15 - definisi budaya kelompok dian sashi
DESCRIPTION
collective cultureTRANSCRIPT
TUGAS KELOMPOK
MATAKULIAH PERSPEKTIF DAN TEORI KOMUNIKASI
“Culture Defined and Hofstede’s Cultural Dimensions”
Disusun Oleh:
Audita Sashi Ramada (1206299080)
Dian Tamitiadini (1206190040)
MANAJEMEN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA
2012
Definisi Budaya
Griffin menganut dugaan Collier (1989) terhadap budaya sebagai salah satu identifikasi
dengan penerimaan terhadap kelompok yang membagi simbol, makna, pengalaman, dan
perilaku. Serupa dengan hal tersebut, komunikasi lintas budaya dan komunikasi antarpribadi
memiliki definisi yang spesifik. Komunikasi lintas budaya merupakan perbandingan dari dua
atau lebih kelompok budaya (Ting-Toomey,1991b), contohnya membandingkan model konflik
antara manager yang berkebangsaan Amerika dan kebangsaan Korea. Sedangkan komunikasi
antarbudaya melibatkan interaksi aktual antara anggota dari budaya yang berbeda, misalnya: apa
yang terjadi ketika seorang eksekutif dari Jerman menegur seorang masyarakat subordinat dari
Cina.
Berdasarkan penjelasan diatas, Griffin menjelaskan 4 teori yang menguji secara luas
definisi dugaan terhadap budaya dan menegaskan bagaimana budaya membentuk dan terbentuk
dari komunikasi. Yang akan dibahas dalam tugas ini adalah dimensi budaya Hofstede yang
menjelaskan tipologi manfaat untuk menaksir perbedaan budaya terhadap konteks sosial.
Dimensi Budaya Hofstede
Geert Hofstede merupakan peneliti Belanda yang menjelaskan tentang teori induktif
budaya. Ia mengumpulkan data statistik dari 100.000 pegawai IBM di seluruh dunia untuk
menentukan nilai dari budaya yang beragam (Hofstede, 1980). Ia meneliti di 50 negara dan 3
wilayah. Analisisnya menyimpulkan terdapat 5 dimensi yang dapat digunakan untuk
membedakan tingkat keragaman budaya (Hofstede, 1980; Hofstede & Bond 1984). Dimesi
tersebut merupakan suatu kesatuan, yang membedakan klasifikasi budaya disuatu tempat.
Individualisme – Kolektivisme
Dimensi Hofstede yang pertama adalah individualisme-kolektifisme. Dimensi ini
bertujuan untuk menjelaskan bagaimana seseorang mendefiniskan dirinya dan hubungannya
dengan orang lain. Bila seseorang hidup di mana minat-minat individu di atas minat kelompok,
maka orang tersebut tinggal di masyarakat yang disebut individualist. Misalnya seseorang
dilahirkan dalam keluarga yang terdiri dari dua orang tua dan, kemungkinan dari keluarga
dengan orang tua tunggal. Saudara-saudara lain hidup terpisah dan jarang bertemu. Keluarga
jenis ini dikenal sebagai nuclear family (dari bahasa Latin yang berarti inti). Anak-anak dari
keluarga seperti ini akan tumbuh dan kemudian berpikir bahwa mereka hidup sebagai ‘aku’.
Gudykunst dan Lee (2002:27) juga mengemukakan bahwa di dalam individualisme
terdapat kecenderungan untuk menempatkan identitas individu di atas identitas kelompok.
Dalam kerangka ini, tujuan dan hak individu memiliki tempat di atas tujuan dan hak kelompok.
Demikian pula dengan kebutuhan individu yang menempati posisi di atas kebutuhan kelompok.
Budaya yang condong ke arah individualisme memiliki empat karakteristik (Triandis,
1995). Pertama, bahwa budaya mempertimbangkan aspek individual untuk menjadi entitas yang
paling penting dalam berbagai latar belakang sosial. Pada budaya individualistis, fokusnya
adalah diri seseorang sebelum ia berhubungan dengan yang lainnya.
Kedua, budaya individualistis menitikberatkan pada independensi daripada dependensi
atau ketergantungan (Triandis, 1995). Asumsi ini mendeskripsikan kebutuhan penggunaan wajah
seseorang seperti yang telah dibahas pada chapter sebelumnya, dimana positive face adalah
kebutuhan seseorang untuk dihormati dan disukai, sedangkan negative face merupakan
kebutuhan seseorang untuk bertindak bebas. Ting-Toomey berpendapat bahwa seseorang dengan
budaya individualistis cenderung menempatkan relativitas lebih kepada kebutuhan negative face
dibandingkan dengan individual yang berasal dari budaya kolektif; terdapat preferensi cultural
untuk bertindak bebas, hal ini merupakan esensi dari keinginan untuk menjadi independen.
Ketiga, budaya individualistis mengganjar penghargaan individual (Triandis, 1995).
Penghargaan individual cenderung untuk mendampingi kompetisi nilai. Dalam budaya
inidividualistis, kompetisi dipandang sebagai hal yang baik. Hal ini tidak selalu terjadi dalam
budaya kolektif.
Terakhir, budaya individualistis menilai setiap keunikan individu (Triandis, 1995). Dalam
beberapa budaya, berbeda dari masyarakat umum bernilai sangat tinggi, sementara dalam budaya
kolektivistik, berbeda dengan yang lain merupakan sebuah hal yang memalukan.
Pembahasan selanjutnya adalah kolektivisme yang mewakili sistem sosial yang
berdasarkan pada in-group dan out-group. Dalam budaya kolektivistik, kelompok merupakan
pusat pemahaman hubungan antara orang-orang; identitas dipahami semata-mata melalui
keanggotaan kelompok.
Orang yang tinggal dalam suatu komunitas yang memiliki minat pada kelompok melebihi
kepentingan individu disebut sebagai kelompok masyarakat collectivist. Di lingkungan yang
bersifat collectivist, ‘keluarga’ di mana anak tumbuh berkembang terdiri dari sejumlah orang
yang hidup bersama seperti: kakek-nenek, paman, bibi, pembantu, atau anggota lainnya. Dalam
antropologi budaya ini dikenal sebagai extended family. Ketika anak tumbuh berkembang
mereka belajar untuk berpikir bahwa mereka merupakan bagian dari kelompok ‘kita’.
Terdapat pula empat karakteristik yang diasosiasikan dengan kolektivisme (Triandis,
1995). Pertama, dalam budaya kolektifistik pandangan, kebutuhan, dan tujuan kelompok lebih
penting dibandingkan dengan pandangan , kebutuhan, dan tujuan individual. Contoh: bagi orang
Amerika, ide bunuh diri pilot Kamikaze dianggap tidak masuk akal, padahal dalam budaya
kolektivistik hal ini merupakan pemikiran yang dianggap lumrah dan masuk akal.
Kedua, kewajiban terhadap kelompok merupakan norma dalam budaya kolektivistik;
perilaku diatur berdasarkan tugas, bukan berdasarkan kesediaan individual atau imbalan
(Triandis, 1995). Dalam budaya individualistik, penerimaan terhadap rekan potensial oleh
keluarga merupakan kepentingan utama (Dion & Dion, 1993).
Ketiga, dalam budaya kolektivistik, diri (the self) digambarkan dalam hubungannya
dengan orang lain, bukan sebagai pembeda dari yang lainnya (Triandis, 1995). Jandt (2004)
memberikan contoh kasus orang Colombia (lebih menganut budaya kolektivistik) datang ke
Amerika. Orang Amerika yang lebih menganut budaya individualistik berorientasi pada “apa
yang akan anda lakukan untuk hidup?” sedangkan di Colombia, pertanyaan yang akan
ditanyakan pertama kali adalah “anda terhubung dengan siapa?” atau “anda keluarganya siapa?”.
Mengetahui “hubungan” seseorang memungkinkan orang asing tersebut untuk memperoleh
tempat yang sama dengan kelompok-kelompok yang ada; mengetahui darimana asal orang yang
ditemui sama dengan mengenal orang tersebut.
Keempat, budaya kolektivistik berfokus pada kerjasama dibandingkan kompetisi
(Triandis, 1995). Budaya kolektif condong menggunakan gaya high context communication
(Hall, 1976). Pesan yang high context merupakan salah satu keunggulan harmoni hubungan atas
kejelasan dan keterusterangan: pesan cenderung untuk tidak langsung, sirkuler, atau tidak
diungkapkan agar tidak menyinggung. Komunikan diasumsikan secara aktif mencari maknanya.
Sebaliknya, dalam low context communication style yang merupakan karakter dari budaya
individualistik, nilainya langsung, ide diekspresikan secara eksplisit. Dalam low context
communication, makna merupakan pesan, dan terkadang cenderung menyakiti karena pada
beberapa budaya dinilai agak kasar.
Menurut Hui dan Triandis (Triandis, 1995:31), dalam budaya kolektivistik, para anggota
kelompok budaya sangat rentan terhadap pengaruh sosial karena adanya gagasan
interdependensi, memberi perhatian pada penyelamatan muka dan integritas keluarga, serta
menggunakan bersama hasil yang mereka raih di dalam kelompoknya. Selain itu juga
menekankan ide pentingnya pengembangan kemampuan berhubungan sosial.
Hofstede (1994:50) berpendapat bahwa dalam masyarakat kolektivis, kepentingan
kelompok berlaku di atas kepentingan individu. Kelompok (in-group) merupakan sumber
identitas seseorang dan para anggota kelompok akan memandang diri sebagai ‘kami’. Kelompok
menjadi tempat berlindung bagi anggota pada saat menghadapi kesulitan hidup. Oleh karena itu
para anggota akan senantiasa setia pada kelompok. Ketidaksetiaan dengan demikian adalah suatu
perilaku yang dipandang buruk. Di sisi lain, masyarakat individualis akan menempatkan
kepentingan individu di atas kepentingan kelompok. Anggota kelompok memandang diri sebagai
“aku”.
Pada masyarakat kolektivistik, individu dilahirkan dalam integrasinya dengan in-group,
disertai dengan kohesi sosial yang kuat, antara lain ditunjukkan dengan adanya saling
perlindungan di antara anggota in-group, serta adanya pertukaran kesetiaan yang bersifat taken
for granted. (Gudykunst dan Kim, 1997:56). Menurut Triandis, pengaruh in-group dalam budaya
individualistik sangat spesifik, sedangkan ruang pengaruh in-group dalam budaya kolektivistik
bersifat umum, sehingga para anggota budaya individualistik cenderung bersikap universalistik
dan menggunakan standar nilai sama bagi setiap orang. Sebaliknya, para anggota budaya
kolektivistik cenderung partikularistik dan menggunakan standar nilai berbeda untuk para
anggota in-group dan out-group (Gudykunst dan Lee, 2002:27).
Pertanyaan-pertanyaan survey di mana individualism index diperkenalkan masuk dalam
katagori ‘work goals’. Pertama adalah individualism versus collectivism, dan yang kedua
dinamai masculinity versus feminimity.
Untuk individualism:
1. Personal time. Memiliki suatu pekerjaan yang memberikan anda waktu yang cukup untuk
kehidupan personal atau keluarga.
2. Freedom. Memiliki kebebasan yang tinggi untuk menggunakan pendekatan anda sendiri
dalam pekerjaan anda.
3. Challege. Memiliki tantangan pekerjaan yang dilakukan – bekerja di mana anda dapat
mencapai prestasi yang berarti bagi pribadi.
Untuk collectivism:
1. Training. Memiliki kesempatan training (untuk meningkatkan ketrampilan anda atau
mempelajari ketrampilan baru)
2. Physical conditions. Memiliki kondisi kerja fisik yang baik (ventilasi dan penerangan
yang baik, tempat kerja yang leluasa, dsb.).
3. Use of skills. Secara penuh menggunakan ketrampilan dan kemampuan anda dalam
pekerjaan.
Hubungan kedua dimensi tersebut cenderung berkorelasi negatif. Perbedaan
individualism-collectivism dalam negara juga ditunjukkan atau ditentukan pula oleh kelas sosial,
tingkat pendidikan dan pekerjaan. Dalam mengukur perbedaan individualism-collectivism juga
dapat dihubungkan dengan perbedaan-perbedaan di dalam keluarga, sekolah, tempat kerja,
propinsi dan ide-ide besar dalam negara.
Table 1. Perbandingan Budaya Individualisme dan Kolektivisme
Penghindaran Ketidakpastian (Uncertainty Avoidance)
Terminologi uncertainty avoidance telah dipinjam dari organisasi sosiologi Amerika
khususnya dari karya James G.March. Cara untuk mengatasi ketidakpastian merupakan bagian
dan bidang dari setiap manusia di negara manapun. Ketidakpastian yang ekstrim menciptakan
kegelisahan yang tidak dapat ditolelir. Setiap lingkungan masyarakat telah berkembang cara
untuk meredakan kegelisahan tersebut. Cara-cara tersebut dapat berasal dari bidang teknologi,
hukum dan agama.
Salah satu dimensi dari Hofstede adalah mengenai bagaimana budaya nasional berkaitan
dengan ketidakpastian dan ambiguitas, kemudian bagaimana mereka beradaptasi terhadap
perubahan. Pada negara-negara yang mempunyai uncertainty avoidance yang besar, cenderung
menjunjung tinggi konformitas dan keamanan, menghindari risiko dan mengandalkan peraturan
formal dan juga ritual. Kepercayaan hanyalah diberikan kepada keluarga dan teman yang
terdekat. Akan sulit bagi seorang negotiator dari luar untuk menjalin hubungan dan memperoleh
kepercayaan dari mereka. Pada negara dengan uncertainty avoidance yang rendah, atau memiliki
toleransi yang lebih tinggi untuk ketidakpastian, mereka cenderung lebih bisa menerima risiko,
dapat memecahkan masalah, memiliki struktur organisasi yang flat, dan memilki toleransi
terhadap ambiguitas. Bagi orang dari masyarakat luar, akan lebih mudah untuk menjalin
hubungan dan memperoleh kepercayaan.
Sebagai dimensi budaya, penghindaran ketidakpastian mengacu pada sejauh mana
"orang-orang dalam budaya yang dibuat gugup oleh situasi yang mereka anggap tidak
terstruktur, tidak jelas, atau tidak terduga" (Hofstede, 1986, p.308). Budaya tersebut yang
memandang untuk menghindari ambiguitas dikenal sebagai high uncertainty avoidance culture.
Secara tipikal, budaya dengan tingkat penghindaran yang tinggi memelihara kode perilaku
dengan ketat dan mendukung keyakinan bahwa kebenaran bersifat mutlak. Di tempat kerja, hal
ini ditandai dengan aturan, presisi, dan ketepatan waktu (Jandt, 2004).
Budaya penghindaran ketidak pastian yang rendah condong untuk menerima ambiguitas
dan lebih mudah kekurangan struktur (Hofsede, 1986). Individual dalam low uncertainty
avoidance merupakan peningkatan untuk mengambil resiko, inovasi, dan nilai “berfikir outside
the box). Secara jelas, budaya amerika merupakan budaya low uncertainty avoidance. Di tempat
kerja, sifat individual dari budaya low uncertainty avoidance cenderung untuk bekerja keras
hanya bila dibutuhkan (Jandt, 2004). Peraturan sering ditolak atau diabaikan, dan ketepatan
waktu harus diajarkan dan diperkuat.
Power Distance
Yang dimaksud dengan power distance adalah sejauh mana orang-orang dengan sedikit
kekuasaan dalam masyarakat menganggap ketidaksetaraan normal terjadi dan dapat diterima.
High power distance cultures (budaya daya jarak tinggi) dimana terdapat suatu kenyamanan
dengan adanya power distance yang tinggi adalah dimana ketika beberapa orang dianggap lebih
superior dibandingkan dengan yang lain karena status sosial, gender, ras, umur, pendidikan,
kelahiran, pencapaian, latar belakang atau faktor lainnya. Budaya ini menerima kekuasaan
sebagai sumber daya yang langka, dan perbedaan-perbedaan kekuatan tersebut alami dan tak
terelakkan. Ada sentralisasi kekuasaan besar dan penting ditempatkan pada status dan peringkat,
sehingga sistem pada budaya ini mengklasifikasikan setiap pekerjaan dalam tingkatan/hirarki dan
pengambilan keputusan hanya ada di antara mereka yang memiliki jabatan/hirarki tinggi.
Sedangkan pada low power distance cultures (budaya dengan jarak kekuasaan nilai
rendah) cenderung untuk mengasumsikan persamaan di antara orang, lebih fokus kepada status
yang dicapai daripada yang disandang oleh seseorang dan meminimalkan perbedaan-perbedaan
kekuasaan. Meskipun hirarki memang ada, orang-orang yang lebih tinggi tidak dianggap lebih
unggul dari orang yang lebih rendah dalam hirarki, dimana orang-orang di semua tingkatan
menjangkau orang-orang di semua tingkatan lainnya. Budaya ini menekankan shared decision
making, pengambilan keputusan dengan berbagi dengan bawahan sebagai salah satu cara untuk
pemberdayaan.
Menurut Hofstede, negara dengan high power distance meliputi negara-negara Arab,
Guatemala, Malaysia, Filipina, Meksiko, Indonesia dan India. Para negotiator dari negara-negara
ini cenderung untuk lebih nyaman dengan struktur hierarki, otoritas yang jelas serta hak untuk
menggunakan kekuatan jika perlu. Status prestasi seseorang dapat diperoleh melalui kerja keras,
ambisi pribadi, dan daya saing yang ditampilkan. Adanya gap pendapatan antara the ‘haves’ dan
the ‘have-nots’ yang semakin memperluas jurang kesenjangan.
Namun budaya ini tidak sepenuhnya dianut dan dipraktekkan pada kehidupan sehari-hari.
Nyatanya Indonesia juga mempertimbangkan low power distance cultures. Individu
mengharapkan dan menerima hubungan kekuasaan yang lebih konsultatif atau demokratis.
Masing-masing orang berhubungan satu sama lain lebih sebagai sama dan sederajat, terlepas dari
posisi formal atau jabatan. Bawahan dapat lebih nyaman menuntut hak untuk berkontribusi dan
kritik pengambilan keputusan dari mereka yang berkuasa.
Sementara itu Negara dengan low power distance terdiri dari Austria, Denmark, Israel,
New Zealand, Irlandia, Swedia, Norwegia, Finlandia, Swiss, inggris dan Jerman. Para negotiator
dari negara ini cenderung lebih nyaman dengan struktur yang lebih demokratis dan flat,
pembagian otoritas dan hak untuk menggunakan kekuatan dalam situasi tertentu saja.
Masculinity - Femininity
Dimensi ini berfokus pada hubungan antara seks biologis dan perilaku apa yang dianggap
sesuai dengan jenis kelamin yang dimiliki seseorang. Budaya maskulin adalah mereka yang
menggunakan realitas seks biologis dalam penciptaan peran yang berbeda untuk pria dan wanita,
dimana pria diharapkan untuk bersikap tegas, ambisius kompetitif, sedangkan wanita diharapkan
untuk mendukung, mengayomi, dan berperan relatif kecil. Selain itu, wanita seringkali
diharapkan untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma maskulin jika mereka ingin bertahan
di suatu posisi tertentu (jabatan).
Sebaliknya, budaya feminin memiliki keluwesan untuk seseorang berperilaku
berdasarkan jenis kelamin biologis, dan lebih fokus pada fasilitasi hubungan interpersonal dan
kepedulian terhadap konsensus, mencari dan memilih untuk berkualitas hidup (kualitas hidup)
daripada sukses materi (kuantitas hidup). Baik pria maupun wanita sama-sama diizinkan untuk
bersikap tegas atau berperan relatif kecil, kompetitif atau mengayomi.
Dalam suatu masyarakat, jender terdiri atas laki-laki dan perempuan. Secara biologis
mereka berbeda. Perbedaan biologis menggunakan terminologi male dan female, sedangkan
perbedaan sosial dan secara budaya ditentukan oleh peran masculine dan feminine. Seorang laki-
laki dapat berkelakuan feminim dan sebaliknya.
Hofstede menilai bahwa negara seperti Jepang dan Amerika Latin lebih menjunjung
nilai-nilai assertiveness, task-orientation dan achievement. Pada budaya mereka, cenderung
terdapat peranan gender yang lebih kaku dan orientasi bahwa hidup adalah untuk bekerja.
Sementara itu di negara yang dinilai feminine seperti Skandinavia, Thailand dan
Portugal, mereka menjunjung tinggi kerjasama, nurturing dan solidaritas hubungan dengan less
fortunate prevail dan mereka cenderung untuk bekerja untuk hidup.
Tentu saja, masalah mengenai gender sangatlah bervariasi antar budaya, sehingga elemen
yang dianggap sebagai maskulin di satu budaya bisa jadi dianggap sebagai feminine di budaya
yang lain. Indonesia sendiri tidak sepenuhnya menganut budaya maskulin. Tidak jarang beberapa
wilayah di Indonesia menganut budaya feminin. Dalam bidang pekerjaan, kedua dimensi ini
secara erat berhubungan dengan hal-hal terkait sebagai berikut:
Untuk masculine:
1. Earnings. Memiliki kesempatan untuk meraih pendapatan yang besar.
2. Recognition. Memperoleh pengakuan yang layak.
3. Advancement. Memiliki kesempatan untuk maju ke tingkat pekerjaan yang lebih tinggi.
4. Challenge. Memiliki pekerjaan yang menantang untuk berprestasi.
Sebaliknya untuk feminine:
1. Manager. Memiliki hubungan kerja yang baik dengan superior di atas anda.
2. Cooperation. Bekerja baik dengan orang lain
3. Living area. Hidup di lingkungan menarik bagi anda dan keluarga anda.
4. Employment security. Memiliki jaminan di mana anda dapat bekerja pada perusahaan
anda sepanjang anda inginkan.
Perbedaan masculinity-feminity dalam negara juga ditunjukkan atau ditentukan pula oleh
kelas sosial, tingkat pendidikan dan pekerjaan. Dalam mengukur perbedaan masculinity-feminity
juga dapat hubungkan dengan perbedaan-perbedaan di dalam keluarga, sekolah, tempat kerja,
propinsi dan ide-ide besar dalam negara.
Long-Term and Short-Term Orientation
Orientasi ini berdasarkan pada ajaran Confusianisme yang berdasarkan pada orientasi
jangka pendek dan panjang dalam hidup yang terdiri dari beberapa nilai nilai. Orientasi jangka
panjang dikaitkan dengan penghematan, ketekunan, dan kesediaan untuk mencapai tujuan,
berorientasi jangka panjang dan lebih mementingkan masa depan. Mereka memupuk nilai-nilai
pragmatis berorientasi pada penghargaan, termasuk ketekunan, tabungan dan kapasitas untuk
beradaptasi. Nilai-nilai yang terdapat pada long tem orientation antara lain persistence, menjalin
hubungan berdasarkan status, thrift (kehati-hatian), dan memiliki perasaan malu. Contoh negara-
negara yang menganut budaya long term orientation antara lain adalah Cina, Hong Kong,
Taiwan, Jepang dan Korea Selatan.
Sedangkan orientatisi jangka pendek berfokus pada keinginan untuk kepuasan sesaat,
dimana individu cenderung menghabiskan uang untuk menjaga hubungan dan lebih memilih
hasil cepat untuk keuntungan jangka panjang (kurang mau berkorban dalam jangka pendek untuk
mencapai dalam jangka panjang). Nilai-nilai untuk short term orientation antara lain stabilitas
personal, melindungi face, menghormati tradisi, saling berbalas salam dan hadiah. Contoh
negara-negara yang menganut short term orientation antara lain adalah Kanada, Filipina,
Nigeria, Pakistan dan termasuk Indonesia.
The Dimensions Combined
Para peneliti telah mengelompokkan beberapa negara bersama-sama dengan
membandingkan nilai nilai negara dengan perbedaan negara lain seperti kedekatan geografis,
bahasa bersama, latar belakang sejarah yang terkait, keyakinan agama yang sama dan praktek,
pengaruh filsafat umum, sistem politik yang identik, dalam segala hal dengan kata lain yang
tersirat oleh definisi budaya satu bangsa. Misalnya, jarak kekuasaan yang rendah dikaitkan
dengan praktik konsultasi politik dan ekuitas pendapatan, sedangkan jarak kekuasaan tinggi
berkorelasi dengan penggunaan suap dan korupsi dalam politik domestik dan tidak meratanya
pendapatan. Individualisme berkorelasi positif dengan mobilitas antara kelas-kelas sosial dan
dengan kekayaan nasional.
Perlu dicatat bahwa hanya karena kedua negara sama dalam satu dimensi tidak berarti
mereka akan serupa yang lain. Perlunya pemahaman bahwa peringkat yang dijelaskan dalam
teori ini adalah generalisasi tentang budaya masing-masing, dan seharusnya tidak mengejutkan
bahwa ada variasi individu dalam setiap budaya.
Table 2. Rankings of Select Countries on Hofstede’s Dimensions
Individualism
–
Collectivism
Uncertainty
Avoidance
Power
Distance
Masculinity -
Femininity
Long-Term
Short-Term
Arab
countries
Both Moderate Large Moderate
masculinity
Not available
Japan Both Extreme high Moderate Extreme Long term
masculinity
South Korea High
collectivism
High Moderate Moderate
femininity
Long term
United States Extreme
individualism
Low Moderate High
masculinity
Short term
Sumber : Griffin, A First Look at Communication Theory.(2012)
Gambar 1. Skema perbandingan Uncertainty Avoidance dan Power Distance
Sumber : http://www.fig.net
Contoh kasus: Mutasi GM dari AS ke Korea
John Denver, seorang GM berasal dari Amerika Serikat, baru saja dipindahtugaskan ke
Korea Selatan. Guna mempelajari perbedaan budaya kerja di Korea Selatan, John Denver dapat
menggunakan hasil studi Hofstede yang membandingkan berbagai negara pada dimensi Power
Distance, Uncertainty Avoidance dan Individualisme. Kajian Hofstede membandingan Amerika
Serikat & Korea Selatan terlihat sebagai berikut:
Dengan mengacu pada Hofstede Framework tersebut, maka dapat dilihat bahwa Korea
Selatan (dan Thailand) relatif terhadap Amerika Serikat adalah: 1. Lebih tidak dapat menerima
ketidakpastian 2. Power distance tinggi dan 3. Tingkat individualisme rendah.
Dengan demikian, sebagaimana disampaikan oleh Hofstede, seorang John Denver yang
berasal dari Amerika Serikat, ketika ditugaskan di Korea Selatan haruslah dapat:
1. Memahami perilaku masyarakat/komunitas Korea Selatan yang menganggap beberapa orang
lebih superior dibandingkan dengan yang lain karena status sosial, jender, ras, umur, pendidikan,
kelahiran, pencapaian, latar belakang dan lainnya.
2. Menyesuaikan dengan budaya Korea Selatan yang cenderung menjunjung tinggi konformitas
dan keamanan.
Diolah dari sumber: Han, et. Al. (2006) International Business, 3rd Ed. Pp. 76-77 Gambar Hofstede Framework
3. Memahami bahwa kebanyakan orang Korea Selatan lebih suka menghindari risiko.
4. Memiliki kemampuan untuk mengikuti peraturan formal dan juga ritual yang berlaku di Korea
Selatan.
5. Memahami bahwa di Korea Selatan, kepercayaan hanyalah diberikan kepada keluarga dan
teman yang terdekat.
6. Memahami bahwa masyarakat Korea Selatan menerima hubungan kekuasaan yang lebih
autokratik dan patrenalistik. Bawahan mengenal kekuasaan orang lain melalui formalitas,
misalnya posisi hierarki.
Kesimpulan
Griffin menjelaskan 4 teori yang menguji secara luas definisi dugaan terhadap budaya
dan menegaskan bagaimana budaya membentuk dan terbentuk dari komunikasi. Ia membahas
tentang penelitian Geert Hofstede yang menjelaskan tentang teori induktif budaya. Ia
mengumpulkan data statistik dari 100.000 pegawai IBM di seluruh dunia untuk menentukan nilai
dari budaya yang beragam (Hofstede, 1980).
Dimensi pertama adalah individualism – collectivism. Individualisme adalah lawan dari
kolektivisme, yaitu tingkat di mana individu terintegrasi ke dalam kelompok. Dari sisi
individualis kita melihat bahwa terdapat ikatan yang longgar di antara individu. Setiap orang
diharapkan untuk mengurus dirinya masing-masing dan keluarga terdekatnya. Sementara itu dari
sisi kolektivis, kita melihat bahwa sejak lahir orang sudah terintegrasi ke dalam suatu kelompok.
Bahkan seringkali keluarga jauh juga turut terlibat dalam merawat sanak saudara dan kerabatnya.
Selanjutnya adalah uncertainty avoidance atau penghindaran ketidakpastian. Menurut
Hofstede (1994:109), ketidakpastian dirasakan dan dipelajari oleh seorang anggota budaya dari
warisan budaya yang dipindahkan serta digerakkan melalui institusi dasar, seperti keluarga dan
sekolah. Perasaan itu direfleksikan ke dalam nilai yang dipegang secara kolektif oleh anggota
masyarakat, serta kemudian menuntun pola perilaku kolektif suatu masyarakat yang tidak mudah
dipahami oleh masyarakat lainnya.
Para anggota budaya yang berderajat tinggi dalam menghindari ketidakpastian memiliki
toleransi yang rendah pada ketidakpastian dan sesuatu yang sifatnya ambigu. Para anggota dari
kelompok budaya ini juga memiliki kebutuhan yang besar akan adanya peraturan formal dan
kebenaran mutlak. Selain itu juga kurang memberi toleransi pada ide atau perilaku yang
menyimpang dari peraturan formal. Sementara itu, orang dari kelompok budaya yang memiliki
derajat rendah dalam menghindari ketidakpastian akan memiliki karakteristik yang berlawanan
dengan orang-orang yang memiliki derajat tinggi dalam menghindari ketidakpastian.
Dimensi ketiga menurut Hofstede adalah power distance, power distance adalah suatu
tingkat kepercayaan atau penerimaan dari suatu power yang tidak seimbang di antara orang.
Budaya di mana beberapa orang dianggap lebih superior dibandingkan dengan yang lain karena
status sosial, gender, ras, umur, pendidikan, kelahiran, pencapaian, latar belakang atau faktor
lainnya merupakan bentuk power distance yang tinggi. Pada negara yang memiliki power
distance yang tinggi, masyarakat menerima hubungan kekuasaan yang lebih autokratik dan
patrenalistik. Sementara itu budaya dengan power distance yang rendah cenderung untuk melihat
persamaan di antara orang dan lebih fokus kepada status yang dicapai daripada yang disandang
oleh seseorang.
Terakhir, dimensi maskulinitas-feminitas (Hofstede dalam Ting-Toomey, 1999:72)
terkait dengan masyarakat yang dengan jelas membedakan karakteristik peran jender.
Karakteristik seperti laki-laki lebih asertif, keras, dan memiliki fokus pada keberhasilan material,
sementara perempuan yang cenderung rendah hati, lembut, dan berfokus pada kualitas hidup.
Hofstede (1994:81) dalam konteks organisasi mengemukakan bahwa pada kutub maskulin,
terdapat kesempatan untuk meraih pendapatan yang tinggi, pengakuan layak yang berkaitan
dengan prestasi, kemajuan menuju tataran pekerjaan yang lebih tinggi, serta memiliki tantangan
dalam pekerjaan. Sementara itu pada kutub feminin terdapat relasi kerja yang baik, kerjasama
yang baik, dan keamanan dalam melakukan pekerjaan. Suatu hal lagi yang menjadi pembeda
antara budaya maskulin dan feminin adalah pada cara atau proses peranan jender didistribusikan
dalam suatu kelompok budaya. Para anggota budaya maskulin akan berorientasi pada ambisi,
benda atau materi, kekuasaan, dan ketegasan, sementara para anggota budaya feminin akan
memberi nilai yang tinggi pada kualitas hidup, pelayanan, perhatian pada orang lain di dalam
kelompok, dan pemeliharaan hubungan.
Referensi
Hofstede, Geerts. 1994. Cultures And Organizations: Software Of The Mind. London: Harper
Collins Publishers.
Griffin, Em. 2012. A First Look at Communication Theory, 8th ed. New York: McGraw-Hill.
Gudikuntst, William B, Young Yun Kim. 1984. Communicating With Strangers , Third Edition.
New York : McGraw-Hill.
Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya.