144380682-etika-bisnis

Upload: ogi-wahyu-nugraha

Post on 17-Oct-2015

16 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • ETIKA BISNIS

    PENYIMPANGAN PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA KASUS OBAT HEWAN YANG MEMBAHAYAKAN

    KESEHATAN

    Nama Kelompok :

    Wahyu Mayrisah 040810250

    Salsabila 040810330

    Rerra P. 040810340

    Rizka Vidya 040810356

    Miftahul Agusta 040811254

    BAB I

  • PENDAHULUAN

    Masyarakat modern adalah masyarakat pasar atau masyarakat bisnis atau juga disebut

    sebagai masyarakat konsumen. Alasannya tentu jelas, semua orang dalam satu atau lain

    bentuk tanpa terkecuali adalah konsumen dari salah satu barang yang di peroleh melalui

    kegiatan bisnis. Semua manusia adalah konsumen termasuk pelaku bisnis atau produsen

    sendiri. Bisnis tidak mungkin berjalan kalau tidak ada konsumen yang menggunakan produk

    atau jasa yang dibuat dan ditawarkan oleh bisnis. Konsumen merupakan stakeholder yang

    sangat hakiki dalam bisnis modern. Bisnis tidak mungkin berjalan kalau tidak ada konsumen

    yang menggunakan produk atau jasa yang dibuat dan ditawarkan oleh bisnis.

    Konsumen harus diperlakukan dengan baik secara moral, tidak saja merupakan

    tuntunan etis, melainkan juga syarat mutlak untuk mencapai keberhasilan dalam bisnis.

    Sebagaimana halnya dengan banyak topik etika bisnis lainya, disinipun berlaku bahwa etika

    dalam praktek bisnis sejalan dengan kesuksesan dalam berbisnis. Perhatian untuk etika dalam

    hubungan dengan konsumen harus dianggap hakiki demi kepentingan bisnis itu sendiri.

    Karena itu bisnis mempunyai kewajiban moral untuk melindungi konsumen dan menghindari

    terjadinya kerugian bagi konsumen.

    Supaya bisnis berkesinambungan perlulah konsumen yang secara teratur memakai

    serta membeli produk atau jasa tersebut dan dengan demikian menjadi pelanggan. Pada saat

    terjadi krisis ekonomi, berdampak pada industri perunggasan karena harga pakan ayam dan

    obat-obatan naik drastis. Tidak mustahil kini perternak ayam lebih mudah tergoda menempuh

    cara-cara yang merugikan konsumen karena terdesak oleh keadaan ekonomi yang kurang

    ramah. Untuk produk telur dan daging ayam, industri ini sanggup menyediakan protein

    hewani relatif murah, produk ini sangat dibutuhkan masyarakat konsumen. Sedangkan daging

    sapi terlalu mahal dan daging babi tidak merupakan alternatif untuk penduduk yang sebagian

    besar beragama Islam. Salah satu ciri khas peternakan ayam adalah bahwa industri ini rawan

    penyakit. Karena itu industri obat hewan merupakan sarana penunjang yang hakiki untuk

    industri perunggasan, pada umumnya pemakaian obat di sektor perunggasan mempunyai tiga

    fungsi, yaitu pertama, obat dipakai untuk mengobati penyakit yang menyerang ayam

    (kuratif). Kedua, obat dipakai untuk mencegah terjadinya penyakit (perventif), obat macam

    ini biasanya disebut vaksin. Ketiga, obat bisa dipakai juga sebagai zat pemacu

    pertumbuhan (growth promotor). Tentang cara penggunaan obat hewan dapat dicatat lagi

  • bahwa sebagian obat itu diberikan melalui suntikan dan sebagian lain dengan mencampur

    dalam pakan ternak atau air minum.

    Di Indonesia berlaku peraturan bahwa setiap obat hewan yang dibuat ataupun dijual

    harus melewati pengujian mutunya demi keamanan ternak dan konsumen, sebelumnya obat

    tersebut diberikan nomor registrasi. Pengujian ini dilakukan oleh Balai Pengujian Mutu dan

    Sertifikasi Obat Hewani (BPMSOH) dan kalau hasilnya positif nomor registrasi akan

    diberikan oleh direktorat jendral peternakan dari Departemen Pertanian. Salah satu indikator

    yang menunjukan pesatnya perkembangan industri obat hewan adalah ramainya para

    pengusaha yang memburu perolehan nomor registrasi. Sebagaimana hampir setiap sektor

    industri pangan menimbulkan masalah-masalah etis tertentu, demikianpun peternakan ayam

    tidak luput dari masalah-masalah yang berkonotasi etika. Salah satunya menyangkut

    lingkungan hidup. Peternakan ayam pada skala besar mengakibatkan bahwa bau kurang

    sedap yang akan menyengat hidung masyarakat sekitarnya. Karena itu sering timbul masalah

    etika bila lokasi peternakan ayam terlalu dekat dengan tempat hunian. Namun demikian,

    persoalan yang sebenarnya penting ini dipelajari disini. Laporan ini ingin memfokuskan pada

    masalah etika yang tampak berhubungan dengan penjualan dan penggunaan obat hewan

    dalam sektor industri pangan, karena masalah-masalah itu secara langsung berkaitan dengan

    hak dan keselamatan konsumen.

  • BAB 2

    ISI

    MASALAH ETIS SEPUTAR KONSUMEN

    Perhatian untuk Konsumen

    Kesadaran akan kewajiban bisnis terhadap para konsumen belum begitu lama timbul

    dalam dunia bisnis dan di banyak tempat belum berakar dalam dan belum begitu kuat. Suatu

    bisnis dimulai dengan mencurahkan segala perhatianya kepada produk yang dihasilkan bukan

    kepada konsumen.

    Hakhak konsumen yang dipandang sebagai jalan masuk yang tepat dalam masalah

    etis seputar konsumen sangat diperlukan. Hakhak tersebut adalah sebagai berikut:

    Hak atas keamanan

    Konsumen berhak atas produk produk yang aman, artinya produk yang tidak mempunyai

    kesalahan teknis atau kesalahan lainnya yang bisa merugikan kesehatan atau bahkan

    mengancam jiwanya, seperti adanya obat pengawet pada makanan, mainan anak, dll

    Hak atas informasi

    Konsumen berhak mengetahui segala informasi yang relevan mengenai produk yang

    dibelinya, baik apa sesungguhnya produk itu maupun bagaimana cara memakai yang benar

    dan maupun resiko yang ditimbulkan dari produk tersebut.

    Hak untuk memilih

    Konsumen berhak untuk memilih antara berbagai produk dan jasa yang ditawarkan, kualitas

    dan harga produk bisa berbeda sehingga konsumen berhak membandingkanya sebelum

    mengambil keputusan untuk membeli.

    Hak untuk didengarkan

    Konsumen berhak keinginanya tentang produk atau jasa didengarkan dan dipertimbangkan,

    terutama keluhannya dan produsen harus menerima baik keluhan tersebut. Hak ini merupakan

    hak legal yang dapat dituntut di pengadilan.

  • Hak lingkungan hidup

    Melalui produk yang digunakannya konsumen memanfaatkan sumber daya alam. Konsumen

    berhak bahwa produk dibuat sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu lingkungan atau

    merugikan keberlanjutan proses alam.

    Hak konsumen atas pendidikan

    Konsumen mempunyai hak untuk secara positif dididik ke arah yang baik terutama di sekolah

    atau melalui media massa, masyarakat harus dipersiuapkan menjadi konsumen yang kritis

    dan sadar akan haknya.

    Tanggung Jawab Bisnis untuk Menyediakan Produk yang Aman

    Kerugian konsumen sebagai akibat dari pemakaian produk tertentu menjadi tanggung

    jawab produsen. Akan tetapi produsen hanya bertanggung jawab kalau kerugian disebabkan

    karena kesalahan produksi atau konstruksi. Jika produk disalahgunakan oleh konsumen maka

    produsen tidak bertanggung jawab. Produsen juga tidak bertanggung jawab bila alat yang

    berbahaya mengakibatkan kerugian karena konsumen tidak berhati hati .

    Ada tiga pandangan dasar teoritis bagi pendekatan etis maupun yuridis mengenai

    hubungan antara produsen dan konsumen, khususnya dalam hal tanggung jawab atas produk

    yang ditawarkan oleh produsen dan dibeli oleh konsumen, yaitu:

    Teori kontrak

    Menurut pandangan ini hubungan antara produsen dan konsumen sebaiknya dilihat

    sebagai semacam kontrak dan kewajiban produsen terhadap konsumen didasarkan atas

    kontrak itu. Jika konsumen membeli sebuah produk, ia seolah-olah mengadakan kontrak

    dengan perusahaan yang menjual produk tersebut. Transaksi jual beli harus dijalankan sesuai

    dengan apa yang tertera dalam kontrak itu dan hak pembeli maupun kewajiban penjual

    memperoleh dasarnya dari apa yang tertera.

    Agar kontrak tersebut menjadi sah, kontrak harus memenuhi beberapa syarat lagi, yaitu:

    1. Kedua belah pihak harus mengetahui betul baik arti kontrak maupun sifat

    produk.

    2. Kedua belah pihak harus melukiskan dengan benar fakta yang menjadi obyek

    kontrak.

    3. Ketiga tidak boleh ada paksaan antar kedua belah pihak.

  • Kewajiban paling penting adalah melaksanakan kontrak sesuai dengan ketentuannya.

    Produk yang disampaikan kepada konsumen harus mempunyai kualitas yang dijanjikan atau

    disepakati sebelumnya, dan dalam memberi kesepakatan konsumen harus mengambil

    keputusan dengan kebebasan penuh.

    Dari berbagai segi pandangan kontrak tidak memuaskan, ada 3 keberatan terhadap

    pandangan ini, yaitu.:

    1. Teori kontrak mengandaikan bahwa produsen dan konsumen berada pada taraf yang

    sama

    2. Teori kontrak mengandaikan hubungan langsung antara produsen dan konsumen.

    3. Konsepsi kontrak tidak cukup untuk melindungi konsumen dengan baik.

    Teori Perhatian Semestinya

    Berbeda dengan pandangan kontrak, pandangan kedua ini tidak menyetarafkan produsen

    dan konsumen, melainkan bertolak dari kenyataan bahwa konsumen selalu dalam posisi

    lemah, karena produsen mempunyai jauh lebih banyak pengetahuan dan pengalaman tentang

    produk yang tidak dimiliki oleh konsumen.

    Produsen bertanggung jawab atas kerugian yang dialami konsumen yang memakai

    produknya walaupun tanggung jawab itu tidak tertera dalam kontrak jual beli atau bahkan

    disangkal secara eksplisit.

    Pandangan perhatian semestinya ini tidak memfokuskan kontrak atau persetujuan antara

    konsumen dan produsen, melainkan pada kualitas produk serta tanggung jawab produsen.

    Karena itu tekanannya bukan pada segi hukum saja akan tetapi pada etika dalam arti luas,

    sehingga teori ini mempunyai basis etika yang teguh. Setelah mempelajari seluk beluknya,

    maka pandangan perhatian semestinya ini lebih memuaskan daripada pandangan kontrak.

    Namun hal itu tidak berarti bahwa pandangan ini tidak mempunyai kelemahan. Dua kesulitan

    yang bisa muncul di teori ini adalah:

    1. Tidak gampang menentukan apa arti semestinya.

    2. Pengetahuan produsen juga terbatas .

    Teori Biaya Sosial

    Teori biaya sosial menegaskan bahwa produsen bertanggung jawab atas semua

    kekurangan produk dan setiap kerugian yang dialami konsumen dalam memakai produk

    tersebut. Hal itu juga berlaku jika produsen sudah mengambil semua tindakan yang

  • semestinya dalam merancang serta memproduksi produk bersangkutan atau jika produsen

    sudah mengingatkan kepada konsumen tentang resiko yang ditimbulkan dari produk

    tersebut . Teori ini terlalu berat sebelah dengan membebankan segala tanggung jawab pada

    produsen.

    TANGGUNG JAWAB LAINNYA TERHADAP KONSUMEN

    Tiga kewajiban moral lain yang masing masing berkaitan dengan kualitas produk, harga,

    dan pemberian label serta pengemasan:

    Kualitas produk.

    Produk harus sesuai dengan apa yang dijanjikan oleh produsen (melalui iklan atau

    informasi lainya) dan apa yang secara wajar boleh diharapkan oleh konsumen. Konsumen

    berhak atas produk yang berkualitas karena ia membayar untuk itu. Dan bisnis berkewajiban

    untuk menyampaikan produk yang berkualitas, misalnya seperti produk yang tidak

    kadaluwarsa.

    Salah satu cara yang biasanya ditempuh oleh produsen adalah dengan cara memberikan

    jaminan kulaitas produk berupa garansi dari produk tersebut. Kualitas produk tidah hanya

    merupakan suatu tuntutan etis melainkan juga suatu sayarat untuk mencapai sukses dalam

    bisnis.

    Harga.

    Harga yang adil merupakan sebuah topik etika yang sudah tua. Dalam zaman Yunani

    kuno masalah etis sudah dibicarakan dengan cukup mendalam. Karena itu masalah harga

    menjadi kenyataan ekonomis yang sangat kompleks yang ditentukan oleh banyak faktor,

    namun masalah ini tetap mempunyai implikasi etis yang penting.

    Harga merupakan buah hasil perhitungan faktor-faktor, seperti biaya produksi, biaya

    investasi, promosi ,serta pajak dan laba yang wajar. Dalam sistem ekonomi pasar bebas

    sepintas harga yang adil adalah hasil akhir dari perkembangan daya pasar. Harga yang adil

    dihasilkan oleh tawar-menawar sebagaimana dilakukan di pasar tradisional, dimana si

    pembeli sampai pada maksimum harga yang mau ia bayar dan sampai pada minimum harga

    yang penjual tawarkan.

    Dalam situasi harga yang adil merupakan hasil dari penerapan dua prinsip, yaitu pengaruh

    pasar dan stabilitas harga. Harga menjadi tidak adil setidaknya karena 4 faktor:

    1. Penipuan.

    Terjadi bila beberapa produsen berkoalisi untuk menentukan harga.

  • 2. Ketidaktahuan.

    Ketidaktahuan pihak konsumen juga mengakibatkan harga menjadi tidak adil.

    3. Penyalahgunaan kuasa.

    Terjadi dengan banyak cara, salah satunya adalah pengusaha besar yang merasa dirinya

    kuat memasang harga murah hingga sainganya tergeser dari pasaran.

    4. Manipulasi emosi.

    Merupakan faktor lain yang bisa mengakibatkan harga menjadi tidak adil.

    Memanipulasikan keadaan emosional seseorang untuk memperoleh untung besar melalui

    harga tinggi dan tak lain mempermainkan konsumen itu sendiri.

    Pengemasan dan pemberian label.

    Pengemasan produk dan label yang ditempelkan pada produk merupakan aspek bisnis

    yang penting. Selain bertujuan melindungi produk, juga memungkinkan mempergunakan

    produk dengan mudah. Pada produk yang berbahaya harus disebut informasi yang dapat

    melindungi si pembeli dan orang lain. Tuntutan etis lainnya adalah bahwa pengemasan tidak

    boleh menyesatkan konsumen.

    CONTOH KASUS:

    Masalah Etika Mengenai Obat Ayam.

    Jika kita berusaha menginventarisasi masalah-masalah etika yang muncul dalam konteks

    penjualan dan pemakaian obat ayam, terutama harus mencatat tujuh kasus kejadian berikut

    ini :

    1. Ada perusahaan yang belum mempunyai izin di bidang usaha obat hewan, tetapi

    sudah melakukan kegiatan penjualan obat hewan.

    2. Produk obat hewan yang belum memiliki nomor registrasi dari perusahaan yang

    sudah mempunyai izin ataupun belum, sudah diperjualbelikan di pasaran.

    3. Cara pemakaian dan dosis obat tidak sesuai dengan standar yang berlaku untuk jenis

    obat yang bersangkutan.

  • 4. Bahan baku obat hewan dijual secara bebas langsung kepada peternak ayam,padahal

    seharusnya bahan baku haniya dijual kepada pabrik obat hewan untuk selanjutnya

    diproses dalam bentuk obat jadi.

    5. Peternak ayam menggunakan obat-obatan manusia yang oleh perusahaan farmasi

    langsung dijual kepada peternakan ayam.

    6. Produsen atau penyalur obat hewan tidak memberi penyuluhan yang tepat kepada

    peternak ayam atau dengan cara lain berperilaku kurang etis.

    7. Obat yang sudah dilarang karena membahayakan kesehatan manusia masih dijual

    kepada peternak ayam dan masih dipakai sebagai obat hewan.

    Analisis E tika .

    Kasus 1 dan 2 secara langsung merupakan pelanggaran terhadap hukum karena

    menyalahi peraturan pemerintah bahwa semua perusahaan yang akan beroperasi di bidang

    obat hewan harus memperoleh izin usaha terlebih dahulu dari Direktorat Jenderal Peternakan,

    Departemen Pertanian dan produk obat hewan yang akan dipasarkan di Indonesia harus

    melalui pengujian oleh BPMSOH untuk mendapatkan nomor registrasi, baru sesudahnya

    boleh diedarkan dan diperjualbelikan dengan sah. Secara tidak langsung pelanggaran ini

    bertentangan dengan etika ,karena:

    1. Kewajiban mematuhi peraturan hukum didasarkan atas etika .

    2. Pelanggaran itu bisa menjadi biang keladi untuk tindakan yang merugikan

    masyarakat konsumen. Pelanggaran dalam kasus 3 sampai dengan 7 barangkali paling

    banyak dilakukan oleh perusahaan yang belum memiliki izin atau dengan obat yang belum

    diregistrasi. walaupun adanya izin atau registrasi tidak secara otomatis menjamin keamanan

    suatu produk obat hewan berdasarkan Cara Pembuatan Obat Hewan Yang Baik(CPOHB).

    Jadi dengan itu ditetapkan dan diterapkan sebuah standar untuk obat hewan di Indonesia.

    Dalam hal ini pengujiaannya tidak hanya menyangkut keefektifan dan keamanan bagi hewan,

    melainkan juga kesehatan manusia yang mengkonsumsi produk peternakan dalam bentuk

    telur atau daging ayam.

  • Dalam kasus 3, cara pemakaian dan dosis obat tidak sesuai dengan

    standar.Memberikan obat melalui suntikan atau dicampur dengan air minum tentu tidak

    sama. Kualitas air minum juga bisa mempengaruhi efektifitas obat dan dosis harus ditentukan

    dan dilaksanakan dengan akurat. Pemberian obat hewan merupakan bidang yang menuntut

    keahlian tinggi. Lamanya pemberian obat khususnya antibiotika harus tepat. Obat tidak boleh

    diberikan lebih lama dari semestinya. Di sisi lain pengobatan juga tidak boleh dihentikan

    sebelum seluruh cure selesai. Demikian juga dosis obat sangat penting, dosis tidak boleh

    terlalu rendah tetapi juga tidak boleh terlalu tinggi. Dalam rangka penggunaan obat, hal yang

    sangat penting adalah waktu untuk berhenti mengkonsumsi obat yang tidak sama tiap jenis

    obat. Waktu henti obat itu diperlukan supaya obat dalam badan ayam hilang sama sekali atau

    sekurang-kurangnya tidak melebihi ambang batas toleransi. Pemakaian obat hewan dengan

    cara tidak tepat seperti itu bisa menyebabkan residu obat dalam telur atau daging yang

    kemudian termakan manusia konsumen. Karena itu pula masalah ini tidak boleh diremehkan.

    Penelitian yang dilakukan oleh Badan Penelitian Veteriner (Balitvet) di Bogor pada tahun

    1990 menunjukkan bahwa residu farmasetik berupa antibiotika ditemukan dalam daging dan

    hati ayam dalam kadar yang tinggi berkisar antara 10 sampai 78,9 persen. Sebagaimana

    diketahui,secara keseluruhan kadar residu pada hati jauh lebih tinggi daripada residu yang

    sama pada dagingnya.

    Yang patut disayangkan ialah sampai saat ini belum terdapat data yang menunjukkan

    dengan jelas berapa batas toleransi kadar residu antibiotika dari hasil peternakan unggas yang

    dapat diizinkan untuk konsumsi manusia. Perlu dicatat lagi, sejauh dilakukan control

    terhadap residu obat hewan di Indonesia terbatas pada produk yang akan di ekspor, karena

    perusahaan sadar akan konsekuensinya, bila tidak memenuhi syarat di negara yang memenuhi

    standar ketat, seperti misalnya Jepang. Perhatian untuk produk peternakan unggas yang

    dikonsumsi dalam negeri justru kurang. Lebih aneh lagi menurut pengamat di lapangan

    produk impor bisa bebas masuk tanpa diperiksa residu obatnya, Kasus 4 melanggar juga

    peraturan hukum. Produsen bahan baku bagi obat hewan tidak boleh menjual produknya

    langsung kepada peternak ayam dan peternak ayam itu hanya boleh mempergunakan obat

    hewan dalam bentuk obat jadi.

    Sebagaimana lazimnya di bidang bisnis, pelanggaran ini terjadi karena alasan mencari

    keuntungan. Walaupun pada skala skala besar praktek ini bisa mengakibatkan pemborosan

    karena diberikan dosis lebih besar daripada yang semestinya, bagi pihak-pihak yang langsung

    terlibat praktek ini membawa untung. Produsen bahan baku obat mendapat harga lebih baik

  • untuk produknya ketimbang ia menjual kepada pabrik farmasi. Pada gilirannya peternak

    ayam memperoleh obat-obatan dengan harga lebih murah,ketimbang ia harus membeli obat

    jadi.

    Dalam kasus 5 tersinyalir terjadinya penjualan obat manusia untuk dipakai oleh

    peternakan ayam. Rupanya praktek inipun sering berlangsung di Indonesia dan bukan saja di

    bidang peternakan ayam. Seorang kandidat dokter hewan dari Jerman yang sedang magang

    disalah satu Fakultas Kedokteran Hewan di Indonesia sempat heran menyaksikan kebiasaan

    ini, karena di negeri asalnya hal itu tidak diperbolehkan. Praktek ini sering terjadi dengan

    obat yang masih merupakan pilihan utama bagi manusia seprti ampisilin, amoksilin,

    tetrasiklin dan chloramphenicol. Jika obat manusia banyak dipakai untuk hewan yang

    dikonsumsi manusia, mudah bisa terjadi bahwa manusia bersama dengan daging hewan

    mengonsumsijuga residu obat yang tertinggal dalam daging hewan itu. Dengan demikian obat

    itu tidak mempan lagi. Bila dibutuhkan oleh manusia, karena sudah mengakibatkan resistensi.

    Hal itu sering terjadi dengan beberapa jenis antibiotika, tetapi juga dengan obat lain.

    Misalnya, chloramphenicol merupakan obat pilihan utama (drug of choice) untuk mengobati

    penyakit tifus pada manusia. Jika obat tersebut dipergunakan oleh peternak ayam, residu obat

    itu termakan oleh manusia dalam jangka waktu cukup lama, maka kuman penyebab tifus

    telah terbiasakan dengan obat itu atau, dengan kata lain, sudah menjadi resisten. Dengan

    demikian konsumen dirugika karena pengobatan yang normaldiberikan tidak akan berhasil,

    bila ia terkena penyakit tifus. Walaupun dengan itu penyakit tifus tidak perlu menjadi fatal,

    pengobatannya akan berlangsung lebih lama dan mengakibatkan penderitaan lebih banyak.

    Menurut para pengamat ada beberapa alasan mengapa di Indonesia obat manusia

    banyak dipakai untuk mengobati hewan. Alasan pertama adalah bahwa harga obat manusia

    biasanya lebih murah di bandingobat hewan. Alasan kedua, pilihan obat manusia lebih luas.

    Untuk keperluan manusia segala jenis obat tersedia, sedangkan obat yang khusus untuk

    hewan sering kali agak terbatas. Alasan lain lagi adalah bahwa obat hewan sering tersedia

    hanya dalam kemasan besar, sehingga kurang ekonomis bila dibutuhkan dalam kuantitas

    kecil saja. Dan akhirnya, kualitas obat manusia kira-kira sama dengan kualitas obat hewan,

    sehingga dari sudut itu pun tidak menjadi pertimbangan untuk memilih obat hewan yang

    khusus.

    Dalam kasus 6, bukan peternak melainkan produsen atau penyalur obat hewan

    berperilaku tidak etis. Hal itu bisa terjadi dengan banyak cara. Salah satu cara ialah dengan

  • memberikan penyuluhan yang kurang tepat pada peternak. Contohnya, tidak menyebutkan

    waktu henti obat dalam brosur yang menjelaskan pemakaian obat. Perilaku ini harus dinilai

    kurang etis karena merupakan kelalaian yang bisa berakibat negatif. Bisa terjadi juga

    pengusaha obat dengan sengaja menyesatkan peternak, karena mengejar keuntungan.

    Misalnya, suatu praktek yang disinyalir terjadi di Indonesia ialah bahwa penjual obat hewan

    membantu mendiagnosis penyakit ayam, lalu menawarkan obat yang kurang tepat. Ia tahu

    obat apa yang seharusnya diberikan untuk penyakit itu, tetapi perusahaannya tidak

    memproduksi atau menyalurkan obat tersebut. Daripada merujuk ke perusahaan yang

    mempunyai obat itu, ia menawarkan obatnya sendiri yang kurang efektif, karena merasa

    keberatan bila perusahaan lain medapat keuntungan. Perilaku tidak etis lainnya terjadi, jika

    perusahaan bermain dengan konsentrasi zat aktif dalam obat, dalam usaha untuk menghadapi

    pesaing yang menjual obat hewan dengan harga lebih murah. Praktek seperti ini tentu

    tergolong konkurensi yang tidak fair. Diluar konteks persaingan, bisa terjadi juga bahwa

    produsen menaikkan konsentrasi dalam obat dengan maksud supaya omsetnya lebih besar

    dan keuntungan yang diraih lebih besar pula. Tetapi praktek seperti itu mengakibatkan bahwa

    lebih mudah terjadi residu obat (terutama jika dilakukan dengan antibiotika) yang pasti

    merugikan kesehatan konsumen. Akhirnya, kasus 7 mengandung masalah etis lain lagi. Obat

    yang sudah dilarang masih dijual kepada peternak ayam. Contohnya adalah pelarangan obat

    hewan golongan nitrofuran dan derifatnya seperti furaltadon dan furazolidon dalam surat

    edaran direktorat jenderal peternakan No. TH 260/634/DKH/0996 tertanggal 19 September

    1996 dilarang untuk menyediakan, membuat, mengedarkan dan memakai obat ini diwilayah

    Indonesia, karena diketahui mempunyai efek karsinogenik yang dapat membahayakan

    masyarakat konsumen.

    Obat golongan nitrofuran itu sudah sejak lama dipakai dalam bentuk imbuhan pakan

    (feed additive) untuk pengobatan dan sebagai pengacu pertumbuhan, karena hasilnya cukup

    memuaskan dan harganya murah. Setelah efek negatif diketahui, apalagi setelah larangan

    eksplisit dari direktorat jenderal peternakan keluar, seharusnya pengusaha obat hewan tidak

    lagi menjual obat ini. Tetapi pada kenyataannya obat terlarang ini masih dijual kepada

    peternak (untuk menghabiskan stok yang masih tersedia?). tindakan ini jelas bertentangan

    dengan etika, karena merugikan kepentingan konsumen.

  • BAB 3

    KESIMPULAN

    Dalam etika bisnis, industri formasi sering disoroti sebagai wilayah usaha yang

    menimbulkan banyak masalah berkonotasi etika. Studi ini telah menunjukkan bahwa dalam

    sektor obat hewan khususnya obat ayam, terdapat masalah etis yang cukup berat. Inti

    permasalahannya adalah kerugian untuk masyarakat konsumen. Motif utama untuk

    menyalahkan obat ayam ialah menempatkan kepentingan ekonomis si pengusaha diatas

    kepentingan lain, khususnya kepentingan konsumen. Kesehatan masyarakat konsumen

    dikorbankan demi meraih keuntungan lebih besar.dengan demikian peternak ayam - dan

    secara tidak langsung pengusaha obat hewan lari dari tanggung jawab sosialnya.

    Masalah etis menjadi berat lagi,karena dalam hal ini konsumen sendiri tidak berdaya.

    Pada umumnya boleh dikatakan, konsumen sendiri juga mempunyai tanggung jawab. Seperti

    sudah kita lihat sebelumnya, dari konsumen dapat diharapkan ia bersikap kritis dalam menilai

    produk yang akan dibeli dan dikonsumsinya. Itulah kebenaran yang terkandung dalam

    pepatah kuno caveat emptor (hendaklah si pembeli berhati-hati). Tetapi jika kita membeli

    telur atau daging ayam, dengan mata telanjang kita tidak dapat memastikan apakah produk

    peternakan ini mengandung residu obat atau tidak. Seandainya kita tahu bahwa bahan itu

    dapat merugikan kesehatan tentu kita tidak akan membelinya. Sebaliknya, kiata akan

    mengajukan protes keras, sebagaimana kita lakukan bila menemukan bahan makanan yang

    tidak layak dikonsumsi karena sudah busuk atau kadaluarsa. Tetapi tentang produk

    peternakan itu penilaian dengan indera tidak mungkin. Bahan makanan seperti itu kita beli

  • dan konsumsi berdasarkan kepercayaan bahwa produk itu sehat. Lagipula, efek buruk dari

    efek konsumsi residu obat tidak tampak dengan segera. Bisa saja, efek buruk baru tampak

    sesudah waktu lama atau malah sama sekali tidak tampak dengan jelas, namun menjadi suatu

    faktor yang memperburuk kesehatan masyarakat disamping faktor-faktor lain.

    Karena itu semua pihak yang terlibat dalam produksinya bertanggung jawab untuk

    menyadiakan produk peternakan yang tidak merugikan konsumen. Tanggung jawab itu

    pertama-tama dipikul oleh peternak. Mereka secara langsung terlibat dalam proses produksi

    telur dan daging ayam. Sebagaimana halnya dalam industri pangan pada umumnya, mereka

    wajib menyediakan produk yang tidak membahayakan kesehatan konsumen. Jika peternak

    dengan sengaja tidak menjaga waktu henti obat sebelum memotong ayam dan menjualnya

    dipasaran, ia sebenarnya menipu publik konsumen. Berikutnya, produsen dan penyalur obat

    ayam turut bertanggung jawab juga. Khususnya produsen mempunyai keahlian dan

    pengetahuan tentang seluk beluk obat hewan. Mereka mempunyai kewajiban berat untuk

    memberikan penyuluhan yang semestinya kepada peternak sebagai pemakan obat

    ayam.peternakan besar biasanya mempunyai dokter hewan atau apoteker yang khusus

    mengawasi pemakaian obat. Tetapi peternakan kecil tidak mempunyai seorang ahli dibidang

    itu. Maka seluruhnya tergantung pada informasi yang diberikan dalam brosur atau secara

    lisan oleh penyalur. Karena itu sangat penting terciptanya suasana kepercayaan antara

    peternak kecil dan produsen serta penyalur obat hewan. Dari lapangan kita dengar, peternak

    kecil terkadang merasa curiga bila produsen memberikan petunjuk untuk menggunakan obat

    antibiotika sekian lama, sedangkan stelah dua hari obat dipakai ayam sudah sembuh. Ia

    mengira, petunjuk itu semata-mata bertujuan meningkatkan omzet si pengusaha. Kejadian

    seperti itu menunjukkan kurangnya kepercayaan antara pemakai obat dan produsen. Tetapi

    yang bisa menjadi korban adalah konsumen.

    Masih ada pihak ketiga yang bertanggung jawab disini, yaitu pemerintah. Kesehatan

    masyarakat termasuk kepentingan umum yang menjadi tanggungan khusus bagi pemerintah.

    Dalam hal ini perlindungan konsumen lebih mendesak lagi, karena konsumen tidak sanggup

    melindungi dirinya sendiri. Sebagaimana telah kita lihat, di Indonesia pengawasan terhadap

    pemakaian obat hewan masih lemah sekali. Ini tidak merupakan hal yang mengherankan. Di

    negara berkembang pada umumnya peraturan hukum dan pengawasan dalam banyak bentuk

    sering kali masih lemah. Richard De George menekankan bahwa di negara-negara

    berkembang background institutions bagi kegiatan bisnis masih kurang dan perlu mendapat

    perhatian khusus. Kekurangan kontrol atas penggunaan obat hewan ini barangkali bisa dilihat

  • sebagai salah satu contoh jelas tentang kenyataan ini. Masalah pengawasan ini tentu tidak

    bisa diatur dengan tuntas dalam waktu singkat. Pengaturan menyeluruh membutuhkan jangka

    waktu panjang. Yang penting ialah bahwa disini akan terjadi perbaikan berangsur-angsur

    menurut garis kebijaksanaan yang jelas dan efektif.

    Akhirnya masih boleh ditambahkan sebuah catatan tentang keterkaitan antara etika

    dan profesionalisme. Dalam sektor bisnis seperti peternak unggas terjadi cukup banyak

    pelanggaran etika, karena si peternak kurang profesional di bidangnya. Hal itu terutama

    berlaku untuk peternak kecil yang tentu merasa tertarik untuk menggunakan sarana-sarana

    modern seperti obat hewan. Anti-biotika malah tidak jarang dipandangnya sebagai obat

    ajaib, karena menghasilkan perbaikan kesehatan ayam dengan mencolok. Tetapi kerap kali

    ia kurang mengerti seluk-beluk penggunaan obat dan pengaruhnya atas kesehatan konsumen.

    Jika peternak kecil mempunyai kemauan untuk maju, ia akan bersedia juga untuk belajar dan

    memperbaiki penanganan perusahaannya. Disisi lain pengusaha obat secara khusus harus

    mengerti kesulitan peternak kecil dan mencari jalan untuk membantunya. Akhirnya, instansi

    pemerintahan yang terkait harus memperhatikan secara khusus peternak kecil ini. Selain

    menjalankan kontrol dan mensinyalir kesalahan yang terjadi, ia harus secara positif juga

    menunjukkan jalan untuk memperbaiki kelemahannya.

  • DAFTAR PUSTAKA

    BUKU:

    Pengantar Etika Bisnis; K. Bertens

    Etika Bisnis Tuntutan dan relevansinya; DR. A. Sonny Keraf