2012-2-00298-ti bab2001

8
BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1Distribusi dan Transportasi dalam Sistem Rantai Pasok Suatu sistem rantai pasok terdiri atas semua pihak yang terlibat dalam proses pemenuhan permintaan konsumen, yang meliputi pihak pemasok, manufaktur, distributor, retailer, dan konsumen. Dalam memenuhi permintaan konsumen, suatu sistem rantai pasok biasanya memiliki fungsi distribusi (Chopra dan Meindl, 2010). Secara garis besar, distribusi merupakan pergerakan bahan maupun komoditas dari satu titik ke titik lainnya dalam rantai pasok, dan termasuk di dalamnya adalah transportasi (atau pengangkutan) dan pergudangan (Russell dan Taylor, 2009). Dalam proses distribusi fisik, diperlukan proses transportasi untuk memindahkan satu komoditas dari satu tempat ke tempat lain dalam suatu rantai pasok. Dua pihak yang terlibat dalam proses transportasi dalam rantai pasok adalah pengirim (shipper) dan pengangkut (carrier). Adapun beberapa moda transportasi yang dapat dipilih dalam pengangkutan komoditas dalam rantai pasok, antara lain: transportasi udara, transportasi perairan, pipa, kereta, truk, jasa kurir, maupun kombinasi dari moda transportasi yang ada (intermodal) (Chopra dan Meindl, 2010). Bagi perusahaan maya (internet companies) yang sistem rantai pasoknya terutama terdiri dari kegiatan memasok dan menyalurkan komoditas, keunggulan dari pelayanan mereka ada pada kemampuan untuk mendistribusikan komoditas mereka kepada konsumen akhir (Russell dan Taylor, 2009). Di antara semua moda transportasi yang tersedia, jasa kurir dianggap sebagai moda yang paling cocok untuk perusahaan maya, karena jasa kurir menawarkan pelayanan pengiriman paket berukuran kecil dalam waktu yang paling singkat 6

Upload: anggrietha-ghaniz

Post on 25-Dec-2015

25 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

eeee

TRANSCRIPT

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Distribusi dan Transportasi dalam Sistem Rantai PasokSuatu sistem rantai pasok terdiri atas semua pihak yang terlibat dalam

proses pemenuhan permintaan konsumen, yang meliputi pihak pemasok, manufaktur, distributor, retailer, dan konsumen. Dalam memenuhi permintaan konsumen, suatu sistem rantai pasok biasanya memiliki fungsi distribusi (Chopra dan Meindl, 2010). Secara garis besar, distribusi merupakan pergerakan bahan maupun komoditas dari satu titik ke titik lainnya dalam rantai pasok, dan termasuk di dalamnya adalah transportasi (atau pengangkutan) dan pergudangan (Russell dan Taylor, 2009).

Dalam proses distribusi fisik, diperlukan proses transportasi untuk memindahkan satu komoditas dari satu tempat ke tempat lain dalam suatu rantai pasok. Dua pihak yang terlibat dalam proses transportasi dalam rantai pasok adalah pengirim (shipper) dan pengangkut (carrier). Adapun beberapa moda transportasi yang dapat dipilih dalam pengangkutan komoditas dalam rantai pasok, antara lain: transportasi udara, transportasi perairan, pipa, kereta, truk, jasa kurir, maupun kombinasi dari moda transportasi yang ada (intermodal) (Chopra dan Meindl, 2010).

Bagi perusahaan maya (internet companies) yang sistem rantai pasoknya terutama terdiri dari kegiatan memasok dan menyalurkan komoditas, keunggulan dari pelayanan mereka ada pada kemampuan untuk mendistribusikan komoditas mereka kepada konsumen akhir (Russell dan Taylor, 2009). Di antara semua moda transportasi yang tersedia, jasa kurir dianggap sebagai moda yang paling cocok untuk perusahaan maya, karena jasa kurir menawarkan pelayanan pengiriman paket berukuran kecil dalam waktu yang paling singkat dibandingkan dengan moda transportasi lainnya (Chopra dan Meindl, 2010).

2.2 Pengambilan Keputusan dalam Sistem Transportasi Jasa KurirPada umumnya, pengambilan keputusan dalam suatu sistem transportasi

mencakup dua aspek, yaitu penentuan rute dan penjadwalan armada transportasi. Keputusan yang diambil biasanya dilakukan untuk mengoptimalkan tingkat pemanfaatan (utilization) dari kendaraan maupun kurir dalam suatu armada transportasi, dan di lain pihak tetap dapat memberikan pelayanan yang sesuai dengan harapan konsumen. Dalam proses pengambilan keputusan transportasi, perlu dilakukan analisis transportasi, dimana keluaran yang diharapkan dari analisis tersebut adalah kombinasi dari rute dan penjadwalan dari suatu armada transportasi yang dapat meminimalkan jumlah kendaraan yang dipakai, waktu tempuh, maupun jarak yang ditempuh dalam proses pengangkutan komoditas (Bowersox, dkk., 2002).

Adapun pertimbangan lain dalam pengambilan keputusan transportasi adalah trade-off antara biaya transportasi dan kepuasan konsumen atas ketanggapan dari pelayanan yang ditawarkan oleh pihak penyedia jasa (Chopra dan Meindl, 2010). Seperti yang telah disebutkan, keunggulan jasa kurir

6

7

dibandingkan dengan moda transportasi lainnya adalah waktu pengiriman yang cepat. Namun, waktu pengiriman yang singkat mungkin berdampak pada volume pengiriman yang relatif kecil, karena penumpukan volume paket akan membutuhkan waktu.

2.3 Penentuan Rute Distribusi2.3.1 Vehicle Routing Problem (VRP)

Vehicle Routing Problem (VRP) merupakan masalah optimisasi penentuan rute sejumlah m kendaraan, yang pada umumnya dibatasi oleh keadaan-keadaan berikut (Ezzatneshan, 2010):- Setiap kendaraan (dengan kapasitas tertentu) yang digunakan

berangkat dari satu depot untuk mendistribusikan komoditas dan di akhir proses kembali ke depot.

- Hanya ada satu kendaraan yang melayani tiap-tiap titik lokasi konsumen.

Pada pengembangan model VRP, dapat dilakukan modifikasi batasan masalah, misalnya penambahan batasan waktu untuk VRPTW (VRP with Time Windows) maupun pemberian kelonggaran batasan yang memperbolehkan suatu kendaraan tidak perlu kembali ke depot setelah selesai melakukan tugasnya (Open VRP atau OVRP). Umumnya, optimisasi yang ingin dicapai dalam VRP adalah untuk meminimalkan ‘biaya total’ perjalanan dengan batasan-batasan yang ditetapkan. Biaya perjalanan sendiri biasanya dikaitkan dengan jarak total yang ditempuh oleh sejumlah m kendaraan yang beroperasi. Pada kasus tertentu, banyaknya kendaraan (m) mungkin menjadi keluaran yang ingin dioptimalkan dalam suatu masalah penentuan rute distribusi (Ezzatneshan, 2010).

Metode untuk menentukan solusi optimal dalam masalah penentuan rute dapat dibagi menjadi metode eksak dan metode heuristis. Metode eksak mampu menghasilkan solusi paling optimum, jika dan hanya jika kompleksitas masalah penentuan rute tidak terlalu tinggi (Ezzatneshan, 2010).

2.3.2 Metode Heuristis untuk Vehicle Routing Problem (VRP) Metode heuristis digunakan untuk menemukan solusi yang

‘mendekati’ optimum pada masalah penentuan rute kendaraan. Adapun beberapa kriteria yang menjadi tolok ukur baik atau tidaknya suatu pendekatan heuristis pada penentuan rute kendaraan (Laporte, dkk., 2002) meliputi: ketepatan (accuracy), kecepatan penghitungan (speed), tidak rumit (simplicity), dan mampu disesuaikan (flexibility).

Satu tipe metode heuristis adalah metode heuristis konstruktif, dimana keluaran dari metode ini adalah solusi awal yang dapat digunakan (feasible). Berdasarkan cara konstruksi rute, metode heuristis konstruktif ini dapat dilakukan secara bertahap (dimana rute selanjutnya akan dibuat jika satu rute sudah selesai dibentuk) maupun secara paralel (dimana konstruksi dua atau lebih rute dapat terjadi bersamaan). Berdasarkan banyaknya fase, metode ini dapat dilakukan dengan pendekatan satu fase maupun dua fase, dimana pengelompokan titik

8

lokasi konsumen dan penentuan rute dilakukan pada fase yang berbeda dalam metode heuristis konstruktif dua fase (Carić, dkk., 2008).

Beberapa metode heuristis konstruktif yang digunakan dalam penyelesaian masalah penentuan rute antara lain:- Metode heuristis Sweep, yang merupakan metode dengan dua fase:

pengelompokan terlebih dahulu, kemudian penentuan rute (cluster first, route second). Fase pengelompokan dilakukan dengan merotasikan suatu garis maya dengan titik lokasi depot sebagai porosnya. Pada proses ini, titik-titik lokasi konsumen yang dilewati oleh garis ini akan bergabung menjadi satu kelompok atau cluster sampai membentur batasan-batasan tertentu. Kemudian, fase penentuan rute dapat dilakukan dengan menyelesaikan permasalahan Traveling Salesman Problem atau TSP untuk titik lokasi konsumen pada tiap cluster yang terjadi (Laporte, dkk., 2002 dan Carić, dkk., 2008).

- Metode heuristis Penghematan oleh Clark dan Wright (Clark and Wright Savings Heuristics). Pada tahap awal metode ini, dibentuk rute bolak-balik (dari dan ke depot) untuk setiap titik lokasi konsumen sehingga banyak rute (atau banyak kendaraan) sama dengan banyaknya titik lokasi konsumen yang harus dikunjungi. Kemudian dilakukan iterasi dimana akan dilakukan penggabungan dua rute bila memungkinkan. Prioritas penggabungan rute awal biasanya diurutkan berdasarkan besar penghematan akibat penggabungan dua rute menjadi satu rute yang lebih besar. Adapun penggabungan rute dapat dilakukan secara bertahap maupun secara paralel (Laporte, dkk., 2002 dan Carić, dkk., 2008).

2.3.3 Pendekatan Dekomposisi dalam Penentuan RutePenentuan rute juga dapat dilakukan dengan pendekatan

dekomposisi, dimana lingkup masalah yang cukup besar akan dipecah menjadi beberapa sub-masalah (Lian dan Castelain, 2010). Logika di balik pendekatan ini adalah sebagai berikut: jika fungsi objektif pada masalah awal adalah meminimalkan biaya, maka penjumlahan dari nilai biaya minimum untuk masing-masing sub-masalah juga akan memberikan nilai biaya minimum pada masalah awal. Adapun langkah-langkah penentuan rute dengan pendekatan ini adalah (Lian dan Castelain, 2010):- Langkah 1: Membagi titik-titik lokasi pada masalah awal menjadi

beberapa kelompok yang lebih kecil.- Langkah 2: Menentukan rute awal (initial solution) untuk kelompok

yang telah dibentuk pada Langkah 1 dengan metode VRP maupun TSP.

- Langkah 3 (bersifat opsional): memperbaiki rute pada tiap kelompok (improvement phase).

Pada Langkah 1, kriteria dekomposisi dapat dilandasi oleh aspek operasional, misalnya berdasarkan kriteria ruang atau space criterion (Lian dan Castelain, 2010). Dengan kriteria ruang, kelompok (atau cluster) yang sama akan tersusun atas titik-titik lokasi yang berdekatan

9

(Lihat Gambar 2.1 – Gambar 2.3). Setelah terbentuk cluster, maka penentuan rute untuk setiap sub-kelompok dapat dilakukan.

Gambar 2.1 Masalah Awal pada Penentuan Rute

* = titik depot, = titik konsumenSumber: Lian dan Castelain (2010)

Gambar 2.2 Langkah 1 Pendekatan Dekomposisi dengan Kriteria Ruang

Sumber: Lian dan Castelain (2010)

Gambar 2.3 Langkah 2 Pendekatan Dekomposisi: Pemecahan masalah VRP maupun TSP pada Masing-masing Sub-masalah (1 sub-masalah = 1 cluster)

Sumber: Lian dan Castelain (2010)

2.4 ClusteringDalam suatu industri distribusi, suatu perusahaan mungkin tidak dapat

memberikan pelayanan yang dapat memenuhi harapan dari semua konsumennya. Hal ini mungkin dikarenakan oleh keterbatasan sumber daya yang ada, antara lain jumlah kurir atau jumlah kendaraan maupun panjang waktu produktif untuk proses pengiriman. Karena kendala inilah, suatu perusahaan distribusi mungkin harus membagi wilayah pelayanannya menjadi beberapa cluster (Cao dan Glover, 2010).

Terkait dengan data, cluster didefinisikan sebagai “kelompok data yang diklasifikasikan berdasarkan informasi yang menggambarkan data tersebut dan berdasarkan hubungan antar kelompok data tersebut”. Adapun tujuan dari pembentukan cluster adalah untuk membuat suatu batas wilayah antar kelompok dimana anggota dari kelompok yang sama akan memiliki karakteristik intra kelompok yang sama, dan sebaliknya anggota dari dua kelompok yang berbeda akan memiliki karakteristik yang berbeda pula (Tan, dkk., 2006). Dalam konteks penentuan rute distribusi, cluster dapat diartikan sebagai kumpulan titik lokasi konsumen dalam suatu area tertentu yang memiliki satu karakteristik, yaitu dilayani oleh kurir yang sama, dimana kurir ini tidak dapat mengunjungi

Cluster 1: penentuan rute dengan metode TSP

Cluster 2: penentuan rute dengan metode VRP

Cluster 4: penentuan rute dengan metode TSP

Cluster 3: penentuan rute dengan metode TSP

10

konsumen dari cluster yang berbeda dari yang ditugaskan kepada kurir itu (Cao dan Glover, 2010).

Dalam sistem distribusi, Cao dan Glover (2010) menyarankan penentuan cluster dilakukan dengan asumsi-asumsi berikut ini: kerapatan (compactness), saling terhubung intra cluster, namun tidak bergantung antar cluster (connectivity), dan keseimbangan (balance).

2.5 Traveling Salesman Problem (TSP)Penyelesaian metode heuristis dengan metode Sweep menggunakan

teknik penyelesaian TSP pada tahap kedua. Pada tahap pertama dari metode Sweep, semua titik lokasi konsumen (titik demand) telah dibagi menjadi cluster menurut batasan-batasan yang telah ditetapkan (misalnya kapasitas kendaraan), dimana pada tiap cluster akan dibentuk rute yang akan dilayani oleh satu kendaraan (Matai, dkk., 2010). Salah satu metode penyelesaian masalah TSP antara lain metode Tetangga Terdekat (Nearest Neighbor) dimana akan dipilih satu titik awal dari cluster yang akan dibentuk rutenya (titik awal ini dapat berupa titik random atau bisa juga dipilih titik terjauh dari depot). Rute akan dibentuk dengan menambahkan satu titik lokasi konsumen baru yang paling dekat dengan titik terakhir yang baru ditambahkan pada rute TSP yang sedang dibentuk (Carić, dkk., 2008).

2.6 Penentuan Ukuran SampelUkuran sampel yang perlu dikumpulkan dalam suatu pengamatan atau

penelitian dapat dipengaruhi oleh tujuan penelitian atau pengamatan, ukuran populasi, kemungkinan adanya sampel yang menyimpang, dan ukuran penyimpangan yang diperbolehkan. Salah satu cara untuk mengetahui ukuran sampel yang harus dikumpulkan adalah dengan menggunakan rumus (Uji Kecukupan Data dapat dilihat di Lampiran 3). Jika ukuran populasi diketahui, maka rumus yang dapat digunakan adalah:

dengan:

adalah ukuran sampel yang hendak dicari.

adalah ukuran dari populasi yang diamati.

adalah tingkat presisi.