bencana

    99 7.6. 105 7.7. 106

    7.8. Pemetaan Peran Stakeholder dalam penyediaan dan pengelolaan sektor-sektor terkait dengan perubahan iklim

    109

    7.9. Analisis kapasitas kepemerintahan dan kelembagaan dalam rangka mengintegrasikan perencanaan ketahanan dalam perubahan iklim (framework organizational capacity)

    113

    7.10. Temuan dan Rekomendasi untuk Perencanaan Ketahanan Kota dalam rangka Perubahan Iklim

    116

    8. ADAPTASI 118 8.1. Strategi Adaptasi di Bandar Lampung

    118

    8.2. Pembelajaran 121 8.3. Pilot Project daerah Bandar Lampung sebagai Rencana Aksi

    Adaptasi 122

    8.4. Adaptasi dan Ketahanan 127 8.5. Ide-ide spesifik untuk memperkuat kapasitas adaptif 129

    Kesimpulan 136 Daftar Pustaka 139 Lampiran 142

  • xviii

    DAFTAR TABEL

    Halaman 2-1 Nama Kecamatan, Luas Wilayah dan Jumlah Kelurahan di

    Kota Bandar Lampung 4

    2-2 Results of land use/land Cover Classification for 1992 and 2006 Images Showing area of each category, class percentage and area changed

    6

    2-3 Major Land Use/Cover Conversions from 1992 to 2006 7 2-4 Fungsi Bagian Wilayah Kota (BWK) Bandar Lampung 8 2-5 Struktur penduduk Kota Bandar Lampung (BPS Kota Bandar

    Lampung, 2009) 13

    2-6 Produk Domestik Regional Bruto Kota Bandar Lampung Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2004-2007

    15

    2-7 Distribusi Tingkat Pendidikan Masyarakat Pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 (dalam %)

    16

    2-8 Distribusi Tingkat Pendidikan Masyarakat Berdasarkan Mata Pencaharian Pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung Tahun 2009 (dalam %)

    17

    2-9 Distribusi Anggota Rumah Tangga Yang Berperan Dalam Mengambil Keputusan Keluarga Pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 (dalam %)

    20

    2-10 Distribusi Keterlibatan Anggota Rumah Tangga dalam Mengikuti Pelatihan Pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009

    21

    2-11 Distrisusi Keterlibatan Anggota Rumah Tangga Dalam Organisasi Masyarakat Pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009

    22

    2-12 Mata Pencaharian Warga pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 (dalam %)

    30

    2-13 Distribusi Anggota Rumah Tangga Yang Bekerja Pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 (dalam %)

    32

    2-14 Tingkat Pendapatan Rumah Tangga Warga pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 (dalam %)

    33

    2-15 Pengeluaran Masyarakat pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 (dalam %)

    35

    2-16 Rata-rata Luas Bangunan dan Luas Tanah Masyarakat pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009

    36

    2-17 Jenis Dinding Rumah Masyarakat Pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung Tahun 2009 (dalam %)

    38

    2-18 Indeks Kepemilikan Aset Rumah Tangga Masyarakat Pada Kelurahan Amatan di Lampung Tahun 2009 (dalam %)

    39

    2-19 Akses Masyarakat Terhadap Perbankan dan Asuransi Pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 (dalam %)

    40

    2-20 Rata-rata Pengeluaran Rumah Tangga Untuk Cicilan, Tabungan dan Asuransi Pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 (Rupiah/bulan)

    40

    3-1 Koefisien korelasi antara curah hujan musiman di Bandar 41

  • xix

    Lampung dengan DMI dan dengan anomali SST Nino3.4 3-2 Konsentrasi Gas 50 3-3 Suhu (0C) dan sea level rise (cm), mengacu pada tahun 1990 50 4-1 Lokasi Kejadian/Rawan Bencana Di Kota Bandar Lampung 54 4-2 Gambaran Dampak Bencana terhadap Nilai Sosial Masyarakat

    pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 59

    4-3 Penyakit Pada Saat Banjir pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009

    66

    4-4 Penyakit Pada Saat Kekeringan pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009

    66

    4-5 Persepsi Warga Terhadap Berbagai Macam Informasi Terkait Kebencanaan di Bandar Lampung Tahun 2009 (dalam %)

    70

    4-6 Kegiatan pemerintah dalam meningkatkan kemampuan penanganan bencana yang bersifat non-struktural dan respon masyarakat

    72

    4-7 Dampak Bencana yang Menimpa Warga Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009

    77

    4-8 Rangkuman Persepsi Masyarakat di Bandar Lampung Terhadap Besaran Dampak Bencana, serta Upaya Penanggulangan yang Dilakukan

    77

    5-1 Indikator yang digunakan untuk mendefinisikan Kerentanan dan Kapasitas dan bobotnya

    79

    5-2 Nilai indikator berdasarkan jenis sumber pendapatan utama di suatu kelurahan

    80

    6-1 Matriks risiko sebagai fungsi dari probabilitas dari kejadian tak terduga untuk terjadi dan konsekuensi jika kejadian tak terduga itu terjadi

    87

    6-2 Bobot dan rumus untuk menghitung indeks bencana iklim 88 6-3 Matriks risiko iklim menurut coping capacity index dan

    composite climate hazard index (CCHI, indeks komposit bencana iklim)

    88

    6-4 Kejadian banjir dan kekeringan di Kota Bandar Lampung 89 7-1 Analisis Peran dan Kontribusi Pemangku Kepentingan dalam

    Perubahan Iklim 100

    7-2 Masalah dan alternatif startegi terkait perencanaan pembangunan daerah dan penanggulangan bencana di kota Bandar Lampung

    109

    7-3 Program yang terkait dengan Perubahan Iklim Tahun 2006 dan 2008

    110

    7-4 Jumlah Anggaran yang Terkait dengan Perubahan Iklim TA 2008

    111

    7-5 Besaran Anggaran Dana Program NUSSP di Kota Bandar Lampung

    112

    7-6 Kegiatan dan sebaran Kegiatan PNPM Mandiri di Kota Bandar Lampung tahun 2008

    113

    7-7 Analisis Kapasitas Pemerintahan 1 114 8-1 Layanan-layanan yang digunakan oleh masyarakat untuk

    mengatasi bahaya iklim, menurut Kelurahan 132

    8-2 Adaptasi dan Kerentanan di Bandar Lampung 133 8-3 Adaptasi dan Ketahanan Bandar Lampung 135

  • xx

    DAFTAR GAMBAR

    Halaman 2-1 Posisi Kota Bandar Lampung terhadap daerah sekitarnya 3 2-2 Peta Administrasi Kota Bandar Lampung 4 2-3 Distribusi perubahan penggunaan/penutup lahan Kota Bandar

    Lampung tahun 1992 dan 2006 6

    2-4 Distribusi Kegiatan Ekonomi Kota Bandar Lampung, 2007 15 2-5 Distribusi Tingkat Pendidikan Masyarakat Berdasarkan

    Klasifikasi Tinggi Rendahnya Pendidikan Pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009

    19

    2-6 Distribusi Masyarakat di Wilayah Pesisir Yang Melakukan Kegiatan Gotong dengan Frekuensi Minimal 1 Kali dalam 1 Tahun

    25

    2-7 Distribusi Tingkat Partisipasi Warga Non Pesisir Lampung pada Kegiatan Gotong Royong Berdasarkan Frekuensi Pelaksanaannya, 2009

    25

    2-8 Distribusi Partisipasi Warga dalam Kegiatan Gotong Royong Pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009

    26

    2-9 Distribusi Kegiatan Masyarakat Pada Beberapa Kegiatan Sosial Masyarakat Pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009

    27

    2-10 Ketersediaan Sarana Pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009

    28

    2-11 Distribusi Tingkat Pendapatan Rumah Tangga Masyarakat Berdasarkan Pendapatan Tetap dan Pendapatan Tambahan pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung Tahun 2009

    34

    3-1 Plot time series curah musiman di Bandar Lampung 42 3-2 Kecepatan angin harian di stasiun pengamatan Teluk Betung,

    Lampung (periode 1 Januari 1994 - 31 Desember 1999) 42

    3-3 Pola spasial tren curah hujan musiman di Bandar Lampung 43 3-4 Tren curah hujan musiman di kota Bandar Lampung

    (105.15E-105.34E, 5.51S-5.34S) diekstraksi dari data CRU TS2.0

    45

    3-5 Tren frekuensi hari hujan musiman di Bandar Lampung (105.15E-105.34E, 5.51S-5.34S) diekstraksi dari data CRU TS2.0

    45

    3-6 Komponen frekuensi rendah dari curah hujan musiman di Bandar Lampung didefinisikan oleh nilai 13-tahun rataan bergerak sederhana (simple moving average)

    46

    3-7 Trend musiman suhu rata-rata di Bandar Lampung (105.15E-105.34E, 5.51S-5.34S) diekstraksi dari data CRU TS2.0

    47

    3-8 Trend musiman suhu maksimum harian di Bandar Lampung (105.15E-105.34E, 5.51S-5.34S) diekstraksi dari data CRU TS2.0

    47

    3-9 Tren musiman kisaran suhu harian (daily temperature range, DTR) di Bandar Lampung (105.15E-105.34E, 5.51S-5.34S) diekstraksi dari data CRU TS2.0

    47

    3-10 Peluang Curah Hujan Lebih dari Q3 pada Musim Hujan 52

  • xxi

    (DJF) dan kurang dari Q3 pada Musim Kemarau (JJA) dengan Dua Skenario Emisi

    4-1 Bantuan dari Saudara dan Masyarakat Lainnya di saat Bencana Pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009

    57

    4-2 Dampak Banjir dan Kekeringan Terhadap Pekerjaan Utama pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009

    60

    4-3 Nilai Kerugian Dari Pekerjaan Utama Akibat Banjir dan Kekeringan Pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009

    62

    4-4 Dampak Banjir Terhadap Usaha Sampingan Tambak pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009

    62

    4-5 Nilai Kerugian Usaha Sampingan Tambak Pada Kelurahan Amatan, di Bandar Lampung, 2009 Lampung

    63

    4-6 Kerugian Akibat Banjir Berdasarkan Sektor di Bandar Lampung, 2009

    63

    4-7 Kerugian Akibat Kekeringan Berdasarkan Sektor di Bandar Lampung, Tahun 2009

    64

    4-8 Kenaikan Harga Beberapa Komoditi Pertanian Pada Kelurahan Amatan di BandarLampung, 2009

    65

    4-9 Kisaran Biaya yang Dikeluarkan oleh Warga (dalam Rupiah) 67 4-10 Persentase Media Informasi Prakiraan yang digunakan 69 4-11 Adaptasi yang Terjadi di Wilayah Pesisir dan Non Pesisir

    Ketika Terjadi Bencana Banjir di Lampung 72

    4-12 Adaptasi Kekeringan Warga di Kelurahan Amatan, Bandar Lampung

    74

    5-1 Area pantai yang dipengaruhi oleh gelombang setinggi +100 m

    82

    5-2 Penentuan order aliran tertinggi (A) & pendugaan luas dari luapan air sungai (B)

    83

    5-3 Pengelompokan kelurahan berdasarkan indikator kapasitas dan kerentanan

    84

    5-4 Indeks Kerentanan dan Kapasitas Kelurahan (A) Baseline, (B) 2025, (C) 2050

    85

    5-5 Coping capacity index of Kelurahan of Lampung City (A) Baseline, (B) 2025, (C) 2050

    86

    6-1 Box plot curah hujan bulanan pada musim hujan dan kemarau selama tahun-tahun terjadi bencana dan tahun-tahun tidak terjadi bencana

    89

    6-2 Indeks Bencana Iklim komposit Bandar Lampung (A) & (D) baseline bencana iklim, (B) bencana iklim A2 2025, (C) bencana iklim A2 2050, (E) bencana iklim B1 2025, (F) bencana iklim B1 2050

    90

    6-3 Klasifikasi Kelurahan berdasarkan tingkat eksposur terhadap risiko iklim (A) & (D) Baseline Risiko Iklim, (B) Risiko Iklim A2 2025, (C) Risiko Iklim A2 2050, (E) Risiko Iklim B1 2025, (F) Risiko Iklim B1 2050

    91

    6-4 Jumlah kelurahan menurut kategori indeks risiko iklim 92 7-1 Pemetaan Pemangku Kepentingan berdasarkan tingkat

    Kepentingan 106

  • xxii

    7-2 Keterkaitan antara UU No. 17/2003, UU No. 25/2004 dan UU No. 32/2004

    107

    8-1 LFA Analisa Problem 124 8-2 Diagram Alur Aktivitas 126 8-3 Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kerentanan 134

  • 1

    BAB 1 PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang Studi Di masa depan, perubahan iklim yang ditimbulkan oleh pemanasan global

    dapat menciptakan pola-pola baru risiko, dan risiko tersebut secara umum meningkat. Kenaikan permukaan laut akibat pencairan gletser dan es kutub dan ekspansi termal akan memberikan kontribusi pada peningkatan banjir di wilayah pesisir banjir. Peningkatan intensitas siklon tropis yang tercatat dalam beberapa dekade terakhir mungkin dapat dikaitkan dengan peningkatan suhu permukaan laut. Dengan adanya dampak pada siklus hidrologi, pemanasan global diperkirakan akan mengubah rentang iklim, perubahan iklim regional rata-rata, yang mengakibatkan pergeseran zona iklim, dan mengarah pada frekuensi dan amplitudo peristiwa cuaca yang lebih tinggi. Variabilitas dan perubahan iklim yang terjadi dengan latar belakang peningkatan populasi global dan proses globalisasi ekonomi dapat mengarah ke peningkatan persaingan atas sumber daya dan kerentanan baru. Dengan meningkatnya risiko iklim, banyak negara, terutama negara-negara kurang berkembang dan negara-negara sedang berkembang kemungkina akan mengalami kesulitan untuk mencapai Sasaran Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals) yang terkait dengan kemiskinan, kelaparan dan kesehatan manusia.

    Indonesia adalah negara yang sudah rawan terhadap bencana alam seperti banjir, kekeringan, badai, tanah longsor, letusan gunung berapi, dan kebakaran pada berbagai lahan berhutan. Indonesia telah mengalami bencana terkait iklim yang lebih sering dan parah dalam beberapa tahun terakhir. Bencana terkait banjir dan angin kencang mencakup sekitar 70% dari total bencana dan sisanya 30% terkait dengan bencana kekeringan, tanah longsor, kebakaran hutan, gelombang panas, badai, rob, dan lain-lain. Dalam periode 2003-2005 saja, ada sekitar 1.429 kejadian bencana di Indonesia. Sekitar 53,3 persennya terkait bencana hidro-meteorologi (Bappenas dan Bakornas PB, 2006)

    Kenaikan permukaan laut menimbulkan risiko lebih lanjut. Sekitar 24 pulau-pulau kecil Indonesia sudah terendam (Departemen Kelautan dan Perikanan 2007). Rentang Kepulauan Indonesia yang luas ini - dengan lebih dari 17.000 pulau dan lebih dari 80.000 km garis pantai - dan mayoritas penduduk yang tinggal di wilayah pesisir di mana sebagian besar kegiatan ekonomi negara itu terjadi sangat rentan terhadap kenaikan permukaan laut. Saat ini, sekitar 42 juta orang di Indonesia tinggal di daerah dengan ketinggian kurang dari 10 meter di atas permukaan laut (Pemerintah Indonesia 2007). Sebagian besar rumah tangga yang tinggal di daerah pesisir memiliki pendapatan antara US $ 2 dan US $ 1-per hari, yang merupakan batas garis kemiskinan (Indonesia Poverty Analysis Program 2006). Mereka merupakan kelompok yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Kepadatan penduduk yang tinggi di Indonesia akan lebih meningkatkan kerentanan terhadap bencana iklim.

    Kota Bandar Lampung merupakan kota pantai yang akan terkena dampak perubahan iklim dan kenaikan permukaan laut. Pemerintah Kota Bandar Lampung telah menerapkan berbagai program strategis jangka menengah dan jangka panjang untuk mengelola bencana. Rencana untuk meningkatkan infrastruktur untuk

  • 2

    mengelola bencana iklim seperti sistem drainase dan tanggul telah disiapkan (Bappeda, 2003). Namun, dalam kondisi iklim yang berubah dan dengan meningkatnya frekuensi dan intensitas peristiwa iklim yang ekstrim, maka berbagai desain yang telah direncanakan dan dibuat mungkin akan kurang efektif untuk mengelola bahaya iklim masa depan. Karena itu, sangat penting bagi kita untuk mempertimbangkan perubahan iklim dalam merancang sistem kontrol bahaya iklim. 1.2. Tujuan Tujuan studi ini adalah untuk: menilai variabilitas iklim saat ini dan masa depan di Kota Bandar Lampung menilai kerentanan dan kapasitas adaptif serta risiko iklim saat ini dan masa

    depan di tingkat Kelurahan mengidentifikasi kerentanana dan kapasitas adaptif serta resiko iklim saat ini dan

    masa depan di tingkat Kelurahan. mengindentifikasi dampak langsung dan tidak langsung dari bencana iklim saat

    ini dan masa depan di tingkat Kelurahan mengidentifikasi daerah dan kelompok-kelompok sosial yang paling rentan, dan

    dimensi kerentanan, termasuk kapasitas adaptif masyarakat terhadap dampak perubahan iklim

    mengidentifikasi kelembagaan dan isu-isu tata pemerintahan yang dapat mempengaruhi ketahanan kota terhadap risiko iklim saat ini dan masa depan.

    mengembangkan rekomendasi awal untuk Kota Bandar Lampung untuk meningkatkan ketahanan kota terhadap risiko iklim saat ini dan masa depan

    1.3. Output Output akhir dari studi ini adalah laporan yang mendeskripsikan: Karakteristik iklim saat dan masa depan di Kota Bandar Lampung Dampak bahaya iklim dan kerentanan masyarakat terhadap peristiwa iklim

    ekstrim, dan kapasitas adaptif yang ada Peta kerentanan dan kapasitas adaptif serta risiko iklim saat ini dan masa depan

    pada tingkat Kelurahan Isu tata pemerintahan dan isu kelembagaan yang dapat mempengaruhi efektivitas

    pelaksanaan program perubahan iklim Rekomendasi awal untuk meningkatkan ketahanan Kota terhadap resiko iklim

    saat ini dan dan masa depan Rekomendasi jenis proyek percontohan untuk meningkatkan ketahanan

    masyarakat terhadap dampak perubahan iklim

  • 3

    BAB 2 SEKILAS KONDISI KOTA BANDAR LAMPUNG DAN

    DESKRIPSI RESPONDEN

    2.1 Lokasi dan Konteks Geografi Bandar Lampung adalah ibu kota Propinsi Lampung dan secara geografis

    terletak pada 5o 20 - 5o 30 LS dan 105o 28 -105o 37 BT. Letak tersebut berada di teluk lampung dan diujung selatan Pulau Sumatra, yang memiliki luas wilayah 192,18 Km2. Batas wilayah sebagai berikut: 1). sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan, 2). sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Padang Cermin dan Ketibung Lampung Selatan serta Teluk Lampung, 3). sebelah timur berbatasan dengan Tanjung Bintang Kabupaten Lampung Selatan dan 4). sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Gedung Tataan dan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran.

    (Sumber: Google Earth, 2009 dan Citra Landsat ETM+, 2001)

    Gambar 2-1. Posisi Kota Bandar Lampung terhadap daerah sekitarnya

    2.2. Administrasi Kota

    Secara administratif, kota Bandar Lampung terdiri dari 13 kecamatan dan 98 kelurahan (Tabel 2.1, gambar 2.2). Dari ke13 kecamatan, Kemiling merupakan wilayah terluas, sedangkan luas kecamatan terkecil adalah Tanjung Karang Pusat dan Teluk Betung Selatan

    KALIMANTAN ISLAND

    JAVA ISLAND

    SUMATERA ISLAND

    Semarang

    Bandar Lampung

    Indian Ocean

    South China Sea

    Java Sea

    BANDAR LAMPUNG CITY

    BANDAR LAMPUNG MUNICIPALITY

  • 4

    Tabel 2-1. Nama Kecamatan, Luas Wilayah dan Jumlah Kelurahan di Kota Bandar Lampung

    NO KECAMATAN Luas (ha) IBU KOTA JML KELURAHAN 1 Tanjungkarang Pusat 6.58 Palapa 11 2 Tanjungkarang Barat 15.14 Gedong Air 6 3 Tanjungkarang Timur 21.11 Kota Baru 11 4 Teluk Betung Utara 10.38 Kupang Kota 10 5 Teluk Betung Barat 20.99 Bakung 8 6 Teluk Betung Selatan 10.07 Sukaraja 11 7 Panjang 21.16 Panjang Selatan 7 8 Kemiling 27.65 Sumberejo 7 9 Kedaton 10.88 Kampung Baru 8

    10 Rajabasa 13.02 Rajabasa 4 11 Tanjung Seneng 11.63 Tanjung Seneng 4 12 Sukarame 16.87 Sukarame 5 13 Sukabumi 10.64 Sukabumi 6 Jumlah 197.22 98

    (http://www.bandarlampungkota.go.id)

    Gambar 2-2. Peta Administrasi Kota Bandar Lampung

    2.3. Resources Base a. Sumberdaya air (Water resource)

    Kota Bandar Lampung dilalui oleh 2 sungai besar yaitu Way Kuala dan Kuripan, dan 23 sungai-sungai kecil (Bappeda Kota Bandar Lampung, 2008). Semua sungai tersebut membentuk daerah aliran sungai (DAS) yang berada di dalam

  • 5

    wilayah Kota Bandar Lampung dan sebagian besar bermuara di Teluk Lampung. Sistem sungai di wilayah ini terhubung dengan beberapa jaringan drainase buatan. Fungsi jaringan drainase ini adalah mengurangi limpasan permukaan sebagai akibat kelebihan air hujan. Sistem jaringan drainase yang telah terinstal di Bandar Lampung antara lain sistem Teluk Betung, Tanjung Karang, Panjang dan Kandis. Kebutuhan air bagi penduduk Kota Bandar Lampung dipenuhi melalui PDAM dan pengambilan air tanah dangkal/dalam melalui sumur gali. Pada saat sekarang PDAM hanya mampu memenuhi 27% dari total warga Bandar Lampung, sedangkan sisanya yaitu 73% masih harus memanfaatkan air sumur gali. Kedalaman sumur gali adalah sekitar 30 hingga 50 meter dari muka tanah setempat.

    b. Wilayah pesisir (Coastal area) Bandar Lampung merupakan kota pelabuhan yang penting untuk kawasan Sumatera. Kota Pelabuhan Bandar Lampung terletak dalam suatu pantai berbentuk teluk sehingga gelombang tinggi sebagai akibat angin kencang tidak sepenuhnya langsung mengenai kawasan pantai. Meskipun demikian, di beberapa tempat kawasan pantai, sudah terjadi abrasi oleh gelombang laut. Di beberapa lokasi, wilayah pesisir merupakan kawasan padat penduduk. Untuk memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal, penduduk membangun rumah tempat tinggal di lahan hasil penimbunan pantai sehingga terjadi akresi. Keadaan ini dapat menjadi kendala dalam penataan wilayah pesisir. Dalam kondisi seperti itu, realisasi rencana Pemerintah Kota Bandar Lampung untuk mewujudkan kawasan water front city juga harus memperhitungkan biaya untuk mengatasi problematika pemukiman di wilayah pesisir, meskipun banyak diantara para pemukim tidak memiliki bukti kepemilikan lahan yang kuat secara hukum. Pusat kegiatan ekonomi di Kawasan Pesisir dan Pantai di Kota Bandar Lampung antara lain terpusat di Kawasan Pelabuhan.

    c. Penggunaan lahan (Land use) Penggunaan lahan permukiman pada tahun 1992 masih terkonsentrasi di tengah kota Bandar Lampung, tetapi 14 tahun kemudian permukiman tersebut berkembang ke arah timur (Kecamtan Tanjung Seneng) dan timur-laut (Kecamatan Sukarame). Perkembangan permukiman penduduk telah menyebabkan menyusutnya luas penggunaan lahan Pertanian Lahan Kering (dry land agriculture). Penggunaan lahan lain yang mengalami penyusutan luas atau alih fungsi lahan total adalah Perkebunan menjadi Pertanian Lahan Kering. Pola perubahan penggunaan lahan selama 14 tahun (1992-2006) dapat dilihat pada Gambar 2-3.

  • 6

    Gambar 2-3. Distribusi perubahan penggunaan/penutup lahan Kota Bandar Lampung tahun 1992

    dan 2006

    Alih fungsi lahan di wilayah Bandar Lampung berlangsung sangat cepat. Pada tahun 1992 jumlah tipe penggunaan/penutup lahan ada 4 tipe tetapi pada tahun 2006 berkembang jadi 9 tipe. Tahun 1992, persentase lahan tertinggi adalah pertanian lahan kering (60%) tapi 14 tahun kemudian tipe lahan tersebut menyusut jadi 13.4% atau menyusut lebih dari 8900 ha (Tabel 2-2).

    Tabel 2-2. Tipe penggunaan/penutup lahan tahun 1992 dan 2006

    Tipe penggunaan/penutup lahan

    1992 2006 perubahan lahan tahun 1992 2006

    (ha) Area (ha) % Area (ha) %

    Bush 405.6 2.1 79.7 0.4 -325.9 Plantation 3843.4 20.0 19.9 0.1 -3823.5 Settlement 2606.2 13.6 6724.2 35.0 4118.0 Bare land 0.0 0.0 594.8 3.1 594.8 Grassland 0.0 0.0 170.6 0.9 170.6 Dry land agriculture 11571.5 60.2 2574.5 13.4 -8996.9 Mixed dry land agriculture 0.0 0.0 7988.1 41.6 7988.1 Paddy field 0.0 0.0 244.5 1.3 244.5 Mining 0.0 0.0 30.3 0.2 30.3 No data 793.3 4.1 4.1 0.0 19220.0 100.0 19220.0 100.0

    Detail penggunaan/perubahan penutupan lahan di Kota Bandar Lampung dapat dilihat pada tabel 2.3. Tabel tersebut menunjukkan, sebagai contoh, bahwa lebih dari 14 tahun pertanian lahan kering telah berubah menjadi 8 tipe penggunaan lahan yang berbeda-beda.

    2006 1992

  • 7

    Tabel 2-3. Penggunaan Lahan Utama/Perubahan Penutupan Lahan dari 1992 ke 2006

    No From Class To Class 1992-2006 Area (ha) 1 Bush

    Settlement Mixed dry land agriculture

    39.4 366.2

    2. Dry land agriculture

    Bush Plantation Settlement Bare land Grass land Mixed dry land agriculture Paddy field Mining

    79.7 7.7

    4290.8 594.8 170.6

    3789.7 153.6

    9.5 3. Plantation

    Settlement Dry land agriculture Mixed dry land agriculture Paddy field

    35.7 99.5

    3605.0 90.9

    4. Settlement Mixed dry land agriculture Mining

    227.2 20.8

    Secara keseluruhan kondisi penggunaan lahan di Kota Bandar Lampung dikelompokkan dalam kawasan terbangun dan ruang terbuka. Kawasan terbangun terdiri dari lahan pekarangan, perkantoran, perdagangan, jasa, dan industri. Sedangkan ruang terbuka berupa tegalan, kebun, hutan, kuburan, lapangan dan lain-lain. Luas kawasan terbangun kota Bandar Lampung mencapai > 30% dari wilayah kota selebihnya merupakan lahan non terbangun (ruang terbuka). Penggunaan lahan di Kota Bandar Lampurrg lebih didominasi oleh permukiman yaitu sebesar 31,24%. Hal ini terjadi karena tingginya tingkat pertumbuhan penduduk dan arus urbanisasi yang ada di Kota Bandar Lampung (Bappeda Kota Bandar Lampung, 2008).

    2.4. Posisi Bandar Lampung Dalam Konteks Kawasan

    Kota Bandar Lampung sebagai ibukota Provinsi Lampung dan pusat pemerintahan dengan laju pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi dan laju perkembangan pembangunan yang cukup pesat, memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap pemanfaatan ruang disamping itu juga memberikan dampak bagi lingkungan disekitarnya. Aspek tata ruang merupakan isu strategis yang menjadi perhatian penting bagi pemerintah Kota Bandar Lampung yang dituangkan dalam RTRW. RTRW yang berlaku sekarang adalah RTRW 2005-2015 yang merupakan pedoman dalam pengendalian dan pemanfaatan ruang Kota Bandar Lampung sebagaimana yang tertuang pada Perda Nomor 4 Tahun 2004. Sekarang ini sedang dilakukan penyusunan RTRW terbaru. Dalam RTRW akan tertuang antara lain: Arahan pengelolaan kawasan lindung dan budidaya, Arahan pengelolaan kawasan perkotaan, Arahan pengembangan kawasan produksi dan permukiman, Arahan sarana dan prasarana, Arahan pengembangan kawasan prioritas.

  • 8

    a. Pembagian Wilayah Kota . Kota Bandar Lampung di bagi menjadi 8 (delapan) Bagian Wilayah Kota (BWK) dimana masing-masing mempunyai fungsi utama dan fungsi pendukung. Adapun alasan dalam pembagian ruang tersebut adalah adalah:

    1. Fungsi dan dominasi kegiatan di beberapa kawasan kota; 2. Kesamaan peruntukan lahan; 3. Kesamaan kepadatan penduduk dan kepadatan bangunan; 4. Ukuran geometris/ luas kawasan; 5. Batasan fisik dan administrasi yang ada; 6. Keterbatasan kemampuan jangkauan pelayanan; 7. Struktur ruang.

    Tabel 2-4. Fungsi Bagian Wilayah Kota (BWK) Bandar Lampung

    WILAYAH FUNGSI UTAMA FUNGSI PENDUKUNG BWK A (Gedung Meneng)

    Pendidikan Tinggi, Terminal Regional dan Pengembangan Kawasan Permukiman

    Pusat Kebudayaan, Rumah Sewa/Kost, Pusat Pelayanan Lokal dan Pertanian Skala Kecil

    BWK B (Sukarame) Perumahan Skala Besar dan Perdagangan Skala Kota

    Pusat Industri Kecil, Pengembangan Hutan Kota, Cadangan Pengembangan Kota dan Pusat Pelayanan

    BWK C (Panjang) Pusat Pelabuhan Samudra, Perdagangan, Terminal Barang dan Industri Pengolahan

    Sentra Industri Kecil, Daerah Konservasi dan Hutan Lindung

    BWK D (Sukabumi/Tanjungkarang Timur)

    Perdagangan/Jasa dan Kawasan Industri

    Perumahan Indutri Kecil dan Cagar Budaza

    BWK E (Tanjungkarang/ Pusat Kota

    Perdagangan Umum dan Jasa Umum

    Sarana Penunjang Perdagangan/Fungsi Parkir/Taman, Perumahan Ganda dan Pusat Budaya

    BWK F (Tanjungkarang Barat)

    Perdagangan/Jasa dan Kawasan Konservasi

    Perumahan

    BWK G (Langkapura/Kemiling)

    Pengembangan Holtikultura, Kawasan Konservasi, Pariwisata/Hutan Wisata dan Pengembangan Permukiman (Kasiba/Lasiba)

    Perumahan Kavling Besar dengan KDB Kecil, Industri Kecil dan Sekolah Polisi Negara

    BWK H (Telukbetung) Pusat Pemerintahan, Perdagangan Grosir dan Pariwisata Pantai

    Jasa Umum, Perumahan, Industri Kecil dan Konservasi

    Sumber : RTRW Kota Bandar lampung, Tahun 2005-2015

    Selain Bagian Wilayah Kota (BWK) yang telah ditetapkan tersebut, tata ruang wilayah Kota Bandar Lampung terdapat beberapa wilayah pengelolaan khusus yaitu:

  • 9

    b. Kawasan Resapan Air Rencana pengelolaan resapan air Kota Bandar Lampung terbagi dalam 6 (enam) zona kawasan yaitu :

    a. Zona Kawasan 1 (Rechadge Area) Zona Kawasan 1 memberikan kontribusi yang cukup besar untuk mengisi cadangan air tanah dalam. Pada zona kawasan ini perlu dikakukan tindakan serta pengendalian ruang secara ketat. Daerah yang termasuk zona ini adalah Kecamatan Kemiling dan Kecamatan Telukbetung Barat.

    b. Zona Kawasan 2 (Area Penyangga) Pada zona ini direncanakan dibangun kantung-kantung air (penampungan air

    hujan) skala kecil hingga menengah dan menerapkan aturan perbandingan penggunaan lahan terbuka lebih luas tapi pada lahan tertutup bangunan maksimal rasio 70%:30%. Daerah yang termasuk zona ini adalah Kecamatan Tanjungkarang Barat, Tanjungkarang Timur dan Panjang. Selebihnya berada di Kecamatan Tanjungkarang Pusat, Telukbetung Utara dan Telukbetung Selatan.

    c. Zona Kawasan 3 (Kawasan Resapan Rendah) Pola konservasi pada kawasan ini adalah penerapan sumur resapan di tiap

    bangunan dan atau pembuatan dana/waduk buatan skala kecil maupun menengah. Daerah yang termasuk kawasan ini adalah Kecamatan Kedaton, Sukarame dan Tanjungkarang Barat.

    d. Zona Kawasan 4 (Kawasan Resapan Sedang) Pada kawasan ini tingkat kepadatan bangunan cukup signifikan dan sudah

    mencapai titik jenuh untuk lahan permukiman. Pola konservasi direncanakan melalui sumur resapan dengan dimensi setara antara luas lahan tertutup dengan volume sumur resapan yang harus dibangun. Daerah yang termasuk zona ini adalah Kecamatan Tanjungkarang Pusat dan selebihnya pada wilayah Kecamatan Sukabumi dan Tanjungkarang Timur.

    e. Zona Kawasan 5 (Kawasan Resapan Tinggi) Pada zona ini didominasi oleh peruntukan lahan permukiman padat. Pola

    konservasi sebaiknya diterapkan sumur resapan di tipa bangunan rumah dengan volume sumur yang mampu menampung seluruh air hujan yang jatuh diatap dan pekarangan. Daerah yang termasuk zona ini adalah Kecamatan Sukabumi dan Tanjungkarang Timur.

    f. Zona Kawasan 6 (Kawasan Dipengaruhi Air Laut) Distribusi zona ini berada disepanjang kawasan Pantai Teluk Lampung

    meliputi Kecamatan Telukbetung Selatan dan Kecamatan Panjang. Fungsi utama sebagai kawasan resapan penyangga air tanah dari ancaman interupsi air laut.

    c. Kawasan Pesisir Kawasan pesisir pantai Kota Bandarlampung terbentang sepanjang 27 km yang terletak di BWK H (Telukbetung) dan BWK C (Panjang). Secara administratif, wilayah pesisir tersebut meliputi wilayah Kecamatan Telukbetung Barat (Kelurahan

  • 10

    Keteguhan, Kota Karang, Perwata dan Sukamaju), Kecamatan Telukbetung Selatan (Way Lunik, Garuntang, Ketapang, Pesawahan, Telukbetung, Kangkung, Sukaraja, Bumiwaras dan Pecoh Raya) dan Kecamatan Panjang (Kelurahan Panjang Selatan, Panjang Utara, Pidada dan Srengsem). Penataan wilayah pesisir dilakukan melalui konsep pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu yaitu konsep penataan dan revitalisasi wilayah pesisir berbasis masyarakat dan membagi wilayah pesisir dalam zonasi sesuai potensi, kondisi dan struktur ruang yang ada. Konsep reklamasi pantai merupakan salah satu alternatif pengembangan kawasan strategis sebagai pusat pertumbuhan ekonomi serta untuk mengatasi kawasan kumuh sepanjang Teluk Lampung dengan syarat pelaksanaan yang ketat baik dari aspek teknis, ekonomis dan sosial budaya yang disesuaikan dengan konsep Bandar Lampung Ecocity. Dalam rangka penataan kawasan pesisir lebih lanjut, Dinas Perikanan Dan Kelautan Kota Bandar Lampung telah melakukan Studi Lanjutan Penataan Kawasan Pesisir Kota Bandar Lampung. Pada studi tersebut telah dihasilkan rencana komposisi tata letak zona bangunan gedung dan bukan gedung pada kawasan pesisir kota bandar lampung berdasarkan pembagian zona antara lain: Zona A Kawasan Revitalisasi; Zona B Kawasan Pelabuhan, Pergudangan & Industri Terpadu; Zona C Kawasan Bisnis Terpadu; dan Zona D Kawasan Pariwisata Terpadu. Dengan demikian Konsep Water Front City di Kota Bandar Lampung telah dibuat dan terus dimatangkan. Dalam perencanaan Kawasan Pesisir Kota Bandar Lampung, sistem transportasi laut juga merupakan salah satu komponen penting. Keberadaaan kawasan pelabuhan yang berada di ujung Selatan Kota Bandar Lampung telah ikut membuat dinamika lalu lintas pelayaran di wilayah ini cukup ramai. Pelabuhan ini merupakan satu-satunya Pelabuhan Ekspor yang dimiliki oleh Kota Bandar Lampung. Peningkatan ekspor barang melalui pelabuhan ini tentu saja bisa meningkatkan retribusi dari pelabuhan. Sarana ini merupakan salah satu penunjang kelancaran perdagangan di Bandar Lampung. Pelabuhan Panjang merupakan Pelabuhan Alam yang cukup terlindungi dari gelombang laut, dan sesuai hirarkinya merupakan Pelabuhan Internasional karena terbuka untuk lalu-lintas barang perdagangan dengan luar negeri.

    d. Kawasan Lindung Pengelolaan kawasan lindung Kota Bandarlampung terbagi dalam 5 (lima) wilayah kawasan yaitu;

    Kawasan Resapan Air Kawasan ini merupakan kawasan yang memberikan perlindungan kawasan dibawahnya. Zona kawasan ini meliputi daerah perbukitan/gunung di Tanjungkarang Barat, Langkapura, Telukbetung Barat dan wilayah penyangga (Register 17 & 19 Kota Bandarlampung)

    Kawasan Perlindungan Setempat Kawasan in terbagi dalam 3 (tiga) zona kawasan yaitu (i) sempadan pantai, (ii) sempadan sungai, dan (iii) Taman Cagar Budaya & Ilmu Pengetahuan. Wilayah yang termasuk zona ini adalah di sepanjang Teluk Lampung, Seluruh Sungai di Kota Bandarlampung, Situs Purba di wilayah Kedamaian, Negeri Olok Gading & tempat lain yang direkomendasikan oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung.

  • 11

    Kawasan Rawan Bencana. Kawasan ini merupakan kawasan perbukitan yang rawan longsor dan pinggir sungai/lembah yang terancam banjir serta sepanjang Pantai Teluk Lampung.

    Kawasan/Daerah Pengamanan (Catchment Area) Kawasan ini merupakan kawasan pengamanan untuk PDAM Way Rilau yang meliputi wilayah Register 17 (Gunung Betung)

    Kawasan Penyangga Banjir Untuk wilayah kawasan penyangga banjir adalah meliputi daerah Register

    19.

    e. Kawasan Budidaya Kawasan budidaya yang dikembangkan di Kota Bandar Lampung sesuai dengan potensi yang ada yaitu untuk kawasan permukiman, kawasan jasa/perdagangan, kawasan industri dan kawasan pariwisata. Berdasarkan potensi pengembangan kawasan tersebut, pengembangan dan perencanaan aktivitas wilayah adalah sebagai berikut :

    Perumahan Untuk pengembangan perumahan baik ukuran besar, sedang dan kecil menyebar di seluruh wilayah kota yang mempunyai kesesuaian lahan pemukiman di luar kawasan lindung. Sedangkan untuk perbaikan kualitas perumahan meliputi permukiman kumuh, bantaran sungai, pinggir rel kereta api, kawasan nelayan, bukit/Gunung Sari. Wilayah tersebut meliputi Kecamatan Tanjungkarang Pusat, Panjang dan Telukbetung Selatan)

    Perdagangan/Jasa Untuk pengembangan kawasan perdagangan terbagi dalam 5 spesifikasi perdagangan yaitu;

    Perdagangan regional meliputi wilayah Telukbetung Selatan Perdagangan skala kota meliputi wilayah di sepanjang halan utama kota

    di Kecamatan Telukbetung Selatan dan Tanjungkarang Pusat Perdagangan skala BWK meliputi wilayah di tiap-tiap pusat BWK Perdagangan skala lingkungan meliputi wilayah di tiap-tiap lingkungan

    permukiman PKL yang beraglomerasi dengan kegiatan perdagangan kota dan

    perdagangan BWK

    Industri Kawasan Industri yang meliputi Kawasan Industri Lampung (KAIL). Zona Industri berada di BWK C (Panjang) beraglomerasi dengan kegiatan pergudangan dan pelabuhan. Sentra Industri Kecil berada diwilayah BWK Panjang, Sukarame, Gedong Meneng, dan BWK Langkapura. Industri RT Tidak polutif yang menyatu dengan kegiatan permukiman.

  • 12

    Pemerintahan Berada diwilayah BWK H (Telukbetung) dan disetiap pusat

    kecamatan/kelurahan untuk pemerintahan tingkat kecamatan/kelurahan

    Pariwisata Untuk pariwisata pantai berada pada kawasan Teluk Lampung, sedangkan

    untuk wisata kota berada di wilayah pusat kota, taman kota dan lingkungan, hutan kota, RTH Kota dan Danau Buatan

    Pendidikan Untuk pendidikan tinggi berada di BWK A (Gedung Meneng), SLTA menyebar di setiap pusat BWK, dan SLTP&SD menyebar di pusat lingkungan permukiman.

    Fasilitas Sosial Untuk fasilitas kesehatan, peribadatan, olahraga dan rekreasi menyebar sesuai dengan hirarki pelayanan dan fasilitas Islamic Centre berada di BWK A (Jl. Soekarno Hatta)

    Ruang Terbuka Hijau Ruang terbuka hijau yang diperuntukan untuk Taman Hutan Kota berada di BWK B (Sukarame) dan daerah perbukitan dengan fungsi Ruang Terbuka Hijau. Untuk Taman Kota menyebar di Pusat Kota seperti daerah Way Halim, Taman Lingkungan berada di daerah Pusat Lingkungan. Untuk permakaman/Kuburan berada di Kecamatan Telukbetung Barat, Tanjungkarang Barat, Sukarame, Panjang dan Kemiling.

    2.5. Kondisi Demografi dan Sosial

    A. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Berdasarkan data BPS tahun 2005 sampai tahun 2008, Penduduk Kota Bandar Lampung pada tahun 2007 berjumlah 812.133 jiwa dan pada tahun 2008 meningkat menjadi 822.880 jiwa (Tabel II-5). Penduduk pada tahun 2008 terdiri dari 414.938 jiwa (50,36persen) laki-laki dan 407.942 jiwa (49,63persen) perempuan. Ini berarti jumlah penduduk laki-laki dan perempuan hampir sama banyak. Tingkat pertumbuhan penduduk Kota Bandar Lampung dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2008 berada pada besaran 3,67 persen atau 1,22 persen pertahunnya. Penambahan jumlah penduduk yang paling tinggi terjadi pada tahun 2008 yaitu 10.747 jiwa (naik 1,30 persen), dengan luas Kota Bandar lampung 19.722 Ha. Kepadatan penduduk pada tahun 2008 rata-rata adalah sebesar 42 jiwa/Ha, meningkat dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 41 jiwa/Ha atau naik sebesar 1,32 persen. Menurut kriteria kepadatan penduduk, jumlah kepadatan penduduk Kota Bandar Lampung sebesar 42 jiwa/Ha adalah termasuk kepadatan rendah (Lembaga Bantuan Teknologi Unila FT Unila, 2001 dalam RTRW Kota Bandar Lampung 2005-2015). Namun ternyata persebaran penduduk di Kota Bandar Lampung tidak merata, dimana dari 13 kecamatan beberapa diataranya memiliki tingkat kepadatan penduduk tinggi sisanya secara umum tergolong kepadatan rendah dan sedang. Kecamatan yang memiliki tingkat kepadatan tinggi terdapat di Tanjung Karang Pusat, dan Teluk Betung Selatan (RTRW Kota Bandar Lampung 2005-2015). Luas

  • 13

    wilayah kedua kecamatan ini adalah terkecil dibandingkan dengan 13 kecamatan lain, namun memiliki jumlah kelurahan terbanyak.

    Tabel 2-5. Struktur penduduk Kota Bandar Lampung (BPS Kota Bandar Lampung, 2009)

    Tahun Jenis Kelamin Jumlah Penduduk

    Luas (Ha) Kepadatan Laki-Laki Perempuan

    2005 397.863 395.883 793.746 19.722 40,25 2006 405.208 398.714 803.922 19.722 40,76 2007 409.433 402.700 812.133 19.722 41,18 2008 414.938 402.942 822.880 19.722 41,72

    Sumber: http://Lampung.BPS.go.id

    B. Struktur Penduduk Menurut umur Gambaran mengenai struktur penduduk menurut usia akan menunjukkan jumlah penduduk yang masih produktif dan yang tidak/belum produktif di Bandar Lampung. Penduduk yang termasuk kedalam usia produktif pada nantinya akan digolongkan kepada jumlah tenaga kerja yang tersedia di Kota bandar Lampung dan dalam menentukan kebijakan mitigasi bencana. Berdasarkan kelompok usia proporsi terbesar dari penduduk Kota Bandar Lampung ditempati oleh kelompok usia 20-24 tahun yaitu sekitar 95.597 jiwa, diikuti dengan kelompok umur 15-19 tahun dengan jumlah jumlah 95.537 jiwa. Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa dengan banyaknya penduduk dengan umur produktif maka akan berpengaruh terhadap produktifitas penduduk Kota Bandar Lampung serta kemampuan mereka dalam mempersiapkan diri dalam menghadapi bencana alam, serta mengevakuasi diri jika terjadi bencana benar-benar terjadi di wilayah mereka. Usia produktif dimulai dari umur 15 -55 tahun dan usia diatas 55 tahun digolongkan kepada usia non produktif. Secara umum diketahui bahwa kelompok usia produktif di Bandar lampung mencapai jumlah 546.920 jiwa atau 64,75persen dari total keseluruhan penduduk Kota Bandar Lampung. Menurut Agama Agama-agama yang ada di Kota Lampung terdiri dari Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Islam merupakan agama yang paling banyak dipeluk oleh penduduk Kota Bandar Lampung yaitu mencapai 755.851 jiwa atau 89,50persen disusul dengan kristen Protestan sebanyak 31.695 jiwa. Ini lebih banyak dibandingkan jmlah penganut agama katolik yang hanya 23.081 jiwa. Jika digabungkan penganut agama katolik dan protestan menjadi kelompok minoritas di Kota Bandar lampung dengan persentase sebesar 6,48persen dari total keseluruhan penduduk Kota bandar lampung namun jumlah ini masih lebih banyak bila dibandingkan dengan penganut agama Hindu atau Budha.

    .

  • 14

    2.6. Hubungan Lingkaran-Inti Sebagai Ibukota Provinsi Lampung, Bandar Lampung menjadi pusat

    pemerintahan, sosial, politik, pendidikan dan budaya aktivitas, dan juga pusat kegiatan ekonomi di Provinsi Lampung. Bandar Lampung strategis karena terletak di daerah transit kegiatan ekonomi antara Pulau Sumatera dan Jawa. Kondisi ini menguntungkan bagi pertumbuhan dan pembangunan Bandar Lampung menjadi pusat perdagangan, jasa dan industri. Bandar Lampung telah mengalami perkembangan pesat, ditandai dengan peningkatan jumlah daerah yang dibangun dan munculnya zona pusat pertumbuhan baru (Bandar Lampung Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, 2003).

    2.7.Kondisi Ekonomi dan Mata Pencaharian Informasi kondisi ekonomi dan matapencaharian dapat memberikan gambaran mengenai tingkat kesejahteraan masyarakat, dan merupakan salah satu faktor penting yang dapat menunjang ketahanan masyarakat dalam menghadapai bencana terutama yang disebabkan oleh perubahan iklim. Mata pencaharian penduduk pada dasarnya berhubungan erat dengan tingkat pendapatan, tingkat kesejahteraan serta pengelolaan sumberdaya alam yang terdapat di sekitarnya. Penduduk dengan tingkat ketergantungan yang tinggi pada sektor pertanian dan perikanan perlu mendapatkan perhatian yang lebih besar, karena sektor tersebut sangat dipengaruhi oleh iklim atau musim. Angkatan kerja merupakan penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja atau mencari pekerjaan. Jumlah angkatan kerja di Kota Bandar Lampung meningkat dari 364.337 jiwa pada tahun 2005 menjadi 414.827 jiwa pada tahun 2008.

    Penduduk berumur 15 tahun yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama tahun 2007 berjumlah 342.334 dengan rincian sebagai berikut: 1). Pertanian, kehutanan, perburuan, dan perikanan sebanyak 9.217 jiwa. 2) Industri Pengolahan sebanyak 31.277. 3). Perdagangan besar, eceran, rumah makan dan hotel sebanyak 127.814. 4). Jasa kemasyarakatn sebanyak 89.229, dan 5) lainnya (pertambangan dan penggalian, listrik, gas dan air bersih, bangunan, angkutan, pergudangan dan komunikasi, keuangan, usaha persewaan bangunan, tanah dan jasa perusahaan) sebanyak 84.797 (http://lampung.bps.go.id/tabel/tk11.pdf). Dengan demikian perdagangan merupakan tumpuan mata pencaharian penduduk yang utama.

    PDRB Kota Bandar Lampung sebagian besar dikontribusi oleh pengangkutan dan komunikasi (19,6%), industri pengolahan (17,6 %), jasa-jasa (16,9%) dan lapangan usaha perdagangan, hotel, dan restoran (16,6%). Kontribusi lapangan usaha pertanian pada PDRB memberikan sebesar 5,9% (Table II-6). Distribusi kegiatan ekonomi di Kota Bandar Lampung dapat dilihat pada Gambar 2-5.

  • 15

    Tabel 2-6. Produk Domestik Regional Bruto Kota Bandar Lampung Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2004-2007

    No. Lapangan Usaha 2004 2005 2006 2007 1 Pertanian 317.382 336.894 459.996 622.174 2 Pertambangan dan Penggalian 89.091 91.919 94.069 95.057 3 Industri Pengolahan Tanpa Migas 940.423 1.015.321 1.457.313 1.835.621 4 Listrik dan Air Bersih 98.126 127.955 153.563 162.058 5 Bangunan 394.064 453.175 602.517 690.780 6 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 1.152.353 1.163.215 1.462.784 1.740.263 7 Pengangkutan dan Komunikasi 947.407 1.187.247 1.500.958 2.049.305

    8 Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 913.755 1.113.247 1.252.691 1.491.115

    9 Jasa-Jasa 1.235.780 1.306.664 1.394.547 1.764.359 PDRB / GRDP 6.088.382 6.795.637 8.378.439 10.450.733

    (Sumber: Kota Bandar Lampung Dalam Angka, 2008)

    Gambar 2-4. Distribusi Kegiatan Ekonomi Kota Bandar Lampung, 2007

    2.7. Profil Responden Untuk menggambarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat di Kota Bandar Lampung secara lebih luas memiliki keterbatasan dalam hal ketersediaan data sekunder. Oleh karena itu penggambaran dilakukan dengan menggunakan data survey pada enam kelurahan di Kota Bandar Lampung yang dikelompokkan menjadi wilayah pesisir dan non pesisir. Kelurahan yang termasuk wilayah non pesisir adalah: 1). Kelurahan Batu Putu, 2) Kelurahan Pasir Gintung, dan 3). Kelurahan Sukabumi Indah. Sedangkan kelurahan yang termasuk kelompok pesisir adalah: 4). Kelurahan Kangkung, 5). Kelurahan Kota Karang, 6). Kelurahan Panjang Selatan. Survey melibatkan 256 masyarakat, yang terdiri dari 62,28 persen masyarakat adalah laki-laki dan 36,72 persen perempuan. Selain melalui survey, penajaman beberapa informasi juga dilakukan melalui focus group discussion (FGD) pada empat lokasi yaitu di Kelurahan Panjang Selatan, Kota Karang, Batu Putu dan Pasir Gintung.

  • 16

    2.7.1. Kontek Sosial A. Tingkat Pendidikan

    Tingkat pendidikan masyarakat merupakan salah satu indikator dalam menilai kemampuan masyarakat untuk menerima pengetahuan baru, serta menyerap keterampilan maupun teknologi yang dipekenalkan. Oleh karena itu semakin tinggi taraf pendidikan masyarakat, akan semakin mudah menggugah kesadarnnya untuk merespon upaya-upaya adaptasi bencana, baik melalui proses latihan dan penyuluhan, pemberian ketrampilan maupun model-model percontohan yang akan diberikan, demikian sebaliknya. Oleh karena itu tingkat pendidikan masyarakat dapat dijadikan sebagai salah satu tolak ukur dalam menilai kerentanan masayarakat terhadap bencana.

    Menurut data hasil survey (tabel 2-7), mayoritas masyarakat di kelurahan yang diamati telah lulus SD. Kelurahan SUkabumi Indah merupakan kelurahan dengan tingkat pendidikan tertinggi..

    Tabel 2-7. Distribusi Tingkat Pendidikan Masyarakat Pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 (dalam %)

    Pendidikan Panjang Selatan

    Pasir Gintung

    Kota Karang

    Batu Putu

    Sukabumi Indah

    Kangkung

    Tidak Sekolah 12,5 6 9 20 - 7,7 SD Kelas 1-3 17,5 4 17,9 17,5 6,4 28,2 SD Kelas 4-6 5 10 7,1 15 - 10,3 SD Tamat 32,5 40 41 25 16,2 35,9 SMP Tamat 30 20 10,7 10 3,2 5,1 SLTA Tamat 2,5 18 12,5 12,5 54,8 12,8 Sarjana Muda/ D3 - - 1,8 - 3,2 - Sarjana - 2 - 16,2 -

    Tabel 2-8. menguraikan data sebaran pendidikan berdasarkan mata pencaharian di setiap kelurahan dan wilayah. Berdasarkan tabel tersebut, masyarakat yang bekerja sebagai petani kebun di Batu Putu banyak yang tingkat pendidikannya tamat sekolah dasar dengan persentase sebesar 15 persen dari total masyarakat di Batu Putu. Jika dilihat secara lebih detail lagi, ternyata dari 47,5 persen masyarakat yang bekerja sebagai petani kebun, maka sebanyak 40 persen berpendidikan rendah (tidak tamat SD-tamat SD).

    Pekerjaan utama masyarakat di Pasir Gintung adalah pada sektor perdagangan (20%), servis (10%), buruh non-petani (20%), dan lainnya (48%). Kebanyakan penduduk yang bekerja sebagai pedagang dan buruh non-petani adalah masyarakat dengan pendidikan menengah kebawah (SMP dan SMA). Fenomena masyarakat dengan pendidikan rendah ini juga terjadi pada sektor perbaikan (service). Meskipun Pasir Gintung berada di dekat kota, dimana aktivitas pertanian tidak terjadi, komposisi pekerjaan didominasi oleh pekerja dengan pendidikan yang sangat rendah.

    Hampir semua penduduk di kelurahan Sukabumi Indah bekerja sebagai tenaga kerja non-pertanian, tenaga kerja perbaikan, atau pegawai negeri (PNS/ABRI/POLRI). Kebanyakan dari mereka memiliki tingkat pendidikan

  • 17

    m