2013-03 psnmhii xxv gerakan separatis sebagai tantangan bagi diplomasi indonesia di era paradox of...

29
Pertemuan Sela Nasional Mahasiswa Hubungan Internasional se-Indonesia XXV Padang, 2125 April 2013 DISKUSI ILMIAH GERAKAN SEPARATIS SEBAGAI TANTANGAN BAGI DIPLOMASI INDONESIA DI ERA PARADOX OF PLENTY Ananda Suci Munggaran 170210110029 2011 Ravio Patra Asri 170210110019 2011 Rio Alfajri 170210120086 2012 Universitas Padjadjaran Jawa Barat 2013

Upload: evy-wulandari

Post on 04-Oct-2015

18 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

s

TRANSCRIPT

  • Pertemuan Sela Nasional Mahasiswa Hubungan Internasional se-Indonesia XXV

    Padang, 2125 April 2013

    DISKUSI ILMIAH

    GERAKAN SEPARATIS SEBAGAI TANTANGAN

    BAGI DIPLOMASI INDONESIA DI ERA PARADOX OF PLENTY

    Ananda Suci Munggaran 170210110029 2011

    Ravio Patra Asri 170210110019 2011

    Rio Alfajri 170210120086 2012

    Universitas Padjadjaran

    Jawa Barat

    2013

  • ii

    DAFTAR ISI

    DAFTAR ISI ..................................................................................................................... ii

    ABSTRACT ........................................................................................................................ iii

    BAB I PENDAHULUAN

    1 Latar Belakang ................................................................................................. 1

    2 Rumusan Masalah ............................................................................................ 3

    3 Landasan Konseptual dan Teoritis

    a. Paradox of Plenty di Indonesia ................................................................... 3

    b. Gerakan Separatis di Indonesia .................................................................. 5

    c. Sejarah Singkat Diplomasi Indonesia ......................................................... 7

    4 Hipotesis .............................................................................................. 8

    BAB II PEMBAHASAN

    1 Gerakan Separatis di Indonesia sebagai Efek dari Paradox of Plenty ............. 10

    2 Gerakan Separatis sebagai Tantangan bagi Diplomasi Indonesia ................... 12

    3 Peran Indonesia dalam Upaya Perdamaian Global melalui Diplomasi ........... 14

    4 Memberantas Gerakan Separatis untuk Memperkuat Diplomasi Indonesia .... 19

    BAB III PENUTUP

    1 Kesimpulan ...................................................................................................... 20

    2 Saran ................................................................................................................ 22

    a. Saran bagi Pemerintah ................................................................................ 22

    b. Saran bagi Masyarakat ................................................................................ 23

    BIBLIOGRAFI ................................................................................................................. 24

  • iii

    ABSTRACT

    Global dynamics demand states to perform diplomacy as a mean of achieving goals. In

    addition, it has also become a method of achieving peace and cooperation under the

    anarchical international system. Knowing this, Indonesia, as an emerging power of

    todays world, is expected to continually enhance its diplomatic capability, especially

    considering how the archipelago country has been noted for its involvement in several

    peacemaking efforts throughout the decades.

    In order to succeed, Indonesia has to ensure that it is in control of its domestic

    affairs. Escalating separatism, for instance, is something it can not afford if it is to stay

    as an agent of peace in the international system. Regarding separatism as an aftermath

    of the paradox of plenty or the volatility curse, it is no wonder that separatist groups

    have been persistent in the country considering its rich natural resources combined

    with mismanagement by the government and its foreign-oriented economy,

    Keywords: Diplomacy, Indonesia, Natural Resources, Paradox of Plenty, Separatism,

    Peace, Volatility Curse.

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1. Latar Belakang

    Pembangunan boleh jadi merupakan fokus kegiatan pemerintah dari hampir seluruh

    negara di setiap bagian dunia. Bukan hanya bagi negara-negara berkembang, namun

    negara-negara maju pun masih terus menggencarkan pembangunan demi

    mempertahankan keunggulannya. Meskipun pembangunan semestinya menjadi

    kewajiban pemerintah secara penuh, namun masyarakat pun harus turut serta

    berpartisipasi secara aktif dalam menyukseskan program-program pembangunan yang

    dijalankan. Tanpa situasi yang stabil di dalam masyarakat, maka pembangunan pun

    mustahil dapat dijalankan dengan optimal.

    Akan tetapi, peran masyarakat dalam proses pembangunan jauh lebih kompleks

    daripada sekadar sebagai innocent bystander. Masyarakat seringkali menjadi faktor

    yang memicu sekaligus menghambat jalannya pembangunan. Hal ini biasanya terkait

    erat dengan banyaknya kepentingan yang berkembang di dalam masyarakat; mulai dari

    kepentingan ekonomi, kepentingan politik, hingga bahkan kepentingan kelompok-

    kelompok agama tertentu. Di samping faktor masyarakat, perebutan sumber daya juga

    acapkali menjadi faktor penghambat laju pembangunan; terutama sumber daya alam

    yang bersifat dapat habis jika dieksploitasi secara terus-menerus. Bukan hanya

    kepentingan ekonomi domestik, namun perebutan sumber daya alam tidak pernah luput

    dari keterlibatan pihak asing.

    Pun halnya di Indonesia, dengan sumber daya alam yang begitu melimpah, seperti

    kekayaan kandungan minyak bumi, gas alam, batubara, tembaga, emas, dan barang-

    barang tambang lainnya, pembangunan tidak serta merta menjadi lebih mudah

    dibandingkan negara-negara lain dengan sumber daya alam yang lebih sedikit. Hal

    inilah yang kemudian digambarkan oleh para ahli ekonomi sebagai suatu paradox of

    plenty; suatu kondisi paradoksal di mana negara dengan sumber daya alam melimpah

    (plenty; resourceful) malah cenderung sulit mengoptimalkan pembangunan dan

    kesejahteraan masyarakatnya dibandingkan dengan negara dengan sumber daya alam

    yang terbatas.

    Salah satu dampak yang dimunculkan oleh sumber daya alam yang melimpah ini,

    misalnya, adalah munculnya ketidakpuasan di dalam masyarakat akan kinerja

    pemerintah sebagai agen pelaksana pembangunan di tingkat makro. Ketidakpuasan

  • 2

    inilah yang kemudian berkembang dan terus terelevasi hingga menjadi konflik sosial di

    dalam masyarakat; atau bahkan dalam tingkatan yang lebih ekstrim, berubah menjadi

    gerakan subversif yang ingin memisahkan diri dari ikatan Negara Kesatuan Republik

    Indonesia. Gerakan-gerakan semacam inilah yang hingga hari ini akrab dikenal sebagai

    gerakan separatis.

    Terlepas dari posisinya yang dilematis, sumber daya alam yang dimiliki Indonesia

    tidak bisa dicap sebagai faktor tunggal yang menyebabkan munculnya ketidakpuaan

    politik dan ekonomi di dalam masyarakat. Faktor-faktor lain yang bisa jadi signifikan,

    misalnya, adalah kebijakan yang tidak merata, perhatian pemerintah pusat yang tidak

    merata pada setiap daerah, dan banyak faktor lainnya. Meskipun begitu, tidak bisa

    dipungkiri bahwa faktor ini memiliki andil yang begitu signifikan.

    Gerakan-gerakan separatis yang ada di Indonesia bisa jadi menjadi bukti nyata

    bahwa paradox of plenty bukanlah hanya sekadar konsep hitam di atas putih semata.

    Lebih dari itu, paradox of plenty benar-benar merefleksikan pola hubungan antara

    kemajuan suatu negara dengan kekayaan sumber daya alam yang dimilikinya. Oleh

    karena itulah, konsep paradox of plenty menjadi relevan dengan kekuatan negara di

    dalam konstelasi hubungan internasional.

    Lebih lanjut, elevasi gerakan separatis di Indonesia, semenjak masa awal

    kemerdekaan hingga hari ini, dapat menjadi ancaman besar bagi posisi Indonesia di

    tengah-tengah pergaulan global. Kepercayaan masyarakat internasional terlihat dalam

    keterlibatan Indonesia dalam berbagai proses perdamaian melalui kegiatan diplomasi.

    Kapasitas diplomasi Indonesia, terbentang panjang bahkan semenjak kemerdekaan

    belum diproklamasikan, terbukti memiliki kekuatan tersendiri di dalam peta hubungan

    antarnegara.

    Berangkat dari pemahaman akan besarnya ancaman yang ditimbulkan oleh

    gerakan separatissebagai hasil akhir (aftermath) dari perebutan sumber daya alam

    sekaligus sebagai objek kajian dari konsep paradox of plentyterhadap kekuatan

    diplomasi Indonesia dalam kontelasi politik global.

    Melalui analisis yang runut terhadap catatan sejarah diplomasi Indonesia disertai

    dengan kajian kausalitas (sebab-akibat) terhadap setiap aspek yang terkait, tulisan ini

    merumuskan pemahaman akan gerakan separatis sebagai efek dari paradox of plenty

    yang menjadi tantangan tersendiri bagi kapabilitas diplomasi Indonesia terutama dalam

    perannya sebagai agen perdamaian global sebagaimana diamanatkan oleh bagian

    pembukaan dari Undang-Undang Dasar 1945.

  • 3

    2. Rumusan Masalah

    Perkembangan paradox of plenty saat ini terlihat nyata dalam perkembangan ekonomi

    global. Negara-negara dengan sumber daya alam begitu terbatas berhasil menjelma

    sebagai pemimpin dalam perlombaan sebagai kekuatan ekonomi utama dunia melalui

    pembangunan industrial yang begitu gencar. Sementara negara-negara dengam sumber

    daya alam begitu melimpah, termasuk Indonesia, malah terjebak dalam kelompok

    negara berkembang tanpa disertai kesejahteraan yang merata.

    Dengan memahami permasalahan ini sebagai sebuah tantangan bagi diplomasi

    Indonesia sebagai agen perdamaian global, analisis yang dilakukan mestilah mampu

    menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:

    Seberapa jauhkah kemunculan gerakan separatis di Indonesia berkaitan erat sebagai efek dari paradox of plenty?

    Bagaimana gerakan separatis yang muncul di berbagai daerah menjadi ancaman bagi kapabilitas diplomasi Indonesia?

    Sejauh mana Indonesia berperan dalam proses perdamaian global melalui diplomasi di berbagai negara?

    Mengapa pemberantasan gerakan separatis sebagai efek dari paradox of plenty krusial bagi stabilitas kekuatan diplomasi Indonesia?

    Pertanyaan-pertanyaan ini, melalui kajian kausalitas, memiliki signifikansi tersendiri

    untuk dijawab sebagai bagian dari proses memahami gerakan separatis sebagai efek dari

    paradox of plenty yang menjadi tantangan bagi diplomasi Indonesia saat ini. Oleh

    karena itulah, analisis yang dilakukan disertai dengan studi terhadap berbagai kasus

    yang berkaitan dengan permasalahan ini.

    3. Landasan Konseptual dan Teoritis

    a. Paradox of Plenty di Indonesia

    Memahami paradox of plenty mestilah melewati penelusuran terhadap berbagai

    fenomena yang terjadi dalam konstelasi politik ekonomi saat ini. Namun, sebelum

    memahami paradox of plenty sebagai fenomena, mestilah dipahami terlebih dahulu

    paradox of plenty sebagai suatu objek kajian. Menurut Terry Lynn Karl (Sciffrin 2005,

    h. 29), paradox of plenty merupakan keadaan yang sekarang terjadi di negara-negara

  • 4

    penghasil minyak bumi; seirama dengan apa yang dikatakan oleh Juan Pablo Perez

    Alfonso, salah satu inisiator organisasi negara-negara eksportir minyak bumi,

    Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC). Ia menyebut efek samping

    yang diakibatkan oleh industri minyak bumi terhadap negara-negara eksportirnya

    sebagai efek kotoran setan.

    Menurut Alfonso, kondisi yang memprihatinkan cenderung menimpa negara-

    negara dengan kekayaan alam melimpah, termasuk minyak bumi. Di negara-negara ini,

    seringkali terjadi konflik di dalam masyarakat diakibatkan oleh berbagai permasalahan

    ekonomi. Namun, dengan dinamika politik ekonomi saat ini, efek dari paradox of plenty

    tidak hanya berkembang di dalam negara-negara penghasil minyak. Dengan harga

    minyak dunia yang tidak stabil akibat berbagai krisis di negara-negara penghasilnya,

    negara-negara lainpun ikut terkena imbas. Hal ini pulalah yang ikut memengaruhi

    kondisi di Indonesia.

    Lebih dari 67 tahun semenjak merdeka hingga saat ini, kesejahteraan yang

    menyeluruh di dalam masyarakat masih belum dapat dikatakan telah terwujud. Pun

    sumber daya alam yang melimpah tidak menjadi jaminan bagi Indonesia untuk menjadi

    kekuatan ekonomi dunia. Dengan populasi sebesar lebih dari 244.775.796 jiwa di tahun

    2012, bahkan pertumbuhan ekonomi di kisaran 6% pun dapat dipastikan belum cukup

    untuk menyejahterakan masyarakat Indonesia secara merata. Rendahnya pemerataan

    pembangunan ini pulalah yang menjadi salah satu faktor pemicu munculnya berbagai

    ketidakpuasan di dalam masyarakat. Pertanyaaannya, dengan tingkat eksplorasi sumber

    daya alam yang tidak dapat dikatakan rendah, ke manakah keuntungan dari eksplorasi

    besar-besaran ini jika bukan mengalir ke kepentingan rakyat Indonesia?

    iMelalui analisis terhadap laporan neraca pembayaran Bank Indonesia pada

    Triwulan I tahun 2012, dapat diketahui bahwa ekspor kekayaan alam ke negara-negara

    industri besar seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Cina mencapai angka yang begitu

    tinggi. Untuk produk karet alam saja, misalnya, ekspor Indonesia mencapai angka lebih

    dari 2 miliar dolar Amerika Serikat (Bank Indonesia 2012); angka yang sangat besar

    namun sulit ditemukan keberadaannya ketika dikaitkan dengan proses pembangunan di

    dalam masyarakat. Setidaknya, di samping konflik kepentingan yang muncul, kesalahan

    manajemen dan penyelewengan kekuasaan inilah yang menjadi lingkaran setan

    pengelolaan kekayaan alam negeri ini. Indonesia, negara kepulauan terbesar di dunia

    dengan sumber daya alam yang sulit ditandingi, terjebak dalam paradox of plenty.

  • 5

    b. Gerakan Separatis di Indonesia

    Gerakan separatis di Indonesia sudah muncul semenjak kemerdekaan dan

    kesatuan nasional bahkan belum berhasil dicapai. Hal ini tidaklah mengherankan karena

    setiap negara selalu dihadapkan pada dua bentuk kedaulatan, sehingga juga selalu

    dihadapkan pada dua musuh: dari dalam dan dari luar. Apabila ancaman dari luar

    muncul sebagai ancaman terhadap kedaulatan Indonesia sebagai negara berdaulat, maka

    ancaman dari dalam mengancam integritas atau kesatuan nasional.

    Marry Farrel, bersama Bjirn Hettne dan Luuk Van Hengenhove, dalam Global

    Politics of Regionalism (2005, h. 94) mendefinisikan gerakan separatis sebagai sebuah

    gerakan yang terjadi di dalam sebuah unit regional, negara, dan merupakan bentuk

    ekstrim dari nasionalisme.

    Menurutnya, gerakan separatis bisa jadi muncul di dalam sebuah negara karena

    adanya pemberian otonomi yang terlalu luas pada daerah. Meskipun pada

    kenyataannya, separatism tidak hanya berkembang di dalam wilayah dengan otonomi

    yang kuat. Di Indonesia, misalnya, pernah dikenal Angkatan Perang Ratu Adil atau

    APRA pada masa perjuangan kemerdekaan hingga Organisasi Papua Merdeka atau

    OPM yang masih terus berkembang hingga saat ini; mengancam integritas dari Negara

    Kesatuan Republik Indonesia. Dari sekian banyak gerakan separatis yang pernah

    muncul, beberapa di antaranya bahkan menjadi sorotan utama dari dunia internasional,

    seperti Timor Timur, Gerakan Aceh Merdeka, dan Papua Barat (Starbuck 2001).

    Salah satu bentuk gerakan subversif yang sedikit banyak menunjukkan

    kecenderungan separatism dapat terlihat pula dalam bentuk-bentuk yang sangat radikal.

    Pada masa-masa awal kemerdekaan, pada tahun 1948, pemberontakan Partai Komunis

    Indonesia (PKI) Madiun menjadi ancaman yang mengguncang negara yang ketika itu

    masih dalam masa awal kemerdekaan. Kemudian pada tanggal 7 Agustus 1949, Negara

    Islam Indonesia (NII) diproklamasikan oleh Kartosuwiryo melalui gerakan Darul

    Islam/Tentara Islam Indonesia atau DI/TII (Fah 2011).

    Beberapa tahun kemudian, pada 15 Februari 1958, Achmad Husein

    memproklamasikan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia atau

    PRRI. Berbeda dari gerakan-gerakan sebelumnya yang muncul sebagai ketidaksetujuan

    akan ideologi negara, PRRI dilandasi oleh motif ketidakmerataan pembangunan antara

    pusat dan daerah pada masa itu. Tak lama, Permesta atau Pemberontakan Rakyat

    Semesta pun menyusul PRRI dengan pemicu yang sama: ketidakmerataan

    pembangunan antara pusat dan daerah.

  • 6

    Gerakan separatis lain yang muncul sesudahnya diwarnai oleh perisitwa Gerakan

    30 September atau dikenal dengan G30S/PKI; gerakan yang menggemparkan

    masyarakat dengan keradikalannya menuntut pengakuan komunisme sebagai ideologi

    negara. Meskipun akhirnya berhasil diredam, gerakan ini menjadi tinta hitam dalam

    catatan sejarah Indonesia.

    Dari sekian banyak gerakan separatis yang pernah mencuat ke permukaan,

    Gerakan Aceh Merdeka (GAM) boleh jadi merupakan salah satu yang paling menarik

    perhatian. Diinisiasi pada tahun 1976, GAM juga dikenal dengan nama lain, yaitu Aceh

    Sumatera National Liberalisation Form atau ASNLF (Fah 2011). Pun pemberontakan

    GAM berhasil diakhiri dengan damai melalui meja perundingan diplomasi setelah

    dicapainya kesepakatan antara GAM dengan pemerintah Indonesia yang tertuang

    melalui suatu Momerandum of Understanding aatau Nota Kesepahaman pada tahun

    2006. Dengan perdamaian ini, pemberontakan GAM berhasil diiredam meskipun

    pemerintah mesti berkompromi dengan memberikan banyak keistimewaan atau

    privileges terhadap provinsi Aceh yang diproyeksikan menjadi daerah dengan hukum

    syariah di Indonesia (He 2008, h. 67).

    Dewasa ini, gerakan-gerakan separatis yang mesti dihadapi oleh Indonesia dapat

    terlihat dalam bentuk Organisasi Papua Merdeka atau OPM dengan berbagai kegiatan

    subversifnya di wilayah Papua. Gerakan ini pun bahkan sempat memproklamasikan

    kemerdekaannya dari ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada tanggal 1 Juli

    1971, Nicolas Jouwe beserta dua komandan OPM, Seth Jafeth Raemkorem dan Jacob

    Hendrik Prai, mengibarkan bendera Bintang Kejora yang menjadi simbol gerakan OPM.

    Meskipun sempat dianggap telah berhasil ditumpas oleh presiden Soeharto

    (Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia 2003), pada kenyataannya Organisasi

    Papua Merdeka masih terus melancarkan berbagai kegiatannya dalam rangka

    memisahkan diri dari pangkuan ibu pertiwi. Hal ini terbukti melalui berbagai upaya

    pengibaran bendera Bintang Kejora dalam berbagai kesempatan oleh serta teror yang

    dilancarkan demi memperkeruh suasana di alam masyarakat.

    Dengan kekayaan alam yang begitu melimpah, termasuk sebagai pemilik

    cadangan emas terbesar di dunia, bukanlah sesuatu yang mengejutkan apabila banyak

    kepentingan yang menghiasi situasi dan kondisi di Papua. Oleh karena itulah, fenomena

    nyata terjadinya paradox of plenty dapat dipahami secara singkat melalui ketidakpuasan

    masyarakat Papua terhadap tindakan pemerintah pusat yang terus mengeksplorasi

    kekayaan alam mereka namun tidak menerima dampak pembangunan yang signifikan.

  • 7

    Menilik perkembangan gerakan separatis di Indonesiahingga saat ini, dapat disimpulkan

    bahwa gerakan separatis di Indonesia berkembang sebagai efek dari ketidakpuasan akan

    pemerataan pembangunan antara pusat dan daerah.

    c. Sejarah Singkat Diplomasi Indonesia

    Sebagai negara yang berdaulat, Indonesia tentu menjalin hubungan diplomatic

    dengan negara-negara lain dalam rangka berupaya mencapai atau memenuhi tujuannya.

    Pengakuan (recognition) negara lain terhadap Indonesia sebagai negara yang berdaulat

    pun menjadi landasan bagi kekuatan diplomasi Indonesia. Meskipun merdeka pada

    tahun 1945, kapasitas diplomasi Indonesia tidak dimulai hingga lima tahun kemudian

    (Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia).

    Pada tahun 1950 ini, perwakilan otoritas Indonesia mengunjungi Pakistan untuk

    memberikan penghargaan kepada prajurit Pakistan yang telah memberikan dukungan

    dalam perlawanan terhadap tentara kolonial Belanda. Inisiasi pembangunan kekuatan

    diplomasi Indonesia pun memasuki tahap baru ketika Indonesia resmi diterima menjadi

    anggota organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations yang ke-60 pada

    bulan September di tahun yang sama. Peran Indonesia pun semakin terlihat setelah

    menjadi tuan rumah bagi Konferensi Asia Afrika pertama yang diadakan pada tahun

    1955 di Bandung (Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia).

    Setahun selepas Konferensi Asia Afrika, untuk pertama kalinya, pada tahun 1956

    (Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia), Indonesia mengirimkan pasukan

    garuda untuk ikut serta berpartisipasi dalam pasuka perdamaian PBB yang ditempatkan

    di Gunung Sinai, Timur Tengah. Dua tahun berselang, Indonesia dan Jepang pun

    mencapai kesepakatan dalam bentuk penandatanganan perjanjian perdamaian di antara

    kedua negara.

    Salah satu catatan tak terlupakan dalam sejarah diplomasi Indonesia adalah

    keputusan memutus hubungan diplomatik dengan Belanda pada tahun 1960. Ketika itu,

    presiden Soekarno berpidato di hadapan Majelis Umum (General Assembly) PBB

    sembari menyatakan persengketaan kepemilikan Irian Barat sebagai alasan pemutusan

    hubungan diplomatik dengan Belanda. Setahun kemudian, dalam Konferensi Tingkat

    Tinggi I Gerakan Nonblok, Indonesia menyatakan bahwa Irian Barat adalah bagian dari

    NKRI dan harus dibebaskan dari pendudukan asing.

    Pada tahun 1963, hubungan diplomatik Indonesia dengan negeri jiran, Malaysia,

    meamanas akibat pembentukan Federasi Malaysia di wilayah Kalimantan Utara. Tensi

  • 8

    yang tinggi di antara kedua negara pun bahkan memicu penarikan perwakilan

    diplomatik Indonesia bagi PBB setelah Malaysia diterima menjadi anggota. Tiga tahun

    kemudian, hubungan diplomatik kedua negara pun kembali dipulihkan.

    Perjalanan diplomasi Indonesia tidak berhenti sampai di situ. Pada tahun 1977,

    Indonesia berkontribusi langsung dalam upaya perwujudan perdamaian dunia melalui

    terpilihnya Letnan Jenderal TNI Rais Abin menjadi Panglima United Nations

    Emergency Forces (UNEF) II di samping pengangkatan Dr. Soedjatmoko, cendekiawan

    nasional, sebagai Rektor Universitas Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berlokasi di

    Tokyo. Tahun 1984, Presiden Soeharto menerima kunjungan dari Ketua Palestine

    Liberalization Organization (PLO), Yasser Arafat. Lima tahun berselang, pada 1989,

    Indonesia dan Australia menandatangani perjanjian yang menegaskan pengakuan

    Australia atas integrasi Timor Timur (East Timor) sebagai bagian dari Negara Kesatuan

    Republik Indonesia. Bahkan pada tahun 1994, salah satu tokoh terbaik diplomasi

    Indonesia, Ali Alatas, yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri,

    menyerukan dengan lantang reformasi terhadap PBB dan Dewan Keamanan PBB di

    hadapan Majelis Umum.

    Hingga saat ini, Indonesia terus aktif dalam proses perdamaian dunia melalui meja

    perundingan atau proses diplomasi. Sejarah panjang diplomasi Indonesia yang masih

    terus berlanjut bahkan sampai hari ini menegaskan kembali bahwa Indonesia memiliki

    signifikansi di dalam peta pergaulan global. Semua ini senada dengan cita-cita bangsa

    untuk ikut serta dalam mewujudkan perdamaian abadi; sebagaimana termaktub dalam

    pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

    4. Hipotesis

    Seumpamanya dianalogikan melalui peribahasa di mana ada gula, di sana ada semut,

    Indonesia bisa jadi merupakan negara yang menjadi metafora dari gula yang begitu

    manis sehingga menarik perhatian banyak pihak sebagaimana gula menarik perhatian

    para semut. Bagaimana tidak, menurut Cantori dalam artikelnya mengenai subordinate

    system, Indonesia adalah negara yang memiliki sumber daya alam sangat melimpah.

    Bahkan dalam konsep subordinate system di Asia Tenggara, Indonesia dapat dikatakan

    menjadi negara core atau negara inti; negara-negara yang memiliki potensi kemandirian

    pemenuhan kebutuhan di atas rata-rata negara lainnya. Kemandirian Indonesia sebagai

    negara tentu tidak serta merta dating begitu saja, melainkan lahir melalui suatu proses

    panjang yang ditopang oleh melimpahnya sumber daya alam yang dimiliki. Hal ini

  • 9

    menarik karena Singapura, misalnya, malah terkategorikan sebagai negara periphery

    yang memiliki ketergantungan tinggi untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya.

    Meskipun begitu, limpahan sumber daya alam yang dimiliki oleh Indonesia tidak

    selalu hanya menjadi sebuah keuntungan atau privilege. Sumberdaya alam yang begitu

    melimpah membuat pemerintah kesulitan mengelola seluruh potensi yang ada sendirian;

    sehingga muncullah pihak-pihak asing sarat kepentingan ekonomi sebagai rekan

    kerjasama dalam pengelolaan kekayaan alam, terutama di sektor pertambangan. Hal

    inilah yang bisa jadi menjadi penyebab mengapa Indonesia rentan diganggu oleh

    konflik-konflik vertical maupun horizontal; karena masyarakat merasa bahwa

    eksploitasi kekayaan sumber daya alam gagal memenuhi kebutuhan masyarakat akan

    pembangunan secara merata.

    Memahami gerakan separatis sebagai sebuah efek dari paradox of plenty, dalam

    tulisan ini dianalisis bagaimana elevasi gerakan separatis berpengaruh terhadap

    kekuatan diplomasi Indonesia. Dengan pendekatan kausalitas, diyakini bahwa sebagai

    efek dari fenomena paradox of plenty, gerakan separatis merugikan Indonesia bukan

    hanya karena mengancam integritas nasional, namun juga karena berpotensi merelegasi

    kepercayaan masyarakat internasional terhadap kapasitas diplomasi Indonesia.

  • 10

    BAB II

    PEMBAHASAN

    1. Gerakan Separatis di Indonesia sebagai Efek dari Paradox of Plenty

    Persatuan dan kesatuan nasional Indonesia dewasa ini dihadapkan pada berbagai

    problematika yang terindikasi pada terjadinya konflik-konflik horizontal dengan

    kekerasan. Gerakan separatis merupakan bukti nyata atas adanya suatu kegagalan yang

    notabene muncul dari faktor kurang baiknya mekanisme penyelesaian permasalahan

    politik di negeri ini. Pergolakan sosial yang terjadi di Aceh, Maluku, dan Papua,

    merupakan akumulasi dari permasalahan-permasalahan yang beragam, termasuk sosial

    dan ekonomi, yang kemudian bermuara kepada permasalahan politik. Dengan kata lain,

    munculnya gerakan separatis terkait dengan kegagalan pemerintah NKRI dalam

    melakukan sinkronisasi kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah. Hal ini kemudian

    dapat memanifestasi konflik vertikal, yakni konflik antara elit pemegang otoritas pusat

    di Indonesia dengan masyarakat suatu daerah (Nielsen 2002).

    Miris memang, gerakan separatis muncul di Indonesia; negara yang faktanya kaya

    akan sumber daya alam. Pergolakan-pergolakan sosial yang tampak ke permukaan

    merupakan akibat dari fenomena paradox of plenty; sebuah paradoks tentang

    bagaimana keberlimpahan sumber daya alam di suatu negara justru malah semakin

    memperburuk kesejahteraan rakyatnya.

    Ada dua faktor penyebab munculnya gerakan separatis di Indonesia, yakni faktor

    internal dan faktor eksternal (Griffiths 2008). Faktor internal merupakan faktor yang

    datangnya dari dinamika sosial dan politik dalam negeri, sedangkan faktor eksternal

    merupakan faktor yang berasal dari pihak asing, yakni adanya intervensi. Fenomena

    paradox of plenty merupakan fenomena yang erat kaitannya dengan faktor internal yang

    umumnya lebih menekankan pada kajian historis; di mana ada beberapa alasan sejarah

    yang melatarbelakangi terbentuknya gerakan separatis. Pada umumnya, akibat dari

    perasaan adanya ketidakadilan, kesejahteraan yang tidak merata, intimidasi oleh aparat

    pemerintah, dan janji-janji pemerintah pusat yang tidak terealisasi.

    Jika ditelaah lebih dalam, faktor utama terbentuknya OPM (Organisasi Papua

    Merdeka), misalnya, adalah adanya eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya

    alam di Papua. Sebagai wilayah yang memiliki global positioning yang baik, menjadi

    sasaran beberapa perusahaan multinasional asing untuk mengeruk sumber daya alam

    Indonesia bagi kepentingan negaranya sendiri. Rakyat Papua pun mulai mengetahui

  • 11

    bahwa di bawah kaki mereka tersimpan kekayaan alam yang berlimpah, namun keadaan

    mereka sendiri tidak pernah membaik, tetap miskin, dan terbelakang. Fakta

    menunjukkan bahwa potensi tanah Papua lebih banyak memperkaya pihak asing dengan

    proporsi yang lebih sedikit kepada pemerintah Indonesia, dan lebih sedikit lagi kepada

    rakyat Papua sendiri. Freeport-McMoran Copper & Gold Corp misalnya, menguasai

    81,28% produksi emas Papua dan sisanya dimiliki oleh raksasa pertambangan Inggris

    dan Australia, Rio Tinto (Freeport-McMoran Copper & Gold 2011).

    Dominasi asing dalam pengeksploitasian hasil bumi di Indonesia merupakan

    akibat dari lemahnya kontrol yang dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia atas

    pengelolaan sumber daya alam. Dengan semakin berkembangnya otonomi daerah,

    pemerintah pusat seperti kehilangan kontrol atas otoritas pemerintah daerah Papua.

    Proses negosiasi lebih banyak dilakukan antara perusahaan asing dengan pemerintah

    daerah Papua, bukan pemerintah pusat Republik Indonesia. Buktinya, begitu banyak

    ditemukan Izin Usaha Pertambangan atau IUP yang dikeluarkan pemerintah daerah

    untuk kepentingan perusahaan pertambangan (Kementerian Energi dan Sumber Daya

    Mineral Republik Indonesia 2011). Banyak di antara izin-izin yang dikeluarkan ini

    adalah izin yang dipalsukan oleh pemerintah daerah. Namun, saat ini, Direktorat

    Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tidak

    menerima lagi data Izin Usaha Pertambangan setelah adanya rekonsiliasi nasional data

    IUP, guna menghindari eksploitasi sumber daya alam Indonesia yang akan merugikan

    negara.

    Melihat fenomena ini, dapat dikatakan bahwa terkadang pelaksanaan

    pembangunan di Indonesia terlalu menekankan pendekatan sektoral dan juga terpusat,

    di samping lemahnya kontrol atas pemerintah daerah. Akibatnya, masyarakat daerah

    tereksploitasi sehingga terjadi akumulasi keresahan dan ketidakpuasan atas terancamnya

    kesejahteraan mereka, yang pada akhirnya menimbulkan gerakan-gerakan separatis.

    Gerakan separatis ini ditujukan agar daerah tereksploitasi dapat memisahkan diri dari

    NKRI, sehingga proporsi hasil kekayaan alam daerah tersebut lebih banyak dinikmati

    oleh daerah tanpa ada distribusi yang lebih besar kepada pemerintah pusat Indonesia.

    Selain itu, munculnya gerakan separatis di Indonesia merupakan bukti atas krisis

    multidimensi, yakni masalah ekonomi yang berimplikasi pada masalah politik.

    Paradoks antara kekayaan alam Indonesia dengan tingkat kesejahteraan yang

    justru jauh dari kata ideal menunjukkan bahwa sumber daya alam Indonesia justru

    banyak dieksploitasi oleh negara lain. Keadaan ini jelas merugikan masyarakat

  • 12

    Indonesia karena masyarakat yang seharusnya mendapat kesejahteraan dari sumber

    daya tersebut justru berada dalam bayangan kemiskinan. Paradox of Plenty yang terjadi

    di Indonesia rawan melahirkan gerakan separatis atau gerakan pemisahan diri dari

    Negara Kesatuan Republik Indonesia. Daerah-daerah yang merasa memiliki sumber

    daya alam yang besar akan merasa dirugikan karena kekayaan alam mereka justru

    digunakan bukan untuk kesejahteraan rakyat mereka.

    Contoh dari gerakan separatis yang muncul sebagai akumulasi ketidakpuasan

    masyarakat atas pengelolaan kekayaan alam oleh pemerintah pusat, misalnya, dapat

    terlihat jelas dalam gerakan Organisasi Papua Merdeka. Gerakan separatis di Papua ini

    dipandang sebagai akibat dari kegagalan Indonesia dalam melakukan pembangunan

    yang merata meskipun memiliki anugerah kekayaan alam yang begitu melimpah,

    sehingga tak heran Daoed Joesoef pernah menuliskan bahwa (Kompas 2012, h. 6):

    ...Adalah logis Indonesia menjadi negara gagal karena sejak penyerahan kedaulatan nasional dari Belanda ke Indonesia tidak pernah ada usaha kolektif berupa pembangunan nasional yang sistematik, koheren, konsisten, terarah, dan kontinu. Yang selama ini dilakukan oleh penguasa Negara silih berganti adalah pembangunan bidang ekonomi berdasarkan resep penalaran ekonomika, Bank Dunia, IFM, dan lembaga finansial internasional lainnya. Kedua usaha ini memang saling terkait, tetapi jelas berbeda secara fundamental dalam tujuan dan ukuran suksesnya.

    Agaknya, pemerintah Indonesia lupa akan pentingnya pemerataan pembangunan di

    setiap daerah. Pemerintah seolah lebih fokus pada pertumbuhan ekonomi dan

    melupakan pemerataan pertumbuhan itu melalui pembangunan yang berkelanjutan.

    Kesalahan ini yang akan membuat subur benih-benih separatisme di Indonesia. Jika

    Indonesia terus melupakan pembangunan nasional dan pemerataan pembangunan, bisa

    saja anak-cucu kita tidak akan mengenal kembali negara yang bernama Negara

    Kesatuan Republik Indonesia.

    2. Gerakan Separatis sebagai Tantangan bagi Diplomasi Indonesia

    Dengan keberadaan gerakan separatis yang terus mengancam integritas nasional dimulai

    semenjak masa pascakemerdekaan Republik Indonesia, Indonesia menemui banyak

    tantangan dalam melaksanakan upaya penyelesaian; bahkan terkadang hingga

    melibatkan pihak asing sebagai mediator. Indonesia merupakan satu dari sekian banyak

    negara yang membutuhkan bantuan pihak asing dalam menyelesaikan konflik dalam

  • 13

    negeri, terutama dalam upaya menumpas separatisme. Bantuan asing inilah yang pada

    tahun 2005 lalu, melalui MoU Helsinki, memungkinkan perdamaian dengan Gerakan

    Aceh Merdeka.

    Upaya membawa konflik Aceh ke dunia internasional sudah muncul sejak masa

    pemberontakan Daud Beureuh pada September 1953. Bahkan setahun berselang, Hasan

    Tiro, salah satu pemimpin tertinggi GAM, berupaya agar isu Aceh masuk ke dalam

    agenda sidang PBB, namun gagal terealisasi (El Ibrahimy 2001). Sama halnya di era

    presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri, penanganan separatisme

    Aceh diupayakan kembali untuk diselesaikan di meja perundingan internasional. Pada

    masa pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid, misalnya, konflik Aceh mulai

    menjadi sorotan masyarakat internasional dengan diinisiasikannya perundingan dengan

    pihak GAM dengan mediasi dari organisasi Henry Dunant Center (HDC) pada

    Desember 1999. Saat itu, HDC merupakan lembaga mediasi yang relatif masih baru

    berdiri dan belum memiliki pengalaman mumpuni dalam proses penyelesaian konflik.

    Meski begitu, pemerintah RI maupun GAM setuju untuk menunjuk HDC sebagai

    mediator konflik dengan segala pertimbangannya. Keterlibatan HDC dalam mendukung

    upaya pemerintah Indonesia untuk membawa konflik Aceh ke meja diplomasi ini,

    ditanggapi oleh Kira Kay (2003, h. 5) sebagai berikut:

    HDC approached both the RI and the exiled GAM leadership of Hasan Di Tiro. Di Tiro was fairly easy to convince; no international body had ever recognized GAM's claim of Acehnese sovereignty; although HDC wasn't officially recognizing them either, just being asked to the negotiating table bestowed a level of credibility on the rebel movement that 25 years of conflict had not. Bringing RI to the table was a bit more difficult. President Wahid was clearly interseted in solving the Aceh crisis; the conflict had strained his military resources, and risked garnering the

    same level of international criticism as abuses in East Timor had.

    Dengan banyaknya upaya-upaya diplomasi yang diusahakan pemerintah RI dalam

    menyelesaikan konflik separatis, dapat disimpulkan bahwa penyelesaian konflik di

    dalam negeri memiliki ketergantungan yang cukup signifikan terhadap keterlibatan

    pihak asing sebagai pihak ketiga yang netral. Upaya-upaya tersebut dapat digambarkan

    sebagai suatu konsep intermestik (Stubbs 2005); suatu cara pembuatan kebijakan politik

    luar negeri yang berupaya untuk mendekatkan jarak antara faktor internasional dan

    domestik. Melalui perspektif intermestik ini, pelaksanaan politik luar negeri dan

    diplomasi harus mampu menjadi ujung tombak yang memperjuangkan kepentingan

  • 14

    nasional sekaligus mengomunikasikan perkembangan dunia luar ke dalam negeri.

    Dengan kata lain, suatu negara harus mampu menginternasionalisasikan kepentingan

    domestiknya sekaligus mendomestifikasikan kepentingan luar negerinya. Hal inilah

    yang kemudian menjadi tantangan bagi diplomasi pemerintah Republik Indonesia di

    meja internasional dalam menyelesaikan konflik domestik; tantangan untuk menjalin

    diplomasi dengan pihak asing tanpa harus mengompromikan kepentingan nasional.

    Tindakan separatis dan keinginan memisahkan diri dari negara kesatuan RI

    bukanlah gagasan yang berdiri sendiri, namun sarat akan faktor keadilan sosial politik

    dan kesejahteraan ekonomi. Di era globalisasi ini, upaya untuk dapat berdiri sendiri

    sebagai negara baru bukanlah hal yang mudah; terlebih karena membutuhkan

    pengakuan internasional yang luas serta pembangunan infrastruktur politik dan

    kenegaraan yang begitu besar dalam rangka mempertahankan eksistensinya di tatanan

    global. Oleh karena itu, dalam upaya mempertahankan integrasi Negara Kesatuan

    Republik Indonesia, perlu adanya sinkronisasi antara kebijakan politik dalam negeri dan

    politik luar negeri secara strategis, termasuk dalam upaya penyelesaian masalah-

    masalah gerakan separatis.

    3. Peran Indonesia dalam Upaya Perdamaian Global melalui Diplomasi

    Sebagaimana termaktub di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, Indonesia

    sangat mendukung pencapaian keamanan dunia atau perdamaian global. Hal ini

    tergambar dari beberapa intisari pemikiran yang dikandung oleh aline ke-4, yaitu:

    Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; Memajukan kesejahteraan umum; Mencerdaskan kehidupan bangsa; Melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian

    abadi, dan keadilan sosial.

    Upaya mewujudkan cita-cita ini tercermin dalam kegiatan diplomasi Indonesia yang

    terbentang panjang. Demi melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

    darah, misalnya, pemerintah Indonesia dengan berani memutus hubungan diplomatik

    dengan Belanda pada tahun 1960 ketika terjadi perebutan kepemilikan wilayah Irian

    Barat yang merupakan bagian dari ibu pertiwi.

  • 15

    Di era perang dingin, Indonesia bersama beberapa negara lain menginisiasi

    diadakannya organisasi Gerakan Non-Blok melalui Konferensi Tingkat Tingi I Gerakan

    Nonblok pada tahun 1961 dalam rangka menyatukan kekuatan untuk mencapai

    perdamaian tanpa harus memihak pada blok barat maupun blok timur.

    Sebagaimana ditetapkan oleh Konvensi Montevideo 1933 (Sorensen & Jackson

    2009), syarat berdirinya sebuah negara adalah harus memiliki wilayah yang jelas,

    penduduk, kedaulatan ke dalam, dan pengakuan negara lain (kedaulatan ke luar).

    Keempat syarat ini adalah syarat-syarat yang penting bagi kelangsungan sebuah negara.

    Suatu negara tidak akan berjalan baik apabila pemerintahnya tidak memiliki kedaulatan

    ke dalam karena pemerintahnya tidak akan mampu mengatur jalannya negara dengan

    aturannya. Begitu juga apabila negara tersebut kehilangan wilayahnya, baik keseluruhan

    maupun sebagian. Negara yang wilayahnya terancam akan terganggu stabilitasnya.

    Penduduk juga menjadi kunci penting sebuah negara karena negara adalah kumpulan

    dari penduduk. Namun, pengakuan dari negara lain adalah kunci sebuah negara untuk

    memenuhi kebutuhannya, meskipun keempat faktor ini sebenarnya sama-sama penting.

    Indonesia sendiri dikenal dengan kebijakan politik luar negeri yang bebas aktif.

    Dengan slogan ini, Indonesia melakukan hubungan diplomatik dengan semua negara

    tanpa terkecuali sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan Undang-

    Undang Dasar 1945.

    Gerakan separatis yang muncul di dalam negeri membuat keamanan dan

    pertahanan Indonesia mengalami kerawanan. Saat terjadi pemberontaka oleh Gerakan

    Aceh Meredeka (GAM), pemerintah mengadakan perubahan struktur kebijakan luar

    negeri, karena menyadari bahwa GAM memiliki sumber dukungan dari beberapa pihak

    asing. Tentu saja, hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara yang

    mendukung GAM tidak akan berjalan mulus. Bahkan pemerintah Indonesia akan

    melakukan penyesuaian terhadap kebijakan luar negeri yang dianggap tidak sesuai

    dengan situasi keamanan yang rawan, misalnya, pada masa pemerintahan presiden

    Megawati; seperti diungkapkan oleh Kai He (2005, h. 65):

    Megawati changed the high-profile external balancing policy under Wahid to a low-profile neighbor-first policy. Learning from Wahids failure, Hassan Wirayuda, the new foreign minister under Megawatis administration, recognized that it will be very difficult to launch many initiatives with the current fragile stability [domestically]. Therefore, Megawatis priority was domestic stability, and the importance of foreign policy was downgraded.

  • 16

    Semenjak berakhirnya Perang Dunia II, penyelesaian konflik lewat jalan kekerasan dan

    perang sebenarnya mulai ditinggalkan. Konflik-konflik internal maupun eksternal

    banyak diselesaikan melalui langkah diplomasi yang damai. Namun, dalam proses

    penyelesaian konflik-konflik tersebut, jarang sekali titik temu dicapai dalam proses

    negosiasi antardua pihak yang bertikai. Dalam hal ini, mediator diperlukan dalam

    melaksanakan perannya untuk menyelesaikan konflik (Zartman 2007, h. 64).

    Indonesia pun merupakan negara yang banyak memainkan peran dalam proses

    resolusi konflik internal beberapa negara lain dalam catatan sejarahnya. Pada masa itu,

    peran mediasi Indonesia begitu krusial dan mendapatkan banyak tanggapan baik dari

    pihak asing, karena mediasi yang dilakukan Indonesia menemui keberhasilan. Salah

    satu konflik negara sahabat yang pernah ditangani Indonesia, misalnya, adalah konflik

    internal di Kamboja pada era 1950-an.

    Konflik internal Kamboja ini pada awalnya dipicu oleh bangkitnya pergolakan

    dan besarnya friksi ketegangan politik dalam negeri Kamboja sendiri. Norodom

    Sihanouk, yang diangkat sebagai Pangeran Kamboja sejak tahun 1951, untuk pertama

    kalinya mendeklarasikan politik luar negeri Kamboja sebagai negara yang netral.

    Maksudnya, Kamboja berusaha untuk tidak terlibat dalam perang Vietnam yang ketika

    itu tengah berkecamuk (Tully 2006, h. 177). Alih-alih mendatangkan respon baik,

    keputusan tersebut ternyata malah memancing reaksi negatif dari para petinggi militer

    Pangeran Sihanouk yaitu Jenderal Lon Nol yang berhaluan sangat pro-Amerika Serikat.

    Ketika Pangeran Sihanouk tengah melakukan kunjungan ke Moskow pada pertengahan

    tahun 1970, Jenderal Lon Nol berhasil mengambil kesempatan untuk menggulingkan

    Sihanouk dari tampuk kepemimpinan. Sihanouk kemudian memilih untuk

    mengasingkan diri di Beijing dan memutuskan untuk beraliansi dengan kelompok

    Khmer Merah (Cambodia Organization 2013), partai revolusioner Kamboja yang

    berideologikan komunis. Pembentukan aliansi ini ditujukan oleh Pangeran Sihanouk

    untuk menentang pemerintahan Lon Nol demi merebut kembali tahtanya.

    Pada tahun 1975, Partai Khmer Merah di bawah pimpinan Pol Pot berhasil

    menggulingkan Lon Nol dan mengubah sistem pemerintahan kerajaan menjadi

    Republik Demokratik Kamboja (Democratic Kampuchea) di bawah pimpinan Pol Pot.

    Akan tetapi, semasa kepemimpinan Pol Pot, Kamboja terperosok dalam tragedi

    mengenaskan akibat dijalankannya program Cambodia the Year Zero oleh partai Khmer

    Merah; suatu program besar-besaran menjadikan Kamboja sebagai negara agraris, yang

  • 17

    malah membawa petaka dengan sedikitnya tiga juta rakyat Kamboja mati akibat

    kelaparan, wabah penyakit, serta penindasan politik dan militer.

    Di penghujung tahun 1978, mulailah konflik internal Kamboja meluas akibat

    intervensi yang dilakukan oleh negara tetangganya, Vietnam. Pada masa itu, terjadi

    bentrokan di perbatasan antara rezim Khmer Merah dengan Vietnam. Dalam periode

    yang sama, juga terjadi pembantaian orang-orang keturunan Vietnam di Kamboja,

    sehingga Vietnam menyerbu Kamboja dengan tujuan untuk menghentikan genosida

    besar-besaran tersebut. Pada tahun 1979, Vietnam melakukan invasi ke Kamboja dan

    berhasil menggulingkan rezim Khmer Merah. Vietnam pun kemudian mendirikan rezim

    baru di Kamboja di bawah kepemimpinan Heng Samrin sebagai kepala negara.

    Pembentukan pemerintahan baru ini ditentang keras oleh Kaum Nasionalis Kamboja,

    salah satunya Pangeran Norodom Sihanouk. Sihanouk kemudian membentuk kelompok

    perlawanan yang dikenal sebagai Coalition Government of Democratic Kampuchea

    (CGDK) yang terdiri dari kelompok Khmer Merah yang baru saja ditumbangkan oleh

    Vietnam, yakni Front Uni National pour un Cambodge Independent, Khmer People

    Liberation Front (KPNLF) di bawah pimpinan Son Sann, serta Neutre Pacifique et

    Cooperatif (FUNCINPEC) di bawah pimpinan Pangeran Sihanouk sendiri. Begitulah,

    pemberontakan terus muncul dan terjadi selama beberapa dekade lamanya tanpa ada

    penyelesaian dari pemerintah internal kedua belah pihak yang bersengketa.

    Melihat konflik yang terus berkepanjangan antara Kamboja dan Vietnam,

    Indonesia sebagai salah satu pendiri Asean, berinisiatif untuk memulai proses mediasi

    demi menyelesaikan konflik tersebut. Indonesia yakin bahwa jalur diplomasi

    merupakan jalur yang terbaik dalam menyelesaikan konflik antara kedua negara yang

    saling bertetangga itu, apalagi sejak tahun 1967, Asean telah muncul sebagai organisasi

    regional yang besar meskipun pada masa itu, Kamboja belum menjadi anggota Asean.

    Pada akhirnya, konflik internal ini membutuhkan campur tangan pihak luar untuk

    diselesaikan, karena jika terus-menerus berlangsung maka akan mengancam perdamaian

    dan keamanan internasional (Cipto 2007, h. 6061).

    Dalam perjalanannya, Indonesia menjadi negara yang berperan penting dalam

    upaya penanganan konflik Kamboja. Hal ini terbukti dengan diadakannya pertemuan-

    pertemuan tingkat Asean untuk membicarakan mengenai penyelesaian konflik dan

    rekonsiliasi di Kamboja, yang diinisiasi oleh Indonesia pada tahun 1984. Alhasil,

    negara-negara di Asean pun memutuskan untuk memilih Indonesia sebagai interlocutor

    antara Asean dan Vietnam dalam pertemuan tersebut. Interlocutor sendiri adalah

  • 18

    fasilitator khusus bagi pertemuan atau percakapan untuk membahas topik tertentu yang

    sedang penting untuk dibahas (Schiappa 1998).

    Pada masa puncak konflik Kamboja dan Vietnam, Mochtar Kusumaatmadja, yang

    ketika itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, sangat berperan

    banyak dalam navigasi diplomasi Indonesia sebagai interlocutor konflik Kamboja

    dengan Vietnam. Beliau pada saat itu mengundang para pihak terkait yang terlibat

    dalam pertikaian untuk duduk bersama di meja perundingan, dan mengusulkan agar

    pertemuan yang dimaksud harus diadakan di tempat yang netral seperti Indonesia.

    Tujuannya adalah agar pihak-pihak yang saling bertikai merasa bebas dalam

    membicarakan masalah Kamboja dan masa depannya. Kemudian, pada masa jabatan

    Menlu Mochtar, Indonesia berhasil meyakinkan Vietnam untuk dapat turut

    berpartisipasi dalam Ho Chi Minh City Understanding, yakni perundingan antara

    Vietnam dengan faksi-faksi yang bertikai di Kamboja.

    Perjalanan diplomasi Indonesia tidak terhenti begitu saja setelah Menlu Mochtar

    Kusumaatmadja mengakhiri masa jabatannya sebagai Menteri Luar Negeri RI dan

    digantikan oleh Ali Alatas. Menlu Ali Alatas melanjutkan kiprah diplomasi perdamaian

    yang diusung Indonesia lewat inisiasinya untuk mengadakan pertemuan informal di

    Jakarta dengan tujuan menyelesaikan konflik internal Kamboja. Awalnya, ajakan ini

    kurang mendapat dukungan dari jajaran Menteri Luar Negeri negara anggota Asean.

    Namun, berkat serangkaian kunjungan dan negosiasi yang dilakukan oleh Menlu Ali

    Alatas, Indonesia pun akhirnya memeroleh dukungan kuat dari masyarakat internasional

    untuk mengadakan Jakarta Informal Meeting (JIM) I tahun 1988. Indonesia, yang

    berperan sebagai mediator, untuk pertama kalinya berhasil mempertemukan masing-

    masing faksi yang bertikai di Kamboja melalui pertemuan tersebut. JIM I dilanjutkan

    oleh Jakarta Informal Meeting (JIM) II. Tidak terhenti sampai di situ, Indonesia

    kemudian membawa kasus konflik ini ke hadapan Dewan Keamanan PBB; hingga

    akhirnya, pada tahun 1991, proses perdamaian konflik di Kamboja pun menemui titik

    akhir lewat The Paris International Conference on Cambodia (PICC). Konferensi ini

    diketuai oleh Indonesia dan Prancis sebagai chairs. Hasil dari konferensi ini adalah

    ditandatangani perjanjian mengakhiri konflik di Kamboja.

    Kiprah diplomasi Indonesia sebagai mediator konflik ini pun tidak terhenti setelah

    perjanjian damai Kamboja ditandatangani. Beberapa tahun setelah Indonesia mengetuai

    konferensi Paris, tepatnya pada tahun 1993, Indonesia kembali menjadi fasilitator dalam

    pertemuan informal di Cipanas, Bogor, untuk menyelesaikan konflik di Filipina Selatan.

  • 19

    Konflik di Filipina Selatan ini bermula dari pemberontakan yang dilakukan Front

    Pembebasan Nasional Moro. Mereka merupakan kelompok etnis yang mayoritas

    beragama muslim dan bersikukuh ingin merdeka dari penindasan yang dilakukan oleh

    pemerintah nasional Filipina yang mayoritas adalah kaum Nasrani (Suryo 2012).

    Pada awalnya, perdamaian di Filipina Selatan merupakan inisiatif dari Organisasi

    Konferensi Islam (OKI). Namun, OKI menyelesaikan konflik tersebut di meja

    perundingan melalui cara-cara yang koersif (Mungara 2011, h. 218), sedangkan pada

    tahun 1993, inisiatif perdamaian oleh Indonesia dan terlibatnya Indonesia dalam

    penanganan konflik Filipina membuahkan hasil melalui tercapainya persetujuan damai

    pada tahun 1996 yang menyepakati keberadaan Autonomous Region of Muslim

    Mindanao (ARMM).

    Kiprah diplomasi Indonesia yang malang melintang dalam penyelesaian konflik di

    negara-negara lain di satu sisi menjadi suatu kebanggaan kita sebagai warga negara

    Republik Indonesia yang mendukung perdamaian dunia, sesuai dengan jati diri bangsa

    Indonesia dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Namun, di sisi lain, kiprah

    diplomasi Indonesia sebagai mediator dalam beberapa konflik negara lain menimbulkan

    tanda tanya besar: mengapa konflik internal di dalam negara sendiri cenderung berlarut-

    larut? Memang, peran pihak asing dapat dibutuhkan dalam upaya penyelesaian konflik

    di negara manapun. Namun, hal tersebut bukan berarti pemerintah negara sendiri

    menutup mata dan tidak ingin turut campur dalam konflik internal Indonesia. Jika

    diplomasi ke luar Indonesia bisa menjadi macan, seharusnya di negeri sendiri

    pemerintah Indonesia bisa menjadi macan pula bagi rakyatnya. Jangan sampai malah

    Indonesia menjadi agen perdamaian internasional yang bahkan tidak memiliki

    kedamaian di dalam negerinya sendiri.

    4. Memberantas Gerakan Separatis untuk Memperkuat Diplomasi Indonesia

    Gerakan separatis yang tumbuh kembang menjadi salah satu penghambat bagi

    Indonesia ketika ingin menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain. Saat terjadi

    pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), misalnya, hubungan diplomatik

    Indonesia dengan Finlandia dan Swedia terganggu karena Finlandia menentang konflik

    yang berlangsung. Namun, ketika GAM memberikan titik terang untuk mau berunding

    dengan Indonesia masalah perdamaian, hubungan diplomatik Indonesia dengan

    keduanya pun kembali lancar. Selain itu, Indonesia juga sempat mengalami gangguan

    hubungan diplomatik dengan Australia saat terjadi gerakan pemisahan diri Timor Leste.

  • 20

    Di samping mengganggu keberlangsungan hubungan diplomatik antara Indonesia

    dengan negara lain, keberadaan gerakan separatis juga tentunya rentang menimbulkan

    gangguan terhadap stabilitas dalam negeri. Insecurity yang disebabkan oleh kemunculan

    gerakan separatis inilah yang membuat urgensi pemberantasan gerakan separatis

    menjadi sesuatu yang tidak lagi perlu diperdebatkan.

    Dalam bagian-bagian sebelumnya, telah dijelaskan mengenai peran Indonesia

    sebagai agen perdamaian dunia. Selama ini, masyarakat internasional terus memberikan

    kepercayaan kepada Indonesia untuk terlibat dalam proses perdamaian internasional

    karena memang catatan sejarah menunjukkan hasil yang cenderung positif. Akan tetapi,

    kepercayaan masyarakat internasional tentunya bukanlah sesuatu yang akan terus

    tumbuh tanpa batas; Indonesia harus membuktikan dari waktu ke waktu bahwa

    Indonesia memiliki kapabilitas yang baik sebagai agen perdamaian melalui meja-meja

    perundingan di bawah paying diplomasi.

    Pemahaman ini menekankan bahwa kepercayaan masyarakat internasional

    bukanlah sesuatu yang given, namun earned; dihasilkan melalui usaha yang nyata.

    Apabila gerakan-gerakan separatis terus berkembang di dalam negeri, bukan tidak

    mungkin kepercayaan masyarakat internasional terhadap kemampuan diplomasi

    Indonesia akan terus luntur hingga kemudian diplomasi Indonesia pun kehilangan

    reputasinya. Setidaknya, masyarakat internasional tentunya berasumsi: bagaimana

    mungkin sebuah negara yang bahkan tidak mampu mewujudkan perdamaian di dalam

    negerinya sendiri bisa ikut serta secara aktif dalam mewujudkan perdamaian dunia?

    Memperkuat kekuatan diplomasi memang bukan hanya dilakukan melalui

    peningkatan reputasi; melainkan melalui peningkatan kapabilitas yang bersifat terus-

    menerus. Namun, keberadaan gerakan separatis sebagai gerakan subversif yang

    mengancam integritas nasional membuatnya memiliki prioritas tersendiri. Pada intinya,

    sudah semestinyalah pemerintah Indonesia mulai belajar memprioritaskan pembenahan

    permasalahan-permasalahan domestik dibandingkan pembenahan isu-isu internasional.

    Bukan berarti keduanya tidak bisa berjalan beriringan, namun dibutuhkan upaya nyata

    untuk dapat menyukseskan keduanya tanpa mengorbankan salah satu.

  • 21

    BAB III

    PENUTUP

    1. Kesimpulan

    Sumberdaya alam Indonesia tersebar dari Sabang sampai Merauke juga dari Timor

    sampai Rote. Sebagai negara yang begitu kaya akan sumber daya alam, mulai dari

    minyak bumi, gas, emas dan barang tambang lain, hingga kekayaan biota yang hidup di

    laut dan di darat, Indonesia tentu menjadi salah satu primadona di dalam tatanan global.

    Faktor kekayaan alam Indonesia pulalah yang menjadikan Indonesia sebagai sasaran

    kolonialisme Eropa dan imperialisme Jepang selama bertahun-tahun. Salah satu dari

    tiga motif kaum imperialis, Gold, merupakan motif untuk mencari kekayaan. Indonesia

    yang memiliki kekayaan sumber daya yang melimpah ditambah dengan beberapa faktor

    lain seperti keramahan masyarakatnya, mengundang negara Eropa untuk mendapatkan

    motif kekayaan dengan menjajah Indonesia.

    Kesadaran akan adanya suatu keadaan paradoksal dalam aspek ekonomi juga

    terlihat jika dilakukan analisis tindakan negara tujuan ekspor kekayaan alam Indonesia

    setelah terjadi ekspor. Setelah Amerika Serikat, Jepang, China, dan negara lain

    menerima kekayaan alam Indonesia, misalnya karet, mereka mengolahnya menjadi

    barang olahan kemudian mengekspornya kembali ke Indonesia. Menurut Laporan

    Neraca Pembayaran Bank Indonesia nilai impor barang olahan yang diimpor Indonesia,

    misalnya suku cadang dan perlengkapan alat angkutan, mencapai $4.205.000.000 pada

    periode yang sama (Bank Indonesia 2012, h. 16). Hal ini menunjukkan kesalahan

    manajemen kekayaan alam, Indonesia melakukan ekspor kekayaan alam kemudian

    melakukan impor barang olahan dengan harga yang lebih tinggi. Dalam bagian kecil

    saja dari neraca perdagangan, bagian ekspor karet alam dan impor suku cadang, neraca

    perdagangan Indonesia mengalami defisit $1.611.000.000 (Bank Indonesia 2012, h. 23).

    Jumlah yang sangat besar. Hal yang sama sebenarnya terjadi juga pada komoditas

    lainnya.

    Oleh karena kerawanan dari keberadaan paradox of plenty, hubungan Indonesia

    dengan negara lain dalam mencapai saling memenuhi kebutuhan tidak seharusnya

    membuat Indonesia terjebak dalam dilema Paradox of Plenty. Tidak selamanya

    Indonesia hanya menjadi core yang menyuplai barang-barang mentah kepada periphery

    yang kemudian mengolahnya dan menjualnya kembali dengan harga yang lebih mahal

    kepada kita. Kesalahan manajemen kekayaan alam Indonesia harus dibenahi. Hubungan

  • 22

    diplomasi Indonesia dengan negara tujuan ekspor harus dibuat lebih halus kembali.

    Indonesia bisa memulai mengurangi ekspor bahan mentah dengan lebih banyak

    memberikan insentif bagi pengusaha Indonesia untuk mengolah kekayaan alam

    tersebut. Jika hal ini dapat dilakukan, Indonesia akan terbebas dari Paradox of Plenty

    dan dapat menjalankan pembangunan nasional serta pemerataan pembangunan di

    Indonesia.

    Lebih lanjut, memahami gerakan separatis sebagai efek dari paradox of plenty

    membutuhkan kerangka berpikir kausalitas, karena gerakan separatis boleh jadi tidak

    selalu hadir sebagai hasil olahan proses politik ekonomi, namun bukan berarti dapat

    dikesampingkan begitu saja. Apabila mempertimbangkan posisi Indonesia dalam proses

    perdamaian global, maka urgensi penumpasan gerakan separatis di dalam negeri pun

    menjadi jauh lebih tinggi karena berpotensi mendegradasi kepercayaan masyarakat

    internasional terhadap kapasitas diplomasi Indonesia.

    2. Saran

    Salah satu titik temu yang dapat dijadikan pijakan analisis dalam merumuskan solusi

    bagi isu yang ditimbulkan oleh paradox of plenty dan gerakan separatis sebagai dua hal

    yang saling berkaitan adalah pemerataan pembangunan. Meskipun merupakan tugas

    utama dari pemerintah, bukan berarti masyarakat tidak memiliki andil sama sekali.

    Masyarakat juga mesti ikut menyukseskan kegiatan pemerataan pembangunan sehingga

    hasil yang diperoleh pun lebih optimal. Berikut adalah beberapa saran yang dapat

    dihasilkan melalui pembahasan mengenai gerakan separatis sebagai efek dari paradox

    of plenty yang mengancam kemapanan diplomasi Indonesia.

    a. Saran bagi Pemerintah

    Dalam pengaturan ekspor, Indonesia harus lebih memprioritaskan ekspor barang olahan daripada bahan mentah; sehingga pemerintah mestilah meningkatkan

    kapabilitas pengolahan bahan mentah dalam negeri dibandingkan terus-menerus

    hanya menjadi pemasok bahan baku bagi produksi luar negeri;

    Pembangunan di setiap daerah mestilah mendapatkan perhatian yang proporsional sehingga tercapai pemerataan pembangunan, terutama di pulau-pulau yang jauh

    dari pusat pemerintahan negara karena seringkali terabaikan;

    Pemerintah harus menjadikan gerakan separatis sebagai salah satu isu yang menjadi fokus untuk ditanggulangi. Keberadaan gerakan separatis yang terus

  • 23

    berkembang di dalam masyarakat berpotensi menajdi sumber kekacauan yang

    mengganggu integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia;

    Sejalan dengan upaya pemerataan pembangunan, pemerintah perlu mulai melakukan gerakan nasionalisasi yang rasional terhadap sektor-sektor pengelolaan

    sumber daya alam yang potensial mendatangkan keuntungan besar bagi negara

    daripada terus-menerus menyerahkan tanggung jawab pengelolaan kepada pihak

    asing;

    Pemerintah hendaknya senantiasa ikut serta secara aktif dalam upaya perwujudan perdamaian di berbagai wilayah di dunia sesuai dengan cita-cita bangsa untuk

    mewujudkan perdamaian abadi.

    b. Saran bagi Masyarakat

    Masyarakat hendaknya senantiasa memperkuat rasa cinta tanah air dan sense of belonging terhadap bangsa Indonesia untuk menghindari kegiatan-kegiatan

    subversif yang mengancam kesatuan negara seperti gerakan separatis;

    Masyarakat mestilah mendukung upaya pemerintah dalam menjadi agen perdamaian melalui diplomasi karena sejalan dengan cita-cita bangsa;

    Masyarakat harus secara aktif menuntut hak pembangunannya kepada pemerintah apabila dianggap terjadi ketimpangan pembangunan. Dengan begitu, diharapkan

    ketidakpuasan akan kinerja pemerintah di sektor pembangunan dapat ditekan;

    Masyarakat sudah semestinya ikut melestarikan dan memastikan bahwa kekayaan alam Indonesia menjadi hak milik ibu pertiwi sepenuhnya, bukan menjadi objek

    eksploitasi pihak asing.

  • 24

    BIBLIOGRAFI

    Bank Indonesia (2012) Laporan Neraca Pembayaran Bank Indonesia Triwulan I 2012

    [WWW] Bank Indonesia. Diakses dari: http://www.bi.go.id [Diakses pada 22-03-

    2013].

    Cambodia Organization (t. t.) Khmer Rouge [WWW] Cambodia Organization. Diakses

    dari: http://www.cambodia.org/khmer_rouge [Diakses pada 23-03-2013].

    Cipto, Bambang (2007) Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong terhadap

    Dinamika, Realitas, dan Masa Depan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

    Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia (2003) Kajian Resolusi Permasalahan

    Papua dari Aspek Politik, Hukum, dan Pemerintahan. Yogyakarta: Universitas

    Negeri Solo.

    El Ibrahimy, M. Nur (2001) Peranan Teungku M. Daud Beureuh dalam Pergolakan

    Aceh. Media Dakwah, h. 17.

    Fah, Ridha Zain (2011) Gerakan Separatis sebagai Bentuk Perbuatan Makar yang

    Mengancam Negara [WWW] ALSA Indonesia. Diakses dari: http://alsaindonesia.

    org/site/gerakan-separatis-sebagai-bentuk-perbuatan-makar-yang-mengancam-

    keutuhan-negara [Diakses pada 23-03-2013].

    Freeport-McMoran Copper & Gold (2011) Annual Report [WWW] Freeport-McMoran

    Copper & Gold. Diakses dari: http://www.fcx.com [Diakses pada 19-03-2013].

    Griffiths, Ryan (2008) Globalization, Development, and Separatism: The Influence of

    External and Internal Economic Factors on the Strategy of Separatism. Dalam:

    APSA 2008 Annual Meeting, Hynes Convention Center, 28 Agustus. Boston,

    Massachusetts.

    He, Kai (2008) Indonesias Foreign Policy after Soeharto: International Pressure,

    Democratization, and Policy Change. Oxford Journals of International Relations

    in Asia Pacific, Vol. 8.

    Joeseof, Daoed (2012) Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne.

    Kompas, Kamis, 12 Juli, h. 6.

    Kay, Kira (2003) The New Humanitarianism: The Henry Dunant Center and the Aceh

    Peace Negotiations [WWW] Princeton University. Diakses dari: http://wws.

    princeton.edu [Diakses pada 21-03-2013].

    Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia (2011) Proses dan

    Verifikasi Izin Usaha Pertambangan Clear and Clear [PDF] APMC Indonesia.

  • 25

    Diakses dari: http://www.apmcindonesia.com/docs/verify/login/101012185261/

    Materi%20Presentasi%20Day%202%2011%20Oct%202012%20%283%29/Sessi

    on%208%20-%20Day%202/Nelyanti%20Siregar.pdf [Diakses pada 19-03-2013].

    Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (t. t.) Momen-Momen Penting dalam

    Sejarah Diplomasi Indonesia [WWW] Kementerian Luar Negeri Republik

    Indonesia. Diakses dari: http://kemlu.go.id/Pages/History.aspx?IDP=3&l=id [Diakses

    pada 23-03-2013].

    Mungara, S. (2011) Sovereign Sensitivities: The Impact of Nation-States as Mediators

    in the Mindanao Conflict. Dalam: P. T. Hopman & William Zartman, Mindanao:

    Understanding Conflict, h. 213223. Washington: Johns Hopkins University.

    Nielsen, Mette Lindorf (2002) Questioning Acehs Inevitability: A Story of Failed

    National Integration? [PDF] Global Politics. Diakses dari: http://www.global

    politics.net/ essays/Lindorf_Nielsen.pdf [Diakses pada 19-03-2013].

    Schiappa, Edward (1998) Constructing Reality through Definitions: The Politics of

    Meaning [PDF] University of Minnesota. Diakses dari: http://writing.umn.edu/lrs/

    assets/pdf/speakerpubs/Schiappa.pdf [Diakses pada 19-03-2013].

    Schiffrin, Anya (2005) Covering Oil: Panduan Wartawan Meliput Energi dan

    Pembangunan. New York: Open Society Institute.

    Sinar Harapan (2002) Ekonomi RI Takkan Terganggu Putusnya Hubungan dengan

    Swedia [WWW] Balai Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertahanan

    Republik Indonesia. Diakses dari: http://www.balitbang.dephan.go.id/modules.

    php?name=News&file=article&sid=3949 [Diakses pada 23-03-2013].

    Sorensen, George & Jackson, Robert (2009) Pengantar Hubungan Internasional.

    Jakarta: Pustaka Pelajar.

    Starbuck, Rebeka (2001) Liputan Pers Indonesia tentang Gerakan Separatisme.

    Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.

    Stubbs, Paul (2005) Stretching Concepts Too Far? Multilevel Governance, Policy

    Transfer, and the Politics of Scale in South East Europe. Southeast European

    Politics, VI (2), November.

    Suryo, Almuchalif (2012) Tantangan dan Potensi Pasukan Pemeliharaan Perdamaian

    Asean vis a vis Penyelesaian Isu Filipina Selatan [PDF] Peacekeeping Center

    Indonesia. Diakses dari: http://www.pkc-indonesia.com/images/pmpp/dokumen/

    pdf/Tantangan%20Dan%20Potensi%20Pasukan%20Pemeliharaan%20Perdamaia

  • 26

    n%20Asean%20Vis%20A%20Vis%20Penyelesaian%20Isu%20Filipina%20Selat

    an.pdf [Diakses pada 19-03-2013].

    Tully, John (2006) A Short Story of Cambodia: From Empire to Survival. Bangkok:

    Silkworm Books.

    Van Ploeg, Frederick & Poelhekke, Steven (2008) The Volatility Curse: Revisiting the

    Paradox of Plenty. De Nederlandsche Bank Working Paper, No. 206, March,

    Amsterdam.

    Zartman, William (ed.) (2007) Peacemaking in International Conflict: Methods &

    Techniques. Washington: US Institute of Peace.