26 pengaruh pemberian bahan amelioran terhadap...

12
321 PENGARUH PEMBERIAN BAHAN AMELIORAN TERHADAP FLUKS CO2 PADA PERTANAMAN KELAPA SAWIT TANAH GAMBUT DI PERKEBUNAN RAKYAT KABUPATEN MUARA JAMBI PROPINSI JAMBI 1 H.L. Susilawati, 2 J. Hendri, 1 Dedi Nursyamsi dan 3 Prihasto Setyanto 1 Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jl. Jakenan-Jaken Km 5 Pati, Jawa Tengah 2 Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi, Jl. Samarinda Paal Lima Kotabaru Jambi 3 Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Penelitian Hidrologi dan Agroklimat, Jl. Tentara Pelajar No. 1 Bogor 16111, Jawa Barat Abstrak. Lahan gambut di Indonesia pada umumnya telah diusahakan sebagai lahan pertanian oleh penduduk lokal untuk usaha pertanian tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan. Upaya pemanfataan lahan gambut sebagai lahan pertanian masih menimbulkan pro dan kontra karena sifatnya yang rapuh dan sebagai sumber gas rumah kaca (GRK). Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi emisi dan teknologi mitigasi GRK dari lahan gambut yang telah ditanami kelapa sawit di Kabupaten Muara Jambi, Provinsi Jambi. Kegiatan dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan Oktober 2011 di Desa Arang-arang Kecamatan Kumpeh Hulu, Kabupaten Muara Jambi Provinsi Jambi. Lokasi penelitian ditanami kelapa sawit dengan umur 3 tahun dengan jarak tanam 9 x 7 m. Perlakuan amelioran yang diterapkan pugam A, pugam T, kompos tankos, pupuk kandang, tanah mineral dan kontrol. Pengambilan sampel CO 2 dilakukan dengan metode close chamber close technique . Sampel GRK diambil pada pagi hari (jam 06.00-08.00) dan siang hari (jam 12.00-14.00). Sungkup yang digunakan berukuran 50x50x30cm. Sungkup diletakan didekat piringan tanaman kelapa sawit. Hasil penelitian diperoleh bahwa emisi CO 2 yang dihasilkan dari tanah gambut yang ditanami kelapa sawit di Desa Arang-arang Kecamatan Kumpeh Hulu sebesar 3,27 ton CO 2 ha -1 tahun -1 , dengan penambahan bahan amelioran berupa pugam T, kompos tankos, pupuk kandang dan tanah mineral yang mampu menurunkan emisi CO 2 sebesar 5,7-26,6% sehingga emisi CO 2 yang dihasilkan menjadi 2,40-3,09 ton CO 2 ha -1 tahun -1 . Pemberian pugam A meningkatkan emisi GRK sebesar 1,2% menjadi 3,31 ton CO 2 ha -1 tahun -1 . Pada umumnya fluks CO 2 yang dihasilkan pada pengambilan siang hari lebih rendah antara 10- 37,7% dibandingkan dengan fluks CO 2 yang dihasilkan pada pagi hari. Katakunci : Amelioran, gambut, kelapa sawit, GRK Abstract. In Indonesia, peatlands generally has been cultivated by local residents as the area of crops plantations, horticulture plantations. Extensification of peatland as agricultural land is still cast and doubt. Peat soil is fragile and as a source of greenhouse gas (GHG) emissions. The objectives of this study were to obtain the emission data and information of technology to mitigate GHG emissions from peatlands that have been planted with oil palm plantation in Muara Jambi, Jambi Province. Activities was conducted during in January to October 2011 at Arang-Arang, Kumpeh Hulu, District 26

Upload: phamphuc

Post on 08-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

321

PENGARUH PEMBERIAN BAHAN AMELIORAN TERHADAP FLUKS CO2 PADA PERTANAMAN KELAPA SAWIT TANAH GAMBUT DI PERKEBUNAN RAKYAT KABUPATEN MUARA JAMBI PROPINSI JAMBI

1H.L. Susilawati, 2J. Hendri, 1Dedi Nursyamsi dan 3Prihasto Setyanto 1 Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jl. Jakenan-Jaken Km

5 Pati, Jawa Tengah 2 Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi, Jl. Samarinda

Paal Lima Kotabaru Jambi 3 Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Penelitian Hidrologi dan Agroklimat, Jl. Tentara Pelajar

No. 1 Bogor 16111, Jawa Barat

Abstrak. Lahan gambut di Indonesia pada umumnya telah diusahakan sebagai lahan

pertanian oleh penduduk lokal untuk usaha pertanian tanaman pangan, hortikultura dan

perkebunan. Upaya pemanfataan lahan gambut sebagai lahan pertanian masih

menimbulkan pro dan kontra karena sifatnya yang rapuh dan sebagai sumber gas rumah

kaca (GRK). Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi emisi dan

teknologi mitigasi GRK dari lahan gambut yang telah ditanami kelapa sawit di Kabupaten

Muara Jambi, Provinsi Jambi. Kegiatan dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan

Oktober 2011 d i Desa Arang-arang Kecamatan Kumpeh Hulu, Kabupaten Muara Jambi

Provinsi Jambi. Lokasi penelit ian ditanami kelapa sawit dengan umur 3 tahun dengan

jarak tanam 9 x 7 m. Perlakuan amelioran yang diterapkan pugam A, pugam T, kompos

tankos, pupuk kandang, tanah mineral dan kontrol. Pengambilan sampel CO2 dilakukan

dengan metode close chamber close technique. Sampel GRK d iambil pada pagi hari (jam

06.00-08.00) dan siang hari (jam 12.00-14.00). Sungkup yang digunakan berukuran

50x50x30cm. Sungkup diletakan d idekat piringan tanaman kelapa sawit. Hasil penelitian

diperoleh bahwa emisi CO2 yang dihasilkan dari tanah gambut yang ditanami kelapa sawit

di Desa Arang-arang Kecamatan Kumpeh Hulu sebesar 3,27 ton CO2 ha-1

tahun-1

, dengan

penambahan bahan amelioran berupa pugam T, kompos tankos, pupuk kandang dan tanah

mineral yang mampu menurunkan emisi CO2 sebesar 5,7-26,6% sehingga emisi CO2 yang

dihasilkan menjad i 2,40-3,09 ton CO2 ha-1

tahun-1

. Pemberian pugam A meningkatkan

emisi GRK sebesar 1,2% menjadi 3,31 ton CO2 ha-1

tahun-1

. Pada umumnya fluks CO2

yang dihasilkan pada pengambilan siang hari lebih rendah antara 10- 37,7% dibandingkan

dengan fluks CO2 yang dihasilkan pada pagi hari.

Katakunci: Amelioran, gambut, kelapa sawit, GRK

Abstract. In Indonesia, peatlands generally has been cultivated by local residents as the

area of crops plantations, horticulture plantations. Extensification of peatland as

agricultural land is still cast and doubt. Peat soil is fragile and as a source of greenhouse

gas (GHG) emissions. The objectives of this study were to obtain the emission data and

information of technology to mitigate GHG emissions from peatlands that have been

planted with oil palm plantation in Muara Jambi, Jambi Province. Activities was

conducted during in January to October 2011 at Arang-Arang, Kumpeh Hulu, District

26

H.L. Susilawati et al.

322

Muara Jambi Jambi Province. The sites had been planted with 3 years old of oil palm

plantation with a spacing of 9 x 7 m. The treatments were pugam A, pugam T, compost

tankos, animal manure, soil minerals and control. CO2 sampling was done using of close

chamber technique. GHG samples were taken in the morning (6:00 a.m. to 8:00 hours)

and afternoon (12:00 to 14:00 hours). Chambers size was 50 cm x 50 cm x 30 cm. The

chamber was placed near palm oil crops. The result of this study are CO2 emissions of

palm oil plantation at Arang-Arang, Kumpeh Hulu, Muara Jambi, Jambi ia about 3.27

tons CO2 ha-1

year-1

. The addition of a pugam T, tankos, compost, animal manure and

mineral soil could reduce CO2 emissions by 5.7 to 26.6% and CO2 emissions become 2.40

to 3.09 tons CO2 ha-1

year-1

. A pugam increase GHG emissions by 1.2% to 3.31 tons CO2

ha-1

year-1

. Generally, flux of CO2 at the afternoon was lower between 10 - 37.7% than

flux of CO2 which was emitted in the morning.

Keywords: Ameliorant, peat, oil palm, GHG

PENDAHULUAN

Keterbatasan lahan produktif akibat alih fungsi lahan produktif ke non produktif

memerlukan adanya upaya perluasan lahan pertanian yang mengarah pada lahan -lahan

marginal dalam upaya mendukung pemenuhan ketersediaan pangan. Lahan gambut adalah

salah satu jenis lahan marjinal yang mempunyai potensi besar dalam upaya ekstensifikasi

pertanian karena konflik tata guna lahan relatif kecil dan luasannya yang relatif besar di

Indonesia.

Luasan lahan gambut di dunia kurang lebih sekitar 3% dari luas permukaan bumi

dan dalam keadaan alami mampu menyimpan 26% C-organik (Smith et al. 2004). Lahan

gambut di Indonesia seluas 20,10 juta ha atau sekitar 6,45% dari luas lahan gambut di

dunia dan mayoritas terdapat di luar pulau Jawa (Neue et al. 1997). Di Jambi lahan

gambut dapat dibagi menjadi 5 wilayah, yaitu untuk tanaman padi sawah seluas 104.502

ha, nenas seluas 1.750 ha, karet seluas 36.884 ha, kelapa sawit seluas 138.750 ha serta

tanaman kelapa/kelapa sawit seluas 77.937 ha (Hidayat dan Ritung 2006). Pemberian

bahan amelioran seperti pupuk organik, tanah mineral, zeolit, dolomit, fosfat alam, pupuk

kandang, kapur pertanian, abu sekam, purun tikus (Eleocharis dulcis) dapat meningkatkan

pH tanah dan basa-basa tanah, meningkatkan C sequestration dan mitigasi emisi gas

rumah kaca serta peningkatan produktivitas tanah gambut yang berkelanjutan (Subiksa et

al. 1997; Mario, 2002; Salampak, 1999).

Pada kondisi hutan alami, lahan gambut berfungsi sebagai penyerap karbon

sehingga berkontribusi dalam mengurangi gas rumah kaca d i atmosfer. Lahan gambut di

Indonesia pada umumnya telah diusahakan sebagai lahan pertanian oleh penduduk lokal,

bahkan akhir-akh ir in i pembukaan lahan gambut meningkat akibat kebutuhan untuk

ekstensifikasi usaha pertanian tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan. Budidaya

Pengaruh pemberian amelioran terhadap fluks CO2

323

tanaman pertanian akan mengurangi stabilitas dan mempercepat proses dekomposisi

sehinggga akan memicu peningkatan gas rumah kaca (GRK).

Upaya pemanfaatan lahan gambut sebagai lahan pertanian masih menimbulkan pro

dan kontra antar berbagai pihak. Menurut Hooijer et al. (2006) untuk setiap 10 cm

kedalaman drainase akan menghasilkan emisi CO2 sebesar 9,1 t ha-1

tahun-1

. Perkebunan

kelapa sawit mempunyai kedalaman rata-rata 80 cm sehingga akan menghasilkan emisi

CO2 sekitar 73 t ha-1

th-1

atau 1820 t ha-1

per 25 tahun (Agus et al. 2007). Konversi hutan

menjadi areal perkebunan sawit ini dituding sebagai yang bertanggungjawab akan emisi

karbon, perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati.

Tudingan bahwa Indonesia merupakan emitor karbon ke-3 di dunia perlu adanya

komitmen yang kuat dalam menangani isu tersebut. Komitmen Indonesia untuk

berpartisipasi aktif dalam penurunan emisi gas rumah kaca sebes ar 26% disampaikan oleh

presiden Indonesia dalam pertemuan G-20 di Copenhagen. Oleh karena itu perlu adanya

upaya dalam menghambat laju pemanasan global salah satunya dengan melakukan

inventarisasi emisi CO2 dan mengkaji teknologi yang mampu menghasilkan e misi yang

lebih rendah secara akurat dan ilmiah.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Lokasi

Penelit ian dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan Oktober 2011 dengan

lokasi d i Desa Arang-arang Kecamatan Kumpeh Hulu, Kabupaten Muara Jambi Provinsi

Jambi. Lokasi percobaan merupakan perkebunan rakyat yang melibatkan 6 petani

kooperator dengan luas lahan percobaan 5 ha. Pada luasan tersebut, ketebalan gambut

antara 150-300 cm dengan tingkat kematangan saprik. Variasi kedalaman air antara 50 -60

cm. pH tanah antara 4-4,5. Lokasi penelitian ditanamani kelapa sawit dengan umur 3

tahun dengan jarak tanam 9 x 7 m sebagai tanaman utama dan tanaman jagung sebagai

tanaman sela.

Perlakuan

Masing-masing perlakuan menempati areal seluas 0,5 ha dengan ukuran 50x100 m.

Amelioran diberikan dengan cara disebar dipermukaan gambut merata pada tanaman

pokok kelapa sawit dan tanaman sela (jagung) dengan takaran sesuai perlakuan. Untuk

semua petak, diberikan pupuk dasar urea 135 kg N ha-1

, SP-36 80 kg P2O5 ha-1

dan KCl 90

kg K2O ha-1

, kecuali perlakuan pugam A dan pugam T t idak diberikan SP-36. Perlakuan

amelioran diulang 3 kali dengan penerapan adalah sebagai berikut:

H.L. Susilawati et al.

324

1 = penggunaan pugam A

2 = penggunaan pugam T

3 = penggunaan kompos tandan kosong kelapa sawit (tankos)

4 = penggunaan pupuk kandang

5 = pengunaan tanah mineral

6 = Kontrol

Pengambilan sampel CO2

Pengambilan sampel CO2 dilakukan dengan metode close chamber close technique

yang diadopsi dari IA EA(1993). Sampel GRK d iambil setiap minggu pada pagi hari (jam

06.00-08.00) dan siang hari (jam 12.00-14.00), masing-masing 8 kali dengan interval 3

menit. Sungkup yang digunakan berukuran 50x50x30 cm pada tanaman sawit.

Pengambilan gas dilakukan lokasi perlakuan amelioran yang ditentukan berdasarkan pada

jarak dengan sistem drainase terdekat. Pengambilan contoh gas pada setiap ulangan

terletak d ibawah piringan tanaman kelapa sawit.

Analisis CO2

Contoh gas dalam jarum suntik 10 ml yang sudah terkumpul kemudian dianalisis

konsentrasinya dengan micro GC yang dapat secara langsung dioperasikan di lapang

karena GC yang digunakan merupakan GC yang portabel. Micro GC CP-4900

menggunakan detektor TCD (thermal conductivity detector).

Perhitungan fluks CO2

Perhitungan fluks CO2 pada setiap perlakuan menggunakan persamaan yang

digunakan oleh Lantin et al. (1995).

2.273

2.273

Tx

A

Vx

t

Cspx

Vm

BmE

Di mana:

E = emisi CO2 (mg/m2/hari)

V = volume sungkup (m3)

A = luas dasar sungkup (m2)

T = suhu udara rata-rata di dalam sungkup (oC)

Csp/t = laju perubahan konsentrasi gas CO2 (ppm/menit)

Bm = berat molekul gas CO2 dalam kondisi standar

Vm = volume gas pada kondisi stp (standard temperature and pressure)

yaitu 22.41 liter pada 23oK

Pengaruh pemberian amelioran terhadap fluks CO2

325

Analisis statistik

Analisis regresi sederhana dilakukan terhadap peubah bebas (kedalaman air, waktu

pengambilan, lokasi pengambilan) dengan peubah tak bebas (fluks CO2) untuk

mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap emisi GRK dari tanah gambut.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Fluks Harian dan Total Emisi CO2

Fluks CO2 sangat bervariasi pada semua perlakuan dan berkisar antara 46,5-690.1

mg/m2/jam (Gambar 1). Pada awal pengambilan sampel, fluks CO2 masih terlihat tinggi

kemudian menurun pada pengamatan ketiga. Banyak faktor yang mempengaruhi fluks

CO2 di lahan gambut seperti pH tanah, ketersediaan nutrisi, air, suhu tanah dan faktor

lingkungan lainnya. Berglund (2011) menyatakan bahwa kedalaman muka air sangat

mempengaruhi emisi gas rumah kaca di lahan gambut tetapi variasi karekteristik tanah

juga mempengaruhi emisi yang dihasilkan. Pada lokasi pengambilan contoh gas

mempunyai kedalaman air antara 50-60 cm. Sedangkan berdasarkan Martikainen et al.

(1995) dan Kechavarzi et al. (2007) fluks CO2 meningkat tergantung pada ketersediaan

oksigen dalam tanah sebagai hasil dari dekomposisi tanah gambut. Oleh karena itu

pengelolaan lahan sangat berpengaruh terhadap emisi GRK dari lahan gambut.

Total emisi CO2 pertahun yang dihasilkan dari tanah gambut disekitar piringan

tanaman kelapa sawit dengan perlakuan pemberian terdapat pada Gambar 2. Emisi CO2

terendah yang dihasilkan dari piringan tanaman berasal dari perlakuan pemberian pupuk

kandang sebesar 2,40 t ha-1 th-1 d isusul dengan pemberian tanah mineral, tankos, pugam

A, control dan pugam T dengan berturut-turut sebesar 2,83; 3,06; 3,09; 3,27 dan 3,31

t/ha/tahun. Emisi CO2 yang dihasilkan dari pemberian pupuk kandang, tanah mineral,

tankos dan pugam A lebih kecil dibandingkan kontrol d iduga karena tankos dan pupuk

kandang yang berasal dari kotoran ayam mempunyai kandungan lignin dan selulosa tinggi

sehingga proses perombakannya perlu waktu yang lama karena lignin dan selullosa

merupakan atom karbon yang berantai panjang. Sedangkan pemberian tanah mineral yaitu

tanah laterit umumnya mengandung kwarsa, besi, timah, alumunium dan manga n.

Kandungan tanah laterit yang kaya akan oksida ini yang menyebabkan tanah laterit

mampu menekan emisi CO2 dari lahan gambut.

H.L. Susilawati et al.

326

Gambar 1. Fluks harian CO2 dari piringan tanaman kelapa sawit dengan 6 perlakuan

amelioransi di tanah gambut

Berdasarkan Subiksa (2010), pugam banyak mengandung hara P, Ca dan Mg serta

kation polivalen dan unsur mikro yang sangat diperlukan untuk menetralisir asam organik

beracun. Hasil pengujian menunjukkan bahwa pugam A mampu menekan emisi CO2

paling tinggi yaitu rata-rata 57%, diikuti pugam T, pugam R dan pugam Q masing-masing

sebesar 50%, 45% dan 43%. Akan tetapi di dalam penelit ian ini pugam T menghasilkan

emisi CO2 lebih t inggi dibandingkan dengan kontrol.

Gambar 2. Total emisi CO2 per tahun dari p iringan tanaman kelapa sawit dengan 6

perlakuan ameliorasi

0

1

2

3

4

5

6

Pugam A Pugam T Pukan Tankos Tanah Mineral

Kontrol

To

tal e

mis

i C

O2

(t/h

a/t

ah

un

)

Perlakuan

0

100

200

300

400

500

600

700

800

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Fl uks CO

2 ( mg/m

2 / jam)

Pengamatan GRK

Pugam A Pugam T Pukan

Tankos Tanah Mineral Kontrol

Pengaruh pemberian amelioran terhadap fluks CO2

327

Fluks CO2 pada Pagi dan Siang Hari

Pengamatan fluks CO2 yang dilakukan pada pagi dan siang hari disemua perlakuan

terlihat pada Gambar 3. Pada umumnya, fluks CO2 pada pengamatan pagi leb ih tinggi

daripada fluks CO2 yang dihasilkan pada siang hari. Fluks rata-rata pada pagi hari antara

175-295 mg m-2

jam-1

, sedangkan fluks CO2 rata-rata pada siang hari antara 165-345 mg

m-2

jam-1

. Akan tetapi pada 2 perlakuan pemberian pugam T dan pukan fluks CO2 yang

dihasilkan pada pagi hari lebih tinggi dibandingkan yang dihasilkan pada siang hari. Fluks

CO2 di piringan pada s iang hari lebih rendah dibandingkan pagi hari d iduga karena pada

pengambilan sampel di p iringan dilakukan pada lokasi yang berdekatan dengan tanaman.

Pada siang hari tanaman menyerap CO2 untuk digunakan fotosintesis. Tanaman

mempunyai fungsi ekologis di lahan gambut karena tanaman tersebut mampu mengurangi

penguapan air yang berlebih dan sebagai penyerap CO2 dari hasil dekomposisi maupun

respirasi akar. Pengaturan sistem perakaran tanaman dapat digunakan untuk mengurangi

emisi karbon karena sistem perakaran tanaman dapat digunakan untuk mendistribusikan

kembali karbon pada profil tanah permukaan dimana karbon untuk pembentukan CO2

dapat dikurangi (Houghton et al. 1983; Post et al. 1990).

Gambar 3. Fluks CO2 pada pagi dan siang hari dari p iringan tanaman kelapa sawit

dengan 6 perlakuan amelio rasi

Gambar 4 memperlihatkan adanya hubungan antara suhu tanah dengan fluks CO2.

Pada pagi hari, suhu berkisar antara 23,3-26,20C sedangkan pada siang hari suhu berkisar

antara 31,5-40,90C. Fluks CO2 di piringan pada pagi hari disemua perla kuan berkisar

antara 141-415 mg m-2

jam-1

dan pada siang hari berkisar antara 106-342 mg m-2

jam-1

.

Fluks CO2 terendah dihasilkan pada suhu antara 31-320C. McInerney dan Bolger (2000);

Mieln ick dan Dugas (2000); Hui dan Luo (2004) menyatakan bahwa terdapat hubungan

antara suhu tanah dengan fluks CO2 akan tetapi fluks CO2 tertinggi tidak selalu dihasilkan

pada suhu maksimum.

y = 1.243x2 - 78.85x + 1444.r = 0,4*, n = 34

0

100

200

300

400

500

0 10 20 30 40 50

Fluk

s C

O2

(mg/

m2 /ja

m)

Suhu (0C)

H.L. Susilawati et al.

328

Gambar 4. Hubungan antara suhu tanah dengan fluks CO2 dari piringan tanaman kelapa

sawit dengan 6 perlakuan ameliorasi

Fluks Harian CO2 berdasarkan Jarak dari Saluran Air

Lokasi pengambilan contoh gas berdasarkan pada jarak dari saluran air

menghasilkan fluks CO2 yang berbeda. Pada Gambar 5 terlihat bahwa adanya hubungan

antara jarak pengambilan contoh gas dengan fluks CO2. Semakin jauh jarak lokasi

pengambilan contoh gas dari saluran air menyebabkan fluks CO2 yang dihasilkan semakin

kecil. Hal ini dapat disebabkan beberapa hal yaitu tingkat kedalaman air yang

mempengaruhi kelembaban tanah dan aerasi. Terdapat kemungkinan bahwa semakin jauh

lokasi pengambilan contoh gas dari saluran air akan membuat kedalaman air semakin

dangkal. Akan tetapi seharusnya tingkat kedalaman air diukur dan tidak berdasarkan

asumsi. Renger et al. (2002) menyatakan bahwa emisi CO2 akan dua kali lipat lebih besar

pada kedalaman air 80 cm dibandingkan pada kedalaman 30 cm. Hal in i disebabkan

karena adanya tingkat mineralisasi tertinggi pada kedalaman air antara 80-90cm, pada

kedalaman 17-60 cm terjad i mineralisasi sebesar 80% dari tingkat mineralisasi

maksimum. Akan tetapi Nieveen et al. (2005), Aerts dan Ludwig (1997), Maljanen et al.

(2001) mengemukakan bahwa kedalaman air t idak mempengaruh i emisi CO2.

Gambar 5. Hubungan antara jarak lokasi pengambilan contoh gas dengan fluks CO2 dari

piringan tanaman kelapa sawit dengan 6 perlakuan ameliorasi

y = -3.128x + 453.9r = 0,2**, n = 172

-400

0

400

800

1200

1600

0 20 40 60 80 100

Flu

ks C

O2

(mg

/m2 /

jam

)

Jarak dari saluran air (cm)

Pugam A Pugam T Pukan Tankos Tanah mineral

0

50

100

150

200

250

300

350

400

Pugam A Pugam T Pukan Tankos Tanah Mineral

Kontrol

Fluk

s C

O2 (m

g/m

2 /ja

m)

Perlakuan

Pagi siang

Pengaruh pemberian amelioran terhadap fluks CO2

329

Fluks CO2 dari berbagai perlakuan amelioran pada jarak pengambilan dari saluran

air 50, 70 dan 90 m disajikan pada Gambar 6. Fluks CO2 rata-rata terendah terdapat pada

pengambilan contoh gas dengan jarak 90 cm dari saluran dengan perlakuan pupuk

kandang dan tertinggi terdapat pada jarak pengambilan 50 cm dengan perlakuan pugam T.

Dengan ini dapat dinyatakan bahwa titik pengamatan 50 m mengemisi paling tinggi

diantara 2 tit ik yang lainnya. Hal tersebut diduga karena semakin pendeknya jarak dari

saluran air menyebabkan kondisi tanah gambut yang berada didekat saluran air

mempunyai kedalaman air yang lebih dalam dibandingkan titik pengamatan lainnya.

Semakin dalamnya air semakin tercipta kondisi aerob yang memungkinkan terbentuknya

CO2. Akan tetapi pengambilan contoh gas pada kontrol tidak dapat dibandingkan karena

pengambilan contoh gas dilakukan pada jarak jarak yang sama.

Gambar 6. Fluks CO2 pada jarak pengambilan contoh gas yang berbeda dari piringan

tanaman kelapa sawit dengan 6 perlakuan ameliorasi

KESIMPULANDAN SARAN

Kesimpulan dari penelit ian ini adalah :

1. Terdapat hubungan antara fluks CO2 dengan jarak pengambilan contoh gas dari

saluran air dan hubungan antara fluks CO2 dengan suhu tanah.

2. Fluks CO2 rata-rata pada pagi hari antara 175-295 mg m-2

jam-1

, sedangkan fluks CO2

rata-rata pada siang hari antara 165-345 mg m-2

jam-1

.

3. Emisi CO2 dari p iringan tanaman kelapa sawit dengan perlakuan pemberian pupuk

kandang sebesar 2,40 t ha-1

th-1

diikut i dengan pemberian tanah mineral, tankos,

pugam A, kontrol dan pugam T dengan berturut-turut sebesar 2,83; 3,06; 3,09; 3,27

dan 3,31 t ha-1

tahun-1

.

0

200

400

600

800

1000

Pugam A Pugam T Pukan Tankos Tanah Mineral

Kontrol

Flu

ks C

O2(m

g/m

2/jam

)

Perlakuan

50 m 70 m 90 m

H.L. Susilawati et al.

330

4. Persentase penurunan tertinggi terdapat pada pemberian pemberian pupuk kandang

sebesar 26,6% d iikuti pemberian tanamh mineral, tankos dan pugam A dengan

persentase berturut-turut sebesar 13,5%, 6,5% dan 5,7%.

Saran

Perlu adanya pengukuran parameter yang mempengaruhi emisi GRK yang lokasi

pengamatannya berdekatan dengan pengambilan sampel GRK dan pengamatannya pada

waktu yang bersamaan dengan pengukuran sampel GRK.

DAFTAR PUSTAKA

Aerts, R., Ludwig, F., 1997. Water-table changes and nutritional status affect trace gas

emissions from laboratory columns of peatland soils. Soil Bio logy & Biochemistry

29, 1691-1698.

Agus F, Suyanto, Wahyunto, and van Noordwijk M. 2007. Reducing emission from

peatland deforestation and degradation: Carbon emission and opportunity costs.

Paper presented in “International Symposium and Workshop on Tropical Peatland

“Carbon – Climate - Human Interaction - Carbon pools, fire, mit igation,

restoration, and Wise Use”, Yogyakarta, Indonesia, 27-29 August 2007.

Berg lund, O., K. Berglund. 2011. Influence of water table level and soil properties on

emissions of greenhouse gases from cultivated peat soil. Soil Biology &

Biochemistry 43. 923-931

Hidayat A dan Ritung S., 2007. Potensi dan ketersediaan lahan gambut untuk

pengembangan komoditas pertanian unggulan di riau, Sumatera barat dan Jambi.

Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia

Hooijer, A., M. Silvius, H. Worsten, and S. Page. 2006. Peat CO2, Assessment of CO2

Emission from drained peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics report Q3943

Houghton R.A., Hobbie J.E., Melillo J.M., More B., Peterson B.J., Shaver G.R., and

Woodwell G.R. 1983. Changes in the carbon content of terrestrial biota and soils

between 1860-1980: A net release of CO2 to the atmosphere. Ecol Monogr 53:

235-262

Hui, D., Luo, Y., 2004. Evaluation of soil CO2 production and transport in Duke Forest

using a process-based modeling approach. Global Biogeochemistry Cycles 18.

IAEA (International Atomic Energy Agency). 1993. Manual on Measurement of Methane

and Nitrous Oxide Emission from Agricultural Vienna: IAEA.

Kechavarzi, C., Dawson, Q., Leeds-Harrison, P.B., SzatyŁowicz, J., Gnatowski, T., 2007.

Water-table management in lowland UK peat soils and its potential impact on CO2

emission. Soil Use Manage. 23, 359–367.

Lantin, R.S. Aduna, J.B. and A.M.J, Javellana. 1995. Methane measurements in rice

fields. Instruction manual and methodologies, maintenance and troubleshooting

guide. A joint undertaking by: International Rice Research Institute (IRRI), United

Pengaruh pemberian amelioran terhadap fluks CO2

331

State Environmental Protection Agency (US-EPA) and United Nation

Development Program (UNDP).

Maljanen, M., Mart ikainen, P.J., Walden, J., Silvola, J., 2001. CO2 exchange in an organic

field growing barley or grass in eastern Finland. Global Change Biology 7 (6),

679-692

Mario, M.D. 2002. Peningkatan Produktivitas dan Stabilitas Tanah Gambut dengan

Pemberian Tanah Mineral yang Diperkaya oleh Bahan Berkadar Besi Tinggi.

Disertasi Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Martikainen, P.J., Nyka¨nen, H., A lm, J., Silvola, J., 1995. Change in fluxes of carbon

dioxide, methane and nitrous oxide due to forest drainage of mire sites of different

trophy. Plant Soil 168/169, 571–577.

McInerney, M., Bolger, T., 2000. Temperature, wetting cycles and soil texture effects on

carbon and nitrogen dynamics in stabilized earthworm casts. Soil Bio logy and

Biochemistry 32, 335–349.

Mieln ick, P.C., Dugas,W.A., 2000. Soil CO2 flux in a tallgrass prairie. Soil Biology and

Biochemistry 32, 221–228.

Neue, H.U. Wassmann, R. Lant in, R.S. A lberto, M.C.R. Aduna, J.B. and Javellana, A.M.

1996. Factors affecting methane emission from rice fields. Atmos. Environ 30:

1751-1754.

Nieveen, J.P., Campbell, D.I., Schipper, L.A., Blair, I.J., 2005. Carbon exchange of

grazed pasture on a drained peat soil. Global Change Biology 11 (4), 607 -618.

Post W.M., Peng T.H., Enemuel W.R., King A.W., Dale V.H., and DeAngelis D.L. 1990.

The global karbon cycle. A m sci. 78: 310-326.

Renger, M., Wessolek, G., Schwarzel, K., Sauerbrey, R., Siewert, C., 2002. Aspects of

peat conservation and water management. Journal of Plant Nutrit ion and Soil

Science 165 (4), 487-493.

Salampak, 1999. Peningkatan Produktiv itas Tanah Gambut yang Disawahkan dengan

Pemberian Bahan Amelioran Tanah Mineral Berkadar Besi Tinggi. Disertasi

Program Pascasarjana, IPB Bogor

Smith, L.C., MacDonald, G.M., Velichko, A.A., Beilman, D.W., Borisova, O.K., Frey,

K.E.,Kremenetski, K.V., Sheng, Y., 2004. Siberian peatlands a net carbon sin k and

global methane source since the early Holocene. Science 303, 353e356

Subiksa, I G., Made, 2010. Pengembangan Fomula A melioran dan Pupuk "Pugam"

Spesifik Lahan Gambut Diperkaya Bahan Pengkhelat untuk Meningkatkan Serapan

Hara dan Produksi Tanaman > 50% dan Menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca

(GRK) >30%. http://km.ristek.go.id/index. php/klasifikasi/detail/20885.

Subiksa, IGM., K. Nugroho, Sholeh and IPG. W idjaja Adhi. 1997. The effect of

ameliorants on the chemical properties and productivity of peat soil. In: Rieley and

Page (Eds). Pp :321-326. Biod iversity and Sustainability of Tropical

Peatlands.Samara Publishing Limited, UK.

H.L. Susilawati et al.

332