2010 position paper asuransi wajib kecelakaan · pdf fileposition paper analisis kebijakan...

37

Upload: duonganh

Post on 07-Feb-2018

221 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

1

POSITION PAPER

ANALISIS KEBIJAKAN PERSAINGAN DALAM INDUSTRI

ASURANSI WAJIB KECELAKAAN LALU LINTAS DI INDONESIA

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

2010

2

1. Latar Belakang

Asuransi kecelakaan lalu lintas merupakan salah satu jenis perlindungan bagi masyarakat yang

sifatnya sangat penting. Melalui asuransi kecelakaan lalu lintas, setiap pengendara kendaraan di

jalan raya dapat dijamin dari biaya-biaya yang mungkin timbul sebagai akibat dari kecelakaan

serta keluarganya dapat memperoleh santunan apabila korban kecelakaan meninggal.

Industri asuransi angkutan darat di Indonesia telah berusia cukup lama. Industri ini lahir

sejak tahun 1960-an semenjak Pemerintah Indonesia menasionalisasikan perusahaan-perusahaan

Belanda yang salah satunya bergerak di sektor asuransi. Dengan diterbitkannya Undang-Undang

(UU) No.33 dan Undang-Undang (UU) No.34 tahun 1964, serta diterjemahkan dalam Surat

Keputusan Menteri Urusan Pendapatan, Pembiayaan dan Pengawasan RI No. BAPN 1-3-3

tanggal 30 Maret 1965 maka Pemerintah memberikan tugas kepada PNAK PT. Jasa Raharja

yang sekarang bernama PT. Jasa Raharja sebagai satu-satunya penyedia jasa dalam industri

asuransi angkutan darat tersebut.

Dari jumlah korban yang telah disantuni oleh asuransi kecelakaan Jasa Raharja sejak tahun

2006 – 2009 telah mencapai 17.189 orang, yang mengalami kecelakaan baik meninggal maupun

cidera di semua jenis angkutan. PT. Jasa Raharja sendiri yang telah memonopoli industri asuransi

angkutan darat di Indonesia selama kurang lebih 45 tahun, telah menjadi perusahaan yang besar

dengan laba per tahun 2007 mencapai + Rp. 500. milyar.

Dari sisi persaingan usaha, menjadi monopolis bukan merupakan satu hal yang otomatis

melanggar UU No. 5 Tahun 1999. Teori ekonomi mengenal adanya monopoli alamiah, dimana

satu pelaku usaha dapat menguasai pasar karena efisiensi, kemampuan modal yang besar,

penguasaan input dan teknologi dan lain-lain.

UU No. 5 Tahun 1999 juga mengecualikan monopoli yang diamanatkan oleh Undang-Undang.

Apabila suatu UU terkait industri tertentu, mengamanatkan kepada pelaku usaha tertentu untuk

menjadi monopolis dalam industri tersebut, maka pengaturan ini dikecualikan dari UU No. 5

Tahun 1999.

Meskipun terdapat justifikasi ekonomi dan hukum tentang adanya monopoli dalam suatu

industri, akan tetapi KPPU tetap berkewajiban mengawasi perilaku dari monopolis tersebut,

untuk tetap menjaga kesejahteraan konsumen dalam industri tersebut. Terkait dengan industri

asuransi angkutan darat sendiri, KPPU perlu untuk memahami apakah penunjukkan PT. Jasa

Raharja sebagai satu-satunya pelaku usaha dalam industri asuransi angkutan darat adalah

termasuk dalam hal-hal yang dikecualikan dari UU No. 5 Tahun 1999. Selain itu KPPU juga

perlu memetakan perilaku dari PT. Jasa Raharja tersebut sehingga dapat dipahami bahwa tidak

terdapat perilaku yang merugikan konsumen di lapangan.

3

2. Gambaran Umum Asuransi Sosial Kecelakaan Lalu Lintas Di Indonesia

Kecelakaan lalu lintas merupakan salah satu penyebab utama kematian, luka dan kecacatan

manusia di dunia. Sekitar 1,2 juta orang meninggal dan beberapa juta orang teluka bahkan

mengalami cacat fisik setiap tahunnya. Di Indonesia pada tahun 2005 sebanyak 11.610 orang

meninggal dan 22.217 orang luka-luka akibat kecelakaan di jalan raya1. Dari tahun ke tahun

jumlah ini bahkan menunjukkan angka yang semakin meningkat seiring dengan semakin

banyaknya jumlah kendaraan yang berlalu lalang di jalan raya.

Kecelakaan lalu lintas membawa dampak yang sangat besar baik dari sisi sosial maupun

ekonomi. Dari sisi ekonomi kecelakaan lalu lintas membawa dampak pada :

1. Biaya rumah sakit dan kesehatan

2. Kerugian produktivitas secara nasional

3. Kerusakan sarana dan prasarana lalu lintas

Di Indonesia kecelakaan lalu lintas telah menimbulkan kerugian berkisar antara 3% dari

pendapatan nasional bruto dan di dunia berkisar 2% dari penatapan bruto, setara dengan 90

trilyun pada tahun 20062. Untuk itu maka Pemerintah berupaya melindungi masyarakat dari

kerugian akibat kecelakaan lalu lintas melalui UU No. 33 dan 34 tahun 1964. Sebagai pelaksana

dari UU tersebut adalah PT. Jasa Raharja yang merupakan kepanjangan tangan Pemerintah.

2.1. Sistem Iuran Wajib Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang yang

Diamanatkan melalui UU No. 33 Tahun 1964

Sistem iuran wajib yang berhubungan dengan kewajiban Pemerintah memberikan santunan

kepada penumpang angkutan umum korban kecelakaan diatur dalam UU No. 33 tahun 1964.

Di dalam UU tersebut dinyatakan bahwa setiap penumpang yang sah dari kendaraan

bermotor umum, kereta api, pesawat terbang, perusahaan penerbangan nasional dan kapal

perusahaan perkapalan/pelayaran nasional wajib membayar iuran melalui pengusaha/pemilik

yang bersangkutan untuk menutup akibat keuangan disebabkan kecelakaan penumpang dalam

perjalanan.

Iuran wajib yang disetor oleh penumpang yang syah tersebut dianggap sebagai premi untuk

mengganti kerugian yang berhubungan dengan kematian dan cacat tetap. Kewajiban

membayar iuran wajib tersebut tidak berlaku bagi beberapa pihak yang tercantum dalam

penjelasan UU No. 33 Tahun 1964 misalnya angkutan umum dalam kota dan penumpang

1 Kajian Sumber Pendanaan Keselamatan Jalan. Satuan Kerja Peningkatan dan Pembinaan Transportasi

Darat, Departemen Perhubungan. 2007. 2 Ibid.

4

kereta api berjarak kurang dari 50 km ataupun penumpang kereta api dalam kota. Walaupun

penumpang tersebut dibebaskan dari kewajiban membayar iuran, tetapi Pemerintah melalui

PT. Jasa Raharja tetap memberikan santunan apabila terjadi resiko.

Adapun mekanisme pembayaran premi dilakukan dengan cara penumpang membayar

kepada perusahaan angkutan umum, bersamaan dengan pembelian tiket penumpang. Setiap

bulan setiap tanggal 27 perusahaan angkutan akan membayarkan hasil pembayaran iuaran

wajib dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang atau yang bisa dianggap sebagai

premi asuransi penumpangnya kepada Bank yang ditunjuk atau kepala Badan Asuransi yang

ditunjuk oleh Pemerintah. Adapun besaran premi adalah sebagai berikut :

Tabel 1 : Besaran Premi Menurut Jenis Kendaraan

Jenis Kendaraan Besaran Premi

Kendaraan bermotor umum Rp.60,00 (enam puluh rupiah).

Kereta api Rp120,00 (seratus dua puluh rupiah).

Alat angkutan penumpang umum di sungai/danau

Alat angkutan penumpang umum dengan biaya angkutan sampai dengan Rp 2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah) sebesar Rp 100,00 (seratus rupiah).

Alat angkutan penumpang umum dengan biaya angkutan di atas Rp 2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah) sebesar Rp 200,00 (dua ratus rupiah).

Alat angkutan penumpang umum ferry/penyeberangan dan laut

Alat angkutan penumpang umum dengan biaya angkutan sampai dengan Rp 2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah) sebesar Rp 100,00 (seratus rupiah).

Alat angkutan penumpang umum dengan biaya angkutan di atas Rp 2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah) sampai dengan Rp 5.000,00 (lima ribu rupiah) sebesar Rp 200,00 (dua ratus rupiah).

Alat angkutan penumpang umum dengan biaya angkutan di atas Rp 5.000,00 (lima ribu rupiah) sampai dengan Rp 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) sebesar Rp 400,00 (empat ratus rupiah).

Alat angkutan penumpang umum dengan biaya angkutan di atas Rp 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) sampai dengan Rp 25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah) sebesar Rp 800,00 (delapan ratus rupiah).

Alat angkutan penumpang umum dengan biaya angkutan di atas Rp 25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah) sebesar Rp 2.000,00 (dua ribu rupiah).

Alat angkutan penumpang umum di udara Rp 5.000,00 (lima ribu rupiah).

Sumber : Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37/Pmk.010/2008

5

2.2. Sistem Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan yang Diamanatkan

Melalui UU No. 34 Tahun 1964

Untuk perlindungan kepada selain penumpang umum yang mengalami kecelakaan,

Pemerintah melakukan pungutan melalui sumbangan wajib dana kecelakaan lalu lintas jalan

yang diatur dalam UU No. 34 1964. Dalam UU 34/1964 dinyatakan bahwa pengusaha/pemilik

alat angkutan lalu lintas jalan diharuskan memberi sumbangan wajib setiap tahun yang besarnya

ditentukan berdasarkan Peraturan Pemerintah. Beberapa pengecualian terhadap kewajiban di

atas tertera pada penjelasan UU No. 34 tersebut yaitu sepeda motor dan sepeda kumbang

dengan silinder 50 cc, atau kurang, kendaraan ambulan, kendaraan pemadam kebakaran,

kendaraan jenazah dan kereta api dibebaskan dari sumbangan wajib.

UU No.34 tahun 1964 mengatur mengenai iuran wajib yang dibebankan kepada pemilik

perusahaan atau kendaraan yang berlalu lalang di jalan raya. Mekanisme pembayaran bisa

melalui samsat yaitu saat perpanjangan surat tanda kendaraan bermotor maupun bagi

pengusaha kendaraan angkutan langsung dibayarkan kepada PT. Jasa Raharja pada akhir Juni

untuk tahun berjalan,

Besarnya Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ) adalah sebagai

berikut sesuai Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 36/PMK.010/2008 tanggal 26 Februari

2008, ditetapkan sebagai berikut :

Tabel 2. Besaran Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan sesuai

dengan Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 36/PMK.010/2008

Gol Jenis Kendaraan Tarip

Swdkllj Kd/Sert. Jumlah

A Sepeda motor 50 cc ke bawah, mobil ambulance, mobil jenazah

dan mobil pemadam kebakaran. 0 3000 3000

B Traktor, buldozer, forklift, mobil derek, excavator, crane dan

sejenisnya. 20000 3000 23000

C1 Sepeda motor, sepeda kumbang, dan scooter diatas 50 cc s/d 250

cc dan kendaraan bermotor roda tiga. 32000 3000 35000

C2 Sepeda motor dan scooter diatas 250 cc. 80000 3000 83000

DP Pick up/mobil barang s/d 2.400 cc, sedan, jeep, dan mobil

penumpang bukan angkutan umum. 140000 3000 143000

6

Gol Jenis Kendaraan Tarip

Swdkllj Kd/Sert. Jumlah

DU Mobil penumpang angkutan umum s/d 1.600 cc. 70000 3000 73000

EP Bus dan Microbus bukan angkutan umum. 150000 3000 153000

EU Bus dan Microbus angkutan umum, serta mobil penumpang

angkutan umum lainnya diatas 1.600 cc. 87000 3000 90000

F Truck, mobil tangki, mobil gandengan, mobil barang diatas 2.400

cc, truck container, dan sejenisnya. 160000 3000 163000

Sumber : Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 36/PMK.010/2008

Besarnya santunan UU No 33 & 34 tahun 1964, ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan

RI No 36/PMK.010/2008 dan 37/PMK.010/2008 tanggal 26 Februari 2008 :

Tabel 3. Besaran Santunan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan RI No

36/PMK.010/2008 dan 37/PMK.010/2008

Jenis Santunan Angkutan Umum

Darat/Laut Udara

Meninggal Dunia Rp.25.000.000,- Rp.50.000.000,-

Catat Tetap (maksimal) Rp.25.000.000,- Rp.50.000.000,-

Biaya Rawatan (maksimal) Rp.10.000.000,- Rp.25.000.000,-

Biaya Penguburan Rp.2.000.000,- Rp.2.000.000,-

Sumber :Peraturan Menteri Keuangan RI 37/PMK.010/2008

2.3. Pertumbuhan Peserta dan Nilai Klaim Asuransi Kecelakaan Lalu Lintas di Indonesia

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa perlindungan atas kecelakaan lalu lintas

diatur melalui UU 33/1964 dan UU 34/1964. Melalui UU No. 33 Tahun 1964, peserta yang

berhak memperoleh santunan kecelakaan lalu lintas adalah Tiap penumpang yang sah dari

kendaraan bermotor umum, kereta-api, pesawat terbang, perusahaan penerbangan nasional dan

kapal perusahaan perkapalan/pelayaran nasional.

7

Adapun berdasarkan UU 34/1964, pihak yang berhak memperoleh perlindungan antara lain

setiap orang yang menjadi korban mati atau cacat tetap akibat kecelakaan yang disebabkan oleh

alat angkutan lalu-lintas jalan dan ahli warisnya.

Pertumbuhan pendapatan iuran wajib asuransi berdasarkan UU No. 33 Tahun 1964 periode

2006 sd. 2008 adalah sebagai berikut :

Tabel 4. Pertumbuhan Pendapatan Iuran Wajib Asuransi Berdasarkan UU No. 33 Tahun

1964 pada Periode 2006 s/d 2008

PENERIMAAN PREMI AKTIVITAS RATA2

SEKTOR 2006 2007 2008 AKT

(a) (b) (c) (d) (c/b) (d/c)

UU.No.33/1964

IWKBU 80,864,730,200 82,439,715,725 82,695,000,000 1.95% 0.31% 1.28%

IWKL 21,672,432,890 22,362,272,520 39,854,000,000 3.18% 78.22% 79.81%

IWPU 109,327,098,250 156,112,301,060 151,673,780,000 42.79% -2.84% 18.55%

IWKA 2,495,314,000 2,270,275,740 4,299,000,000 -9.02% 89.36% 84.85%

Jumlah 214,359,575,340 263,184,565,045 278,521,780,000 22.78% 5.83% 17.22%

Sumber : Biro Asuransi Bappepam LK, 2009

Keterangan :

IWKBU : Iuran Wajib Kendaraan Bermotor Umum

IWKL : Iuran Wajib kapal Laut

IWPU : Iuran Wajib Pesawat Udara

IWKA : Iuran Wajib Kereta Api

Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa sumbangan premi terbesar adalah dari

moda pesawat udara yang mencapai lebih dari 100 milyar dari tahun 2006 dan mencapai Rp.

151 milyar pada tahun 2008. Sedangkan penyumbang kedua terbesar adalah dari moda

kendaraan bermotor umum yang mencapai rata-rata Rp. 80 milyar per tahun. Meskipun

demikian pertumbuhan terbesar adalah dari moda kereta api dimana pada tahun 2008,

mengalami pertumbuhan premi mencapai 89% dibanding tahun 2007. Sedangkan moda yang

lain cenderung mengalami penurunan seperti pada moda pesawat udara dan kendaraan

bermotor umum.

8

Untuk pertumbuhan pendapatan dari sumbangan wajib dana keelakaan lalu lintas dan jalan

sebagaimana diamanatkan melalui UU No. 34 tahun 1964, adalah sebagai berikut :

Tabel 5 : Pertumbuhan Pendapatan Sumbangan Wajib Asuransi Berdasarkan UU No. 34

Tahun 1964 pada Periode 2006 s/d 2008

PENERIMAAN PREMI AKTIVITAS RATA2

SEKTOR 2006 2007 2008 AKT

(a) (b) (c) (d) (c/b) (d/c)

UU.No.34/1964 0.00%

KD/Sert 101,256,147,000 113,080,991,700 126,466,000,000 11.68% 11.84% 17.68%

SWDKLLJ 922,284,348,000 1,011,177,700,448 1,792,917,000,000 9.64% 77.31% 82.13%

Jumlah 1,023,540,495,000 1,124,258,692,148 1,919,383,000,000 9.84% 70.72% 75.64%

Sumber : Biro Asuransi Bappepam LK, 2009

Keterangan :

KD/Sert :Kartu Dana/Sertifikat

SWDKLLJ : Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan

Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa jumlah pertumbuhan SWDKLLJ dari tahun ke

tahun semakin meningkat. Apabila pada tahun 2006 jumlahnya hanya Rp. 922 milyar maka

pada tahun 2008 jumlahnya telah mencapai Rp. 1,8 trilyun. Hal tersebut juga terlihat dari

prosentase aktivitasnya Apabila dilihat dari sisi perkembangan aktivitasnya, dimana

perkembangannya pada tahun 2008 mencapai 77,31% dibanding tahun 2007.

Adapun rekapitulasi jumlah korban dan santunan berdasarkan UU No. 33 dan 34 Tahun

1964 adalah sebagaimana tabel berikut :

9

Tabel 6 : Rekapitulasi Jumlah Korban dan Santunan berdasarkan UU No. 33 Tahun 1964

Sumber : Biro Asuransi Bappepam LK, 2009

TAHUN

UU NO. 33 / 1964

SIFAT PKBU PKA PKL PKU JUMLAH

CEDERA Krb. Rp. Krb. Rp. Krb. Rp. Krb. Rp. Krb. Rp.

2006 Meninggal 732 7,320,000 126 1,260,000 171 1,710,000 17 850,000 1,046 11,140,000

Luka-luka 4,125 6,761,310 360 790,219 93 178,697 21 327,897 4,599 8,058,123

Cacat Tetap 10 347,279 3 109,600 1 6,600 0 - 14 463,479

Penguburan 7 7,000 6 6,000 - - 1 1,000 14 14,000

JUMLAH 4,874 14,435,589 495 2,165,819 265 1,895,297 39 1,178,897 5,673 19,675,602

2007 Meninggal 617 6,170,000 114 1,140,000 557 5,570,000 110 5,180,000 1,398 18,060,000

Luka-luka 3,214 6,216,144 779 1,045,199 218 325,078 2 6,005 4,213 7,592,426

Cacat Tetap 17 345,525 1 107,600 1 9,850 2 45,250 21 508,225

Penguburan 11 11,000 3 3,000 3 3,000 10 10,000 27 27,000

JUMLAH 3,859 12,742,669 897 2,295,799 779 5,907,928 124 5,241,255 5,659 26,187,651

2008 Meninggal 674 13,925,000 107 2,090,000 73 1,120,000 2 60,000 856 17,195,000

Luka-luka 3,362 8,425,464 413 1,071,261 72 190,367 32 64,958 3,879 9,752,050

Cacat Tetap 13 604,950 3 110,000 - 2,000 - - 16 716,950

Penguburan 13 19,000 1 2,000 5 6,000 - - 19 27,000

JUMLAH 4,062 22,974,414 524 3,273,261 150 1,318,367 34 124,958 4,770 27,691,000

S/D

MARET

2009

Meninggal 145 3,685,000 36 975,000 46 1,175,000 6 60,000 233 5,895,000

Luka-luka 727 2,519,945 111 405,290 6 23,167 - - 844 2,948,401

Cacat Tetap 5 149,875 - 72,250 - - - - 5 222,125

Penguburan 3 6,000 1 2,000 1 4,000 - - 5 12,000

JUMLAH 875 6,360,820 148 1,454,540 53 1,202,167 6 60,000 1,082 9,077,526

TOTAL

2006 s/d

Maret

2009

Meninggal 2,168 31,100,000 383 5,465,000 847 9,575,000 135 6,150,000 3,533 52,290,000

Luka-luka 11,428 23,922,863 1,663 3,311,969 389 717,309 55 398,860 13,535 28,351,000

Cacat Tetap 45 1,447,629 7 399,450 2 18,450 2 45,250 56 1,910,779

Penguburan 34 43,000 11 13,000 9 13,000 11 11,000 65 80,000

JML.2006

S/D 2009

13,675 56,513,492 2,064 9,189,419 1,247 10,323,759 203 6,605,110 17,189 82,631,779

10

Tabel 7 : Rekapitulasi Jumlah korban dan Santunan Berdasarkan UU No. 34 Tahun 1964

Sumber : Biro Asuransi Bappepam LK, 2009

TAHUN

UU NO. 34 / 1964

SIFAT PKBU PKA PKL PKU JUMLAH

CEDERA Krb. Rp. Krb. Rp. Krb. Rp. Krb. Rp. Krb. Rp.

2006 Meninggal 28,423 284,230,000 25 250,000 540 5,400,000 28,988 289,880,000 28,423 284,230,000

Luka-luka 54,742 183,506,690 54 174,246 100 454,657 54,896 184,135,593 54,742 183,506,690

Cacat Tetap 196 6,213,752 - 14,000 3 143,000 199 6,370,752 196 6,213,752

Penguburan 480 480,000 - - 40 40,000 520 520,000 480 480,000

2006 JUMLAH 83,841 474,430,442 79 438,246 683 6,037,657 84,603 480,906,345 83,841 474,430,442

2007 Meninggal 29,821 298,210,000 20 200,000 522 5,220,000 30,363 303,630,000 29,821 298,210,000

Luka-luka 53,576 193,576,530 56 180,035 97 394,836 53,729 194,151,401 53,576 193,576,530

Cacat Tetap 213 5,832,581 0 500 6 117,000 219 5,950,081 213 5,832,581

Penguburan 485 485,000 1 1,000 36 36,000 522 522,000 485 485,000

JUMLAH 84,095 498,104,111 77 381,535 661 5,767,836 84,833 504,253,482 84,095 498,104,111

2008 Meninggal 32,375 672,170,000 60 1,335,000 553 10,970,00

0

32,988 684,475,000 32,375 672,170,000

Luka-luka 60,403 306,843,141 85 471,084 143 683,881 60,631 307,998,106 60,403 306,843,141

Cacat Tetap 214 9,827,219 - 15,000 1 179,675 215 10,021,894 214 9,827,219

Penguburan 533 911,000 - - 39 67,000 572 978,000 533 911,000

JUMLAH 93,525 989,751,360 145 1,821,084 736 11,900,55

6

94,406 1,003,473,000 93,525 989,751,360

S/D

MARET

2009

Meninggal 7,271 203,042,084 26 800,000 134 3,447,500 7,431 207,289,584 7,271 203,042,084

Luka-luka 17,784 100,056,002 53 383,195 28 199,817 17,865 100,639,015 17,784 100,056,002

Cacat Tetap 64 4,022,423 - 1,250 2 65,500 66 4,089,173 64 4,022,423

Penguburan 108 324,124 - - 9 18,000 117 342,124 108 324,124

JUMLAH 25,163 307,444,633 79 1,184,445 171 3,730,817 25,413 312,359,895 25,163 307,444,633

TOTAL

Tahun

2006 s/d

Maret

2009

Meninggal 97,890 1,457,652,08

4

131 2,585,000 1,749 25,037,50

0

99,770 1,485,274,584 97,890 1,457,652,08

4

Luka-luka 186,505 783,982,363 248 1,208,560 368 1,733,191 187,121 786,924,115 186,505 783,982,363

Cacat Tetap 687 25,895,975 - 30,750 12 505,175 699 26,431,900 687 25,895,975

Penguburan 1,606 2,200,124 1 1,000 124 161,000 1,731 2,362,124 1,606 2,200,124

JML.2006

S/D 2009

286,688 2,269,730,5

46

380 3,825,310 2,253 27,436,86

6

289,321 2,300,992,722 286,688 2,269,730,54

6

11

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa korban yang disantuni berdasarkan UU No.

33 Tahun 1964 sejak tahun 2006 sd 2008 sejumlah 17.189 orang yang meliputi santunan untuk

korban meninggal, luka-luka, cacat tetap dan penguburan. Secara total nilai santunan yang

dikeluarkan sejumlah Rp. 82 juta

Adapun jumlah korban yang memperoleh santunan berdasarkan UU No. 34 Tahun 1964

sejumlah 286.688 orang dengan nilai santunan mencapai Rp. 2,3 milyar. Nilai tersebut jauh

lebih besar dibandingkan korban yang mendapat santunan berdasarkan UU No. 33 Tahun

1964

Meskipun demikian, nilai santunan yang dikeluarkan masih lebih kecil dibandingkan nilai

premi yang diterima, dimana pada tahun 2008 saja premi yang diperoleh berdasarkan UU No.

33 Tahun 1964 sebesar Rp. 278 milyar dan berdasarkan UU No. 34 Tahun 1964 mencapai Rp.

1,9 trilyun.

2.4. Tentang PT. Jasa Raharja

a. Sejarah PT. Jasa Raharja

Sejarah berdirinya Jasa Raharja tidak terlepas dari adanya peristiwa pengambil alihan atau

nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda oleh Pemerintah RI. Sesuai dengan

Peraturan Pemerintah (PP) No.3 tahun 1960, jo Pengumuman Menteri Urusan Pendapatan,

Pembiayaan dan Pengawasan RI No.12631/BUM II tanggal 9 Februari 1960, terdapat 8

(delapan) perusahaan asuransi yang ditetapkan sebagai Perusahaan Asuransi Kerugian Negara

(PAKN) dan sekaligus diadakan pengelompokan dan penggunaan nama perusahaan sebagai

berikut :

• Fa. Blom & Van Der Aa, Fa. Bekouw & Mijnssen, Fa. Sluiiters & co, setelah

dinasionalisasi digabungkan menjadi satu bernama PAKN Ika Bhakti.

• NV. Assurantie Maatschappij Djakarta, NV. Assurantie Kantoor Langeveldt-Schroder,

setelah dinasionalisasi digabungkan menjadi satu, dengan nama PAKN Ika Dharma.

• NV. Assurantie Kantoor CWJ Schlencker, NV. Kantor Asuransi "Kali Besar", setelah

dinasionalisasi digabungkan menjadi satu, dengan nama PAKN Ika Mulya.

• PT. Maskapai Asuransi Arah Baru setelah dinasionalisasi diberi nama PAKN Ika Sakti.

Perkembangan organisasi perusahaan tidak terhenti sampai disitu saja, karena dengan adanya

pengumuman Menteri Urusan Pendapatan, Pembiayaan dan Pengawasan RI No.

294293/BUM II tanggal 31 Desember 1960, keempat perusahaan tersebut di atas digabung

12

dalam satu Perusahaan Asuransi Kerugian Negara (PAKN) "Ika Karya." Selaniutnya PAKN

Ika Karya berubah nama meniadi Perusahaan Negara Asuransi Kerugian (PNAK) Eka Karya.

Berdasarkan PP No.8 tahun 1965 dengan melebur seluruh kekayaan, pegawai dan segala

hutang piutang PNAK Eka Karya, mulai 1 Januari 1965 dibentuk Badan Hukum baru dengan

nama 'Perusahaan Negara Asuransi Kerugian Jasa Raharja" dengan tugas khusus mengelola

pelaksanaan Undang-Undang (UU) No.33 dan Undang-Undang (UU) No.34 tahun 1964.

Penunjukkan PNAK Jasa Raharja sebagai pengelola kedua Undang-Undang tersebut

ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Urusan Pendapatan, Pembiayaan dan

Pengawasan RI No. BAPN 1-3-3 tanggal 30 Maret 1965.

Pada tahun 1970, PNAK Jasa Raharja diubah statusnya menjadi Perusahaan Umum (Perum)

Jasa Raharja. Perubahan status ini dituangkan dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan

Republik Indonesia No. Kep.750/KMK/IV/II/1970 tanggal 18 November 1970, yang

merupakan tindak lanjut dikeluarkannya UU. No.9 tahun 1969 tentang Bentuk- Bentuk Badan

Usaha Negara.

Pada tahun 1978 yaitu berdasarkan PP No.34 tahun 1978 dan melalui Surat Keputusan

Menteri Keuangan Republik Indonesia yang selalu diperpanjang pada setiap tahun dan terakhir

No. 523/KMK/013/1989, selain mengelola pelaksanaan UU. No.33 dan UU. No. 34 tahun

1964, Jasa Raharja diberi tugas baru menerbitkan surat jaminan dalam bentuk Surety Bond.

Kemudian sebagai upaya pengemban rasa tanggung jawab sosial kepada masyarakat khususnya

bagi mereka yang belum memperoleh perlindungan dalam lingkup UU No.33 dan UU No.34

tahun 1964, maka dikembangkan pula usaha Asuransi Aneka.

Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, mengingat usaha yang ditangani oleh Perum

Jasa Raharja semakin bertambah luas, maka pada tahun 1980 berdasarkan pp No.39 tahun

1980 tanggal 6 November 1980, status Jasa Raharja diubah lagi menjadi Perusahaan Perseroan

(Persero) dengan nama PT (Persero) Asuransi Kerugian Jasa Raharja, yang kemudian

pendiriannya dikukuhkan dengan Akte Notaris Imas Fatimah, SH No.49 tahun 1981 tanggal 28

Februari 1981, yang telah beberapa kali diubah dan ditambah terakhir dengan Akte Notaris

Imas Fatimah, SH No.59 tanggal 19 Maret 1998 berikut perbaikannya dengan Akta No.63

tanggal 17 Juni 1998 dibuat dihadapan notaris yang sama.

Pada tahun 1994, sejalan dengan diterbitkan UU No.2 tahun 1992 tentang Usaha

Perasuransian, yang antara lain mengharuskan bahwa Perusahaan Asuransi yang telah

13

menyelenggarakan program asuransi sosial dilarang menjalankan asuransi lain selain program

asuransi sosial, maka terhitung mulai tanggal 1 Januari 1994 Jasa Raharja melepaskan usaha non

wajib dan surety bond dan kembali menjalankan program asuransi sosial yaitu mengelola

pelaksanaan UU. No.33 tahun 1964 dan UU. No.34 tahun 1964.

b. Tujuan Pendirian Dan Lapangan Usaha

Sesuai dengan Anggaran Dasar Perseroan yang tercantum dalam Akta No.76 tanggal 24 Juli

2003 pasal 3 maksud dan tujuan serta kegiatan usaha adalah :

1. Maksud dan tujuan Perseroan ialah turut serta melaksanakan dan menunjang

kebijaksanaan dan program Pemerintah dibidang ekonomi dan pembangunan Nasional

pada umumnya serta pembangunan dibidang Asuransi dengan menjalankan usaha

asuransi kerugian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan

menerapkan prinsip‐prinsip PerseroanTerbatas.

2. Untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut di atas, Perseroan dapat melaksanakan

kegiatan usaha sebagai berikut :

a. mengadakan dan menutup perjanjian asuransi kendaraan bermotor dan asuransi

tanggung jawab menurut hukum terhadap pihak ketiga dalam hal kecelakaan alat

angkutan;

b. melaksanakan asuransi kecelakaan penumpang alat angkutan umum dan asuransi

tanggung jawab menurut hukum terhadap pihak ketiga sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang No. 33 dan 34 tahun 1964, berikut peraturan-peraturan

pelaksanaannya;

c. menerima pertanggungan tidak langsung untuk ditahan sendiri oleh perseroan.

3. Perseroan dapat pula mendirikan/menjalankan perusahaan lain, baik secara sendiri-sendiri

maupun bersama-sama dengan badan-badan lain, yang maksud dan tujuannya sama dengan

Perseroan.

c. Struktur Organisasi

Struktur organisasi PT. Jasa Raharja (Persero) sebagaimana ditetapkan dalam Surat

Keputusan Direksi Nomor : Skep/85/XI/2002 tanggal 28 Nopember 2002 dan Nomor :

KEP/44/2003 tanggal 9 Juni 2003, secara hirarkis berdasarkan kedudukannya terdiri dari:

Kantor Pusat, berkedudukan di Jakarta dan Kantor Cabang dan Perwakilan, berkedudukan di

daerah‐daerah terdiri dari 27 Kantor Cabang dan 59 Kantor Perwakilan.

14

d. Permodalan

PT. Jasa Raharja (Persero) merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang seluruh

modalnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia (dalam hal ini Menteri Keuangan Republik

Indonesia). Namun demikian sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 2001 tanggal

13 September 2001, bahwa kewenangan Menteri Keuangan Republik Indonesia selaku Rapat

Umum Pemegang Saham (RUPS) atau Pemegang Saham pada PT. Jasa Raharja (Persero),

dialihkan kepada Menteri Negara BUMN.

Sesuai Keputusan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara selaku Rapat Umum

Pemegang Saham Perusahaan PT. Jasa Raharja (Persero) tentang Perubahan Anggaran Dasar

Nomor : KEP-24/MBU/2006 tanggal 16 Februari 2006, maka struktur permodalan PT. Jasa

Raharja (Persero) menjadi sebagai berikut:

1. Modal Dasar Perusahaan ditingkatkan dari semula sebesar Rp 500.000.000.000

(Limaratus Milyar Rupiah) menjadi sebesar Rp 1.000.000.000.000 (Satu Triliun

Rupiah).

2. Modal Ditempatkan yang disetor penuh oleh Negara Republik Indonesia dari semula

sebesar Rp 250.000.000 (Duaratus Limapuluh Juta Rupiah) ditempatkan menjadi

sebesar Rp 500.000.000.000 (Limaratus Milyar Rupiah).

3. Penambahan Modal Disetor tersebut huruf b sebesar Rp 250.000.000 (Dua Ratus

Lima Puluh Juta Rupiah) berasal dari Kapitalisasi sebagian cadangan PT. Jasa Raharja

(Persero).

f. Anak Perusahaan

PT Asuransi Jasaraharja Putera didirikan berdasarkan Pernyataan Keputusan Rapat

Pemegang Saham PT Asuransi Aken Raharja mengenai Perubahan Anggaran Dasar Perseroan

yang Akte Pendiriannya dibuat dihadapan Notaris Ny. Machmudah Rijanto, SH dengan Akte

Notaris No. 81 tanggal 27 Nopember 1993 dan disahkan Menteri Kehakiman dengan

keputusan No. C2-369.HT.01.04. TH.93 tanggal 13 Desember 1993. Nama Perseroan berubah

yang semula bernama PT Asuransi Aken Raharja menjadi PT Asuransi Jasaraharja Putera,

kemudian berdasarkan keputusan Rapat Umum Luar Biasa Pemegang Saham PT Asuransi

Jasaraharja Putera tanggal 29 Desember 1995, Anggaran Dasar Perseroan mengalami

perubahan yang dilaksanakan dihadapan Notaris Sucipto, SH di Jakarta dengan Akta No. 30

tanggal 6 Juni 1996 dan telah mendapat persetujuan Menteri Kehakiman dengan Keputusan

No. C2‐1-.812.HT.01.04.TH.96 tanggal 5 Desember 1996.

15

Berdasarkan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PT

Jasaraharja Putera tanggal 23 Desember 2003, bahwa Modal Dasar Ditempatkan dan Disetor

Penuh telah ditingkatkan dari Rp 40.000.000.000 (Empatpuluh Milyar Rupiah) menjadi Rp

50.000.000.000 (Limapuluh Milyar Rupiah). Peningkatan Modal Disetor tersebut sebesar Rp

10.000.000.000 (Sepuluh Milyar Rupiah) berasal dari kapitalisasi Cadangan, sehingga posisi

Modal Disetor per 31 Desember 2003 menjadi sebagai berikut:

Tabel 8. Kepemilikan Saham PT. Jasa Raharja Putra

No. Keterangan Saham Jumlah % Nominal Saham (Rp)

1. PT. Jasa Raharja (Persero) 30.000.000 60,00 30.000.000.000

2 Dana Pensiun PT. Jasa Raharja 13.800.000 27,60 13.800.000.000

3 PT Servico Delta Investama 2.500.000 5,00 2.500.000.000

4. PT Patakarsa Utama 2.200.000 4,40 2.200.000.000

5. PT Asuransi Allianz Life Ind. 1.500.000 3,00 1.500.000.000

J u m l a h 50.000.000 100,00 50.000.000.000

Sumber : PT. Jasa Raharja, 2009

3. Karakteristik Asuransi Sosial

Kecelakaan lalu lintas sebenarnya dapat ditanggung dengan asuransi personal accident/kerugian

yang banyak ditawarkan oleh perusahaan asuransi biasa. Meskipun demikian, asuransi wajib

kecelakaan lalu lintas yang disediakan oleh Asuransi PT. Jasa Raharja mempunyai karakteristik

yang berbeda dengan asurnasi personal accident/kerugian tersebut. Asuransi wajib kecelakaan lalu

lintas oleh PT. Jasa Raharja merupakan jenis asuransi sosial dengan ciri-ciri sebagai berikut:

1. Kepesertaan pada asuransi sosial bersifat wajib;

2. Kemanfaatannya memberikan perlindungan dasar minimal (minimum floor of income);

3. Perlindungannya menekankan pada kecukupan sosial (social adequacy) sebagai unsur

kesejahteraan;

4. Manfaat dan iurannya ditetapkan dengan undang-undang;

5. Pelaksanaannya dilakukan secara monopoli oleh pemerintah;

6. Pendanaan penuh tidak diperlukan karena iuran wajib dari peserta baru, dan karena

programnya dianggap berlangsung tak terhingga;

7. Tidak diperlukan underwriting karena tidak ada seleksi peserta dan pentarifan secara

individual

16

Adapun perbandingan antara asuransi personal accident yang disediakan oleh perusahaan asuransi

swasta dengan asuransi wajib oleh PT. Jasa Raharja adalah sebagai berikut :

Tabel 9. Perbandingan Antara Asuransi Personal Accident oleh perusahaan Asuransi Swasta

dengan Asuransi Wajib oleh PT Jasa Raharja

Sumber : Biro Perasuransian-Bappepam LK, 2009

Keterangan : TPL = Total Personal Lost

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa asuransi kecelakaan lalu lintas yang dilayani

oleh PT. Jasa Raharja mempunyai karakter sosial dimana asuransi tersebut lebih ditujukan bagi

pemerataan santunan untuk seluruh lapisan masyarakat. Hal tersebut ditunjukkan dengan tidak

adanya underwriting serta subsidi diantara peserta yang kaya dengan yang miskin sehingga setiap

perserta dengan resiko dan kondisi ekonomi yang berbeda-beda akan ditanggung dengan nilai

santunan yang sama. Selain itu asuransi ini akan meng-cover korban yang tidak membayar tiket

ataupun korban tabrak lari.

Keterangan Asuransi TPL kecelakaan lalu lintas Asuransi jaminan sosial nasional

Jenis Tidak wajib Asuransi sosial

Yang dicover Kerusakan kendaraan pihak ketiga, biaya

perawatan, santunan meninggal

Dapat berupa: asuransi kesehatan, asuransi

kecelakaan kerja, asuransi kematian, dana

pensiun, asuransi hari tua

Besar Manfaat Sebesar kerusakan kendaraan, biaya

perawatan, dan atau santunan kematian

Ditentukan dengan peraturan perundang-

undangan sebesar perlindungan dasar minimal

Premi Tidak sama untuk semua peserta Sama untuk semua peserta

Penerima manfaat Pihak ketiga Peserta dan atau ahli warisnya

Provider Bisa multi provider Satu provider idealnya

Underwriting Dilakukan Tidak ada

Subsidi antar peserta Tidak ada Subsidi antara yg miskin dg yg kaya, yg risiko

rendah dgn yg risiko tinggi

Korban tabrak lari,

penumpang tdk bayar

tiket

Tidak dicover Korban tabrak lari dicover

Seharusnya tidak dicover utk penumpang yg

tidak bayar, namun secara politis kadang mjd

hrs dibayar

17

4. Aturan mengenai Asuransi Wajib Kecelakaan Lalu Lintas

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, Pemerintah mempunyai kewajiban untuk

memberikan santunan bagi korban kecelakaan lalu lintas, baik darat, laut dan udara. Hal tersebut

diatur melalui UU No. 33 Tahun 1964 dan UU No. 34 Tahun 1964. Dalam UU No. 33 Tahun

1964 pasal 3, disebutkan bahwa tiap penumpang yang sah dari kendaraan bermotor umum, kereta-

api, pesawat terbang, perusahaan penerbangan nasional dan kapal perusahaan

perkapalan/pelayaran nasional, wajib membayar iuran melalui pengusaha/pemilik yang

bersangkutan untuk menutup akibat keuangan disebabkan kecelakaan penumpang dalam

perjalanan.

Selain dana yang terkumpul dari penumpang, dana santunan untuk korban kecelakaan juga

dikumpulkan dari dana pertanggunggan wajib kecelakaan lalu lintas, sebagaimana diatur melalui

UU No. 34 Tahun 1964, mengenai Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Lalu Lintas Jalan.

Dalam UU No. 34 Tahun 1964 pasal 1 tersebut yang dimaksud dengan dana pertanggungan wajib

kecelakaan lalu lintas adalah dana yang terhimpun dari sumbangan wajib, yang dipungut dari para

pemilik/pengusaha alat angkutan lalu- lintas jalan dan yang disediakan untuk menutup akibat

keuangan karena kecelakaan lalu-lintas jalan korban/ahliwaris yang bersangkutan.

Seperti halnya iuran yang wajib dibayarkan penumpang kendaraan umum, selanjutnya dana

tersebut akan digunakan untuk memberikan ganti rugi pada korban mati atau cacad akibat

kecelakaan lalu lintas, dengan besaran yang ditentukan oleh Peraturan Pemerintah (UU No.

33/1964 pasal 7 dan UU No. 34/1964 pasal 4).

a. Regulasi mengenai Asuransi Wajib

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa asuransi kecelakaan lalu lintas merupakan

asuransi sosial yang bersifat wajib bagi seluruh penumpang angkutan umum dan pemilik

kendaraan umum. UU No. 2 Tahun 1992 mengenai Usaha Perasuransian pada pasal 1

mengatur bahwa Program Asuransi Sosial adalah program asuransi yang diselenggarakan secara

wajib berdasarkan suatu Undang-undang, dengan tujuan untuk memberikan perlindungan

dasar bagi kesejahteraan masyarakat. Hal yang sama kembali ditegaskan melalui Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Usaha

Perasuransian pasal 32. Pada pasal yang sama juga diatur bahwa Program Asuransi Sosial

tersebut hanya dapat diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara yang dibentuk khusus

untuk itu.

Bagi perusahaan asuransi yang diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan asuransi

sosial dilarang untuk menyelenggarakan program asuransi lain selain program asuransi sosial

tersebut.

18

b. Penunjukan dan Pendirian PT. Jasa Raharja

Untuk menyelenggarakan asuransi wajib kecelakaan lalu lintas sebagaimana diamanatkan

dalam regulasi di atas, maka ditunjuk lembaga pelaksana yaitu PT. Jasa Raharja. Penunjukkan

PT. Jasa Raharja sendiri merupakan amanat UU No. 33 tahun 1964 pada pasal 5 yang

menyatakan bahwa hasil penerimaan uang iuran wajib dari penumpang harus disetorkan

kepada dana pertanggungan melalui bank atau badan asuransi yang ditunjuk oleh Menteri.

Dalam UU 34 Tahun 1964 pada pasal 4 ayat 2 juga mengatur hal serupa dimana untuk

melaksanakan pembayaran ganti rugi kepada korban, maka Menteri dapat menunjuk instansi

Pemerintah yang dianggap perlu. Melalui UU yang sama pada pasal 5 juga diperjelas bahwa

pengurusan dan penguasaan dana (iuran penumpang dan sumbangan wajib kecelakaan lalu

lintas) dilakukan oleh suatu Perusahaan Negara yang ditunjuk oleh Menteri khusus untuk itu.

Peraturan tersebut, kembali ditegaskan melalui PP Nomor 17 Tahun 1965 Tentang

Ketentuan-Ketentuan Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang, pada

pasal 8 Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang diurus dan dikuasai oleh suatu

Perusahaan Negara menurut Undang-undang No. 19 Prp tahun 1960 tentang Perusahaan

Negara, yang khusus ditunjuk oleh Menteri untuk itu. Perusahaan Negara tersebut merupakan

penanggung pertanggungan wajib kecelakaan penumpang.

Demikian juga halnya dengan sumbangan wajib dari perusahaan angkutan umum, dananya

juga dikelola oleh perusahaan negara yang khusus ditunjuk untuk itu, sebagaimana diatur

melalui PP No. 18 Tahun 1965 tentang Ketentuan-Ketentuan Pelaksanaan Dana Kecelakaan

Lalu-Lintas Jalan.

Untuk melaksanakan amanat UU tersebut, selanjutnya Pemerintah melalui PP No. 34 Tahun

1978 memberikan kewenangan kepada PT. Jasa Raharja yang pada waktu itu bernama

Perusahaan Negara Jasa Raharja untuk menjadi perusahaan yang bergerak di bidang asuransi

kecelakaan penumpang. Pada pasal tersebut diatur mengenai tugas PT. Jasa Raharja yaitu

sebagai berikut :

a. mengadakan dan menutup perjanjian asuransi termasuk reasuransi dalam bidang asuransi

tanggung-jawab kendaraan bermotor dan kecelakaan penumpang;

b. memberi perantaraan dalam penutupan asuransi tanggung-jawab kendaraan bermotor

dan kecelakaan penumpang.

Secara lebih khusus, penunjukkan PT. Jasa Raharja sebagai pengelola kedua Undang-Undang

tersebut ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Urusan Pendapatan, Pembiayaan

dan Pengawasan RI No. BAPN 1-3-3 tanggal 30 Maret 1965, saat itu PT. Jasa Raharja masih

bernama Penunjukkan PNAK Jasa Raharja.

19

c. Premi dan Pertanggungan

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa setiap penumpang kendaraan umum diwajibkan

untuk membayar iuran dan apabila mengalami kecelakaan lalu lintas, berhak atas santunan

sebagai ganti rugi bagi korban atau ahli waris. Besaran iuran dan santunan tersebut dihitung dan

ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Hal ini merupakan amanat dari PP Nomor 17 Tahun 1965

Tentang Ketentuan-Ketentuan Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang

pada pasal 2 yang menyatakan sebagai berikut :

(1) Untuk jaminan pertanggungan kecelakaan diri dalam Peraturan Pemerintah ini, tiap

penumpang kendaraan bermotor umum, kereta api, pesawat terbang perusahaan

penerbangan nasional dan kapal perusahaan perkapalan/pelayaran nasional, untuk tiap

perjalanan wajib membayar suatu iuran.

(2) Jumlah iuran wajib yang dimaksudkan pada ayat (1) pasal ini, ditentukan oleh Menteri

menurut suatu tarip yang bersigat progresif.

Selain besarnya iuran, Menteri juga berwenang menetapkan besarnya pembayaran ganti rugi,

sebagaimana diamanatkan melalui PP No. 17 Tahun 1965 Pasal 11 yang berbunyi : besarnya

jumlah pembayaran ganti kerugian pertanggungan dalam hal kematian, cacad tetap, maksimum

penggantian biaya- biaya perawatan dan pengobatan dokter dan penggantian biaya- biaya

penguburan, sebagaimana dimaksudkan pada pasal 10 ayat (2) di atas, ditentukan oleh Menteri.

Selain besaran iuran dan ganti rugi yang dari iuran wajib penumpang, Menteri juga memiliki

kewenangan dalam menetapkan besar sumbangan wajib dari pemilik angkutan umum

sebagaimana diatur melalui PP Nomor 18 Tahun 1965 Tentang Ketentuan-Ketentuan

Pelaksanaan Dana Kecelakaan Lalu-Lintas Jalan (pasal 2) serta dana santunan dalam hal kematian

atau cacad tetap (pasal 11).

Saat ini regulasi yang mengatur mengenai besaran premi dan santunan adalah Peraturan

Menteri Keuangan RI No. 37/Pmk.010/2008 Tentang Besar Santunan Dan Luran Wajib Dana

Pertanggungan Kecelakaan Penumpang Alat Angkutan Penumpang Umum Di Darat,

Sungai/Danau, Ferry/Penyeberangan, Laut dan Udara.

d. Sanksi

Bagi penumpang kendaraan umum maupun pemilik kendaraan umum yang tidak

melaksanakan kewajiban sebagaimana diatur di atas, maka Pemerintah akan menjatuhkan sanksi

baik denda maupun pencabutan izin. UU No. 33 Tahun 1964 pasal 8 menteapkan bahwa

20

Perusahaan angkutan yang melakukan kelalaian menjalankan kewajibannya tidak memungut iuran

kepada penumpang dan atau tidak menyetorkan hasil pendapatannya pada waktu yang ditentukan

menurut pasal 5 dikenakan hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).

Sedangkan di UU No. 34 Tahun 1964, bagi pemilik kendaraan umum yang lalai untuk

membayar dana wajib dikenai sanksi berupa Pasal 7 hukuman denda setinggi-tingginya Rp.

100.000,- (seratus ribu rupiah).

Sanksi tersebut secara lebih rinci diatur dalam PP Nomor 17 Tahun 1965 Tentang

Ketentuan-Ketentuan Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang. Dalam

PP tersebut disebutkan bahwa bagi penumpang kendaraan umum yang tidak membayar iuran

wajib dan meminta kuponnya akan dikenakan denda setinggi-tingginya Rp. 25.000,- (dua puluh

lima ribu rupiah). Sedangkan bagi pengusaha angkutan umum yang tidak memungut iuran dan

atai melalaikan kewajibannya untuk menyetor iuran diancam dengan hukuman denda setinggi-

tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).

Ancaman sanksi bagi pemilik kendaraan umum yang lalai tersebut juga diatur pada Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1965 Tentang Ketentuan-Ketentuan

Pelaksanaan Dana Kecelakaan Lalu-Lintas Jalan pasal 19 dengan ancaman hukuman denda

setinggi-tingginya Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah). Pada pasal 20, di samping denda sejumlah

perizinan yang dimiliki akan dicabut yaitu:

a. surat nomor-kendaraan bermotor;

b. surat-coba-kendaraan bermotor;

c. surat uji-kendaraan bermotor;

d. izin trayek; untuk selama-lamanya satu tahun.

5. Praktek Pelaksanaan Asuransi Tambahan oleh PT. Jasa Raharja Putra

a. Asuransi Tambahan untuk Penumpang Kereta Api

Berdasarkan diskusi dengan berbagai pihak, Tim menemukan informasi mengenai praktek

pelaksanaan asuransi tambahan untuk kecelakaan lalu lintas dengan sifat diwajibkan bagi

penumpang untuk penumpang kereta api.

Saat ini PT. KAI memberlakukan 2 jenis asuransi bagi penumpang, yaitu asuransi wajib PT.

Jasa Raharja dan asuransi tambahan oleh PT. Jasa Raharja Putra. Asuransi wajib PT. Jasa

Raharja adalah asuransi kecelakaan lalu lintas yang diwajibkan oleh UU 33/34 Tahun 1964

sedangkan asuransi tambahan oleh PT. Jasa Raharja Putra dimaksudkan sebagai tambahan

santunan dari PT. KAI apabila terjadi kecelakaan kereta api.

21

Terkait dengan kewajiban asuransi tambahan yang dibebankan kepada penumpang kereta api,

PT. KAI menyatakan bahwa alasannya adalah untuk menambahkan manfaat asuransi bagi

penumpang maupun awak kereta api (masinis dan asisten masinis, kondektur, pembantu

kondektur dan manajer KA, pelayan kereta api, petugas restorasi, dll). Dengan demikian

santunan yang diterima korban dapat lebih besar. Sebelumnya, santunan yang diberikan kepada

penumpang kereta api hanyalah dari asuransi wajib PT. Jasa Raharja. Apabila terjadi kecelakaan,

seringkali PT. KAI juga dituntut untuk memberikan santunan sehingga PT. KAI terdorong

untuk memberikan asuransi tambahan tersebut.

PT. KAI juga menyatakan bahwa pemberian asuransi oleh operator kereta api tersebut,

diamanatkan oleh Undang -Undang Nomor 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian pada Bab XI,

bagian Kedelapan tetang Tanggung Jawab Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Pasal 157, Bab

XII tentang Asuransi dan Ganti Kerugian Pasal 157, 158, 166 sampai dengan Pasal 169, yang

berbunyi sebagai berikut :

Pasal 157 (1) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian bertanggung jawab terhadap pengguna jasa yang

mengalami kerugian, lukaluka, atau meninggal dunia yang disebabkan oleh

pengoperasian angkutan kereta api.

(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak pengguna jasa diangkut dari

stasiun asal sampai dengan stasiun tujuan yang disepakati.

(3) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan kerugian yang nyata

dialami.

(4) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian tidak bertanggung jawab atas kerugian, lukaluka, atau

meninggalnya penumpang yang tidak disebabkan oleh pengoperasian angkutan kereta api.

Pasal 158 (1) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh

pengirim barang karena barang hilang, rusak, atau musnah yang disebabkan oleh

pengoperasian angkutan kereta api.

(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak barang diterima oleh Penyelenggara

Sarana Perkeretaapian sampai dengan diserahkannya barang kepada penerima.

(3) Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan kerugian yang nyata dialami,

tidak termasuk keuntungan yang akan diperoleh dan biaya jasa yang telah digunakan.

(4) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian tidak bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh

keterangan yang tidak benar dalam surat angkutan barang.

22

Pasal 167

(1) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib mengasuransikan tanggung jawabnya

terhadap pengguna jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 dan Pasal 158.

(2) Besarnya nilai pertanggungan paling sedikit harus sama dengan nilai ganti kerugian yang diberikan

kepada pengguna jasa yang menderita kerugian sebagai akibat pengoperasian kereta api.

Pasal 168

Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 167 ayat (1), dikenai sanksi administratif berupa pembekuan izin operasi atau

pencabutan izin operasi.

Menurut PT. KAI, regulasi di atas mengamanatkan operator kereta api untuk mengasuransikan

penumpang serta barang yang diangkut oleh PT. KAI.

Kontrak kerjasama dengan PT. Jasa Raharja Putra sendiri telah dilakukan semenjak tahun 2003.

Adapun alasan pemilihan PT. Jasa Raharja Putra adalah sebagai berikut :

1. Konsorsium antara PT. Jasa Raharja dan PT. Jasa Raharja Putra dapat memberikan subsidi

silang antara asuransi penumpang dengan asuransi barang. Asuransi barang nilainya kecil

dan dibayar oleh PT. KAI. PT. KAI menyatakan bahwa asuransi barang mustahil diminati

oleh asuransi lain. Dengan adanya konsorsium tersebut maka PT. KAI dapat menyediakan

asuransi bagi seluruh jenis angkutan, baik barang maupun penumpang.

2. Klaim asuransi PT. Jasa Raharja Putra dapat ditujukan kepada kantor PT. Jasa Raharja,

sehingga lebih mudah bagi korban kecelakaan.

3. Pemilihan tersebut sesuai dengan Peraturan Meneg BUMN Nomor 5 tahun 2008 , Bagian

Kedua, Prinsip Umum Pasal 2 ayat 4 tentang Pengguna Barang dan Jasa mengutamakan

sinergi antar BUMN dan/atau Anak Perusahaan yang bersangkutan dan sepanjang kualitas,

harga dan tujuannya dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini dilakukan penunjukan

langsung.

Premi asuransi tambahan tersebut untuk kelas komersial (eksekutif dan bisnis) sebesar Rp. 330,

sedangkan untuk penumpang kelas non komersial (ekonomi, lokal bisnis dan Jabotabek

Komersial) sebesar Rp. 80. Premi tersebut dibebankan kepada penumpang, dengan ditambahkan

kepada tarif karcis. Meskipun preminya berbeda, namun jaminan tambahan untuk penumpang

setiap kelas adalah sama seperti nilai santunan asuransi wajib PT. Jasa Raharja. Sedangkan untuk

awak kereta nilai santunannya adalah sbb :

23

Tabel 9. Santunan Awak Kereta Api oleh Asuransi Wajib PT Jasa Raharja

No Jenis Pertanggungan Nilai Pertanggungan untuk Masinis dan

Asisten Masinis (Rp).

Nilai Pertanggungan untuk Kondektur,

Pembantu Kondektur, dan manajer KA (Rp.)

Nilai Pertanggungan untuk Pelayan,

Petugas Restorasi, Petugas

Keamanan dan Petugas Lainnya

(Rp) 1 Meninggal Dunia 75.000.000 65.000.000 55.000.000

2 Cacat Tetap 85.000.000 75.000.000 65.000.000

3 Biaya Perawatan 25.000.000 25.000.000 25.000.000

4 Biaya Penguburan 4.500.000 4.500.000 4.500.000

5 Transportasi 500.000

Sumber : PT. Kereta Api Indonesia, 2009

Berikut jumlah premi asuransi yang dibayarkan untuk periode tahun 2006-2009

Tabel 10. Nilai Premi yang Dibayarkan untuk Penumpang PT. KAI

Sumber : PT. Kereta Api Indonesia, 2009

Jumlah klaim asuransi yang dibayarkan untuk asuransi kecelakaan PT. Kereta Api (Persero) tahun

2006 s.d 2009 (Mei) :

Tabel 11. Jumlah Santunan yang Dibayarkan Untuk Penumpang PT. KAI

Tahun Jasa Raharja Jasa Raharja Putra Jumlah 2006 Rp. 8.195.788.201 ,- Rp. 2.983.927.268,- Rp. 11.179.715.469,- 2007 Rp. 8.063.635.316,- Rp. 2.326.111.203,- Rp. 10.389.746.519,- 2008 Rp. 15.173.817.107,- Rp. 2.152.322.079,- Rp. 17.326.139.186,- 2009 Rp. 2.059.492.353,-* Rp .497.745.351,-** Rp 2.557.237.704,-**

Sumber : PT. Kereta Api Indonesia, 2009

Catatan : * s.d Mei 2009, ** s.d TW1-2009

Tahun Nilai Premi Asuransi

2006 Rp. 6.246.000.000

2007 Rp. 6.231.000.000

2008 Rp. 6.823.174.280

Semester I-2009 Rp. 4.860.733.000

24

b. Asuransi Tambahan di Wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

KPPU menemukan diberlakukannya Perda di DIY Yogyakarta yaitu Keputusan Gubernur

Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 050/KPTS/1995 tentang Penyelenggaraan Angkutan

Orang Dengan Kendaraaan Bermotor Umum di Wilayah Propinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta. Regulasi tersebut mengatur mengenai iuran wajib asuransi kecelakaan penumpang

dan extra cover PT. Jasa Raharja/PT. Jasa Raharja Putera. Dalam regulasi tersebut, Gubernur

DIY mewajibkan iuran asuransi untuk kendaraan bermotor di wilayah DIY ditangani oleh PT.

Jasa Raharja dengan asuransi tambahan oleh PT. Jasa Raharja Putera.

Berdasarkan diskusi dengan Dishubkominfo DIY diperoleh informasi bahwa

Dishubkominfo tidak dapat mengklarifikasi latar belakang adanya Keputusan Gubernur di atas.

Namun dalam prakteknya, Dishubkominfo Propinsi DIY menyatakan bahwa yang digunakan

hanyalah asuransi wajib oleh PT. Jasa Raharja sedangkan asuransi tambahan oleh PT. Jasa

Raharja Putra tidak berjalan sesuai amanat regulasi tersebut. Hal ini juga dikonfirmasi oleh

operator bus di DIY Yogyakarta.

6. Analisa

Sebagaimana telah dijelaskan di bab-bab sebelumnya, telah diketahui bersama bahwa PT. Jasa

Raharja merupakan satu-satunya perusahaan asuransi yang diberikan kewenangan oleh Pemerintah

Indonesia untuk mengelola ausransi kecelakaan lalu lintas wajib. Terkait dengan pemberian hak

monopoli tersebut perlu untuk dikaji lebih lanjut dari sisi persaingan usaha apakah bertentangan

dengan UU No. 5 Tahun 1999 atau tidak. Untuk itu di bagian ini akan dilakukan analisa mengenai

hal tersebut.

UU 5 tahun 1999 sendiri, mempunyai aturan mengenai pengecualian yang diatur pada pasal 50

huruf a tentan tentang pengecualian peraturan perundang undangan, sebagai berikut :

a. Pengecualian dalam Pasal 50 Huruf a UU No. 5 Tahun 1999 tentang Pengecualian

Peraturan Perundang-Undangan

Dalam UU No. 5 Tahun 1999 selain mengatur mengenai larangan praktek monopoli dan

persaingan usaha tidak sehat juga diatur mengenai pengecualian terhadap berlakunya UU No.

5 tahun 1999 yang diatur dalam pasal 50. Salah satu bentuk pengecualian yang diatur dalam

pasal 50 adalah pengecualian mengenai pelaksanaan peraturan perundanga-undangan yang

tertuang dalam pasal 50 huruf a .

25

Bunyi dari pasal 50 huruf a adalah :

”yang dikecualikan dari ketentuan undang-undang ini adalah perbuatan dan atau perjajian yang bertujuan

melaksanakan peraturan perundang-undangn yang berlaku”

Adapun ketentuan dari pasal 50 huruf a ini adalah ketentuan yang bersifat pembebasan

dengan tujuan untuk menghindari terjadinya benturan dari berbagai kebijakan yang saling

bertolak belakang namun sama-sama diperlukan dalam menata perekonomian nasional.

Berbagai sektor ekonomi di Indonesia banyak yang diatur dalam berbagai Undang-Undang

sektoral, selain itu dalam upaya peningkatan ekonomi Indonesia tersebut, seringkali

Pemerintah juga memberikan kekhususan bagi sektor tertentu yang kegiatan ekonominya

terkait dengan penguasaan hajat hidup orang banyak. Hal-hal tersebut menjadi latar belakang

adanya pasal 50 huruf a dalam UU No. 5 Tahun 1999 mengenai pengecualian peraturan

perundangan sebagaimana disebut di atas. Adanya pasal 50 huruf a tersebut diharapkan

menjadi jalan keluar bagi regulasi sektoral yang diamanatkan rakyat untuk memberikan

kekhususan bagi industri tertentu dan dalam prosesnya mempunyai prinsip yang bertentangan

dengan UU No. 5/1999.

Selain sebagai pembebasan, pengaturan pasal 50 huruf a juga mempunyai tujuan untuk

menghindari terjadinya kerancuan dalam penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

apabila terjadi konflik kepentingan yang sama-sama ingin diwujudkan melalui kebijakan yang

diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan serta mewujudkan kepastian hukum

dalam penerapan peraturan perundang-undangan.

Tetapi tentu saja dalam pelaksanaan pasal 50 huruf a ini perlu memahami hakekatnya secara

benar karena jika tidak dikhawatirkan akan timbul kesulitan dan kekeliruan dalam

pelaksanaannya. Perlu adanya kriteria yang jelas peraturan perundang-undangan seperti apakah

yang dikecualikan dari UU No. 5 Tahun 1999.

Pengertian peraturan perundang-undangan didasarkan pada Undang-Undang Nomor 10

Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, khususnya Pasal 7 ayat (1)

dan ayat (4). Pada ayat (1) disebutkan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan

mencakup:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

c. Peraturan Pemerintah

d. Peraturan Presiden

26

e. Peraturan Daerah

Dan berdasarkan penjelasan Pasal 7 ayat (4) disebutkan pula berbagai jenis peraturan yang

digolongkan dalam peraturan perundang-undangan, yakni yang mencakup peraturan yang

dikeluarkan oleh:

a. Majelis Permusyawaratan Rakyat;

b. Dewan Perwakilan Rakyat;

c. Dewan Perwakilan Daerah;

d. Mahkamah Agung;

e. Mahkamah Konstitusi;

f. Badan Pemeriksa Keuangan;

g. Bank Indonesia;

h. Menteri;

i. Kepala Badan;

j. Lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau

pemerintah atas perintah Undang-Undang;

k. Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi;

l. Gubernur;

m. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota;

n. Bupati/Walikota; dan

o. Kepala Desa atau yang setingkat.

Pentingnya pemahaman hakekat dari pasal 50 huruf a adalah sangat beralasan mengingat

“peraturan perundang-undangan” jenisnya sangat banyak termasuk berbagai peraturan

perundang-undangan di bawah Undang-Undang sebagaimanan disebutkan dalam definisi

peraturan perundang-undangan pada Pasal 7 ayat (1) dan ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004.

Prinsip pengecualian sebagaimana diamanatkan dalam pasal 50 huruf a telah dirumuskan

dalam Pedoman Pelaksanaan Pasal 50 huruf a. Berdasarkan pedoman tersebut, maka prinsip

pengecualian dalam pasal 50 huruf a adalah sebagai berikut :

1. pengecualian yang diatur dalam Pasal 50 huruf a hanya berlaku bagi pelaku usaha yang

dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah

2. pengecualian yang diatur dalam Pasal 50 huruf a secara tegas dikatakan “untuk

melaksanakan peraturan perundang-undanganyang berlaku” jadi perbuatan pelaku

usaha tersebut jelas karena adanya “kewenangan” yang diberikan oleh peraturan

perundang-undangan.

27

3. peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dilaksanakan tersebut hierarkinya harus

lebih tinggi atau yang sederajat, atau peraturan perundang undangan yang lebih rendah dari

undang-undang tetapi telah mendapat delegasi secara tegas dari undang-undang.

Pada prinsipnya pengecualian tidak berlaku jika pelaku usaha melakukan perbuatan dan atau

perjanjian untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari Undang-

Undang kecuali peraturan yang dilaksanakan tersebut berdasarkan delegasi secara tegas dari

Undang-Undang yang bersangkutan

Dengan demikian apabila terdapat peraturan perundang-undangan di bawah Undang-

Undang, yang tidak secara langsung diamatkan sebagai peraturan pelaksana dari suatu Undang-

Undang, maka peraturan tersebut tidak dapat mengenyampingkan Undang-Undang No. 5

Tahun 1999 dan sebaliknya apabila walaupun peraturan perundang-undangan yang dijadikan

dasar bagi pelaku usaha untuk melakukan perbuatan dan atau perjanjian adalah dalam bentuk

Peraturan Menteri misalnya, tetapi jika Peraturan Menteri tersebut ditetapkan atas delegasi

langsung dari Undang-Undang, maka perbuatan dan atau perjanjian tersebut walaupun

akibatnya tidak sejalan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, pelaku usaha

yang bersangkutan tidak dapat dikenakan sanksi hukum UU No. 5 Tahun 1999.

b. Analisa Pemberian Hak Monopoli PT. Jasa Raharja

Sebagaimana dijelaskan dalam bab-bab sebelumnya, asuransi wajib kecelakaan lalu lintas

diatur dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib

Kecelakaan Penumpang dan UU No. 34 tahun 1964 tentang Tentang Dana Pertanggungan

Wajib Kecelakaan Lalu-Lintas Jalan.

UU No. 33 Tahun 1964 pasal 33 ayat (1)a menyebutkan bahwa tiap penumpang yang sah

dari kendaraan bermotor umum, kereta api, pesawat terbang, perusahaam penerbangan

nasional dan kapal perusahaan perkapalan/pelayaran nasional, wajib membayar iuran melalui

pengusaha/pemilik yang bersangkutan untuk menutup akibat keuangan disebabkan kecelakaan

penumpang dalam perjalanan. Adapun UU No. 34 Tahun 1965 pada Pasal 2 mewajibkan

pengusaha/pemilik alat angkutan lalu-lintas jalan untuk memberi sumbangan wajib setiap

tahun yang akan digunakan sebagai santunan bagi kecelakaan lalu lintas.

Pengaturan di atas pada dasarnya merupakan dasar dari adanya kewajiban dari para

penumpang untuk membayar premi asuransi yang biasanya telah dibebankan di dalam

komponen tarif, serta kewajiban bagi perusahaan angkutan umum untuk membayarkan iuran

yang akan digunakan sebagai santunan kecelakaan.

28

Selanjutnya, pengelola dari dana-dana tersebut sebagaimana disinggung dalam pasal 5 UU No.

33 Tahun 1964 yang mengamanatkan bahwa hasil penerimaan uang iuran wajib dari para

penumpang harus disetorkan kepada dana pertanggungan melalui bank atau badan asuransi

yang ditunjuk oleh Menteri. Demikian juga halnya dengan UU No. 34 Tahun 1964 pada pasal 4

ayat 2 yang mengatur bahwa untuk melaksanakan pembayaran ganti rugi kepada korban, maka

Menteri dapat menunjuk instansi Pemerintah yang dianggap perlu. Sedangkan pada pasal 5 ayat

(1) Undang-Undang No. 34 tahun 1964 disebutkan bahwa pengurusan dan penguasaan dana

dilakukan oleh suatu Perusahaan Negara yang ditunjuk oleh Menteri yang khusus untuk itu.

Berdasarkan aturan di atas dapat disimpulkan bahwa kewajiban bagi penumpang untuk

membayar premi dan perusahaan angkutan umum untuk membayar iuran diamanatkan melalui

UU. Selain itu pengelola dana-dana tersebut juga diamanatkan melalui UU untuk dikelola oleh

badan usaha yang ditunjuk Pemerintah untuk itu.

Dengan demikian maka kebijakan mewajibkan penumpang dan pengusaha angkutan umum

untuk mengikuti asuransi wajib kecelakaan lalu lintas serta penunjukkan PT. Jasa Raharja

sebagai monopolis dalam industri ini dapat dikecualikan dari UU No. 5 tahun 1999 sesuai

dengan pasal 50 huruf a.

c. Analisa Perilaku

Perusahaan monopoli, mempunyai kemampuan untuk menggunakan market power-nya untuk

melakukan tindakan yang merugikan konsumen seperti penetapan harga yang tinggi, atau

memberikan pelayanan yang tidak maksimal. Perusahaan monopoli tersebut tidak memiliki

pesaing yang dapat mengambil pesaingnya meskipun dia tidak memberikan harga dan

pelayanan terbaik.

Bagaimanakah dengan kondisi yang terjadi dalam industri asuransi wajib yang dilayani oleh PT.

Jasa Raharja? Apakah hal di atas terjadi dalam industri ini? Bab ini berusaha untuk menganalisa

hal tersebut.

d. Penetapan Nilai Iuran/Sumbangan serta Santunan Asuransi Wajib Kecelakaan Lalu

Lintas

Penetapan harga yang exsessive dan merugikan konsumen dapat terjadi apabila tidak terdapat

kontrol Pemerintah atas perilaku monopolis. Namun berbeda halnya dalam industri asuransi

29

wajib kecelakaan lalu lintas ini. Premi dan santunan untuk jenis asurnasi ini ditetapkan oleh

Pemerintah sebagaimana telah disinggung pada sub bab sebelumnya.

Hal ini merupakan amanat dari PP Nomor 17 Tahun 1965 Tentang Ketentuan-Ketentuan

Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang pada pasal 2 yang

menyatakan sebagai berikut :

(1) Untuk jaminan pertanggungan kecelakaan diri dalam Peraturan Pemerintah ini, tiap

penumpang kendaraan bermotor umum, kereta api, pesawat terbang perusahaan

penerbangan nasional dan kapal perusahaan perkapalan/pelayaran nasional, untuk

tiap perjalanan wajib membayar suatu iuran.

(2) Jumlah iuran wajib yang dimaksudkan pada ayat (1) pasal ini, ditentukan oleh

Menteri menurut suatu tarip yang bersigat progresif.

Selain besarnya iuran, Menteri juga berwenang menetapkan besarnya pembayaran ganti rugi,

sebagaimana diamanatkan melalui PP No. 17 Tahun 1965 Pasal 11 yang berbunyi : besarnya

jumlah pembayaran ganti kerugian pertanggungan dalam hal kematian, cacad tetap, maksimum

penggantian biaya- biaya perawatan dan pengobatan dokter dan penggantian biaya- biaya

penguburan, sebagaimana dimaksudkan pada pasal 10 ayat (2) di atas, ditentukan oleh Menteri.

Selain besaran iuran dan ganti rugi yang dari iuran wajib penumpang, Menteri juga memiliki

kewenangan dalam menetapkan besar sumbangan wajib dari pemilik angkutan umum

sebagaimana diatur melalui PP Nomor 18 Tahun 1965 Tentang Ketentuan-Ketentuan

Pelaksanaan Dana Kecelakaan Lalu-Lintas Jalan (pasal 2) serta dana santunan dalam hal

kematian atau cacad tetap (pasal 11).

Saat ini regulasi yang mengatur mengenai besaran premi dan santunan adalah Peraturan

Menteri Keuangan RI No. 37/Pmk.010/2008 Tentang Besar Santunan Dan Luran Wajib

Dana Pertanggungan Kecelakaan Penumpang Alat Angkutan Penumpang Umum Di Darat,

Sungai/Danau, Ferry/Penyeberangan, Laut dan Udara.

Dengan mekanisme penetapan premi dan santunan yang dilakukan oleh Pemerintah tersebut,

maka potensi penetapan excessive price oleh PT. Jasa Raharja dapat dihindari. Pemerintah sebagai

pihak yang netral dan mengayomi seluruh pihak diharapkan mampu menetapkan premi dan

santunan yang menguntungkan konsumen dan menjamin PT. Jasa Raharja tetap dapat

beroperasi dengan layak.

30

Berdasarkan diskusi dengan berbagai pihak, yang menjadi keluhan bukanlah premi yang

terlalu mahal akan tetapi santunan yang terlalu rendah. Sebagaimana disinggung sebelumnya,

besaran santunan adalah sebagai berikut :

Tabel 12. Santunan Asuransi Wajib Kecelakaan Lalu Lintas

Jenis Santunan Angkutan Umum

Darat/Laut Udara

Meninggal Dunia Rp.25.000.000,- Rp.50.000.000,-

Catat Tetap (maksimal) Rp.25.000.000,- Rp.50.000.000,-

Biaya Rawatan (maksimal) Rp.10.000.000,- Rp.25.000.000,-

Biaya Penguburan Rp.2.000.000,- Rp.2.000.000,-

Sumber : UU No. 33 Tahun 1964

Besaran santunan sebagaimana disebut pada tabel tersebut memang mungkin lebih kecil

dibandingkan santunan yang diperoleh melalui asuransi-asuransi non asuransi wajib. Meskipun

demikian perlu juga diingat bahwa asuransi wajib kecelakaan lalu lintas oleh PT. Jasa Raharja ini

merupakan jenis asuransi sosial yang secara karakteristik memang berbeda dengan asuransi

lainnya.

Asuransi wajib PT. Jasa Raharja tidak melakukan penilaian terhadap setiap peserta atas resiko

yang dihadapinya. Meskipun mungkin resiko penumpang berbeda-beda namun, besaran premi

yang dibayarkan sama, atau dengan kata lain bahwa terdapat subsidi silang diantara peserta

dengan resiko rendah kepada penumpang dengan resiko tinggi. Selain itu juga premi asuransi

wajib kecelakaan lalu lintas ini besarannya jauh lebih murah dibandingkan dengan asuransi

swasta lainnya. Sebagaimana disinggung sebelumnya besaran premi/iuran wajib berdasarkan UU

No. 33 Tahun 1964 berkisar antara Rp. 60 – Rp. 5000 dan SWDKLJ yang berkisar antara Rp.

20.000 – Rp. 160.000/kendaraan. Besaran tersebut jauh lebih murah dibanding dengan asuransi

biasa. Selain karakteristik tersebut, juga perlu diingat bahwa dalam melaksanakan fungsinya

sebagai asuransi sosial, PT. Jasa Raharja seringkali diwajibkan untuk membayarkan santunan

bagi penumpang yang tidak membeli tiket.

31

Dengan premi/iuran yang kecil, serta kewajiban yang berat untuk menanggung peserta dengan

jumlah yang sangat besar maka tentunya dapat dimaklumi apabila jumlah santunan yang

ditentukan Pemerintah juga tidak terlalu besar.

e. Level Pelayanan

Diskusi yang dilakukan Tim dengan Organda di kota-kota besar seperti Yogyakarta, Surabaya,

Medan, Bali dan Jakarta serta dengan YLKI secara umum menghasilkan informasi bahwa

tingkat pelayanan PT. Jasa Raharja cukup baik. PT. Jasa Raharja cukup proaktif dalam

memberikan santunan kepada korban kecelakaan. Selain itu proses pemberian santunan juga

dilakukan dengan waktu yang cepat maksimal 7 hari dan minimal 3 hari.

PT. Jasa Raharja juga selalu menanggung penumpang kendaraan umum yang tidak membeli

tiket atau tidak terdaftar. Hal tersebut tidak hanya dilakukkan kepada Berdasarkan hasil diskusi

dengan Organda Medan, diperoleh informasi bahwa PT. Jasa Raharja di daerah tersebut, pernah

memberikan santunan kepada penumpang bis dimana perusahaan bis tersebut tidak pernah

membayar iuran wajib maupun sumbangan wajib kecelakaan lalu lintas.

Adapun jumlah kecelakaan yang saat ini ditangani oleh PT. Jasa Raharja adalah sebagai

berikut :

Tabel 12. Jumlah Kasus Kecelakaan yang Memperoleh Santunan

dari PT. Jasa Raharja

No Tahun Jumlah Kecelakaan (kasus) 1 2005 100.876

2 2006 90.276

3 2007 90.492

4 2008 99.176

5 2009 54.504

Sumber : PT. Jasa Raharja, Bappepam-LK 2009

Tingkat kasus kecelakaan yang memperoleh santunan dari PT. Jasa Raharja di atas, cukup

baik jika dibandingkan dengan tingkat kecelakaan secara keseluruhan. Namun dilihat dari sisi

penerimaan iuran dan santunan wajib, terdapat selisih yang cukup besar antara penerimaan PT.

Jasa Raharja dengan santunan yang dibayarkan. Hal tersebut dapat dilihat dari tabel berikut :

32

Tabel 13. Perbandingan Penerimaan Iuran dan Sumbangan Wajib

dengan Jumlah Santunan

Tahun Iuran Wajib (Rp. 000)

Santunan Berdasarkan

UU 33 Tahun 1964 (Rp. 000)

Sumbangan Wajib (Rp. 000)

Santunan Berdasarkan UU No. 34 Tahun 1964 (Rp.000)

2006 214,359,575,340 19,675,602 922,284,348 480,906,354

2007 263,184,565,045 26,187,651 1,011,177,700 504.253.482

2008 278,521,780,000 27,691,000 1,919,383,000 1.003.473.000

Sumber : Bapepam LK, diolah

Tabel di atas menunjukkan selisih yang cukup besar antara iuran yang diterima dan dikelola

PT. Jasa Raharja dengan jumlah santunan yang dibayarkan. Sebagai contoh pada tahun 2006

untuk iuran wajib yang dibayarkan penumpang berdasarkan UU No. 33 Tahun 1964 terkumpul

sejumlah Rp. 214 trilyun sedangkan santunan yang dikeluarkan hanya sejumlah Rp. 19 milyar.

Demikian juga untuk sumbangan wajib sebagaimana yang diamanatkan UU No. 34 Tahun

1964, pada tahun 2006 jumlah yang terkumpul adalah sebesar Rp. 922 milyar, sedangkan

jumlah yang dibayarkan adalah sebesar Rp. 480 milyar. Hal yang sama juga terjadi pada tahun-

tahun selanjutnya.

Berdasarkan angka-angka di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat selisih yang sangat

besar antara jumlah iuran wajib dan sumbangan wajib yang diterima dengan jumlah santunan

yang dibayarkan. Dengan adanya selisih yang cukup besar tersebut, maka seharusnya PT. Jasa

Raharja dapat meningkatkan pelayanan yang lebih baik bagi konsumennya.

f. Analisa Asuransi Tambahan PT. KAI

Berdasarkan uraian di atas, terdapat beberapa hal yang perlu dicermati dalam

penyelenggaraan asuransi tambahan untuk penumpang kereta api, sebagai berikut :

1. Asuransi tambahan tersebut dibebankan kepada penumpang, atau dengan kata lain

penumpang diwajibkan membayar asuransi yang seharusnya bersifat tambahan. Hal

tersebut secara langsung telah menghilangkan pilihan konsumen kereta api untuk memilih

apakah dia memerlukan asuransi tambahan, dan apabila memang memerlukan provider

asuransi mana yang akan dipilihnya. Dari sisi provider asuransi, praktek ini menutup

kemungkinan mereka untuk bermain di pasar asuransi tambahan kecelakaan kereta api.

33

2. Regulasi sektor asuransi sendiri mengamanatkan bahwa asuransi wajib hanyalah asuransi

sosial yang diatur melalui Undang-Undang dan dilaksanakan melalui BUMN. Sedangkan

asuransi tambahan untuk penumpang kereta api yang secara tidak langsung menjadi wajib

bagi penumpang kereta, tidak diatur melalui UU, dan hanya merupakan inisiatif dari PT.

KAI untuk menambah santunan bagi penumpang dan pemilik barang.

3. Regulasi sektor Kereta Api yaitu UU No. 23 Tahun 2007 memang mengamanatkan

operator kereta api untuk mengasuransikan penumpang dan barang yang menggunakan

jasanya. Namun UU tersebut tidak menyatakan bahwa penumpang yang harus

menanggung beban tersebut. Seharusnya operator kereta api yang menyisihkan sebagian

keuntungannya untuk memberikan asuransi kepada konsumennya.

4. Meskipun demikian, perlu dipertimbangkan bahwa asuransi tambahan oleh PT. Jasa

Raharja Putra ini, mempunyai premi yang rendah yaitu hanya Rp. 330/penumpang untuk

kelas eksekutif dan bisnis dan Rp. 80/penumpang untuk kelas non komersial. Adapun

santunan yang diberikan sebesar santunan yang diberikan oleh asuransi wajib oleh PT. Jasa

Raharja. Dengan demikian, meskipun asuransi tambahan ini seolah-olah wajib dan

masyarakat tidak bisa memilih, akan tetapi keuntungan yang diperoleh masyarakat juga

cukup besar. Jumlah santunan dengan premi sebesar itu, mungkin tidak dapat diperoleh

apabila PT. Jasa Raharja dan PT. Jasa Raharja Putra tidak melakukan konsorsium. Untuk

itu, meskipun dari sisi prosedur salah, akan tetapi asuransi tambahan ini memberikan

keuntungan bagi penumpang.

g. Analisa Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 050/KPTS/1995

tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraaan Bermotor Umum di

Wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

1) Apabila merujuk kepada regulasi di atasnya, yaitu UU No. 2 Tahun 1992 diamanatkan

bahwa asuransi yang sifatnya wajib hanyalah asuransi sosial dan harus diatur melalui

UU. Berdasarkan aturan tersebut, maka Perda di atas telah menyalahi aturan di atasnya.

Asuransi tambahan yang diberikan oleh PT. Jasa Raharja Putra bukanlah asuransi sosial

dan tidak terdapat UU yang mengamanatkan penyelenggaraan asuransi tambahan

diwajibkan bagi seluruh penumpang kendaraan bermotor sebagaimana aturan yang

berlaku untuk asuransi wajib PT. Jasa Raharja.

2) Dari sudut pandang persaingan usaha, regulasi yang mewajibkan penggunaan asuransi

tambahan oleh PT. Jasa Raharja Putra tersebut dapat menyebabkan dua hal yaitu : (1)

hilangnya pilihan konsumen atas asuransi tambahan yang sesuai dengan keinginannya,

(2) tertutupnya kesempatan bagi perusahaan asuransi lain untuk bersaing dalam pasar

asuransi tambahan ini.

34

3) Meskipun, pada prakteknya regulasi tersebut tidak berjalan, namun KPPU tetap perlu

untuk memberikan saran terkait regulasi ini.

Apabila dilihat dari kepemilikan saham, maka dapat diketahui bahwa PT. JRP merupakan anak

perusahaan PT. JR, dimana PT. JR memiliki 60% saham di PT. JRP. Berdasarkan jenis

usahanya, antara PT. JR dengan PT. JRP sendiri terdapat kemiripan usaha yaitu jenis asuransi

kerugian, meskipun tidak saling substitusi satu sama lain. Kondisi tersebut menyebabkan

praktek asuransi tambahan di kereta api dan Keputusan Gubernur DIY tersebut di atas, sangat

mungkin terjadi karena posisi dominan PT. JR yang digunakan untuk membantu anak

perusahaannya yaitu PT. JRP dalam bidang usaha asuransi kerugian.

7. Kesimpulan Dan Rekomendasi

a. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan analisa di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

1. Penunjukkan PT. Jasa Raharja sebagai monopolis dalam penyelenggaraan asuransi wajib

kecelakaan lalu lintas merupakan amanat Undang-Undang. Dan untuk itu, dapat

dikecualikan dari UU No. 5 Tahun 1999.

2. Pelayanan PT. Asuransi Jasa Raharja, berdasarkan masukan dari berbagai daerah dinilai

cukup baik dimana PT. Jasa Raharja melayani pemberian santunan dengan cukup cepat

serta memberikan santunan kepada penumpang yang tidak memiliki tiket maupun

terdaftar.

3. Pemerintah memiliki kontrol atas penetapan besaran premi dan santunan dimana premi

dan santunan ditetapkan melalui Keputusan Menteri Keuangan. Dengan demikian

potensi abuse dari monopolis melalui penetapan excessive price maupun santunan yang

terlalu kecil dapat dihindari.

4. Temuan lain dari kegiatan ini adalah penerapan asuransi tambahan yang dibebankan

pada penumpang kereta api serta adanya Perda di DIY Yogyakarta yang mewajibkan

operator angkutan umum untuk memberikan asuransi tambahan kepada penumpang.

Dalam kedua kasus tersebut, provider asuransinya adalah PT. Jasa Raharja Putra.

5. Terkait dengan temuan tersebut, maka KPPU menyimpulkan bahwa praktek tersebut

bertentangan dengan regulasi asuransi secara umum yang mengamanatkan bahwa

asuransi wajib adalah asuransi sosial yang diatur melalui Undang-Undang dengan

operator BUMN.

35

6. Praktek di atas juga berpotensi melanggar UU No. 5 Tahun 1999 dimana praktek

tersebut menghilangkan pilihan bagi konsumen serta kesempatan bagi operator asuransi

lain untuk masuk dalam pasar yang sama.

b. Rekomendasi

Terkait dengan permasalahan di atas, maka KPPU menyarankan kepada Pemerintah untuk

melakukan beberapa hal sebagai berikut :

1. Terus meningkatkan pengawasan atas kualitas pelayanan asuransi wajib kecelakaan lalu lintas

oleh PT. Jasa Raharja.

2. Membatalkan praktek asuransi tambahan yang diwajibkan tanpa ada landasan hukumnya, yang

dimonopoli oleh pelaku usaha tertentu, sebagaimana yang terjadi pada penumpang kendaraan

umum di DIY serta penumpang moda kereta api.

3. Membatalkan Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 050/KPTS/1995

tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraaan Bermotor Umum di Wilayah

Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.