2 profil klaster (edited)-1.docx
TRANSCRIPT
2. PROFIL KLASTER
A. Pengertian Klaster
Menurut Michael Potter (2000) klaster didefinisikan sebagai suatu
kelompok perusahaan yang saling berhubungan, berdekatan secara
geografis dengan institusi-institusi yang terkait dalam suatu bidang
khusus karena kebersamaan dan saling melengkapi.
Klaster Industri merupakan kelompok industri spesifik yang
dihubungkan oleh jaringan mata rantai proses penciptaan/peningkatan
nilai tambah atau jaringan dari sehimpunan industri yang saling terkait
(industri inti/core industries yang menjadi fokus kegiatan bisnis, industri
pendukung/supporting industries, dan industri terkait/related industries).
Sejumlah unit usaha yang terinterkoneksi ini kemudian
menciptakan suatu jaringan organisasi, sumber daya (manusia dan
alam), serta jaringan aktivitas yang meliputi input, proses, distribusi dan
pemasaran dalam suatu aktivitas produksi. Jaringan-jaringan ini
kemudian disebut sebagai rantai nilai yang terbentuk atau sengaja
diciptakan untuk memberikan nilai tambah pada suatu material hingga
akhirnya dapat memberikan nilai yang lebih tinggi pada suatu produk.
Peran dari rantai nilai itu sendiri cukup membawa pengaruh besar
terhadap kondisi perkembangan klaster industri. Bagaimana nilai yang
dapat diciptakan oleh segenap pelaku usaha primer dan pendukung
dalam aktivitas produksi untuk menciptakan daya saing rantai nilai
tersebut. Kondisi daya saing rantai ini menjadi faktor kuat yang
mempengaruhi daya saing kolektif klaster terhadap iklim persaingan
klaster industri di Indonesia
B. Profil Klaster Industri Karet Sumatera Selatan
Provinsi Sumatera Selatan memiliki potensi pengembangan
perkebunan terutama karet, produksi karet mencapai 788.338 ton/tahun
dengan luas areal produksi perkebunan sebesar 1.011.124 hektar
(Sumsel Dalam Angka 2010).
Penguatan Peran Intermediasi Teknologi dalam Peningkatan Daya Saing Klaster Industri
13
Sumber: Paparan Kepala Balitbangnovda Provinsi Sumatera Selatan
Gambar 4. Hasil Identifikasi Klaster Industri Barang Karet
Klaster potensial yang ada di Sumatera Selatan yaitu klaster industri
karet yang terbagi atas :
B.1. Klaster Industri Inti (Crumb Rubber)
Crumb rubber adalah karet kering yang proses pengolahannya
melalui tahap peremahan. Bahan olahan karet sendiri adalah lateks
kebun yang didapat dari bidang sadap pohon karet. Bahan baku berasal
dari petani dalam bentuk BOKAR (Bahan Olah Karet Rakyat) yang
kemudian diolah menjadi produk setengah jadi berkualitas ekspor. Sudah
banyak yang dilakukan pihak perusahaan dalam rangka memacu roda
perekonomian masyarakat kota Palembang khususnya dan petani di
banyak kabupaten Propinsi Sumatera Selatan. Propinsi Sumatera Selatan
merupakan propinsi yang unggul dalam bidang industri karet remah,
karena produk karet merupakan komoditi ekspor unggulan yang
menjadikan propinsi ini sebagai penghasi karet yang terbesar. “Crumb
Rubber” yang dihasilkan diklasifikasikan dengan Standar Indonesia
Rubber (SIR) yaitu SIR 5, SIR 10, dan SIR 20, dan diekspor langsung ke
negara konsumen (Amerika, Eropa dan Asia).
Penguatan Peran Intermediasi Teknologi dalam Peningkatan Daya Saing Klaster Industri
14
Pabrik-pabrik yang mengekspor crumb rubber di Sumatera Selatan
mencapai 23 perusahaan (Gapkindo Sumsel, 2010). Daftar rincian nama
perusahaan crumb rubber di Sumatera Selatan disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Pabrik Pengekspor Crumb Rubber di Sumatera Selatan
No Nama Industri Jenis Produk
Kapasitas Produksi
(Ton/Tahun)Alamat
1 PT. Bintang Gasing Persada SIR 20 36.000 Jl. Kol Atmo No.442/A4
Palembang, Sumsel
2 PT. Kirana Musi Persada SIR 20 36.000 Jl. Mayor Salim Batu Bara No.5915 Palembang
3 PT. Badja Baru SIR 10; SIR 20 60.000
Jl. Pangeran Sidoing Kenayan No. 88 Kel. Karang Anyar, Palembang
4 PT. Lingga Djaja SIR 20 30.000 Jl. Masjid Lama 136 Palembang 30125
5 PT. Mardec Musi Lestari SIR 10; SIR 20 30.000
Jl. Raya Tanjung Api-api KM.10, Desa Gasing, Banyuasin
6 PT. Melania Indonesia RSS 2.300Jl. Palembang-Betung, KM 25 Desa Mainan Kec. Banyuasin III Palembang
7 PT. London Sumatera Indonesia
SIR 3 CV; SIR 3L; SIR 10, SIR29
43.200Tulung Gelam Estate, Desa Talang Jaya, Kec. Sungai Menang
8 PT. Felda Indo Rubber SIR 10; SIR 20 40.000 Desa Modong Kec.Tanah
Abang, Muara Enim, Sumsel
9 PT. Pancasamudera Simpati SIR 20 18.000
Jl. P. Sido Ing Kenayan No.1368 Karang Anyar, Gandus, Palembang 30148
10 PT. Pinago Utama SIR 5; SIR 10; SIR 20 36.000 Jl. Basuki Rahmad No. 23
Rt.15 Palembang
11 PT. Sri Trang Lingga Indonesia SIR 20 48.000
Jl. TPA 2, PO BOX 1230 Kel.Keramasan/Kertapati Palembang
12 PT. Aneka Bumi Pratama SIR 10; SIR 20 93.000
Jl. PT ABP (Pulokerto) Rt.04 Rw.02 Kec (Pulokerto) GAndus, Palembang 30149 Sumsel
13 PT. Bumi Beliti Abadi SIR 20 60.000Jl. Raya Muara Beliti-Muara Kelingi KM 3, Remayu, Kab.Musirawas, Sumsel
14 PT. Gadjah Ruku SIR 5; SIR 10; SIR 20 80.000
Jl. Lettu HA Karim Kadir Rt.08 Rw. 03, Kel. Karang Jaya, Kec. Gandus, Palembang
15 PT. Kirana Windu SIR 5; SIR 10; SIR 20 30.000
Jl. Lintas Sumatera KM.98 Pasar Sululangun Kec. Rawas Ulu – Musi Rawas, Sumsel
16 PT. Hok Tong SIR 10; SIR 20 65.000 Jl. Depaten Baru No. 47
Palembang 30142
17 PT. Muara Kelingi I / Havea SDRSEA 55.000 Jl. Jend. Sudirman 135/107
Palembang
18 PT. Muara Kelingi II / Havea II SEA 55.000 Jl. Jend. Sudirman 135/107
Palembang
19 PT. Multiagro Kencana Prima
SIR 10SIR 20 30.000 Jl. Veteran No. 335/76
Palembang
20 PT. Nibung Artha Mulia SIR 5; SIR 10; SIR 20 18.000
Jl. Poros Transigrasi Nibung KM.25, Ds. Jadi Mulia, Kec. Nibung, Kab. Musi Rawas Sumsel
21 PT. Prasidha Aneka Niaga SIR 5; SIR 10; SIR 20 60.000 Jl. Kl. Kemas Rindo Ogan Baru
22 PT. Remco - - Jl. Depaten Baru No.47
Penguatan Peran Intermediasi Teknologi dalam Peningkatan Daya Saing Klaster Industri
15
Palembang 30142
23 PT. Sunan Rubber SIR 20 60.000 Jl. Depaten Baru, 25-27 Ilir Palembang
Sumber : Gapkindo Sumsel (2010)
B.2. Industri Pendukung
B.2.a. Industri Asap Cair / Deorub
Selain crumb rubber, telah diproduksi juga deorub (deodorant
rubber) oleh PT Global Deorub Industry yang merupakan anak
perusahaan PT Badja Baru. Deorub digunakan sebagai bahan pembeku
karet yang merupakan hasil formulasi senyawa fenol yang dapat
mencegah dan mematikan pertumbuhan bakteri, serta berfungsi sebagai
antioksidan sehingga dapat mengatasi masalah bau penggumpalan pada
bokar. Deorub merupakan hasil kerjasama penelitian antara Balai
Penelitian Sembawa (pusat penelitian karet) dengan PT Badja Baru.
B.2.b. Industri Kompon Karet
Industri kompon cair yang sekarang ada di Sumsel adalah CV
Rambang Bumi Kramat. Kapasitas produksi yang dihasilkan berkisar 300
– 500 ton/bulan dengan harga jual lateks cair sebesar Rp. 28.750/kg.
Pemasaran dilakukan oleh CV AZA yang merupakan agen
tunggalnya. Lateks cair yang merupakan bahan baku industri tersebut
sebagian besar dipasarkan ke Jakarta, Bandung dan Bogor. Dari Jakarta
kemudian diekspor ke beberapa Negara seperti Amerika, Jerman, Taiwan
dan Korea. Kompon cair tersebut digunakan sebagai bahan baku
pembuatan kasur karet, sarung tangan, kondom, balon dan lainnya.
Sementara itu yang dikirimkan ke Bandung dan Bogor dipasarkan
kembali ke IKM yang berada di kota tersebut dan digunakan sebagai
bahan baku pembuatan bola, sepatu dan sandal.
B.3. Klaster Industri Terkait
B.3.a. Industri Vulkanisir Ban
Penguatan Peran Intermediasi Teknologi dalam Peningkatan Daya Saing Klaster Industri
16
Industri barang jadi karet yang paling banyak dijumpai adalah
vulkanisir ban. Berdasarkan data dari BPS tahun 2010 yang diolah
Kementerian Perindustrian, di Sumatera Selatan terdapat sekitar 21
industri vulkanisir ban. Bahan baku berupa kompon padat didatangkan
dari Medan dan Bogor. Untuk di daerah Palembang sendiri terdapat satu
distributor kompon padat yaitu CV Double Tiger. Pesanan umumnya
datang dari perusahaan perkebunan dan pertambangan yang memiliki
truk dalam jumlah besar. Perusahaan menggunakan jasa vulkanisir ban
karena dapat menghemat biaya penggantian ban. Vulkanisir di Sumsel
banyak terdapat di sepanjang jalur lintas timur Kayuagung – Tanjung
Raja – Indralaya – Palembang. Berikut ini nama-nama industri yang
bergerak dalam bidang vulkanisir ban di Sumsel :
Tabel 3. Industri Vulkanisir
No Nama Industri Kapasitas Produksi (ban/Tahun Alamat
1 Roda Mas 200 8 Ulu Jl. Silaberanti Gg.Satria No.205/91 SU I
2 Surya Indah 4.200 Jl. Kol. H. Burlian Km. 9 No. 18 Sukarame
3 PD Multi Ban 1.800 Jl. A. Yani 7 Ulu Darat No.29 SU I4 PD Sinar Mulia 1.800 Jl. Suka Baru No.480 Rt.08 Sako5 Ahyudin 2.500 Jl. A. Yani Km.5 Batu Raja Timur
6 Muncul Jaya 1.872 Jl. Lintas Sumatera Rt.03 Batu Raja Timur
7 KUB Mandiri 1.500 Muba8 Ramadhan 300 Ds. Tungkal Muara Enim9 Tunggal Jaya 300 Muara Enim
10 Prayitno 700 G. Tidar Sakti, Pg. Alam Utara11 H. Dencik Hasan 5.000 Mayian 48 Pagar Alam
12 Sumber Maju 7.500 Yos Sudarso No.20 Rt.01 Lubuk Linggau Timur
13 Buyung Basir 100.000 Taba Jemekah, Lubuk Linggau Timur
14 S. Rejeki Jaya 15.000 Jl. Yos Sudarso No.203 Lubuk Linggau Timur
15 Bangkit Jaya 100.000 Kota Baru Marta Pura, OKU Timur16 Mugi Jaya 1.800 Gumawang Belitung, OKU Timur
17 SBY aya 11.000 Kurungan Nyawa Buay Madang, OKU Timur
18 Jasa Sakti 30.000 Bedilan Belitang, OKU Timur
19 S.K.A 4.344 Jl. Lintas Timur Km.25/Timbangan, Ogan Ilir
20 Mulya Jaya 4.500 Jl. Lintas Timur Tanjung Raja Km.25 Ogan Ilir
21 PD Usaha Bersama 4.000 Jl. Lintas Timur Km.30, Ogan Ilir
B.3.b. Industri Cindera Mata Karet
Penguatan Peran Intermediasi Teknologi dalam Peningkatan Daya Saing Klaster Industri
17
Sentra kerajinan cinderamata berupa gantungan kunci berbahan
baku lateks cair terdapat di desa Talang Kedondong, Kecamatan
Sukarame, Palembang. Pada sentra tersebut terdapat enam kelompok
dengan total anggota sekitar 40 orang di bawah naungan Koperasi
Cinderamata Palembang.
Sentra ini merupakan implementasi Sistem Inovasi Daerah Sumsel hasil
kerjasama Kementerian Riset dan Teknologi dan Balitbangnovda Provinsi
Sumsel. Hingga saat ini masih terkendala dengan pemasaran dan bahan
baku lateks cair yang terbatas.
B.3.c. Industri Serabut Berkaret
Industri serabut berkaret atau yang sering disebut sebutret
berlokasi di Talang Jambe. Industri ini merupakan program Sistem Inovasi
Daerah yang pada tahun 2011 ini mengambil tematik serabut berkaret.
Produk yang dihasilkan antara lain kasur, bantal, topi, sandal, vas bunga
dan masih banyak lainnya.
C. Profil Klaster Industri Peternakan Nusa Tenggara Barat
Berangkat dari besarnya komitmen pemerintah pusat terhadap
pemenuhan kebutuhan daging sapi nasional, pemerintah provinsi Nusa
Tenggara Barat mencanangkan program terobosan “NTB Bumi Sejuta
Sapi”. Program terobosan ini dirumuskan sebagai upaya mengikhtiarkan
visi pemerintah daerah 2009-2013 “Mewujudkan Masyarakat Nusa
Tenggara Barat yang Beriman dan Berdaya Saing (Bersaing)”. Visi NTB
Bersaing tersebut dijabarkan dalam lima misi utama, yang salah satunya
menumbuhkan ekonomi pedesaan berbasis sumberdaya lokal dan
mengembangkan investasi dengan mengedepankan prinsip
pembangunan berkelanjutan.
Peternakan sapi merupakan sumberdaya lokal masyarakat NTB
yang tumbuh-kembang, membudaya, dan terbukti memberikan
sumbangan besar terhadap kesejahteraan masyarakat pedesaan dan
peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dibandingkan ternak
ruminansia lainnya, populasi sapi menempati urutan pertama, sekitar
empat kali lipat dibandingkan dengan populasi kerbau, enam kali lipat
Penguatan Peran Intermediasi Teknologi dalam Peningkatan Daya Saing Klaster Industri
18
dibanding populasi kuda, dan sekitar dua kali lipat dari populasi kambing.
Dengan demikian, peternakan sapi memiliki peran signifikan dan
strategis dalam membangun perekonomian masyarakat pedesaan di
NTB. Peternakan sapi rakyat, selain sebagai sumber pendapatan rumah
tangga peternak, juga berfungsi sebagai penghasil pupuk kandang guna
menjaga kesuburan lahan pertanian dan sebagai tabungan hidup yang
sewaktu-waktu mudah dijadikan uang.
Kontribusi NTB terhadap pengembangan sapi dan kebutuhan
daging secara nasional sangat signifikan. Setiap tahun, NTB dapat
mengirim sapi potong rata-rata 16.500 ekor dan sapi bibit 12.000 ekor ke
berbagai provinsi di Indonesia. Mengingat potensi yang dimilikinya,
dalam program nasional percepatan pencapaian swasembada daging
sapi (P2SDS), NTB ditetapkan sebagai salah satu provinsi sumber sapi
potong dan sapi bibit di antara 18 provinsi di Indonesia.
Berdasarkan potensi dan peluang pengembangan ternak sapi
secara nasional sebagaimana diuraikan di atas, pemerintah Provinsi NTB
bertekad dan berkomitmen membangun peternakan sapi yang tangguh
melalui program terobosan “NTB Bumi Sejuta Sapi” atau yang biasa
disingkat “NTB BSS”. Pencanangan program ini dilaksanakan 17
Desember 2008 bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Emas Ke-50 NTB.
Pencanangan tersebut disertai penandatanganan kesepakatan bersama
antara Dirjen Peternakan dengan Gubernur NTB.
C.1. Konsepsi Bumi Sejuta Sapi
Bumi Sejuta Sapi (BSS) merupakan wilayah pengembangan
peternakan sapi di NTB. Kata ‘sejuta’ tidak berarti angka mutlak, tetapi
lebih mencerminkan visi yang mengandung semangat untuk melakukan
percepatan peningkatan populasi secara optimal melalui inovasi
manajemen dan teknologi, kelembagaan, dan pembiayaan untuk
meningkatkan nilai tambah.
Program NTB BSS mengutamakan pemberdayaan sumberdaya
lokal sesuai daya dukung wilayah sehingga dapat memberikan kontribusi
signifikan terhadap peningkatan pendapatan masyarakat pedesaan.
Selain itu juga NTB BSS diharapkan mampu memberikan dukungan
Penguatan Peran Intermediasi Teknologi dalam Peningkatan Daya Saing Klaster Industri
19
berarti untuk memenuhi kebutuhan daging nasional, memenuhi
permintaan bibit sapi bagi daerah-daerah lain, dan memenuhi kebutuhan
konsumsi daging dalam daerah. NTB BSS diharapkan pula dapat menjadi
lokomotif penggerak atau pengungkit sektor ekonomi lainnya dalam
upaya meningkatkan perekonomian, kesehatan, kecerdasan dan
kesejahteraan masyarakat.
Program BSS terutama mengembangkan jenis Sapi Bali, disamping
jenis sapi lainnya seperti Hissar, Simental, Limousin, Brangus, Frisien
Holstein, Brahman, dan sapi hasil persilangan. Keberadaan NTB BSS tidak
dimaksudkan mengurangi atau mengabaikan pengembangan jenis ternak
lain seperti kerbau dan ternak ruminansia lainnya. Kenyataannya
masyarakat NTB masih menerima dan mengonsumsi daging kerbau
sebagai layaknya daging sapi. Pengembangan ternak kerbau dan ternak
lainnya tetap menjadi program reguler Dinas Peternakan dan Kesehatan
Hewan Provinsi NTB. Keberadaan program NTB BSS lebih dimaksudkan
untuk menjadikan ternak sapi sebagai ternak unggulan NTB karena
memiliki keunggulan kompetitif dibandingkan dengan jenis ternak
lainnya.
C.2. Pendekatan Program
Program NTB BSS merupakan program percepatan yang berangkat
dari program reguler sebagai pembanding. Program reguler merupakan
kegiatan pengembangan peternakan sapi yang dilaksanakan tanpa
program percepatan. Kebijakan-kebijakan yang digunakan dalam
program reguler diasumsikan seperti yang digunakan pada tahun-tahun
sebelumnya.
Berdasarkan kebijakan-kebijakan tersebut maka populasi,
produksi, dan produktivitas ternak sapi sampai tahun 2013 diprediksi
sebagaimana terlihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Prediksi Populasi Sapi Program Reguler
Penguatan Peran Intermediasi Teknologi dalam Peningkatan Daya Saing Klaster Industri
20
Prediksi di atas mengunakan beberapa indikator dan asumsi:
a. Populasi sapi 2008 sebanyak 546.114 ekor, dengan jumlah induk
37,36 persen dari seluruh populasi.
b. Angka kelahiran 66,7 persen dari jumlah induk sapi.
c. Angka kematian pedet 20 pesen dari jumlah ternak sapi yang lahir.
d. Jumlah panen pedet sebanyak 101.239 ekor.
e. Jumlah pemotongan betina produktif dan tidak tercatat sebesar 20
persen dari pemotongan tercatat.
f. Jumlah pemotongan dalam daerah (lokal) sebesar 41.575 ekor.
g. Jumlah sapi bibit dan potong yang keluar dari NTB sekitar 28.500
ekor.
Program percepatan merupakan program yang diarahkan pada
upaya-upaya percepatan pengembangan peternakan sapi untuk
mencapai populasi sapi optimal sesuai dengan daya dukung wilayah
dalam kurun waktu lima tahun (2009-2013). Dalam program percepatan
dilakukan introduksi kebijakan dan kegiatan yang mampu mempercepat
pengembangan populasi, produksi, dan produktivitas sapi sesuai dengan
sumberdaya yang tersedia.
Dalam program percepatan digunakan indikator dan asumsi-asumsi:
a. Peningkatan jumlah induk sapi sebesar 38-42 persen dari populasi
sapi.
b. Peningkatan kelahiran pedet sebesar 75-85 persen dari jumlah
induk sapi.
Penguatan Peran Intermediasi Teknologi dalam Peningkatan Daya Saing Klaster Industri
21
c. Penurunan angka kematian pedet sebanyak 18-10 persen dari
jumlah sapi yang lahir.
d. Penurunan pemotongan sapi betina produktif hingga 15-8 persen
dari jumlah pemotongan sapi tercatat.
e. Pertumbuhan populasi sapi sebesar 10-15 persen setiap tahun.
f. Pengendalian pengeluaran bibit yang semula sekitar 13 ribu ekor
menjadi 10 ribu ekor selama 2009-2011.
Berdasarkan indikator dan asumsi tersebut, maka prediksi
perkembangan populasi, produksi dan produktivitas sapi dapat
ditentukan sebagaimana tertuang dalam Tabel 5.
Tabel 5. Prediksi Populasi Sapi Program Percepatan
C.3. Peran Strategis
Peran strategis peternakan sapi dalam pembangunan daerah NTB:
• Sumber pendapatan sebagian besar masyarakat pedesaan.
• Tabungan masyarakat untuk membiayai kebutuhan rumah tangga,
seperti ongkos ibadah haji, biaya pendidikan, dan lain-lain.
• Penyediaan protein hewani yang sangat berguna bagi kesehatan,
kecerdasan, dan pencegahan kasus gizi buruk.
• Penyediaan lapangan kerja dan lapangan usaha masyarakat.
• Pelestarian lingkungan berupa sumber energi gas bio dan pupuk
organik.
• Menghasilkan bahan baku industri pengolahan/industri rakyat.
• Menyumbang PDRB sebesar 14,27 persen dari sektor pertanian
dan sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah.
Penguatan Peran Intermediasi Teknologi dalam Peningkatan Daya Saing Klaster Industri
22
Secara nasional NTB berperan strategis sebagai daerah sumber
ternak bibit dan ternak potong nasional. Kontribusi NTB dalam
penyediaan bibit sapi rata-rata mencapai 12 ribu ekor per tahun untuk 14
provinsi di Indonesia. Dukungan NTB terhadap Program Percepatan
Pencapaian Swasembada Daging Sapi (P2SDS) Nasional juga sangat
besar, mencapai 31.728 ekor/tahun. Secara historis Provinsi NTB
merupakan daerah pengekspor sapi dan kerbau ke Hongkong dan
Singapura. Hanya saja sejak 1978 kegiatan ekspor tersebut terhenti
karena adanya kebijakan nasional untuk pemenuhan deficit kebutuhan
daging dalam negeri. Sebagai daerah penghasil ternak sapi, NTB
memiliki dayasaing komparatif secara nasional (lihat Tabel 6.
Tabel 6. Keunggulan Komparatif Peternakan Sapi NTB
Keunggulan komparatif tersebut, 1) Populasi sapinya termasuk delapan
besar nasional. 2) Ternak sapi sebagai modal sosial turun temurun dan
melekat di masyarakat. 3) Kondisi geografi NTB cocok untuk
pengembangan peternakan sapi. 4) Tempat pemurnian Sapi Bali
nasional. 5) Pusat pengembangan Sapi Hissar. 6) Daya dukung SDA
tersedia cukup. 7) Bebas berbagai penyakit hewan menular strategis. 8)
NTB surplus sapi. 9) Sumber ternak bibit dan ternak potong nasional.
C.4. Sumberdaya Ternak Sapi
Penguatan Peran Intermediasi Teknologi dalam Peningkatan Daya Saing Klaster Industri
23
Di wilayah NTB berkembang dengan baik berbagai jenis sapi, mulai
dari sapi ras Bali, Hissar, Simental, Brangus, Limousin, Frisian Holstein
dan sapi-sapi hasil persilangan dari berbagai jenis sapi tersebut. Populasi
ternak sapi pada 2008 mencapai 546.114 ekor, dengan pertumbuhan
rata-rata sebesar 6,41 persen tiap tahun. Berdasarkan wilayah
penyebarannya, sebanyak 48 persen ternak sapi dipelihara peternak di
Pulau Lombok dan 52 persen dipelihara peternak di Pulau Sumbawa.
Potensi sumberdaya ternak sapi dapat dilihat dari perkembangan
populasinya di seluruh kabupaten/kota, seperti tercantum pada Tabel 7.
Tabel 7. Perkembangan Populasi Sapi 2004-2008
Ternak sapi memiliki keunggulan kompetitif sebagai lokomotif penggerak
ekonomi di NTB, berdasarkan:
• Pemeliharaan sapi telah membudaya sejak lama di tengah
masyarakat NTB.
• Populasinya terbanyak dibandingkan dengan ternak lainnya dan
tersebar hampir di seluruh desa di NTB.
• Mampu beradaptasi dengan baik pada lingkungan tropis lembab.
• Bebas dari beberapa penyakit hewan menular strategis.
• Pangsa pasar luar daerah sangat besar, permintaan mencapai
50.000 ekor/tahun.
• Tingkat kesuburan yang tinggi (Satu induk Satu tahun Satu anak).
Penguatan Peran Intermediasi Teknologi dalam Peningkatan Daya Saing Klaster Industri
24
• Menyerap tenaga kerja yang cukup besar, melibatkan 0,33 orang
tenaga kerja/ekor atau 181.856 orang secara keseluruhan.
• Sebagai tenaga kerja pengolah lahan pertanian.
• Kotoran sapi dapat diolah menjadi pupuk organik yang berguna
untuk pertanian dan dapat diolah sebagai sumber energi alternatif
(gas bio).
• Bahan baku usaha industri rumah tangga (produk olahan) seperti
kerajinan kulit, dendeng, abon, kerupuk kulit, dan lain-lain.
• Dapat berintegrasi dengan sub sektor dan sektor lainnya.
Populasi ternak pemakan hijauan (sapi, kerbau, kuda, kambing,
dan domba) di NTB pada 2008 dalam satuan ternak (ST) tergambar pada
tabel 8. Populasi ternak dalam satuan ternak sangat penting untuk
memperhitungkan daya dukung wilayah.
Tabel 8. Populasi Ternak NTB 2008 (Satuan Ternak)
Pada Tabel 8. terlihat populasi sapi terbanyak (61 persen) dibandingkan
dengan populasi ternak lainnya. Kondisi ini merupakan salah satu alasan
mengapa ternak sapi menjadi ternak unggulan di NTB.
C.5. Daya Dukung Wilayah
Sumber daya alam (SDA) NTB sangat mendukung untuk
pengembangan peternakan sapi. Berdasarkan potensi SDA tersebut, di
Penguatan Peran Intermediasi Teknologi dalam Peningkatan Daya Saing Klaster Industri
25
wilayah NTB diperkirakan dapat menampung ternak sekitar 2 (dua) juta
ekor atau setara dengan 1,5 juta satuan ternak (ST). Daya tampung
ternak tersebut diperhitungkan dari potensi pakan ternak yang dapat
dihasilkan dari berbagai lahan sumber pakan ternak. Jenis lahan yang
memiliki potensi sebagai sumber pakan ternak meliputi lahan sawah,
tegal, kebun, ladang, hutan negara, hutan rakyat, perkebunan, lahan
yang sementara tidak digunakan, dan padang penggembalaan. Jenis dan
luas penggunaan lahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 9 dan Tabel 10.
Tabel 9. Luas Lahan Pulau Lombok 2008
Pada Tabel 9. terlihat luas lahan yang memiliki potensi sebagai
sumber pakan ternak di Pulau Lombok mencapai 386.478 hektar, terdiri
dari sawah 123.787 hektar (32 persen) dan lahan kering 262.691 hektar
(68 persen). Lahan hutan negara yang tergolong lahan kering memiliki
luas yang dominan, mencapai 120.258 hektar atau 45 persen dari luas
lahan kering keseluruhan.
Dengan asumsi lahan sawah dan lahan kering selain hutan dapat
menampung ternak 1,5 ST per hektar dan lahan hutan 0,25 ST per
hektar, maka wilayah Pulau Lombok diperkirakan mampu menampung
ternak sebanyak 444.424,50 ST. Sementara, populasi ternak di P.
Lombok pada 2008 (lihat Tabel 3.3) baru 273.817 ST. Dengan demikian,
wilayah Pulau Lombok dengan tanpa introduksi teknologi pakan
Penguatan Peran Intermediasi Teknologi dalam Peningkatan Daya Saing Klaster Industri
26
sekalipun, masih dapat menampung ternak sapi sekitar 170.608 ST atau
setara dengan 221.790 ekor.
Tabel 10. Luas lahan Pulau Sumbawa 2008
Pada Tabel 10. terlihat luas lahan di Pulau Sumbawa yang memiliki
potensi sumber pakan ternak mencapai 1.303.678 hektar, terdiri sawah
104.769 hektar (8 persen) dan lahan kering 1.198.909 hektar (92
persen). Lahan hutan negara tercatat 732.219 hektar atau 61 persen dari
luas lahan kering keseluruhan. Berdasarkan luas lahan tersebut, wilayah
Pulau Sumbawa diperkirakan dapat menampung ternak 925.833 ST atau
setara dengan 1,2 juta ekor. Sementara populasi ternak pemakan hijauan
di Pulau Sumbawa pada 2008 baru tercatat 405.414 ST. Dengan
demikian wilayah Pulau Sumbawa masih dapat menampung ternak sapi
sekitar 520.419 ST atau setara dengan 676.545 ekor.
Berdasarkan data Tabel 9., Tabel 10., dan Tabel 11. menunjukkan
wilayah NTB memiliki daya tampung ternak sekitar 1.370.258 ST atau
setara dengan 1,8 juta ekor. Apabila populasi ternak selain sapi pada
tahun-tahun mendatang dipertahankan seperti pada 2008, maka potensi
pengembangan populasi sapi di NTB dapat mencapai 691.027 ST atau
setara dengan 898.334 ekor. Potensi pengembangan tersebut terbagi di
Penguatan Peran Intermediasi Teknologi dalam Peningkatan Daya Saing Klaster Industri
27
Pulau Lombok sebanyak 170.608 ST atau setara 221.790 ekor, dan di
Pulau Sumbawa 520.419 ST atau setara dengan 676.545 ekor.
Tabel 11. Daya Tampung Ternak Tiap Kabupaten/Kota
Ket: 1) Diasumsikan daya tampung ternak lahan sumber pakan adalah 1,5 ST perhektar
2) Satu satuan ternak (ST) setara sapi dewasa berbobot 300 kg.
Asumsi daya tampung yang digunakan dalam analisis ini
merupakan asumsi sebelum ada intervensi kebijakan pengembangan
pakan ternak. Dalam upaya pelaksanaan program NTB BSS, diperlukan
kegiatan optimalisasi lahan sumber pakan, misalnya dengan perbaikan
dan penataan padang penggembalaan, optimalisasi penggunaan lahan
kering sebagai sumber pakan ternak, pemanfaatan limbah tanaman,
penanaman rumput unggul yang terintegrasi dengan tanaman
perkebunan dan tanaman pangan, dan sebagainya. Upaya selanjutnya,
untuk meningkatkan penyediaan pakan ternak perlu dibangun pabrik
pakan ternak.
Penguatan Peran Intermediasi Teknologi dalam Peningkatan Daya Saing Klaster Industri
28
C.6. SDM dan Kelembagaan Peternak
Rumah tangga pemelihara ternak di NTB sangat besar yaitu
200.218 KK atau sekitar 23 persen dari total rumah tangga penduduk
NTB. Jumlah pemilikan ternak sapi berkisar 2–3 ekor tiap kepala keluarga
di Pulau Lombok dan lebih dari 5 ekor tiap kepala keluarga di Pulau
Sumbawa. Sebagian besar peternak sudah tergabung dalam lebih dari
1.000 kelompok tani ternak yang tersebar di wilayah NTB.
Sumberdaya aparatur pada Dinas Peternakan dan Kesehatan
Hewan Provinsi NTB berjumlah 237 orang, terdiri dari PNS 106 orang,
CPNS 81 orang, Pegawai Tidak Tetap (PTT) 47 orang, Honor Daerah 3
orang. Sumberdaya tenaga teknis di kabupaten/kota dan yang bertugas
di lapangan berjumlah 472 orang, terdiri dari Dokter Hewan 61 orang,
Sarjana Peternakan 141 orang, Paramedis dan Penyuluh Peternakan 137
orang dan Petugas Inseminator 133 orang. Untuk memperkuat posisi NTB
sebagai daerah utama sumber bibit sapi nasional, telah dirintis
pengembangan kawasan/sentra perbibitan sapi rakyat atau Village
Breeding Centre (VBC).
Data pada Tabel 12. memperlihatkan jumlah kelompok peternak
yang berada di kawasan produksi untuk program pemberdayaan dan
pembibitan sapi rakyat.
Tabel 12. Jumlah Kawasan Perbibitan Sapi Rakyat 2008
Pola pemeliharan ternak sapi di NTB berbeda antara Pulau Lombok dan
Pulau Sumbawa. Pemeliharaan sapi di Pulau Sumbawa dilaksanakan
secara ekstensif, ternak dilepas bebas di padang penggembalaan umum.
Sebaliknya di Pulau Lombok ternak dikelola secara semi-intensif dengan
sistem kandang kolektif yang jumlahnya mencapai 880 unit, dengan
kapasitas tampung 75–300 ekor/unit.
Penguatan Peran Intermediasi Teknologi dalam Peningkatan Daya Saing Klaster Industri
29
C.7. Dukungan sarana dan prasarana
Sarana dan prasarana peternakan yang dapat difungsikan sebagai
unit pelayanan, bimbingan dan pembinaan kepada masyarakat masih
terbatas. Tabel 13 memperlihatkan jumlah sarana dan prasarana
pelayanan peternakan di NTB.
Tabel 13. Sarana dan Prasarana Pelayanan Peternakan NTB 2008
C.8. Peluang pasar dan transaksi jual beli
Usaha ternak sapi memiliki peluang pasar yang luas dan
cenderung terus meningkat, baik pemasaran lokal maupun pemasaran
keluar NTB. Daerah pemasaran sapi bibit NTB meliputi 14 provinsi di
Indonesia (Kalsel, Kaltim, Kalteng, Kalbar, Sulsel, Sulbar, Maluku, Maluku
Utara, Jambi dan Papua). Kemudian untuk ternak potong pemasarannya
dikirim ke Kaltim, Kalsel, DKI dan Jawa Barat. Jumlah nilai trasaksi jual
beli ternak sapi di dalam dan diluar NTBmencapai 373,7 milyar/tahun
(Tabel 14.).
Penguatan Peran Intermediasi Teknologi dalam Peningkatan Daya Saing Klaster Industri
30
Tabel 14. Produksi Sapi Potong, Sapi Bibit dan Nilai Transaksi Pasar
C.9. Peluang Investasi
Berdasarkan hasil analisis terhadap usaha peternakan rakyat, nilai
investasi masyarakat di bidang peternakan sapi, mencakup ternak
beserta fasilitas perkandangannya dapat mencapai Rp 3,1 triliun. Nilai
investasi berupa ternak sebesar Rp 2,9 triliun, dan untuk kandang
sebesar Rp 261,8 juta, belum termasuk kebun dan lahan usaha
peternakan sapi yang dikelola masyarakat. Investasi usaha peternakan
di wilayah NTB sangat menjanjikan, hal ini ditunjang ketersedian
sumberdaya alam berupa populasi ternak, lahan dan pakan ternak, sosial
budaya masyarakat dan permintaan pasar yang terus meningkat baik
lokal maupun antar daerah.
Investasi di bidang peternakan sapi yang memiliki kelayakan
secara teknis (Tabel 15), ekonomis maupun kelayakan secara perbankan
dapat dilakukan dalam bentuk usaha:
• perbibitan sapi
• penggemukan sapi
• peternakan mini ranch
• peternakan hilir
Keempat usaha tersebut di atas dapat dilaksanakan secara terpadu
dengan sektor pertanian dalam arti luas (perkebunan, kehutanan,
tanaman pangan dan perindustrian).
Tabel 15. Kelayakan Usaha Perbibitan dan Penggemukan Sapi di NTB
Penguatan Peran Intermediasi Teknologi dalam Peningkatan Daya Saing Klaster Industri
31
Berdasarkan potensi lahan pengembangan peternakan yang masih
tersedia cukup luas (Tabel 16), maka usaha perbibitan lebih diarahkan di
Pulau Sumbawa melalui pola investasi mini ranch dan kemitraan usaha
perbibitan sapi berbasis padang penggembalaan.
Tabel 16. Potensi Padang Penggembalaan Ternak di Pulau Sumbawa
Sumber data: Statistik PLA Provinsi NTB
Untuk investasi usaha campuran penggemukan dan perbibitan sapi lebih
diarahkan di Pulau Lombok, mengingat luas lahan terbatas, sistem
pemeliharaan intensif dan kandang kolektif (Tabel 17).
Tabel 17. Potensi Pengembangan Investasi Kandang Kolektif
Sumber data: Disnak dan Fapet Unram 2007
Penguatan Peran Intermediasi Teknologi dalam Peningkatan Daya Saing Klaster Industri
32
Berdasarkan tabel tersebut di atas, sampai saat ini pemilikan ternak rata-
rata 2 ekor/KK, sedangkan kemampuan pemeliharaan 4-5 ekor di pulau
Lombok dan 9–10 ekor di pulau Sumbawa. Sehingga peluang
pengembangan melalui pola kemitraan kandang kolektif masih tersedia
sebesar 48.200 ekor.
Dalam rangka membuka peluang investasi usaha peternakan,
pada bagian hilir telah tersedia fasilitas dan dukungan sumberdaya
peternakan berupa penyediaan sapi potong 53 ribu ekor/ tahun,
mengurangi pengiriman sapi potong keluar daerah dalam bentuk ternak
hidup guna efisiensi dan penyediaan fasilitas Rumah Potong Hewan
Modern kapasitas masing-masing 50 ekor/hari (RPH Banyumulek-Lombok
Barat dan RPH Pototano-Sumbawa Barat).
C.10. Pola Pengembangan
Pola pengembangan peternakan sapi di NTB berupa Sistem
Kelompok Kandang Kolektif di Pulau Lombok dan Sistem Lar-So (Padang
Penggembalaan) di Pulau Sumbawa.
C.10.a. Sistem Kandang Kolektif
Sistem kandang kolektif merupakan pola pemeliharaan sapi dalam
suatu kandang bersama, yang dibangun secara gotong royong oleh para
peternak, untuk difungsikan sebagai wadah kerjasama peternak, unit
usaha agribisnis sapi dan fungsi lainnya. Penetapan pengembangan
peternakan dengan sistem ini dilandasi pertimbangan kultur
pemeliharaan sapi di Pulau Lombok yang lebih intensif, ternak dipelihara
dalam kandang siang malam, luas lahan relatif sempit dan jumlah
pemilikan ternak sapi relatif kecil antara 2-3 ekor. Pengembangan
kandang kolektif harus memenuhi ketentuan dan prinsip yaitu:
a. Ramah lingkungan, sehingga lokasinya berada di luar lingkungan
pemukiman.
b. Bangunan kandang berada pada tanah milik kelompok dan/atau
tanah pemerintah desa.
Penguatan Peran Intermediasi Teknologi dalam Peningkatan Daya Saing Klaster Industri
33
c. Dibangun secara gotong royong melibatkan partisipasi dan
swadaya para peternak.
d. Mempunyai ‘Awiq-Awiq’ yaitu tata tertib atau kesepakatan yang
wajib ditaati seluruh peternak dalam kelompok kandang kolektif.
e. Didayagunakan untuk berbagai kepentingan bersama dan
kerjasama bagi peternak anggota kelompok.
Adapun manfaat kandang kolektif:
1. Sebagai wadah kerjasama peternak dalam kelompok maupun
dengan kelompok atau lembaga lainnya.
2. Meningkatkan kemudahan bagi peternak untuk akses informasi
atau teknologi dari Dinas terkait untuk peningkatan produksi
ternak.
3. Membantu meningkatkan pengamanan kegiatan usaha dan sistim
keamanan lingkungan (Siskamling).
4. Memudahkan pengelolaan ternak seperti mengawinkan, seleksi,
pencatatan, pengamanan penyakit, dan lain-lain.
5. Menghemat pengeluaran usaha agribisnis peternakan, terutama
efisiensi penggunaan lahan dan biaya bangunan kandang.
6. Meningkatkan nilai tambah usaha peternakan karena kotoran
ternak dapat ditampung dalam suatu tempat untuk diolah menjadi
pupuk organik dan energi gas bio.
7. Memudahkan Dinas Peternakan dan dinas terkait dalam membina,
membimbing dan memberikan pelayanan kepada para petani
peternak.
C.10.b. Sistem Lar-So
Pola pengembangan peternakan sapi di Pulau Sumbawa dilakukan
dengan sistem padang penggembalaan ternak. Dalam bahasa Sumbawa
disebut Lar, dan dalam bahasa Mbojo dinamakan So. Sistem Lar-So
merupakan hamparan lahan luas yang digunakan masyarakat untuk
tempat menggembalakan ternak. Sistem Lar-So merupakan pola usaha
peternakan sapi yang menggunakan padang penggembalaan dengan
perhitungan daya tampung lahan sebagai basis kegiatan usaha produksi
sapi bibit dan sapi potong.
Penguatan Peran Intermediasi Teknologi dalam Peningkatan Daya Saing Klaster Industri
34
Penetapan pengembangan sistem Lar-So atas dasar pertimbangan
kultur pemeliharaan sapi yang bersifat ekstensif, ternak dipelihara lepas
di padang penggembalaan, ketersediaan lahan masih luas dan prospek
pengembangan sapi dapat ditingkatkan dengan skala usaha yang lebih
besar.
Pengembangan Sistem Lar-So harus memenuhi ketentuan dan
persyaratan:
• Merupakan lokasi pelepasan ternak oleh masyarakat
• Wilayah Lar-So ditetapkan dengan keputusan bupati
• Tanah masyarakat yang disepakati dijadikan wilayah Lar-So
• Memiliki kelembagaan kelompok yang beranggotakan para
peternak
• Merupakan kesepakatan bersama antar peternak dalam wilayah
Lar-So
• Secara teknis, sosial budaya dan ekonomis layak dijadikan Lar-So
Adapun manfaat sistem Lar-So:
• Meningkatkan kualitas dan kapasitas tampung ternak di padang
pengembalaan
• Mengembangkan peternakan terintegrasi dengan sektor terkait
• Memudahkan peternak dalam mengembalakan ternaknya
• Meningkatkan populasi dan produksi ternak
• Meningkatkan skala pemilikan dan pendapatan peternak
• Memudahkan Dinas Peternakan dan instansi terkait dalam
membina, membimbing dan memberikan pelayanan kepada para
petani peternak
Potensi padang penggembalan ternak di Pulau Sumbawa tersebar pada
hampir semua kecamatan dengan luas mencapai 68,5 ribu hektar.
Sedangkan potensi lahan kebun untuk penanaman Hijauan Pakan Ternak
(HMT) mencapai 17 ribu hektar.
Penguatan Peran Intermediasi Teknologi dalam Peningkatan Daya Saing Klaster Industri
35