2. studi literatur 2.1 proses pengecoran · proses pengecoran logam (gambar 2.1) merupakan proses...
TRANSCRIPT
4 Universitas Kristen Petra
2. STUDI LITERATUR
2.1 Proses Pengecoran
Proses pengecoran logam (Gambar 2.1) merupakan proses peleburan dan
penuangan logam cair ke dalam cetakan, logam cair akan mengisi bentuk rongga
cetakan dan membeku menjadi benda produk. Proses pengecoran sangat banyak
dipakai pada bidang manufaktur karena mampu membuat benda logam dengan
ketelitian yang baik dan berdimensi kompleks.
Gambar 2.1. Proses pengecoran
Sumber: http://www.learneasy.info
Proses pengecoran umumnya dibagi menjadi dua, yakni proses pengecoran
dengan cetakan permanen (Gravity Die Casting) dan dengan cetakan sekali pakai
(Sand Casting). Masing – masing tipe casting mempunyai keunggulan sesuai
dengan kebutuhan proses pengecoran. Gravity Die Casting umum digunakan
untuk proses pengecoran dengan skala besar karena cetakan permanen sehingga
tidak perlu melakukan pembuatan cetakan ulang sehingga untuk jangka panjang
lebih menguntungkan, sedangkan Sand Casting umumnya digunakan untuk proses
pengecoran yang tidak membutuhkan ketelitian yang tinggi dan desain yang lebih
sederhana.
5 Universitas Kristen Petra
2.2 Gating System
Dalam proses casting, gating system pada Gambar 2.2 memiliki peran
yang penting dalam menghasilkan produk cor dengan kualitas yang baik. Desain
gating system yang buruk akan menimbulkan cacat dalam casting. Ada beberapa
tujuan dari gating system yaitu :
1. Memastikan logam cair yang akan digunakan dalam proses casting dapat
berjalan lancar, seragam, dan mampu memenuhi cetakan.
2. Mengurangi aliran turbulen sehingga penyerapan gas, oksidasi logam, dan
erosi dari permukaan cetakan lebih rendah.
3. Mencegah terjadinya aspirasi udara atau gas dari cetakan ke aliran logam
cair yang masuk.
Gambar 2.2. Gating system
Sumber: http://thelibraryofmanufacturing.com/metalcasting_basics.html
2.2.1 Bagian-bagian Gating System
1. Pouring basin
Pouring basin biasanya terletak dibagian atas cetakan. Fungsi dari
pouring basin yaitu mengarahkan aliran logam cair dari ladle menuju
sprue. Pouring basin juga menjaga kestabilan aliran dan mengurangi
turbulen saat di sprue.
2. Sprue
Sprue merupakan jalur yang menghubungkan pouring basin
menuju runner. Sprue dibuat runcing untuk menghindari aspirasi udara.
Sprue dapat berbentuk kotak, persegi panjang, atau lingkaran. Sprue
6 Universitas Kristen Petra
berbentuk lingkaran memiliki permukaan yang kecil untuk pendinginan
dan memiliki resistance yang rendah terhadap aliran logam.
3. Sprue well
Sprue well berada dibagian dasar sprue. Sprue well akan
menangkap logam cair yang melewati sprue dan mengarahkan menuju
runner.
4. Runner
Runner bertugas mengalirkan aliran logam cair dari sprue menuju
gate sehingga aliran logam cair dapat berjalan lancar.
5. Ingate
Ingate merupakan suatu celah kecil yang menghubungkan runner
menuju rongga cetakan. Bentuk nya biasanya kotak dan persegi panjang.
6. Riser
Rongga tambahan untuk mengalirkan logam sehingga dapat
menghindari shrinkage.
2.3 Sistem Saluran (Gating system)
Untuk membuat suatu sistem saluran yang baik maka ada beberapa
perhitungan yang sesuai dengan hukum alam seperti bilangan Reynold, persamaan
Bernoulli, teorema Torricelli, Hukum Pascal, Hukum Stokes dan lain-lain.
Beberapa acuan diatas harus diperhatikan dengan baik agar dalam desain
sistem saluran yang akan dibuat dapat menghasilkan suatu sistem saluran yang
dapat menghasilkan produk cor yang baik. Berikut ini adalah beberapa rumus
penting dalam pembuatan sistem saluran:
1. Turbulensi aliran
Turbulensi aliran di dalam saluran tidak mungkin dapat dihilangkan
tetapi dapat dikurangi. Turbulensi aliran tersebut dapat dikontrol dengan
bilangan Reynold dengan rumus sebagai berikut :
Re =𝑉 𝑑 𝜌
µ (2.1)
Dimana :
Re = Angka Reynold
7 Universitas Kristen Petra
V = kecepatan aliran (m/s)
d = penampang aliran (m)
ρ = densitas cairan (kg/m3)
µ = viskositas dinamik cairan (kg/m.s)
Untuk aliran internal:
Re < 2300 aliran laminar
Re > 2300 aliran turbulen
Diameter hidrolik untuk penampang berbentuk persegi sama
dengan panjang sisi dari penampang yaitu sebesar 0,0127 m. Sehingga
dapat dirumukan :
𝐷 = 𝑎 = 0,0127 𝑚 (2.2)
Kecepatan rata – rata fluida menggunakan rumusan :
𝑣 = √2 𝑔 ℎ (2.3)
Dimana :
g : kecepatan gravitasi (m/s)
h : ketinggian pouring basin hingga exit down sprue (m)
2. Persamaan Bernoulli
𝑃1 +1
2+ 𝜌𝑉1
2 + 𝜌𝑔ℎ1 = 𝑃2 +1
2+ 𝜌𝑉2
2 + 𝜌𝑔ℎ2
Jika h2=0, v1=0, P1=P2, dan ρ dianggap konstan maka persamaan
tersebut dapat berubah menjadi:
𝑣2 = √2𝑔ℎ1 (2.4)
Dimana v2 adalah kecepatan keluar dari suatu dasar system.
Dengan demikian, jika h tinggi maka kecepatannya pun akan semakin
tinggi. Sehingga kecepatan yang besar akan berpengaruh terhadapa nilai
Reynold yang tercipta.
8 Universitas Kristen Petra
Gambar 2.3. Aplikasi prinsip Bernoulli pada proses pouring
Sumber: Akuan, Abrianto (2009)
2.4 Perhitungan Yield
Yield merupakan efisiensi, atau hasil, dari pengecoran sebagaimana
didefinisikan sebagai berat hasil cor dibagi dengan berat total dari logam yang
dituangkan. Sehingga dapat dirumuskan sebagai berikut (persaman 2.5)
(DeGarmo, 2003):
𝑌𝑖𝑒𝑙𝑑 = 𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙 𝑐𝑜𝑟
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑙𝑜𝑔𝑎𝑚 𝑎𝑤𝑎𝑙 (2.5)
2.5 Porositas
Porositas merupakan suatu bentuk kecacatan yang paling sering ditemui
dalam produk cor, dimana cacat ini menyebabkan ada rongga udara dalam produk
hasil cor (Gambar 2.4). Ada dua penyebab utama timbulnya porositas yaitu :
1. Shrinkage (penyusutan) selama solidification (solidifikasi)
2. Gas terperangkap karena aliran yang turbulen terjadi ketika logam masuk
dan memenuhi rongga cetakan
Gambar 2.4. (a) Porositas karena gas yang terperangkap
(b) Porositas karena shringkage
Sumber: https://www.heraeus.com
9 Universitas Kristen Petra
Perbedaan porositas karena gas dengan porositas karena shrinkage ialah
porositas yang dihasilkan karena shrinkage biasanya berbentuk tidak beraturan
(tajam-tajam). Sedangkan porositas karena gas berbentuk bulat-bulat. Selain itu
ketika porositas terjadi pada produk cor, maka akan mengurangi mechanical
properties produk. Selain itu, porositas juga dapat bertindak sebagai stress
concentrator yang dapat memicu timbulnya crack (retak) pada produk. Oleh
karena itu sangat penting dalam memahami tentang penyebab porositas sehingga
dapat menjaga kualitas dari produk.
Kecepatan pendinginan juga mempengaruhi timbulnya porositas dalam
cetakan. Semakin rendah kecepatan pembekuan maka timbulnya porositas dalam
cetakan juga akan semakin besar. (Yuan Oktorio Lamsudi, 2008).
2.5.1 Jenis-jenis Porositas
1. Cacat porositas Shrinkage
Gambar 2.5. Porositas shrinkage.
Sumber: https://www.heraeus.com/
Cacat porositas Shrinkage memiliki bentuk yang tidak bulat (irregular)
dan memiliki ukuran yang besar jika dibandingkan dengan cacat porositas gas.
Penyebab terjadinya cacat shrinkage adalah adanya gas hidrogen yang
terperangkap / terserap dalam logam cair selama proses penuangan. Tidak hanya
pada saat proses penuangan tetapi juga pada saat proses peleburan dan waktu
peleburan yang terlalu lama. Shrinkage dapat dibagi menjadi dua jenis, open
shrinkage yang kontak langsung dengan udara atmosfer dan close shrinkage
yang dipengaruhi oleh zat pengotor maupun gas terlarut pada logam cair.
Pengamatan terhadap cacat shrinkage dibagi menjadi dua, yakni secara
10 Universitas Kristen Petra
makroskopis, dapat dilihat secara langsung (kasat mata) dan mikroskopis
(Gambar 2.5) yang dapat dilihat menggunakan mikroskop.
Menurut Penelitian dari Rajesh Rajkolhe dan J.G. Khan (2014)
menyatakan penyebab dari cacat shrinkage karena kepadatan dari alloy die cast
dalam kondisi cair kurang dibandingkan dalam kondisi padat, karena itu pada
saat alloy berubah fase dari leburan menjadi padat akan selalu menyusut. Secara
umum pencegahan yang dilakukan untuk menghilangkan shrinkage yakni
dengan memastikan logam cair tetap mengalir mengisi void pada cetakan secara
sempurna. Selain itu temperatur dari logam cair yang masuk juga harus dijaga,
agar logam cair dapat mengalir dengan baik.
Shrinkage selama pendinginan akan mengubah ukuran dari produk dan
dapat menimbulkan retak juga. Hal ini disebabkan karena perubahan sifat termal
dari material dan perubahan fase antara cair dan padat. Logam murni akan
mengalami solidifikasi dalam temperatur konstan, sedangkan alloys dalam
temperatur yang berbeda – beda.
2. Cacat porositas gas
Gambar 2.6. Porositas gas
Sumber: http://www.hotflo.com
Porositas karena gas di dapat karena logam cair saat proses pengecoran
beroksidasi dengan gas karbonmonoksida dan karbondioksida (Gambar 2.6).
Porositas oleh gas hydrogen dalam proses pengecoran dapat memberikan
pengaruh yang buruk pada kekuatan serta kesempurnaan dari benda tuang
tersebut. Penyebab lainnya adalah kontrol yang kurang sempurna terhadap
11 Universitas Kristen Petra
absorbs gas paduan, pengeluaran gas dari logam karena interaksi antara gas
dengan logam selama peleburan dan penuangan. Faktor penting yang
berhubungan dengan pembentukan porositas gas antara lain :
1. Unsur-unsur gas atau sumber gas yang terkandung dalam paduan
2. Teknik dan kondisi peleburan
3. Teknik atau cara pengeluaran gas dari logam cair
4. Temperatur logam cair
5. Uap air dalam udara
6. Permeabilitas cetakan
7. Uap air yang terkandung dalam cetakan
8. Sumber-sumber gas yang terkandung dalam cetakan
9. Bentuk saluran penuangan ataupun kecepatan penuangan
Pada proses penuangan, hidrogen yang larut selama peleburan akan
tertinggal setelah proses pembekuannya, karena kelarutan pada fasa cair lebih
tinggi dari fasa padat. Gas yang dikeluarkan akan membentuk inti kristal pada
struktur mikro pada cairan selama pembekuan dan diantara fasa padat-cair.
Banyaknya porositas yang terjadi pada pengecoran tidak saja tergantung dengan
banyaknya kandungan gas hidrogen yang terabsorbsi oleh logam, tetapi juga
tergantung pada kecepatan pembekuan logam dalam cetakan.
3. Misrun
Gambar 2.7. Misrun.
Sumber: http://www.mechnol.com/
12 Universitas Kristen Petra
Misrun pada Gambar 2.7 adalah cacat yang terjadi karena logam cair tidak
mengisi seluruh rongga cetakan sehingga benda cor menjadi tidak lengkap atau
ada bagian yang kurang dari benda cor. Penyebabnya adalah fluiditas logam
lebur kurang, temperature tuang yang terlalu rendah dan kecepatan penuangan
logam cair berjalan lambat.
4. Inclusion
Inclusion adalah kehadiran material asing dalam strukturmikro benda cor,
material tersebut dapat berasal dari tungku waktu pembakaran, dari cetakan
waktu penuangan material kecetakan atau dari material itu sendiri. Gambar 2.10
dibawah ini menunjukkan contoh dari inclusion.
Gambar 2.8. Inklusi.
Sumber: http://www.iron-foundry.com/
5. Hot Tears dan Cracks
Gambar 2.9. Hot tear crack.
Sumber: http://www.tms.org/
13 Universitas Kristen Petra
Hot tears (Gambar 2.9) adalah cacat berupa retakan yang terjadi selama
pembekuan akibat tekanan berlebih pada pembekuan logam karena
berkembangnya arus panas yang tinggi. Crack adalah retak yang terjadi selama
tahap pendinginan pada pengecoran setelah pembekuan selesai karena
penyusutan yang tidak seimbang.
2.5.2 Penyebab dan Cara Mengontrol Porositas Pada Die Casting
Penelitian mengenai analisa porositas pada aluminium high pressure die
cast menemukan beberapa tipe porositas yang umum terjadi saat die casting
seperti gas porositas dan shrinkage. Faktor – faktor yang mendukung
terbentuknya porositas gas menurut Peti & Grama, 2011 adalah:
1. Kecepatan aliran logam cair tahap awal yang terlalu cepat maupun terlalu
lambat.
2. Volume logam cair yang masuk tidak proposional.
3. Venting yang tidak efektif / overflow.
4. Desain gating system dan runner yang kurang baik.
5. Temperatur logam cair yang terlalu tinggi maupun terlalu rendah.
Cara umum untuk mengontrol porositas pada die cast yakni dengan menggunakan
X-ray untuk mengecek dan memotong lalu memoles bagian porositas tersebut.
2.6 Timah Putih
Gambar 2.10. Timah putih
Sumber : http://gempowerment.com
Timah putih (tin) merupakan logam berwarna putih dengan simbol Sn
(Gambar 2.10). Timah putih termasuk logam lunak dan mudah dibentuk.
14 Universitas Kristen Petra
Kekerasan yang dimiliki timah putih sedikit lebih baik dibanding timah hitam
(lead). Timah putih tidak mudah teroksidasi dan korosi karena dilindungi oleh
oxide film, tetapi larut dalam asam mineral, alkali, dan garam asam.
Logam cor dari timah putih memiliki struktur kristal dan permukaan yang
menunjukkan kristal dendritik ketika di cor dengan cetakan baja. Tabel 2.1
menunjukkan perbandingan properties yang dimiliki oleh timah putih dan timah
hitam.
Tabel 2.1 Properties Timah Putih dan Hitam
Sumber : Material Handbook, 15th edition
Gambar 2.11. Diagram fasa timah putih
Sumber : http://www.spaceflight.esa.int/
Diagram fasa merupakan panduan yang dapat digunakan untuk melihat
bagaimana perubahan fasa suatu material apabila berada pada suhu tertentu. Pada
Timah Putih Timah Hitam
Titik Lebur 232 °C 327 °C
Titik Didih 2270 °C 1749 °C
Densitas 7,3 gr/cm3 11,34 gr/cm
3
Kekuatan Tarik 28 MPa 18 MPa
15 Universitas Kristen Petra
Gambar 2.11 menunjukkan fasa timah putih (Sn) yang mulai memasuki fasa
liquid pada suhu 232°C. Berdasarkan diagram fasa ini, maka dapat ditentukan
suhu agar timah putih mampu dalam fasa cair, namun dalam pengaplikasiannya
suhu yang digunakan akan di tingkatkan untuk mencegah ada yang belum terlebur
sempurna apabila bukan timah putih murni.
2.7 Aplikasi Timah Putih
Timah putih menjadi salah satu logam yang sangat penting dalam industri
untuk coatings, alloys, compounds, serta digunakan untuk meningkatkan kualitas
logam untuk perkembangan teknologi. Walaupun jumlah penggunaan timah putih
tidak sebanyak logam lain namun peran timah putih sangat penting terhadap
kualitas produk yang dihasilkan. Timah putih banyak di campurkan dengan
berbagai material logam lain guna meningkatkan properties dari produk yang
dihasilkan.
Gambar 2.12. Penggunaan timah putih
Sumber : https://www.itri.co.uk/sustainability/
Survei penggunaan timah putih di dunia dapat dilihat pada Gambar 2.12.
Dari data diatas, penggunaan timah putih paling besar berada pada solder. Selain
solder timah putih juga digunakan pada kaleng minuman dan bungkus produk
16 Universitas Kristen Petra
makanan. Selain itu, penggunaan timah putih juga diaplikasikan sebagai paduan
pada holding paint, motor oil, polishes, gaskets, containers dan lain – lain. Salah
satu produk yang terbuat dari timah putih dapat dilihat pada Gambar 2.13 yaitu
berupa klem aki dan bearing.
Gambar 2.13. Klem aki dan bearing
Sumber : http://www.automarinecables.com
Timah putih memiliki koefisien friksi yang rendah sehingga di pilih
sebagai material yang digunakan dalam pembuatan bearing. Timah putih
sebenarnya merupakan logam yang lunak dan ketika digunakan untuk bearing
dengan di campur dengan copper dan antimony untuk meningkatkan hardness,
fatigue resistance dan tensile strength. Aluminium – tin bearing alloys mampu
menghasilkan keunggulan yang dibutuhkan untuk kelembutan (softness).