220-822-1-pb.pdf

5
Jurnal Nanosains & Nanoteknologi ISSN 1979-0880 Vol. 2 No.1, Februari 2009 27 Sintesis dan Karakteristik Nanokomposit Membran ABS Tersulfonasi sebagai Material Polielektrolit Eniya Listiani Dewi Pusat Teknologi Material, Deputi Teknologi Informatika, Energi dan Materia Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Jalan M. H. Thamrin, Jakarta E-mail: [email protected] Diterima Editor : 30 Mei 2008 Diputuskan Publikasi : 3 Juni 2008 Abstrak Pembuatan membran nanokomposit yang menggunakan polimer ABS adalah pertama kalinya ditujukan sebagai material elektrolit padat pada fuel cell. Material elektrolit padat pengganti Nafion diharapkan berasal dari jenis hidrokarbon polimer yang lebih murah dan mudah dalam proses produksinya. Pada penelitian ini dilakukan proses sulfonasi ABS yang merupakan polimer hidrokarbon, dengan asam sulfat yang telah dimodifikasi menggunakan nanopartikel silika dan zeolite. Larutan nanokomposit ABS kemudian dicasting dan dilanjutkan dengan proses sulfonasi membran. Analisa membran tersulfonasi dilakukan untuk mengetahui struktur menggunakan FT-IR dan SEM, serta kuat tarik (tensile strength), transission glass (T g ), daya serap (water uptake) dan permeabilitas metanol. Derajat sulfonasi membran dengan proses sulfonasi 5 jam dan pada suhu 60 o C rata-rata antara 10-20 %. Membran yang dihasilkan yaitu sABS (1) dan sABS-Si 3 wt% (2) sABS-Ze 3 wt% (3) dan mempunyai nilai permeabilitas metanol 2.14 x 10 -6 , 2.09 x 10 -6 dan 2.94 x 10 -6 cm 2 /s. Sedangkan nilai konduktifitas ionik pada kondisi terhidrasi masing-masing membran 1 , 2 dan 3 adalah 0.036, 0.05 dan 0.04 S/cm. Dalam makalah ini dibuktikan bahwa membran ABS tersulfonasi dimungkinkan menjadi bahan pengganti Nafion dalam teknologi fuel cell. Kata Kunci: Polielektrolit, fuel cell, konduktifitas ionic, permeabilitas membran 1. Pendahuluan Pasar untuk PEMFC, khususnya direct methanol fuel cell (DMFC) pada tahun 2012 diprediksi mencapai 2.6 milyar USD [1]. Perkembangan penelitian DMFC meningkat signifikan dengan target DOE mengkomersialkan fuel cell portable pada tahun 2010. Namun masih banyak kelemahan baik secara teknis maupun efisiensi. Pemakaian polimer sebagai konduktor ion salah satunya dikenal pada membran fuel cell PEMFC (proton exchange membrane fuel cell). Material polielektrolit dikenal sebagai material polimer yang mempunyai daya konduktifitas ionik. State-of-the-art material polielektrolit untuk PEMFC adalah polimer perfluoro sulfonic acid (PFSA), dengan Nafion sebagai standar materialnya. Membran Nafion adalah tipe non-porous, berpenampang lintang isotropic, dan ketebalan 50-500 μm. Dikarenakan Nafion 117 hanya tahan hingga 80 °C, sehingga berpengaruh terhadap stabilitas komponen. Kemampuan Nafion untuk memisahkan reaktan dan penghantar proton sudah cukup efisien dengan konduktivitas sekitar 0,1 S/cm [2]. Namun permasalahan utama dari Nafion untuk pemakaian pada DMFC yaitu adanya permeasi metanol melalui membran (methanol crossover) yang sulit dihindari, untuk Nafion permeabilitas metanol mencapai 4.9×10 -6 cm 2 /s [3]. Methanol crossover tidak hanya menyebabkan hilangnya sebagian kecil bahan bakar (metanol) yang digunakan tetapi juga menyebabkan katoda tergenang yang berakibat laju reaksi di katoda menjadi lebih lambat yang berarti menurunkan kinerja sel voltase secara keseluruhan. Kekurangan dari Nafion selain mengalami methanol crossover, Nafion juga termasuk dalam polimer yang mahal (600-1000 USD/m 2 ) sehingga penggunaan terhadap bahan ini menjadi kendala untuk mengkomersialkan PEFC maupun DMFC. Pada konsep 50 kW aplikasi fuel cell untuk otomotif, harga Nafion mencapai 20% dari harga MEA (membrane electrode assembly) [2]. Jika digunakan pada suhu tinggi, kinerja membran proton untuk DMFC akan menurun. Penurunan ini berhubungan dengan dehidrasi membran, konduktivitas ionik, menurunnya affinitas dengan air, sifat mekanik, sifat sweeling, permeasi bahan bakar. Dalam rangka menaikkan efektifitas membran pada fuel cell juga menurunkan biaya produksi, maka perkembangan polielektrolit membran pada fuel cell sebagai bahan pengganti Nafion dapat dikelompokkan sebagai berikut: (a) modifikasi PFSA polimer, (b) alternatif polimer tersulfonasi (hidrokarbon), dan (c) membran komplek asam-basa. Ada dua pendekatan dalam pengembangan membran yaitu modifikasi struktur membran konvensional (Nafion) atau pengembangan membran polimer elektrolit berikut modifikasinya. Modifikasi Nafion (PFSA) dilakukan dengan menambahkan aditif anorganik seperti silika gel (SiO 2 ) [4-7], Al 2 O 3 ,ZrO 2 [6], tetraetoxysilane (TEOS) [8],

Upload: kozhim-poetra-kozhongzhembilanzhatu

Post on 23-Oct-2015

32 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: 220-822-1-PB.pdf

Jurnal Nanosains & Nanoteknologi ISSN 1979-0880 Vol. 2 No.1, Februari 2009

27

Sintesis dan Karakteristik Nanokomposit Membran ABS Tersulfonasi sebagai Material Polielektrolit

Eniya Listiani Dewi Pusat Teknologi Material, Deputi Teknologi Informatika, Energi dan Materia

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Jalan M. H. Thamrin, Jakarta

E-mail: [email protected]

Diterima Editor : 30 Mei 2008 Diputuskan Publikasi : 3 Juni 2008

Abstrak

Pembuatan membran nanokomposit yang menggunakan polimer ABS adalah pertama kalinya ditujukan sebagai material elektrolit padat pada fuel cell. Material elektrolit padat pengganti Nafion diharapkan berasal dari jenis hidrokarbon polimer yang lebih murah dan mudah dalam proses produksinya. Pada penelitian ini dilakukan proses sulfonasi ABS yang merupakan polimer hidrokarbon, dengan asam sulfat yang telah dimodifikasi menggunakan nanopartikel silika dan zeolite. Larutan nanokomposit ABS kemudian dicasting dan dilanjutkan dengan proses sulfonasi membran. Analisa membran tersulfonasi dilakukan untuk mengetahui struktur menggunakan FT-IR dan SEM, serta kuat tarik (tensile strength), transission glass (Tg), daya serap (water uptake) dan permeabilitas metanol. Derajat sulfonasi membran dengan proses sulfonasi 5 jam dan pada suhu 60 oC rata-rata antara 10-20 %. Membran yang dihasilkan yaitu sABS (1) dan sABS-Si 3 wt% (2) sABS-Ze 3 wt% (3) dan mempunyai nilai permeabilitas metanol 2.14 x 10-6, 2.09 x 10-6 dan 2.94 x 10-6 cm2/s. Sedangkan nilai konduktifitas ionik pada kondisi terhidrasi masing-masing membran 1, 2 dan 3 adalah 0.036, 0.05 dan 0.04 S/cm. Dalam makalah ini dibuktikan bahwa membran ABS tersulfonasi dimungkinkan menjadi bahan pengganti Nafion dalam teknologi fuel cell.

Kata Kunci: Polielektrolit, fuel cell, konduktifitas ionic, permeabilitas membran

1. Pendahuluan

Pasar untuk PEMFC, khususnya direct methanol fuel cell (DMFC) pada tahun 2012 diprediksi mencapai 2.6 milyar USD [1]. Perkembangan penelitian DMFC meningkat signifikan dengan target DOE mengkomersialkan fuel cell portable pada tahun 2010. Namun masih banyak kelemahan baik secara teknis maupun efisiensi.

Pemakaian polimer sebagai konduktor ion salah satunya dikenal pada membran fuel cell PEMFC (proton exchange membrane fuel cell). Material polielektrolit dikenal sebagai material polimer yang mempunyai daya konduktifitas ionik. State-of-the-art material polielektrolit untuk PEMFC adalah polimer perfluoro sulfonic acid (PFSA), dengan Nafion sebagai standar materialnya.

Membran Nafion adalah tipe non-porous, berpenampang lintang isotropic, dan ketebalan 50-500 µm. Dikarenakan Nafion 117 hanya tahan hingga 80 °C, sehingga berpengaruh terhadap stabilitas komponen. Kemampuan Nafion untuk memisahkan reaktan dan penghantar proton sudah cukup efisien dengan konduktivitas sekitar 0,1 S/cm [2]. Namun permasalahan utama dari Nafion untuk pemakaian pada DMFC yaitu adanya permeasi metanol melalui membran (methanol crossover) yang sulit dihindari, untuk Nafion permeabilitas metanol mencapai 4.9×10-6 cm2/s [3]. Methanol crossover tidak hanya menyebabkan hilangnya sebagian kecil bahan bakar (metanol) yang digunakan tetapi juga menyebabkan katoda tergenang yang berakibat

laju reaksi di katoda menjadi lebih lambat yang berarti menurunkan kinerja sel voltase secara keseluruhan. Kekurangan dari Nafion selain mengalami methanol crossover, Nafion juga termasuk dalam polimer yang mahal (600-1000 USD/m2) sehingga penggunaan terhadap bahan ini menjadi kendala untuk mengkomersialkan PEFC maupun DMFC. Pada konsep 50 kW aplikasi fuel cell untuk otomotif, harga Nafion mencapai 20% dari harga MEA (membrane electrode assembly) [2].

Jika digunakan pada suhu tinggi, kinerja membran proton untuk DMFC akan menurun. Penurunan ini berhubungan dengan dehidrasi membran, konduktivitas ionik, menurunnya affinitas dengan air, sifat mekanik, sifat sweeling, permeasi bahan bakar.

Dalam rangka menaikkan efektifitas membran pada fuel cell juga menurunkan biaya produksi, maka perkembangan polielektrolit membran pada fuel cell sebagai bahan pengganti Nafion dapat dikelompokkan sebagai berikut: (a) modifikasi PFSA polimer, (b) alternatif polimer tersulfonasi (hidrokarbon), dan (c) membran komplek asam-basa. Ada dua pendekatan dalam pengembangan membran yaitu modifikasi struktur membran konvensional (Nafion) atau pengembangan membran polimer elektrolit berikut modifikasinya.

Modifikasi Nafion (PFSA) dilakukan dengan menambahkan aditif anorganik seperti silika gel (SiO2) [4-7], Al2O3,ZrO2 [6], tetraetoxysilane (TEOS) [8],

Page 2: 220-822-1-PB.pdf

J. Nano Saintek. Vol. 2 No. 1, Feb 2009

28

heteropolyacid [9] yang menghasilkan peningkatan konduktivitas dan penurunan permeabilitas metanol [5,7].

Beberapa hasil penelitian membran elektrolit alternatif (membran-membran non-perfluorinasi) yang sedang dikembangkan antara lain berupa polimer aromatik yaitu: polybenzimidazole (PBI) [10], polyetherimide (PEI), polyimide (PI), polyphenylene sulphide (PPS), polysulphone (PSf) [11], polyethersulphones (PES), polyetherketone (PEK), polyetherketoneketone (PEKK), polyether-etherketone (PEEK) [12]. Polimer-polimer tersebut dapat dikembangkan karena mempunyai sifat tahan panas (lebih dari 300 oC), tahan bahan-bahan kimia dan hidrolisa dan stabil pada uap O2 dan uap H2 sampai 200 oC. Sifat-sifat ini yang membuat menarik untuk aplikasi PEMFC, serta harga PEEK hanya mencapai 375$/m2 [13,14].

Untuk pengembangan polimer pengganti Nafion, mengacu pada beberapa target, diantaranya adalah dapat beroperasi pada suhu tinggi, metanol crossover rendah (koefisien difusi metanol < 5.6×10-6 cm2/s), konduktifitas ionik tinggi (>80mS/cm), durabilitas kimia dan mekanik stabil pada suhu tinggi (T>80 oC), biaya produksi rendah (<10$/kWh).

Savadogo dan Marsh telah mengembangkan styrene-butadiene tersulfonasi dengan material awal styrene dan butadiene, dengan 60% sulfonated styrene [15,16]. Hasil membrane tersebut telah diujicobakan pada PEFC dan menghasilkan katahanan 4000 jam running [16]. Membran ini merupakan jenis hidrokarbon pertama yang berhasil dipakai dalam fuel cell.

Dengan mengacu pada styrene-butadiene kopolimer tersebut, maka pada penelitian ini dicoba acrylonitrile-butadiene-styrene (ABS-pellet) kopolimer yang merupakan produk lokal, untuk dimanfaatkan sebagai elektrolit membrane dalam fuel cell. Selain karena polimer ABS ini banyak dihasilkan dalam negeri sehingga mudah didapat, kandungan styrene yang menjadi penentu ikatan SO3

- adalah >48%, maka sangat memungkinkan untuk mempunyai kemampuan mentransfer proton dalam jumlah yang banyak.

Pengembangan membran berbasis pada polimer aromatik hidrokarbon merupakan pilihan yang baik karena merupakan material lokal yaitu polimer ABS (acrylonitril butadinene styrene). Polimer ABS banyak digunakan dalam alat-alat listrik seperti peti es, mesin cuci, pembersih, radio, TV, dan alat-alat rumah tangga. Disamping itu, bahan ini juga digunakan secara luas sebagai serba-guna untuk komponen kereta api, komponen yang diam, mainan anak, alat rumah tangga, jam, alat-alat optik, perabot, bahan konstruksi dan lain-lain.

Maka pada penelitian ini dibuat membran elektrolit yang dapat diaplikasikan pada sistem fuel cell, dengan menggunakan bahan polimer jenis hidrokarbon aromatik yang biaya produksi murah dan mudah, serta dengan proses sulfonasi yang murah. Sekaligus dengan mempelajari pengaruh penambahan filler anorganik pada ABS tersulfonasi (s-ABS) terhadap efisiensi penurunan crossover.

2. Eksperimen Material. Polimer ABS pellet diperoleh dari

pemberian PT. ARBE Styrindo & PT. ABSii, dimana kandungan acrylonitrile, butadiene dan styrene dalam ABS adalah 20, 22 dan 48%. Pelarut methyl ethyl keton (MEK) dan asam sulfat pekat dari Merck Co. Silika dari Trisindo Sejati Corp Indonesia. Zeolit dari Jepang.

Proses sintesis. Proses sintesis s-ABS, menggunakan metode seperti yang dikembangkan oleh Eniya dan Handayani dkk, pada proses sulfonasi poly-ether ether keton [7,17,18]. Dengan detail sebagai berikut: ABS pellet sebanyak 7.5 gram, kemudian dilarutkan dengan 50 mL MEK. Campuran diaduk selama 7 jam menggunakan stirer pada suhu ruangan sehingga mendapatkan larutan yang homogen. Dicetak pada plate dengan ketebalan (75±10) μm. Kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 50 oC selama 48 jam. Membran ABS impregnasikan pada larutan asam sulfat 1 M, 5 M, dan 10 M selama 5 jam pada suhu 40 dan 60 oC sambil diaduk. Membran polimer yang telah tersulfonasi dipisahkan dari H2SO4. Dilakukan pencucian secara berulang-ulang dengan menggunakan aquadest hingga pH netral. Kemudian dikeringkan di dalam oven selama 48 jam pada suhu 50 oC. Metode preparasi membran ini dilakukan juga untuk modifikasi membran yang menggunakan silika dan zeolite. Terlebih dahulu partikel penyerap air tersebut ditambahkan pada larutan yang homogen 3 wt% kemudian dicetak dan dikeringkan.

Analisa kapasitas penukar ion. Membran s-ABS direndam dalam NaOH 0,01 N selama 3 hari. Kemudian dititrasi dengan asam sulfat 0,01 M dengan indikator PP. digambarkan sebagai grup sulfonat/gr polimer kering. Perhitungan derajat sulfonasi (DS) dan kapasitas penukar ion (IEC) sesuai dengan persamaan (1) dan (2). Dengan meq.s-ABS – H: meq SO3H dalam sABS, meq: miligram equivalent, W: Berat membran kering (gr), V: volume larutan (ml), N: normalitas (N), IEC: Ion exchange capacity (meq SO3H/gr sABS), Mo: Massa molekul relatif dari ABS (C8H8·C4H6·C3H3N), 103: Massa molar dari grup SO3Na.

⎟⎠⎞

⎜⎝⎛=

WsABSHmeqIEC ).( (1)

%100)(1031000

)(×

−=

IECIECMoDs (2)

Struktur dan mekanik. Analisa struktur

menggunakan FT-IR Shimadzu FTIR-8300 dan permukaan membran dianalisa menggunakan SEM Phillips XL-30. Suhu leleh membran diobservasi menggunakan Matler Toledo DSC-821 dan TGA/SDTA-851. Kekuatan membran diukur dengan analisa kuat tarik (tensile strength).

Daya serap membran. Daya serap membran terhadap air dihitung dengan menimbang berat membran setelah direndam dalam larutan aquadest dan 1 M metanol selama 24 jam. Setelah ditimbang maka dihitung dengan persamaan (3) sebagai berikut.

Page 3: 220-822-1-PB.pdf

J. Nano Saintek. Vol. 2 No. 1, Feb 2009

29

100%W

)W(WSwelling%

dry

drywet ×−

= (3)

Permeabilitas methanol. Permeabilitas membran

terhadap metanol dianalisa dengan menggunakan preparatus khusus yang menggunakan prinsip H-cell [19,20]. Dengan memasukkan larutan metanol 2 M pada sisi cell A dan aquadest pada sisi cell B, kemudian dengan menggunakan piknometer dihitung densitas pada awal dan jam tertentu pada kedua cell yang distandarkan menjadi konsentrasi metanol. Durasi waktu adalah 4 jam. Dengan persamaan seperti dibawah ini dihitung permeabilitas membran pada suhu ruang.

)()( 0ttCl

DKVAtC AB

B −= (4)

Dimana C, V, A dan L adalah konsentrasi metanol, volume cell, luas permukaan dan tebal membran.

Analisa konduktifitas. Nilai konduktivitas ionik suatu material dianalisa menggunakan metode impedansi kompleks spektroskopi. Konduktifitas proton dalam membrane yang dihasilkan dianalisa dengan menggunakan LCR (impedance capacitance resistance), HIOKI 3522-50 LCR HiTESTER dalam berbagai frekuensi dari 3-100 kHz pada 20 mV. Membran ditempatkan pada preparat yang dilengkapi dengan elektroda Au dari bahan Teflon block dengan sedikit modifikasi.22-25 Membran yang akan diukur direndam dalam air selama 24 jam dan dipotong 1x4 cm dan ditempatkan pada cell tersebut, kemudian diukur dengan persamaan (5). Dimana G, L, W dan d adalah konduktifitas, jarak elektroda, lebar dan tebal membran.

dWLG.

×=σ (5)

3. Hasil dan Pembahasan

Pengembangan membran alternatif pengganti Nafion yaitu polimer hidrokarbon ABS serta modifikasi dengan menggunakan partikel penyerap air sehingga menambah domain hidrofilik telah ditelaah dalam penelitian ini.

Polimer ABS pellet direcasting kembali menjadi membran tipis, kemudian disulfonasi pada suhu 40 dan 60oC. Analisa struktur didapat pembuktian gugus sulfonat dengan FTIR untuk vibrasi simmetrik O=S=O terlihat pada bilangan gelombang 1074, 1068 dan 1072 cm-1 untuk membran 1, 2 dan 3.

Observasi penampang lintang membran 1-3 dilihat dengan menggunakan SEM seperti pada Gbr. 2. Ketebalan membran yang dipakai pada penelitian ini ±100 µm. Pada Gb.r 2 dapat dilihat karakteristik partikel penyerap air yang tampak halus dan tidak ada poros dan berukuran <1µm. Dari hasil pengamatan partikel silika dan zeolit secara terpisah (Gbr. 3), dapat dibedakan bahwa partikel silia mempunyai ukuran <80 nm dan terdispersi pada permukaan, namun untuk partikel zeolit

terjadi gumpalan pada permukaan >200nm, hal ini terlihat juga pada penampang lintang Gbr. 1 (b) dan (c).

Gambar 1 Hasil analisa FTIR untuk membran tersulfonasi

Gambar 2 Penampang lintang membran (a) s-ABS 1, (b) s-ABS-Si 2, (c) s-ABS-Z 3 hasil observasi dengan SEM.

Gambar 3 Hasil observasi TEM pada partikel (a) silika dan (b) zeolit.

(a)

(b)

(c)

(a)

(b)

(c)

(a) (b)(a) (b)

Page 4: 220-822-1-PB.pdf

J. Nano Saintek. Vol. 2 No. 1, Feb 2009

30

Tabel 1 Data analisa membran. Membran Tensile

[Kg/cm2] FT-IR [cm-1]

DSC [oC]

Tg [oC]

s-ABS 261.92 1406 102.57 / 133.71

133.71

s-ABS-Si 283.82 1405 103.54 / 129.2

129.2

s-ABS-Z 294.04 – 99.95 / 131.89

131.89

Nafion117 240.04 – 110 – Tabel 2 Data analisa membran. Membran (suhu sulfonasi)

Water uptake [%] H2O/MeOH

Permeability [cm2/s]

DS [%]

Conductivity [S/cm]

s-ABS (40oC)

0.31/1.02 4.0x10-6 18 3.6x10-4

s-ABS (60oC)

2.36/5.2 0.92x10-6 16 0.036

s-ABS-Si (40oC)

2/2.41 2.06x10-6 – 1.6x10-5

s-ABS-Si (60oC)

4/2.9 3.03x10-7 – 0.05

s-ABS-Ze (40 oC)

2.5/2.5 2.17x10-6 – 5.0x10-5

s-ABS-Ze (60 oC)

3.3/4 0.97x10-6 – 0.04

Nafion117 12 4.96x10-6 0.08

Dan dengan modifikasi partikel silika dan zeolit telah didapat berbagai macam membran yang dianalisa dengan hasil seperti pada Tabel 1 dan Tabel 2. Dari Tabel 1 dapat diketahui karakteristik mekanik dari membran s-ABS. Yang menjadi hal menarik adalah kekuatan membran yang tinggi dibandingkan dengan Nafion baik pada kondisi termodifikasi dengan partikel penyerap air dan pada ketebalan yang sama. Terbukti bahwa penambahan partikel bahkan mampu meningkatkan kuat tarik membran 2 dan 3.

Dari hasil pengamatan pengaruh suhu terhadap membran menggunakan DSC, suhu tansisi glass (Tg) dari s-ABS rata-rata 100-130 oC. Nilai Tg yang semakin besar akan memberikan membran lebih stabil beroperasi pada suhu yang lebih tinggi. Membran Nafion-117 hanya mempunyai Tg sekitar 110 oC. Oleh sebab itu membran tersebut dapat beroperasi secara optimum dibawah 80 oC. Membran s-ABS 1-3 yang mempunyai suhu transisi glass sekitar 130 oC akan memberikan kestabilan membran beroperasi sekitar 100 oC.

Persentasi daya serap air dan metanol setelah membran direndam pada larutan tersebut lebih dari 24 jam, kemudian ditimbang dan rata-rata daya serapnya < 5%. Pada suhu sulfonasi 60 oC, daya serap air bertambah dibandingkan dengan 40 oC, hal ini disebabkan adanya gugus sulfonat yang makin mudah bereaksi pada suhu tinggi Hasil ini jauh dibawah syarat maksimum daya serap membran untuk manufaktur MEA (membrane electrode assembly) yaitu 30%, dimana nilai daya serap Nafion adalah 12% [7]. Terbukti bahwa penambahan

partikel penyerap air pada membran s-ABS tidak mempengaruhi manufaktur MEA.

Dalam analisa permeabilitas membran terhadap larutan metanol, pada penelitian ini digunakan 1 M dengan asumsi pemakaian pada DMFC komersial. Membran 1-3 menunjukkan angka yang tidak jauh berbeda dari Nafion. Namun pada membran s-ABS-Si yang disintesa pada suhu sulfonasi 60 oC menunjukkan nilai satu order lebih kecil dari Nafion, yaitu 3.03×10-7 cm2/s.

Pada nilai hubungan konduktifitas ionik dan daya serap air, bahwa diharapkan dengan adanya penambahan partikel penyerap air akan meningkatkan konduktifitas [4], ditunjukkan pada Tabel 2. Dari pengamatan, s-ABS yang disintesa pada suhu 60 oC dengan waktu sulfonasi 5 jam ini mempunyai nilai konduktifitas yang lebih tinggi dari pada suhu sintesa pada 40 oC. Nilai konduktifitas membran 1, 2 dan 3 mencapai 0.036, 0.05 dan 0.04 S/cm, menunjukkan angka yang tinggi untuk jenis hidrokarbon polimer, dimana Nafion diketahui pada kondisi yang sama adalah 0.082 S/cm (analisa DuPont 0.1 S/cm). Hasil tersebut hampir sama dengan hidrokarbon s-PEEK adalah 0.02 S/cm [18]. Perlu diketahui bahwa nilai komersial membran ABS jauh lebih murah daripada jenis hidrokarbon PEEK.

4. Kesimpulan

Penggunaan polimer ABS menjadi bahan elektrolit padat adalah pertama kali disulfonasi dan dikarakterisasi. Serta pengembangan dengan nanopartikel sebagai bahan penyerap air yang diharapkan menambah efisiensi dalam fuel cell, dalam penelitian kali ini telah dijelaskan. Secara keseluruhan, membran s-ABS mempunyai ketahanan mekanik yang lebih tinggi dari Nafion dengan nilai konduktifitas proton yang hampir sama. Dan pada analisa permeabilitas metanol, membran s-ABS yang dimodifikasi dengan nano-silika mampu menurunkan metanol crossover satu order. Dengan adanya partikel nano ini berguna untuk mempertahankan daya serap air sehingga membran tetap dalam keadaan lembab jika dioperasionalkan pada fuel cell suhu tinggi. Dimana kekeringan fuel cell akan teratasi dengan adanya partikel nano-silika. Ucapan Terima Kasih

Penulis berterima kasih kepada dukungan RISTEK atas dana proyek INSENTIF RISET DASAR 2007-2008.

Referensi

[1] http: //www.nanomarkets.net. [2] V. Neburcilov, J. Martin, H. Wang, J. Zhang, J.

Power Sources, (2007). [3] A. Heinzel., A. M. Barragan, J. Power Sources 84, 70

(1999). [4] T. Arimura, D. Ostrovskii, T. Okada, G. Xie, Solid

State Ionic 118, 1 (1999). [5] P. Domitrova, K. A. Friedrich, U. Stimming, B. Vogt,

Solid State Ionic 150, 115 (2002). [6] A. S. Arico, V. Baglio, A. Di Blasi, P. Creti,

Page 5: 220-822-1-PB.pdf

J. Nano Saintek. Vol. 2 No. 1, Feb 2009

31

Antonucci, Solid State Ionic 161, 251 (2003). [7] E. L. Dewi dan Rohmadi, J. Sains Materi Indonesia,

8, 198 (2007). [8] H. Tang, Z. Wan, M. Pan, S. P. Jian,

Electrochemistry Communication 9, 2008 (2007). [9] V. Ramani, H. R. Kunz, and J. M. Fenton, J. Memb.

Sci. 232, 31 (2004). [10] D. J. Jones and J. Roziere, J. Membr. Sci. 185, 41

(2001). [11] F. Lufrano, G. Squadrito, A. Patti and E.Passalacqua,

J. Appl. Polym. Sci. 77, 1250 (2000). [12] L. Li, J. Zhang and Y. Wang, J. Membr. Sci. 226,

159 (2003). [13] O. Savadogo, J. Power Sources 127, 135 (2004). [14] M. Ulbright, Polymer 47, 2217 (2006). [15] O. Savadogo, J. New Master. Electrochem. 1, 47

(1998). [16] G. Marsh, Materials Today 4 , 20 (2001). [17] E. L. Dewi, Proc. Int. Conf. Chem. Sci. 95, 1 (2007). [18] S. Handayani, W. P. Widodo, E. L. Dewi, dan W. S.

Roekmijati, Indonesian J. Mat. Sci. 8, 129 (2007).