2 agroinovasi pengomposan jerami · pengomposan secara aerob, lebih cepat dibanding anaerob dan...

15
Edisi 22-28 Mei 2013 No.3508 Tahun XLIII 2 AgroinovasI AgroinovasI Badan Litbang Pertanian Dahulu, pada waktu panen padi menggunakan ani-ani, maka yang dimaksud dengan jerami adalah limbah pertanian mulai dari bagian bawah tanaman padi sampai dengan tangkai malai. Namun saat ini setelah panen dengan digebot menggunakan arit bergerigi, maka yang dimaksud dengan jerami adalah bagian tanaman padi setelah dibabat dengan arit bergerigi setinggi 15-30 cm dari tanah sampai tangkai malai setelah gabahnya dirontok. Namun demikian, di negara-negara maju yang menggunakan mesin pemanen (harvester) jerami padi dibabat di atas tanah. Di Indonesia sebagai negara penghasil beras di Asia, sudah barang tentu jerami sebagai limbah pertanian keberadaannya sangat melimpah. Seperti kita ketahui padi dapat ditanam di lahan sawah dan lahan kering. Luas panen padi sawah di Indonesia adalah 10,79 juta ha, dengan rata-rata hasil 4,74 /ha dan luas panen padi gogo 1,12 juta ha dengan hasil rata-rata 2,58 t/ha (BPS, 2005). Dengan rasio berat gabah jerami 2/3 (Cosico, 1985), maka jerami yang diperoleh dari kedua lahan tersebut berjumlah 80 juta ton, suatu sumber bahan organik yang tidak sedikit jumlahnya. Jerami padi memiliki beberapa keunggulan dibandingkan limbah yang lain, misalnya ketebon jagung, daun ubi jalar, daun tebu, rending kacang- tanah, dan biomas kedelai (Raharjo et al., 1981). Dengan demikian jerami sangat baik digunakan sebagai sumber hara atau pupuk organik. Bahan organik ini merupakan penyangga dan berfungsi untuk memperbaiki sifat- sifat fisika, kimia dan biologi tanah. Tanah yang miskin bahan organik juga akan berkurang kemampuan daya menyangga pupuk anorganik sehingga efisiensi pemupukan menurun karena sebagian besar pupuk akan hilang melalui pencucian, fiksasi atau penguapan dan sebagai akibatnya produktivitas menurun. Mengingat harga pupuk buatan yang semakin mahal dan kerusakan tanah akibat diolah dan diusahakan secara terus menerus, maka peluang penggunaan bahan organik sangat besar, apalagi pada daerah-daerah tertentu bahan organik banyak tersedia. Manfaat penggunaan bahan organik untuk tanaman padi sawah telah banyak diteliti. Pemberian bahan organik pada lahan sawah dapat memperbaiki sifat fisik tanah seperti pembentukan agregat atau granulasi tanah serta meningkatkan PENGOMPOSAN JERAMI

Upload: lamnhi

Post on 06-Apr-2019

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Edisi 22-28 Mei 2013 No.3508 Tahun XLIII

2 AgroinovasIAgroinovasI

Badan Litbang Pertanian

Dahulu, pada waktu panen padi menggunakan ani-ani, maka yang dimaksud dengan jerami adalah limbah pertanian mulai dari bagian bawah tanaman padi sampai dengan tangkai malai. Namun saat ini setelah panen dengan digebot menggunakan arit bergerigi, maka yang dimaksud dengan jerami adalah bagian tanaman padi setelah dibabat dengan arit bergerigi setinggi 15-30 cm dari tanah sampai tangkai malai setelah gabahnya dirontok. Namun demikian, di negara-negara maju yang menggunakan mesin pemanen (harvester) jerami padi dibabat di atas tanah.

Di Indonesia sebagai negara penghasil beras di Asia, sudah barang tentu jerami sebagai limbah pertanian keberadaannya sangat melimpah. Seperti kita ketahui padi dapat ditanam di lahan sawah dan lahan kering. Luas panen padi sawah di Indonesia adalah 10,79 juta ha, dengan rata-rata hasil 4,74 /ha dan luas panen padi gogo 1,12 juta ha dengan hasil rata-rata 2,58 t/ha (BPS, 2005). Dengan rasio berat gabah jerami 2/3 (Cosico, 1985), maka jerami yang diperoleh dari kedua lahan tersebut berjumlah 80 juta ton, suatu sumber bahan organik yang tidak sedikit jumlahnya.

Jerami padi memiliki beberapa keunggulan dibandingkan limbah yang lain, misalnya ketebon jagung, daun ubi jalar, daun tebu, rending kacang-tanah, dan biomas kedelai (Raharjo et al., 1981). Dengan demikian jerami sangat baik digunakan sebagai sumber hara atau pupuk organik. Bahan organik ini merupakan penyangga dan berfungsi untuk memperbaiki sifat-sifat fisika, kimia dan biologi tanah. Tanah yang miskin bahan organik juga akan berkurang kemampuan daya menyangga pupuk anorganik sehingga efisiensi pemupukan menurun karena sebagian besar pupuk akan hilang melalui pencucian, fiksasi atau penguapan dan sebagai akibatnya produktivitas menurun.

Mengingat harga pupuk buatan yang semakin mahal dan kerusakan tanah akibat diolah dan diusahakan secara terus menerus, maka peluang penggunaan bahan organik sangat besar, apalagi pada daerah-daerah tertentu bahan organik banyak tersedia. Manfaat penggunaan bahan organik untuk tanaman padi sawah telah banyak diteliti. Pemberian bahan organik pada lahan sawah dapat memperbaiki sifat fisik tanah seperti pembentukan agregat atau granulasi tanah serta meningkatkan

PENGOMPOSAN JERAMI

3AgroinovasIAgroinovasI

Edisi 22-28 Mei 2013 No.3508 Tahun XLIIIBadan Litbang Pertanian

permiabilitas dan porositas tanah. Karena itu, peningkatan produktivitas padi perlu dipacu dengan penambahan bahan organik seperti kompos jerami maupun pupuk kandang, dan sisa panen lainnya; dengan maksud mempertahankan/meningkatkan kesuburan tanah.

Dalam suatu evaluasi litkaji Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), pemberian kompos jerami mempunyai pengaruh positif terhadap hasil, diperkirakan peningkatan hasil gabah sebesar 300 kg per ton kompos yang diberikan pada padi sawah irigasi. Di samping itu, petani-petani PTT yang memberikan bahan organik tanah dalam jumlah yang relatif tinggi dapat mengurangi pemakaian urea dan KCl dalam pemupukan (Makarim, 2005).

I. PROSES PENGOMPOSANSecara umum kandungan nutrisi hara dalam pupuk organik tergolong

rendah dan agak lambat tersedia, sehingga diperlukan dalam jumlah cukup banyak. Namun, pupuk organik yang telah dikomposkan dapat menyediakan hara dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan dalam bentuk segar, karena selama proses pengomposan telah terjadi proses dekomposisi yang dilakukan oleh beberapa macam mikroba, baik dalam kondisi aerob maupun anaerob.

Pengomposan merupakan proses biologis yang kecepatan prosesnya berbanding lurus dengan kecepatan aktivitas mikroba dalam mendekomposisi limbah organik. Sedangkan kecepatan aktivitas mikroba sangat tergantung pada faktor lingkungan yang mendukung kehidupannya. Jika kondisi lingkungan semakin mendekati kondisi optimum yang dibutuhkan oleh mikroba maka aktivitas mikroba semakin tinggi sehingga proses pengomposan semakin cepat. Begitu pula sebaliknya apabila kondisi lingkungan semakin jauh dari kondisi optimumnya maka kecepatan proses dekomposisi semakin lambat atau bahkan berhenti sama sekali. Oleh karena itu faktor lingkungan pendukung kehidupan mikroba merupakan kunci keberhasilan proses pengomposan. Faktor-faktor lingkungan yang dimasud antara lain: kadar air, areasi, pH dan rasio C/N.

Menurut Wahyono, Firman dan Frank (2003), kadar air yang ideal pada limbah padat yang dikomposkan adalah antara 50-60% dengan nilai optimum 55%. Pada proses pengomposan, rasio C/N yang ideal antara 20-40 dengan kondisi terbaik 30. Setelah proses pengomposan selesai, rasio

4 AgroinovasIAgroinovasI

Badan Litbang PertanianEdisi 22-28 Mei 2013 No.3508 Tahun XLIII

C/N antara 10-20. Derajat keasaman (pH) sebaiknya dipertahankan untuk tidak melewati 8,5. Namun demikian selama proses pengomposan akan menyebabkan tingkat kemasaman mendekati netral, yaitu antara pH 6-8,5.

Dalam proses pengomposan jerami peranan mikroba selulolitik dan lignolitik sangat penting, karena kedua mikroba tersebut memperoleh energi dan karbon dari proses perombakan bahan yang mengandung karbon. Proses pengomposan secara aerob, lebih cepat dibanding anaerob dan waktu yang diperlukan tergantung beberapa faktor, antara lain: ukuran partikel bahan kompos, C/N rasio bahan kompos, keberadaan udara (keadaan aerobik) dan kelembaban. Kompos yang sudah matang diindikasikan oleh suhu yang konstan, pH alkalis, C/N rasio <20, kapasitas tukar kation >60 me/100 g abu, dan laju respirasi <10 mg/g kompos. Sedangkan indikator yang dapat diamati secara langsung adalah jika berwarna coklat tua (gelap) dan tidak berbau busuk (berbau tanah).

5AgroinovasIAgroinovasI

Badan Litbang Pertanian Edisi 22-28 Mei 2013 No.3508 Tahun XLIII

Edisi 22-28 Mei 2013 No.3508 Tahun XLIII

6 AgroinovasIAgroinovasI

Badan Litbang Pertanian

II. CARA PEMBUATAN KOMPOSPembuatan kompos jerami dapat dilakukan dengan dua cara: (1)

ditumpuk dan dibalikkan dan (2) ditumpuk dengan ventilasi tanpa dibalikkan. Kemudian untuk mempercepat proses dekomposisinya dapat digunakan dekomposer.

2.1. Pengomposan Jerami dengan Metode Tumpukan dan Pembalikan Bahan yang berupa jerami (lebih yang masih segar atau jika sudah

kering dilembabkan sampai k.a ±60%) ditaruh dalam bedengan secara berlapis, tiap lapis dengan ketinggian ±30 cm, kemudian ditaburi dengan atau disiram larutan dekomposer. Tumpukan jerami dibuat berlapis-lapis hingga ketinggian 1-1,5 m.

Jerami dalam bedengan ditutup rapat dengan terpal dan setiap minggu dilakukan pembalikan. Apabila terlalu kering tumpukan jerami dibasahi dengan air. Jika memungkinkan lebih baik pembuatan kompos dilakukan

7AgroinovasIAgroinovasI

Edisi 22-28 Mei 2013 No.3508 Tahun XLIIIBadan Litbang Pertanian

8 AgroinovasIAgroinovasI

Badan Litbang PertanianEdisi 22-28 Mei 2013 No.3508 Tahun XLIII

di tempat yang teduh. Setelah 3 minggu, kompos biasanya sudah matang yang ditandai dengan temperatur sudah konstan 40-50oC, remah, warna coklat kehitaman.

Dari satu ton jerami diperoleh kompos jerami sejumlah ± 300 kg dengan kualitas sebagai berikut: C-organik >12%, C/N ratio 15-25%, kadar air 40-50%, dan warna coklat muda kehitaman.

2.2. Pengomposan Jerami dengan Metode Ventilasi tanpa Pembalikan Jerami segar digiling hingga berukuran 1-3 cm. Hasil gilingan jerami

ditumpuk dalam lapisan setinggi 20 cm, lebar 1 m dan panjang 1 m untuk membentuk tumpukan kompos 1 x 1 x 1 m3 (panjang x lebar x tinggi) dengan volume bahan kompos sekitar 1 m3 (~500 kg). Untuk menghindari jatuhnya tumpukan maka dibuatkan pagar bambu berukuran 1 x 1 x 1 m.

Teknik aerasi pengomposan dengan cara ventilasi dibuat dengan cara menempatkan sarang bambu di dasar tumpukan jerami (kurang lebih 30 cm di atas permukaan tanah) agar aerasi bisa terjadi dari bawah menuju ke atas tumpukan. Teknik aerasi yang lain dapat dilakukan dengan cara membuat lubang-lubang pada tumpukan jerami secara horizontal menggunakan bambu atau paralon yang diberi lubang-lubang ke berbagai arah tumpukan jerami.

Jerami ditumpuk secara longgar (jangan dipadatkan) untuk memperoleh aerasi yang baik. Kemudian tambahkan dekomposer secara merata di atas tumpukan tersebut. Setelah itu tumpukan lagi jerami yang telah digiling di atas tumpukan tersebut setinggi 20 cm, dan basahi dengan air secara merata serta diinokulasi dengan mikroba yang berasal dari dekomposer. Demikian seterusnya sampai hingga ketinggian tumpukan sekitar 1 m.

Kompos ditutup dengan lembaran terpal/plastik untuk mempertahankan kelembaban dan meminimalkan evaporasi maupun kehilangan amonia. Kompos akan meningkat panasnya dalam waktu 24-48 jam dan panas ini perlu dipertahankan pada suhu sekitar 50oC atau lebih dan tidak dilakukan pembalikan.

Kompos yang sudah matang ditandai dengan temperatur yang sudah konstan 40-50oC, remah dan berwarna coklat kehitaman. Kompos yang didapat sejumlah ± 500 kg, dengan kualitas sebagai berikut: C-organik >12%, C/N ratio 15-25%, kadar air 40-50%, warna coklat muda kehitaman.

9AgroinovasIAgroinovasI

Badan Litbang Pertanian Edisi 22-28 Mei 2013 No.3508 Tahun XLIII

Kompos Jerami

Edisi 22-28 Mei 2013 No.3508 Tahun XLIII

10 AgroinovasIAgroinovasI

Badan Litbang Pertanian

III. HASIL-HASIL PENELITIANBerdasarkan uji laboratorium, macam-macam mikroba seperti

Lactobaccilus sp dan Sacharomices sp. ditemukan pada dekomposer M-Bio; Rhizobium sp., Streptomycetes sp., Lactobacillus sp., dan Actinomycetes sp. ditemukan pada dekomposer M-Dec; Lactobacillus sp., Actinomycetes sp., Streptomycetes sp., Rhizobium sp., Acetobacter sp., dan Ectomycoriza, ditemukan pada dekomposer Superfarm; sedangkan Lactobacilles sp., Actinomycetes sp., Rhizobium sp., dan Streptomycetes sp. ditemukan pada dekomposer Super-Dec. Efektivitas mikroba-mikroba tersebut di atas dalam merombak jerami dinilai melalui pengamatan perubahan suhu, kondisi fisik dan C/N rasio yang dihasilkan.

3.1. Suhu Kompos Jerami Pengukuran suhu di dalam tumpukan jerami yang dilakukan secara

berkala mulai dari 1 hingga 4 minggu setelah pengomposan hasilnya disajikan pada Tabel 1.

11AgroinovasIAgroinovasI

Edisi 22-28 Mei 2013 No.3508 Tahun XLIIIBadan Litbang Pertanian

Tabel 1. Hasil pengamatan suhu kompos jerami pada berbagai perlakuan jenis dekomposer, Sukamandi 2009

NoMacam

Dekomposer

Pengamatan Suhu (oC)

Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV

DicacahTP

DicacahDicacah TP Dicacah Dicacah

TP Dicacah

DicacahTP

Dicacah

1 M- Bio 56,7 a 51,7 ab 50,3 a 47,3 a 41,0 a 40,4 a 38,4 ab 38,1 a

2 M- Dec 57,3 a 54,3 a 49,0 a 47,0 a 41,3 a 39,7 a 37,7 b 38,4 a

3 Superfarm. 57,0 a 53,7 a 49,0 a 47,0 a 41,3 a 40,2 a 39,0 a 38,5 a

4 Super- Dec 57,4 a 52,0 ab 50,7 a 48,0 a 40,7 a 39,5 a 39,4 a 40,1 a

5 Kontrol 57,7a 50,7 b 49,7 a 46,3 a 40,0 a 40,2 a 40,1 a 40,2 a

Rata-rata 57,2 A 52,5 B 49,7 A 47,1 B 40,9 A 40,0 A 38,9 A 39,1 A

Angka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT.

12 AgroinovasIAgroinovasI

Badan Litbang PertanianEdisi 22-28 Mei 2013 No.3508 Tahun XLIII

Suhu semakin menurun mengikuti lamanya waktu pengomposan, dari sekitar 57,2oC pada minggu pertama menjadi sekitar 39,1oC setelah minggu keempat. Suhu yang dicapai selama proses pengomposan dipengaruhi oleh penyiapan bahan dan macam dekomposer yang digunakan. Sampai minggu kedua, jerami yang dicacah ternyata menghasilkan suhu kompos lebih tinggi. Sementara pemberian M-Bio, M-Dec, dan Superfarm dekomposer yang pada minggu pertama mampu menghasilkan suhu kompos lebih tinggi dibanding kontrol, ternyata pada minggu keempat suhu yang terendah hanya pada perlakuan M-Dec dekomposer. Rendahnya suhu kompos dengan bahan dasar jerami yang dicacah ini mengindikasikan kematangan kompos yang dihasilkan. Di pihak lain, tingginya suhu pada awal pengomposan merupakan kondisi yang diharapkan untuk memacu segera berlangsungnya proses pengomposan.

Cara pengomposan nyata mempengaruhi suhu jerami pada minggu ketiga, di mana dengan metode penumpukan dan pembalikan suhu masih lebih tinggi dibanding metode ventilasi tanpa pembalikan. Hal ini mengindikasikan bahwa proses pengomposan dapat dipercepat dengan memberikan cukup udara ke dalam tumpukan kompos jerami melalui ventilasi (Tabel 2).

Tabel 2. Hasil pengamatan suhu kompos jerami dengan perlakuan cara pengomposan, Sukamandi 2010

Cara pengomposanSuhu kompos pada hari setelah pengomposan ke

1 4 7 10 13 16 19 22

Penumpukan dan pembalikan

46.8 a 55.0 a 55.0 a 48.3 a 44.8 a 42.5 a 38.3 a 37.3 a

Ventilasi tanpa pembalikan

45.0 a 49.5 a 52.3 a 46.3 a 44.0 a 39.3 a 32.5 a 34.3 b

Angka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT.

3.2. Kondisi Fisik Kompos Jerami Hasil pengamatan perubahan fisik jerami setelah pengomposan

dipengaruhi oleh kondisi bahan kompos dan penggunaan bahan pelapuk (dekomposer) yang digunakan. Perubahan fisik jerami meskipun sudah mulai tampak sejak 1 minggu pengomposan, tetapi baru pada 2 minggu

13AgroinovasIAgroinovasI

Badan Litbang Pertanian Edisi 22-28 Mei 2013 No.3508 Tahun XLIII

berikutnya perubahan fisik tersebut terjadi pada semua perlakuan. Tingkat perubahan fisik jerami akibat dari penggunaan dekomposer secara fisual disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Kondisi fisik jerami setelah diberi berbagai perlakuan dekomposer selama proses pengomposan, Sukamandi 2009

PerlakuanNilai skoring (minggu ke)

1 2 3 4

Kondisi bahan Jerami tanpa dicacah�� 0 0 1 1Jerami dicacah�� 1 1 2 3

Perlakuan Dekomposer M-Bio�� 0 0 1 2M-Dec�� 0 0 1 2Superfarm�� 0 1 1 2Super-Dec�� 0 0 1 1Kontrol�� 0 0 0 1

Skor 0 = belum terjadi perubahan fisik, 1= fisik agak lapuk, 2= fisik lapuk, dan 3= fisik sangat lapuk.

Edisi 22-28 Mei 2013 No.3508 Tahun XLIII

14 AgroinovasIAgroinovasI

Badan Litbang Pertanian

Selain karena penggunaan dekomposer, perubahan fisik jerami secara visual selama proses pengomposan juga dipengaruhi oleh cara pengomposan. Pemberian aerasi selama proses pengomposan diikuti oleh percepatan perubahan fisik menjadi lebih cepat melapuk (Tabel 4).Tabel 4. Kondisi fisik jerami dengan perlakuan cara pengomposan, Sukamandi 2010

Cara pengomposanNilai skoring pada hari setelah pengomposan ke

1 4 7 10 13 16 19 22

Penumpukan dan pembalikan *) 0 0 0 0 0 0 1 1

Ventilasi tanpa pembalikan **) 0 0 1 1 1 2 3 3

*) jerami utuh dan **) jerami dicacah.

3.3. C/N Rasio Kompos Jerami Jerami segar pada umumnya mempunyai nilai C/N rasio yang cukup

tinggi, kemudian menurun seiring dengan tingkat pelapukannya. Oleh sebab itu tingkat C/N rasio sering dipergunakan untuk penilaian kematangan kompos yang dihasilkan selama proses pelapukan. Hasil pengomposan jerami menunjukkan bahwa semakin lama waktu pengomposan C/N rasio semakin rendah. Jerami segar yang mula-mula mempunyai C/N rasio sekitar 51 setelah seminggu dikomposkan C/N rasio turun, dengan penurunan tingkat C/N rasio terendah sekitar 30. Namun demikian, pada kondisi ini kompos belum dapat dikatakan matang, sebab C/N rasionya belum mencapai �25 (Permentan No. 02/2006). Kematangan kompos baru dicapai pada minggu ke-3, yaitu pada kompos jerami yang dicacah dan dalam proses pengomposannya diberikan dekomposer M-Bio, M-Dec atau Super-Dec. Tetapi untuk jerami yang utuh tanpa dicacah kematangan kompos baru dicapai setelah 4 minggu diperam, walaupun dalam pengomposannya diberi dekomposer. Sementara pada kompos jerami yang tidak dicacah dan tidak diberi dekomposer pada minggu ke-4 belum juga matang (Tabel 5).

Ternyata kematangan kompos juga dapat dipercepat dengan membuat ventilasi tempat pengomposan (Tabel 6). Udara bagian dalam dan di luar tumpukan kompos dihubungkan dengan paralon atau dibuat panggung. Melalui cara ini pada hari ke-19 kompos jerami sudah matang, terutama

15AgroinovasIAgroinovasI

Edisi 22-28 Mei 2013 No.3508 Tahun XLIIIBadan Litbang Pertanian

yang jeraminya dicacah dan diberikan dekomposer. Pengaruh kedua metode ini nyata terlihat dengan nilai C/N ratio yang lebih rendah dibanding metode konvensional.Tabel 5. Hasil pengamatan C/N rasio kompos jerami pada berbagai perlakuan dekomposer, Sukamandi 2009

No.Macam

Dekomposer

Pengamatan C/N Rasio

Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV

DicacahTP

DicacahDicacah

TP Dicacah

DicacahTP

DicacahDicacah

TP Dicacah

1 M-Bio 32,27 45,45 26,66 37,82 23,14 30,43 18,76 22,62

2 M-Dec 32,48 45,55 27,31 35,74 21,70 28,69 18,54 23,51

3 Superfarm 29,49 33,39 26,11 30,41 25,79 29,69 19,70 24,49

4 Super-Dec 31,01 33,79 29,19 30,28 22,99 30,33 19,42 23,91

5 Kontrol 36,23 49,25 32,49 45,75 26,93 36,42 24,78 26,24

Jerami segar : 50,93.

Tabel 6. Hasil pengamatan C/N rasio kompos jerami dengan perlakuan cara pengomposan, Sukamandi 2010CarapengomposanKondisi bahan

Hari pengomposan ke

1 4 7 10 13 16 19 22

Penumpukan dan pembalikan

45.01 a 43.74 a 42.35 a 39.94 a 36.75 a 29.69 a 27.84 a 23.31 a

Ventilasi tanpa pembalikan

42.14 a 41.46 a 41.15 a 39.15 a 34.88 a 27.22 b 25.40 b 21.04 a

Angka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT.

Menurut banyak pihak, pengembalian jerami dalam bentuk kompos ke lahan pertanian perlu mendapat perhatian. Hal ini terkait dengan kandungan hara yang relatif tinggi dalam jerami. Menurut Dobermann dan Fairhurst (2000) jerami kering mengandung sekitar 0,5-0,8% N; 0,007-0,12% P; 1,2-1,7% K; 0,05-0,10% S dan 4-7% Si. Oleh karena itu apabila jerami tidak

16 AgroinovasIAgroinovasI

Badan Litbang PertanianEdisi 22-28 Mei 2013 No.3508 Tahun XLIII

5. Potong bagian bawah buku sehingga menjadi sebuah buku

Cover

CoverCover

CoverCover

Petunjuk Cara Melipat:

1. Ambil dua Lembar halaman 13,14, 19 dan 20

2. Lipat sehingga cover buku (halaman warna) ada di depan.

3. Lipat lagi sehingga dua melintang ke dalam kembali

4. Lipat dua membujur ke dalam sehingga cover buku ada di depan

dikembalikan, maka berdasarkan perhitungan akan terjadi pengurangan hara sebesar 5-8 kg N/ha; 0,7-1,2 kg P/ha; 12-17 kg K/ha; 0,5-1,0 kg S/ha dan 40-70 kg Si/ha untuk setiap pengambilan 1 ton jerami dari lahan. (Dari berbagai sumber)

Sarlan Adulrachman dan Made Jana MejayaBALAI BESAR PENELITIAN TANAMAN PADI

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TANAMAN PANGANBADAN LITBANG PERTANIAN