2013-03 psnmhii xxv gerakan separatis sebagai tantangan bagi diplomasi indonesia di era paradox of...
DESCRIPTION
sTRANSCRIPT
-
Pertemuan Sela Nasional Mahasiswa Hubungan Internasional se-Indonesia XXV
Padang, 2125 April 2013
DISKUSI ILMIAH
GERAKAN SEPARATIS SEBAGAI TANTANGAN
BAGI DIPLOMASI INDONESIA DI ERA PARADOX OF PLENTY
Ananda Suci Munggaran 170210110029 2011
Ravio Patra Asri 170210110019 2011
Rio Alfajri 170210120086 2012
Universitas Padjadjaran
Jawa Barat
2013
-
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... ii
ABSTRACT ........................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
1 Latar Belakang ................................................................................................. 1
2 Rumusan Masalah ............................................................................................ 3
3 Landasan Konseptual dan Teoritis
a. Paradox of Plenty di Indonesia ................................................................... 3
b. Gerakan Separatis di Indonesia .................................................................. 5
c. Sejarah Singkat Diplomasi Indonesia ......................................................... 7
4 Hipotesis .............................................................................................. 8
BAB II PEMBAHASAN
1 Gerakan Separatis di Indonesia sebagai Efek dari Paradox of Plenty ............. 10
2 Gerakan Separatis sebagai Tantangan bagi Diplomasi Indonesia ................... 12
3 Peran Indonesia dalam Upaya Perdamaian Global melalui Diplomasi ........... 14
4 Memberantas Gerakan Separatis untuk Memperkuat Diplomasi Indonesia .... 19
BAB III PENUTUP
1 Kesimpulan ...................................................................................................... 20
2 Saran ................................................................................................................ 22
a. Saran bagi Pemerintah ................................................................................ 22
b. Saran bagi Masyarakat ................................................................................ 23
BIBLIOGRAFI ................................................................................................................. 24
-
iii
ABSTRACT
Global dynamics demand states to perform diplomacy as a mean of achieving goals. In
addition, it has also become a method of achieving peace and cooperation under the
anarchical international system. Knowing this, Indonesia, as an emerging power of
todays world, is expected to continually enhance its diplomatic capability, especially
considering how the archipelago country has been noted for its involvement in several
peacemaking efforts throughout the decades.
In order to succeed, Indonesia has to ensure that it is in control of its domestic
affairs. Escalating separatism, for instance, is something it can not afford if it is to stay
as an agent of peace in the international system. Regarding separatism as an aftermath
of the paradox of plenty or the volatility curse, it is no wonder that separatist groups
have been persistent in the country considering its rich natural resources combined
with mismanagement by the government and its foreign-oriented economy,
Keywords: Diplomacy, Indonesia, Natural Resources, Paradox of Plenty, Separatism,
Peace, Volatility Curse.
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pembangunan boleh jadi merupakan fokus kegiatan pemerintah dari hampir seluruh
negara di setiap bagian dunia. Bukan hanya bagi negara-negara berkembang, namun
negara-negara maju pun masih terus menggencarkan pembangunan demi
mempertahankan keunggulannya. Meskipun pembangunan semestinya menjadi
kewajiban pemerintah secara penuh, namun masyarakat pun harus turut serta
berpartisipasi secara aktif dalam menyukseskan program-program pembangunan yang
dijalankan. Tanpa situasi yang stabil di dalam masyarakat, maka pembangunan pun
mustahil dapat dijalankan dengan optimal.
Akan tetapi, peran masyarakat dalam proses pembangunan jauh lebih kompleks
daripada sekadar sebagai innocent bystander. Masyarakat seringkali menjadi faktor
yang memicu sekaligus menghambat jalannya pembangunan. Hal ini biasanya terkait
erat dengan banyaknya kepentingan yang berkembang di dalam masyarakat; mulai dari
kepentingan ekonomi, kepentingan politik, hingga bahkan kepentingan kelompok-
kelompok agama tertentu. Di samping faktor masyarakat, perebutan sumber daya juga
acapkali menjadi faktor penghambat laju pembangunan; terutama sumber daya alam
yang bersifat dapat habis jika dieksploitasi secara terus-menerus. Bukan hanya
kepentingan ekonomi domestik, namun perebutan sumber daya alam tidak pernah luput
dari keterlibatan pihak asing.
Pun halnya di Indonesia, dengan sumber daya alam yang begitu melimpah, seperti
kekayaan kandungan minyak bumi, gas alam, batubara, tembaga, emas, dan barang-
barang tambang lainnya, pembangunan tidak serta merta menjadi lebih mudah
dibandingkan negara-negara lain dengan sumber daya alam yang lebih sedikit. Hal
inilah yang kemudian digambarkan oleh para ahli ekonomi sebagai suatu paradox of
plenty; suatu kondisi paradoksal di mana negara dengan sumber daya alam melimpah
(plenty; resourceful) malah cenderung sulit mengoptimalkan pembangunan dan
kesejahteraan masyarakatnya dibandingkan dengan negara dengan sumber daya alam
yang terbatas.
Salah satu dampak yang dimunculkan oleh sumber daya alam yang melimpah ini,
misalnya, adalah munculnya ketidakpuasan di dalam masyarakat akan kinerja
pemerintah sebagai agen pelaksana pembangunan di tingkat makro. Ketidakpuasan
-
2
inilah yang kemudian berkembang dan terus terelevasi hingga menjadi konflik sosial di
dalam masyarakat; atau bahkan dalam tingkatan yang lebih ekstrim, berubah menjadi
gerakan subversif yang ingin memisahkan diri dari ikatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Gerakan-gerakan semacam inilah yang hingga hari ini akrab dikenal sebagai
gerakan separatis.
Terlepas dari posisinya yang dilematis, sumber daya alam yang dimiliki Indonesia
tidak bisa dicap sebagai faktor tunggal yang menyebabkan munculnya ketidakpuaan
politik dan ekonomi di dalam masyarakat. Faktor-faktor lain yang bisa jadi signifikan,
misalnya, adalah kebijakan yang tidak merata, perhatian pemerintah pusat yang tidak
merata pada setiap daerah, dan banyak faktor lainnya. Meskipun begitu, tidak bisa
dipungkiri bahwa faktor ini memiliki andil yang begitu signifikan.
Gerakan-gerakan separatis yang ada di Indonesia bisa jadi menjadi bukti nyata
bahwa paradox of plenty bukanlah hanya sekadar konsep hitam di atas putih semata.
Lebih dari itu, paradox of plenty benar-benar merefleksikan pola hubungan antara
kemajuan suatu negara dengan kekayaan sumber daya alam yang dimilikinya. Oleh
karena itulah, konsep paradox of plenty menjadi relevan dengan kekuatan negara di
dalam konstelasi hubungan internasional.
Lebih lanjut, elevasi gerakan separatis di Indonesia, semenjak masa awal
kemerdekaan hingga hari ini, dapat menjadi ancaman besar bagi posisi Indonesia di
tengah-tengah pergaulan global. Kepercayaan masyarakat internasional terlihat dalam
keterlibatan Indonesia dalam berbagai proses perdamaian melalui kegiatan diplomasi.
Kapasitas diplomasi Indonesia, terbentang panjang bahkan semenjak kemerdekaan
belum diproklamasikan, terbukti memiliki kekuatan tersendiri di dalam peta hubungan
antarnegara.
Berangkat dari pemahaman akan besarnya ancaman yang ditimbulkan oleh
gerakan separatissebagai hasil akhir (aftermath) dari perebutan sumber daya alam
sekaligus sebagai objek kajian dari konsep paradox of plentyterhadap kekuatan
diplomasi Indonesia dalam kontelasi politik global.
Melalui analisis yang runut terhadap catatan sejarah diplomasi Indonesia disertai
dengan kajian kausalitas (sebab-akibat) terhadap setiap aspek yang terkait, tulisan ini
merumuskan pemahaman akan gerakan separatis sebagai efek dari paradox of plenty
yang menjadi tantangan tersendiri bagi kapabilitas diplomasi Indonesia terutama dalam
perannya sebagai agen perdamaian global sebagaimana diamanatkan oleh bagian
pembukaan dari Undang-Undang Dasar 1945.
-
3
2. Rumusan Masalah
Perkembangan paradox of plenty saat ini terlihat nyata dalam perkembangan ekonomi
global. Negara-negara dengan sumber daya alam begitu terbatas berhasil menjelma
sebagai pemimpin dalam perlombaan sebagai kekuatan ekonomi utama dunia melalui
pembangunan industrial yang begitu gencar. Sementara negara-negara dengam sumber
daya alam begitu melimpah, termasuk Indonesia, malah terjebak dalam kelompok
negara berkembang tanpa disertai kesejahteraan yang merata.
Dengan memahami permasalahan ini sebagai sebuah tantangan bagi diplomasi
Indonesia sebagai agen perdamaian global, analisis yang dilakukan mestilah mampu
menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:
Seberapa jauhkah kemunculan gerakan separatis di Indonesia berkaitan erat sebagai efek dari paradox of plenty?
Bagaimana gerakan separatis yang muncul di berbagai daerah menjadi ancaman bagi kapabilitas diplomasi Indonesia?
Sejauh mana Indonesia berperan dalam proses perdamaian global melalui diplomasi di berbagai negara?
Mengapa pemberantasan gerakan separatis sebagai efek dari paradox of plenty krusial bagi stabilitas kekuatan diplomasi Indonesia?
Pertanyaan-pertanyaan ini, melalui kajian kausalitas, memiliki signifikansi tersendiri
untuk dijawab sebagai bagian dari proses memahami gerakan separatis sebagai efek dari
paradox of plenty yang menjadi tantangan bagi diplomasi Indonesia saat ini. Oleh
karena itulah, analisis yang dilakukan disertai dengan studi terhadap berbagai kasus
yang berkaitan dengan permasalahan ini.
3. Landasan Konseptual dan Teoritis
a. Paradox of Plenty di Indonesia
Memahami paradox of plenty mestilah melewati penelusuran terhadap berbagai
fenomena yang terjadi dalam konstelasi politik ekonomi saat ini. Namun, sebelum
memahami paradox of plenty sebagai fenomena, mestilah dipahami terlebih dahulu
paradox of plenty sebagai suatu objek kajian. Menurut Terry Lynn Karl (Sciffrin 2005,
h. 29), paradox of plenty merupakan keadaan yang sekarang terjadi di negara-negara
-
4
penghasil minyak bumi; seirama dengan apa yang dikatakan oleh Juan Pablo Perez
Alfonso, salah satu inisiator organisasi negara-negara eksportir minyak bumi,
Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC). Ia menyebut efek samping
yang diakibatkan oleh industri minyak bumi terhadap negara-negara eksportirnya
sebagai efek kotoran setan.
Menurut Alfonso, kondisi yang memprihatinkan cenderung menimpa negara-
negara dengan kekayaan alam melimpah, termasuk minyak bumi. Di negara-negara ini,
seringkali terjadi konflik di dalam masyarakat diakibatkan oleh berbagai permasalahan
ekonomi. Namun, dengan dinamika politik ekonomi saat ini, efek dari paradox of plenty
tidak hanya berkembang di dalam negara-negara penghasil minyak. Dengan harga
minyak dunia yang tidak stabil akibat berbagai krisis di negara-negara penghasilnya,
negara-negara lainpun ikut terkena imbas. Hal ini pulalah yang ikut memengaruhi
kondisi di Indonesia.
Lebih dari 67 tahun semenjak merdeka hingga saat ini, kesejahteraan yang
menyeluruh di dalam masyarakat masih belum dapat dikatakan telah terwujud. Pun
sumber daya alam yang melimpah tidak menjadi jaminan bagi Indonesia untuk menjadi
kekuatan ekonomi dunia. Dengan populasi sebesar lebih dari 244.775.796 jiwa di tahun
2012, bahkan pertumbuhan ekonomi di kisaran 6% pun dapat dipastikan belum cukup
untuk menyejahterakan masyarakat Indonesia secara merata. Rendahnya pemerataan
pembangunan ini pulalah yang menjadi salah satu faktor pemicu munculnya berbagai
ketidakpuasan di dalam masyarakat. Pertanyaaannya, dengan tingkat eksplorasi sumber
daya alam yang tidak dapat dikatakan rendah, ke manakah keuntungan dari eksplorasi
besar-besaran ini jika bukan mengalir ke kepentingan rakyat Indonesia?
iMelalui analisis terhadap laporan neraca pembayaran Bank Indonesia pada
Triwulan I tahun 2012, dapat diketahui bahwa ekspor kekayaan alam ke negara-negara
industri besar seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Cina mencapai angka yang begitu
tinggi. Untuk produk karet alam saja, misalnya, ekspor Indonesia mencapai angka lebih
dari 2 miliar dolar Amerika Serikat (Bank Indonesia 2012); angka yang sangat besar
namun sulit ditemukan keberadaannya ketika dikaitkan dengan proses pembangunan di
dalam masyarakat. Setidaknya, di samping konflik kepentingan yang muncul, kesalahan
manajemen dan penyelewengan kekuasaan inilah yang menjadi lingkaran setan
pengelolaan kekayaan alam negeri ini. Indonesia, negara kepulauan terbesar di dunia
dengan sumber daya alam yang sulit ditandingi, terjebak dalam paradox of plenty.
-
5
b. Gerakan Separatis di Indonesia
Gerakan separatis di Indonesia sudah muncul semenjak kemerdekaan dan
kesatuan nasional bahkan belum berhasil dicapai. Hal ini tidaklah mengherankan karena
setiap negara selalu dihadapkan pada dua bentuk kedaulatan, sehingga juga selalu
dihadapkan pada dua musuh: dari dalam dan dari luar. Apabila ancaman dari luar
muncul sebagai ancaman terhadap kedaulatan Indonesia sebagai negara berdaulat, maka
ancaman dari dalam mengancam integritas atau kesatuan nasional.
Marry Farrel, bersama Bjirn Hettne dan Luuk Van Hengenhove, dalam Global
Politics of Regionalism (2005, h. 94) mendefinisikan gerakan separatis sebagai sebuah
gerakan yang terjadi di dalam sebuah unit regional, negara, dan merupakan bentuk
ekstrim dari nasionalisme.
Menurutnya, gerakan separatis bisa jadi muncul di dalam sebuah negara karena
adanya pemberian otonomi yang terlalu luas pada daerah. Meskipun pada
kenyataannya, separatism tidak hanya berkembang di dalam wilayah dengan otonomi
yang kuat. Di Indonesia, misalnya, pernah dikenal Angkatan Perang Ratu Adil atau
APRA pada masa perjuangan kemerdekaan hingga Organisasi Papua Merdeka atau
OPM yang masih terus berkembang hingga saat ini; mengancam integritas dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dari sekian banyak gerakan separatis yang pernah
muncul, beberapa di antaranya bahkan menjadi sorotan utama dari dunia internasional,
seperti Timor Timur, Gerakan Aceh Merdeka, dan Papua Barat (Starbuck 2001).
Salah satu bentuk gerakan subversif yang sedikit banyak menunjukkan
kecenderungan separatism dapat terlihat pula dalam bentuk-bentuk yang sangat radikal.
Pada masa-masa awal kemerdekaan, pada tahun 1948, pemberontakan Partai Komunis
Indonesia (PKI) Madiun menjadi ancaman yang mengguncang negara yang ketika itu
masih dalam masa awal kemerdekaan. Kemudian pada tanggal 7 Agustus 1949, Negara
Islam Indonesia (NII) diproklamasikan oleh Kartosuwiryo melalui gerakan Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia atau DI/TII (Fah 2011).
Beberapa tahun kemudian, pada 15 Februari 1958, Achmad Husein
memproklamasikan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia atau
PRRI. Berbeda dari gerakan-gerakan sebelumnya yang muncul sebagai ketidaksetujuan
akan ideologi negara, PRRI dilandasi oleh motif ketidakmerataan pembangunan antara
pusat dan daerah pada masa itu. Tak lama, Permesta atau Pemberontakan Rakyat
Semesta pun menyusul PRRI dengan pemicu yang sama: ketidakmerataan
pembangunan antara pusat dan daerah.
-
6
Gerakan separatis lain yang muncul sesudahnya diwarnai oleh perisitwa Gerakan
30 September atau dikenal dengan G30S/PKI; gerakan yang menggemparkan
masyarakat dengan keradikalannya menuntut pengakuan komunisme sebagai ideologi
negara. Meskipun akhirnya berhasil diredam, gerakan ini menjadi tinta hitam dalam
catatan sejarah Indonesia.
Dari sekian banyak gerakan separatis yang pernah mencuat ke permukaan,
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) boleh jadi merupakan salah satu yang paling menarik
perhatian. Diinisiasi pada tahun 1976, GAM juga dikenal dengan nama lain, yaitu Aceh
Sumatera National Liberalisation Form atau ASNLF (Fah 2011). Pun pemberontakan
GAM berhasil diakhiri dengan damai melalui meja perundingan diplomasi setelah
dicapainya kesepakatan antara GAM dengan pemerintah Indonesia yang tertuang
melalui suatu Momerandum of Understanding aatau Nota Kesepahaman pada tahun
2006. Dengan perdamaian ini, pemberontakan GAM berhasil diiredam meskipun
pemerintah mesti berkompromi dengan memberikan banyak keistimewaan atau
privileges terhadap provinsi Aceh yang diproyeksikan menjadi daerah dengan hukum
syariah di Indonesia (He 2008, h. 67).
Dewasa ini, gerakan-gerakan separatis yang mesti dihadapi oleh Indonesia dapat
terlihat dalam bentuk Organisasi Papua Merdeka atau OPM dengan berbagai kegiatan
subversifnya di wilayah Papua. Gerakan ini pun bahkan sempat memproklamasikan
kemerdekaannya dari ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada tanggal 1 Juli
1971, Nicolas Jouwe beserta dua komandan OPM, Seth Jafeth Raemkorem dan Jacob
Hendrik Prai, mengibarkan bendera Bintang Kejora yang menjadi simbol gerakan OPM.
Meskipun sempat dianggap telah berhasil ditumpas oleh presiden Soeharto
(Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia 2003), pada kenyataannya Organisasi
Papua Merdeka masih terus melancarkan berbagai kegiatannya dalam rangka
memisahkan diri dari pangkuan ibu pertiwi. Hal ini terbukti melalui berbagai upaya
pengibaran bendera Bintang Kejora dalam berbagai kesempatan oleh serta teror yang
dilancarkan demi memperkeruh suasana di alam masyarakat.
Dengan kekayaan alam yang begitu melimpah, termasuk sebagai pemilik
cadangan emas terbesar di dunia, bukanlah sesuatu yang mengejutkan apabila banyak
kepentingan yang menghiasi situasi dan kondisi di Papua. Oleh karena itulah, fenomena
nyata terjadinya paradox of plenty dapat dipahami secara singkat melalui ketidakpuasan
masyarakat Papua terhadap tindakan pemerintah pusat yang terus mengeksplorasi
kekayaan alam mereka namun tidak menerima dampak pembangunan yang signifikan.
-
7
Menilik perkembangan gerakan separatis di Indonesiahingga saat ini, dapat disimpulkan
bahwa gerakan separatis di Indonesia berkembang sebagai efek dari ketidakpuasan akan
pemerataan pembangunan antara pusat dan daerah.
c. Sejarah Singkat Diplomasi Indonesia
Sebagai negara yang berdaulat, Indonesia tentu menjalin hubungan diplomatic
dengan negara-negara lain dalam rangka berupaya mencapai atau memenuhi tujuannya.
Pengakuan (recognition) negara lain terhadap Indonesia sebagai negara yang berdaulat
pun menjadi landasan bagi kekuatan diplomasi Indonesia. Meskipun merdeka pada
tahun 1945, kapasitas diplomasi Indonesia tidak dimulai hingga lima tahun kemudian
(Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia).
Pada tahun 1950 ini, perwakilan otoritas Indonesia mengunjungi Pakistan untuk
memberikan penghargaan kepada prajurit Pakistan yang telah memberikan dukungan
dalam perlawanan terhadap tentara kolonial Belanda. Inisiasi pembangunan kekuatan
diplomasi Indonesia pun memasuki tahap baru ketika Indonesia resmi diterima menjadi
anggota organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations yang ke-60 pada
bulan September di tahun yang sama. Peran Indonesia pun semakin terlihat setelah
menjadi tuan rumah bagi Konferensi Asia Afrika pertama yang diadakan pada tahun
1955 di Bandung (Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia).
Setahun selepas Konferensi Asia Afrika, untuk pertama kalinya, pada tahun 1956
(Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia), Indonesia mengirimkan pasukan
garuda untuk ikut serta berpartisipasi dalam pasuka perdamaian PBB yang ditempatkan
di Gunung Sinai, Timur Tengah. Dua tahun berselang, Indonesia dan Jepang pun
mencapai kesepakatan dalam bentuk penandatanganan perjanjian perdamaian di antara
kedua negara.
Salah satu catatan tak terlupakan dalam sejarah diplomasi Indonesia adalah
keputusan memutus hubungan diplomatik dengan Belanda pada tahun 1960. Ketika itu,
presiden Soekarno berpidato di hadapan Majelis Umum (General Assembly) PBB
sembari menyatakan persengketaan kepemilikan Irian Barat sebagai alasan pemutusan
hubungan diplomatik dengan Belanda. Setahun kemudian, dalam Konferensi Tingkat
Tinggi I Gerakan Nonblok, Indonesia menyatakan bahwa Irian Barat adalah bagian dari
NKRI dan harus dibebaskan dari pendudukan asing.
Pada tahun 1963, hubungan diplomatik Indonesia dengan negeri jiran, Malaysia,
meamanas akibat pembentukan Federasi Malaysia di wilayah Kalimantan Utara. Tensi
-
8
yang tinggi di antara kedua negara pun bahkan memicu penarikan perwakilan
diplomatik Indonesia bagi PBB setelah Malaysia diterima menjadi anggota. Tiga tahun
kemudian, hubungan diplomatik kedua negara pun kembali dipulihkan.
Perjalanan diplomasi Indonesia tidak berhenti sampai di situ. Pada tahun 1977,
Indonesia berkontribusi langsung dalam upaya perwujudan perdamaian dunia melalui
terpilihnya Letnan Jenderal TNI Rais Abin menjadi Panglima United Nations
Emergency Forces (UNEF) II di samping pengangkatan Dr. Soedjatmoko, cendekiawan
nasional, sebagai Rektor Universitas Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berlokasi di
Tokyo. Tahun 1984, Presiden Soeharto menerima kunjungan dari Ketua Palestine
Liberalization Organization (PLO), Yasser Arafat. Lima tahun berselang, pada 1989,
Indonesia dan Australia menandatangani perjanjian yang menegaskan pengakuan
Australia atas integrasi Timor Timur (East Timor) sebagai bagian dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Bahkan pada tahun 1994, salah satu tokoh terbaik diplomasi
Indonesia, Ali Alatas, yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri,
menyerukan dengan lantang reformasi terhadap PBB dan Dewan Keamanan PBB di
hadapan Majelis Umum.
Hingga saat ini, Indonesia terus aktif dalam proses perdamaian dunia melalui meja
perundingan atau proses diplomasi. Sejarah panjang diplomasi Indonesia yang masih
terus berlanjut bahkan sampai hari ini menegaskan kembali bahwa Indonesia memiliki
signifikansi di dalam peta pergaulan global. Semua ini senada dengan cita-cita bangsa
untuk ikut serta dalam mewujudkan perdamaian abadi; sebagaimana termaktub dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
4. Hipotesis
Seumpamanya dianalogikan melalui peribahasa di mana ada gula, di sana ada semut,
Indonesia bisa jadi merupakan negara yang menjadi metafora dari gula yang begitu
manis sehingga menarik perhatian banyak pihak sebagaimana gula menarik perhatian
para semut. Bagaimana tidak, menurut Cantori dalam artikelnya mengenai subordinate
system, Indonesia adalah negara yang memiliki sumber daya alam sangat melimpah.
Bahkan dalam konsep subordinate system di Asia Tenggara, Indonesia dapat dikatakan
menjadi negara core atau negara inti; negara-negara yang memiliki potensi kemandirian
pemenuhan kebutuhan di atas rata-rata negara lainnya. Kemandirian Indonesia sebagai
negara tentu tidak serta merta dating begitu saja, melainkan lahir melalui suatu proses
panjang yang ditopang oleh melimpahnya sumber daya alam yang dimiliki. Hal ini
-
9
menarik karena Singapura, misalnya, malah terkategorikan sebagai negara periphery
yang memiliki ketergantungan tinggi untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya.
Meskipun begitu, limpahan sumber daya alam yang dimiliki oleh Indonesia tidak
selalu hanya menjadi sebuah keuntungan atau privilege. Sumberdaya alam yang begitu
melimpah membuat pemerintah kesulitan mengelola seluruh potensi yang ada sendirian;
sehingga muncullah pihak-pihak asing sarat kepentingan ekonomi sebagai rekan
kerjasama dalam pengelolaan kekayaan alam, terutama di sektor pertambangan. Hal
inilah yang bisa jadi menjadi penyebab mengapa Indonesia rentan diganggu oleh
konflik-konflik vertical maupun horizontal; karena masyarakat merasa bahwa
eksploitasi kekayaan sumber daya alam gagal memenuhi kebutuhan masyarakat akan
pembangunan secara merata.
Memahami gerakan separatis sebagai sebuah efek dari paradox of plenty, dalam
tulisan ini dianalisis bagaimana elevasi gerakan separatis berpengaruh terhadap
kekuatan diplomasi Indonesia. Dengan pendekatan kausalitas, diyakini bahwa sebagai
efek dari fenomena paradox of plenty, gerakan separatis merugikan Indonesia bukan
hanya karena mengancam integritas nasional, namun juga karena berpotensi merelegasi
kepercayaan masyarakat internasional terhadap kapasitas diplomasi Indonesia.
-
10
BAB II
PEMBAHASAN
1. Gerakan Separatis di Indonesia sebagai Efek dari Paradox of Plenty
Persatuan dan kesatuan nasional Indonesia dewasa ini dihadapkan pada berbagai
problematika yang terindikasi pada terjadinya konflik-konflik horizontal dengan
kekerasan. Gerakan separatis merupakan bukti nyata atas adanya suatu kegagalan yang
notabene muncul dari faktor kurang baiknya mekanisme penyelesaian permasalahan
politik di negeri ini. Pergolakan sosial yang terjadi di Aceh, Maluku, dan Papua,
merupakan akumulasi dari permasalahan-permasalahan yang beragam, termasuk sosial
dan ekonomi, yang kemudian bermuara kepada permasalahan politik. Dengan kata lain,
munculnya gerakan separatis terkait dengan kegagalan pemerintah NKRI dalam
melakukan sinkronisasi kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah. Hal ini kemudian
dapat memanifestasi konflik vertikal, yakni konflik antara elit pemegang otoritas pusat
di Indonesia dengan masyarakat suatu daerah (Nielsen 2002).
Miris memang, gerakan separatis muncul di Indonesia; negara yang faktanya kaya
akan sumber daya alam. Pergolakan-pergolakan sosial yang tampak ke permukaan
merupakan akibat dari fenomena paradox of plenty; sebuah paradoks tentang
bagaimana keberlimpahan sumber daya alam di suatu negara justru malah semakin
memperburuk kesejahteraan rakyatnya.
Ada dua faktor penyebab munculnya gerakan separatis di Indonesia, yakni faktor
internal dan faktor eksternal (Griffiths 2008). Faktor internal merupakan faktor yang
datangnya dari dinamika sosial dan politik dalam negeri, sedangkan faktor eksternal
merupakan faktor yang berasal dari pihak asing, yakni adanya intervensi. Fenomena
paradox of plenty merupakan fenomena yang erat kaitannya dengan faktor internal yang
umumnya lebih menekankan pada kajian historis; di mana ada beberapa alasan sejarah
yang melatarbelakangi terbentuknya gerakan separatis. Pada umumnya, akibat dari
perasaan adanya ketidakadilan, kesejahteraan yang tidak merata, intimidasi oleh aparat
pemerintah, dan janji-janji pemerintah pusat yang tidak terealisasi.
Jika ditelaah lebih dalam, faktor utama terbentuknya OPM (Organisasi Papua
Merdeka), misalnya, adalah adanya eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya
alam di Papua. Sebagai wilayah yang memiliki global positioning yang baik, menjadi
sasaran beberapa perusahaan multinasional asing untuk mengeruk sumber daya alam
Indonesia bagi kepentingan negaranya sendiri. Rakyat Papua pun mulai mengetahui
-
11
bahwa di bawah kaki mereka tersimpan kekayaan alam yang berlimpah, namun keadaan
mereka sendiri tidak pernah membaik, tetap miskin, dan terbelakang. Fakta
menunjukkan bahwa potensi tanah Papua lebih banyak memperkaya pihak asing dengan
proporsi yang lebih sedikit kepada pemerintah Indonesia, dan lebih sedikit lagi kepada
rakyat Papua sendiri. Freeport-McMoran Copper & Gold Corp misalnya, menguasai
81,28% produksi emas Papua dan sisanya dimiliki oleh raksasa pertambangan Inggris
dan Australia, Rio Tinto (Freeport-McMoran Copper & Gold 2011).
Dominasi asing dalam pengeksploitasian hasil bumi di Indonesia merupakan
akibat dari lemahnya kontrol yang dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia atas
pengelolaan sumber daya alam. Dengan semakin berkembangnya otonomi daerah,
pemerintah pusat seperti kehilangan kontrol atas otoritas pemerintah daerah Papua.
Proses negosiasi lebih banyak dilakukan antara perusahaan asing dengan pemerintah
daerah Papua, bukan pemerintah pusat Republik Indonesia. Buktinya, begitu banyak
ditemukan Izin Usaha Pertambangan atau IUP yang dikeluarkan pemerintah daerah
untuk kepentingan perusahaan pertambangan (Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral Republik Indonesia 2011). Banyak di antara izin-izin yang dikeluarkan ini
adalah izin yang dipalsukan oleh pemerintah daerah. Namun, saat ini, Direktorat
Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tidak
menerima lagi data Izin Usaha Pertambangan setelah adanya rekonsiliasi nasional data
IUP, guna menghindari eksploitasi sumber daya alam Indonesia yang akan merugikan
negara.
Melihat fenomena ini, dapat dikatakan bahwa terkadang pelaksanaan
pembangunan di Indonesia terlalu menekankan pendekatan sektoral dan juga terpusat,
di samping lemahnya kontrol atas pemerintah daerah. Akibatnya, masyarakat daerah
tereksploitasi sehingga terjadi akumulasi keresahan dan ketidakpuasan atas terancamnya
kesejahteraan mereka, yang pada akhirnya menimbulkan gerakan-gerakan separatis.
Gerakan separatis ini ditujukan agar daerah tereksploitasi dapat memisahkan diri dari
NKRI, sehingga proporsi hasil kekayaan alam daerah tersebut lebih banyak dinikmati
oleh daerah tanpa ada distribusi yang lebih besar kepada pemerintah pusat Indonesia.
Selain itu, munculnya gerakan separatis di Indonesia merupakan bukti atas krisis
multidimensi, yakni masalah ekonomi yang berimplikasi pada masalah politik.
Paradoks antara kekayaan alam Indonesia dengan tingkat kesejahteraan yang
justru jauh dari kata ideal menunjukkan bahwa sumber daya alam Indonesia justru
banyak dieksploitasi oleh negara lain. Keadaan ini jelas merugikan masyarakat
-
12
Indonesia karena masyarakat yang seharusnya mendapat kesejahteraan dari sumber
daya tersebut justru berada dalam bayangan kemiskinan. Paradox of Plenty yang terjadi
di Indonesia rawan melahirkan gerakan separatis atau gerakan pemisahan diri dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Daerah-daerah yang merasa memiliki sumber
daya alam yang besar akan merasa dirugikan karena kekayaan alam mereka justru
digunakan bukan untuk kesejahteraan rakyat mereka.
Contoh dari gerakan separatis yang muncul sebagai akumulasi ketidakpuasan
masyarakat atas pengelolaan kekayaan alam oleh pemerintah pusat, misalnya, dapat
terlihat jelas dalam gerakan Organisasi Papua Merdeka. Gerakan separatis di Papua ini
dipandang sebagai akibat dari kegagalan Indonesia dalam melakukan pembangunan
yang merata meskipun memiliki anugerah kekayaan alam yang begitu melimpah,
sehingga tak heran Daoed Joesoef pernah menuliskan bahwa (Kompas 2012, h. 6):
...Adalah logis Indonesia menjadi negara gagal karena sejak penyerahan kedaulatan nasional dari Belanda ke Indonesia tidak pernah ada usaha kolektif berupa pembangunan nasional yang sistematik, koheren, konsisten, terarah, dan kontinu. Yang selama ini dilakukan oleh penguasa Negara silih berganti adalah pembangunan bidang ekonomi berdasarkan resep penalaran ekonomika, Bank Dunia, IFM, dan lembaga finansial internasional lainnya. Kedua usaha ini memang saling terkait, tetapi jelas berbeda secara fundamental dalam tujuan dan ukuran suksesnya.
Agaknya, pemerintah Indonesia lupa akan pentingnya pemerataan pembangunan di
setiap daerah. Pemerintah seolah lebih fokus pada pertumbuhan ekonomi dan
melupakan pemerataan pertumbuhan itu melalui pembangunan yang berkelanjutan.
Kesalahan ini yang akan membuat subur benih-benih separatisme di Indonesia. Jika
Indonesia terus melupakan pembangunan nasional dan pemerataan pembangunan, bisa
saja anak-cucu kita tidak akan mengenal kembali negara yang bernama Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
2. Gerakan Separatis sebagai Tantangan bagi Diplomasi Indonesia
Dengan keberadaan gerakan separatis yang terus mengancam integritas nasional dimulai
semenjak masa pascakemerdekaan Republik Indonesia, Indonesia menemui banyak
tantangan dalam melaksanakan upaya penyelesaian; bahkan terkadang hingga
melibatkan pihak asing sebagai mediator. Indonesia merupakan satu dari sekian banyak
negara yang membutuhkan bantuan pihak asing dalam menyelesaikan konflik dalam
-
13
negeri, terutama dalam upaya menumpas separatisme. Bantuan asing inilah yang pada
tahun 2005 lalu, melalui MoU Helsinki, memungkinkan perdamaian dengan Gerakan
Aceh Merdeka.
Upaya membawa konflik Aceh ke dunia internasional sudah muncul sejak masa
pemberontakan Daud Beureuh pada September 1953. Bahkan setahun berselang, Hasan
Tiro, salah satu pemimpin tertinggi GAM, berupaya agar isu Aceh masuk ke dalam
agenda sidang PBB, namun gagal terealisasi (El Ibrahimy 2001). Sama halnya di era
presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri, penanganan separatisme
Aceh diupayakan kembali untuk diselesaikan di meja perundingan internasional. Pada
masa pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid, misalnya, konflik Aceh mulai
menjadi sorotan masyarakat internasional dengan diinisiasikannya perundingan dengan
pihak GAM dengan mediasi dari organisasi Henry Dunant Center (HDC) pada
Desember 1999. Saat itu, HDC merupakan lembaga mediasi yang relatif masih baru
berdiri dan belum memiliki pengalaman mumpuni dalam proses penyelesaian konflik.
Meski begitu, pemerintah RI maupun GAM setuju untuk menunjuk HDC sebagai
mediator konflik dengan segala pertimbangannya. Keterlibatan HDC dalam mendukung
upaya pemerintah Indonesia untuk membawa konflik Aceh ke meja diplomasi ini,
ditanggapi oleh Kira Kay (2003, h. 5) sebagai berikut:
HDC approached both the RI and the exiled GAM leadership of Hasan Di Tiro. Di Tiro was fairly easy to convince; no international body had ever recognized GAM's claim of Acehnese sovereignty; although HDC wasn't officially recognizing them either, just being asked to the negotiating table bestowed a level of credibility on the rebel movement that 25 years of conflict had not. Bringing RI to the table was a bit more difficult. President Wahid was clearly interseted in solving the Aceh crisis; the conflict had strained his military resources, and risked garnering the
same level of international criticism as abuses in East Timor had.
Dengan banyaknya upaya-upaya diplomasi yang diusahakan pemerintah RI dalam
menyelesaikan konflik separatis, dapat disimpulkan bahwa penyelesaian konflik di
dalam negeri memiliki ketergantungan yang cukup signifikan terhadap keterlibatan
pihak asing sebagai pihak ketiga yang netral. Upaya-upaya tersebut dapat digambarkan
sebagai suatu konsep intermestik (Stubbs 2005); suatu cara pembuatan kebijakan politik
luar negeri yang berupaya untuk mendekatkan jarak antara faktor internasional dan
domestik. Melalui perspektif intermestik ini, pelaksanaan politik luar negeri dan
diplomasi harus mampu menjadi ujung tombak yang memperjuangkan kepentingan
-
14
nasional sekaligus mengomunikasikan perkembangan dunia luar ke dalam negeri.
Dengan kata lain, suatu negara harus mampu menginternasionalisasikan kepentingan
domestiknya sekaligus mendomestifikasikan kepentingan luar negerinya. Hal inilah
yang kemudian menjadi tantangan bagi diplomasi pemerintah Republik Indonesia di
meja internasional dalam menyelesaikan konflik domestik; tantangan untuk menjalin
diplomasi dengan pihak asing tanpa harus mengompromikan kepentingan nasional.
Tindakan separatis dan keinginan memisahkan diri dari negara kesatuan RI
bukanlah gagasan yang berdiri sendiri, namun sarat akan faktor keadilan sosial politik
dan kesejahteraan ekonomi. Di era globalisasi ini, upaya untuk dapat berdiri sendiri
sebagai negara baru bukanlah hal yang mudah; terlebih karena membutuhkan
pengakuan internasional yang luas serta pembangunan infrastruktur politik dan
kenegaraan yang begitu besar dalam rangka mempertahankan eksistensinya di tatanan
global. Oleh karena itu, dalam upaya mempertahankan integrasi Negara Kesatuan
Republik Indonesia, perlu adanya sinkronisasi antara kebijakan politik dalam negeri dan
politik luar negeri secara strategis, termasuk dalam upaya penyelesaian masalah-
masalah gerakan separatis.
3. Peran Indonesia dalam Upaya Perdamaian Global melalui Diplomasi
Sebagaimana termaktub di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, Indonesia
sangat mendukung pencapaian keamanan dunia atau perdamaian global. Hal ini
tergambar dari beberapa intisari pemikiran yang dikandung oleh aline ke-4, yaitu:
Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; Memajukan kesejahteraan umum; Mencerdaskan kehidupan bangsa; Melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial.
Upaya mewujudkan cita-cita ini tercermin dalam kegiatan diplomasi Indonesia yang
terbentang panjang. Demi melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah, misalnya, pemerintah Indonesia dengan berani memutus hubungan diplomatik
dengan Belanda pada tahun 1960 ketika terjadi perebutan kepemilikan wilayah Irian
Barat yang merupakan bagian dari ibu pertiwi.
-
15
Di era perang dingin, Indonesia bersama beberapa negara lain menginisiasi
diadakannya organisasi Gerakan Non-Blok melalui Konferensi Tingkat Tingi I Gerakan
Nonblok pada tahun 1961 dalam rangka menyatukan kekuatan untuk mencapai
perdamaian tanpa harus memihak pada blok barat maupun blok timur.
Sebagaimana ditetapkan oleh Konvensi Montevideo 1933 (Sorensen & Jackson
2009), syarat berdirinya sebuah negara adalah harus memiliki wilayah yang jelas,
penduduk, kedaulatan ke dalam, dan pengakuan negara lain (kedaulatan ke luar).
Keempat syarat ini adalah syarat-syarat yang penting bagi kelangsungan sebuah negara.
Suatu negara tidak akan berjalan baik apabila pemerintahnya tidak memiliki kedaulatan
ke dalam karena pemerintahnya tidak akan mampu mengatur jalannya negara dengan
aturannya. Begitu juga apabila negara tersebut kehilangan wilayahnya, baik keseluruhan
maupun sebagian. Negara yang wilayahnya terancam akan terganggu stabilitasnya.
Penduduk juga menjadi kunci penting sebuah negara karena negara adalah kumpulan
dari penduduk. Namun, pengakuan dari negara lain adalah kunci sebuah negara untuk
memenuhi kebutuhannya, meskipun keempat faktor ini sebenarnya sama-sama penting.
Indonesia sendiri dikenal dengan kebijakan politik luar negeri yang bebas aktif.
Dengan slogan ini, Indonesia melakukan hubungan diplomatik dengan semua negara
tanpa terkecuali sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945.
Gerakan separatis yang muncul di dalam negeri membuat keamanan dan
pertahanan Indonesia mengalami kerawanan. Saat terjadi pemberontaka oleh Gerakan
Aceh Meredeka (GAM), pemerintah mengadakan perubahan struktur kebijakan luar
negeri, karena menyadari bahwa GAM memiliki sumber dukungan dari beberapa pihak
asing. Tentu saja, hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara yang
mendukung GAM tidak akan berjalan mulus. Bahkan pemerintah Indonesia akan
melakukan penyesuaian terhadap kebijakan luar negeri yang dianggap tidak sesuai
dengan situasi keamanan yang rawan, misalnya, pada masa pemerintahan presiden
Megawati; seperti diungkapkan oleh Kai He (2005, h. 65):
Megawati changed the high-profile external balancing policy under Wahid to a low-profile neighbor-first policy. Learning from Wahids failure, Hassan Wirayuda, the new foreign minister under Megawatis administration, recognized that it will be very difficult to launch many initiatives with the current fragile stability [domestically]. Therefore, Megawatis priority was domestic stability, and the importance of foreign policy was downgraded.
-
16
Semenjak berakhirnya Perang Dunia II, penyelesaian konflik lewat jalan kekerasan dan
perang sebenarnya mulai ditinggalkan. Konflik-konflik internal maupun eksternal
banyak diselesaikan melalui langkah diplomasi yang damai. Namun, dalam proses
penyelesaian konflik-konflik tersebut, jarang sekali titik temu dicapai dalam proses
negosiasi antardua pihak yang bertikai. Dalam hal ini, mediator diperlukan dalam
melaksanakan perannya untuk menyelesaikan konflik (Zartman 2007, h. 64).
Indonesia pun merupakan negara yang banyak memainkan peran dalam proses
resolusi konflik internal beberapa negara lain dalam catatan sejarahnya. Pada masa itu,
peran mediasi Indonesia begitu krusial dan mendapatkan banyak tanggapan baik dari
pihak asing, karena mediasi yang dilakukan Indonesia menemui keberhasilan. Salah
satu konflik negara sahabat yang pernah ditangani Indonesia, misalnya, adalah konflik
internal di Kamboja pada era 1950-an.
Konflik internal Kamboja ini pada awalnya dipicu oleh bangkitnya pergolakan
dan besarnya friksi ketegangan politik dalam negeri Kamboja sendiri. Norodom
Sihanouk, yang diangkat sebagai Pangeran Kamboja sejak tahun 1951, untuk pertama
kalinya mendeklarasikan politik luar negeri Kamboja sebagai negara yang netral.
Maksudnya, Kamboja berusaha untuk tidak terlibat dalam perang Vietnam yang ketika
itu tengah berkecamuk (Tully 2006, h. 177). Alih-alih mendatangkan respon baik,
keputusan tersebut ternyata malah memancing reaksi negatif dari para petinggi militer
Pangeran Sihanouk yaitu Jenderal Lon Nol yang berhaluan sangat pro-Amerika Serikat.
Ketika Pangeran Sihanouk tengah melakukan kunjungan ke Moskow pada pertengahan
tahun 1970, Jenderal Lon Nol berhasil mengambil kesempatan untuk menggulingkan
Sihanouk dari tampuk kepemimpinan. Sihanouk kemudian memilih untuk
mengasingkan diri di Beijing dan memutuskan untuk beraliansi dengan kelompok
Khmer Merah (Cambodia Organization 2013), partai revolusioner Kamboja yang
berideologikan komunis. Pembentukan aliansi ini ditujukan oleh Pangeran Sihanouk
untuk menentang pemerintahan Lon Nol demi merebut kembali tahtanya.
Pada tahun 1975, Partai Khmer Merah di bawah pimpinan Pol Pot berhasil
menggulingkan Lon Nol dan mengubah sistem pemerintahan kerajaan menjadi
Republik Demokratik Kamboja (Democratic Kampuchea) di bawah pimpinan Pol Pot.
Akan tetapi, semasa kepemimpinan Pol Pot, Kamboja terperosok dalam tragedi
mengenaskan akibat dijalankannya program Cambodia the Year Zero oleh partai Khmer
Merah; suatu program besar-besaran menjadikan Kamboja sebagai negara agraris, yang
-
17
malah membawa petaka dengan sedikitnya tiga juta rakyat Kamboja mati akibat
kelaparan, wabah penyakit, serta penindasan politik dan militer.
Di penghujung tahun 1978, mulailah konflik internal Kamboja meluas akibat
intervensi yang dilakukan oleh negara tetangganya, Vietnam. Pada masa itu, terjadi
bentrokan di perbatasan antara rezim Khmer Merah dengan Vietnam. Dalam periode
yang sama, juga terjadi pembantaian orang-orang keturunan Vietnam di Kamboja,
sehingga Vietnam menyerbu Kamboja dengan tujuan untuk menghentikan genosida
besar-besaran tersebut. Pada tahun 1979, Vietnam melakukan invasi ke Kamboja dan
berhasil menggulingkan rezim Khmer Merah. Vietnam pun kemudian mendirikan rezim
baru di Kamboja di bawah kepemimpinan Heng Samrin sebagai kepala negara.
Pembentukan pemerintahan baru ini ditentang keras oleh Kaum Nasionalis Kamboja,
salah satunya Pangeran Norodom Sihanouk. Sihanouk kemudian membentuk kelompok
perlawanan yang dikenal sebagai Coalition Government of Democratic Kampuchea
(CGDK) yang terdiri dari kelompok Khmer Merah yang baru saja ditumbangkan oleh
Vietnam, yakni Front Uni National pour un Cambodge Independent, Khmer People
Liberation Front (KPNLF) di bawah pimpinan Son Sann, serta Neutre Pacifique et
Cooperatif (FUNCINPEC) di bawah pimpinan Pangeran Sihanouk sendiri. Begitulah,
pemberontakan terus muncul dan terjadi selama beberapa dekade lamanya tanpa ada
penyelesaian dari pemerintah internal kedua belah pihak yang bersengketa.
Melihat konflik yang terus berkepanjangan antara Kamboja dan Vietnam,
Indonesia sebagai salah satu pendiri Asean, berinisiatif untuk memulai proses mediasi
demi menyelesaikan konflik tersebut. Indonesia yakin bahwa jalur diplomasi
merupakan jalur yang terbaik dalam menyelesaikan konflik antara kedua negara yang
saling bertetangga itu, apalagi sejak tahun 1967, Asean telah muncul sebagai organisasi
regional yang besar meskipun pada masa itu, Kamboja belum menjadi anggota Asean.
Pada akhirnya, konflik internal ini membutuhkan campur tangan pihak luar untuk
diselesaikan, karena jika terus-menerus berlangsung maka akan mengancam perdamaian
dan keamanan internasional (Cipto 2007, h. 6061).
Dalam perjalanannya, Indonesia menjadi negara yang berperan penting dalam
upaya penanganan konflik Kamboja. Hal ini terbukti dengan diadakannya pertemuan-
pertemuan tingkat Asean untuk membicarakan mengenai penyelesaian konflik dan
rekonsiliasi di Kamboja, yang diinisiasi oleh Indonesia pada tahun 1984. Alhasil,
negara-negara di Asean pun memutuskan untuk memilih Indonesia sebagai interlocutor
antara Asean dan Vietnam dalam pertemuan tersebut. Interlocutor sendiri adalah
-
18
fasilitator khusus bagi pertemuan atau percakapan untuk membahas topik tertentu yang
sedang penting untuk dibahas (Schiappa 1998).
Pada masa puncak konflik Kamboja dan Vietnam, Mochtar Kusumaatmadja, yang
ketika itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, sangat berperan
banyak dalam navigasi diplomasi Indonesia sebagai interlocutor konflik Kamboja
dengan Vietnam. Beliau pada saat itu mengundang para pihak terkait yang terlibat
dalam pertikaian untuk duduk bersama di meja perundingan, dan mengusulkan agar
pertemuan yang dimaksud harus diadakan di tempat yang netral seperti Indonesia.
Tujuannya adalah agar pihak-pihak yang saling bertikai merasa bebas dalam
membicarakan masalah Kamboja dan masa depannya. Kemudian, pada masa jabatan
Menlu Mochtar, Indonesia berhasil meyakinkan Vietnam untuk dapat turut
berpartisipasi dalam Ho Chi Minh City Understanding, yakni perundingan antara
Vietnam dengan faksi-faksi yang bertikai di Kamboja.
Perjalanan diplomasi Indonesia tidak terhenti begitu saja setelah Menlu Mochtar
Kusumaatmadja mengakhiri masa jabatannya sebagai Menteri Luar Negeri RI dan
digantikan oleh Ali Alatas. Menlu Ali Alatas melanjutkan kiprah diplomasi perdamaian
yang diusung Indonesia lewat inisiasinya untuk mengadakan pertemuan informal di
Jakarta dengan tujuan menyelesaikan konflik internal Kamboja. Awalnya, ajakan ini
kurang mendapat dukungan dari jajaran Menteri Luar Negeri negara anggota Asean.
Namun, berkat serangkaian kunjungan dan negosiasi yang dilakukan oleh Menlu Ali
Alatas, Indonesia pun akhirnya memeroleh dukungan kuat dari masyarakat internasional
untuk mengadakan Jakarta Informal Meeting (JIM) I tahun 1988. Indonesia, yang
berperan sebagai mediator, untuk pertama kalinya berhasil mempertemukan masing-
masing faksi yang bertikai di Kamboja melalui pertemuan tersebut. JIM I dilanjutkan
oleh Jakarta Informal Meeting (JIM) II. Tidak terhenti sampai di situ, Indonesia
kemudian membawa kasus konflik ini ke hadapan Dewan Keamanan PBB; hingga
akhirnya, pada tahun 1991, proses perdamaian konflik di Kamboja pun menemui titik
akhir lewat The Paris International Conference on Cambodia (PICC). Konferensi ini
diketuai oleh Indonesia dan Prancis sebagai chairs. Hasil dari konferensi ini adalah
ditandatangani perjanjian mengakhiri konflik di Kamboja.
Kiprah diplomasi Indonesia sebagai mediator konflik ini pun tidak terhenti setelah
perjanjian damai Kamboja ditandatangani. Beberapa tahun setelah Indonesia mengetuai
konferensi Paris, tepatnya pada tahun 1993, Indonesia kembali menjadi fasilitator dalam
pertemuan informal di Cipanas, Bogor, untuk menyelesaikan konflik di Filipina Selatan.
-
19
Konflik di Filipina Selatan ini bermula dari pemberontakan yang dilakukan Front
Pembebasan Nasional Moro. Mereka merupakan kelompok etnis yang mayoritas
beragama muslim dan bersikukuh ingin merdeka dari penindasan yang dilakukan oleh
pemerintah nasional Filipina yang mayoritas adalah kaum Nasrani (Suryo 2012).
Pada awalnya, perdamaian di Filipina Selatan merupakan inisiatif dari Organisasi
Konferensi Islam (OKI). Namun, OKI menyelesaikan konflik tersebut di meja
perundingan melalui cara-cara yang koersif (Mungara 2011, h. 218), sedangkan pada
tahun 1993, inisiatif perdamaian oleh Indonesia dan terlibatnya Indonesia dalam
penanganan konflik Filipina membuahkan hasil melalui tercapainya persetujuan damai
pada tahun 1996 yang menyepakati keberadaan Autonomous Region of Muslim
Mindanao (ARMM).
Kiprah diplomasi Indonesia yang malang melintang dalam penyelesaian konflik di
negara-negara lain di satu sisi menjadi suatu kebanggaan kita sebagai warga negara
Republik Indonesia yang mendukung perdamaian dunia, sesuai dengan jati diri bangsa
Indonesia dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Namun, di sisi lain, kiprah
diplomasi Indonesia sebagai mediator dalam beberapa konflik negara lain menimbulkan
tanda tanya besar: mengapa konflik internal di dalam negara sendiri cenderung berlarut-
larut? Memang, peran pihak asing dapat dibutuhkan dalam upaya penyelesaian konflik
di negara manapun. Namun, hal tersebut bukan berarti pemerintah negara sendiri
menutup mata dan tidak ingin turut campur dalam konflik internal Indonesia. Jika
diplomasi ke luar Indonesia bisa menjadi macan, seharusnya di negeri sendiri
pemerintah Indonesia bisa menjadi macan pula bagi rakyatnya. Jangan sampai malah
Indonesia menjadi agen perdamaian internasional yang bahkan tidak memiliki
kedamaian di dalam negerinya sendiri.
4. Memberantas Gerakan Separatis untuk Memperkuat Diplomasi Indonesia
Gerakan separatis yang tumbuh kembang menjadi salah satu penghambat bagi
Indonesia ketika ingin menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain. Saat terjadi
pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), misalnya, hubungan diplomatik
Indonesia dengan Finlandia dan Swedia terganggu karena Finlandia menentang konflik
yang berlangsung. Namun, ketika GAM memberikan titik terang untuk mau berunding
dengan Indonesia masalah perdamaian, hubungan diplomatik Indonesia dengan
keduanya pun kembali lancar. Selain itu, Indonesia juga sempat mengalami gangguan
hubungan diplomatik dengan Australia saat terjadi gerakan pemisahan diri Timor Leste.
-
20
Di samping mengganggu keberlangsungan hubungan diplomatik antara Indonesia
dengan negara lain, keberadaan gerakan separatis juga tentunya rentang menimbulkan
gangguan terhadap stabilitas dalam negeri. Insecurity yang disebabkan oleh kemunculan
gerakan separatis inilah yang membuat urgensi pemberantasan gerakan separatis
menjadi sesuatu yang tidak lagi perlu diperdebatkan.
Dalam bagian-bagian sebelumnya, telah dijelaskan mengenai peran Indonesia
sebagai agen perdamaian dunia. Selama ini, masyarakat internasional terus memberikan
kepercayaan kepada Indonesia untuk terlibat dalam proses perdamaian internasional
karena memang catatan sejarah menunjukkan hasil yang cenderung positif. Akan tetapi,
kepercayaan masyarakat internasional tentunya bukanlah sesuatu yang akan terus
tumbuh tanpa batas; Indonesia harus membuktikan dari waktu ke waktu bahwa
Indonesia memiliki kapabilitas yang baik sebagai agen perdamaian melalui meja-meja
perundingan di bawah paying diplomasi.
Pemahaman ini menekankan bahwa kepercayaan masyarakat internasional
bukanlah sesuatu yang given, namun earned; dihasilkan melalui usaha yang nyata.
Apabila gerakan-gerakan separatis terus berkembang di dalam negeri, bukan tidak
mungkin kepercayaan masyarakat internasional terhadap kemampuan diplomasi
Indonesia akan terus luntur hingga kemudian diplomasi Indonesia pun kehilangan
reputasinya. Setidaknya, masyarakat internasional tentunya berasumsi: bagaimana
mungkin sebuah negara yang bahkan tidak mampu mewujudkan perdamaian di dalam
negerinya sendiri bisa ikut serta secara aktif dalam mewujudkan perdamaian dunia?
Memperkuat kekuatan diplomasi memang bukan hanya dilakukan melalui
peningkatan reputasi; melainkan melalui peningkatan kapabilitas yang bersifat terus-
menerus. Namun, keberadaan gerakan separatis sebagai gerakan subversif yang
mengancam integritas nasional membuatnya memiliki prioritas tersendiri. Pada intinya,
sudah semestinyalah pemerintah Indonesia mulai belajar memprioritaskan pembenahan
permasalahan-permasalahan domestik dibandingkan pembenahan isu-isu internasional.
Bukan berarti keduanya tidak bisa berjalan beriringan, namun dibutuhkan upaya nyata
untuk dapat menyukseskan keduanya tanpa mengorbankan salah satu.
-
21
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Sumberdaya alam Indonesia tersebar dari Sabang sampai Merauke juga dari Timor
sampai Rote. Sebagai negara yang begitu kaya akan sumber daya alam, mulai dari
minyak bumi, gas, emas dan barang tambang lain, hingga kekayaan biota yang hidup di
laut dan di darat, Indonesia tentu menjadi salah satu primadona di dalam tatanan global.
Faktor kekayaan alam Indonesia pulalah yang menjadikan Indonesia sebagai sasaran
kolonialisme Eropa dan imperialisme Jepang selama bertahun-tahun. Salah satu dari
tiga motif kaum imperialis, Gold, merupakan motif untuk mencari kekayaan. Indonesia
yang memiliki kekayaan sumber daya yang melimpah ditambah dengan beberapa faktor
lain seperti keramahan masyarakatnya, mengundang negara Eropa untuk mendapatkan
motif kekayaan dengan menjajah Indonesia.
Kesadaran akan adanya suatu keadaan paradoksal dalam aspek ekonomi juga
terlihat jika dilakukan analisis tindakan negara tujuan ekspor kekayaan alam Indonesia
setelah terjadi ekspor. Setelah Amerika Serikat, Jepang, China, dan negara lain
menerima kekayaan alam Indonesia, misalnya karet, mereka mengolahnya menjadi
barang olahan kemudian mengekspornya kembali ke Indonesia. Menurut Laporan
Neraca Pembayaran Bank Indonesia nilai impor barang olahan yang diimpor Indonesia,
misalnya suku cadang dan perlengkapan alat angkutan, mencapai $4.205.000.000 pada
periode yang sama (Bank Indonesia 2012, h. 16). Hal ini menunjukkan kesalahan
manajemen kekayaan alam, Indonesia melakukan ekspor kekayaan alam kemudian
melakukan impor barang olahan dengan harga yang lebih tinggi. Dalam bagian kecil
saja dari neraca perdagangan, bagian ekspor karet alam dan impor suku cadang, neraca
perdagangan Indonesia mengalami defisit $1.611.000.000 (Bank Indonesia 2012, h. 23).
Jumlah yang sangat besar. Hal yang sama sebenarnya terjadi juga pada komoditas
lainnya.
Oleh karena kerawanan dari keberadaan paradox of plenty, hubungan Indonesia
dengan negara lain dalam mencapai saling memenuhi kebutuhan tidak seharusnya
membuat Indonesia terjebak dalam dilema Paradox of Plenty. Tidak selamanya
Indonesia hanya menjadi core yang menyuplai barang-barang mentah kepada periphery
yang kemudian mengolahnya dan menjualnya kembali dengan harga yang lebih mahal
kepada kita. Kesalahan manajemen kekayaan alam Indonesia harus dibenahi. Hubungan
-
22
diplomasi Indonesia dengan negara tujuan ekspor harus dibuat lebih halus kembali.
Indonesia bisa memulai mengurangi ekspor bahan mentah dengan lebih banyak
memberikan insentif bagi pengusaha Indonesia untuk mengolah kekayaan alam
tersebut. Jika hal ini dapat dilakukan, Indonesia akan terbebas dari Paradox of Plenty
dan dapat menjalankan pembangunan nasional serta pemerataan pembangunan di
Indonesia.
Lebih lanjut, memahami gerakan separatis sebagai efek dari paradox of plenty
membutuhkan kerangka berpikir kausalitas, karena gerakan separatis boleh jadi tidak
selalu hadir sebagai hasil olahan proses politik ekonomi, namun bukan berarti dapat
dikesampingkan begitu saja. Apabila mempertimbangkan posisi Indonesia dalam proses
perdamaian global, maka urgensi penumpasan gerakan separatis di dalam negeri pun
menjadi jauh lebih tinggi karena berpotensi mendegradasi kepercayaan masyarakat
internasional terhadap kapasitas diplomasi Indonesia.
2. Saran
Salah satu titik temu yang dapat dijadikan pijakan analisis dalam merumuskan solusi
bagi isu yang ditimbulkan oleh paradox of plenty dan gerakan separatis sebagai dua hal
yang saling berkaitan adalah pemerataan pembangunan. Meskipun merupakan tugas
utama dari pemerintah, bukan berarti masyarakat tidak memiliki andil sama sekali.
Masyarakat juga mesti ikut menyukseskan kegiatan pemerataan pembangunan sehingga
hasil yang diperoleh pun lebih optimal. Berikut adalah beberapa saran yang dapat
dihasilkan melalui pembahasan mengenai gerakan separatis sebagai efek dari paradox
of plenty yang mengancam kemapanan diplomasi Indonesia.
a. Saran bagi Pemerintah
Dalam pengaturan ekspor, Indonesia harus lebih memprioritaskan ekspor barang olahan daripada bahan mentah; sehingga pemerintah mestilah meningkatkan
kapabilitas pengolahan bahan mentah dalam negeri dibandingkan terus-menerus
hanya menjadi pemasok bahan baku bagi produksi luar negeri;
Pembangunan di setiap daerah mestilah mendapatkan perhatian yang proporsional sehingga tercapai pemerataan pembangunan, terutama di pulau-pulau yang jauh
dari pusat pemerintahan negara karena seringkali terabaikan;
Pemerintah harus menjadikan gerakan separatis sebagai salah satu isu yang menjadi fokus untuk ditanggulangi. Keberadaan gerakan separatis yang terus
-
23
berkembang di dalam masyarakat berpotensi menajdi sumber kekacauan yang
mengganggu integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia;
Sejalan dengan upaya pemerataan pembangunan, pemerintah perlu mulai melakukan gerakan nasionalisasi yang rasional terhadap sektor-sektor pengelolaan
sumber daya alam yang potensial mendatangkan keuntungan besar bagi negara
daripada terus-menerus menyerahkan tanggung jawab pengelolaan kepada pihak
asing;
Pemerintah hendaknya senantiasa ikut serta secara aktif dalam upaya perwujudan perdamaian di berbagai wilayah di dunia sesuai dengan cita-cita bangsa untuk
mewujudkan perdamaian abadi.
b. Saran bagi Masyarakat
Masyarakat hendaknya senantiasa memperkuat rasa cinta tanah air dan sense of belonging terhadap bangsa Indonesia untuk menghindari kegiatan-kegiatan
subversif yang mengancam kesatuan negara seperti gerakan separatis;
Masyarakat mestilah mendukung upaya pemerintah dalam menjadi agen perdamaian melalui diplomasi karena sejalan dengan cita-cita bangsa;
Masyarakat harus secara aktif menuntut hak pembangunannya kepada pemerintah apabila dianggap terjadi ketimpangan pembangunan. Dengan begitu, diharapkan
ketidakpuasan akan kinerja pemerintah di sektor pembangunan dapat ditekan;
Masyarakat sudah semestinya ikut melestarikan dan memastikan bahwa kekayaan alam Indonesia menjadi hak milik ibu pertiwi sepenuhnya, bukan menjadi objek
eksploitasi pihak asing.
-
24
BIBLIOGRAFI
Bank Indonesia (2012) Laporan Neraca Pembayaran Bank Indonesia Triwulan I 2012
[WWW] Bank Indonesia. Diakses dari: http://www.bi.go.id [Diakses pada 22-03-
2013].
Cambodia Organization (t. t.) Khmer Rouge [WWW] Cambodia Organization. Diakses
dari: http://www.cambodia.org/khmer_rouge [Diakses pada 23-03-2013].
Cipto, Bambang (2007) Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong terhadap
Dinamika, Realitas, dan Masa Depan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia (2003) Kajian Resolusi Permasalahan
Papua dari Aspek Politik, Hukum, dan Pemerintahan. Yogyakarta: Universitas
Negeri Solo.
El Ibrahimy, M. Nur (2001) Peranan Teungku M. Daud Beureuh dalam Pergolakan
Aceh. Media Dakwah, h. 17.
Fah, Ridha Zain (2011) Gerakan Separatis sebagai Bentuk Perbuatan Makar yang
Mengancam Negara [WWW] ALSA Indonesia. Diakses dari: http://alsaindonesia.
org/site/gerakan-separatis-sebagai-bentuk-perbuatan-makar-yang-mengancam-
keutuhan-negara [Diakses pada 23-03-2013].
Freeport-McMoran Copper & Gold (2011) Annual Report [WWW] Freeport-McMoran
Copper & Gold. Diakses dari: http://www.fcx.com [Diakses pada 19-03-2013].
Griffiths, Ryan (2008) Globalization, Development, and Separatism: The Influence of
External and Internal Economic Factors on the Strategy of Separatism. Dalam:
APSA 2008 Annual Meeting, Hynes Convention Center, 28 Agustus. Boston,
Massachusetts.
He, Kai (2008) Indonesias Foreign Policy after Soeharto: International Pressure,
Democratization, and Policy Change. Oxford Journals of International Relations
in Asia Pacific, Vol. 8.
Joeseof, Daoed (2012) Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne.
Kompas, Kamis, 12 Juli, h. 6.
Kay, Kira (2003) The New Humanitarianism: The Henry Dunant Center and the Aceh
Peace Negotiations [WWW] Princeton University. Diakses dari: http://wws.
princeton.edu [Diakses pada 21-03-2013].
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia (2011) Proses dan
Verifikasi Izin Usaha Pertambangan Clear and Clear [PDF] APMC Indonesia.
-
25
Diakses dari: http://www.apmcindonesia.com/docs/verify/login/101012185261/
Materi%20Presentasi%20Day%202%2011%20Oct%202012%20%283%29/Sessi
on%208%20-%20Day%202/Nelyanti%20Siregar.pdf [Diakses pada 19-03-2013].
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (t. t.) Momen-Momen Penting dalam
Sejarah Diplomasi Indonesia [WWW] Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia. Diakses dari: http://kemlu.go.id/Pages/History.aspx?IDP=3&l=id [Diakses
pada 23-03-2013].
Mungara, S. (2011) Sovereign Sensitivities: The Impact of Nation-States as Mediators
in the Mindanao Conflict. Dalam: P. T. Hopman & William Zartman, Mindanao:
Understanding Conflict, h. 213223. Washington: Johns Hopkins University.
Nielsen, Mette Lindorf (2002) Questioning Acehs Inevitability: A Story of Failed
National Integration? [PDF] Global Politics. Diakses dari: http://www.global
politics.net/ essays/Lindorf_Nielsen.pdf [Diakses pada 19-03-2013].
Schiappa, Edward (1998) Constructing Reality through Definitions: The Politics of
Meaning [PDF] University of Minnesota. Diakses dari: http://writing.umn.edu/lrs/
assets/pdf/speakerpubs/Schiappa.pdf [Diakses pada 19-03-2013].
Schiffrin, Anya (2005) Covering Oil: Panduan Wartawan Meliput Energi dan
Pembangunan. New York: Open Society Institute.
Sinar Harapan (2002) Ekonomi RI Takkan Terganggu Putusnya Hubungan dengan
Swedia [WWW] Balai Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertahanan
Republik Indonesia. Diakses dari: http://www.balitbang.dephan.go.id/modules.
php?name=News&file=article&sid=3949 [Diakses pada 23-03-2013].
Sorensen, George & Jackson, Robert (2009) Pengantar Hubungan Internasional.
Jakarta: Pustaka Pelajar.
Starbuck, Rebeka (2001) Liputan Pers Indonesia tentang Gerakan Separatisme.
Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
Stubbs, Paul (2005) Stretching Concepts Too Far? Multilevel Governance, Policy
Transfer, and the Politics of Scale in South East Europe. Southeast European
Politics, VI (2), November.
Suryo, Almuchalif (2012) Tantangan dan Potensi Pasukan Pemeliharaan Perdamaian
Asean vis a vis Penyelesaian Isu Filipina Selatan [PDF] Peacekeeping Center
Indonesia. Diakses dari: http://www.pkc-indonesia.com/images/pmpp/dokumen/
pdf/Tantangan%20Dan%20Potensi%20Pasukan%20Pemeliharaan%20Perdamaia
-
26
n%20Asean%20Vis%20A%20Vis%20Penyelesaian%20Isu%20Filipina%20Selat
an.pdf [Diakses pada 19-03-2013].
Tully, John (2006) A Short Story of Cambodia: From Empire to Survival. Bangkok:
Silkworm Books.
Van Ploeg, Frederick & Poelhekke, Steven (2008) The Volatility Curse: Revisiting the
Paradox of Plenty. De Nederlandsche Bank Working Paper, No. 206, March,
Amsterdam.
Zartman, William (ed.) (2007) Peacemaking in International Conflict: Methods &
Techniques. Washington: US Institute of Peace.