19838

Upload: caksin

Post on 02-Nov-2015

229 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

aku

TRANSCRIPT

19838 Selasa, 15 Juni 2010KONTRA TERORISME ALA PESANTREN Oleh: Imam Yahya, Dr. M.Ag.(Dosen Fakultas Syariah dan Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang. Makalah disampaikan pada acara Halaqoh: Pesantren Kontra Terorisme, Rabu 2 Juni 2010 di Semarang.)

Banyak di antara umat Islam yang tidak sepakat dengan terorisme dikaitkan dengan Pesantren, apalagi kalangan pesantren salaf yang selama ini mengembangkan ilmu-ilmu keIslaman murni di kalangan nahdliyyin. Namun fakta membuktikan bahwa terorisme yang berkembang selam ini di pesantren tidak lepas dari sistem pendidikan di pesantren yang tersebar di seantero negeri tercinta ini.Sebut saja misalnya trio bom Bali (Amrozi, Ali Ghufron dan Imam Samudera) yang telah dieksekusi di penghujung tahun 2009 lalu, yang pernah mengaji di pesantren Al-Islam Ngruki Sukoharjo Solo. Dua di antaramya Amrozi dan Ali Ghufron betul-betul tercatat sebagai alumni Pondok Pesantren tersebut.Fakta inilah yang pada akhirnya menjadikan wacana Pesantren bertautan dengan wacana terorisme yang banyak dikaji belakangan ini. Data penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian IAIN Walisongo Semaranga tahun 2008, ada tiga model pesantren yang tersebar di Jawa Tengah; ada pesantren tradisional, modern dan pesantren salafi.Tentu saja, serangkaian tragedi pemboman di Bali ini merupakan pukulan yang dahsyat bagi bangsa Indonesia. Mungkin kalau tidak ada tragedi Bali dan rentetan pemboman lainnya, isu terorisme di Indonesia akan selalu diabaikan dan UU Terorisme tidak pernah dilegalkan. UU Terorisme selama ini selalu menjadi perdebatan di kalangan masyarakat karena dianggap akan mengembalikan kekuasaan militer dan mengancam kebebasan yang selama ini baru dinikmati masyarakat Indonesia. Peraturan ini dikhawatirkan akan merenggut demokrasi yang baru dibangun dan coba ditegakkan di bumi Indonesia tercinta ini. Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim terbanyak di dunia mempunyai peran dan posisi yang sangat penting dalam rangka memberantas terorisme dengan cara menegakkan dan menjalankan kehidupan demokrasi dalam sistem negaranya. Peran ini bisa menjadi model dan rujukan negara-negara Islam yang kebanyakan sangat minim dan rendah responnya terhadap upaya penanganan terorisme.

A. Konsep Dasar Terorisme1. Pengertian TerorismeBelum ada pengertian final tentang terorisme, baik di kalangan muslim maupun bangsa barat pada umumnya. Dalam penjelasan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dinyatakan bahwa terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara, karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan sehingga hak asasi orang banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi. Untuk itulah maka muncul Undang-Undang atau Perarturan Pemerintah Pengganti UU yang secara tegas menangani terorisme dengan memasukkan ke dalam tindak pidana khusus, yakni tindak pidana terorisme. Tentu pemerintah Indonesia tidak sendiri, karena Perpu ini merupakan rativikasi peraturan sejenis yang berlaku di tingkat internasional.Menurut Departemen Pertahanan USA, terorisme adalah perbuatan melawan hukum atau tindakan yang mengandung ancamana dengan kekerasan dan paksaan terhadap individu atau hak milik untuk memaksa atau mengintimidasi pemerintah atau masyarakat dengan tujuan politik, agama dan idiologi. Atau bisa diartikan sebagai tindakan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang berlatar belakang politik atau kekuasaan dalam suatu pemerintahan negara.Bahkan belakangan terorisme diartikan dengan sangat luas dengan segala tindakan atau ucapan yang membuat orang lain takut. Wal hasil terorisme menjadi sebuah kata yang sangat menakutkan bagi siapa saja baik yang melakukan maupun orang yang mengalami tindakan terorisme. Gambaran ini menjadikan negara dalam hal ini pihak yang mempunyai kekuasaan pertahanan dan keamanan yakni militer merasa sangat diperlukan dalam upaya menangani berbagai upaya terorisme.Dalam perspektif Islam garis keras, terorisme diartikan sebagai (irhab), menggetarkan musuh. Untuk itu mereka mengartikan terorisme menjadi bagian dari jihad fi sabilillah, menuju ridho Allah SWT. Tidak mengagetkan manakala sebagian para pelaku teroris di Indonesia menganggap dirinya sebagai mujahid fi sabilillah. Namun sebenarnya terorisme bukanlah ajaran Islam. Meski banyak dari umatnya melakukan teror, tetapi tidak bisa dikatakan bahwa Islam adalah sumber terorisme. Al-Quran, sebagai sumber paling utama dalam Islam, sangat jelas sekali tidak pernah mengajarkan terror. Bahkan ayat-ayat perang yang ada dalam Al-Quran mempunyai visi mengakhiri perang.Ummat Islam harus memahami ajarannya dengan baik. Hal yang tidak sejalan dengan Islam harus dijauhi, misalnya kekerasan. Kekerasan tidak pernah diabsahkan oleh agama Islam. Kekerasan hanya dibolehkan karena unsur defensif. Pemahaman agama harus lebih serius dan perlu ada penelusuran yang lebih sejalan dengan nilai-nilai universal, yaitu kemaslahatan, keadilan, kesetaraan, kesejahteraan dan sejenisnya .Beberapa istilah yang dipakai untuk membahasakan kekerasan yang bersifat dovensif, diantaranya; al-Jihd, al-Qitl, al-Harb, Satiyyah, Ghazwah, al-Askariyyah, al-Jaisy, al-Jund, Para penulis menggunakan pilihan kata-kata ini sesuai dengan tujuan penulisan masing-masing.Secara umum penggunaan istilah itu dapat dikategorisasikan menjadi dua rumpun; pertama untuk menunjukkan aktifitas yang dilakukan oleh kelompok tentara dalam konteks Islam; seperti al-Jihd, al-Qitl, al-Harb, Satiyyah, dan Ghazwah. Beberapa kata ini memberi banyak inspirasi perjuangan dalam konteks mempertahankan Islam dari berbagai musuh-musuh di luar Islam. Sementara rumpun kedua tetap menunjukkan pada eksistensi lembaga yang mengelola kekerasan. Istilah yang dipakai antara lain; al-Jaisy, al-Askariyyah, dan al-Jund. Penggunaan istilah ini sesuai dengan visi yang dikembangkan yakni visi kebangsaan dan kenegaraan.Istilah teroris oleh para ahli kontra terorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya ("teroris") layak m+endapatkan pembalasan yang kejam.Para penulis barat menyatakan bahwa terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Maka menurut pandangan Samuel P Huntiington, pengarang The Clash of Civilization, terorisme merupakan permasalahan dua kelompok yang saling memiliki kepentingan. Terorisme itu berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan karena terorisme bisa dilakukan secara terorganisir dan dalam waktu lama. Dalam perspektif perang biasanya perang bersifat tiba-tiba dan targenya adalah militer. Sedangkan aksi terorisme dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelaku teroris, layak mendapatkan pembalasan yang kejam.Meski tidak ada kesepakatan tentang definisi terorisme, tetapi terorisme bisa dirasakan oleh setiap orang yang mengalaminya. Sumua yakin terorisme menakutkan dan perlu dihilangkan. Namun persoalannya adalah mengapa teorisme terjadi di tengah masyarakat muslim Indonesia yang secara umum bernaung ke dalam dua ormas besar keagamaan yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.2. Terorisme dan Pengaruh GlobalUntuk itu setidaknya saya mencatat ada lima faktor dari terorisme, yaitu: Pertama; faktor modernisasi, globalisasi, dan perubahan masyarakat yang mulai mengenal teknologi, sehingga mempercepat tingkat pengetahuan masyarakat. Kedua; budaya kekeraan. Di mana masyarakat semakin terbudayakan dengan kekerasan dan kriminalitas, misalnya dengan tayangan di televisi dan film-film yang bernuansa kekerasan. Ketiga; faktor pemiskinan, penindasan dan peminggiran, yang memunculkan reaksi dengan tindakan terror. Jika kita melihat pelaku bom bunuh diri selama ini adalah para kuli bangunan dan sejenisnya. Keempat; lemahnya penegakan hukum di negeri ini. Dr. Azahari yang bisa leluasa melakukan teror di Indonesia adalah bukti lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Kelima; pemahaman keagamaan yang sempit. Mereka memahami agama hanya dari sudut ajaran kematian dan kemartiran. Hal ini adalah kedangkalan teologis karena agama tidak hanya mengajarkan kematian, tetapi juga hidup secara damai.

B. KONSEP UMUM TENTANG PESANTREN

1) Unsur PesantrenPondok Pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan yang asli ditemukan dan dikembangkan di Indonesia. Kata pondok berarti tempat yang dipakai untuk makan dan istirahat. Istilah pondok dalam konteks dunia pesantren berasal dari pengertian asrama-asrama bagi para santri. Perkataan pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan pe di depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri Maka pondok pesantren adalah asrama tempat tinggal para santri. Sekarang di Indonesia ada ribuan lembaga pendidikan Islam baik yang formal maupun non-formal. Pondok pesantren di Jawa itu terdiri dari beberapa macam, baik dilihat dari modern vzs tradisional. Dari segi ilmu yang diajarkan, jumlah santri, pola kepemimpinan atau perkembangan ilmu teknologi. Pesantren semakin bervariasi. Akan tetapi yang lebih utama adalah Unsur-unsur pokok pesantren, yaitu kyai. masjid, santri, pondok dan kitab Islam klasik (atau kitab kuning), adalah elemen unik yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya.1. Kyai: yakni sosok yang paling berperan dalam sebuah pondok pesantren. Peranan ini bisa kerena melanjutkan para pendahulunya, maupun karena membuka pondok sendiri. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, faktor kyai sangat substansial dalam rangka pendirian, pembangunan, dan perkembangan sebuah pesantren. Secara etimologis Kyai berasal dari bahawa jawa, bukan bahasa Arab. Dalam bahasa Arab setara dengan Syaikh, yakni orang-orang yang dianggap mulia dan alim. Namun dalam tradisi Jawa, kyai tidak selamanya identi dengan seorang ulama besar. Karena di kalangan kraton, kyai juga diberikan kepada benda-benda antik dan keramat, peninggalan masa lampau, atau bisa juga dinerikan kepada orang-orang yang secara fisik sudah tua. Sebut saja misalnmya di Keraton Surakarta ada Kyai Slamet, yakni kerbau bule yang mempunyai nilai keunikan. Ada juga nama Kyai Mojo, sebuah pedang yang dinilai punyai kramat. b.Masjid: masjid identik dengan tempat shalkat berjamaah, khususnya shalat jumat. Biasanya masjid itu otomatis bisa diselenggarakan jumatan, sedangkan masjid yang agak kecil yang tidak dipakai untuk shalat jumat disebut denbgan mushalla atau langgar. Di peantren masjid tidak hanya digunakan untuk shalat berjamaah, tetapi masjid dijadikan sebagai pusat kegiatan seperti mengaji, musyawarah, studi club dan sebagainya. Meski demikian masjid menjadi syararat bverdiorinya sebuah pesantren. .c. Santri:Santri adalah panggilan bagi murid-murid yang ada di pesantren. Sanbtri di sepantren mempunyai banyak perbedaan dengan siswz ysng dearda di sekolahan. Santri biasanya sangat patu kepada gurunya, tidak saja dalam persoalan pelajaran, tetapi juga berkaitan dengan perilaku keseharian. d.Pondok: Definisi singkat istilah pondok adalah tempat sederhana yang merupakan tempat tinggal kyai bersama para santrinya (Hasbullah, 1999:142). Di Jawa, besarnya pondok tergantung pada jumlah santrinya. Adanya pondok yang sangat kecil dengan jumlah santri kurang dari seratus sampai pondok yang memiliki tanah yang luas dengan jumlah santri lebih dari tiga ribu. Tanpa memperhatikan berapa jumlah santri, asrama santri wanita selalu dipisahkan dengan asrama santri laki-laki.e.Kitab-Kitab Islam Klasik:Kitab-kitan klasik meruap[akan Kitab-kitab Islam klasik dikarang para ulama terdahulu dan termasuk pelajaran mengenai macam-macam ilmu pengetahuan agam Islam dan Bahasa Arab. Dalam kalangan pesantren, kitab-kitab Islam klasik sering disebut kitab kuning oleh karena warna kertas edisi-edisi kitab kebanyakan berwarna kuning .Pada mulanya kitab-kitab itu berwarna kuning sebagai ciri al-kutub al-shara, namun karean perkembangan waktu kitab tidak harus berwarna kuning tetapi juga bisa putih sebagimana penerbit melakukan sekarang ini. Kitab ini biasanya gundul tanpa harakat. Di samping lima unsur di atas, persoalan lain yang perlu mendapatperhatian adalah kurikulum pesantren yang semakin hari semakin menantang. Tapi yang kita harapkan sebenarnya bukan hanya perbaikan kurikulum, tapi koreksi dan kritik ke dalam pesantren dan masayarakat. Apakah pola keberagamaan yang kita ajarkan selama ini memang sudah tepat. Jadi, misi ini tidak hanya harus dilakukan pesantren, sebab pesantren hanyalah salah satu institusi pendidikan. Soal corak keberagamaan kita adalah tanggung jawab semua kaum muslim. Jadi pertanyaannya bisa diperluas: apakah perilaku kita sebagai muslim sudah mencerminkan ajaran-ajaran dan sistem nilai agama yang menghendaki toleransi dan kedamaian?Kurikulum pesantren memang masih perlu dipertanyakan. Tapi itu hanyalah salah satu aspek perubahan dalam masyarakat. Yang lebih penting adalah implimentasi perubahan mental attitude atau sikap mental, dan paradigma keberagamaan kita semua. Kita diharapkan kembali ke corak Islam ala Indonesia yang dikenal menghargai keragaman. Sekarang, berbeda pendapat soal agama saja sudah dianggap kafir. Dan sayangnya, ada lembaga keagamaan yang justru memotori pengkafiran itu.

2. Perkembangan Pesantren di IndonesiaDalam perjalanan sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pondok Pesantren tercatat cukup mewarnai dalam ikut membentuk mental bangsa. Sejak sebelum era kemerdekaan, pesantren ikut berperan aktif terutama sebagai basis pergerakan santri pejuang. Telah banyak putera pesantren yang gugur di medan perjuangan demi membela dan mempertahankan kemerdekaan. Di samping itu, pesantren juga berfungsi sebagai cagar budaya dalam gejolak antara kebudayaan asli dan dan kebudayaan barat.Sampai pada perkembangan berikutnya, pesantren masih tetap menunjukkan fungsinya sebagai lembaga pengajaran dan pendidikan, lembaga dakwah dan pengkaderan ulama', sebagai lembaga pelayanan, pengarahan, bimbingan dan pengembangan kemasyarakatan, serta sebagai lembaga perjuangan. Dalam pengelolaannya, searah perkembangan zaman, Pondok Pesantren dituntut untuk selalu dinamis dan mengikuti perkembangan, sehingga pada taraf berikutnya timbul pembagian tugas dan peran antara beberapa Pondok Pesantren secara fungsional sesuai dengan visi dan misi pengembangannya.Selama ini pesantren merupakan sebuah institusi pendidikan keagamaan dan transformasi sosial yang dikenal sangat kukuh menjaga nilai-nilai keragaman, perbedaan, serta sangat akomodatif terhadap budaya lokal. Tesis Gus Dur yang menyatakan bahwa pesantren sebagai sub-kultur masyarakat tetaplah relevan, meski banyak juga pesantren yang berguguran tidak bisa bertahan sebagai sebuah sub kultur.. Dalam pandangan Gus Dur, ada tiga elemen yang membuat pesantren mampu menjadi sub-kultur tersendiri. Pertama, pola kepemimpinan yang mandiri dan tidak terkooptimasi kepentingan-kepentingan berjangka pendek. Elemen ini sungguh sangat penting bagi pesantren. Artinya, atasan seorang kiai itu hanyalah Allah. Tidak ada kelompok politik, aparatur negara, birokrat, atau manusia lain, yang bisa mengintervensi terlalu jauh di dunia pesantren. Pola kepemimpinan seperti itu membuat pesantren menjadi unik.Persoalany sekarang ini adalah banyaknya ulama atau kyai melakukan hubungan patronase dengan partai politik dan pemerintah pada umumnya. Dengan ikut serta berpolitik maka seorang kyai harus masuk dalkam struktur kepartaian yang secara otomatis kyai tidak lagi indepemndent dalam memberikan fatwa maupun nasihat kepada orang lain. Namun sebaliknya apabila tidak mengikuti perhelatan politik, kyai tidak lagi mempunyai kesempatan besar dalam melakukan perubahan di daerahnya.Kedua, kitab-kitab rujukan yang digunakan di pesantren, merupakan warisan peradaban Islam dari berbagai abad. Kalau itu dikaji betul, pengetahuan yang akan diserap para santri pesantren akan sangat luas sekali. Dari situ mereka tidak hanya belajar bagian fikih yang rigid, sempit, kaku, hitam-putih, dan halal-haram saja, tapi juga ilmu-ilmu ushul fikih, kalam, tasawuf, dan lain-lain. Semua itu menunjukkan kearifan dan keindahan Islam. Mestinya itu akan membentuk wawasan keislaman yang padu dan utuh bagi santri, karena mereka mendalami agama tidak sekadar pilihan hitam-putih yang nampak di permukaan.Sedangkan elemen ketiga sub-kultur pesantren adalah sistem nilai yang diterapkan di pesantren itu sendiri. Sistem nilai itulah yang nantinya akan dibawa dalam proses kehidupan mereka di masyarakat. Di sini kita mengenal nilai-nilai dasar pesantren, seperti yang mengajarkan prinsip al-tawasut, tawazun, dan tasamuh. Pesantren dikenal sebagai tempat belajar agama dari sumber-sumber aslinya yakni teks-teks berbahasa Arab. Namun kata pesantren yang asal katanya adalah santri sebagaimana dikutip Nurcholis Madjid bukanlah berasal dari kata Arab. Ada dua klemungkinan asal-usul kata santri; pertama santri berasal dari kata sansekerta sastri kata sansakerta yang berarti melek huruf. Hal ini sangat wajar karena santri atau pesantgren berisi orang-oraanmg yang mempunyai pengetahuan tinggi. Santri dengan berbagai kategorisasinya merupakan sekelompok anak atau siswa yang sedang menuntut ilmu dengan serius.Sedang yang kedua, santri berasal dari bahas Jawa cantrik yang artinya seorang yang selalu menemani gurunya atau mengikuti gurunya di manapun dan kapanpun. Sehingga cantrik akan bisa melakukan transfer ilmu kapanpun bisa dilakukan. Dari pengertian ini maka karakter pendidikan yang diterapkan di pesantren tidak saja berdimensi formal, layaknya sekolah-sekolah klasikal sepereti sekarang ini, tetapi lebih dari itu, pendidikan pesantren sekaligus pendidikan informal dan pendidikan non formal. Di dalam pesantren seorang santri akan mengikuti sekolah fromal diniyyah, seperti kelas Madrasaha Awwalihan Diniyyah, Madrasaha wustha Diniyyah, dan Madrasaha ulya Diniyyah. Bahkan terkadang juga menggunakan istillah Muallimin-muallimat dengan jangka waktu 6 tahun.Tidak hanya sekolah formal, bagi santri, kyai atau bu Nyai adalah sosok orang tua mereka yang sangat disegani, sehingga apa yang menjadi perintah kyai harus dilaksanakan. Maka banyak dari santri yang ikut di rumah kyai layaknya sebagai anaknya. Di samping itu, santri juga diberi ketrampilan lain yang bersifat pengembangan ketrampilan dan pengembangan bakat lainnya, seperti peternakan, pertanian, dan ketrampilan home industri.Untuk itu setelah selesai mengikuti pendidikan pesantren, santri diharapkan bisa hidup di tengah masyarakat dengan segala pernikpernik kehidupoannya. Santri tidak saja dibekali dengan pengetahuaan dan ilmu-ilmu sosial keagamaan tetapi juga dengan dengan ilmu-ilmu sosial umum sekaligus praktek kerhifudpan kemasyarakatan. Bahkan di berbagai persantren santri dibekali dengan kemampuan dalam menghadapi IT seperti penggunaan internet dan jaringannya dan dunia global pada umumnya. Dalam berbagai diskusi keagamaan santri juga sudah mampu bagaimna mengakses internet sebagai bagaian dalam pengembangan kemampuan santri.Pesantren sebagai institusi, tentunya juga termasuk dalam lingkup dunia global yang tidak bisa lepas dari pengaruh luar dirinya. Derasnya arus informasi lewat media, hubungan antar-negara, antar-institusi, antar-organisasi, seperti jalur sumbangan dan bantuan dengan berbagai motifnya, tentu ikut mempengaruhi dunia pesantren. Pesantren sedikit banyaknya tidak bisa lepas dari pengaruh global itu. Pesantren yang tidak mampu mempertahankan jati diri sub kulturnya, akan terjebak dalam permainan politik global. Dengan begitu, mereka dapat saja berada dalam jaringan yang punya egenda tertentu, tidak lagi seperti yang dimaui pesantren itu secara konvensional. Artinya, kalaupun sebuah pesantren mengalami disorientasi, itu bisa disebabkan oleh dua faktor. Faktor internal berupa menurunnya fungsi sub kultur pesantren, sehingga masing-masing unsur pesantren tidak mampu merepresentasikan dirinya dengan baik. Sementara faktor eksternal seperti jejaring dengan dunia luar baik konteks lokal maupun global sangat berpengaruh pada perjalanan sebuah institusi pesntren. Lemahnya peran kiai atau kepemimpinan pesantren yang selama ini dikenal independen, bisa berakibar buruk bagi sebuah pesantren. Dulu, pesantren benar-benar bagaikan sebuah kerajaan kecil. Tapi sekarang, banyak pesantren yang tidak lagi menjadi panutan bagi masyarakat sekitar.

TRADISI LISAN PESANTREN DAN PEMBERDAYAAN POLITIKKAUM SANTRI(Kajian Terhadap Tradisi Shalawatan)11) Makalah dipresentasikan dalam Seminar Internasional Tradisi Lisan Nusantara IV dan Festival Pesisir di Hotel Patra Jasa Semarang 2-5 Oktober 2003.

Moh. Muzakka

1. PendahuluanTradisi lisan dan atau sastra lisan merupakan tradisi sastra yang mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturunkan secara lisan dari mulut ke mulut. Tradisi lisan ini pada umumnya berkembang pesat di dalam masyarakat yang belum atau sedikit mengenal tulisan, yaitu masyarakat pedesaan. Hal itu bukan berarti bahwa tradisi lisan tidak berkembang di dalam masyarakat perkotaan yang pada umumnya mengenal tulisan tetapi peranan tradisi lisan ini dalam komunitas kota pada umumnya relatif kecil dan kurang signifikan (Hutomo, 1991). Karena tradisi lisan merupakan ekspresi lisan sebuah komunitas budaya suatu kelompok masyarakat atau kolektif yang tersebar di berbagai kelompok suku bangsa yang bersifat pluralitas, maka wujud, bentuk, tema, dan fungsinya pun berbeda-beda.Pada umumnya perkembangan tradisi lisan dewasa ini tidak dapat dipisahkan dari tradisi tulis tetapi kehadiran keduanya saling bergayutan bahkan kadang-kadang sangat sulit untuk menentukan asal tradisi tersebut sebab munculnya tradisi lisan itu bisa jadi berasal dari tradisi tulis yang dilisankan atau sebaliknya munculnya tradisi tulis itu berasal dari tradisi lisan. Lebih rumit dan kompleks lagi ketika tradisi lisan tersebut didokumentasikan dalam bentuk tulisan, rekaman, disket, kaset video, cd, dan media lainnya sehingga memungkinkan generasi yang akan datang melisankan kembali tradisi tersebut dengan sumber dokumentasi yang ada. Oleh karena itu, penelitian terhadap tradisi lisan ini cukup unik dan rumit. Bagi peneliti sastra, penelitian terhadap tradisi sastra lisan masih berpijak pada teori sastra umum terutama dalam tataran analisis sebab menurut Teeuw (1984) belum ada kerangka teori yang spesifik untuk meneliti tradisi sastra lisan. Namun yang membedakan keduanya adalah teknik pengumpulan data primernya sebab penelitian tradisi lisan selalu mengedepankan aspek kelisanan dan ketradisionalan serta masyarakat pemiliknya, baik juru kisah maupun pendengar atau penikmatnya.Rusyana (1995) mengemukakan bahwa penelitian terhadap tradisi lisan Nusantara hingga saat ini baru menghasilkan kumpulan cerita, penerjemahan cerita, dan struktur cerita. Menurutnya penelitian sastra lisan belum banyak memanfaatkan teori sastra umum dalam analisisnya meskipun dalam tradisi sastra tersebut sangat terbuka peluang untuk dianalisis dengan pendekatan sastra umum. Bertolak dari pemikiran tersebut, maka dalam kertas kerja ini, penulis akan mencoba menganalisis tradisi lisan pesantren dengan memanfaatkan sebuah pendekatan sastra umum yaitu pendekatan sosiologi sastra. Dengan pendekatan tersebut penulis ingin mendapatkan gambaran fungsi tradisi lisan pesantren bagi masyarakat santri terutama ingin mengetahui sejauh mana tradisi lisan tersebut berfungsi dalam pemberdayaan politik kaum santri.

2. Tradisi Lisan PesantrenTradisi lisan pesantren adalah semua tradisi lisan yang tumbuh dan berkembang di kalangan pondok pesantren dan masyarakat santri. Tradisi lisan ini cukup unik dibanding dengan tradisi lisan yang lain sebab tradisi tersebut sangat berkaitan erat dengan proses pembelajaran ajaran agama Islam. Di samping itu, peranan kiai atau ustad sangat kuat untuk mempengaruhi resepsi, tanggapan atau penerimaan kaum santri terhadap tradisi tersebut secara utuh baik nilai estetik maupun pragmatiknya (Muzakka, 1999). Sebab kiai atau ustad sebagai narasumber atau guru yang dianggap oleh santri menguasai ilmu agama diposisikan di tempat yang tinggi yakni sebagai pewaris para nabi sedangkan santri diposisikan sebagai murid yang patuh. Hal itu mengakibatkan tradisi pesantren menjadi tradisi saman wa thaatan, yaitu begitu mendengar sesuatu dari seorang kiai maka santri langsung menaatinya. Oleh karena itu, hadirnya tradisi sastra lisan pesantren pun tidak dipandang sebagai hiburan di kala senggang tetapi hadirnya tradisi tersebut merupakan bagian dari sarana pembentukan perilaku masyarakat santri yang digunakan untuk penanaman ajaran yang bersifat dogmatis. Karena tradisi lisan tersebut dijadikan sarana pembelajaran oleh kiai di pesantren di samping pengkajian khusus terhadap kitab-kitab kuning maka tradisi lisan itu pun menjadi bersifat sakral.Hadirnya tradisi lisan pesantren menurut Basuki (1988) bertolak dari khazanah sastra pesantren atau genre sastra pesantren yang merupakan genre sastra Jawa sebab menurutnya tradisi sastra pesantren memiliki perbedaan yang sangat menonjol dibandingkan dengan genre sastra Jawa yang lain. Adapun perbedaannya dengan jenis sastra yang lain tampak dalam ciri-ciri sastra pesantren yang dikemukakannya yaitu (1) lahir dan berkembang di kalangan pondok pesantren atau masyarakat santri, (2) Bersumber pada Alquran, hadits, sirat Nabi, dan berbagai cerita dalam Islam, (3) muncul sesudah tahun 1800-an, (4) menggunakan bahasa Jawa Baru yang diselang-seling dengan bahasa Arab, (5) menggunakan huruf Arab yang dilengkapi dengan tanda baca atau syakal, dan (6) penyebarannya melalui tulisan dan lisan. Dari tradisi sastra pesantren tersebut muncullah tradisi lisan pesantren yang pada umumnya berkaitan erat dengan tradisi tulisannya karena banyak teks tulisan yang dibacakan, dinyanyikan, atau dilisankan. Ada empat tradisi lisan pesantren terpenting yang bertolak dari tradisi tulisan. Tradisi tersebut biasanya berkaitan erat dengan upacara daur hidup atau peristiwa penting dalam kehidupan kaum santri dari peristiwa kelahiran sampai kematian. Tradisi tersebut yaitu tradisi mauludan, manakiban, tahlilan, dan talqinan. Tradisi mauludan berkaitan dengan peristiwa kelahiran seorang anak. Tradisi ini pada umumnya digunakan untuk ritual mendoakan anak dari hari pertama kelahirannya sampai tujuh hari atau putus tali pusar yakni mengiringi ritual aqiqah bahkan ada juga yang membacakannya pada hari ketiga puluh enam (selapanan) yakni mengiringi pemotongan rambut anak. Dalam ritual ini dibacakan atau dilisankan kitab maulud Nabi (Burdah, Barzanji Natsar, Addaibai, Syaraful Anam); tradisi manakiban pada umumnya dilaksanakan untuk menunaikan sesuatu hajat (khitanan, perkawinan, mendirikan rumah, dan sebagainya) dan untuk membayar kaul atau nadzar. Dalam ritual ini, masyarakat santri membacakan kitab manakib atau biografi para wali, umumnya biografi rajanya wali, yaitu Abdul Qadir Jailani; adapun talqinan dan tahlilan dilakukan untuk mendoakan orang yang telah mati dari hari pertama setelah pemakaman sampai hari ketujuh, keempat puluh, keseratus, setahun, dua tahun, hingga hari keseribu. Pada hari-hari tersebut orang-orang santri membacakan kitab tahlil dan talqin. Dalam perkembangannya, tradisi tersebut tidak hanya dilisankan pada waktu-waktu yang berkaitan dengan daur hidup manusia tetapi tradisi lisan tersebut dilembagakan secara kolektif (jamiyah) yang aktivitas pelaksanaannya ditentukan oleh peraturan lembaga masing-masing.Selain empat tradisi tersebut, ada beberapa tradisi lisan yang tidak bertolak dari tradisi tulis (pembacaan kitab tertentu), yaitu tradisi shalawatan, singiran, dan puji-pujian. Tradisi shalawatan muncul dari ritual pembacaan shalawat Nabi yaitu sebuah bentuk ritual orang Islam untuk berkomunikasi atau berdoa pada Tuhan yang dikirimkan pada Nabi; tradisi singiran yaitu tradisi lisan yang berpijak pada singir (serupa syair) atau puisi ciptaan para kiai yang diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi dan dari waktu ke waktu; sedangkan puji-pujian merupakan bentuk tradisi lisan yang didendangkan atau dinyanyikan untuk pemujaan dan pemujian pada Tuhan semesta alam (bdk Abdullah, 1995). Meskipun karakteristik ketiga tradisi tersebut berbeda tetapi dalam praktek seringkali ketiganya tidak dapat dipisahkan dan sulit dikenali sebab ketiga tradisi tersebut seringkali menyatu (three in one). Sebagai contoh dalam beberapa kasus tradisi lisan puji-pujian seringkali dilisankan shalawat Nabi (shalawatan) dan sejumlah bait singir (singiran); sebaliknya dalam tradisi shalawatan seringkali dipetik sejumlah bait singir sekaligus untuk tujuan memuji kepada Tuhan. Mengingat ketiga tradisi tersebut dalam kondisi tertentu menyatu, maka dalam kajian ini penulis akan membatasi atau bertolak pada tradisi shalawatan saja dengan tanpa mengenyampingkan dua tradisi lisan yang lain sebab untuk mengkaji secara spesifik yang bersifat genrik perlu penelitian tersendiri. 3. Tradisi ShalawatanSebagaimana dikemukakan di atas bahwa tradisi shalawatan adalah tradisi lisan yang muncul dari kegiatan membaca shalawat Nabi, yaitu merupakan doa atau komunikasi kaum santri kepada Tuhan untuk Nabi Muhammad. Kompensasi dari ritual ini adalah harapan mendapat pahala yang besar dari Tuhan dan pertolongan (syafaat) Nabi kelak pada hari kiyamat dan kehidupan di akhirat. Aktivitas pembacaan shalawat Nabi yang dilakukan kaum santri ini bertolak dari ajaran Islam itu dengan dasar Alquran dan hadits Nabi. Ada dasar hukum Islam yang kuat dijadikan acuan ritual tersebut yakni firman Tuhan dalam Alquran Inna llaha wa malaikatahu yushalluna ala n-nabiy ya ayyuhalladzina amanu shallu alaihi wa sallimu taslima (sesungguhnya Tuhan dan para malaikatnya bershalawat kepada Nabi, hai orang-orang yang beriman bershalawatlah padanya dan berkirimlah salam). Karena pembacaan shalawat Nabi itu merupakan ajaran Islam, maka dalam semua aktivitas peribadatan Islam selain diawali oleh puji-pujian terhadap Tuhan juga ditambahkan pembacaan shalawat misalnya dalam shalat, berdoa, dan berkhotbah. Di samping itu, pembacaan shalawat juga dilakukan oleh kaum santri dalam berbagai waktu, tempat, dan kesempatan misalnya pada pembuka pidato, pengajian terbatas, pengajian umum, kampanye (termasuk kampanye pemilu dan pemberdayaan politik), amalan harian dalam jumlah hitungan tertentu, dan sebagainya. Karena pembacaan shalawat Nabi tersebut dilakukan pada aktivitas ritual yang bersifat sakral maka pembacaan shalawat Nabi di luar aktivitas ritual pun menyebabkan sakralisasi terhadap aktivitas tersebut. Hal itulah yang menyebabkan aktivitas pembacaan shalawat menjadi tradisi lisan kaum santri yang spesifik. Dalam ritual peribadatan Islam khususnya ritual shalat sebenarnya teks shalawat Nabi sangat simpel dan mudah diingat yaitu Allahumma shalli ala Muhammad wa ala ali Muhammad (Ya Tuhan berilah shalawat pada Muhammad dan pada keluarga Muhammad) sedangkan dalam ritual doa, khotbah, dan kegiatan lain selain shalawat ditujukan untuk Nabi dan keluarganya tersebut, umumnya shalawat itu juga ditujukan pada para sahabatnya dan para pengikutnya misalnya Allahumma shalli wa sallim ala (sayyidina) Muhammad wa ala alihi wa ashhabihi waman tabaahum ila yaumiddin ajmain (Ya Tuhan berikanlah shalawat dan salam atas (junjungan kita) Muhammad, keluarganya, dan para sahabatnya, dan para pengikutnya sampai datangnya hari kiamat semuanya). Namun dalam tradisi shalawatan yang berkembang di pesantren teks shalawat inti sebagaimana yang terdapat dalam shalat tersebut menjadi berkembang lebih luas dan bervariatif karena teks shalawat tidak hanya dibaca biasa tetapi dibaca dengan irama tertentu atau dengan cara dinyanyikan secara individual maupun kolektif baik menggunakan iringan alat musik maupun tidak, lebih-lebih lagi ketika para kiai atau ustad menggubah shalawatan yang dipadukan dengan singir (semacam syair berbahasa Jawa) untuk tujuan dakwah Islam, pemberdayaan politik kaum santri, dan kampanye maka wujud teksnya dan iramanya semakin beragam.

4. Tradisi Shalawatan dan Pemberdayaan Politik Kaum SantriSebagaimana disebutkan di atas, tradisi shalawatan yang paling popular dan selalu mengiringi kegiatan kaum santri di luar ritual shalat dan doa yaitu tradisi shalawatan yang biasanya dinyanyikan dengan irama tertentu baik dilakukan dalam peringatan kelahiran, perkawinan, selamatan tasyakuran, maupun dalam berbagai pertemuan di majlis taklim, mushalla, pengajian akbar, dan kampanye. Kegiatan tersebut pada umumnya dilakukan oleh seorang ustad atau kiai untuk menimbulkan suasana agamis dan sakral di samping menimbulkan suasana menyenangkan karena tujuan tokoh agama tersebut akan menanamkan nilai-nilai agama yang dogmatis pada kaum santri. Dari situlah tampak bahwa fungsi pragmatis shalawatan jauh lebih menonjol dibanding fungsi puitis maupun fungsi estetiknya. Hal yang menarik dikaji adalah karena fungsi pragmatis untuk tujuan dogmatis itulah maka seringkali seorang kiai atau ustad memanfaatkan tradisi ini untuk tujuan lain seperti pemberdayaan politik kaum santri, lebih-lebih ketika tokoh tersebut tokoh partisan yang memihak ke partai politik tertentu maka tradisi tersebut pun selalu dimanfaatkan dalam kampanye pemilu. Akibatnya kampanye yang seharusnya menyampaikan visi, misi, dan program partai politik untuk mengatur sebuah negara secara demokratis berubah menjadi pengajian umum yang sakral dan dogmatis yang memaksa audien untuk mematuhi fatwa politik tersebut.Pemanfaatan tradisi shalawatan dalam kampanye politik tidak dilakukan oleh partai politik yang berasas Islam dan berbasis massa Islam saja tetapi dimanfaatkan oleh parpol-parpol lain yang memanfatkan kiai atau ustad sebagai jurkam dan atau caleg untuk mendapatkan dukungan kaum santri sebab kaum santri mempunyai sikap tawadhu dan patuh pada kiai atau ustadnya sedangkan dari jumlah massanya pun sangat banyak mungkin mencapai 50 % dari jumlah pemilih. Sebagai contoh adalah keberhasilan Golkar pada masa orde baru pun tidak terlepas dari peran kiai atau ulama yang dijadikan caleg dan jurkamnya.Pada masa kejayaan Golkar sebagai mayoritas tunggal di Indonesia peran ulama atau kiai sangat besar sebab kiai yang menjadi jurkam tersebut mampu mengondisikan kampanye politik menjadi sebuah pengajian politik sehingga basis massa kaum santri yang berada di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat pun sebagian besar mendukung partai tersebut. Keberhasilan kiai atau ulama mempengaruhi massa tersebut selain mengondisikan suasana kampanye menjadi pengajian politik Islami juga tidak lepas dari pemanfaatan shalawatan yang mampu menciptakan suasana sakral, agamis, dogmatis, sekaligus menimbulkan suasana estetis yang menyejukkan hati audien. Pada umumnya seorang kiai yang jurkam dalam kampanye menggunakan Shalawat Badar yang dinyanyikan dengan irama atau pola lagu yang indah baik dengan tempo lambat maupun cepat, lembut maupun keras. Shalawat Badar merupakan shalawat yang paling banyak dinyanyikan oleh kaum santri di berbagai kesempatan baik dalam pengajian agama Islam, perkawinan, peristiwa kelahiran, maupun dalam acara syukuran selamatan (kenduri) meskipun sebenarnya shalawat ini merupakan doa permohonan kepada Tuhan agar memberikan kekuatan sekaligus kemenangan dalam peperangan melawan orang-orang kafir. Adapun petikan Shalawat Badar itu sebagai berikut.Shalatullah salamullah Ala thoha RasulillahShalatullah salamullahAla yasin habibillah

Tawassalna bi bismillahWabil hadi RasulillahWa kulli mujahidil lillahBi ahlil badri ya AllahPada masa kejayaan orde Baru dengan Golkar sebagai single majority, semua asset bangsa baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia sebagian besar dikuasai atau diklaim sebagai milik Golkar sehingga aparatur negara, birokrat, pegawai negeri sipil, pegawai swasta dan buruh, konglomerat, bahkan TNI/Polri pun berpihak dengannya. Dengan kata lain, Golkarlah yang mengatur kebijakan penyelenggaraan negara. Oleh karena itu, dalam kampanye pemilu para kiai yang jadi jurkamnya pun di samping mengumandangkan Shalawat Badar juga menyertakan lirik puisi Jawa (singir) yang digubah sendiri dengan mengikuti pola irama shalawat tersebut dengan muatan isi yang mengunggulkan Golkar. Perhatikan kutipan berikut.

Dalane gilar-gilar (jalan yang luas dan lebar)Lampune kencar-kencar (lampu yang bergemerlapan) Pembangunan tambah lancar (pembangunan bertambah lancar)Sing mbangun iku Golkar (yang membangun adalah Golkar)Lirik puisi Jawa yang dinyanyikan oleh kiai yang jurkam tersebut kemudian ditindaklanjuti atau dijawab oleh semua kaum santri yang mengikuti kampanye dengan shalawat tersebut kemudian jurkam menyanyikan lagi lirik puisi kampanye yang lebih menarik lagi dan seterusnya.Di sisi lain, PPP yang mengklaim diri sebagai partainya kaum santri dan orang muslim dengan kiai sebagai ujung tombaknya pun berkampanye jauh lebih hebat lagi. Sebab jurkam PPP yang mayoritas kiai tersebut secara kultural lebih dekat dengan kaum santri. Pada umumnya dalam kampanye, mereka lebih mengedepankan fatwa yang dogmatis di hadapan kaum santri yang harus dipatuhi sehingga istilah kampanye pemilu diganti dengan pengajian akbar. Bahkan kadang-kadang mereka pun selalu mengaitkan dengan hukum Islam, halal-haram, syurga-neraka, dan sebagainya sehingga kurang mengedepankan program-program partainya sebab yang penting baginya adalah dukungan suara kaum santri.Mengingat kampanye pemilu diubah menjadi pengajian akbar, maka para jurkam PPP pun selalu memanfaatkan shalawatan sebagai media pemberdayaan politik kaum santri. Semua jurkam pun menciptakan lirik syair shalawatan yang beragam untuk pengajian politik sesuai pola shalawatan yang digunakannya. Hal yang menarik perhatian penulis adalah ketika Golkar mulai goncang dan orde baru tumbang para jurkam PPP memanfaatkan momen tersebut dengan mengkritik Golkar dengan pedas, bahkan kadang-kadang juga ada unsur mengolok-olok dan caci maki terhadapnya. Hal semacam itu pun tercermin juga dalam lirik-lirik puisi shalawatan yang digunakan dalam pengajian politiknya. Kalau Golkar mengklaim dirinya paling berjasa dalam pembangunan negeri ini, maka PPP pun mendekonstruksi lirik syair shalawatan yang sering dikumandangkan jurkam Golkar sebagaimana tersebut di atas menjadi sebaliknya sehingga ketika jurkam PPP berkampanye di desa-desa pun sering mengemukakan bahwa yang membangun negeri ini bukan Golkar. Perhatikan kutipan lirik shalawatan yang penulis peroleh dari pengajian politik PPP pada awal 1998 di Desa Rejosari, Kecamatan Pegandon, Kabupaten Kendal, Propinsi Jawa Tengah yang selalu dikumandangkan di berbagai pengajian politik di Jawa Tengah oleh K.H. Syihabudin.Dalane gilar-gilar (Jalan yang luas dan lebar)Lampune kencar-kencar (Lampu yang bergemerlapan)Pembangunan tambah lancar (Pembangunan bertambah lancar)Sing bangun dudu Golkar (Yang membangun bukan Golkar)Karena lirik tersebut selalu diulang-ulang oleh jurkam dan disahuti oleh audien, maka tampak dalam pengajian politik tersebut menimbulkan olok-olokan pada partai yang lain.Menjelang pemilu 1999 jumlah parpol pun berubah dari 3 tiga buah partai menjadi seratusan partai meskipun akhirnya yang menjadi peserta pemilu hanya 48 buah. Di kalangan masyarakat santri pun tumbuh partai-partai lain selain PPP, yaitu PKB, PNU, PKU, dan sebagainya sehingga dalam berebut massa kaum santri mereka pun serupa dengan PPP yaitu menciptakan suasana kampanye menjadi pengajian politik, sehingga shalawatan yang bermuatan politik pun selalu dikumandangkan oleh partai-partai tersebut. Dari kondisi demikian, lahirlah bermacam-macam shalawatan partai politik, baik dilisankan dalam kampanye saja maupun direkam dalam kepingan kaset. Salah satu data yang penulis peroleh di Kabupaten Kendal adalah munculnya kaset Shalawat PKB. Shalawat tersebut dikarang dan dinyanyikan oleh KH. Muhammad Mimbar dan para ustad yang lain dengan iringan rebana. Selain Shalawat PKB, dalam kaset tersebut juga terdapat Shalawat Reformasi. Kaset tersebut selalu di putar dalam pengajian politik maupun pertemuan lain kaum santri di Kabupaten Kendal dan sekitarnya. Adapun dalam tulisan ini, penulis hanya akan membicarakan Shalawat PKB saja. Lirik-lirik syair Shalawat PKB digubah dalam bahasa Jawa meskipun pola iramanya mengikuti Shalawat PKB berbahasa Arab. Sebelum membicarakan isinya, perhatikan kutipan pola irama Shalawat PKB berikut ini.Allahumma shalli wa salim ala Muhammad wal ali wa shahbil fudholaAllahumma rham bangsa IndonesiaWa nshur hizbana Partai Kebangkitan Bangsa

(Ya Tuhan berikan shalawat dan salam padaMuhammad, keluarga, dan sahabat yang utamaYa Tuhan berilah rahmat bangsa IndonesiaDan tolonglah partai kami Partai Kebangkitan Bangsa)

Dari kutipan tersebut tampak bahwa sebenarnya Shalawat PKB pun bertolak pada shalawat Nabi sebab sebelum mendoakan bangsa Indonesia dan mohon pertolongan kepada Tuhan untuk partainya, pencipta atau pengarang mohon kepada Tuhan agar Nabi Muhammad, keluarganya, dan para sahabatnya diberikan shalawat dan salam. Hal tersebut dilakukan di samping sebagai konvensi ritual juga untuk menimbulkan kesan agamis dan sakral sehingga audien dikondisikan untuk memahami, mematuhi, dan mengamalkannya.Shalawat PKB berisi penjelasan bahwa PKB adalah partai warga NU yang berwawasan kebangsaan yang tidak membeda-bedakan suku, ras, dan golongan; PKB adalah partai terbuka yang berupaya menegakkan keadilan dan kebenaran, menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia yang terbuka bagi siapapun; PKB adalah partai reformasi bukan produk orde baru oleh karena itu harapan pengarangnya kepada audien agar memberikan dukungan pada partai tersebut. Pada bagian akhir, pengarang berdoa agar Tuhan memberikan rido, berkah, dan kekuatan pada warga NU untuk teguh pendirian sehingga PKB unggul waktu pemilu. Perhatikan kutipan berikut.Mugi Allah ngeridhoni Partai KebangkitanBangsa yang menjadi nuansa pembaruanMugi warga PKB teguh pendirianMugi PKB unggul waktu pemilihan

(Semoga Tuhan memberi rido pada Partai KebangkitanBangsa yang menjadi nuansa pembaruanSemoga warga PKB teguh pendirianSemoga PKB unggul saat pemilihan)Lirik-lirik syair tersebut ditanggapi audien dengan pola irama shalawat sebagaimana tersebut di atas sehingga menimbulkan suasana tenang, haru, khusyuk, dan sakral.Dari data tersebut di atas tampak bahwa tradisi shalawatan sangat efektif untuk memberdayakan politik kaum santri yang senantiasa patuh terhadap kiai atau ulama sebab personifikasi kiai atau figur ulama selalu dipandang sebagai tokoh agama yang senantiasa membawa kebenaran, sementara kebanyakan kaum santri sangat kurang pengetahuan tentang dunia politik. Meskipun di satu sisi tradisi shalawatan tersebut cukup efektif untuk mengajak kaum santri untuk menyukseskan pemilu atau memberdayakan pilitik kaum santri dengan mematuhi fatwa kiainya, maka di sisi lain tradisi tersebut juga memperdaya kaum santri untuk mendukung partai tertentu yang memanfaatkan kiai sebagai jurkam atau calegnya. Dari data tersebut juga tampak di samping adanya pergeseran nilai ritual shalawat juga persepsi masyarakat santri terhadap kampanye. Nilai ritual shalawat yang sakral bagi orang muslim tersebut menjadi kurang sakral lagi karena adanya muatan politik praktis dari tokoh ulama atau kiai yang menjadi jurkam di berbagai partai politik sebab hal tersebut bisa dijadikan sarana saling olok antarparpol dan antarkaum santri. Dari sinilah muncul desakralisasi nilai ritual shalawat.Nilai kampanye politik hakikatnya tidak sakral (profan) karena bukan ritual keagamaan yaitu merupakan iklan dari partai politik untuk menyampaikan programnya kepada masyarakat untuk mendapatkan dukungan suara dalam pemilu. Namun, ketika ulama atau kiai menjadi jurkam, mereka tidak menjadikan kampanye sebagai iklan politik tetapi mereka mengemas atau mengondisikan kampanye sebagai pengajian umum termasuk pemanfaatan shalawat sebagai alatnya. Dari sinilah muncul sakralisasi kampanye pemilu.

5. SimpulanDari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tradisi lisan pesantren mempunyai fungsi dan makna yang sangat dalam bagi kaum santri sebab tradisi tersebut dijadikan sarana pembentukan perilaku dan penanaman nilai-nilai moral keagamaan sehingga tradisi tersebut berubah menjadi aktivitas ritual yang bersifat sakral. Hal itu tampak pada pemanfaatan tradisi shalawatan dalam kampanye pemilu. Hadirnya tradisi shalawatan dalam kampanye pemilu seakan-akan mampu menghilangkan kesan bahwa kampanye itu adalah sebuah iklan politik tetapi sebaliknya dengan tradisi shalawatan tersebut merubah kampanye menjadi pengajian umum bagi kaum santri. Dari situlah muncul sakralisasi kampanye pemilu sekaligus desakralisasi ritual shalawatan.

Daftar Pustaka

Abdullah, Muhammad. 1995. Puji-pujian: Sebuah Tradisi Lisan dalam Sastra Pesantren dalam Warta ATL edisi perdana.

Basuki, Anhari. 1988. Salah Satu Sisi dalam Sastra Pesantren dalam Widya Parwa No. 32.

Hutomo, Suripan Sadi. 1993. Cerita Kentrung Sarah Wulan (Disertasi).

Muzakka, Moh. 1999. Tanwirul Qari sebagai Penyambut Teks Tajwid Tuchfatul Athfal: Analisis Resepsi. Tesis S2 Universitas Gadjah Mada.

Rusyana, Yus. 1995. Bahan Penataran Metode Penelitian Sastra. Jakarta: Konsorsium Sastra dan Filsafat.

Teeuw, A. 1986. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta : Pustaka Jaya.