2977_nur sahid

34
RINGKASAN DRAMATURGI TEATER GANDRIK YOGYAKARTA DALAM LAKON ‘’ORDE TABUNG’’ DAN ‘’DEPARTEMEN BOROK’’ diajukan oleh Nur Sahid 08/276507/SMU/00568 Kepada PROGRAM STUDI PENGKAJIAN SENI PERTUNJUKAN DAN SENI RUPA SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS GADJAH MADA Y O G Y A K A R T A 2012

Upload: petapagenit

Post on 05-Aug-2015

103 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: 2977_Nur Sahid

RINGKASAN

DRAMATURGI TEATER GANDRIK YOGYAKARTA DALAM LAKON ‘’ORDE

TABUNG’’ DAN ‘’DEPARTEMEN BOROK’’

diajukan oleh Nur Sahid

08/276507/SMU/00568

Kepada PROGRAM STUDI

PENGKAJIAN SENI PERTUNJUKAN DAN SENI RUPA SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS GADJAH MADA Y O G Y A K A R T A

2012

Page 2: 2977_Nur Sahid

ii

DRAMATURGI TEATER GANDRIK YOGYAKARTA

DALAM LAKON ‘’ORDE TABUNG’’ DAN

‘’DEPARTEMEN BOROK’’ I. PENGANTAR

A. Latar Belakang

Teater Gandrik merupakan salah satu grup teater yang cukup

dikenal di Yogyakarta, dan bahkan di Indonesia. Teater Gandrik

dianggap sebagai grup teater yang berhasil menggali estetika

teater rakyat Jawa dalam pemanggungannya. Hal itu ditandai

dengan bentuk pementasan yang cair, tidak setia pada naskah

cerita, dialog penuh plesedan dengan berbagai improvisasi,

sesekali menggunakan dialog dengan kosa kata Jawa, tari-

tarian, dan nyayian.

Dramaturgi yang dipergunakan Teater Gandrik menjadi

menarik di tengah-tengah banyaknya grup teater modern yang

justru intensif mengolah estetika teater Barat. Upaya Gandrik

menggali estetika ketimuran yang digali dari khazanah teater

rakyat milik bangsa sendiri sebenarnya tidak dapat dilepaskan

dari keakraban para anggota Teater Gandrik dengan beberapa

kesenian rakyat yang hidup di Yogyakarta seperti srandhul,

ketoprak, dagelan Mataram dari almarhum Basiyo.

Sebagian besar lakon-lakon Teater Gandrik ditulis oleh Heru

Kesawa Murti. Lakon-lakon yang dipentaskan Teater Gandrik

antara lain berjudul “Isyu”, “Orde Tabung”, “Departemen

Borok” dsb.1 Pada setiap pementasan Teater Gandrik selalu

1 “Isyu” (Yogyakarta: Naskah Tidak Diterbitkan, 1987); Heru

Kesawa Murti, “Orde Tabung” (Yogyakarta: Naskah Tidak Diterbitkan, 1988); Heru Kesawa Murti, “Departemen Borok” (Yogyakarta: Naskah Tidak Diterbitkan, 2003).

Page 3: 2977_Nur Sahid

iii

mengangkat masalah sosial. Lebih dari itu, apabila diamati

dengan seksama ternyata setiap pertunjukan Teater Gandrik

mengandung berbagai unsur tanda (sign). Tanda-tanda

tersebut dapat berkaitan dengan struktur maupun tekstur

pertunjukan, sehingga harus diberi makna.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada uraian di depan, maka dapat diambil

rumusan masalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah estetika pertunjukan Teater Gandrik?

2. Bagaimanakah perbedaan dan persamaan kritik sosial yang

dipaparkan Teater Gandrik dalam “Orde Tabung” dan

“Departemen

Borok”?

3. Bagaimanakah faktor-faktor sosial budaya yang mempengaruhi

Teater Gandrik dalam memilih jenis dramaturgi pertunjukan?

4. Bagaimanakah makna-makna yang dapat digali dari tanda-

tanda

dalam pertunjukan “Orde Tabung” dan “Departemen Borok”?

5. Bagaimanakah implikasi penelitian ini bagi pengembangan

keilmuan teater di Indonesia?

C. Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan teori estetika, sosiologi seni, dan

semiotika teater.

1. Teori Estetika

Teori estetika yang dipergunakan dalam peneitian ini adalah

teori estetika morfologi dari Thomas Munro, estetika paradoks dari

Jakob Sumardjo, dan estetika rasa (rasa aesthetic) dari Schechner.

Thomas Munro mengatakan bahwa estetika morfologi bertugas

mengkaji elemen, detail, ide, komposisi, struktur, dan jalinan

Page 4: 2977_Nur Sahid

iv

antar elemen tersebut.2 Teori Munro itu akan dilengkapi dengan

teori estetika dari The Liang Gie yang mengatakan bahwa ada

lima syarat yang harus dipenuhi untuk menyebut sesuatu dapat

dikatakan indah, yakni a) kesatuan, totalitas (unity), b)

keharmonisan, keserasian (harmony), c) kesimetrisan (symetry), d)

keseimbangan (balance), e) kontradiksi (contrast)3.

2. Sosiologi Seni

Secara umum teori sosiologi seni mencoba mengkaitkan

antara karya seni dengan kondisi sosial historis tempat karya itu

diciptakan. Janet Wolff mengatakan bahwa karakter ideologis

karya seni dan produk kultural, termasuk seni teater, ditentukan

oleh faktor ekonomi dan material lainnya. 4 Pendekatan sosiologi

seni Marxisme melihat karya seni sebagai struktur atas (super

structure) dengan sistem ekonomi sebagai dasarnya.5 Teori

Marxisme tradisional tersebut dengan tegas ditolak oleh Louis

Althusser. Althusser mengatakan bahwa hubungan antara

ekonomi dan kebudayaan lebih banyak ditentukan sejumlah

kekuatan sejarah dibandingkan ekonomi.6 Bagi Althusser, seni

bukan hanya bersifat ideologis, melainkan memberikan semacam

jarak dan wawasan yang dikaburkan oleh ideologi.7 Secara

2 Thomas Munro. “The Morphology of Art as a Branch of

Aesthetics” Dimuat dalam Monroe C. Beardsley & Hebert M. Schueller (Eds.) Aesthetics Inquiry: Essay on Art Criticism and the Philosophy of Art (Belmont, California: Dickenson Publlishing Company Inc., 1967), 48.

3The Liang Gie, Garis Besar Estetika (Filsafat Keindahan) (Yogyakarta: Karya, 1976), 35.

4Janet Wolff, The Social Production of Art (New York: Martin’s Press Inc.: 1981), 60.

5 Umar Junus, Sosiologi Sastera Persoalan Teori dan Metode

(Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajar Malaysia, 1986), 21.

6 Fortier, 104. 7 Fortier, 104.

Page 5: 2977_Nur Sahid

v

sosiologis ide dan nilai karya seni terbentuk akibat interaksi

seniman yang intensif dengan kondisi sosial masyarakatnya.

3. Semiotika Teater

Untuk menganalisis makna-makna pertunjukan Teater

Gandrik yang berjudul “Orde Tabung” dan “Departemen Borok”

akan dipergunakan pendekatan semiotika teater. Keir Elam

mendefinisikan semiotika sebagai ilmu yang dipersembahkan

khusus ke studi produksi makna dalam masyarakat.8 Tadeuzs

Kowzan menyebutkan terdapat 13 sistem tanda yang terlibat

dalam teater, yakni sistem tanda kata, nada, mime, gesture, gerak,

make-up, gaya rambut, kostum, properti, setting, tata cahaya, tata

musik, dan tata bunyi.9 Ketiga belas sistem tanda ini akan dipakai

menganalisis “Orde Tabung” dan “Departemen Borok”.

D. Metode Penelitian

Penelitian in termasuk jenis penelitian kualitatif. Adapun

cara pengumpulan datanya dilakukan dengan studi kepustakaan

dengan tujuan untuk mendapatkan data-data tertulis seperti

buku-buku, artikel jurnal, artikel di media massa cetak, majalah,

foto-foto, liflet pertunjukan dll. Materi yang dikumpulkan dapat

berupa resensi pementasan Teater Gandrik, berita pementasan,

kajian tentang pementasan, buku-buku teori teater, foto-foto dan

video pementasan Teater Gandrik dll. Untuk mendapatkan

sumber-sumber lisan akan dilakukan wawancara terhadap pihak-

pihak yang dianggap mewakili Teater Gandrik seperti penulis

lakon, sutradara, pemeran, dan sebagainya.

II. Estetika Pertunjukan “Orde Tabung” dan “Departemen

8 Keir Elam, The Semiotics Theatre and Drama (London: Methuen Drama, 1991), 1.

9 Elam, 20; Aston & Savona, Elain Aston & George Savona, Theatre as Sign-System: A Semiotics of Text and Performances (London: Routledge, 1991), 105.

Page 6: 2977_Nur Sahid

vi

Borok”

A. Dramaturgi dan Estetika

Eugenio Barba mendefinisikan dramaturgi sebagai

akumulasi aksi yang tidak terbatas pada gerakan-gerakan aktor,

tetapi juga meliputi aksi-aksi yang terkait dengan adegan-adegan,

musik, cahaya, vokal aktor, efek suara, dan objek-objek yang

dipergunakan dalam pertunjukan.10 Lebih jauh dikatakan oleh

Barba bahwa dramaturgi hanya bisa diidentifikasi dari suatu teks

tertulis otonom (teks drama) dan proses pertunjukan teater yang

melibatkan para karakter.11 Sementara itu, Thomas Munro

mengatakan bahwa estetika morfologi berusaha mengkaji elemen,

detail, ide, komposisi, struktur, dan jalinan antar elemen dari

karya seni.12 Dengan mengkaji “Orde Tabung” dan “Departemen

Borok” secara estetika morfologi berarti seluruh unsur dramaturgi

akan dibahas.

Teori estetika morfologi di atas akan dilengkapi dengan teori

estetika paradoks dan estetika rasa. Jakob Sumardjo mengatakan

bahwa estetika paradoks menekankan adanya pasangan-pasangan

oposisi yang mengandung adanya “pertentangan” unsur-unsur

yang bersifat “komplementer”, sekalipun demikian, makna

keduanya bisa saling melengkapi.13 Estetika paradoks ini dipakai

untuk menganalisis sstruktur dan tekstur “Orde Tabung” dan

“Departemen Borok”. Agar analisis estetika “Orde Tabung” dan

“Departemen Borok” lebih sistematis dan terarah, maka unsur-

10 Ian Watson, Towards a Third Theatre (London: Routledge, 1995),

93. 11Eugenio Barba, “Dramaturgy Actions at Works dalam Eugenio Barba &

Nicola Savarese, A Dictionary of Theatre Antroplogy: The Scret Art of the Performer (London: Routledge, 1995), 68.

12 Munro dalam Beardsley & Schueller (Eds.), 48. 13 Jakob Sumardjo, Estetika Paradoks (Bandung: Sunan Ambu

Press STSI Bandung, 2006), 49.

Page 7: 2977_Nur Sahid

vii

unsur estetika akan digali bersamaan saat menganalisis struktur

dan tekstur pertunjukan.

B. Estetika “Orde Tabung”

1. Struktur dan Tekstur “Orde Tabung”

George Kernodle & Portia Kernodle mengatakan bahwa nilai-

nilai dramatik karya teater mencakup plot, tokoh, tema, dialog,

musik (mood), dan spektakel.14 Dari keenam unsur itu, tiga unsur

yang pertama disebut struktur, sedangkan tiga berikutnya disebut

sebagai tekstur.15 Pada saat menganalisis struktur dan tekstur

pertunjukan inilah maka hampir seluruh unsur estetika (kecuali

estetika rasa), termasuk dramaturgi, dapat diterapkan.16

a. Struktur Lakon “Orde Tabung”

1). Plot

Kernodle mengatakan bahwa plot merupakan penyusunan

insiden-insiden yang terjadi di atas panggung.17

Plot “Orde Tabung” berisi konflik-konflik yang kompleks

antar tokoh cerita seperti Sekretaris Pembina Kota dengan para

jompo dengan Astowasis, Pembina Kota dengan para jompo,

Suwelo dengan Istri Suwelo, Istri Suwelo dengan para jompo,

Kepala Dinas Keamanan dengan Pembina Kota dll. Berdasarkan

analisis plot “Orde Tabung” dapat disimpulkan bahwa lakon ini

memiliki jenis plot lurus. Jalinan cerita sejak eksposisi,

penggawatan 1 dan 2, klimaks hingga penyelesaian terbangun

dengan rapi, sehingga kisah “Orde Tabung” cukup enak diikuti.

Penyelesaian cerita “Orda Tabung” berlangsung dengan cepat atau

14George Kernodle & Portia Kernodle, Invitation to the Theatre,

Edisi Kedua (Atlanta: Harcourt Brace javanvich, Inc, 1978), 265. 15Kernodle & Kernodle, 265. 16Pemaparan pendapat-pendapat dan teori tentang estetika rasa

akan diuraikan saat menganalisis estetika rasa terhadap “Orde Tabung” pada sub D no. 3.

17 Kernodle, 266.

Page 8: 2977_Nur Sahid

viii

setelah klimaks berlangsung, yakni melalui penjelasan Sekretaris

Pembina Kota kepada para Wartawan tentang penyebab kematian

PK.

2). Penokohan

Karakter seringkali disebut sebagai tokoh cerita. Selain

sebagai materi utama untuk menciptakan plot, karakter juga

merupakan sumber action dan percakapan.18 George Kernodle

mengatakan bahwa dalam sebuah karya drama plot adalah apa

yang terjadi, sedangkan karakter (tokoh) adalah mengapa sebuah

tindakan terjadi.19

Penokohan “Orde Tabung” mengandung unsur-unsur yang

bersifat paradoks, terutama yang terkait dengan perwatakan-

perwatakan tokoh yang saling bertentangan, sikap hidup, dan

orientasi nilai kehidupan. Misalnya, tokoh Pembina Kota (PK),

Sekretaris Pembina Kota (SPK), Dokter Astowasis (DA), Suwelo

yang sangat mendukung teknologi bayi tabung beserta implikasi

sosial, medis, politik, dan hukum yang menyertainya jelas berbeda

dengan sikap Kepala Dinas Keamanan (KDK) dan Istri Pembina

Kota (IPK). Paradoks-paradoks tersebut secara estetik juga

menyebabkan adanya keseimbangan antara perwatakan yang baik

dengan buruk.

3). Tema

Tema adalah ide dasar cerita.20 Bertolak dari permasalahan-

permasalahan dalam “Orde Tabung” dapat disimpulkan bahwa

tema lakon ini dapat dirumuskan dalam kalimat “penciptaan

teknologi modern tidak akan membawa kebahagiaan lahir batin

umat manusia tanpa dilandasi oleh nilai-nilai kemanusiaan

18Bakdi Soemanto, Jagat Teater (Yogyakarta: Media Presindo,

2001), 21. 19 Kernodle, 267. 20 Kernodle, 270.

Page 9: 2977_Nur Sahid

ix

(humanisme)”. Tema “Orde Tabung” seperti disebutkan di atas

bersifat universal.

b. Tekstur Pertunjukan “Orde Tabung”

Kernodle mengatakan bahwa tekstur pertunjukan teater

mencakup dialog, musik (Susana), dan penotnon.21 Tekstur “Orde

Tabung” didominasi oleh suasana yang tragis. Peristiwa tragis

yang menimpa SPK di akhir cerita melengkapi berbagai peristiwa

tragis yang terjadi sebelumnya. Pertunjukan “Orde Tabung”

dibuka dengan peristiwa tragis, dan juga diakhiri dengan peristiwa

tragis.

Tekstur “Orde Tabung” didominasi oleh unsur-unsur yang

paradoks. Hal ini antara lain tampak pada pengadegan, yakni

suasana sedih tiba-tiba berubah menjadi gembira. Dialog-

dialog antar tokoh yang serius, tiba-tiba berubah menjadi humor-

humor segar yang mengudang tawa penonton dsb. Peralihan yang

begitu tiba-tiba dari suasana serius ke suasana main-main atau

komik merupakan salah satu ciri teater rakyat Jawa. Sebagian

besar adegan-adegan dalam “Orde Tabung” mengandung suasana

sedih, mencekam, tragis sekaligus berbaur menjadi satu suasana

yang komik, dan main-main. Pengggunaan bahasa dialog pun

mengandung unsur yang paradoks, yakni Bahasa Indonesia

(bahasa nasional) bercampur dengan kosa kata Jawa.

Secara estetis unsur-unsur yang paradoks tersebut akan

akan membuat segala sesuatu menjadi lebih jelas, lebih menonjol,

dan mudah ditangkap oleh penonton. Doleman mengatakan

bahwa keutuhan yang abadi dalam karya seni adalah terletak

21 Kernodle, 265.

Page 10: 2977_Nur Sahid

x

pada hadirnya keutuhan dalam keberagaman (multiplicity), dan

keutuhan dalam keanekaragaman.22

2. Teater Rakyat Jawa dan Kritik Sosial sebagai Elemen

Estetika Pertunjukan ”Orde Tabung”

a. Unsur-unsur Teater Rakyat Jawa dalam ”Orde Tabung”

Unsur-unsur teater rakyat yang muncul dalam pertunjukan

Teater Gandrik antara lain berupa improvisasi, pengadegan,

humor pemeranan, bentuk pemanggungan, penyutradaraan, dan

penggunaan kosa kata Jawa.23

1). Improvisasi

Melalui improvisasi seorang aktor akan memiliki kekayaan

imajinasi dalam menggarap lingkungannya, dan tangkas bekerja

dalam situasi yang terbatas.24 Apabila dikaji secara seksama,

maka Improvisasi dalam “Orde Tabung” dapat dibagi dalam empat

jenis, yakni: 1 penambahan dan penggantian kata, frasa dan

kalimat; 2 penambahan kata, frasa, dan kalimat yang disertai

gerakan dan gesture tertentu sehingga membuat penonton

tertawa; 3 penambahan dialog yang sama sekali baru; 4

munculnya aksi bahasa tubuh tertentu yang kurang wajar

sehingga menimbulkan tawa penonton. Improvisasi dalam ”Orde

Tabung” hadir sebagai unsur pertunjukan yang memiliki

keterkaitan yang erat dengan unsur-unsur pertunjukan lain

seperti dialog, gerak, gesture.

2). Humor

22 Frerer, Lloyd Anton, Directing for the Stage (Illionis U.S.A.: NTC

Publishing Group, 1996), 172. 23 Khusus unsur penyutradaraan akan dipaparkan pada sub D 3

yang khusus membahas tentang proses mengolah pertunjukan “Orde Tabung” dan “Departemen Borok”.

24 Rendra, Mempertimbangkan Tradisi (Jakarta: Gramedia, 1983), 38.

Page 11: 2977_Nur Sahid

xi

Humor sering disebut sebagai suatu ucapan dan tindakan

yang mengandung kejenakaan atau bersifat lucu. Franz Kafka

mengatakan bahwa penderitaan kehidupan manusia dapat

menjadi pemicu lahirnya humor.25 Dalam pertunjukan “Orde

Tabung” posisi humor adalah sebagai sisipan belaka. Oleh karena

humor ini hanyalah berupa penggalan-penggalan dialog, aksi,

gerakan, gesture dll. yang tidak memiliki struktur dramatik,

sehingga hal itu tidak menyebabkan pertunjukan menjadi lamban,

monoton.

3). Pengadegan

Pengadegan merupakan penyusunan konstruksi unsur-

unsur adegan dalam sebuah pementasan teater. Pengadegan

pementasan ”Orde Tabung” tampak terinspirasi dari Dagelan

Mataram dan ketoprak. Hal ini antara lain tampak pada pola

perubahan suasana dari sedih menjadi gembira atau sebaliknya

yang terjadi secara cepat atau tiba-tiba. Pembelokan suasana yang

tiba-tiba dari sedih menjadi gembira atau dari serius menjadi

bercanda adalah khas pengadegan teater rakyat Jawa.

4). Pemanggungan

Panggung tempat pertunjukan ”Orde Tabung” berbentuk

arena. Hal ini merupakan khas bentuk panggung teater rakyat,

sehingga jarak antara pemain dengan penonton dekat. Tata letak

peralatan musik pementasan Teater Gandrik juga menunjukkan

keterpengaruhan dari teater rakyat. Peralatan musik Teater

Gandrik berada di bagian belakang sebelah kanan panggung. Hal

inilah yang menyebabkan para pemusik mudah memberi respon

terhadap akting para pemeran.

5). Penggunaan Kosa Kata Jawa

25 H.S. Reiss, “Franz Kafka’s Conception of Humour” dalam The

Modern Language Review, Modern Humanities Research Association, Vol. 44, No. 4, Oktober 1949, 534-542.

Page 12: 2977_Nur Sahid

xii

Dalam pertunjukan ”Orde Tabung” banyak diketemukan

kosa kata Jawa seperti ”mengkeret” (’mengecil’), ”thungklik”

(’hubungan seksual’), ”ndableg” (’tidak mau dinasehati’),

”tempolong” (’kaleng’), ”srimbit” (’jalan berduaan’), ”rak” (’kan’),

”sangkan paraning rejeki” (’asal-usul rizki’) dll. Penggunaan

Bahasa Jawa tersebut ikut mempertegas suasana kultural Jawa

pementasan ”Orde Tabung” seperti halnya dalam teater rakyat.

6). Pemeranan

Jenis akting tokoh SPK menunjukkan kedekatannya dengan

pola akting Dagelan Mataram, yakni akting representasi. Akting

representasi adalah jenis akting yang yang berusaha

mengimitasikan dan menggambarkan tingkah laku karakter.26

Karakteristik SPK dihadirkan dengan cara bermain-main.

Misalnya, tokoh SPK dengan lincahnya melakukan sindiran-

sindiran terhadap peristiwa-peristiwa aktual yang terjadi dalam

masyarakat. Aktor secara bebas melakukan kritik, sindiran atau

komentar yang tidak mewakili karakteristiknya. Banyak aktor

Teater Gandrik menggunakan pola akting Dagelan Mataram.

6). Nyanyian

Hadirnya unsur nyanyian pada pementasan ”Orde Tabung”

merupakan salah satu di antara beberapa pengaruh yang berasal

dari teater rakyat. Ketika Istri Suwelo mengungkapkan kepedihan

isi hatinya yang gelisah dan panik, ia menyanyikan lagu dengan

lirik bernuansa kesedihan.27 Dalam teater rakyat ekspresi

kesedihan, kesenangan, harapan sering diungkapkan dalam

bentuk nyanyian.

b. Kritik Sosial dalam “Orde Tabung”

26 Sitorus, 19. 27 Murti, 1993: 29.

Page 13: 2977_Nur Sahid

xiii

Kritik sosial adalah penilaian ilmiah atau pengujian

terhadap situasi masyarakat pada suatu saat.28 Keakraban para

anggota Teater Gandrik dengan Bagelan Mataram Basiyo yang

dalam setiap pertunjukannya diwarnai humor yang biasanya

disertai sikap saling mengejek, menyindir, dan melecehkan satu

sama lain secara tidak langsung ikut memberi inspirasi

munculnya sindiran, dan kritik sosial pada Teater Gandrik.

Kondisi sistem politik Indonesia era Orde Baru yang otoriter,

penuh ketidakdilan, dan sarat korupsi tentu saja juga mendorong

Teater Gandrik memberikan peringatan dalam bentuk kritik sosial.

Kritik sosial Teater Gandrik dalam “Orde Tabung” ditujukan

kepada berbagai institusi seperti rezim Orde Baru, birokrasi,

militer, wartawan, dan konglomerat. Kondisi sosial politik yang

otoriter dan represif selama tahun ‘80-an menyebabkan kritik

sosial Teater Gandrik bersifat implisit dan simbolik.

C. Estetika “Departemen Borok”

1. Struktur dan Tekstur “Departemen Borok”

a. Struktur Lakon “Departemen Borok”

1). Plot

Plot “Departemen Borok” diwarnai peristiwa-peristiwa

konflik antar tokoh sejak awal hingga akhir cerita. Konflik itu

terjadi akibat ketidakjujuran Sirhan dkk. dalam melaporkan harta

kekayaan yang dimiliki kepada Komisi Anti Korupsi (KAK). Klimaks

cerita dibangun melalui tindakan Abisirna yang membuang ke

kranjang sampah berkas hasil penyidikan Busak dan Emindah

terhadap Sirhan dkk. Padahal, sebelumnya ia berjanji akan

meneruskan berkas hasil penyelidikannya terhadap Sirhan dkk.

28 Astrid S. Susanto, “Makna dan Fungsi Kritik Sosial dalam

Masyarakat dan Negara”, Prisma, 10 (Oktober 1977), 3.

Page 14: 2977_Nur Sahid

xiv

kepada Kejaksaan. Klimaks tersebut sekaligus mendai akhir cerita

lakon ini.

2). Penokohan

Penokohan “Departemen Borok” mengandung unsur-unsur

bersifat paradoks, terutama yang terkait dengan perwatakan-

perwatakan tokoh. Tokoh Busak dan Emindah sebagai penyidik

KAK yang penuh idealisme, berdedikasi, memiliki kepribadian

yang kuat, dan tidak mau menerima suap tampak bertolak

belakang dengan perwatakan Abisirna dan Lamar yang telah

disuap Sirhan dkk. Idealisme, dan kepribadian yang kuat yang

dimiliki Emindah dan Busak juga menyebabkan mereka memiliki

orientasi nilai-nilai kehidupan yang berbeda dengan Sirhan dkk.

Secara estetik, paradoks-paradoks perwatakan dan orientasi nilai-

nilai kehidupan yang terjadi antar tokoh di atas menyebabkan

cerita “Departemen Borok” menjadi lebih hidup, dinamis, dan

menarik.

3). Tema

Berdasarkan analisis lakon ini dapat diketahui bahwa

tokoh-tokoh yang terlibat korupsi seperti Sirhan, Gesti, Saroyan,

Meriam akhirnya tidak jadi dituntut di pengadilan, sebab berkas

penyidikan mereka dibuang ke kranjang sampah oleh Abisirna.

Nasib tokoh-tokoh yang memuja nilai-nilai materialisme seperti

Sirhan dkk. justru lebih jelas masa depannya, dibandingkan

Busak dan Emindah yang memperjuangkan kebenaran.

Berdasarkan fakta di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tema

“Departemen Borok” dapat dirumuskan dalam kalimat “perbuatan

korupsi akan susah diberantas manakala aparat penegak hukum

juga terlibat korupsi“. Tema tersebut tampak membingkai cerita

secara keseluruhan.

b. Tekstur Pertunjukan Departemen Borok

Page 15: 2977_Nur Sahid

xv

Berdasarkan analisis tekstur “Departemen Borok” dapat

diambil kejelasan bahwa dalam pertunjukan ini terdapat banyak

unsur pertunjukan yang paradoks satu sama lain. Hal ini tampak

jelas pada hubungan antar adegan yang seringkali diwarnai oleh

suasana-suasana yang bertolak belakang satu sama lain.

Misalnya, peristiwa-peristiwa yang terjadi pada adegan pertama

berlangsung dalam suasana sunyi, sedangkan suasana adegan

kedua berlangsung berlangsung cukup ramai dan menegangkan.

Jalinan antar adegan yang diwarnai dengan suasana yang

paradoks. Hal ini merupakan pengaruh langsung dari pola

pengadegan teater rakyat. Dialog-dialog antar tokoh yang

menggunakan bahasa Indonesia tersebut sesekali disisipi dengan

kosa kata Jawa, sehingga dalam penggunaan bahasa pun

menunjukkan adanya paradoks.

4. Teater Rakyat Jawa dan Kritik Sosial sebagai Elemen

Estetika Pertunjukan ”Departemen Borok”

a.Unsur-unsur Teater Rakyat Jawa dalam ”Departemen

Borok”29

1). Improvisasi

Pertunjukan “Departemen Borok” mengandung banyak

improvisasi, yang berupa: 1 penambahan, pengurangan, dan

penggantian kata, frasa dan kalimat; 2 penambahan kata, frasa,

dan kalimat yang disertai gerakan dan gesture tertentu sehingga

membuat penonton tertawa; 3 penambahan dialog yang sama

sekali baru; 4 munculnya aksi bahasa tubuh tertentu yang

kurang wajar sehingga menimbulkan tawa penonton. Improvisasi

dalam ”Departemen Borok” hadir sebagai unsur pertunjukan yang

29 Pada analisis ini beberapa konsep yang terkait dengan

improvisasi, humor, pengadegan dll. tidak dipaparkan, sebab sebelumnya telah diuraikan saat membahas unsur-unsur teater rakyat dalam “Orde Tabung”. Periksa sub B no. 4.

Page 16: 2977_Nur Sahid

xvi

memiliki keterkaitan yang erat dengan unsur-unsur pertunjukan

lain seperti dialog, gerak, gesture.

2). Humor

Humor-humor dalam “Departemen Borok” sesungguhnya

tidak mengganggu struktur dramatik pertunjukan secara

keseluruhan. Dalam pertunjukan “Departemen Borok” posisi

humor adalah sebagai sisipan belaka. Humor-humor itu justru

menyebabkan cerita menjadi cair, dinamis, dan komunikatif

dengan penonton.

3). Pengadegan

Pengadegan ”Departemen Borok” dipengaruhi Dagelan

Mataram dan ketoprak. Hal ini antara lain dapat disimak pada

pembelokan suasana yang tiba-tiba terjadi, yakni dari suasana

gembira beralih ke suasana sedih atau sebaliknya. Pada

”Departemen Borok” terdapat sepuluh adegan yang mengandung

pengadegan bersumber dari teater rakyat, yakni adegan 4, 7-9, 13,

dan 16-20.

4). Pemanggungan

Pemanggungan Teater Gandrik menunjukkan adanya

pengaruh dari teater rakyat Jawa (teater arena), sehingga

menyebabkan hubungan kedekatan atau keakraban antara

pemain dengan penonton. Tata letak peralatan musik pementasan

Teater Gandrik juga menunjukkan keterpengaruhan dari teater

rakyat. Peralatan musik Teater Gandrik berada di bagian belakang

sebelah kanan panggung (stage) permainan.

4). Penggunaan Kosa Kata Jawa

Penggunaan kosa kata Jawa dalam ”Departemen Borok”

cukup signifikan. Misalnya, kata ”bodho” (’bodoh’), ”goblok”

(’bodhoh’), ”ngemut” (’dihisap’), ”andekpuna” (’hanya saja’), ”oye”

(’oke’), ”rasah ngotot” (’tidak usah ngotot’), ”sik to” (’sebentar’), dll.

Page 17: 2977_Nur Sahid

xvii

Penggunaan alih kode dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Jawa

tersebut bertujuan untuk memperkuat suasana kultural Jawa

”Departemen Borok”.

5). Nyanyian

Pada pertunjukan ”Departemen Borok” terdapat beberapa

dialog yang diungkapkan dalam bentuk nyanyian. Misalnya, saat

Lamar meyidik Meriam dan Saroyan beberapa ucapannya

disampaikan dalam bentuk nyanyian dengan irama blues.

Berbagai ungkapan nyanyian dalam ”Departemen Borok” semakin

mempertegas bahwa teater rakyat Jawa menjadi salah satu

sumber inspirasi Teater Gandrik.

6). Pemeranan

Pemeranan Teater Gandrik menunjukkan kedekatannya

dengan pola akting Dagelan Mataram sebagaimana ditunjukkan

pemeran Sirhan, Ageman dll. Mereka menggunakan akting

representasi. Karakteristik Sirhan dan Ageman dihadirkan dengan

cara bermain-main. Misalnya, tokoh Sirhan dengan mudahnya

melakukan sindiran-sindiran terhadap peristiwa-peristiwa aktual

yang terjadi dalam masyarakat.

b. Kritik Sosial dalam “Departemen Borok”

Kritik sosial yang diungkapkan Heru Kesawa Murti dalam

lakon “Departemen Borok” dapat dikatakan langsung terkait

dengan permasalahan korupsi. Kritik sosial terhadap masalah

korupsi dalam lakon antara lain ditujukan kepada lembaga

legislatif, birokrasi, dan penegak hukum. Secara umum korupsi

diartikan sebagai penyalahgunaan jabatan untuk keuntungan

pribadi.30

30Al. Andang L. Binawan, “Korupsi (dalam Cakrawala)

Kemanusiaan”, Dimuat dalam Al. Andang L. Binawan Ed., Korupsi Kemanusiaan Menafsirkan Korupsi (dalam) Masyarakat (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006), xiv.

Page 18: 2977_Nur Sahid

xviii

c. Perbandingan Kritik Sosial “Orde Tabung” dengan

“Departemen Borok”.

Apabila kritik sosial dalam “Orde Tabung” dengan

“Departemen Borok” diperbndingkan, maka dapat dilihat bahwa

objek sasaran kritik “Orde Tabung” mengarah ke suatu atau

institusi. Sementara itu, objek objek sasaran kritik sosial

“Departemen Borok” mengarah ke individu atau perorangan.

Selanjutnya, cara pengungkapan kritik antara kedua karya juga

berbeda. Pengungkapan kritik dalam “Orde Tabung” bersifat

implisit, sedangkan kritik sosial dalam “Departemen Borok”

cenderung eksplisit.

Sistem sosial politik yang otoriter semasa Orde Baru

menyebabkan Teater Gandrik melakkukan kritik sosial secara

implisit. Sistem sosial politik yang lebih terbuka dan demokratis

pada Era Reformasi menyebabkan Teater Gandrik mulai berani

mengritik individu seperti anggota parlemen, aparat penegak

hukum, dan pejabat negara.

D. Estetika Rasa dalam “Orde Tabung” dan “Departemen

Borok”

Richard Schechner mengatakan bahwa sebenarnya terdapat

tiga unsure pokok tentang estetika rasa, yakni: pertama, ekspresi

emosi (bhãva) pemain terdiri dari gesture, peran, jenis karakter,

arsitektur, dan musik; kedua, estetika rasa tidak bersifat analitis,

teratur, dan rasional seperti halnya dalam teater di Barat; ketiga,

sebuah pertunjukan dapat diibaratkan seperti masakan, yakni

kelezatan rasanya ditentukan dalam meramu bahan-bahan,

ramuan, bumbu, dan saus sehingga menjadi masakan yang

rasanya lezat.31 Apabila dicermati, unsur yang pertama dan kedua

31 Richard Schechner, Performance Theory (New York: Roudledge

Classics, 2003), 336-339

Page 19: 2977_Nur Sahid

xix

itu dekat dengan bidang pemeranan, sedangkan unsur ketiga

dekat dengan penggarapan (penyutradaraan) pertunjukan.

1. Estetika Rasa dalam Pemeranan “Orde Tabung”

Dilihat dari sisi estetika rasa, pemeranan Butet Kerta Rejasa

dalam memerankan SPK berhasil dengan baik. Ungkapan emosi

pemeran dalam aksi komunikasi persuasif (membujuk), marah,

ekspresi rasa suka, dan kedukaan dapat diekspresikan melalui

kata-kata, gesture khusus yang hidup dan komunikatif dengan

penonton. Humor-humor yang dilemparkan Butet selalu mendapat

respon positif dari penonton. Semua itu membuktikan pemeran

SPK mampu mengungkapkan berbagai emosi dengan peran yang

disandangnya, sehingga penonton tampak antusias menyaksikan.

Permainan Butet semakin menegaskan bahwa pola aktingnya

tidak analitis, tidak teratur, dan tidak rasional. Pola permainan

demikian akan menyalahi kaidah dramaturgi Barat, namun

menjadi wajar terjadi dalam khazanah teater Timur, termasuk

teater rakyat Jawa. Begitu pula akting Susilo Nugroho dan Heru

Kesawa Murti saat memerankan Suwuk dan Astowasis.

2. Estetika Rasa dalam Pemeranan Beberapa Tokoh

“Departemen Borok”

Dalam “Departemen Borok” Butet Kertarejasa memerankan

tokoh Sirhan. Butet tampak berhasil memerankan tokoh Sirhan

sebagai anggota parlemen yang korup dan pengusaha yang kaya

raya. Ungkapan emosi pemeran diwujudkan melalui kata-kata,

gesture, eskpresi wajah yang ekspresif. Sikap perlawanannya

dengan Busak selaku penyidik KAK akibat tidak mau dituduh

korupsi dapat diungkapkan lewat kata-kata, ekspresi wajah,

gesture, gerak tubuh, dan bahasa isyarat, sehingga mampu

menciptakan ketegangan pada penonton. Pola permainan Butet

yang kadang-kadang seperti main-main semakin menegaskan

Page 20: 2977_Nur Sahid

xx

bahwa pola aktingnya tidak analitis, tidak teratur, dan tidak

rasional seperti halnya dalam akting realisme.

3. Proses Mengolah Pertunjukan “Orde Tabung” dan

“Departemen Borok”

Sechechner mengatakan bahwa sebuah pertunjukan dapat

diibaratkan seperti masakan, yakni kelezatan rasanya ditentukan

dalam meramu bahan-bahan, ramuan, bumbu, dan saus sehingga

menjadi masakan yang rasanya lezat.32 Begitu pula dalam

kaitannya dengan pertunjukan teater, yakni bagus tidaknya

sebuah pertunjukan ditentukan oleh kepandaian dalam meramu

unsur-unsur yang menjadi pendukung pertunjukan teater itu

sendiri.

Proses meramu unsur-unsur teater agar dapat menjadi

sebuah pertunjukan yang artistik tersebut dalam dunia teater

lazim disebut dengan istilah penyutradaraan. Penyutradaraan

dalam pertunjukan teater biasanya bersifat individual atau

mandiri. Namun demikian hal semacam ini tidak berlaku bagi

Teater Gandrik, sebab pada grup ini penyutradaraannya bersifat

kolektif. Hal ini karena, setiap anggota memiliki hak untuk

memberikan masukan sekaligus harus siap ditolak apabila

masukannya tidak disetujui oleh seluruh anggota dalam proses

penggarapan. Dikatakan oleh Murti bahwa dengan menerapkan

sistem demokratisasi teater, maka penggarapan dilakukan secara

bersama-sama.33

Dengan penyutradaraan kolektif seluruh anggota Teater

Gandrik secara tidak langsung menjadi semacam ‘kritikus’ bagi

Teater Gandrik. Mereka akan selalu mengevaluasi setiap

32 Schechner, 338. 33 Istilah demokratisasi teater dikemukakan oleh Heru Kesawa

Murti saat diwawancarai Handoko Adi Nugroho. Periksa Handoko Adi Nugroho, “Teater Gandrik Terapkan Sistem Demokratisasi Teater” (Yogyakarta: Harian Bernas, 4 November 1992).

Page 21: 2977_Nur Sahid

xxi

kekurangan dan kelebihan yang terjadi selama proses produksi

pertunjukan. Proses semacam ini dapat dianalogikan dengan

proses memasak makanan sebagaimana dikatakan Schechener,

yakni kelezatan makanan tergantung kepada keahlian dalam

meramu seluruh bahan dan ramuan bahan makanan.

Dengan kata lain, sebelum masakan itu matang, maka

seluruh anggota Teater Gandrik telah mencicipi terlebih dahulu,

sehingga mengetahui kelebihan dan kekurangannya. Akibatnya

setelah masakan itu matang, maka rasanya lezat dan disukai

orang. Begitu pula dalam kaitannya dengan Teater Gandrik.

Ketika setiap anggota bebas memberi masukan terhadap kelebihan

dan kekurangan dalam penggarapan sebuah repertoar, itu berarti

setiap anggota seperti telah mencicipi pertunjukan itu sebelum

‘disajikan’ ke penonton.

III. Kondisi Sosial Historis Tahun ’80-an hingga Awal ’00-an yang Berpengaruh terhadap Penciptaan Dramaturgi Teater Gandrik

A. Realitas Sosial Politik dan Ekonomi

1. Kondisi Sosial Politik

Berbicara kondisi politik Indonesia tahun ‘80-an berarti

berbicara tentang pemerintahan Orde Baru, sebab yang berkuasa

saat itu adalah rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden

Seoharto. Melalui Sidang Umum MPRS V 1968 Soeharto diangkat

sebagai Pejabat Presiden menggantikan Soekarno. Soeharto

memerintah Republik Indonesia selama 30 tahun sampai dengan

1998. Pemerintahan Soeharto tahun ‘80-an hingga saat

kejatuhannya tidak dapat dilepaskan dari elemen-elemen

pendukung pentingnya seperti ABRI, dan Golkar lengkap dengan

berbagai elemen yang menopangnya.

Page 22: 2977_Nur Sahid

xxii

Soeharto memerintah secara represif dan otoriter. Siapa pun

yang mencoba berani mengkritik kebjakan Soeharto akan

berhadapan dengan aparat keamanan. Mochtar Mas’oed

menyebutkan bahwa negara Orde Baru telah dikuasai rezim

otoriterisme birokratis.34

2. Pasang Surut Ekonomi Indonesia

Mochtar Mas’oed mengatakan bahwa secara garis besar

tujuan pembangunan ekonomi Indonesia adalah pertumbuhan

ekonomi dan stabilitas politik.35 Pertumbuhan ekonomi Era Orde

Baru ditandai peningkatan pendapatan masyarakatat yang lebih

lebih daripada Era Orde Lama. Tahun 1997 Indonesia mengalami

krisis ekonomi. Bulan Oktober Indonesia mendapatkan bantuan

sebesar US $ 43 milyar selama 3 tahun dalam sekema IMF untuk

menambah cadangan devisa.36 Dampak politik dari krisis ekonomi

adalah dilengserkannya Soeharto oleh gerakan reformasi yang

dimonotori para mahasiswa dan tokoh-tokoh pejuang reformasi

seperti Amien Rais dkk.

B. Heru Kesawa Murti dan Kelompok Sosialnya.

Sebagai pencipta lakon Heru Kesawa Murti termasuk

kelompok masyarakat kelas menengah seperti halnya mahasiswa,

intelekual, akademisi, buyawan, seniman, pengacara, jurnalis,

ulama, aktivis LSM, ulama, kaum professional, pengusaha dsb.37

Heru Kesawa Murti menyuarakan sikap “oposisi” terhadap

34 Mochtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru1966-

1971 (Jakarta: LP3S, 1989), 203-204. 35Mochtar Mas’oed, Politik, Birokrasi dan Pembangunan

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994b), 31. 36 A. Tony Prasetiantono, Rambu-rambu yang Diabaikan (Jakarta:

Penerbit Buku Kompas, 2005), 176. 37 Sutoro Eko, Transisi Demokrasi Indonesia: Runtuhnya Rezim

Orde Baru (Yogyakarta: APMD Press, 2003), 232.

Page 23: 2977_Nur Sahid

xxiii

penguasa Orde Baru dan Orde Reformasi melalui karya seni

termasuk “Orde Tabung” dan “Departemen Borok”.

Pada kondisi sosial historis Orde Baru yang otoriter dan

represif dramawan Heru Kesawa Murti mengekspresikan aspirasi,

gagasan, dan perasannya dalam karya drama yang bersifat

simbolis. Kritik sosial itu disampaikan secara implisit. Agar

karyanya tidak dilarang penguasa Orde Baru, maka kritik sosial

yang diungkapkan dalam drama-dramanya tidak berkaitan dengan

institusi dan tokoh-tokoh tertentu.38

Heru Kesawa Murti melihat situasi sosial historis Era Orde

Baru dan Era Reformasi semacam itu sebagai sesuatu yang tidak

normal, sehingga harus diluruskan. Kodisi sosial, politik, dan

ekonomi tahun ’80-an hingga ‘00-an di atas itulah yang menjadi

penyebab lahirnya “Orde Tabung” dan “Departemen Borok”.

C. Perjalanan Pencarian Identitas Estetika Keindonesia.

1. Politik Kebudayaan Presiden Soekarno sebagai Tonggak

Awal Kesadaran Pencarian Identitas Estetika Khas

Indonesia.

Pada tgl. 4 Maret 1957 Presiden Soekarno mengatakan

perlunya melahirkan kebudayaan khas Indonesia.39 Soekarno

melarang semua ekspresi seni yang ke Barat-baratan. Soekarno

menjembloskan ke penjara Koes Bersaudara yang sering

menyanyikan lagu-lagu rock and roll dari The Beatles, The Bee

Gees dan Everly Brothers. Mereka ditahan, karena dianggap tidak

mengindahkan pelarangan musik ngak ngik ngok.

2. Rendra dan Bengkel Teater Peletak Dasar Estetika

Keindonesiaan dalam Seni Teater.

38 Wawancara dengan peneliti tgl. 10 Februari 2009 di Padepokan

Bagong Kussudiharjo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. 39 Moeljanto dalam Moeljanto dan Ismail, Eds., 32.

Page 24: 2977_Nur Sahid

xxiv

Sepulang belajar teater di American Academy of Dramatic

Arts Amerika Serikat (1964-1967) Rendra membentuk Bengkel

Teater. Pementasan Bengkel Teater dan Rendra sepulang dari

Amerika antara lain Bip Bop (1968), dan Peristiwa Sehari-hari,

Piieeep, Rambate-rate-rata (1969) dsb. Pementasan tersebut

didukung sejumlah aktor semacam, Putu Wijaya, Murti Purnomo,

Bakdi Soemanto dan lain-lain. Karya teater Rendra ini mendapat

sambutan hangat dari para pengamat teater sebab banyak

menggali dari berbagai unsur tradisi di Indonesia.

Sementara itu, dalam bidang penulisan puisi tahun ’70-an

muncul Darmanto Jatman dan Sutarji Colzoum Bachri yang

karya-karyanya sarat dengan budaya daerah asal mereka. Pada

peristiwa Pengadilan Puisi Indonesia di Bandung tgl. 8 September

1974, Slamet Sukirnanto selaku “penuntut umum” mengatakan

bahwa pertumbuhan pembaruan karya seni tahun ’70-an relatif

merata, dan kebanyakan menggali unsur-unsur tradisi budaya

daerah asal mereka.40 Mereka telah menciptakan teater tari, novel,

cerpen, teater, dan puisi yang mengakar dari khzanah budaya

bangsa sendiri.

3. Pencarian Estetika Keindonesiaan Tahun ’80-an

Teater Gandrik lahir tahun 1983 di tengah-tengah gegap

gempita kesenian Indonesia yang sedang mencari identitas

estetika keindonesiaan. Tidaklah berlebihan apabila dikatakan

bahwa melalui pementasan-pementasannya Teater Gandrik

telah berupaya menemukan estetika teater yang khas

Indonesia. Harus diakui bahwa proses penulisan lakon, dialog,

gerak, blocking dll. Teater Gandrik memakai prinsip dramaturgi

40Slamet Sukirnanto, “Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia

Akhir-akhir Ini Tidak Sehat, Tidak jelas dan Brengsek!” dalam Pamusuk Eseste, Ed., Pengadilan Puisi (Jakarta: PT Gunung Agung, 1986), 23-24.

Page 25: 2977_Nur Sahid

xxv

Teater Barat. Namun demikian spirit teater rakyat mewarnai

hampir keseluruhan pertunjukan Teater Gandrik seperti

tampak dalam penyutradaraan, pengadegan, pemanggungan,

penggunaan kosa kata Jawa, pemeranan, penggunaan

nyanyian, dan humor.

Kiblat estetika teater mutakhir yang berorientasi ke budaya

lokal atau tradisi subkultur dapat dimaknai sebagai suatu titik

balik orientasi pemikiran dan sikap budaya para seniman

Indonesia yang hingga tahun 50-an sibuk menggali estetika

Barat.

Secara sosiologis penulisan drama “Orde Tabung” dan

“Departemen Borok” dipengaruhi oleh kondisi sosial historis

Indonesia tahun ‘80-an hingga awal ‘00-an. Secara kutural,

pemilihan estetika Teater Gandrik dipengaruhi oleh semangat

pencarian estetika keindonesiaan yang memang sedang

berlangsung sejak akhir tahun ’60-an hingga tahun ’80-an.

IV. Makna Pertunjukan “Orde Tabung” dan “Departemen

Borok”

A. Sistem Tanda Teater sebagai Dasar Pemaknaan

Pada sub landasan teori telah dikemukakan bahwa analisis

makna pertunjukan “Orde Tabung” dan “Departemen Borok”

menggunakan pendekatan semiotika teater dari Tadeuz Kowzan

yang mencakup sistem tanda kata, nada, mime, gesture, gerak,

make-up, gaya rambut, kostum, properti, setting, tata cahaya, tata

musik, dan tata bunyi.41 Selanjutnya, dari setiap sistem tanda

41 Aston & Savona, 105.

Page 26: 2977_Nur Sahid

xxvi

teater tersebut dianalisis menggunakan semiotika denotatif dari

konotatif Hjemslev.42

B. Makna “Orde Tabung”

Makna pertunjukan “Orde Tabung” telah menempatkan

lakon itu kontekstual dengan kondisi sosial historis Indonesia

tahun tahun ’80-an. Dari 22 adegan dalam “Orde Tabung” dapat

diketahui bahwa 15 adegan di antaranya mengandung peristiwa

tragik-komedi (adegan ke-1, 4, 5, 7, 8, 9,10, 11, 12, 13, 14, 15,

16, 18, 20). Peristiwa tragis tersebut menjadi “tone” pertunjukan

ini. Dengan demikian, lakon “Orde Tabung” sesungguhnya

merupakan cerita tentang kemuraman kehidupan manusia yang

diungkapan secara komedi (tragik-komedi). Pertunjukan “Orde

Tabung” bukan semata-mata merupakan kisah tentang dampak

teknologi bayi tabung bagi kehidupan manusia. Akan tetapi secara

konotatif “Orde Tabung” merupakan kisah tentang tragedi kaum

minoritas (mantan tahanan politik, pejuang pro demokrasi) yang

selalu dipinggirkan dalam kehidupan sosial politik di Indonesia

yang disajikan secara komedi.

Peristiwa adegan terakhir ”Orde Tabung” saat SPK

terperosok ke dalam tabung laboratorium Zaman Baru yang

dibuatnya sendiri sesungguhnya merupakan salah satu kunci dari

makna ”Orde Tabung” secara keseluruhan. Peristiwa tersebut

secara konotatif mengacu kepada beberapa makna sebagai

berikut. Pertama, kematian SPK mengacu tentang kemenangan

mereka yang menolak teknologi kelahiran tabung, sebab dianggap

menghilangan sifat-sifat alamiah proses kelahiran manusia.

Kedua, peristiwa itu juga mengacu kepada makna tentang

kegagalan rezim Orde Baru dalam mempertahankan sistem politik

otoriter yang diyakininya selama lebih tiga puluh tahun abad,

42 Elam, 10.

Page 27: 2977_Nur Sahid

xxvii

sehingga akhirnya tumbang tahun 1998. Sekalipun lakon ”Orde

Tabung” diciptakan tahun 1988, tetapi permasalahan yang

diungkapkan dalam lakon itu tetap menarik dan relevan dengan

kondisi sosial politik Indonesia akhir tahun ’90-an saat gerakan

Reformasi berlangsung.

Terperosokya SPK ke dalam tabung besar yang dibuatnya

sendiri secara konotatif juga tampak bermakna paradoks. Pada

satu sisi rezim Orde Baru berusaha sekuat tenaga

mempertahankan sistem politik otokrasi yang dibangunnya

dengan kokoh, sehingga mereka berusaha membungkam setiap

gerakan pro demokrasi yang mencoba menggoyang stabilitas

negara. Pada sisi lain, penguasa Orde Baru justru hancur atau

tumbang oleh sistem politik yang telah dibangunnya selama lebih

tiga puluh tahun. Hal ini dapat terjadi karena para pejuang

demokrasi melakukan perlawanan besar-besaran sepanjang tahun

1997-1998 terhadap penguasa Orde Baru hingga tumbang.

Dengan demikian, lakon ”Orde Tabung” sesungguhnya berdimensi

futuristik.

C. Makna “Departemen Borok”

Sementara itu, dari 28 adegan pertunjukan “Departemen

Borok” ternyata delapan adegan (adegan 1, 3, 4, 7, 8, 10, 14, dan

18) diantaranya mengandung peristiwa tragik-komedi. Banyaknya

peristiwa tragik-komedi pada “Departemen Borok” dapat dijadikan

sebagai nada dasar pemaknaan perunjukan lakon ini. Makna

pertunjukan ini secara keseluruhan dapat disimak dari peristiwa

ending cerita yang berupa cahaya lampu spot yang mengarah ke

kranjang sampah dengan sinar cukup terang. Peristiwa ini persis

sama dengan adegan pembukaan, yakni dengan menampilkan

kranjang sampah yang disorot cahaya lampu spot yang terang.

Page 28: 2977_Nur Sahid

xxviii

Pemunculan kranjang sampah di awal dan akhir

pertunjukan secara semiotis bermakna bahwa pemberantasan

korupsi yang dilakukan Emindah dan Busak telah gagal. Kranjang

sampah yang sering muncul sebagai elemen setting dari awal

hingga akhir pertunjukan bermakna bahwa benda itu setiap saat

siap menerima sampah-sampah kertas, termasuk berkas-berkas

hasil penyidikan, yang seharusnya diteruskan ke kejaksaan.

Sepanjang pertunjukan “Departemen Borok”, kranjang

sampah muncul selama delapan kali, baik dalam fungsinya

sebagai setting maupun properti yang dibawa Minor. Frekuensi

kemunculan kranjang sampah yang sering dalam pertunjukan ini

merupakan sebuah penanda yang terkait dengan makna

pertunjukan secara keseluruhan. Maksudnya, kranjang sampah

sebagai tempat pembuangan barang-barang tidak berguna secara

konotatif mengacu kepada makna tentang ketidakberhasilan

dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Kemunculan kranjang

sampah sebanyak delapan kali semakin mempertegas kegagalan

pemberantasan korupsi.

Kenyataannya, pemberantasan korupsi di Indonesia tidak

memuaskan para pencari keadilan, sebab penegakan hukum

masalah korupsi masih tebang pilih, tidak berani menembus

korupsi di level penguasa, pejabat tinggi, dan parlemen. Sejak

Sembilan tahun yang lalu ternyata Teater Gandrik telah

mengisyaratkan tentang betapa sulitnya pemberantasan korupsi di

negeri ini.

Dengan demikian, “Orde Tabung” dan “Pertunjukan Borok

bermakna futuristik. Artinya, makna pertunjukan ini tidak hanya

kontekstual dengan kondisi sosial hisoris Indonesia tahun 2003

saat “Departemen Borok” dipentaskan pertama kali. Sampai

Page 29: 2977_Nur Sahid

xxix

sekarang “Departemen Borok” tetap menunjukkan aktualitasnya

dengan kondisi sosial historis masyarakat Indonesia.

Makna pertunjukan Teater Gandrik kontekstual untuk kondisi

Indonesia dan juga bermakna universal. Makna-makna yang

terkait dengan peminggiran kaum minoritas, marjinal, dan

pejuang demokrasi, pemberantasan korupsi bukan saja relevan

bagi bangsa Indonesia saat ini, tetapi juga masyarakat dunia

pada umumnya.

V. Kesimpulan dan Saran

A.Kesimpulan

Berdasarkan keseluruhan uraian di depan diperoleh

jawaban atas empat pertanyaan penelitian sebagai berikut.

Pertama, estetika Teater Gandrik dalam pertunjukan “Orde

Tabung” dan “Departemen Borok” merupakan paduan antar

unsur-unsur dramaturgi teater Barat dengan Timur. Unsur-unsur

teater realisme bercampur dengan unsur-unsur teater rakyat

Jawa, khususnya dari Dagelan Mataram dan ketoprak. Unsur-

unsur teater rakyat Jawa tersebut mencakup improvisasi, humor,

penggunaan kosa kata Jawa, pengadegan, pemanggungan,

pemeranan, penyutradaraan, dan nyanyian. Teater Gandrik dapat

dikatakan sebagai teater yang berestetika khas Indonesia. Dilihat

dari sisi pemeranan, akting beberapa pemeran seperti Butet Karta

Rejasa (sebagai SPK dalam “Orde Tabung” dan Sihan dalam

“Departemen Borok”), Heru Kesawa Murti (sebagai Astowasis

dalam “Orde Tabung” dan Ageman dalam “Departemen Borok”),

Susilo Nugroho (sebagai Suwuk dalam “Orde Tabung” dan Busak

dalam “Departemen Borok”) termasuk jenis akting representasi.

Dilihat dari sisi estetika rasa, pemeranan Teater Gandrik

dalam “Orde Tabung” dan “Departemen Borok” termasuk pola

Page 30: 2977_Nur Sahid

xxx

akting yang tidak analitis, tidak teratur, dan tidak rasional. Pola

akting demikian tidak sesuai dengan kaidah dramaturgi teater

Barat, tetapi justru tampak wajar dalam khazanah teater Timur.

Penyutradaraan Teater Gandrik dalam “Orde Tabung”

“Departemen Borok” bersifat kolektif. Melalui penyutradaraan

kolektif seluruh anggota Teater Gandrik secara tidak langsung

menjadi semacam ‘kritikus’ bagi Teater Gandrik.

Kedua, kritik sosial Teater Gandrik yang dipaparkan dalam

“Orde Tabung” ersifat implicit, sebab lahir pada kondisi sosial

historis yang otoriter dan represif. Kritik sosial dalam “Departemen

Borok” bersifat teruka, karena kehidupan sosial historis lebih

demokratis.

Ketiga, penulisan lakon “Orde Tabung” dipengaruhi oleh

sikap penguasa Orde Baru yang melakukan pearjinalan terhadap

kaum minoritas, pejuang demokrasi, dan kondisi pemujaan

terhadap kemajuan iptek secara berlebihan pada tahun ‘80-an.

Penciptaan lakon “Departemen Borok” tampak dipengaruhi oleh

kondisi sosial historis yang sarat korupsi selama awal-awal Era

Reformasi.

Pemilihan estetika pertunjukan yang banyak digali dari

teater rakyat Jawa merupakan bagian dari upaya pencarian

estetika keindonesian dalam karya seni. Secara kultural pemilihan

estetika Teater Gandrik yang bersumber dari teater rakyat Jawa

sejak awal tahun ’80-an sesungguhnya dipengaruhi oleh semangat

pencarian estetika keindonesiaan yang memang terus

berlangsung sejak tahun ’60-an hingga ’80-an.

Keempat, makna pertunjukan “Orde Tabung” secara

konotatif mengacu kepada kisah tentang tragedi kaum minoritas

(mantan tahanan politik, pejuang pro demokrasi) yang selalu

dipinggirkan dalam kehidupan sosial politik di Indonesia yang

Page 31: 2977_Nur Sahid

xxxi

disajikan secara komedi. Permasalahan yang dipaparkan dalam

lakon ini secara simbolik mampu melintasi ruang dan waktu.

Makna pertunjukan “Departemen Borok” dapat digali dari

kranjang sampah yang muncul selama delapan kali, baik dalam

fungsinya sebagai setting maupun properti yang dibawa Minor.

Frekuensi kemunculan kranjang sampah yang sering dalam

pertunjukan ini merupakan sebuah penanda yang terkait dengan

makna pertunjukan secara keseluruhan. Maksudnya, kranjang

sampah sebagai tempat pembuangan barang-barang tidak

berguna secara konotatif mengacu kepada makna tentang

ketidakberhasilan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

Kemunculan kranjang sampah sebanyak delapan kali selama

pertunjukan semakin mempertegas kegagalan pemberantasan

korupsi.

Kelima, penelitian ini memiliki implikasi strategis bagi upaya

menciptakan teori dramaturgi khas Indonesia. Hasil penelitian

ini dapat dijadikan sebagai model untuk melakukan studi yang

sama terhadap dramaturgi teater mutakhir yang secara intensif

menggali unsur-unsur tradisi budaya etnik di Nusantara

seperti yang dikembangkan Wisran Hadi di Padang, Putu

Wijaya bersama Teater Mandiri dsb. Jadi, penelitian dramaturgi

Teater Gandrik memiliki implikasi positif untuk mendorong

penelitian-penelitian sejenis dengan objek teater mutakhir di

berbagai daerah. Melalui penelitian ini diharapkan dapat

diketemukan teori-teori dramaturgi khas Indonesia.

B. Saran-saran

Hasil kerja penelitian ini dapat digunakan sebagai model

untuk mengungkapkan estetika, faktor-faktor sosiologis pemilihan

suatu estetika, dan makna pertunjukan sebuah grup teater di

Page 32: 2977_Nur Sahid

xxxii

tanah air. Bahkan penelitian ini tidak hanya dapat dipergunakan

sebagai model penelitian dramaturgi sebuah grup teater modern,

tetapi juga untuk penelitian teater tradisional seperti wayang

kulit, wayang orang, ketoprak, ludruk, dan teater tradisional yang

lain.

KEPUSTAKAAN Aston, Elain & Geroge Savona. Theatre AS Sign System: A Semiotics of

Text and Performance. London: Rout-ledge, 1991. Eko, Sutoro. Transisi Demokrasi Indonesia: Runtuhnya Rezim Orde

Baru. Yogyakarta: APMD Press, 2003.

Elam, Keir. The Semiotics Theatre and Drama. London: Methuen Drama, 1991.

Frerer, Loyd Anton. Directing For the Stage. Chicago: NTC Publishing

Group, 1996. Gie, The Liang. Garis Besar Estetik Filsafat Keindahan. Yogyakarta:

Karya, 1976. _____. Filsafat Seni. Yogyakarta: Penerbit Pusat Belajar Ilmu Beruna,

2004. Junus, Umar. Sosiologi Sastera Persoalan Teori dan Metode. Kuala

Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajar Malaysia, 1986.

Kernodle, George. “Menonton Teater”. Diterjemahkan Yudiariani

Yogyakarta: Naskah Tidak Diterbitkan. Dibiayai UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta , 2008.

Kernodle, George & Portia Kernodle, Invitation to the Theatre. Edisi

Kedua. Atlanta: Harcourt Brace Javanvich, Inc, 1978. Mas’oed, Mochtar. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru1966-1971.

Jakarta: LP3S, 1989.

Page 33: 2977_Nur Sahid

xxxiii

_____. Negara, Kapital dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

1994a. _____. “Isyu”. Yogyakarta: Naskah Tidak Diterbitkan, 1987. _____. “Orde Tabung”. Yogyakarta: Naskah Tidak Diterbitkan, 1988. _____. ”Orde Tabung”. Yogyakarta: Naskah tidak diterbitkan, 1993. ______, Palaran Lima Lakon Avant Gandrik. Yogyakarta: Gondho Suli,

2001. _____. “Departemen Borok”. Yogyakarta: Naskah tidak diterbitkan,

2003. _____. “Departemen Borok”. Yogyakarta: Naskah tidak diterbitkan,

2003. Murno, Thomas. “The Morphology of Art as a Branch of Aesthetics”

in Monroe C. Beardsley & Hebert M. Schueller (Eds.) Aesthetics Inquiry: Essay on Art Criticism and the Philosophy of Art. Belmont, California: Dickenson Publlishing Company Inc., 1967.

Nugroho, Handoko Adi. “Teater Gandrik Terapkan Demokratisasi Teater”. Yogyakarta: Harian Bernas, 4 November 1992. Prasetiantono, A Tony. Rambu-rambu Yang Diabaikan. Jakarta:

Penerbit Buku Kompas, 2005. Reiss, H.S. “Franz Kafka’s Conception of Humour”. In The Modern

Language Review. London: Modern Humanities Research Association, Vol. 44, No. 4, Oktober 1949.

Rendra. Mempertimbangkan Tradisi. Jakarta: Gramedia, 1983. Schechner, Richard. Performance Theory. New York: Routledge

Classics, 2003. Soemanto, Bakdi. Jagat Teater. Yogyakarta: Media Pressindo, 2001.

Page 34: 2977_Nur Sahid

xxxiv

Sumardjo, Jakob. Estetika Paradoks. Bandung: Sunan Ambu Press STSI Bandung, 2006.

Sukirnanto, Slamet. “Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia

Akhir-akhir Ini Tidak Sehat, Tidak jelas dan Brengsek!”. Dimuat dalam Pamusuk Eseste, Ed., Pengadilan Puisi. Jakarta: PT Gunung Agung, 1986.

Susanto, Astrid S. “Makna dan Fungsi Kritik Sosial dalam

Masyarakat dan Negara”. Jakarta: Prisma No. 10, Oktober 1977.

Watson, Ian. Towards a Third Theatre. London: Routledge, 1995. Wolff, Janet. The Social Production of Art. New York: Martin’s Press,

1981.