2. teori penunjang 2.1 konsep jasa · hotel lainnya tidak menawarkan lebih dari fasilitas dasar...
TRANSCRIPT
9 Universitas Kristen Petra
2. TEORI PENUNJANG
2.1 Konsep Jasa
Jasa seringkali dipasarkan bersama-sama dengan barang berwujud. Jasa
membutuhkan barang-barang pendukung dan barang-barang membutuhkan jasa
pendukung pula agar dapat terjual. Menurut Payne (1993, p. 6), jasa adalah
”sebuah aktivitas yang memiliki beberapa elemen tak nyata yang terkait
dengannya, dimana melibatkan beberapa interaksi dengan pelanggan atau properti
milik pelanggan, dan tidak berakhir pada perpindahan kepemilikan. Perubahan
pada kondisi dapat muncul dan produksi dari jasa dapat ataupun tidak dapat
terkait dengan produk fisik”.
2.1.1 Karakteristik Jasa
Menurut Kotler & Armstrong (2006, p. 243), jasa memiliki 4 karakteristik,
yaitu:
1. Tidak nyata/ service intangibility, yaitu jasa tidak dapat dilihat, dirasakan,
diraba, didengar, atau dibau sebelum dibeli.
2. Tidak dapat dipisahkan/ service inseparability, yaitu jasa diproduksi dan
dikonsumsi dalam waktu yang sama dan tidak dapat dipisahkan dari
penyedianya.
3. Berbeda/ service variability, yaitu kualitas jasa akan sangat berbeda/
bervariasi tergantung pada siapa yang menyediakannya, serta kapan, dimana,
dan bagaimana.
4. Tidak tahan lama/ service perishability, yaitu jasa tidak dapat disimpan untuk
penjualan atau penggunaan berikutnya.
2.2 Konsep Hotel
2.2.1 Pengertian Hotel
Menurut Dimyati (1989, p. 33), hotel adalah ”sejenis akomodasi yang
menyediakan fasilitas dan pelayanan penginapan, makan dan minum, serta jasa-
jasa lainnya untuk umum yang tinggal untuk sementara waktu dan dikelola secara
10 Universitas Kristen Petra
komersial”. Sedangkan definisi hotel oleh BPS (Badan Pusat Statistik)
mengidentifikasikan hotel sebagai “suatu bidang usaha yang menggunakan suatu
bangunan atau sebagian bangunan yang disediakan secara khusus, untuk setiap
orang yang menginap, makan, memperoleh pelayanan dan menggunakan fasilitas
lainnya dengan pembayaran. Ciri khusus dari hotel adalah mempunyai restoran
yang dikelola langsung di bawah manajemen hotel tersebut.”
Menurut Dittmer (2002, p. 209), hotel secara umum menawarkan jasa tata graha
(housekeeping) dan bantuan angkutan barang-bawaan, makanan,
minuman, telepon, dan jasa lainnya. Tingkat dari jasa-jasa tersebur
bervariasi dari satu properti ke properti lainnya. Beberapa hotel
menyediakan jasa tingkat penuh: restoran, bar, cocktail lounges, layanan
kamar, penata rambut, ruang olahraga, komputer, fotokopi dan fasilitas
faksimili, binatu, toko suvenir, fasilitas pencairan cek, dan jasa keuangan
lainnya, kios koran, agen perjalanan, apotik, dan lainnya. Hotel lainnya
tidak menawarkan lebih dari fasilitas dasar seperti akomodasi, dan tata
graha.
2.2.2 Klasifikasi Hotel
Hotel dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori yang didasarkan
pada kriteria ukuran, lokasi, tipe produk hotel, serta meal plan. Selain kriteria-
kriteria tersebut, terdapat pula pengklasifikasian hotel menurut bintang.
Menurut Badan Pusat Statistik (2008), hotel berbintang adalah suatu bidang usaha
yang menggunakan suatu bangunan atau sebagian bangunan yang
disediakan secara khusus, untuk setiap orang yang menginap, makan,
memperoleh pelayanan dan menggunakan fasilitas lainnya dengan
pembayaran, dan telah memenuhi persyaratan sebagai hotel berbintang
seperti yang ditentukan oleh Dinas Pariwisata Daerah (Diparda).
Persyaratan tersebut antara lain mencakup:
• Persyaratan fisik, seperti lokasi hotel, kondisi bangunan.
• Bentuk pelayanan yang diberikan
• Kualifikasi tenaga kerja, seperti pendidikan, dan kesejahteraan
karyawan.
11 Universitas Kristen Petra
• Fasilitas olahraga dan rekreasi lainnya yang tersedia, seperti lapangan
tenis, kolam renang, dan diskotik.
• Jumlah kamar yang tersedia.
Menurut Dimyati (1989, p. 45), terdapat 5 kelas hotel, yaitu:
• Hotel bintang 1 (*)
• Hotel bintang 2 (**)
• Hotel bintang 3 (***)
• Hotel bintang 4 (****)
• Hotel bintang 5 (*****)
Hotel-hotel dengan golongan kelas tertinggi dinyatakan dengan tanda
bintang 5 dan hotel-hotel dengan golongan kelas terendah dinyatakan
dengan tanda bintang 1. Hotel-hotel yang tidak memenuhi standar kelima
kelas tersebut, atau yang berada di bawah standar minimum hotel non
bintang.
Proses klasifikasi dan re-klasifikasi hotel sendiri dilaksanakan oleh PHRI
bekerjasama dengan Pemerintah. PHRI atau Perhimpunan Hotel dan Restoran
Indonesia disebut juga sebagai IHRA (Indonesia Hotel & Restaurant Association)
(Badan Pimpinan Daerah (BPD) PHRI Bali, n.d)
Berikut kriteria klasifikasi hotel berbintang yang didalamnya menyangkut
jumlah kamar, luas kamar, serta fasilitas lainnya:
Tabel 2.1 Kriteria Klasifikasi Hotel
Bintang 1 2 3 4 5 Jumlah Kamar 10 - 14 15 - 29 30 - 49 50 - 99 > 100 Suite Room - 1 2 3 4 Luas Kamar Single 14 m2 16 m2 18 m2 24 m2 26 m2 Double - 22 m2 24 m2 48 m2 52 m2
Lobby ada ada Min 30 m2
Min 30 m2
Min 100 m2
Fasilitas Olahraga 1 2 3 3 3 Saluran Komunikasi 1 2 3 4 6 Rental 1 1 3 4 5 Air 150 lt 300 lt 500 lt 750 lt 750 lt
Sumber: Keputusan Dirjen Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi no. 14/U/II/1988
12 Universitas Kristen Petra
2.2.3 Struktur Departemen Hotel
Gambar 2.1 Struktur Departemen dalam Hotel Full-Service
Sumber: Stutts & Wortman (2006, p. 30)
Gambar 2.1 menggambarkan struktur departemen dalam hotel full-service
dimana dalam satu organisasi terbagi dalam 5 departemen, yaitu departemen
room, food and beverage, human resources, marketing and sales, serta
accounting.
Menurut Stutts & Wortman (2006, p. 30), pada dasarnya departemen dapat dibagi
sebagai front of the house (departemen-departemen yag karyawannya
berhubungan dengan tamu, seperti meja depan/ front desk) dan back of the
house (dimana karyawan hanya sedikit memiliki kontak dengan tamu,
seperti akunting). Room department (disebut front desk department pada
fasilitas dengan layanan terbatas/ limited-service facility) meliputi
reservasi (reservations), kantor depan (front office), tata graha
(housekeeping), laundry, dan telepon atau PBX (private branch exchange).
Rooms Food and Beverage
Human Resources
Marketing & Sales
Accounting
General Manager
− Reservations
− Front Office
− Housekeeping
− Laundry
− Security
− Engineering
− PBX
− Food Production
− Food Services
− Room Service
− Beverage Manager
− Convention & Catering
− Stewarding
− Employee Recruitment
− Benefit Manager
− Training
− Sales Manager − Assistant Controllers
− Finance Operations
− Purchasing
− Storeroom
− Food & Beverage Controller
− Credit Systems
13 Universitas Kristen Petra
Dalam hotel dengan fasilitas penuh (full-service hotels) yang lebih kecil,
bagian keamanan (security) dan teknik (engineering) juga turut
dimasukkan dalam room department. Tanggung jawab dari room
department meliputi reservasi, penerimaan tamu, penempatan kamar,
pencatatan status kamar (tersedia atau terpakai), penyampaian surat dan
pesan telepon dengan tepat, keamanan, pembersihan ruangan tamu dan
ruangan publik seperti lobi, serta menjawab berbagai pertanyaan tamu.
Sedangkan food and beverage department memiliki fungsi utama untuk
menyediakan makanan dan minuman kepada tamu hotel. Pada masa kini,
masalah penyajian makanan dan minuman menjadi lebih kompleks.
Sebuah hotel besar dapat memiliki coffee shop, gourmet restaurant, snack-
bar tepi kolam renang, layanan kamar, banquet halls, dan ruang serbaguna
dimana makanan dan minuman disajikan. Sebuah hotel juga dapat
memiliki lounge, nightclub, dan lobby bar. Karena beragamnya layanan
yang disediakan, food and beverage department biasanya dibagi dalam
beberapa sub unit. Layanan makanan pada restoran hotel biasanya
dikepalai oleh asisten direktur food and beverage. Selain itu, beberapa
hotel besar juga memiliki unit tersendiri yang bertugas atas layanan kamar,
dan beberapa hotel bahkan memiliki departemen tersendiri untuk minuman
beralkohol karena tingginya marjin dari penjualan minuman beralkohol
(unit ini biasanya dikepalai oleh beverage manager). Selain itu,
kebanyakan hotel full-service juga memiliki bisnis konvensi dan catering
tersendiri. Sebuah hotel yang meningkatkan penggunaan fasilitasnya untuk
konvensi dan pertemuan dapat pula membentuk departemen layanan
konvensi tersendiri. Sedangkan dari sisi ukuran hotel, sebuah hotel bahkan
dapat memiliki unit yang bertanggung jawab atas pembersihan peralatan
makanan dan minuman, yang disebut stewarding department (Stutts &
Wortman, 2006, p. 33 - 34).
Tugas utama dari manajer dari marketing and sales department adalah masalah
penjualan fasilitas dan jasa hotel baik kepada individu maupun grup.
Manajer penjualan menjual kamar, makanan dan minuman, kepada klien
14 Universitas Kristen Petra
potensial melalui pengiklanan, keikutsertaan dalam asosiasi, pertemuan
konferensi, dan kontak langsung (Stutts & Wortman, 2006, p. 35).
Human and resource department tidak melayani pelanggan, melakukan reservasi,
maupun menyiapkan makanan dan minuman, namun memiliki peran yang
penting dalam efisiensi operasional hotel. Tiga fungsi dari human and
resource department adalah rekrutment karyawan, administrasi
pembayaran, dan pelatihan. Tantangan utama dari human and resource
department adalah interaksinya dengan departemen lain. Walaupun human
and resource department yang bertugas merekrut, mewawancara, dan
menyaring calon karyawan, keputusan penerimaan tetap terletak pada
departemen dimana karyawan baru tersebut akan bekerja. Karena itu,
keefektifan human and resource department terletak pada kemampuan
manajer human and resource department untuk membentuk hubungan
kerja yang efektif dengan manajer departemen lain (Stutts & Wortman,
2006, p. 35).
Pada kebanyakan hotel, accounting department menggabungkan fungsi staff,
dengan fungsi lini, atau fungsi - fungsi yang bertanggung jawab langsung
untuk melayani pelanggan. Peran dari accounting department adalah
mencatat transaksi keuangan, menyiapkan dan menginterpretasi laporan
keuangan, dan menyediakan laporan hasil operasional kepada para
manajer departemen lain (fungsi lini). Tanggung jawab lainnya, dilakukan
oleh assistant controller untuk bagian keuangan meliputi persiapan
pembayaran gaji, piutang, dan utang (fungsi staf) (Stutts & Wortman,
2006, p. 35).
2.3 Konsep Hubungan Jasa (Service Encounters) atau Moments of Truth
2.3.1 Definisi Hubungan Jasa (Service Encounters) atau Moments of Truth
Hubungan jasa secara teknis dapat didefinisikan sebagai interaksi langsung antara
seorang pelanggan dengan penyedia jasa (Suprenant & Solomon 1987,
p.87). Definisi ini adalah sebuah definisi yang teknis dan tepat, namun
sedikit dangkal. Shostack (1985, p.243) mendefinisikan hubungan jasa
(service encounters) sebagai suatu periode dimana pelanggan berinteraksi
15 Universitas Kristen Petra
langsung dengan sebuah jasa. Definisi ini mencakup pengertian yang lebih
luas karena menyertakan seluruh aspek dari perusahaan jasa dimana
pelanggan berinteraksi – termasuk fasilitas fisik perusahaan dan elemen
terlihat lainnya. Definisi tersebut tidak membatasi hubungan hanya sebatas
interaksi interpersonal antara pelanggan dan perusahaan, sebaliknya
hubungan jasa dapat muncul bahkan tanpa elemen interaksi manusia sama
sekali. Parkir hotel yang tidak mencukupi atau kunci yang tidak dapat
membuka kamar tamu dapat menjadi hubungan jasa (service encounters)
yang negatif dalam sebuah hotel – walaupun interaksi personal dengan
staff hotel dapat sebaliknya memuaskan (Kandampully, 2002, p. 192).
Beberapa hubungan/ encounters memiliki kepentingan yang lebih besar daripada
hubungan lainnya dan hal ini disebut insiden kritis (critical incident) atau
moment of truth (Middleton & Clarke, 2001, p. 99). Istilah moment of truth
diperkenalkan ke dalam literatur manajemen oleh Normann (1984; 1991,
2000). Istilah ini kemudian sukses digunakan untuk mengilustrasikan
hubungan jasa (service encounters) dalam berbagai organisasi jasa
(Kandampully, 2002, p. 192).
Menurut Lovelock & Wright (2002, p. 55), moments of truth merupakan suatu
titik dalam penyampaian jasa dimana pelanggan berinteraksi dengan
karyawan jasa atau peralatan self-service dan hasil akhirnya dapat
mempengaruhi persepsi kualitas jasa. Banyak jasa (terutama jasa dengan
tingkat kontak tinggi) melibatkan sejumlah hubungan antara pelanggan
dengan karyawan jasa, baik per orang atau terbatas pada telepon atau e-
mail). Hubungan jasa dapat pula terjadi antara pelanggan dengan fasilitas
fisik atau peralatan. Dalam jasa dengan tingkat kontak yang rendah,
pelanggan memiliki hubungan yang lebih sering dengan mesin otomatis
yang difungsikan untuk menggantikan personel manusia.
Moments of truth dapat terjadi pada setiap bisnis. Sebagai contoh, penumpang
pesawat dapat berpikir bahwa noda bekas kopi pada meja lipat dapat
berarti bahwa perusahaan penerbangan pasti tidak memiliki perawatan
mesin yang baik dan pesawat tersebut mungkin saja tidak aman untuk
terbang. Saat kantor depan hotel menelepon ke kamar tamu 30 menit
16 Universitas Kristen Petra
setelah tamu tiba di kamar untuk memastikan bahwa segalanya telah
dilakukan dengan baik, tamu dapat berpikir bahwa hotel peduli terhadap
tamunya dan hotel tersebut merupakan tempat yang nyaman untuk
ditinggali. Moments of truth juga dapat terjadi di mana saja, seperti
menepati apa yang sudah dijanjikan, menelepon kembali, menjadwalkan,
menyapa, waktu respon, penampilan, cara berjabat tangan, kontak mata,
mendengarkan, dan lain-lain (Powers, 2003).
Dari sisi pelanggan, kesan terhadap jasa yang paling jelas muncul pada
moments of truth adalah saat pelanggan berinteraksi dengan perusahaan jasa. Pada
hubungan inilah pelanggan menerima sudut pandang mengenai kualitas organisasi
jasa dan setiap hubungan berkontribusi terhadap kepuasan total pelanggan serta
kemauan untuk berhubungan kembali dengan organisasi. Oleh sebab itu, dari sisi
perusahaan, setiap hubungan mendatangkan kesempatan untuk membuktikan
potensinya sebagai penyedia jasa dan meningkatkan loyalitas pelanggan.
Walaupun kejadian awal dalam alur hubungan kemungkinan besar merupakan hal
yang sangat penting, hubungan apapun dapat berpotensi penting dalam
menentukan kepuasan dan loyalitas pelanggan. Jika pelanggan berinteraksi
untuk pertama kalinya dengan perusahaan, hubungan awal akan
menciptakan kesan pertama pelanggan terhadap perusahaan. Dalam situasi
hubungan pertama, pelanggan seringkali tidak memiliki dasar untuk
menilai perusahaan, dan kontak pertama baik melalui telepon atau secara
langsung dengan perwakilan perusahaan dapat merupakan hal yang
penting dalam persepsi kualitas pelanggan. Bahkan saat pelanggan telah
memiliki interaksi berulang kali dengan perusahaan, setiap hubungan
merupakan hal yang penting dalam menciptakan gambaran dalam ingatan
pelanggan tentang perusahaan. Di sisi yang lain, kombinasi dari interaksi
positif dan negatif dapat membuat pelanggan meragukan kualitas
perusahaan dan konsistensinya dalam menyampaikan jasa serta rentan
terhadap daya tarik kompetitor (Zeithaml & Bitner, 2003, p. 101).
17 Universitas Kristen Petra
2.3.2 Moments of Truth dalam Hotel
Seorang pelanggan membuat penilaian mengenai sebuah perusahaan setiap kali
pelanggan memiliki kontak dengan elemen apapun dari perusahaan
tersebut. Sebagai contoh: dalam sebuah hotel, seorang pelanggan dapat
pertama kali melakukan kontak dengan hotel saat taxi yang ditumpangi
berhenti di depan pintu masuk hotel. Kesan pertama yang dibuat dari
penampilan fisik luar bangunan dapat menjadi moment of truth pertama.
Jika pelanggan berharap bahwa pintu taksi untuk dibukakan oleh
doorkeeper, maka kehadiran atau ketidakhadiran doorperson dapat
menjadi moment of truth berikutnya (Dittmer, 2002, p. 14).
Moment of truth selanjutnya dapat ditemukan dari sikap atau penampilan
doorperson, atau cara bagaimana pekerjaannya dilakukan. Moment of truth
lainnya datang dari kontak pelanggan dengan desk clerks dan bellstaff,
dalam perjalanan di dalam self-service elevator, dan reaksi pertama
pelanggan pada kamar yang diberikan. Masih banyak moment of truth
yang muncul saat pelanggan menginap dalam hotel. Pada akhirnya, kesan
keseluruhan pelanggan mencerminkan setiap kontak yang dibuat dalam
satu periode, termasuk sejumlah penilaian terhadap perusahaan mengenai:
seefisien apakah perusahaan dijalankan, apakah perusahaan berorientasi
pelanggan atau tidak, sekompeten apakah para karyawan hotel tersebut,
seberapa baik perusahaan memenuhi kebutuhan pelanggannya, serta
tingkat dari kualitas jasa hotel tersebut (Dittmer, 2002, p. 14).
Tabel 2.2 Moment of truth dalam rangkaian jasa tamu hotel Moment of truth dalam rangkaian jasa tamu hotel
Pemasaran • Survei pelanggan (sebelum dan setelah menginap) • Pengiklanan: billboards, surat langsung, radio, televisi, media cetak, internet; promosi insentif baik secara tunggal maupun dengan organisasi hospitality yang lain Reservasi • Nomor bebas pulsa, faks, sistem reservasi nasional (kemudahan akses), internet • Sikap staf reservasi dalam percakapan telepon • Kebijakan pembatalan (pembatasan yang masuk akal) • Penerimaan kartu kredit
18 Universitas Kristen Petra
• Ketersediaan akomodasi (pertimbangan nilai dan biaya) • Produk/ jasa komplementer (pertimbangan nilai dan biaya) • Informasi transportasi hotel dan transportasi umum Registrasi • Transportasi hotel dan transportasi umum • Salam (doorman, bell staff, karyawan kantor depan) • Bantuan pada bagasi • Prosedur check-in (lama antrian, kemudahan check-in dengan kartu registrasi yang telah dicetak atau mesin self-registration) • Ruang akomodasi (pertimbangan nilai dan biaya) • Penerimaan kartu kredit • Produk/ jasa komplementer (pertimbangan nilai dan biaya) • Status/ ketersediaan ruangan • Informasi layanan hotel yang lain • Kebersihan dan desain interior lobby, elevators, dan kamar • Operasi pendingin ruangan, pemanas, televisi, radio, saluran air dalam kamar • Ketersediaan amenities Tamu menginap Departemen Hotel Lainnya • Departemen layanan makanan (penawaran menu, jam operasi, harga, tingkat layanan, suasana) • Toko oleh-oleh (pemilihan, suvenir, nilai/ harga) • Layanan kamar (penawaran menu, harga, jam ketersediaan, kecepatan dalam pengantaran dan pengambilan kembali baki • Valet service (lama penjemputan dan pengantaran, harga, kualitas layanan) • Layanan tata graha (pembersihan kamar tiap hari, penggantian/ pengisian kembali amenities, kebersihan area publik, permintaan penunjukan arah dalam hotel) • Ketersediaan akomodasi (pertimbangan nilai dan biaya) • Keamanan (ketersediaan dalam 24 jam, perlengkapan keamanan kebakaran, formulir dan distribusi kunci secara anonim, layanan perbaikan kunci dan anak kunci, permintaan penunjukan arah dalam hotel) Kantor Depan/ Front Office • Permintaan informasi dan bantuan (wake-up calls, jam-jam operasi departemen yang lainnya, pemindahan permintaan ke departemen lain) • Sistem telepon (bantuan dari staf) • Pembaharuan data historis tamu • Perpanjangan masa penginapan Checkout • Tenggat waktu checkout yang masuk akal dan fleksibel • Bantuan pada bagasi • Ketersediaan dan kecepatan elevator
19 Universitas Kristen Petra
• Pembayaran tagihan checkout dalam kamar • Lama antrian • Ketersediaan cetakan data historis tamu; keakuratan biaya yang dikenakan • Reservasi tambahan
Sumber: Bardi (2007, p. 320)
Tabel 2.1 menggambarkan moment of truth dalam rangkaian jasa tamu.
Gambaran ini dapat dipergunakan sebagai panduan untuk hal-hal yang harus
dievaluasi. Semakin banyak yang dilakukan untuk mengidentifikasi komponen-
komponen dalam rangkaian jasa pelanggan dalam sebuah hotel, semakin efektif
bagi para menajer dan keryawan hotel dalam mengevaluasi penyampaian jasa.
Sikap yang diharapkan dapat diidentifikasi dan diukur. Sebagai contoh: bila
bagian dari proses registrasi bergantung pada penjemputan dan pengantaran tamu
yang cepat ke hotel dengan menggunakan transportasi hotel, maka komplain dari
pelanggan mengenai keterlambatan atau layanan yang lambat merupakan info
bagi pemilik, manajer, dan karyawan bahwa karyawan lini depan tidak
menyampaikan layanan yang dibutuhkan dengan benar (Bardi, 2007, p. 327).
2.4 Konsep Kegagalan Jasa
Menurut Hoffman & Bateson (1997, p. 327), kegagalan jasa (service
failures) didefinisikan sebagai “gangguan dalam penyampaian jasa; Jasa yang
tidak memenuhi harapan pelanggan.”
Selain itu, menurut Berry & Parasuraman (1991, p. 39), saat
permasalahan jasa terjadi, kepercayaan pelanggan terhadap perusahaan dapat saja
tergoncang, namun tidak akan hancur kecuali berada di bawah 2 kondisi berikut:
1. Permasalahan menguatkan pola yang berulang muncul tak lama sebelumnya.
2. Usaha pemulihan gagal memuaskan pelanggan, justru mempersulit daripada
memperbaiki kegagalan.
2.4.1 Kategori Kegagalan Jasa
Menurut Hoffman dan Bateson (1997, p. 327) kegagalan jasa (service
failures) dapat dikategorikan ke dalam 1 dari 3 kategori utama, yaitu:
20 Universitas Kristen Petra
1. Kegagalan dalam sistem penyampaian jasa (service delivery system failures)
Kegagalan dalam sistem penyampaian jasa merupakan kegagalan perusahaan
dalam menyediakan jasa inti. Secara umum, kegagalan dalam sistem
penyampaian jasa terdiri dari respon karyawan terhadap 3 tipe kegagalan,
yaitu:
• Jasa yang tidak tersedia (unavailable service), yang merujuk pada jasa
yang normalnya tersedia namun kurang tersedia atau tidak tersedia
• Jasa yang lambat secara tidak masuk akal (unreasonably slow service),
yaitu jasa atau karyawan yang pelanggan rasa luar biasa lambat dalam
menyelesaikan fungsinya.
• Kegagalan jasa inti lainnya (other core service failures), yaitu gangguan
jasa inti lainnya atau tindakan yang tidak sesuai dengan harapan pelanggan
2. Respon terhadap kebutuhan dan permintaan pelanggan (responses to customer
needs and requests)
Tipe kedua dari kegagalan jasa ini merujuk pada karyawan yang merespon
kebutuhan dan permintaan khusus konsumen secara individual. Kebutuhan
konsumen dapat bersifat implisit atau eksplisit.
• Kebutuhan implisit (implicit needs) merupakan kebutuhan pelanggan yang
tidak diminta namun dapat terlihat jelas oleh penyedia jasa. Sebagai
contoh ialah perhatian terhadap kesehatan pelanggan yang terlihat kurang
baik, atau pemberitahuan kepada pelanggan saat terjadi keterlambatan.
• Permintaan eksplisit (explicit requests) merupakan kebutuhan pelanggan
yang diminta secara jelas.
Secara umum, kebutuhan dan permintaan pelanggan terdiri dari respon
karyawan terhadap 4 tipe kegagalan yang mungkin terjadi, yaitu:
• Kebutuhan khusus (special needs), yaitu permintaan yang berdasarkan
hambatan medis khusus, psikologi, bahasa, dan sosiologi pelanggan
• Pilihan pelanggan (customer preferences), yaitu kebutuhan pelanggan
yang tidak disebabkan hambatan medis, aturan makanan, psikologi,
bahasa, dan sosiologi pelanggan.
21 Universitas Kristen Petra
• Kesalahan pelanggan (customer errors), yaitu kesalahan yang disebabkan
dan diakui sebagai kesalahan pelanggan.
• Hal lain yang mengganggu (disruptive others), yaitu pelanggan yang
mempengaruhi pengalaman jasa pelanggan lain secara negatif.
3. Tindakan karyawan yang tidak tepat dan tidak diharapkan (unprompted and
unsolicited employee action)
Tipe ketiga kegagalan jasa ini berkaitan dengan kejadian dan sikap karyawan -
yang baik maupun yang buruk - yang tidak diharapkan oleh pelanggan.
Tindakan-tindakan tersebut tidak diminta oleh pelanggan ataupun termasuk
dalam sistem penyampaian inti. Tipe ini dikategorikan dalam 4 grup, yaitu:
• Tingkat perhatian (level of attention), yaitu perhatian baik bersifat positif
ataupun negatif yang diberikan kepada pelanggan oleh karyawan. Tingkat
perhatian negatif berkaitan dengan karyawan yang bersikap buruk,
mengabaikan pelanggan, dan sikap karyawan yang menunjukkan perilaku
konsisten dengan sikap tak acuh.
• Tindakan yang tak lazim (unusual action), yaitu kejadian baik maupun
yang buruk dimana seorang karyawan merespon dengan sesuatu yang di
luar kelaziman. Sayangnya, sebuah tindakan yang tak lazim dapat juga
berarti kejadian yang negatif. Tindakan karyawan seperti ketidaksopanan,
kekasaran, dan sentuhan tidak pantas dapat dikualifikasikan sebagai
tindakan tak lazim.
• Norma budaya (cultural norms) merujuk pada tindakan yang secara positif
memperkuat norma-norma budaya seperti persamaan hak, keadilan, dan
kejujuran, ataupun tindakan melanggar norma-norma budaya suatu
masyarakat. Pelanggaran dapat termasuk sikap diskriminasi, tindakan tidak
jujur seperti berbohong, berbuat curang, dan mencuri, serta aktifitas lain
yang dianggap tidak adil oleh pelanggan.
• Gestalt merujuk pada evaluasi pelanggan yang diciptakan secara holistik
dan lebih dinyatakan dalam istilah-istilah secara keseluruhan daripada
dideskripsikan dalam kejadian yang berlainan.
22 Universitas Kristen Petra
• Kondisi berlainan (adverse conditions) mencakup tindakan karyawan yang
positif maupun yang negatif di bawah kondisi tertekan. Apabila seorang
karyawan mengambil tindakan kontrol efektif terhadap situasi saat orang-
orang di sekitarnya ”kehilangan akal”, pelanggan akan terkesan oleh
tindakan karyawan di bawah kondisi berlainan tersebut.
23 Universitas Kristen Petra
Gambar 2.2 Kategori Kegagalan Jasa
Sumber: Hoffman & Bateson (1997, p. 328)
24 Universitas Kristen Petra
2.4.2 Respon Terhadap Kegagalan Jasa
Menurut Lovelock & Wirtz (2004, p. 382), ada beberapa jalan bagi
pelanggan untuk merespon kegagalan jasa:
1. Mengambil tindakan publik (termasuk menyampaikan komplain kepada
perusahaan atau pihak ketiga, seperti grup advokat pelanggan, badan
konsumen atau agen regulator, atau bahkan pengadilan kriminal atau sipil).
2. Mengambil tindakan pribadi (termasuk meninggalkan penyedia jasa)
3. Tidak mengambil tindakan
Gambar 2.3 Respon Terhadap Kegagalan Jasa
Sumber: Lovelock & Wirtz (2004)
2.5 Konsep Komplain
Mengeluh (complaining) didefinisikan oleh Webster’s Third International
Dictionary sebagai “mengutarakan perasaan tidak senang, ketidakpuasan, protes,
kemarahan, atau penyesalan” (Hoffman & Bateson, 1997, p. 332).
Satu atau kombinasi dari respon respon ini adalah
mungkin
Hubungan jasa tidak memuaskan
Mengambil tindakan pribadi
Tidak mengambil tindakan
Mengambil tindakan publik
Meninggalkan (berganti penyedia)
Negative word of mouth
Mengambil tindakan hukum untuk mencari
ganti rugi
Komplain kepada pihak ketiga
Komplain kepada Perusahaan
25 Universitas Kristen Petra
2.5.1 Kategori Komplain
Menurut Kasavana & Brooks (1998, p. 235), komplain tamu dapat
dikategorikan ke dalam 4 kategori permasalahan, yaitu:
1. Komplain mekanis (mechanical complaints)
Kebanyakan tamu menyampaikan komplain terkait kerusakan peralatan hotel.
Komplain mekanis (mechanical complaints) umumnya berhubungan dengan
kontrol suhu, pencahayaan, listrik, perabot ruangan, mesin pendingin, mesin
penjual, kunci ruangan, saluran air, televisi, elevators, dan sebagainya. Bahkan
program perawatan preventif yang unggul pun tidak dapat sepenuhnya
menghilangkan seluruh potensi permasalahan peralatan. Terkadang komplain
tidak hanya mengenai komplain mekanis (mechanical complaints), namun
juga kecepatan respon.
2. Komplain akan perlakuan (attitudinal complaints)
Tamu dapat juga menyampaikan komplain akan perlakuan (attitudinal
complaints) saat tamu merasa dihina oleh staf hotel yang bersikap kasar atau
tidak jujur. Tamu yang mendengar percakapan staf atau yang menerima
komplain dari staf hotel dapat pula merespon dengan menyampaikan komplain
akan perlakuan (attitudinal complaints). Tamu tidak sepatutnya mendengar
karyawan berdebat atau menjadi tempat bercerita permasalahan karyawan.
Manajer dan penyelia (bukan tamu) harus mendengar dan memperhatikan
komplain dan permasalahan karyawan.
3. Komplain terkait jasa (service-related complaints)
Tamu dapat pula menyampaikan komplain terkait jasa (service-related
complaints) saat tamu mengalami permasalahan dengan layanan hotel.
Komplain terkait jasa (service-related complaints) sangat bervariasi seperti
lamanya antrian layanan, kurangnya bantuan atas bagasi, kamar yang tidak
bersih, kesulitan dalam menelepon, wake-up calls yang terlewatkan, makanan
yang dingin dan tidak terhidang dengan baik, atau permintaan akan persediaan
tambahan yang diabaikan.
4. Komplain tak lazim (unusual complaints)
Tamu dapat pula menerima komplain atas tidak tersedianya fasilitas kolam
renang, kurangnya akses transportasi publik, cuaca yang buruk, atau lainnya.
26 Universitas Kristen Petra
Hotel pada umumnya hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki
kontrol atas kondisi dalam komplain tak lazim (unusual complaints). Namun,
pelanggan terkadang mengharapkan kantor depan (front office) atau
setidaknya mendengarkan mendengarkan situasi tersebut.
2.5.2 Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Komplain
Menurut Lovelock, Patterson, & Walker (2001, p. 349), terdapat beberapa
variabel yang terkait dengan perilaku komplain, yaitu:
1. Tingkat ketidakpuasan
2. Biaya menyampaikan komplain (seperti waktu, kegelisahan dalam konfrontasi)
3. Keuntungan yang diperoleh dari menyampaikan komplain
4. Kemungkinan komplain diselesaikan dengan memuaskan
5. Sumber daya yang tersedia untuk menyampaikan komplain
6. Akses kepada cara untuk menyampaikan komplain
7. Pihak yang disalahkan untuk permasalahan tersebut
8. Faktor demografis – Orang yang menyampaikan komplain cenderung berusia
lebih muda, memiliki pendidikan yang lebih baik, memiliki pendapatan di atas
rata-rata pendapatan, dan cenderung memiliki kepercayaan diri tinggi dan
bersikap positif terhadap aktivisme pribadi.
2.5.3 Tujuan Menyampaikan Komplain
Menurut Lovelock & Wirtz (2004, p. 383), terdapat 4 tujuan utama
pelanggan yang menyampaikan komplain, yaitu:
1. Mendapatkan penggantian rugi atau kompensasi
Pelanggan seringkali menyampaikan keluhan untuk memperoleh kembali
beberapa kerugian ekonomis dengan cara menuntut pembayaran kembali,
kompensasi, dan/ atau pengulangan layanan jasa.
2. Melepaskan kemarahan
Beberapa pelanggan menyampaikan keluhan untuk mengembalikan harga
diridan/ atau melepaskan kemarahan dan rasa frustasi. Saat proses jasa bersifat
birokratis dan tidak masuk akal atau karyawan bersikap kasar, mengintimidasi
dengan sengaja, atau tampak tidak perhatian, harga diri, gengsi, atau rasa
27 Universitas Kristen Petra
keadilan pelanggan akan terpengaruh secara negatif. Pelanggan dapat menjadi
marah dan emosi.
3. Membantu memperbaiki layanan jasa
Saat pelanggan terlibat penuh dalam jasa (seperti di universitas, ikatan alumni,
dan koneksi perbankan utama), pelanggan akan memberikan respon balik
untuk mencoba dan berpartisipasi dalam perbaikan layanan. Para pelanggan
ini termotivasi oleh prospek memperoleh layanan yang lebih baik di masa
mendatang.
4. Alasan altruistik
Beberapa pelanggan termotivasi oleh alasan-alasan altruistik. Para pelanggan
ini ingin menghindarkan pelanggan yang lain dari pengalaman akan masalah
yang sama, serta merasa buruk apabila permasalahan tersebut tidak disorot.
2.5.4 Tujuan Tidak Menyampaikan Komplain
Selain para pelanggan yang menyampaikan keluhannya, terdapat para
pelanggan yang lebih memilih diam dan tidak menyampaikan keluhan. Sebuah
penelitian oleh TARP (Technical Assistance Research Program) bahkan
menunjukkan bahwa dari rata-rata bisnis, perusahaan tidak mendengar 96% suara
pelanggan yang tidak puas (Hoffman & Bateson, 1997, p. 270).
TARP mengidentifikasikan beberapa alasan mengapa pelanggan tidak
menyampaikan komplain, yaitu (Lovelock & Wirtz, 2004, p. 383):
1. Pelanggan tidak ingin membuang waktu untuk menulis surat, mengisi form,
atau menelpon, terutama jika pelanggan tidak merasa bahwa jasa tersebut
cukup penting untuk diusahakan.
2. Pelanggan merasa bahwa hasil akhirnya tidak menentu dan yakin bahwa tidak
ada seorang pun yang memedulikan masalah serta berniat menyelesaikannya.
3. Pelanggan tidak tahu kemana harus pergi atau melakukan apa untuk
menyampaikan keluhannya.
4. Pelanggan merasa bahwa menyampaikan komplain tidak menyenangkan.
Pelanggan dapat merasa takut akan konfrontasi, khususnya apabila komplain
tersebut bersangkutan dengan pihak yang pelanggan kenal dan mungkin akan
berhubungan dengan pihak tersebut lagi.
28 Universitas Kristen Petra
5. Pelanggan merasa tidak memiliki kuasa (kemampuan untuk mempengaruhi
atau mengatur transaksi), sehingga cenderung untuk tidak menyuarakan
komplain. Dalam hal ini, perilaku menyampaikan komplain dipengaruhi oleh
norma sosial yang mendorong pelanggan untuk tidak bersikap kritis terhadap
beberapa individu (seperti dokter, pengacara, serta arsitek) karena keahlian
individu-individu tersebut.
2.5.5 Hasil Akhir Komplain
Menurut Hoffman & Bateson (1997, p. 334), secara umum, perilaku
menyampaikan komplain berakhir pada 3 hasil, yaitu:
1. Pernyataan (voice), yaitu hasil komplain dimana konsumen secara verbal
mengkomunikasikan ketidakpuasan terhadap toko atau produk. Pernyataan
(voice) dibagi ke dalam 3 golongan:
• Pernyataan tinggi (high voice), apabila komunikasi dinyatakan kepada
manajer atau seseorang pada posisi yang lebih tinggi dalam struktur
daripada penyedia aktual.
• Pernyataan medium (medium voice) muncul apabila konsumen
mengkomunikasikan permasalahan pada orang yang menyediakan jasa.
• Pernyataan rendah (low voice) muncul apabila konsumen tidak
mengkomunikasikan permasalahan pada siapapun terkait dengan toko
ataupun produk namun dapat menyiarkan permasalahan tersebut pada
pihak luar toko.
2. Keluar (exit), yaitu hasil komplain dimana konsumen berhenti berlangganan
pada toko atau menggunakan produk. Keluar (exit) dibagi ke dalam 3
golongan, yaitu:
• Keluar tinggi (high exit) muncul apabila konsumen memutuskan secara
sadar untuk tidak lagi membeli dari perusahaan atau membeli produk
tersebut.
• Keluar medium (medium exit) merefleksikan keputusan sadar konsumen
mencoba untuk tidak lagi menggunakan toko atau produk tersebut lagi.
• Keluar rendah (low exit) berarti bahwa konsumen tidak mengubah perilaku
membelinya dan tetap berbelanja seperti sedia kala.
29 Universitas Kristen Petra
3. Pembalasan (retaliation), yaitu hasil komplain dimana konsumen mengambil
tindakan sengaja untuk merusak operasi fisik atau merugikan usaha di masa
depan. Pembalasan (retaliation) dibagi ke dalam 3 golongan, yaitu:
• Pembalasan tinggi ( high retaliation) melibatkan tindakan konsumen yang
merusak secara fisik toko atau menyiarkan dengan caranya untuk
mengkomunikasikan kepada pihak lainnya mengenai aspek negatif dari
usaha tersebut.
• Pembalasan medium (medium retaliation). Pada pembalasan medium
(medium retaliation), konsumen menciptakan sedikit ketidaknyamanan
bagi toko atau mungkin mengatakan kepada sedikit orang mengenai
insiden tersebut.
• Pembalasan rendah (low retaliation) tidak melibatkan pembalasan apapun
untuk melawan pihak toko, dan mungkin hanya terdiri dari sedikit word of
mouth negatif.
Ketiga hasil kompain tidak bersifat eksklusif satu sama lain dan dapat
dianggap sebagai 3 aspek dari satu perilaku yang dapat muncul secara bersamaan.
2.6 Konsep Pemulihan Jasa
Menurut Hoffman & Bateson (1997, p. 335), pemulihan jasa (service
recovery) adalah reaksi perusahaan terhadap komplain yang berakhir pada
kepuasan dan dukungan pelanggan. Menurut Hutt & Speh (2007, p. 276),
pemulihan jasa (service recovery) mencakup prosedur, kebijakan, dan proses yang
sebuah perusahaan gunakan untuk memecahkan permasalahan jasa pelanggan
secara tepat dan efektif. Secara lebih terperinci, Tax & Brown mendefinisikan
pemulihan jasa (service recovery) sebagai proses yang mengidentifikasi kegagalan
jasa, secara efektif memecahkan permasalahan pelanggan, mengklasifikasikan
akar permasalahannya, dan menghasilkan data yang dapat diintegrasikan dengan
pengukuran kinerja lainnya untuk meninjau dan memperbaiki sistem jasa
(Gronroos, 2000, p. 114)
30 Universitas Kristen Petra
2.6.1 Filosofi Pemulihan Jasa
Gambar 2.4 Transaction-Focused Service Recovery
Sumber: Brown, S. W., Cowles, D. L., and Tuten, T. L. (1996, p. 33)
Gambar 2.5 Relationship-Focused Service Recovery
Sumber: Brown, S. W., Cowles, D. L., and Tuten, T. L. (1996, p. 33)
Dari cara pandang strategis, pemulihan jasa dapat mewakili 2 filosofi jasa
yang berbeda, yaitu pemulihan jasa berfokuskan transaksi (transaction-focused
service recovery) dan pemulihan jasa berfokuskan hubungan (relationship-
focused service recovery). Gambar 2.4 menggambarkan pemulihan jasa
berfokuskan transaksi yang ditujukan untuk memastikan kepuasan pelanggan saat
moment of truth, saat pelanggan berinteraksi dengan perusahaan jasa (Zeithaml &
Bitner, 1996, p. 105). Secara berbeda, gambar 2.5 mewakili pandangan pemulihan
jasa berfokuskan hubungan, dimana tujuan dari pemulihan jasa adalah tidak hanya
mengkoreksi kejadian-kejadian spesifik dari kesalahan, namun juga memperbaiki
sistem penyampaian jasa sehingga kejadian kesalahan yang sama akan dapat
dihindari di masa mendatang, dan hubungan jangka panjang dengan pelanggan
yang loyal dapat dipastikan. Selain itu, gambar 2.4 mengartikan bahwa pemulihan
jasa adalah rute alternatif kepada kepuasan pelanggan. Secara berbeda, gambar 2.5
menekankan pentingnya konsistensi dan keterandalan untuk membangun
Service delivery Encounter satisfaction
Service failure Service recovery
Service design and delivery
Service failure
Service recovery
Encounter satisfaction
Service consistency and reliability
Encounter/ overall satisfaction,
perceiverd overall quality/ image,
future expectation
Long-term customer relationship
31 Universitas Kristen Petra
hubungan jangka panjang. Selain itu, gambar 2.5 juga menunjukkan bahwa
pemulihan jasa harus berperan baik dalam menciptakan kepuasan pelanggan
secepatnya dan memperbaiki desain dan penyampaian jasa di masa depan (Brown,
S. W., Cowles, D. L., and Tuten, T. L., 1996, p. 32).
2.6.2 Dimensi Keadilan Pemulihan Jasa
Gambar 2.6 Dimensi Keadilan Pemulihan Jasa
Sumber: Lovelock & Wirtz (2004, p. 384)
Saat sebuah kegagalan jasa muncul, orang-orang menginginkan pemberian
kompensasi yang adil. Menurut Lovelock & Wirtz (2004, p. 384), terdapat 3
dimensi keadilan dalam proses pemulihan jasa, yaitu:
1. Keadilan prosedural (procedural justice) berhubungan dengan kebijakan dan
peraturan yang pelanggan harus lalui untuk memperoleh keadilan. Disini
pelanggan mengharapkan perusahaan untuk menunjukkan tanggung jawab,
yang merupakan kunci awal dari prosedur yang adil, diikuti oleh proses
service recovery yang mudah dan responsif. Hal ini juga termasuk fleksibilitas
sistem dan pertimbangan masukan dari pelanggan
2. Keadilan interaksi (interactional justice) yang melibatkan karyawan
perusahaan yang menyediakan pemulihan jasa dan perilakunya terhadap
pelanggan. Memberikan penjelasan mengenai kegagalan dan melakukan usaha
untuk menyelesaikan masalah adalah sangat penting. Namun, usaha
pemulihan harus dirasakan sungguh-sungguh, jujur, dan sopan.
Keadilan prosedural (procedural justice)
Keadilan interaksi (interactional
Keadilan hasil (outcome justice)
Penanganan komplain dan proses service recovery
Kepuasan pelanggan atas service recovery
32 Universitas Kristen Petra
3. Keadilan hasil (outcome justice) berkaitan dengan kompensasi yang pelanggan
terima sebagai hasil dari kerugian dan ketidaknyamanan yang muncul akibat
kegagalan jasa. Hal ini termasuk kompensasi yang bukan hanya untuk
kegagalan saja, namun juga waktu, usaha, dan energi yang digunakan selama
proses pemulihan jasa.
Selain pendapat diatas, Brown & Tax juga memberikan definisi serta
beberapa komponen penting dalam tiga dimensi keadilan jasa (Zeithaml, Bitner,
& Gremler, 2006, p. 223), yaitu:
1. Keadilan prosedural (procedural fairness), yaitu kebijakan, peraturan, dan
kecepatan dalam proses penanganan komplain.
• Pelanggan mengharapkan adanya akses yang mudah untuk memproses
komplain.
• Pelanggan ingin komplain ditangani dengan cepat, dan diharapkan oleh
pihak pertama yang pelanggan kontak.
• Pelanggan ingin perusahaan dapat bersikap fleksibel dalam prosedur,
sehingga usaha pemulihan dapat disesuaikan dengan keadaan individu
pelanggan.
• Pelanggan ingin adanya kejelasan, kecepatan, dan kebebasan dari
hambatan dalam prosedur.
2. Keadilan interaksi (interactional fairness), yaitu perlakuan khusus yang
diterima pelanggan selama proses penanganan komplain
• Pelanggan ingin diperlakukan dengan sopan
• Pelanggan ingin diperlakukan dengan perhatian
• Pelanggan ingin diperlakukan dengan jujur
3. Keadilan hasil (outcome fairness), yaitu hasil yang pelanggan terima dari
komplain yang disampaikan
• Pelanggan mengharapkan hasil akhir atau kompensasi sesuai dengan
tingkat ketidakpuasan.
• Pelanggan mengharapkan hasil atau kompensasi sesuai dengan kesalahan
yang diperbuat oleh perusahaan.
• Pelanggan ingin diberi kompensasi yang tidak lebih ataupun tidak kurang
dari pelanggan lain yang mengalami hal yang sama.
33 Universitas Kristen Petra
• Pelanggan mengharapkan perusahaan dapat memberikan pilihan dalam
kompensasi.
2.6.3 Prinsip-Prinsip Sistem Pemulihan Jasa yang Efektif
Menurut Lovelock & Wirtz (2004, p. 387), terdapat 3 prinsip penuntun
dalam mengembangkan prosedur pemulihan jasa yang efektif , yaitu:
1. Memudahkan pelanggan untuk memberikan respon balik
Untuk mengatasi keengganan pelanggan yang tidak puas untuk
menyampaikan komplain, perusahaan perlu mengetahui alasan keengganan
tersebut secara langsung. Berikut beberapa strategi untuk mengurangi
hambatan bagi pelanggan untuk menyampaikan komplain.
Tabel 2.3 Strategi Mengurangi Hambatan Penyampaian Komplain
Sumber: Lovelock & Wirtz (2004, p. 387)
Hambatan komplain Strategi untuk mengurangi hambatan Ketidakmudahan • Sulit untuk menemukan
prosedur penyampaian komplain yang benar
• Usaha: seperti menulis dan mengirimkan surat
Membuat mudah dan nyaman respon balik: • Mencetak nomor layanan pelanggan,
serta alamat surat elektronik dan pos pada semua materi komunikasi pelanggan (surat, fax, tafihan, brosur, daftar buku telepon, yellow pages)
Keraguan akan hasil • Keraguan tentang tindakan yang
akan diambil perusahaan untuk memperhatikan masalah yang pelanggan tidak senangi
Memastikan pelanggan bahwa respon balik akan ditanggapi secara serius dan membuahkan hasil: • Memiliki prosedur pemulihan jasa pada
tempatnya dan mengkomunikasikannya pada pelanggan, seperti melalui laporan berkala pelanggan dan situs
• Menampilkan perbaikan-perbaikan layanan yang telah dihasilkan dari masukan para pelanggan
Ketidaknyamanan • Takut untuk diperlakukan kasar • Takut akan pertikaian • Takut dipermalukan
Membuat respon balik sebagai pengalaman positif: • Berterima kasih untuk respon balik
pelanggan (dapat dilakukan secara publik dan secara umum berbicara pada seluruh pelanggan)
• Melatih karyawan garis depan untuk tidak bertikai dan sebaliknya membuat pelanggan merasa nyaman
• Mengijinkan respon balik secara anonim
34 Universitas Kristen Petra
2. Memungkinkan pemulihan jasa yang efektif
Pemulihan dari kegagalan jasa membutuhkan lebih dari sekedar ekspresi
ramah sebagai penentu untuk menyelesaikan permasalahan yang akan muncul.
Pemulihan jasamembutuhkan komitmen, perencanaan, dan pedoman yang
jelas. Secara spesifik, pemulihan jasa yang efektif dapat mengikuti beberapa
pedoman, yaitu:
• Pemulihan jasa harus proaktif
Pemulihan jasa harus dimulai sebelum pelanggan berpeluang untuk
menyampaikan komplain. Karyawan layanan harus memiliki sensitifitas
mengenali ketidakpuasan dan bertanya apabila pelanggan mengalami
masalah. Respon pelanggan selanjutnya dapat membuka peluang bagi
pemulihan jasa.
• Pemulihan jasa harus direncanakan
Rencana akan kemungkinan kegagalan jasa harus dikembangkan,
khususnya bagi bagi kegagalan jasa yang dapat muncul secara teratur dan
tidak dapat didesain keluar dari sistem. Untuk menyederhanakan tugas
karyawan garis depan, perusahaan harus mengidentifikasi permasalahan
umum serta mengembangkan dan menetapkan solusi bagi karyawan untuk
diikuti.
• Keahlian pemulihan jasa harus diajarkan
Pelanggan dapat secara mudah merasa tidak aman saat kegagalan jasa
terjadi dan pemulihan tidak hadir seperti yang diantisipasi. Pelatihan yang
efektif dapat membekali karyawan garis depan dengan kepercayaan diri
dan kompetensi untuk mengubah kesukaran kepada kesenangan.
• Pemulihan jasa mengharuskan adanya karyawan yang diberdayakan
Usaha pemulihan jasa harus bersifat fleksibel dan karyawan harus
diberdayakan untuk menggunakan penilaian dan keahlian komunikasi
pribadi untuk mengembangkan solusi yang dapat memuaskan pelanggan
yang menyampaikan komplain. Hal ini diperlukan khususnya bagi
kegagalan yang tidak biasa, yang perusahaan belum kembangkan dan
tentukan perangkat solusinya.
35 Universitas Kristen Petra
3. Merancang tingkatan kompensasi yang tepat
Dalam pemulihan jasa, besar biaya pemulihan akan berbeda sesuai dengan
strateginya. Sebuah kompensasi dapat berjumlah sangat banyak hingga hanya
berupa permohonan maaf. Semakin besar kompensasi bukan berarti semakin
baik. Kompensasi yang terlalu berlebihan bukan saja akan mahal, namun juga
dapat diinterpretasikan pelanggan secara negatif. Hal tersebut akan
menimbulkan pertanyaan mengenai kesehatan perusahaan serta menimbulkan
kecurigaan pelanggan akan motif tersembunyi. Selain itu, kompensasi
berlebihan bukan saja tidak menghasilkan pembelian kembali yang lebih
tinggi daripada pemberian kompensasi yang adil, namun juga dapat
menimbulkan ketidakjujuran pelanggan untuk mencari-cari kegagalan jasa.
Berikut beberapa hal yang dapat membantu menentukan besar kompensasi
yang diberikan saat kegagalan jasa terjadi:
• Bagaimanakah kedudukan pasar perusahaan? Apabila perusahaan dikenal
dengan keunggulan jasanya dan mengenakan premi yang tinggi untuk
kualitas, maka pelanggan akan mengharapkan kegagalan jasa jarang
terjadi, sehingga perusahaan harus menunjukkan usaha yang dapat
dibuktikan untuk memulihkan kegagalan yang muncul dan bersiap
memberikan sesuatu dengan nilai signifikan.
• Seberat apa kegagalan jasa yang terjadi? Pedoman umum dari hal ini
adalah ’memberikan hukuman sesuai dengan kesalahannya’. Pelanggan
menginginkan lebih sedikit ketidaknyamanan dan lebih banyak
kompensasi yang signifikan apabila kerusakan utama adalah waktu, usaha,
kejengkelan, kegelisahan, dan lain-lain pada sisi pelanggan.
• Siapakah pelanggan yang terkena dampak? Pelanggan jangka panjang dan
pelanggan yang melakukan transaksi besar pada perusahaan
mengharapkan lebih, dan usaha untuk menyelamatkan hubungan mereka
sangatlah berharga. Pelanggan yang hanya melakukan satu kali transaksi
cenderung untuk lebih sedikit menuntut dan memiliki kepentingan nilai
ekonomis yang lebih kecil bagi perusahaan. Oleh sebab itu, kompensasi
dapat bernilai lebih kecil namun masih adil. Terdapat peluang bagi
pengguna pertama kali untuk menjadi pelanggan berulang apabila
36 Universitas Kristen Petra
diperlakukan secara adil. Aturan utama bagi pemberian kompensasi pada
kegagalan jasa harus bersifat sesuai. Penilaian kikir dapat mengakibatkan
pelanggan tersinggung hingga sakit hati dan justru perusahaan mungkin
lebih baik memohon maaf daripada memberikan kompensasi minimal.
2.6.4 Taktik Pemulihan Jasa
Menurut Hoffman & Bateson (1997, p. 338), respon terhadap kegagalan
jasa dapat dikategorikan ke dalam 2 tipe, yaitu:
1. Respon terhadap kegagalan jasa yang disebabkan oleh perusahaan
Respon yang baik:
• Mengakui permasalahan – pelanggan ingin tahu apakah komplain mereka
didengarkan.
• Membuat pelanggan merasa khusus atau spesial – menyampaikan pasa
pelanggan bahwa opini mereka dihargai dan urusan mereka adalah penting
bagi perusahaan.
• Memohon maaf di saat yang tepat – saat kegagalan secara jelas adalah
kesalahan perusahaan, sebuah permohonan maaf yang tulus seringkali
merupakan bentuk pemulihan yang efektif.
• Menjelaskan apa yang terjadi – memberi pelanggan informasi tambahan
mengenai kejadian yang berujung pada kegagalan menunjukkan bahwa
pelanggan adalah berharga dan pengertiannya terhadap kejadian sangatlah
penting.
• Menawarkan kompensasi – kompensasi seringkali merupakan bentuk
respon yang disukai oleh pelanggan, namun perusahaan cenderung untuk
melupakan biaya tersembunyi terkait oleh kegagalan jasa, seperti waktu
dan rasa frustasi.
Respon yang buruk:
• Gagal mengenali keseriusan permasalahan
• Gagal untuk cukup membantu pelanggan
• Bertindak seakan tidak ada yang salah
• Gagal untuk menjelaskan mengapa kegagalan terjadi
37 Universitas Kristen Petra
• Meninggalkan pelanggan menyelesaikan permasalahan sendirian
• Berjanji untuk melakukan sesuatu dan tidak menepatinya
2. Respon terhadap kegagalan jasa yang disebabkan oleh kesalahan pelanggan
Respon yang baik:
• Mengakui permasalahan pelanggan – mendengarkan dan memberikan
perhatian bagi kebutuhan pelanggan menunjukkan bahwa perusahaan
memberikan perhatian serius terhadap kesejahteraan pelanggan, tanpa
memandang siapa yang bersalah atas kesalahan.
• Mengambil tanggung jawab – mengantisipasi kesalahan pelanggan yang
sering dilakukan (seperti kehilangan kunci kamar, barang pribadi
tertinggal, dan lain-lain) serta membuat peraturan untuk membantu
mengatasi saat hal tersebut terjadi. Jangan menghindari tanggung jawab
dan meninggalkan pelanggan menjaga dirinya sendiri.
• Membantu menyelesaikan permasalahan tanpa mempermalukan pelanggan
– saat menyelesaikan permasalahan, hindari memberikan pernyataan
sembrono mengenai kurangnya pengetahuan pelanggan atau kemampuan
khusus pelanggan hingga menciptakan situasi yang ada. Pelanggan sudah
merasa malu saat meminta bantuan. Jangan membesar-besarkan situasi
dengan tertawa atau berbicara keras di hadapan pelanggan lain atau
karyawan dengan mempertimbangkan keadaan yang sulit.
Respon yang buruk:
• Tertawa dan mempermalukan pelanggan
• Menghindari tanggung jawab apapun
• Segan membantu pelanggan menyelesaikan permasalahan
38 Universitas Kristen Petra
2.6.5 Komponen Sistem Pemulihan Jasa yang Efektif
Gambar 2.7 Komponen Sistem Pemulihan Jasa yang Efektif
Sumber: Berry & Parasuraman (1991, p. 42)
Menurut Berry & Parasuraman (1991, p. 42), perusahaan dapat salah
dalam menangani permasalahan jasa dengan cara yang sembarangan dan
dilakukan setengah hati. Untuk menjadi unggul dan mencapai keuntungan
maksimum dari pemecahan permasalahan, perusahaan harus memiliki proses
pemulihan yang berjalan dan sistematis. Hal detail dapat bervariasi antar
perusahaan, namun proses pemulihan harus mengikutsertakan beberapa
komponen umum, yaitu:
1. Mengidentifikasi permasalahan jasa
Usaha keras untuk menggali ketidakpuasan pelanggan – bagaimana kecilnya –
adalah langkah penting pertama untuk membangun reputasi dalam keunggulan
pemulihan. Pembeberan permasalahan yang sukses menuntut adanya
penangkapan keluhan pelanggan yang luas. Untuk meminimumkan peluang
permasalahan jasa yang lolos tidak diketahui, perusahaan harus memiliki
sistem yang efektif untuk memantau komplain pelanggan, mengadakan
penelitian pelanggan, dan memantau proses jasa.
Mengidentifikasi permasalahan jasa
Memelihara faktor manusia
Mengadakan analisa akar permasalahan
Memonitor komplain pelanggan
Mengadakan penelitian pelanggan
Memonitor proses jasa
Memecahkan permasalahansecara efektif
Mengubah faktor gangguan
Memodifikasi monitor proses jasa
Menyusun sistem pencatatan permasalahan
Belajar dari pengalaman pemulihan
39 Universitas Kristen Petra
• Memantau komplain pelanggan
Mengamati komentar yang disampaikan pelanggan secara sukarela
merupakan satu tinjauan untuk mengidentifikasi defisiensi jasa. Banyak
perusahaan sekarang ini menggunakan tinjauan ini, yang dibuktikan
dengan kemudahan saluran komunikasi seperti telepon bebas pulsa, kartu
komentar, dan kotak saran yang tersedia bagi pelanggan. Perusahaan tidak
dapat mencapai keunggulan pemulihan jasa hanya dengan bergantung
sepenuhnya pada komplain yang disampaikan secara sukarela untuk
mengidentifikasi titik permasalahan. Satu cara untuk menjadi peka
terhadap komplain adalah dengan tidak menyusahkan pelanggan untuk
memberikan komplain, namun menemukannya melalui penelitian
pelanggan.
• Mengadakan penelitian pelanggan
Mengumpulkan komplain baik melalui penelitian formal maupun non-
formal merupakan suplemen yang diperlukan untuk memantau komplain
sukarela. Mengambil inisiatif untuk mengumpulkan komplain
menunjukkan tingkat kepedulian dan kesadaran bahwa menunggu
pelanggan untuk menyampaikan komplain secara sukarela sangat jarang.
Pelanggan yang tidak puas yang biasanya bersikap skeptis untuk repot
menelepon nomor layanan bebas pulsa atau untuk melengkapi kartu
komentar dapat dengan mudah menyampaikan keluhan mereka apabila
mereka merasa perusahaan benar-benar tulus tertarik. Penelitian pelanggan
yang ditujukan untuk mengidentifikasi permasalahan dapat berupa kulitatif
atau kuantitatif dan dapat dicapai melalui pertanyaan atau observasi.
Bentuk observasi lainnya untuk mengidentifikasi defisiensi jasa adalah
dengan menyewa pembeli misteri (mystery shoppers) – peneliti yang
berperan sebagai pelanggan – untuk mengalami dan mengevaluasi jasa.
• Memantau proses jasa
Adalah hal yang penting untuk mengenali dan memecahkan permasalahan,
namun sebuah proses pemulihan jasa yang kuat harus diusahakan untuk
mengantisipasi permasalahan sebelum pelanggan mengalaminya.
Identifikasi titik potensi permasalahan dapat memberi perusahaan awal
40 Universitas Kristen Petra
yang baik dalam usaha pemulihannya – dengan meminimalkan kebutuhan
pemulihan melalui penanggulangan masalah dan menyediakan waktu
tambahan bagi persiapan (seperti mengumpulkan perwakilan jasa
tambahan) untuk mengatasi permasalahan yang muncul secara efektif.
Antisipasi permasalahan jasa menuntut adanya pemantauan internal dan
dibalik layar terhadap proses jasa secara umum. Satu tinjauan bagi
pemantauan internal adalah meneliti blueprint jasa – sebuah tipe diagram
susun yang membeberkan anatomi dari jasa – untuk mengidentifikasi titik
kegagalan dimana jasa tersebut dapat menjadi potensi kegagalan.
2. Memecahkan permasalahan secara efektif
Kegagalan jasa sebenarnya merupakan kegagalan hasil yang menunjukkan
kegagalan pada keterandalan/ reliability. Walaupun keterandalan/ reliability
adalah perhatian utama bagi pelanggan saat kinerja pertama pada jasa, dimensi
proses merupakan hal yang juga penting saat pemulihan jasa.
• Memelihara faktor manusia
Pemulihan yang unggul menuntut keunggulan dalam dimensi proses jasa,
dan hal ini menuntut adanya orang-orang yang unggul. Bahkan jasa kontak
rendah (low-contact services) yang biasanya melibatkan sedikit interaksi
antara pelanggan dan personel perusahaan (seperti mesin anjungan tunai
mandiri/ ATM, telepon jarak jauh, dan pesanan surat) menjadi jasa kontak
tinggi (high-contact services) saat permasalahan muncul. Berikut beberapa
saran untuk menstimulasi perilaku karyawan untuk memaksimalkan
kemungkinan perubahan situasi permasalahaan menjadi positif baik bagi
pelanggan dan perusahaan:
− Mempersiapkan karyawan untuk pemulihan. Respon karyawan
terhadap permasalahan jasa tidak dapat diandalkan pada peluang.
Beberapa karyawan dapat secara alami bersikap responsif,
meyakinkan, empatik dalam berurusan dengan pelanggan yang
mengalami permasalahan, namun kebanyakan tidak. Bahkan karyawan
yang menunjukkan perilaku teladan saat transaksi rutin dapat menjadi
lain saat berurusan dengan situasi bermasalah.
41 Universitas Kristen Petra
− Memberdayakan karyawan. Memberikan otoritas pada karyawan untuk
memuaskan pelanggan sama pentingnya dengan melatih karyawan
untuk menjadi pemecah masalah yang efektif. Pelatihan tanpa
pemberdayaan adalah tidak tepat untuk usaha pemulihan yang kuat.
− Memfasilitasi karyawan. Perusahaan dikenal dengan usaha
pemulihannya, melengkapi pelatihan dan pemberdayaan dengan
teknologi dan informasi untuk menambah kemampuan staf layanan
pelanggannya untuk memecahkan permasalahan secara efektif.
− Memberikan penghargaan bagi karyawan. Pelatihan, pemberdayaan,
dan penyediaan sistem pendukung bagi personel pemulihan jasa akan
mempersiapkan, namun tidak mempengaruhi karyawan untuk unggul
dalam pemecahan masalah. Penghargaan yang tepat adalah penting
untuk mengembangkan potensi untuk memberikan pemulihan jasa
yang patut dicontoh. Pemberian penghargaan bagi usaha pemulihan
jasa juga menunjukkan komitmen perusahaan yang tulus dan
menyingkirkan skeptisme karyawan yang baru diberdayakan.
• Mengubah faktor gangguan
Saat mengalami permasalahan jasa, pelanggan terpaksa mengorbankan
sesuatu yang tidak harus mereka korbankan apabila jasa dilakukan dengan
benar saat pertama kali. Pengorbanan tersebut dinamakan faktor gangguan.
Usaha pemulihan jasa yang unggul harus membuat perubahan terhadap
faktor gangguan. Mempermudah pelanggan untuk menyampaikan
komplain, bersikap proaktif dalam menemukan dan memperbaiki
permasalahan, memberdayakan karyawan untuk melakukan perbaikan
yang cepat dan pada tempatnya dapat mendukung meredakan faktor
gangguan. Namun meredakan faktor-faktor gangguan saja tidak cukup
untuk memuaskan pelanggan. Proses pemecahan permasalahan yang lebih
dari biasa dapat membuat pelanggan merasa mendapatkan lebih dari apa
yang pelanggan dikorbankan dalam pengalaman pemulihan.
42 Universitas Kristen Petra
3. Belajar dari pengalaman pemulihan
Situasi pemecahan permasalahan bukan saja merupakan peluang untuk
memperbaiki kecacatan jasa, dan memperkuat hubungan dengan pelanggan,
namun juga merupakan sumber diagnosa yang berharga namun seringkali
dilupakan dan tidak digunakan, serta informasi yang menentukan untuk
memperbaiki layanan pelanggan.
• Mengadakan analisa akar permasalahan
Kegagalan jasa yang dialami pelanggan biasanya merupakan gejala
permasalahan yang lebih serius pada sistem jasa. Melakukan semua hal
untuk menyenangkan pelanggan dan memberikan kompensasi untuk
kegagalan tentu saja adalah bagian yang penting dalam pemulihan jasa,
namun hal tersebut tidak cukup jika penanggulangan munculnya kembali
kegagalan jasa adalah tujuan akhirnya. Untuk memperoleh keuntungan,
usaha pemulihan harus menemukan dan memperbaiki akar permasalahan.
• Memodifikasi pemantauan proses jasa
Pemantauan proses jasa adalah strategi awal untuk identifikasi proaktif
permasalahan jasa. Pengetahuan yang diperkaya melalui pencatatan
sistematis dan analisa kegagalan di masa lalu dapat memerikan saran bagi
perubahan dalam pemantauan proses untuk membuatnya semakin efektif.
• Menyusun sistem pencatatan permasalahan
Sebuah sistem berjalan yang menangkap informasi menyinggung setiap
hal pemulihan jasa (seperti informasi pengalaman pelanggan dalam
permasalahan, asal dari permasalahan, dan tindakan yang diambil untuk
merespon permasalahan) adalah penting untuk memaksimalkan
keuntungan dari usaha pemulihan jasa perusahaan. Pencarian dengan
metode untuk mencari permasalahan dasar dan mengidentifikasi peluang
untuk memperbaiki keterandalan jasa dapat menjadi sulit tanpa sistem
pencatatan permasalahan.
2.6.6 Harapan Pelanggan Saat Kegagalan Jasa Terjadi
Menurut Zemke (1992), terdapat beberapa harapan pelanggan saat
kegagalan jasa terjadi, yaitu (Gronroos, 2000, p.118):
43 Universitas Kristen Petra
Tabel 2.4 Harapan Pelanggan Saat Kegagalan Jasa Terjadi
Sumber: Gronroos (2000, p.118)
2.7 Recovery Satisfaction
Pemulihan jasa pada satu sisi dapat dipandang sebagai lawan dari kehandalan
sebuah jasa. Saat jasa tidak dilakukan secara handal dengan cara yang
memenuhi dan bahkan melebihi ekspektasi pelanggan, pemulihan jasa –
baik secara strategi maupun taktik – dapat berperan. Pada saat yang sama
pula, pemulihan jasa dapat memberikan perusahaan peluang kedua untuk
memenuhi ekspektasi pelanggan (Berry dan Parasuraman, 1991). Oleh
sebab itu, literatur mengindikasikan adanya hubungan yang positif antara
kepuasan pelanggan pada saat terjadi kegagalan jasa dengan pemulihan
jasa (dalam Brown, Cowles, dan Tuten, 1996, p. 37).
Pemulihan jasa didefinisikan sebagai kepuasan terhadap resolusi/ pemecahan
masalah (Andreasen and Best, 1977; Berry et al., 1988), cara bagaimana
Tindakan yang diharapkan Bagaimana tindakan seharusnya ditangani
Permohonan maaf (apology)
Disampaikan kepada pelanggan, walaupun perusahaan bukan pihak yang menyebabkan permasalahan (namun, permohonan maaf seringkali tidak cukup)
Kompensasi yang adil (fair compensation)
Kompensasi yang masuk akal saat pelanggan berhubungan dengan karyawan
Perlakuan memperhatikan (caring treatment)
Menunjukkan rasa empati dan memperlakukan setiap pelanggan sebagai individu; mendengarkan permasalahan emosional
Penebusan kesalahan yang menambah nilai (value added atonement)
Pelanggan mendapatkan sesuatu sebagai simbol apresiasi nilai sebagai pelanggan (kompensasi yang adil terkadang dapat diberikan sebagai simbol)
Pemenuhan janji akan pemulihan jasa (kept promises about recovery)
Karyawan kontak mendeskripsikan apa yang akan terjadi dan kapan, dengan keyakinan bahwa hal tersebut akan terjadi sesuai yang dijanjikan (informasi negatif adalah lebih baik daripada tidak ada informasi atau informasi yang salah; adalah lebih baik untuk mendengar 1 kali pemberitahuan keterlambatan pesawat selama 60 menit daripada 4 kali pemberitahuan 15 menit keterlambatan pesawat.
44 Universitas Kristen Petra
penyedia jasa merespon kegagalan jasa (Gronroos, 1990a), serta
bagaimana melakukan jasa dengan benar untuk kedua kalinya (Berry and
Parasuraman, 1991; Brown, 1994; Zemke and Bell, 1990). Selain itu,
menurut Chihyung (2004, p.30) kepentingan dari membangun hubungan
jangka panjang dengan pelanggan melalui relationship marketing kini
menjadi lebih penting, sehingga studi tentang usaha pemulihan jasa/
service recovery dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi kepuasan
secara keseluruhan sangat diperlukan (Maxham dan Netemeyer, 2002a)
(dalam Brown, Cowles, dan Tuten, 1996, p. 34).
2.8 Konsep Loyalitas Pelanggan
2.8.1 Atribut Loyalitas Pelanggan
Menurut Griffin (1995, p. 31), pelanggan yang loyal didefinisikan sebagai
“pelanggan yang melakukan pembelian kembali, membeli bagian produk dan jasa
lainnya, merekomendasikan pada orang lain, dan menunjukkan kekebalan
terhadap daya tarik kompetisi”. Melalui pengertian tersebut, dapat ditarik
sejumlah atribut dalam loyalitas pelanggan, yaitu:
1. Melakukan pembelian ulang secara teratur (make regular repeat purchase)
Pelanggan yang loyal adalah pelanggan yang melakukan pembelian ulang
secara teratur pada perusahaan dalam satu periode tertentu.
2. Melakukan pembelian pada bagian produk dan jasa lainnya (purchase across
product and service line)
Pelanggan yang loyal tidak hanya membeli satu jenis produk atau jasa yang
ditawarkan oleh perusahaan, akan tetapi membeli lebih dari satu macam jenis.
3. Merekomendasikan pada orang lain (refer others)
Pelanggan yang loyal akan menginformasikan dan merekomendasikan kepada
rekan atau pelanggan yang lainnya mengenai pengalaman positif yang
diperoleh dari produk dan jasa perusahaan sehingga rekan atau pelanggan
lainnya juga ikut membeli produk atau jasa dari perusahaan tersebut dan
bukan dari kompetitor lainnya.
4. Menunjukkan kekebalan terhadap daya tarik kompetisi (demonstrate immunity
to pull of the competition)
45 Universitas Kristen Petra
Pelanggan yang loyal akan mengakui bahwa produk atau jasa dari perusahaan
yang pelanggan pilih merupakan yang terbaik sehingga pelanggan menolak
menerima tawaran dari perusahaan lain.
2.8.2 Hubungan Kepuasan Pelanggan dengan Loyalitas Pelanggan
Gambar 2.8 Hubungan Kepuasan Pelanggan dengan Loyalitas Pelanggan
Sumber: Kotler & Armstrong (2001, p. 671)
Menurut Kotler & Armstrong (2001, p. 671), hubungan kepuasan
pelanggan dengan loyalitas pelanggan sangat bervariasi pada tiap industri dan
situasi kompetisi. Gambar 2.8 menunjukkan hubungan antara kepuasan pelanggan
dengan loyalitas pelanggan pada 5 pasar yang berbeda. Pada seluruh kasus,
apabila kepuasan meningkat, loyalitas pun juga akan meningkat. Pada pasar yang
sangat kompetitif seperti pasar mobil dan komputer, secara mengejutkan hanya
ada sedikit perbedaan antara loyalitas pelanggan yang tidak terlalu puas dengan
pelanggan yang hanya sekedar puas. Namun terdapat perbedaan yang besar antara
loyalitas pelanggan yang puas dengan yang sangat puas. Sebuah studi menyatakan
bahwa pelanggan yang sangat puas hampir 42% lebih loyal daripada pelanggan
yang hanya sekedar puas. Sebuah studi oleh AT&T menunjukkan bahwa 70%
46 Universitas Kristen Petra
pelanggan yang puas dengan produk dan jasa masih berniat berpindah ke
kompetitior.
Gambar 2.8 juga menunjukkan bahwa dalam pasar yang tidak kompetitif,
seperti pasar yang diatur monopoli atau yang didominasi merek yang kuat atau
dilindungi hak cipta, pelanggan cenderung untuk tetap loyal tanpa peduli betapa
tidak puasnya pelanggan. Walaupun demikian, perusahaan demikian akan
membayar harga yang mahal akibat ketidakpuasan pelanggan dalam jangka
panjang.
2.8.3 Faktor-faktor Pemulihan Jasa yang Mempengaruhi Loyalitas
Pelanggan
Menurut hasil studi SOCAP/ TARP, terdapat beberapa faktor pemulihan
jasa yang berpengaruh terhadap loyalitas pelanggan di masa depan, yaitu:
1. Waktu respon
2. Jumlah kontak yang dibuat oleh penyampai komplain sebelum komplain
akhirnya diselesaikan
3. Tingkat kepuasan pelanggan yang menyampaikan komplain (Lovelock,
Patterson, & Walker, 2001, p. 351)
2.9 Hubungan Antar Konsep
Dengan semakin kompetitifnya dunia bisnis perhotelan, serta semakin
tingginya ekspektasi pelanggan, usaha untuk mempertahankan dan meningkatkan
daya saing serta loyalitas pelanggan melalui perbaikan kualitas layanan
merupakan hal yang patut diperhatikan, Perbaikan kualitas layanan merupakan
keinginan tiap pelaku bisnis, namun pada prosesnya, kesalahan atau kegagalan
jasa adalah hal yang tidak dapat sepenuhnya dihindari. Penelitian ini bertujuan
untuk meneliti pengaruh tingkat kepentingan kualitas pemulihan jasa yang diukur
dari keadilan prosedural, keadilan interaksi, dan keadilan hasil terhadap tingkat
kepentingan recovery satisfaction dan loyalitas pelanggan dengan pengguna jasa
hotel di Bali sebagai responden penelitian. Tingkat kepentingan dalam penelitian
ini diartikan sebagai tingkat dimana responden menilai penting atau tidaknya
suatu atribut dalam menciptakan kepuasan responden terhadap pemulihan jasa.
47 Universitas Kristen Petra
Lebih lanjut, penelitian ini juga menganalisa apakah penting atau tidaknya atribut
tersebut berpengaruh signifikan terhadap tingkat loyalitas responden apabila
dalam menggunakan fasilitas/ jasa sebuah hotel, responden mengalami kegagalan
jasa yang kemudian diikuti oleh pemulihan jasa.
Pemulihan jasa memiliki 3 dimensi keadilan, yaitu keadilan prosedural,
keadilan interaksi, dan keadilan hasil. Keadilan prosedural berhubungan dengan
kebijakan, peraturan, dan kecepatan dalam proses penanganan komplain. Keadilan
prosedural mencakup berbagai elemen penting seperti: kemudahan akses untuk
menyampaikan komplain, kejelasan dan kemudahan prosedur penyampaian
komplain untuk diikuti, kecepatan penanganan komplain dan upaya untuk
menyelesaikannya tanpa melimpahkannya pada pihak lain, sikap fleksibel dalam
prosedur penyampaian komplain sehingga dapat menyesuaikan dengan keadaan
individu pelanggan, serta sikap proaktif menemukan permasalahan serta
menjelaskannya pada pelanggan.
Dimensi kedua, yaitu keadilan interaksi berhubungan dengan perlakuan
khusus yang diterima pelanggan selama proses penanganan komplain. Keadilan
interaksi mencakup berbagai elemen penting seperti: sikap empati staf dalam
menangani komplain pelanggan, kejujuran staf dalam menangani komplain, sikap
staf untuk membuat pelanggan nyaman tanpa konfrontasi dalam menyampaikan
komplain, kesungguhan/ keseriusan staf dalam menangani komplain, upaya untuk
memberi penjelasan mengenai kegagalan jasa yang terjadi serta bagaimana
komplain akan diselesaikan, cara menyampaikan permohonan maaf atas
ketidaknyamanan, upaya untuk memberikan ucapan terima kasih dan rasa
penghargaan terhadap komplain pelanggan, sikap staf untuk tidak
mempermalukan pelanggan saat menyampaikan komplain, sikap staf yang
menghargai pertimbangan masukan dari pelanggan, serta kerelaan pihak hotel
untuk memberikan bantuan meskipun masalah bukan tanggung jawab hotel
Sedangkan dimensi terakhir, keadilan hasil berhubungan dengan hasil
yang pelanggan terima dari komplain yang telah disampaikan. Keadilan hasil
mencakup berbagai elemen penting seperti: upaya untuk menepati janji dalam
menyelesaikan komplain dengan cara dan dalam waktu sesuai yang telah
dijanjikan, kemampuan hasil akhir/ kompensasi yang diberikan untuk mengobati
48 Universitas Kristen Petra
rasa ketidakpuasan pelanggan, kesesuaian hasil akhir/ kompensasi dengan
kesalahan yang diperbuat, keadilan hasil akhir/ kompensasi bagi setiap pelanggan
yang mengalami hal yang sama (tidak membeda-bedakan pelanggan siapa yang
menyampaikan komplain), upaya memberikan pilihan dalam menawarkan usaha
penyelesaian komplain kepada pelanggan
Dengan adanya usaha pemulihan jasa yang unggul pada ketiga dimensi
keadilan, recovery satisfaction dapat dicapai. Recovery satisfaction sendiri dapat
dievaluasi melalui kebijakan, dan peraturan pihak hotel dalam proses penanganan
komplain, sikap dan tindakan staf hotel selama proses penanganan komplain, serta
hasil akhir penanganan komplain / kompensasi yang diterima dari komplain yang
telah disampaikan kepada pihak hotel.
Kepuasan pelanggan terhadap usaha pemulihan jasa dapat menimbulkan
dampak positif loyalitas pelanggan. Walaupun kepuasan pelanggan yang tinggi
tidak selalu identik dengan loyalitas pelanggan yang tinggi pula, kepuasan
pelanggan tetap merupakan komponen yang penting dalam membangun loyalitas
pelanggan. Sebuah perusahaan akan menghadapi kesulitan dalam membangun
loyalitas pelanggan tanpa terlebih dahulu membangun kepuasan pelanggan.
2.10 Kerangka Pemikiran
Gambar 2.9 Kerangka Pemikiran
h3
h4
h2 h1
Keadilan Hasil (X3)
Keadilan Interaksi
(X2)
Keadilan Prosedural
(X1)
Loyalitas Pelanggan (Z)
Tingkat Kepentingan
Kualitas Pemulihan Jasa
(X)
Tingkat Kepentingan
Recovery satisfaction (Y)
49 Universitas Kristen Petra
2.11 Hipotesa
Mengacu pada rumusan masalah yang terdapat dalam bab 1 khususnya no
1, yaitu sejauh mana tingkat kepentingan dari kualitas pemulihan jasa yang
terdiri dari keadilan, keadilan interaksi, dan keadilan hasil di mata pengguna jasa
hotel di Bali, peneliti bertujuan untuk mendeskripsikan tingkat kepentingan dari
kualitas pemulihan jasa, untuk itu tidak ada hipotesa untuk rumusan
permasalahan no. 1. Sedangkan rumusan masalah no 2 hingga 5 dapat ditarik
hipotesa sebagai berikut:
1. Tingkat kepentingan dari kualitas pemulihan jasa berpengaruh signifikan
terhadap recovery satisfaction.
2. Tingkat kepentingan dari recovery satisfaction berpengaruh signifikan
terhadap loyalitas pelanggan.
3. Tingkat kepentingan dari kualitas pemulihan jasa secara langsung berpengaruh
signifikan terhadap loyalitas pelanggan.
4. Tingkat kepentingan dari kualitas pemulihan jasa melalui tingkat kepentingan
recovery satisfaction berpengaruh terhadap loyalitas pelanggan