2 tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/55395/4/bab...

27
11 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Alat Tangkap Sero Sero adalah salah satu jenis alat tangkap berbentuk perangkap besar yang sifatnya menetap, alat ini terbuat dari bilahan-bilahan bambu dan rotan yang bentuknya sedemikian rupa, dimana membentuk beberapa bagian ruang berbentuk segitiga yang tersusun satu di belakang dan alat ini umumnya dipasang memanjang dengan arah tegak lurus terhadap garis pantai (Gunarso 1996). Nikonorov (1975) membedakan bagian perangkap (sero) dalam 3 bagian diantaranya: 1) penaju (leader net) untuk penghalau ikan, 2) badan (body) untuk berkumpulnya ikan sementara waktu sebelum masuk ke bunuhan), dan 3) bunuhan (crib) tempat tertahannya atau tertangkapnya ikan. Subani dan Barus (1989) menyatakan bahwa pada prinsipnya alat tangkap ini terdiri dari 4 bagian penting yang masing–masing disebut: penaju (leader net), sayap (wing), badan (body) dan bunuhan (crib). Adapun fungsi dari bagian-bagian tersebut adalah sebagai berikut: 2.1.1 Penaju (leader net) Penaju mempunyai peranan sangat penting dibandingkan dengan kedua sayap atau kaki lainnya, karena penaju merupakan leader net yang berfungsi untuk menghadang ikan dalam renang ruayanya (Ayodhyoa 1981). Panjang penaju sangat bervariasi tergantung dari besar kecilnya sero. Menurut Nomura dan Yamazaki (1977) dalam Nikonorov (1975) menyatakan bahwa herring masih terus menyusuri leader net sampai pada jarak 300-3000 m dan lebih lanjut mempertegas bahwa perairan yang jernih leader net harus lebih panjang dibandingkan pada perairan keruh. Aslanova (1947) dalam Nikonorov (1975) menambahkan bahwa jenis ikan herring kecil menjaga jarak dengan leader net yaitu 1,5-2 m, tetapi ikan herring tetap berenang dan akhirnya membentuk schooling dan terkonsentrasi pada jarak 0,5 m dengan kedalaman 5-6 m.

Upload: trinhhuong

Post on 06-Jul-2018

213 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/55395/4/BAB II... · Tiga waja Drums Scianidae ... Odum (1993) beberapa sifat fisika-kimia

11

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Alat Tangkap Sero

Sero adalah salah satu jenis alat tangkap berbentuk perangkap besar yang

sifatnya menetap, alat ini terbuat dari bilahan-bilahan bambu dan rotan yang

bentuknya sedemikian rupa, dimana membentuk beberapa bagian ruang berbentuk

segitiga yang tersusun satu di belakang dan alat ini umumnya dipasang

memanjang dengan arah tegak lurus terhadap garis pantai (Gunarso 1996).

Nikonorov (1975) membedakan bagian perangkap (sero) dalam 3 bagian

diantaranya: 1) penaju (leader net) untuk penghalau ikan, 2) badan (body)

untuk berkumpulnya ikan sementara waktu sebelum masuk ke bunuhan),

dan 3) bunuhan (crib) tempat tertahannya atau tertangkapnya ikan. Subani dan

Barus (1989) menyatakan bahwa pada prinsipnya alat tangkap ini terdiri dari

4 bagian penting yang masing–masing disebut: penaju (leader net), sayap (wing),

badan (body) dan bunuhan (crib). Adapun fungsi dari bagian-bagian tersebut

adalah sebagai berikut:

2.1.1 Penaju (leader net)

Penaju mempunyai peranan sangat penting dibandingkan dengan kedua

sayap atau kaki lainnya, karena penaju merupakan leader net yang berfungsi

untuk menghadang ikan dalam renang ruayanya (Ayodhyoa 1981).

Panjang penaju sangat bervariasi tergantung dari besar kecilnya sero.

Menurut Nomura dan Yamazaki (1977) dalam Nikonorov (1975) menyatakan

bahwa herring masih terus menyusuri leader net sampai pada jarak 300-3000 m

dan lebih lanjut mempertegas bahwa perairan yang jernih leader net harus lebih

panjang dibandingkan pada perairan keruh. Aslanova (1947) dalam Nikonorov

(1975) menambahkan bahwa jenis ikan herring kecil menjaga jarak dengan leader

net yaitu 1,5-2 m, tetapi ikan herring tetap berenang dan akhirnya membentuk

schooling dan terkonsentrasi pada jarak 0,5 m dengan kedalaman 5-6 m.

Page 2: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/55395/4/BAB II... · Tiga waja Drums Scianidae ... Odum (1993) beberapa sifat fisika-kimia

12

2.1.2 Sayap (wing)

Sayap berfungsi sebagai penghalang ikan yang menyusuri penaju,

sampai ikan masuk kedalam badan sero atau kamar-kamar sero, bagian ini

mempunyai ruang yang luas sehingga diharapkan ikan bisa bermain atau mencari

makan sebelum masuk kedalam bagian berikutnya.

2.1.3 Badan (body)

Badan sero terdiri atas beberapa kamar (room atau chamber).

Bentuk kamar ini bermacam-macam, ada yang berbentuk jantung, segitiga dan

berbentuk lingkaran. Pada bagian depan kamar-kamar sero tersebut dipasang

pintu-pintu dari kere bambu yang mudah ditutup atau dibuka pada saat operasi

penangkapan ikan berlangsung. Jumlah kamar sero bervariasi tergantung dari

ukuran sero. Sero yang berukuran kecil umumnya terdiri atas 1-2 kamar, yang

berukuran sedang terdiri atas 3 kamar sedangkan sero yang berukuran besar

biasanya terdiri atas 4-5 kamar. Pada kamar sero tersebut terdapat lengan yang

prinsipnya menyukarkan ikan untuk keluar dan akhirnya masuk ke dalam kamar

berikutnya.

2.1.4 Bunuhan (crib)

Bunuhan adalah tempat akhir terjebak dan berkumpulnya ikan.

Ikan yang telah masuk ke dalam bunuhan sukar untuk meloloskan diri lagi.

Pada bagian bunuhan inilah dilakukan pengambilan hasil tangkapan dengan

menggunakan bantuan serok.

2.2 Daerah Penangkapan Sero

Alat tangkap sero dipasang pada perairan pantai atau daerah pasang

surut, yaitu daerah yang mempunyai keanekaragaman biota yang sangat tinggi

disebabkan karena habitat perairan pesisir yang dangkal menyediakan makanan

bagi ikan pelagis dan demersal dan perairan yang dangkal merupakan tempat

yang baik untuk memijah, mencari makan, tempat berlindung dari ancaman

ikan-ikan pemangsa atau predator (McConnaughey dan Zottoli 1983).

Page 3: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/55395/4/BAB II... · Tiga waja Drums Scianidae ... Odum (1993) beberapa sifat fisika-kimia

13

Pasang surut dan gerakan ombak di pantai dapat mengangkat zat-zat makanan

sehingga berbagai jenis ikan dapat memanfaatkannya dengan relatif mudah

(Nybakken 1988).

Alat tangkap sero di pasang secara tegak lurus terhadap garis pantai

dengan kedalaman perairan berkisar 3–8 m pasang tertinggi (Gunarso 1996).

Tiensongrume et al. (1986) dalam Rachmansyah (2004) menyatakan bahwa

kriteria penentuan daerah penangkapan sero adalah sebagai berikut : 1) kedalaman

perairan pada kisaran 1-10 m, 2) Substrat perairan berupa pasir berlumpur atau

lumpur dan pasir, 3) berada di daerah muara sungai dengan jarak kurang lebih

200-250 m dari sungai, 3) arus perairan pada kisaran 0,05-0,4 m/det, 4) tinggi air

pasang pada kisaran 0,5 m, 5) tidak berada di daerah pencemaran, 6) aksesbilitas

baik, 7) suhu perairan pada kisaran 26-35 oC, dan 8) salinitas pada kisaran 60 ppt.

Lebih lanjut Wudianto (2007) mengungkapkan bahwa hal penting yang harus

diperhatikan sebelum pemasangan set antara lain: ketersedian sumber daya ikan

yang menjadi tujuan penangkapan, pola ruaya ikan yang menjadi tujuan

penangkapan, kondisi perairan dimana set net akan dipasang (topografi dasar,

keadaan arus, pasang surut, dan gelombang).

Menurut Widodo dan Suadi (2008) bahwa perairan dangkal dengan

kedalaman kurang dari 100 meter dengan dasar perairan yang berlumpur serta

relatif datar merupakan daerah penangkapan demersal yang baik. Contoh dari

perairan tersebut adalah pada paparan Sunda (Selat Malaka, Laut Jawa dan Laut

Cina Selatan serta Paparan Sahul). Lebih lanjut dikemukakan oleh Yusof (2002)

bahwa dengan perbedaan kedalaman ternyata jumlah hasil tangkapan berbeda

pula. Hal ini bisa dilihat di perairan Peninsular Malaysia pada jenis substrat dasar

pasir dan pasir berlumpur dengan kedalaman kurang dari 80 m menunjukkan hasil

tangkapan dari 48 stasiun didominasi oleh ikan demersal 95,40% dari seluruh

hasil tangkapan dengan rata-rata kemampuan tangkap (catch rate) 66,65 kg/jam.

Pada kedalaman perairan antara 5–18 m tertangkap 62–89 spesies dan pada

kedalaman perairan lebih dari 18 m menunjukkan jumlah spesies yang lebih

banyak lagi yaitu 154 – 191 spesies. Ikan yang mendominasi penangkapan adalah

pari (10,79%). Loliginidae (10,63%), Nemipteridae (7,09%), Mullidae (5,83%),

dan Synodontidae (3,18%).

Page 4: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/55395/4/BAB II... · Tiga waja Drums Scianidae ... Odum (1993) beberapa sifat fisika-kimia

14

Substrat dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting yaitu

sebagai habitat bagi bermacam-macam biota baik itu mikrofaua maupun

makrofauna. Mikrofauna berperan sebagai pengurai bahan-bahan anorganik

menjadi bahan-bahan organik yang banyak dimanfaatkan oleh biota-biota lain.

Ikan demersal yang termasuk makrofauna juga sangat tergantung dengan substrat

dasar perairan, hal ini disebabkan ikan demersal banyak mengambil makanan di

substrat dasar perairan. Ikan-ikan demersal umumnya dapat hidup dengan baik di

perairan yang bersubstrat lumpur atau lumpur berpasir dan makanan ikan

demersal berupa benthos maupun biota kecil lainnya. Hal ini diperkuat oleh

penelitian Masrikat (2009) bahwa ikan demersal yang tertangkap selama

penelitian dengan jumlah individu terbanyak (19.462 ekor) ditemukan pada

stasiun 18 dengan dasar perairan lumpur berpasir.

2.3 Jenis-jenis Ikan yang Tertangkap Alat Tangkap Sero

Hasil tangkapan utama dari alat tangkap sero adalah jenis ikan demersal.

Jenis ikan ini hidup di dasar atau dekat perairan atau yang bermigrasi di pantai

saat air pasang untuk mencari makan. Boer et al. (2001) mengemukakan bahwa

sumberdaya ikan demersal merupakan kelompok jenis-jenis ikan yang hidup di

dasar atau dekat dengan dasar perairan. Kelompok ikan ini pada umumnya

memiliki aktivitas relatif rendah, gerak ruaya tidak terlalu jauh dan membentuk

gerombolan yang tidak terlalu besar, sehingga sebarannya relatif lebih merata jika

dibandingkan dengan ikan-ikan pelagis. Kondisi demikian, telah mengakibatkan

daya tahan ikan demersal terhadap tekanan penangkapan tersebut relatif rendah

dan tingkat mortalitas cenderung sejalan dengan peningkatan upaya penangkapan.

Pernyataan tersebut diperkuat oleh Marasabessy (2010) bahwa ikan

demersal hidupnya secara soliter dan hanya sedikit yang dijumpai dalam

kelompok besar. Jenis ikan demersal yang dimaksud seperti : ikan kakap

(Lutjanus sp) dari suku Lutjanidae, kerapu (Epinephelus sp) dari suku Serranidae,

baronang (Siganus sp) dari suku Siganidae, namun jenis ikan yang dijumpai

dalam kelompok besar misalnya ikan ekor kuning (Casio sp) dari suku

Caesionidae. Jenis-jenis ikan demersal tersebut merupakan target utama

penangkapan sero. Namun selain jenis ikan demersal yang tertangkap dengan

Page 5: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/55395/4/BAB II... · Tiga waja Drums Scianidae ... Odum (1993) beberapa sifat fisika-kimia

15

sero, juga tertangkap ikan pelagis yang beruaya ke pinggir pantai (Subani dan

Barus 1989).

Jenis ikan demersal dibagi menjadi dua jenis yaitu ikan demersal besar dan

ikan demersal kecil (Tabel 1). Dilihat dari nilai ekonomisnya ikan demersal yang

memiliki nilai ekonomis tinggi yaitu kakap merah, kerapu, pari, bawal putih, dan

bawal hitam (Boer et al. 2001).

Tabel 1 Pengelompokan jenis ikan demersal besar dan demersal kecil

No Sub Kelompok Nama Indonesia Nama Perdagangan Nama Ilmiah 1 Demersal besar Kakap merah Barramundi Lutjanus malabaricus Giant sea perch L. sanguineus Kerapu Groupers Ephinephelus spp Manyung Sea catfishes Arius spp Senanging Thread fins E. tetradactylum Pari Rays Trigonidae Remang Murrays Muraenesex spp Bawal putih Silver pomfret Pampus argenteus Bawal hitam Balck pomfret Formio niger Tiga waja Drums Scianidae Ketang-ketang Spotted sickelfish Drepane punctata Gulamah Croackers Scianidae Layur Hairtails Trichiurus spp 2 Demersal Kecil Pepetek Pony fishes Leiognathidae Kuniran Goatfish Upeneus sulphureus Beloso Lizard fishes Saurida spp Kurisi Treadfin breams Nemipterus spp Gerot-gerot Grunters Pomadasys spp Sebelah Indian halibuts Psettodidae.

Sumber : Boer et al. (2001)

Perikanan demersal di Indonesia merupakan tipe perikanan multispesies,

akan tetapi jumlah individu dari masing-masing jenis tersebut relatif rendah.

Boer et al. (2001) dan Widodo et al. (1998) mengemukakan bahwa terdapat

berpuluh jenis ikan demersal di perairan Indonesia. Ikan ini biasanya dieksploitasi

dengan menggunakan berbagai jenis alat tangkap (multigears).

Hasil penelitian di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone hasil tangkapan

didominasi oleh ikan demersal seperti biji nangka (Upeneus sulphureus), kapas-

kapas (Gerres kapas), lencam (Lethrinus lentjam), pepetek (Leiognathus

splendens), kerong-kerong (Therapon jarbua), salamandar (Siganus

canaliculatus), kuwe (Carangoides sp.), baracuda (Sphyraena sp.), baronang

Page 6: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/55395/4/BAB II... · Tiga waja Drums Scianidae ... Odum (1993) beberapa sifat fisika-kimia

16

(Siganus sp.), rajungan (Portunus sp.), udang putih (Peneaus margueinsis), serta

hasil tangkapan sampingan adalah balanak (Valamugil sp.), senangin

(Eleutheronema sp.), layur (Trichiurus sp.), cendro (Tylosurus sp.), bambangan

(Lutjanus sp.), kerapu (Epinephelus sp.), kakap (Lates sp.), pari (Trygon spp.),

buntal (Tetraodon spp.), cumi-cumi (Loligo sp.), kepiting bakau (Scylla sp.), dan

udang windu (Penaeus sp.) dan (Tenriware 2009).

2.4 Ekosistem Perairan

2.4.1 Ekosistem muara sungai (estuaria)

Estuaria adalah perairan yang semi tertutup yang berhubungan bebas

dengan laut terbuka dan menerima masukan air tawar dari daratan melalui sungai,

sehingga air laut dengan salinitas tinggi dapat bercampur dengan air tawar

(Pritchard 1967). Secara ekologis, estuaria adalah daerah yang merupakan tempat

bertemunya arus sungai dengan arus pasang surut. Pertemuan kedua arus

menghasilkan menghasilkan suatu komunitas yang khas, dengan kondisi

lingkungan yang bervariasi. Kondisi perairan estuaria sangat berpengaruh

terhadap biota yang menghuninya. Odum (1993) beberapa sifat fisika-kimia

estuaria berpengaruh penting terhadap kehidupan organisme diantaranya salinitas,

suhu, substrat dan bahan organik, sirkulasi air, dan pasang surut.

Secara umum estuaria mempunyai peran ekologis penting antara lain :

sebagai sumber zat hara dan bahan organik yang diangkut lewat sirkulasi

pasangsurut (tidal circulation), penyedia habitat bagi sejumlah spesies hewan

yang bergantung pada estuaria sebagai tempat berlindung dan tempat mencari

makanan (feeding ground) dan sebagai tempat untuk bereproduksi dan/atau

tempat tumbuh besar (nursery ground) terutama bagi sejumlah spesies ikan dan

udang. Estuaria merupakan habitat dari ratusan jenis burung, mamalia, ikan, dan

hewan liar lainnya (Odum 1993). Secara ekonomi perairan estuaria dimanfaatkan

manusia untuk tempat pemukiman, tempat penangkapan dan

budidaya ikan, jalur transportasi, pelabuhan, dan kawasan industri (Bengen 2004).

Produktivitas estuaria bertumpu pada bahan organik yang terbawa masuk

estuaria melalui aliran sungai atau arus pasang surut air laut (Tuwo 2011).

Dikatakan lebih lanjut bahwa perairan estuaria mengandung bahan organik hingga

Page 7: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/55395/4/BAB II... · Tiga waja Drums Scianidae ... Odum (1993) beberapa sifat fisika-kimia

17

110 mg per liter, sedangkan perairan laut terbuka hanya mengandung bahan

organik 1-3 mg liter. Jejaring makanan pada daerah estuaria cenderung bersifat

terbuka karena organisme yang menghuninya kebanyakan jenis hewan yang

sifatnya hidup sementara pada daerah estuaria. Produktivitas primer pada

perairam estuaria pun sangat terbatas dan hanya dihasilkan oleh beberapa jenis

alga, rumput laut, diatom bentik dan fitoplankton. Namun demikian, bahan

organik berupa detritus yang terendapkan pada estuaria membentuk substrat yang

penting bagi tumbuhnya alga dan bakteri, yang kemudian menjadi sumber

makanan bagi organisme pada tingkat trofik yang lebih tinggi (Tuwo 2011).

2.4.2 Ekosistem mangrove

Hutan mangrove adalah hutan pantai yang selalu atau secara teratur

tergenang air laut dan dipengaruhi oleh pasang surut laut (Fachrul 2007). Lebih

lanjut dikatakan bahwa hutan mangrove dan ekosistemnya merupakan hutan yang

menempati zona neritik yang berbatasan dengan daratan (coastal wetland), yakni

daerah pantai yang seringkali tergenang air asin din pantai-pantai terlindung

daerah tropika dan subtropika. Meskipun daerah itu hanya 10% luas laut,

namun menampung 90% kehidupan laut (Suryoatmodjo 1996 dalam Fachrul

2007).

Secara ekologis, ekosistem mangrove merupakan penopang ekosistem

pesisir lainnya karena mempunyai saling keterkaitan, terutama ekosistem lamun

dan terumbu karang. Ekosistem mangrove mempunyai fungsi sebagai penghasil

detritus, sumber nutrien, dan bahan organik yang dapat dibawa oleh arus ke

ekosistem padang lamun dan terumbu karang. Tuwo (2011) mengemukakan

bahwa ketiga ekosistem ini mempunyai keterkaitan dimana, ekosistem lamun

berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang dibawa oleh arus ke

ekosistem terumbu karang. Ekosistem lamun juga berfungsi berfungsi sebagai

perangkap sedimen sehingga sedimen tersebut tidak menganggu kehidupan

terumbu karang. Sedangkan ekosistem terumbu karang berfungsi sebagai

pelindung pantai dari hempasan ombak, gelombang, dan arus laut. Ekosistem

mangrove juga berperan sebagai habitat atau tempat tinggal, tempat mencari

makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat

Page 8: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/55395/4/BAB II... · Tiga waja Drums Scianidae ... Odum (1993) beberapa sifat fisika-kimia

18

pemijahan (spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun

ataupun terumbu karang (Nybakken 1988; Tomascik et al. 1997).

2.4.3 Ekosistem lamun

Lamun merupakan kelompok tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang

tumbuh di bawah permukaan air di lingkungan bahari. Fortes (1989) menyatakan

bahwa padang lamun memainkan suatu spektrum yang luas dari fungsi biologis

dan fisik atau lamun memainkan peranan kunci ekologis antara lain sebagai

habitat biota, produser primer, perangkap sedimen serta berperan sebagai pendaur

ulang hara dan elemen kelumit (trace element). Lebih dipertegas oleh Nienhuis et

al. (1989) peranan lamun adalah antara lain : 1) produser primer, 2) sebagai

habitat biota, 3) sebagai penangkap sedimen, 4) sebagai pendaur zat hara, dan 5)

sebagai makanan dan kebutuhan lain. Ekosistem padang lamun dihuni berbagai

jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi, antara lain : Siganus spp., Lethrinus

spp., Lutjanus spp., Epinephelus sp., Lates sp., Lisa sp., dan Upeneaus sp.

(Tuwo 2011)

Ekosistem padang lamun bukanlah suatu ekosistem yang terisolasi tetapi

merupakan bagian dari berbagai ekosistem yang saling berinteraksi secara

ekologis terutama dalam ekosistem pantai perairan dangkal di laut tropik.

UNESCO (1983) mengelompokkan dalam 5 (lima) bentuk interaksi antara

ekosistem terumbu karang, mangrove, dan padang lamun yaitu interaksi fisik,

nutrien dan bahan organik terlarut, bahan organik berbutir, ruaya hewan, dampak

manusia. Adanya interaksi yang timbal balik dan saling mendukung, maka secara

ekologis lamun mempunyai peran yang cukup besar bagi ekosistem pantai tropik.

2.5 Parameter Kualitas Perairan

Pengaruh beberapa parameter oseanografi terhadap proses biologi bervariasi

menurut skala waktu dan jarak (Mann dan Lazier 1991). Suhu, salinitas, densitas,

arus, kadar oksigen dan kadar nutrien merupakan parameter oseanografi yang

banyak mempengaruhi proses biologis dalam berbagai skala waktu dan ruang.

Proses fisik tersebut dapat mempengaruhi produktivitas perairan.

Page 9: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/55395/4/BAB II... · Tiga waja Drums Scianidae ... Odum (1993) beberapa sifat fisika-kimia

19

Brond (1979) dalam Masrikat (2009) mengatakan bahwa ikan dipengaruhi

oleh suhu, salinitas, kecepatan arus, oksigen terlarut dan masih banyak faktor

lainnya. Dipertegas oleh Ridho (2004) bahwa suhu, salinitas, kecerahan dan

kedalaman memberikan pengaruh terhadap keberadaan jenis-jenis ikan demersal

tertentu, sedangkan terhadap kepadatan biomassa ikan demersal pengaruh tersebut

kecil. Pengaruh suhu, salinitas, kecerahan dan kedalaman terhadap biomassa ikan

demersal tidak bersifat sendiri-sendiri, tetapi secara bersama-sama mempengaruhi

kepadatan biomassa ikan demersal. Lebih lanjut Pujiyati (2008) faktor-faktor

abiotik seperti jenis substrat dasar perairan, kedalaman, kondisi oseanografi

sangat berpengaruh terhadap distribusi komunitas ikan-ikan demersal di perairan

Laut Jawa. Hubungan antara keterkaitan tipe substrat dan komunitas ikan

demersal di perairan Laut Jawa menunjukkan pola yang berbeda untuk lima jenis

ikan dominan yaitu leiognathus splendens (pepetek), Upeneus sulphureus (biji

nangka), Nemipterus japanicus (kurisi), Leiognathus bindus (pepetek) dan

Saurida longimanus (beloso).

2.5.1 Suhu perairan

Suhu air merupakan salah satu parameter fisika yang memegang peranan

di dalam kehidupan dan pertumbuhan biota perairan. Suhu berpengaruh langsung

pada organisme perairan terutama di dalam proses fotosintesis tumbuhan akuatik,

proses metabolisme, dan siklus reproduksi (Sverdrup et al. 1961). Kenaikan suhu

sebesar 10oC akan menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen hewan akuatik

sebesar dua kali lipat (Wardojo 1975 dalam Wardjan 2005).

Suhu air di permukaan dipengaruhi oleh kondisi meteorologi. Faktor-

faktor meterologi yang berperan adalah curah hujan, penguapan, kelembaban

udara, suhu udara, kecepatan angin, dan intensitas radiasi matahari. Oleh sebab

itu, suhu di permukaan biasanya mengikuti pola musiman (Nontji 1993). Suhu air

laut pada lapisan permukaan lebih hangat daripada suhu di lapisan dasar, namun

variasi suhu pada perairan estuari lebih rendah dari pada perairan laut. Umumnya

suhu tinggi pada estuari terjadi pada siang hari. Hal ini bisa terjadi karena daerah

dangkal mudah menjadi hangat oleh pasokan aliran panas permukaan laut

(Douglas 2001).

Page 10: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/55395/4/BAB II... · Tiga waja Drums Scianidae ... Odum (1993) beberapa sifat fisika-kimia

20

Suhu dalam lautan bervariasi sesuai dengan kedalaman. Massa air

permukaan di wilayah trofik, panas sepanjang tahun yaitu 20-30 oC. Di bawah air

permukaan suhu mulai menurun dan mengalami penurunan yang sangat cepat

pada kisaran kedalaman yang lebih dari 50-300 m (Nybakken 1988). King (1963)

suhu permukaan laut biasanya berkisar antara 27oC-29 oC. Tidak berbeda jauh

yang didapatkan oleh Afdal dan Riyono (2004) di Selat Makassar yaitu nilai rata-

rata suhu pada lapisan permukaan 28,9±0,3 °C dengan kisaran antara 28,5-29,6

°C, sedangkan pada lapisan kedalaman suhunya telah mengalami penurunan

seiring dengan bertambahnya kedalaman dan mencapai minimum pada kedalaman

300 m (10,86±0,43 °C) di Selat Makassar. Lebih lanjut Hasanuddin (2007)

menyatakan bahwa perbedaan temperatur permukaan sangat variatif, tergantung

pada lokasi, pengaruh daratan serta profil kedalaman perairan seperti yang terjadi

di Perairan Natuna.

Hatta (2010) menggambarkan hasil pengukuran suhu perairan pada daerah

penangkapan bagan rambo di Kabupaten Barru berkisar antara 27,1-32,0 oC

dengan rata-rata 29,75 oC di permukaan dan 26,1-31,8 oC dengan rata-rata 28,65 oC pada kedalaman 25 meter. Pengukuran suhu yang dilakukan oleh Safruddin

(2007) selama penelitian di daerah penangkapan purse seine di sebelah selatan di

perairan Kabupaten Jeneponto memberikan gambaran yang hampir sama yaitu

sebesar 29,71 oC dengan kisaran yang lebih sempit (29-30 oC). Sama halnya

dengan Marasabessy dan Edward (2002) memberikan gambaran suhu di Perairan

Raha Sulawesi Tenggara pada bulan Mei dan Juni tahun 2001 mendapatkan

kisaran yang sedikit lebih sempit (27,8-30,9 oC). Tidak berbeda jauh dengan hasil

pengukuran yang dilakukan oleh Umar (2009) yaitu sebesar 29,0 oC di pantai

perairan Suppa Kabupaten Pinrang.

2.5.2 Salinitas

Salinitas ialah jumlah berat semua garam (dalam gram) yang terlarut

dalam satu liter, biasanya dinyatakan dengan satuan o/oo (per mil, gram per liter)

(Nontji 1993). Sebaran salinitas di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone pada

bulan Maret-Agustus 2009 rata-rata 28,17 ‰ pada permukaan muara sungai

(Dangnga et al. 2009). Nilai tersebut sangat jauh kisarannya yang didapatkan

Page 11: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/55395/4/BAB II... · Tiga waja Drums Scianidae ... Odum (1993) beberapa sifat fisika-kimia

21

Hatta (2009) di permukaan Perairan Barru yang jauh dari pantai yaitu 30,0-35,0

ppm dengan rata-rata 31,30 ppm dan pada kedalaman 25 m didapatkan 30,0-35,0

ppm dengan rata-rata 31,70 ppm. Sementara Poppo et al. (2009) mendapatkan

kisaran salinitas yang lebih rendah antara 29,0-32,0 ppm di perairan pantai

kawasan industri perikanan Kabupaten Jembrana Bali pada bulan Mei-Juni 2008.

Bervariasinya sebaran salinitas disetiap daerah tersebut disebabkan oleh berbagai

faktor seperti topografi perairan, masukan air tawar, curah hujan, pasang surut dan

lain-lain. Perubahan salinitas di perairan bebas relatip lebih kecil dibandingkan

dengan yang terjadi di perairan pantai. Salah satu faktor yang menyebabkan

demikian, karena disebabkan perairan pantai banyak dimasuki oleh air tawar dari

muara-muara sungai terutama pada musim hujan (Laevastu dan Hela 1981).

Hadikusumah et al. (2001) bahwa di dalam perairan estuari seringkali

didominasi oleh proses percampuran dan penyebaran air tawar ke arah lepas

pantai dan masukan air tawar. Kondisi demikian akan menyebabkan terjadinya

interaksi antara air tawar dan air laut. Interaksi antara air tawar dan air laut di

perairan estuari perlu difahami karena dapat memepengaruhi penyebaran suhu,

salinitas, kekeruhan dan sebagainya. Adanya perubahan suhu dapat menyebabkan

terjadinya sirkulasi dan stratifikasi air yang secara langsung maupun tidak

langsung berpengaruh terhadap distribusi air. Wenno (2003) menyatakan bahwa

adanya interaksi antara daratan dengan Selat Makassar menyebabkan nilai rata-

rata salinitas pada lapisan permukaan sedikit berfluktuasi yaitu berkisar antara

30,4-33,7 psu dan mengalami penambahan dengan bertambahnya kedalaman dan

mencapai maksimum pada kedalaman 100 m (34,6 ±0,11 psu), kemudian sedikit

menurun sampai pada lapisan 300 m. Sementara Azis (2007) menyatakan bahwa

salinitas rata-rata di bagian permukaan lebih rendah jika dibandingkan dengan

salinitas rata-rata di bagian dasar pada kondisi pasut menuju pasang. Rendahnya

salinitas tersebut disebabkan karena adanya pengaruh dari daratan dan intrusi air

tawar dari sungai Binuangeun yang menuju laut. Hal ini berarti bahwa aliran

sungai sangat mempengaruhi salinitas di perairan estuaria.

Page 12: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/55395/4/BAB II... · Tiga waja Drums Scianidae ... Odum (1993) beberapa sifat fisika-kimia

22

2.5.3 Derajat keasaman (pH)

Derajat keasaman (pH) merupakan hasil pengukuran aktivitas ion hidrogen

dalam perairan yang menunjukkan keseimbangan antara asam dan basa air.

Romimohtarto dan Juwana (2001) menyatakan bahwa perubahan pH sedikit saja

dapat menyebabkan perubahan dalam reaksi fisologik berbagai jaringan maupun

pada reaksi enzim dan lain-lain. Di laut terbuka, variasi pH dalam batas yang

diketahui mempunyai pengaruh kecil pada sebagian besar biota. Nilai derajat

keasaman (pH) di perairan pesisir umumnya lebih rendah dibandingkan dengan

pH air laut lepas, karena adanya pengaruh masukan massa air tawar dari sistem

sungai yang bermuara.

Rata-rata pH normal air laut adalah 7,8-8,2 dan bahkan perairan tropis

dapat meningkat hingga 9,4 selama fotosintesa berlangsung (Phillips dan Menes

1988). Swingle (1968) berpendapat bahwa batas toleransi pH bagi ikan umumnya

berkisar antara pH 4 dan pH 11, dan untuk mendukung kehidupan ikan secara

wajar diperlukan perairan dengan pH yang berkisar antara 5-9. Di lingkungan

perairan laut pH relatif lebih stabil dan berada dalam kisaran yang sempit,

biasanya berkisar antara 7,7-8,4 (Nybakken 1988). Batas toleransi organisme air

terhadap pH bervariasi, tergantung pada suhu air, oksigen terlarut dan adanya

berbagai anion dan kation, serta jenis dan stadium hidup organisme. Baku mutu

pH air laut untuk biota laut (budidaya perikanan) yang ditetapkan dalam Kep.No.

02/MENKLH/ Tahun 1988 adalah 6-9.

2.5.4 Oksigen terlarut (DO)

Oksigen merupakan salah satu unsur penting dalam kehidupan organisme.

Oksigen oleh organisme akuatik dipergunakan dalam proses-proses biologi,

khususnya dalam proses respirasi dan penguraian zat organik oleh

mikroorganisme. Dalam ekosistem perairan oksigen terlarut sangat penting untuk

mendukung eksistensi organisme dan proses-proses yang terjadi di dalamnya, hal

ini terlihat dari peranan oksigen selain digunakan untuk aktivitas respirasi

organisme air juga dipakai oleh organisme dekomposer dalam proses bahan

organik di perairan.

Page 13: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/55395/4/BAB II... · Tiga waja Drums Scianidae ... Odum (1993) beberapa sifat fisika-kimia

23

Sumber utama oksigen dalam air laut adalah dari udara melalui proses

difusi dan proses fotosintesis fitoplankton dan tumbuhan air lainnya pada siang

hari. Nybakken (1988) menyatakan bahwa kelarutan oksigen dalam air

dipengaruhi oleh temperatur dan kecerahan, semakin rendah temperatur perairan

semakin tinggi kelarutannya, dengan kata lain kandungan oksigen dalam kolom

air akan semakin rendah.

Oksigen terlarut merupakan gas yang mutlak dibutuhkan untuk pernapasan

ikan dan biota lain serta diperlukan dalam perombakan bahan organik. Di laut

umumnya dalam 1 liter air laut mengandung 5-6 ml oksigen (Hutagalung et al.

1997). Untuk proses metabolisme, hewan air membutuhkan oksigen terlarut di

atas 5 ppm cukup layak bagi kehidupan larva plankton (Shahab 1986). Para ahli

perikanan sering menyebutkan bahwa ikan dan biota air lainnya memerlukan

sekurang-kurangnya 3 mg/l oksigen terlarut untuk kehidupannya secara normal.

Prescod (1973) menyatakan bahwa kandungan oksigen terlarut minimal sebesar 2

ppm, cukup untuk mendukung kehidupan perairan secara normal di daerah tropik

dengan asumsi perairan tidak mengandung bahan beracun. Dikatakan juga bahwa

agar kehidupan ikan dapat layak dan kegiatan perikanan berhasil, maka

kandungan oksigen terlarut tidak boleh kurang dari 4 ppm.

2.5.5 Kecepatan arus perairan

Arus di laut merupakan suatu fenomena dinamika air laut yang terjadi

setiap hari dan merupakan pencerminan gerakan massa air laut dari suatu tempat

ke tempat lain secara horizontal. Massa air permukaan selalu bergerak, gerakan

ini ditimbulkan terutama oleh kekuatan angin yang bertiup melintasi permukaan

air dan pasang surut. Angin mendorong bergeraknya air permukaan sehingga

menghasilkan suatu gerakan arus horizontal yang lamban, tetapi mampu

mengangkut volume air yang sangat besar melintasi jarak di lautan. Keadaan arus

ini mempengaruhi pola penyebaran organisme laut (Nybakken 1988).

Perairan pantai Indonesia kecepatan arusnya relatif cukup kuat dan

bervariasi seperti yang terjadi di sekitar perairan Teluk Klabat, perairan pantai

Muntok dan Selat Bangka berkisar antara 5-72 cm/det. Kecepatan utama arus

mencapai lebih dari 40 cm/det, pada musim timur (Agustus) lebih kuat dari pada

Page 14: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/55395/4/BAB II... · Tiga waja Drums Scianidae ... Odum (1993) beberapa sifat fisika-kimia

24

musim peralihan (April) (Nurhayati 2007). Kecepatan arus di perairan Selat

Lombok pada bulan Agustus pada lapisan permukaan juga bisa mencapai lebih

dari 1,5 m/det (Arief 1992). Begitupula dengan di sekitar Selat Malaka kecepatan

arus relatif kuat dengan kecepatan kurang dari 1,0 m/det (Nurhayati 2002). Kurnia

(2003) melaporkan bahwa kecepatan arus di perairan Teluk Bone selama

penelitian yaitu berkisar antara 0,024-0,048 m/det. Sutarmat et al. (2003) dalam

Wardjan (2005) mengemukakan bahwa arus yang biasanya disebabkan oleh

pasang surut tidak melebihi 50 cm/detik. Aliran air sebagai pergantian air yang

cukup yaitu 10-30 cm/detik.

2.5.6 Plankton

Distribusi biogeografis plankton sangat ditentukan oleh faktor lingkungan,

sepeti cahaya, temperatur, salinitas, nutrien dan faktor-faktor lainnya. Faktor

tersebut sangat menentukan keberadaan dan kesuksesan spesies plankton di suatu

lingkungan (Parsons et al. 1984 dan Valiela 1984). Lebih lanjut Parsons et al.

(1984) mengemukakan bahwa tidak mudah untuk menjelaskan kondisi yang

berlaku umum tentang penyebaran fitoplankton secara horisontal di laut. Hal ini

disebabkan oleh perbedaan kondisi ekologi pada bagian-bagian laut yang berbeda,

seperti di daerah pantai dan estuari, pesisir pantai, dan laut lepas.

Salah satu peranan fitoplankton di perairan adalah mengubah zat-zat

anorganik menjadi zat-zat organik dengan bantuan sinar matahari melalui proses

fotosintesis. Hasilnya disebut sebagai produktivitas primer dengan satuan volume

per waktu atau satuan luas per waktu (APHA 2005). Respon fitoplankton terhadap

intensitas cahaya sangat dipengaruhi oleh pigmen yang dikandungnya. Perbedaan

pigmen yang dikandung antara jenis fitoplankton menyebabkan perbedaan

intensitas cahaya yang diabsorbsi. Lebih spesifik Levinton (1982) menyatakan

bahwa fitoplankton berfotosintesa menggunakan klorofil a, c, dan pigmen

tambahan.

Zooplankton dipengaruhi oleh kecerahan yang erat kaitannya dengan

jumlah seston dan penetrasi cahaya kedalam perairan. Kecerahan dipengaruhi oleh

kekeruhan dan warna air, makin tinggi kecerahan makin dalam penetrasi cahaya

matahari (Arinardi 1989). Lebih lanjut, mengemukakan bahwa jumlah

Page 15: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/55395/4/BAB II... · Tiga waja Drums Scianidae ... Odum (1993) beberapa sifat fisika-kimia

25

zooplankton sangat dipengaruhi oleh kekeruhan. Dengan kekeruhan yang tinggi

fitoplankton tidak efektif untuk melakukan fotosintesis sehingga zooplankton

tidak tumbuh dengan baik.

2.6 Trophic Level dan Kebiasaan Makan Ikan

Seluruh biota penghuni laut dari permukaan sampai dasar saling

berhubungan secara kompleks membentuk suatu sistem yang rumit. Hubungan ini

terutama adalah dalam hal makanan. Bermacam-macam mata rantai dari sistem

tersebut saling menjamin berlangsungnya transformasi energi di laut. Mempelajari

struktur dan proses dari sistem tersebut merupakan salah satu persoalan terpenting

dalam planktonologi. Transfer energi dari tingkatan tropik yang satu ke yang lain

dari permukaan sampai dasar, dalam tingkatan tertentu ditunjukkan oleh sifat

sebaran vertikal, kuantitas, dan komposisi plankton pada berbagai kedalaman.

Rantai makanan dinyatakan sebagai suatu aliran biomassa yang kontinu dari

tingkatan trofik yang ada. Nybakken (1988) mengemukakan bahwa dalam setiap

komunitas, spesies tidak terisolasi tetapi berinteraksi dengan spesies lain pada

daerah yang sama sehingga akan terjadi proses makan dimakan dalam komunitas

tersebut. Ketersedian makanan merupakan faktor yang menentukan ukuran

populasi, pertumbuhan, reproduksi dan dinamika populasi serta kondisi ikan yang

ada di suatu perairan (Nikolsky 1963). Adanya makanan yang tersedia dalam

perairan selain dipengaruhi oleh kondisi biotik, ditentukan pula oleh kondisi

abiotik lingkungan seperti suhu, cahaya, ruang, dan luas permukaan (Effendie

1997).

Rantai makanan menggambarkan hubungan keterkaitan antar organisme

mulai tingkatan trofik terendah sampai dengan tingkatan trofik tertinggi. Di dalam

jejaring makanan terdapat mekanisme saling memengaruhi antara tingkatan trofik

paling atas terhadap tingkatan trofik di bawahnya (top down effect) dan sebaliknya

dari tingkatan trofik paling bawah ke tingkatan trofik di atasnya (bottom up effect)

(Chassot et al. 2005). Effendie (1997) mengemukakan jika ditelaah makanan ikan

itu sejak dari awal pembentukannya sampai ke makanan yang dimakan oleh ikan,

sebenarnya merupakan mata rantai yang dinamakan rantai makanan (food chains).

Plankton tumbuh-tumbuhan melalui proses fotosintesis dapat memproduksi bahan

Page 16: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/55395/4/BAB II... · Tiga waja Drums Scianidae ... Odum (1993) beberapa sifat fisika-kimia

26

organik dari bahan anorganik (produsen primer), organisme yang memakan

nonprodusen primer dinamakan konsumer primer, organisme yang memakan

konsumer primer dinamakan konsumer sekunder dan seterusnya. Lebih lanjut

dijelaskan bahwa panjang pendeknya rantai makanan tergantung dari macam,

ukuran atau umur ikan, namun pada kenyataannya dalam interaksi makan-

pemakan terjadi tumpang tindih, dimana satu jenis konsumen memakan beberapa

jenis makanan dan satu jenis produsen dimakan oleh beberapa jenis konsumen

sehingga membentuk suatu jaringan yang dinamakan jaring-jaring makanan

(food webs).

Salah satu contoh struktur rantai makanan yaitu struktur rantai makanan

plankton berupa bentuk piramida terbalik (biomassa autotrofik rendah dan

biomassa heterotrofik tinggi) sangat dipengaruhi oleh aktivitas organisme

prokaryotik. Cyanobacteri berperan selama periode autotrof dan bakteri selama

periode heterotrof (Moustaka-Gouni et al. 2006). Di laut ada 5 (lima) tingkatan

trofik dalam rantai makanan yaitu bakteri dan detritus (B), Fitoplankton (P),

Zooplankton I (Z1), zooplankton II (Z2), dan tingkatan terakhir ikan (F).

Setiap tingkatan trofik berbeda energi yang dihasilkan yang dikenal dengan

efisiensi ekologi (E). Efisiensi ekologi ini berhubungan dengan produksi ikan

(Parson et al. 1984). Sedangkan Schaefer (1965) yang dalam Parson et al. (1984)

menyatakan bahwa pengaruh efisiensi ekologi terhadap produksi ikan berkisar

dari 10-20% pada lima tingkat trofik tersebut.

Yusfiandani (2004) tahapan proses yang sama pada food webs disekitar

rumpon di perairan Pasauran terlihat hanya pada tahapan I sampai III, tetapi

tingkatan yang didapatkan yaitu sampai pada 5 (lima) tingkatan dalam rantai

makanan, yaitu diantaranya : predator puncak (V), predator karnivora dan

omnivora (IV), penyaring (ikan herbivora) (III), pemangsa mikroorganisme (II),

dan mikroorganisme ( I).

Tingkat I yaitu mikroorganisme yang terdiri dari mikroba dan mikroalga

merupakan mahluk pertama yang tumbuh pada atraktor.

Tingkat II yaitu pemangsa mikroorganisme adalah euphausiid, kopepoda,

udang dan lain-lain.

Page 17: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/55395/4/BAB II... · Tiga waja Drums Scianidae ... Odum (1993) beberapa sifat fisika-kimia

27

Tingkat III yaitu penyaring dimaksudkan ikan-ikan penyaring yang terdapat

disekitar rumpon, seperti ikan baronang, remora, Abaliste sp, eteman, kurisi

dan ikan lainnya.

Tingkat IV yaitu ikan predator yang bersifat karnivora dan omnivora

merupakan pemangsa ikan penyaring, seperti ikan selar bentong, selar kuning,

selar hijau, ikan kembung, ikan tongkol, lumba-lumba, serta ikan lainnya.

Tingkat V yaitu ikan predator tinggi adalah ikan yang memangsa ikan

predator dan merupakan top level dalam rantai makanan yang terdapat di

sekitar rumpon, seperti tuna, cakalang, setuhuk, hiu serta ikan pelagis lainnya.

Penelitian serupa yang dilakukan oleh Amiruddin (2006) bahwa pada alat

tangkap bagan berlangsung pemangsaan selama proses penangkapan. Terlihat

komposisi makanan teri hitam (Stolephorus insularis) yaitu fitoplankton (6%) dan

zooplankton (94%) menunjukkan bahwa teri lebih memilih zooplankton sebagai

makanan utamanya dibandingkan dengan fitoplankton. Sementara pemangsa dari

teri adalah selar, dimana proporsi volume teri dalam lambung selar antara

77,8-91,3% dengan frekuensi kejadian pemangsaan antara 80-100%. Hal ini

diperkuat oleh Hutomo et al. (1987) bahwa ikan teri adalah termasuk ikan

pemakan plankton. Lebih lanjut bahwa ikan teri pada ukuran < 40 mm umumnya

memakan fitoplankton dan zooplankton berukuran kecil sedangkan pada ukuran >

40 mm, ikan teri memanfaatkan zooplankton (copepoda) berukuran besar. Lebih

lanjut Hatta (2010) menyatakan bahwa ikan planktivor (terutama ikan teri)

menunjukkan peranan yang sangat penting dalam ekosistem pelagis di dalam

daerah penangkapan bagan rambo. Ikan planktivor berperan penting dalam

transfer makanan dari plankton ke populasi ikan omnivor dan ikan karnivor pada

trofik level lebih tinggi. Biomassa pada populasi plankton tidak dapat secara

efektif langsung dimanfaatkan oleh ikan omnivor dan ikan karnivor sehingga

harus melewati ikan planktivor. Posisi strategis ikan planktivor sebagai item

makanan ikan omnivor dan ikan karnivor jelas akan mempengaruhi jalur rantai

makanan pada trofik level di atasnya.

Aranchibia dan Neira (2005) mengemukakan hasil penelitiannya di pusat

pendaratan ikan Chili bahwa selama 20 tahun (1979-1999) terjadi penurunan

trofik level rata-rata ikan yang lebih besar yaitu 17,5% pertahun. Lebih lanjut

Page 18: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/55395/4/BAB II... · Tiga waja Drums Scianidae ... Odum (1993) beberapa sifat fisika-kimia

28

Pauly et al. (1998) dalam Hatta (2010) mengemukan hasil penelitiannya yang

berdasarkan data pendaratan ikan yang diteliti diberbagai negara, bahwa telah

terjadi penurunan trofik level rata-rata sebesar 10% per tahun. Hatta (2010)

mengelompokkan beberapa jenis ikan berdasarkan makanannya yaitu ikan teri dan

ikan tembang merupakan ikan pemakan plankton (planktivor) karena di dalam

ususnya hanya ditemukan fitoplankton dan zooplankton saja. Lebih lanjut

dikatakan bahwa ternyata dalam isi usus ikan teri terdapat komposisi fitoplankton

berkisar 26,32-94,87% dari total plankton dengan rata-rata 64,65%, sementara

ikan tembang berkisar antara 42,86-97,14% dengan rata-rata 62,80%. Ikan

pepetek, layang, dan kembung tergolong ikan omnivor karena mengkonsumsi

nekton berupa jenis ikan kecil, ikan teri, dan udang halus selain plankton dan ikan

selar tergolong ikan karnivor yang memakan nekton berupa berbagai jenis ikan

kecil, teri, udang, cumi-cumi dan sebagian kecil zooplankton.

Menurut Weatherley dan Gill (1987) bahwa ada 11 prinsip mengenai

hubungan mangsa dan pemangsa pada ikan : 1) jumlah ikan yang dimakan oleh

piscivor lebih banyak dibandingkan dengan jumlah ikan yang ditangkap oleh

nelayan; 2) ukuran mangsa yang dimakan oleh pemangsa semakin bertambah

besar dengan bertambah besarnya ukuran pemangsa; 3) pemangsa memiliki

kesukaan (preverensi) pada spesies mangsa dengan ukuran tertentu; 4) pemangsa

umumnya mengambil bermacam-macam mangsa; 5) pemangsaan terhadap suatu

jenis mangsa memungkinkan terjadi perubahan terhadap kepadatan mangsa; 6)

pemangsa mungkin mengganti makanannya dengan spesies lain dalam suatu

kesetimbangan biologi; 7) jumlah mangsa berkurang akibat pemangsaan oleh

tekanan pemangsa; 8) komposisi komunitas mangsa dipengaruhi oleh pemangsa;

9) populasi mangsa yang melimpah dapat merangsang pertumbuhan dan densitas

pemangsa; 10) persaingan antara spesies pemangsa dapat mempengaruhi

pertumbuhan dan densitas populasi; dan 11) pemangsaan terhadap mangsa

tertentu dapat menurunkan persaingan diantara spesies mangsa sehingga dapat

penambahan keragaman komunitas mangsa.

Jenis ikan yang tertangkap pada alat tangkap sero tidak hanya ikan-ikan

demersal yang hidupnya di muara sungai, mangrove, dan lamun bahkan ada

diantaranya ikan-ikan demersal yang hidupnya di daerah terumbu karang. Ikan

Page 19: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/55395/4/BAB II... · Tiga waja Drums Scianidae ... Odum (1993) beberapa sifat fisika-kimia

29

ikan karang dapat dibagi menjadi 2 (dua) kelompok yaitu ikan-ikan diurnal dan

ikan-ikan nocturnal. Kelompok ikan diurnal adalah kelompok ikan yang aktif

berinteraksi dan mencari makan pada siang hari, seperti dari famili

Pomacentridae, Labridae, Achanthuridae, Chaetodontidae, Serranidae, Lutjanidae,

Balistidae, Cirrhitidae, Tetraodontidae, Bleniidae, dan Gobiidae. Sedangkan ikan-

ikan nocturnal adalah kelompok ikan-ikan yang aktif berinteraksi dan mencari

makan pada malam hari. Di siang hari, kelompok kedua ini menetap pada gua-gua

dan celah-celah karang, seperti dari famili Holocentridae, Apongonidae,

Haemulidae, Scorpaenidae, Serranidae, dan Labridae (Allen dan Steenes, 1990

dalam Sadarun 2011).

Menurut Gladfelter dan Gladfelter (1978) dalam Arami (2006) bahwa

struktur trofik ikan-ikan terumbu karang dapat dibedakan menjadi 6 (enam) grup

trofik yaitu herbivora, omnivora, plankton feeders, pemakan crustacean, ikan

piscivora, dan pemakan lain-lain (Tabel 2).

Tabel 2 Komposisi ikan-ikan pada terumbu karang menurut struktur trofik

Grup trofik Jumlah Famili Famili

Herbivora 5 Scaridae, Acanthuridae, Pomacentridae, Blennidae, dan Kyphosidae

Omnivora 13 Labridae, Acanthuridae, Pomacentridae, Mullidae, Ostraciontidae, Cahetodontidae, Monacathidae, Gobiidae, Diodontidae, Sparidae, Carangidae, Gerridae, dan Pempheridae

Plakton feeders 7 Apongonidae, Pomacentridae, Holocentridae, Grammidae, Priacanthidae, Sciaenidae, dan Pempheridae

Pemakan crustacean dan ikan

9 Serranidae, Holocentridae, Lutjanidae, Scorpaenidae, Sciaenidae, Synodontidae, Fistulariidae, Aulostomidae, dan Bothidae

Piscivora 9 Serranidae, Lutjanidae, Carangidae, Spyraenidae, Muraenidae, Synodontidae, dan Fistulariidae, Aulostomidae, dan Bothidae

Pemakan lain-lain 4 Pomacentridae, Balistidae, Acanthuridae, dan Gobiidae Sumber : Gladfelter & Gladfelter (1978) dalam Arami (2006)

2.7 Selektivitas Alat Tangkap

Gulland (1974) mendefinisikan selektivitas adalah kemampuan dari alat

tangkap untuk meloloskan ikan. Lebih lanjut FAO (1999) menyatakan bahwa

selektivitas merupakan sifat alat tangkap tertentu untuk mengurangi atau

mengeluarkan tangkapan yang tidak sesuai ukuran (unwanted catch) atau ikan-

ikan tangkapan yang tidak diinginkan (incidential catch) dan selektivitas

Page 20: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/55395/4/BAB II... · Tiga waja Drums Scianidae ... Odum (1993) beberapa sifat fisika-kimia

30

merupakan fungsi dari suatu alat penangkapan ikan dalam menangkap spesies

ikan dalam jumlah dan selang ukuran tertentu pada suatu populasi di daerah

penangkapan ikan. Losanes et al. (1990) mendefinisikan lebih jauh tentang

selektivitas ukuran adalah pernyataan kuantitatif dari kemampuan alat tangkap

untuk menangkap ikan terhadap spesies dengan ukuran tertentu. Kemampuan

tersebut dengan menghindarnya ikan dari hadangan jaring yang merupakan proses

penentu peluang tertangkapnya ikan. Peluang ini bervariasi sesuai dengan

karakteristik ikan seperti bentuk badan, bagian yang terjerat dan ukuran mata

jaring.

Selektivitas merupakan fungsi dari suatu alat penangkapan ikan dalam

menangkap spesies ikan dalam jumlah dan selang ukuran tertentu pada suatu

populasi di daerah penangkapan ikan. Selektivitas menurut Matsuoka (1995)

dibagi dalam dua komponen yaitu selektivitas ukuran dan selektivitas spesies.

Menurut FAO (1999) bahwa penagkapan ikan yang selektif meliputi;

a. Umur dan Ukuran ikan yang tertangkap; perubahan penangkapan yang

dilakukan dengan menangkap ikan yang umurnya sudah tua, memungkinkan

untuk memperbaiki hasil tangkapan dengan tingkat upaya tertentu sehingga

hasil tangkapan sebanding dengan bobot ikan yang menguntungkan secara

ekonomis.

b. Selektivitas spesies; perikanan yang banyak melibatkan spesies menimbulkan

banyak masalah optimasi distribusi bagi upaya tangkap dengan berbagai

macam alat tangkap yang berbeda. Hal ini diikuti dengan tingkat upaya

tangkap yang berbeda bagi beberapa spesies secara profesional. Dengan

adanya aturan yang dibuat untuk menangkap spsesies dan ukuran tertentu akan

membantu pengembangan perikanan lestari.

Fridman (1986) menyatakan bahwa selektivitas merupakan sifat alat dalam

menangkap ukuran dan jenis ikan tertentu dalam suatu populasi. Sifat ini

tergantung pada prinsip yang dipakai dalam penangkapan, tetapi juga tergantung

pada parameter desain alat seperti mata jaring, benang jaring dan ukuran benang,

hanging ratio dan kecepatan menarik. Lebih lanjut Treshchev (1974) dalam

Fridman (1986) mengatakan bahwa ukuran mata jaring mempunyai pengaruh

terbesar pada selektivitas alat tangkap. Menurut Nielsen dan Lampton (1983)

Page 21: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/55395/4/BAB II... · Tiga waja Drums Scianidae ... Odum (1993) beberapa sifat fisika-kimia

31

menyatakan bahwa ikan yang mempunyai ukuran yang lebih kecil maupun lebih

besar dari ukuran ikan optimum lebih sedikit tertangkap karena ikan yang sangat

kecil dapat berenang lolos dan ikan besar tidak dapat masuk ke lubang jaring.

Secara umum ukuran selektivitas ialah : 1) Girth optimum = 1,25 kali keliling

jaring, 2) Panjang ikan = 20% lebih panjang atau lebih pendek dari panjang

optimum yang sering tertangkap.

Kemampuan selektivitas suatu alat tangkap bergantung pada prinsip

penangkapan dan parameter desain alat itu sendiri seperti ukuran mata jaring

(mesh size), beban benang, material dan ukuran benang, hanging ratio,

dan kecepatan penarikan alat tangkap (Fridman 1986). Lebih lanjut dijelaskan

oleh Treshchev (1974) dalam Fridman (1986) bahwa ukuran mata jaring

mempunyai pengaruh terbesar pada selektivitas alat tangkap.

Memperbesar ukuran mata jaring dapat menyebabkan perubahan komposisi

yang pada akhirnya jumlah hasil tangkapan sehingga pengetahuan tentang

selektivitas sangat membantu dalam merancang, membuat dan mengoperasikan

alat tangkap dengan baik (Fridman 1986).

Lebih lanjut Pope et al. (1975) menyatakan bahwa selain ukuran mata

jaring yang menentukan selektivitas adalah hanging ratio, elongation, visibilitas

benang jaring (menyangkut bahan dan tebal benang), bentuk badan dan tingkah

laku ikan tujuan tangkap. Hanging ratio dan bentuk badan ikan berpengaruh

terhadap proses cara tertangkap, nilai hanging ratio yang makin kecil

berkecenderungan untuk memuntal. Kemuluran benang jaring yang meningkat

memberikan peluang ukuran ikan yang lebih besar untuk tertangkap. Visibilitas

dan tingkah laku berhubungan dengan kemampuan ikan untuk menghindari jaring.

Hal senada juga dikemukakan oleh Sparre dan Venema (1999) bahwa selektivitas

dipengaruhi oleh desain alat tangkap dan karakteristik jaring. Selektivitas alat

harus diperhitungkan dalam mengestimasi komposisi ukuran ikan yang

sesungguhnya di daerah penangkapan. Dalam suatu model yang dikemukakan

oleh Beverton dan Holt yang dalam Monintja et al. (1999) bahwa umur ikan

termuda yang tertangkap (age at first capture) akan menentukan yield per

recruitment. Umur ikan tersebut ditentukan oleh selektivitas alat tangkap terhadap

Page 22: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/55395/4/BAB II... · Tiga waja Drums Scianidae ... Odum (1993) beberapa sifat fisika-kimia

32

jenis ikan tersebut. Oleh karena itu pendekatan teknis berupa pengetahuan tentang

mata jaring merupakan salah satu cara dalam manajemen sumberdaya perikanan.

Sementara Matsuoka (1995) membagi dua komponen selektivitas yaitu

selektivitas ukuran dan selektivitas spesies. Regier dan Robson (1966)

menentukan pengaruh ukuran mata jaring terhadap selektivitas dapat dilakukan

dengan 3 (tiga) metode yaitu: langsung, tidak langsung dan iteratif. Metode

langsung memerlukan data komposisi ukuran dari populasi dan kemudian

mengestimasikan selektivitas dengan membandingkan komposisi ikan yang

tertangkap dengan komposisi populasi. Pendekatan ini dapat dilaksanakan jika

komposisi ikan dalam populasi ikan diketahui. Metode tidak langsung

membutuhkan asumsi matematika untuk kurva selektivitas, yakni ketergantungan

antara selektivitas dengan ukuran mata jaring. Data hasil tangkapan yang

digunakan terdiri dari beberapa kelas ukuran ikan yang tertangkap oleh mata

jaring yang berbeda ukuran. Metode iteratif memerlukan asumsi matematika

tertentu berbasiskan pada data yang diperoleh pada interval yang panjang atau

pada beberapa interval ulangan. Hal utama dalam metode ini adalah

memperkirakan hubungan antara selektivitas terhadap bukaan mata jaring dan

nilai tengah panjang ikan yang diulang-ulang berdasarkan jumlah relatif ikan pada

suatu populasi sampai menghasilkan sebaran titik-titik yang memadai untuk

membuat kurva.

Lebih lanjut Matsuoka (1995) mengemukakan bahwa selektivitas

umumnya digambarkan sebagai suatu ukuran relatif. Dalam perhitungan tidak

langsung (indirect estimation method) nilai selektivitas 100% bukan berarti bahwa

semua ikan tertangkap dalam operasi penangkapan. Hal tersebut menandakan

suatu nilai efisiensi relatif tertinggi. Kebanyakan alat penangkapan ikan memiliki

selektivitas (size selectivity) yang digambarkan dalam kurva selektivitas yaitu :

(1) kurva yang berhubungan dengan efisiensi tertinggi disekitar puncak, menurun

pada kedua sisi dengan dua buah ekor (a modal curve/normal curve) dan

(2) kurva satu ekor dengan efisiensi tertinggi pada ikan-ikan yang berukuran

besar, seperti kurva model logiistik (a on tail curve). Alat tangkap passif seperti

gillnet, perangkap, dan pancing memiliki kurva selektivitas yang berbentuk

normal curve, sedangkan pada alat tangkap yang aktif seperti trawl dan jenis

Page 23: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/55395/4/BAB II... · Tiga waja Drums Scianidae ... Odum (1993) beberapa sifat fisika-kimia

33

jaring yang lain dimana proses selektivitasnya terjadi dengan penyeleksian maka

alat tangkap tersebut memiliki bentuk a one tail curve/logistic curve.

Kurva selektivitas memberikan gambaran kisaran selektivitas a%

dibandingkan efisiensi tertinggi sehingga didapat panjang selektif a% dengan

notasi La (a%-selective length) misalnya L25 atau L50 dan berkaitan dengan

masing-masing ukuran mata jaring (Matsuoka 1995). Perhitungan tentang

selektivitas dapat menggunakan beberapa metode antara lain metode McCombie

dan Fry’s, metode girth inference dan metode Kitahara (Reis & Pawson 1992).

Pada metode Kitahara, selektivitas diestimasi dari fungsi L/M (panjang ikan

dibagi ukuran mata jaring) dan G/M (keliling lingkar tubuh ikan dibagi ukuran

mata jaring), diantilog-kan kurva master dan puncak kurva diperoleh ketika

efisiensi relatif mencapai 100%. Metode ini pada dasarnya mirip metode yang

dideskripsikan oleh Pope et al. (1975) dan Jones (1976) yaitu secara cover-net,

dimana cover-net tersebut mempunyai ukuran mata jaring yang lebih kecil dari

ukuran mata jaring cod-end. Pada prinsipnya membandingkan jumlah hasil ikan

yang berada di cover-net dengan jumlah seluruh ikan yang ada di bagian cod-end

dan cover-net yang menutupi cod-end.

2.8 Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem

Pendekatan ekosistem dapat dipahami sebagai pendekatan yang

mengikutsertakan keseluruhan komponen utama ekosistem dan berbagai jasa yang

diberikannya dalam perhitungan untuk memperoleh suatu upaya pengelolaan

perikanan secara berkelanjutan. Pengertian ini juga menyangkut pengelolaan

perilaku manusia untuk menjaga tingkat tertentu keragaman, kepadatan, dan

produktivitas ekosistem laut. Dalam beberapa pengertian lain seperti dijelaskan

oleh Mathew (2001) bahwa pendekatan dapat dipahami sebagai cara untuk

memahami interaksi yang terjadi pada spesies ikan target, predator, kompetitor,

dan spesies mangsanya, serta berbagai interaksi dan dampak ekploitasi organisme

tersebut terhadap lingkungan.

Permasalahan yang mendasar dalam pengkajian stok untuk pengelolaan

perikanan saat ini adalah orientasi yang berbasis pada spesies tunggal atau

sumberdaya ikan target saja. Widodo dan Suadi (2008) mengemukakan dampak

Page 24: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/55395/4/BAB II... · Tiga waja Drums Scianidae ... Odum (1993) beberapa sifat fisika-kimia

34

kebijakan pengelolaan perikanan yang selama ini berkembang hanya berbasis

pada spesies target (tunggal) saja telah meninggalkan permasalahan baru bagi

spesies target sendiri, spesies ikan lainnya, dan organisme lain yang memiliki

hubungan dengan jenis tersebut, serta lingkungan. Hal ini sering memunculkan

pertanyaan bahwa perubahan dan dampak apa yang dapat terjadi sebagai akibat

dari kegiatan perikanan tersebut?. Kondisi ini telah menarik perhatian

internasional tentang pengembangan pola pengelolaan sumberdaya ikan yang

berbasis ekosistem atau yang dikenal sebagai ecosystem-based fisheries

management (EBFM). Dengan berbasis pada pendekatan ini, pengelolaan

perikanan ke depan perlu diupayakan ke arah pendekatan yang bersifat

multidisiplin dengan mengoptimalkan pemanfataan ilmu pengetahuan yang ada

seperti oseanografi, biologi perikanan, sosial ekonomi, hukum, teknologi

informasi (sistem informasi geografis dan penginderaan jauh), dan lain-lain, serta

pendekatan ini dapat dipadukan berbagai informasi yang tersedia tentang sistem

sumberdaya ikan seperti produktivitas primer, sumberdaya ikan utama dan

berbagai pola hubungan makan-memakan atau rantai dan jaring makanan dapat

digunakan untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh dari proses dinamis

yang terjadi pada ekosistem perairan.

Dalam rangka menguatkan pendekatan ini, FAO pada bulan Oktober 2001

di Reykjavik Iceland, melakukan suatu pertemuan ilmiah internasional dan

menghasilkan Deklarasi Reykjavik tentang perikanan berkelanjutan pada

ekosistem laut (Responsible Fisheries in the Marine Ecosystem). Dalam deklarasi

Reykjavik dipaparkan isu kunci perlunya mengumpulkan dan mereview berbagai

pengetahuan terbaik tentang isu ekosistem laut terkait dengan kegiatan perikanan

tangkap dan mengintegrasikannya dalam berbagai aktivitas baik di tingkat

regional maupun internasional untuk pengelolaan perikanan. Pertemuan-

pertemuan dunia tentang pembangunan dan lingkungan berikutnya seperti

pertemuan di Johannesburg 2002 juga semakin mempertegas kebutuhan untuk

membangun dunia yang lebih berpedoman pada prinsip pembangunan

berkelanjutan. Lebih jauh FAO juga melengkapi dengan berbagai panduan teknis

menuju perikanan berkelanjutan.

Page 25: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/55395/4/BAB II... · Tiga waja Drums Scianidae ... Odum (1993) beberapa sifat fisika-kimia

35

Perikanan sero merupakan perikanan pantai yang terdiri dari beberapa

ekosistem yang ada di dalamnya. Oleh karena itu penerapan pola pengelolaan

sumberdaya ikan yang berbasis ekosistem atau yang dikenal sebagai ecosystem-

based fisheries management (EBFM) sangatlah tepat untuk diterapkan. Mengingat

bahwa pemanfaatan perikanan dunia saat ini terkonsentrasi pada perairan dangkal

pada kedalaman antara 0-200 m (Pauly dan Christensen 2002). Dipertegas bahwa

produktivitas perairan di daerah pantai (paparan) yang tinggi telah menghasilkan

suatu produktivitas perikanan yang juga tinggi. Ekosistem ini diperkirakan

menyumbang lebih dari 90% sumber ikan dunia. Daerah terumbu karang dapat

memproduksi 10-12% dari total hasil tangkapan di negara tropis dan sekitar 20-

25% di negara berkembang.

Tingginya tingkat produktivitas di daerah pantai dibandingkan pada daerah

lain digambarkan oleh Wolff (2004) dalam Widodo dan suadi (2008) seperti pada

Tabel 3 berikut.

Tabel 3 Produktivitas perikanan di habitat laut terbuka, pantai, dan upwelling

Habitat Laut Terbuka Pantai UpwellingPersentase luas perairan 90 9,9 0,1 Rata-rata produktivitas primer (g.C/m/tahun)

50 100 300

Total Produksi (109 ton C/tahun 16,3 3,6 0,1 Jumlah energi yang ditranfer antara berbagai tingkat trofik

5 3 1,5

Rata-rata efisiensi ekologi 10% 15% 20% Rata-rata produksi ikan (mg C/m2/tahun)

0,5 340 36.000

Total produksi ikan (106 ton C/tahun)

0,2 12 12

Tabel 3 menunjukkan bahwa perairan laut terbuka (lepas pantai) walaupun

memiliki luas area yang terbesar (mencapai 90% dari total perairan laut), namun

total produksi ikan yang dapat didukung oleh wilayah ini hanya mencapai 200.000

ton C/tahun. Jumlah ini sangat berbeda dengan produksi yang mampu dihasilkan

oleh dua habitat perairan laut lainnya yaitu paparan (pantai) dan daerah upwelling

yaitu mencapai 12 juta ton C/tahun, walaupun luas areanya sangat kecil. Interaksi

yang terjadi antar organisme yang hidup pada tiga habitat tersebut juga cukup

berbeda. Di antara tiga habitat utama perikanan, interaksi biologi yang terjadi

Page 26: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/55395/4/BAB II... · Tiga waja Drums Scianidae ... Odum (1993) beberapa sifat fisika-kimia

36

pada perairan laut lepas lebih kompleks dengan rantai makanan yang lebih

panjang (mencapai 6 tingkat trofik) dibandingkan perairan pantai (4 trofik) dan

daerah upwelling (1,5 trofik). Bahkan jumlah tingkat trofik pada daerah upwelling

bisa mencapai bisa mencapai 2 jika ikan didominasi oleh jenis herbivora (Pauly

dan Christensen 2002).

Pencapaian tujuan pola pengelolaan sumberdaya ikan yang berbasis

ekosistem diperlukan teknik pengelolaan perikanan yang baik. Widodo dan Suadi

(2008) mengemukakan beberapa pendekatan pengelolaan perikanan yakni : 1)

pengaturan ukuran mata jaring (dari pukat atau alat tangkap yang digunakan); 2)

pengaturan batas ukuran ikan yang boleh ditangkap, didaratkan, atau dipasarkan;

3) kontrol terhadap musim penangkapan ikan (opened or closed season); 4)

kontrol terhadap daerah penangkapan (opened or closed areas); 5) pengaturan

terhadap alat tangkap serta perlengkapannya di luar pengaturan ukuran mata

jaring (mesh size); 6) perbaikan dan peningkatan sumberdaya hayati (stock enhan-

cement); 7) pengaturan hasil tangkapan total per jenis, kelompok jenis, atau bila

memungkinkan per lokasi atau wilayah; dan 8) setiap tindakan langsung yang

berhubungan dengan konservasi semua jenis ikan dan sumberdaya hayati lainnya

dalam wilayah perairan tertentu.

2.9 Review Penelitian Sebelumnya

Penelitian tentang parameter lingkungan perairan telah banyak dilakukan

oleh peneliti-peneliti sebelumnya seperti (Andriyani 2004; Murifto 2000;

Aryawati 2007; Ridho 2004) namun tidak ada diantara penelitian tersebut

mengkaitkan bagaimana hubungan parameter lingkungan tersebut terhadap hasil

tangkapan sebuah alat tangkap. Begitupula penelitian trofik level telah banyak

dikaji (Asriyana 2010; Anakotta 2002; Sjafei & Robiyani 2001) tetapi kajian

terbatas pada kebiasaan makan dan aspek biologis ikan. Begitupula dengan kajian

tentang selektivitas alat tangkap telah banyak diteliti (Rengi 2002; Matsuoka

1995; Manoppo 1999; Tenriware 2005) tetapi kajian ini hanya terfokus pada

selektivitas alat tangkap tanpa melihat kondisi parameter lainnya.

Page 27: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/55395/4/BAB II... · Tiga waja Drums Scianidae ... Odum (1993) beberapa sifat fisika-kimia

37

Penelitian-penelitian tersebut di atas hanya dilakukan secara parsial saja,

sehingga penelitian ini dilakukan secara serentak mengukur kondisi daerah

penangkapan ikan, struktur trofik level jenis ikan, dan selektivitas mata jaring

hubungannya dengan hasil tangkapan sero. Keunggulan penelitian ini yaitu

mengkaji parameter lingkungan dan trofik level hasil tangkapan, untuk

melengkapi kajian selektivitas mata jaring yang dilakukan pada alat tangkap sero

pada perairan pantai. Penelitian yang serupa dengan kajian ini yaitu struktur dan

dinamika trofik level di daerah penangkapan perikanan bagan rambo Kabupaten

Barru Sulawesi Selatan (Hatta 2010), namun kajian ini tidak dilakukan analisis

selektivitas alat tangkap dan dilebih difokuskan pada perairan lepas pantai dengan

hasil tangkapan pelagis.