10 hakikat bahaya syirik

33
10 HAKIKAT BAHAYA SYIRIK Syirik adalah menyamakan antara selain Allah dengan Allah dalam hal-hal yang menjadi kekhususan bagi Allah. Syirik ini terbagi menjadi dua: 1. Syirik akbar; yaitu segala sesuatu yang disebut sebagai kesyirikan oleh pembuat syari’at dan menyebabkan pelakunya keluar dari agama 2. Syirik asghar; yaitu segala perbuatan atau ucapan yang disebut sebagai syirik atau kekafiran namun berdasarkan dalil-dalil diketahui bahwa hal itu tidak sampai mengeluarkan dari agama (lihat at-Tauhid al-Muyassar, hal. 20) Bahaya syirik [besar] banyak sekali, diantaranya adalah: 1. Pelakunya tidak akan diampuni apabila mati dalam keadaan belum bertaubat darinya (an-Nisaa’: 48) 2. Pelakunya keluar dari Islam, menjadi halal darah dan hartanya (at-Taubah: 5) 3. Amalan apa saja yang dilakukan tidak akan diterima oleh Allah, ia hanya akan menjadi sia-sia bagaikan debu yang beterbangan (al-Furqan: 23) 4. Pelakunya haram masuk surga (al-Ma’idah: 72) (lihat at-Tauhid al-Muyassar, hal. 26) Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, beliau berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; Dosa

Upload: muhammad-iqbal

Post on 09-Nov-2015

52 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

10 HAKIKAT BAHAYA SYIRIKSyirik adalah menyamakan antara selain Allah dengan Allah dalam hal-hal yang menjadi kekhususan bagi Allah. Syirik ini terbagi menjadi dua:1. Syirik akbar; yaitu segala sesuatu yang disebut sebagai kesyirikan oleh pembuat syariat dan menyebabkan pelakunya keluar dari agama2. Syirik asghar; yaitu segala perbuatan atau ucapan yang disebut sebagai syirik atau kekafiran namun berdasarkan dalil-dalil diketahui bahwa hal itu tidak sampai mengeluarkan dari agama (lihat at-Tauhid al-Muyassar, hal. 20)Bahaya syirik [besar] banyak sekali, diantaranya adalah:1. Pelakunya tidak akan diampuni apabila mati dalam keadaan belum bertaubat darinya (an-Nisaa: 48)2. Pelakunya keluar dari Islam, menjadi halal darah dan hartanya (at-Taubah: 5)3. Amalan apa saja yang dilakukan tidak akan diterima oleh Allah, ia hanya akan menjadi sia-sia bagaikan debu yang beterbangan (al-Furqan: 23)4. Pelakunya haram masuk surga (al-Maidah: 72) (lihat at-Tauhid al-Muyassar, hal. 26)Dari Abdullah bin Masud radhiyallahuanhu, beliau berkata, Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam; Dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?. Maka beliau menjawab, Engkau menjadikan sekutu bagi Allah padahal Dialah yang telah menciptakanmu. Abdullah berkata, Kukatakan kepadanya; Sesungguhnya itu benar-benar dosa yang sangat besar. Abdullah berkata, Aku katakan; Kemudian dosa apa sesudah itu?. Maka beliau menjawab, Lalu, kamu membunuh anakmu karena takut dia akan makan bersamamu. Abdullah berkata, Aku katakan; Kemudian dosa apa sesudah itu?. Maka beliau menjawab, Lalu, kamu berzina dengan istri tetanggamu. (HR. Bukhari dan Muslim)Abdullah bin Masud radhiyallahuanhu berkata, Sungguh, aku bersumpah dengan nama Allah tapi dusta itu lebih aku sukai daripada bersumpah dengan selain nama Allah meskipun jujur. Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah berkata, Kalau sikap seperti itu yang diterapkan terhadap syirik ashghar, lantas bagaimanakah lagi sikap terhadap syirik akbar yang menyebabkan pelakunya kekal di neraka? (lihat Fath al-Majid, hal. 402).Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah berkata, Setiap amal yang dipersembahkan oleh orang tanpa dibarengi tauhid atau pelakunya terjerumus dalam syirik maka hal itu tidak ada harganya dan tidak memiliki nilai sama sekali untuk selamanya. Karena ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah [yang benar] tanpa tauhid. Apabila tidak disertai tauhid, maka bagaimanapun seorang berusaha keras dalam melakukan sesuatu yang tampilannya adalah ibadah seperti bersedekah, memberikan pinjaman, dermawan, suka membantu, berbuat baik kepada orang dan lain sebagainya, padahal dia telah kehilangan tauhid dalam dirinya, maka orang semacam ini termasuk dalam kandungan firman Allah azza wa jalla (yang artinya), Kami tampakkan kepada mereka segala sesuatu yang telah mereka amalkan -di dunia- kemudian Kami jadikan amal-amal itu laksana debu yang beterbangan. (QS. al-Furqan: 23). (lihat Abraz al-Fawaid min al-Arba al-Qawaid, hal. 11)Allah taala berfirman (yang artinya), Dan Kami tampakkan apa yang dahulu telah mereka amalkan lalu Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan. (QS. Al-Furqan: 23)Imam Ibnul Jauzi rahimahullah menafsirkan, Apa yang dahulu telah mereka amalkan yaitu berupa amal-amal kebaikan. Adapun mengenai makna Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan maka beliau menjelaskan, Karena sesungguhnya amalan tidak akan diterima jika dibarengi dengan kesyirikan. (lihat Zaadul Masir, hal. 1014)Abu Hurairah radhiyallahuanhu berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya orang-orang yang pertama kali diadili pada hari kiamat adalah: [1] Seorang lelaki yang berjuang mencari mati syahid. Lalu dia dihadirkan dan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang sekiranya akan diperolehnya, sehingga dia pun bisa mengenalinya. Allah bertanya kepadanya, Apa yang telah kamu lakukan untuk mendapatkan itu semua?. Dia menjawab, Aku berperang di jalan-Mu sampai aku menemui mati syahid. Allah menimpali jawabannya, Kamu dusta. Sebenarnya kamu berperang agar disebut-sebut sebagai pemberani, dan sebutan itu telah kamu peroleh di dunia. Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya dalam keadaan tertelungkup di atas wajahnya hingga akhirnya dia dilemparkan ke dalam api neraka. [2] Seorang lelaki yang menimba ilmu dan mengajarkannya serta pandai membaca/menghafal al-Quran. Lalu dia dihadirkan dan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang sekiranya akan diperolehnya, sehingga dia pun bisa mengenalinya. Allah bertanya kepadanya, Apa yang telah kamu lakukan untuk mendapatkan itu semua?. Dia menjawab, Aku menimba ilmu dan mengajarkannya serta aku membaca/menghafal al-Quran di jalan-Mu. Allah menimpali jawabannya, Kamu dusta. Sebenarnya kamu menimba ilmu agar disebut-sebut sebagai orang alim, dan kamu membaca al-Quran agar disebut sebagai qari. Dan sebutan itu telah kamu dapatkan di dunia. Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya dalam keadaan tertelungkup di atas wajahnya hingga akhirnya dia dilemparkan ke dalam api neraka. [3] Seorang lelaki yang diberi kelapangan oleh Allah serta mendapatkan karunia berupa segala macam bentuk harta. Lalu dia dihadirkan dan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang sekiranya akan diperolehnya, sehingga dia pun bisa mengenalinya. Allah bertanya kepadanya, Apa yang telah kamu lakukan untuk mendapatkan itu semua?. Dia menjawab, Tidak ada satupun kesempatan yang Engkau cintai agar hamba-Mu berinfak padanya melainkan aku telah berinfak padanya untuk mencari ridha-Mu. Allah menimpali jawabannya, Kamu dusta. Sesungguhnya kamu berinfak hanya demi mendapatkan sebutan sebagai orang yang dermawan. Dan sebutan itu telah kamu dapatkan di dunia. Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya dalam keadaan tertelungkup di atas wajahnya hingga akhirnya dia dilemparkan ke dalam api neraka. (HR. Muslim)Khawatir Terjerumus Dalam SyirikSebagai seorang muslim, semestinya kita merasa takut terjatuh ke dalam syirik. Allah taala berfirman tentang doa yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim alaihis salam (yang artinya), Jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah patung. (QS. Ibrahim: 35)Ibrahim at-Taimi rahimahullah -salah seorang ulama ahli ibadah dan zuhud yang meninggal di dalam penjara al-Hajjaj pada tahun 92 H- mengatakan, Maka, siapakah yang bisa merasa aman [terbebas] dari musibah [syirik] setelah Ibrahim -alaihis salam-? (lihat Qurrat Uyun al-Muwahhidin karya Syaikh Abdurrahman bin Hasan alusy Syaikh, hal. 32)Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, Ibrahim alaihis salam bahkan mengkhawatirkan syirik menimpa dirinya, padahal beliau adalah kekasih ar-Rahman dan imamnya orang-orang yang hanif/bertauhid. Lalu bagaimana menurutmu dengan orang-orang seperti kita ini?! Maka janganlah kamu merasa aman dari bahaya syirik. Jangan merasa dirimu terbebas dari kemunafikan. Sebab tidaklah merasa aman dari kemunafikan kecuali orang munafik. Dan tidaklah merasa takut dari kemunafikan kecuali orang mukmin. (lihat al-Qaul al-Mufid ala Kitab at-Tauhid [1/72] cet. Maktabah al-Ilmu)Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah berkata, Apabila Ibrahim alaihis salam; orang yang telah merealisasikan tauhid dengan benar dan mendapatkan pujian sebagaimana yang telah disifatkan Allah tentangnya, bahkan beliau pula yang telah menghancurkan berhala-berhala dengan tangannya, sedemikian merasa takut terhadap bencana (syirik) yang timbul karenanya (berhala). Lantas siapakah orang sesudah beliau yang bisa merasa aman dari bencana itu?! (lihat at-Tamhid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 50)Syaikh Shalih bin Saad as-Suhaimi hafizhahullah berkata, Syirik adalah perkara yang semestinya paling dikhawatirkan menimpa pada seorang hamba. Karena sebagian bentuk syirik itu adalah berupa amalan-amalan hati, yang tidak bisa diketahui oleh setiap orang. Tidak ada yang mengetahui secara persis akan hal itu kecuali Allah semata. Sebagian syirik itu muncul di dalam hati. Bisa berupa rasa takut, atau rasa harap. Atau berupa inabah/mengembalikan urusan kepada selain Allah jalla wa ala. Atau terkadang berupa tawakal kepada selain Allah. Atau mungkin dalam bentuk ketergantungan hati kepada selain Allah. Atau karena amal-amal yang dilakukannya termasuk dalam kemunafikan atau riya. Ini semuanya tidak bisa diketahui secara persis kecuali oleh Allah semata. Oleh sebab itu rasa takut terhadapnya harus lebih besar daripada dosa-dosa yang lainnya (lihat Transkrip ceramah Syarh al-Qawaid al-Arba 1425 H oleh beliau, hal. 6)Perusak Tauhid dan KeikhlasanImam Nawawi rahimahullah berkata, Ketahuilah, bahwasanya keikhlasan seringkali terserang oleh penyakit ujub. Barangsiapa yang ujub dengan amalnya maka amalnya terhapus. Begitu pula orang yang menyombongkan diri dengan amalnya maka amalnya menjadi terhapus. (lihat Tathir al-Anfas, hal. 584)Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, Banyak orang yang mengidap riya dan ujub. Riya itu termasuk dalam perbuatan mempersekutukan Allah dengan makhluk. Adapun ujub merupakan bentuk mempersekutukan Allah dengan diri sendiri, dan inilah kondisi orang yang sombong. Seorang yang riya berarti tidak melaksanakan kandungan ayat Iyyaka nabudu. Adapun orang yang ujub maka dia tidak mewujudkan kandungan ayat Iyyaka nastain. Barangsiapa yang mewujudkan maksud ayat Iyyaka nabudu maka dia terbebas dari riya. Dan barangsiapa yang berhasil mewujudkan maksud ayat Iyyaka nastain maka dia akan terbebas dari ujub. Di dalam sebuah hadits yang terkenal disebutkan, Ada tiga perkara yang membinasakan; sikap pelit yang ditaati, hawa nafsu yang selalu diperturutkan, dan sikap ujub seseorang terhadap dirinya sendiri. (lihat Mawaizh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 83 cet. al-Maktab al-Islami)Yusuf bin Asbath rahimahullah berkata, Allah tidak menerima amalan yang di dalamnya tercampuri riya walaupun hanya sekecil biji tanaman. (lihat Tathir al-Anfas, hal. 572)Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu pernah berkata, Amal yang salih adalah amalan yang kamu tidak menginginkan pujian dari siapapun atasnya kecuali dari Allah. (lihat al-Ikhlas wa an-Niyyah, hal. 35)Abu Ishaq al-Fazari rahimahullah berkata, Sesungguhnya diantara manusia ada orang yang sangat menggandrungi pujian kepada dirinya, padahal di sisi Allah dia tidak lebih berharga daripada sayap seekor nyamuk. (lihat Tathir al-Anfas, hal. 573)Syirik Kezaliman TerbesarAllah taala berfirman (yang artinya), Janganlah kamu berdoa kepada selain Allah, sesuatu yang jelas tidak kuasa memberikan manfaat dan madharat kepadamu. Kalau kamu tetap melakukannya maka kamu benar-benar termasuk orang yang berbuat zalim. (QS. Yunus: 106). Imam Abul Qasim al-Qusyairi rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud doa di dalam ayat ini adalah ibadah (lihat Fath al-Bari [11/107] cet. Dar al-Hadits)Allah taala berfirman (yang artinya), Sungguh Kami telah mengutus para utusan Kami dengan keterangan-keterangan yang jelas dan Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca agar umat manusia menegakkan keadilan. (QS. Al-Hadid: 25)Ibnul Qayyim berkata, Allah subhanahu mengabarkan bahwasanya Dia telah mengutus rasul-rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya supaya umat manusia menegakkan timbangan (al-Qisth) yaitu keadilan. Diantara bentuk keadilan yang paling agung adalah tauhid. Ia adalah pokok keadilan dan pilar penegaknya. Adapun syirik adalah kezaliman yang sangat besar. Sehingga, syirik merupakan tindak kezaliman yang paling zalim, dan tauhid merupakan bentuk keadilan yang paling adil. (lihat ad-Daa wa ad-Dawaa, hal. 145)Beliau juga berkata, Sesungguhnya orang musyrik adalah orang yang paling bodoh tentang Allah. Tatkala dia menjadikan makhluk sebagai sesembahan tandingan bagi-Nya. Itu merupakan puncak kebodohan terhadap-Nya, sebagaimana hal itu merupakan puncak kezaliman dirinya. Sebenarnya orang musyrik tidaklah menzalimi Rabbnya. Karena sesungguhnya yang dia zalimi adalah dirinya sendiri. (lihat ad-Daa wa ad-Dawaa, hal. 145)Allah taala berfirman (yang artinya), Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia akan mengampuni dosa lain yang berada di bawah tingkatan syirik itu bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya. (QS. an-Nisaa: 48).Dari Anas bin Malik radhiyallahuanhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Allah taala berfirman, Wahai anak Adam! Seandainya kamu datang kepada-Ku dengan membawa dosa hampir sepenuh isi bumi lalu kamu menemui-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun, niscaya Aku pun akan mendatangimu dengan ampunan sebesar itu pula. (HR. Tirmidzi dan dihasankan olehnya)Dari Abdullah bin Masud radhiyallahuanhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, niscaya dia masuk ke dalam neraka. Dan aku -Ibnu Masud- berkata, Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia pasti akan masuk surga. (HR. Bukhari dan Muslim)Demikian yang bisa kami himpun dalam kesempatan ini dengan taufik dari Allah, semoga bermanfaat bagi kita. Wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammadin wa ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil alamin.Mengkaji Ilmu TauhidApakah ilmu tauhid itu? Ilmu tauhid adalah ilmu yang membahas pengokohan keyakinan-keyakinan agama Islam dengan dalil-dalil naqli maupun aqli yang pasti kebenarannya sehingga dapat menghilangkan semua keraguan, ilmu yang menyingkap kebatilan orang-orang kafir, kerancuan dan kedustaan mereka. Dengan ilmu tauhid ini, jiwa kita akan kokoh, dan hati pun akan tenang dengan iman. Dinamakan ilmu tauhid karena pembahasan terpenting di dalamnya adalah tentang tauhidullah (mengesakan Allah). Allah swt. Berfirman yang artinya :

"Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar, sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran." (Ar-Rad: 19)

Bidang Pembahasan Ilmu TauhidApa saja yang dibahas? Ilmu tauhid membahas enam hal, yaitu:1. Iman kepada Allah, tauhid kepada-Nya, dan ikhlash beribadah hanya untuk-Nya tanpa sekutu apapun bentuknya.2. Iman kepada rasul-rasul Allah para pembawa petunjuk ilahi, mengetahui sifat-sifat yang wajib dan pasti ada pada mereka seperti jujur dan amanah, mengetahui sifat-sifat yang mustahil ada pada mereka seperti dusta dan khianat, mengetahui mujizat dan bukti-bukti kerasulan mereka, khususnya mujizat dan bukti-bukti kerasulan Nabi Muhammad saw.3. Iman kepada kitab-kitab yang diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul sebagai petunjuk bagi hamba-hamba-Nya sepanjang sejarah manusia yang panjang.4. Iman kepada malaikat, tugas-tugas yang mereka laksanakan, dan hubungan mereka dengan manusia di dunia dan akhirat.5. Iman kepada hari akhir, apa saja yang dipersiapkan Allah sebagai balasan bagi orang-orang mukmin (surga) maupun orang-orang kafir (neraka).6. Iman kepada takdir Allah yang Maha Bijaksana yang mengatur dengan takdir-Nya semua yang ada di alam semesta ini.

Allah swt berfirman yang artinya :"Rasul telah beriman kepada Al-Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya." (Al-Baqarah: 285)

Rasulullah saw. ditanya tentang iman, beliau menjawab,"Iman adalah engkau membenarkan dan meyakini Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan taqdir baik maupun buruk."(HR. Muslim).

Kedudukan Ilmu Tauhid di Antara Semua IlmuKemuliaan suatu ilmu tergantung pada kemulian tema yang dibahasnya. Ilmu kedokteran lebih mulia dari teknik perkayuan karena teknik perkayuan membahas seluk beluk kayu sedangkan kedokteran membahas tubuh manusia. Begitu pula dengan ilmu tauhid, ini ilmu paling mulia karena objek pembahasannya adalah sesuatu yang paling mulia. Adakah yang lebih agung selain Pencipta alam semesta ini? Adakah manusia yang lebih suci daripada para rasul? Adakah yang lebih penting bagi manusia selain mengenal Rabb dan Penciptanya, mengenal tujuan keberadaannya di dunia, untuk apa ia diciptakan, dan bagaimana nasibnya setelah ia mati?

Apalagi ilmu tauhid adalah sumber semua ilmu-ilmu keislaman, sekaligus yang terpenting dan paling utama.Karena itu, hukum mempelajari ilmu tauhid adalah fardhu ain bagi setiap muslim dan muslimah sampai ia betul-betul memiliki keyakinan dan kepuasan hati serta akal bahwa ia berada di atas agama yang benar. Sedangkan mempelajari lebih dari itu hukumnya fardhu kifayah, artinya jika telah ada yang mengetahui, yang lain tidak berdosa. Allah swt. Berfirman yang artinya,"Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah."(Muhammad: 19)

Al-Quran adalah Kitab Tauhid Terbesar

Sesungguhnya pembahasan utama Al-Quran adalah tauhid. Kita tidak akan menemukan satu halaman pun yang tidak mengandung ajakan untuk beriman kepada Allah, rasul-Nya, atau hari akhir, malaikat, kitab-kitab yang diturunkan Allah, atau taqdir yang diberlakukan bagi alam semesta ini. Bahkan dapat dikatakan bahwa hampir seluruh ayat Al-Quran yang diturunkan sebelum hijrah (ayat-ayat Makkiyyah) berisi tauhid dan yang terkait dengan tauhid.

Karena itu tak heran masalah tauhid menjadi perhatian kaum muslimin sejak dulu, sebagaimana masalah ini menjadi perhatian Al-Quran. Bahkan, tema tauhid adalah tema utama dakwah mereka. Umat Islam sejak dahulu berdakwah mengajak orang kepada agama Allah dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Mereka mendakwahkan bukti-bukti kebenaran akidah Islam agar manusia mau beriman kepada akidah yang lurus ini.

Bagi seorang muslim, akidah adalah segala-galanya. Tatkala umat Islam mengabaikan akidah mereka yang benar -yang harus mereka pelajari melalui ilmu tauhid yang didasari oleh bukti-bukti dan dalil yang kuat- mulailah kelemahan masuk ke dalam keyakinan sebagian besar kaum muslimin. Kelemahan akidah akan berakibat pada amal dan produktivitas mereka. Dengan semakin luasnya kerusakan itu, maka orang-orang yang memusuhi Islam akan mudah mengalahkan mereka. Menjajah negeri mereka dan menghinakan mereka di negeri mereka sendiri.

Sejarah membuktikan bahwa umat Islam generasi awal sangat memperhatikan tauhid sehingga mereka mulia dan memimpin dunia. Sejarah juga mengajarkan kepada kita, ketika umat Islam mengabaikannnya akidah, mereka menjadi lemah. Kelemahan perilaku dan amal umat Islam telah memberi kesempatan orang-orang kafir untuk menjajah negeri dan tanah air umat Islam.

Jalan Keselamatan Adalah dengan Ittiba (Mengikuti Sunnah Nabi) dan Menjauhi Ibtida (Melakukan Bidah)Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, Intisari agama ini terdapat pada dua prinsip yaitu, kita tidak beribadah kecuali kepada Allah dan kita tidak beribadah kepada-Nya kecuali dengan apa yang Dia syariatkan.Allah Taala berfirman: Barangsiapa berharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya.(Qs, Al-Kahfi:110)Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya,Inilah dua rukun amal yang diterima. Amal tersebut harus dilaksanakan ikhlas karena Allah dan sesuai dengan syariat Rasulullah shallallahu alai wasallam.Dari penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa untuk diterimanya setiap amalan yang dilakukan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah Taala harus memenuhi dua syarat utama, dan kedua hal itu harus ada, tidak bisa terpisah antara yang satu dengan yang lainnya, dua hal itu adalah:1. Mengikhlaskan ibadah kepada Allah semata.Sebagaimana firman Allah Taala: Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.(Qs. Az-Zumar: 2)Keikhlasan itu tidak mungkin datang bersama kesyirikan, riya atau mengharapkan dunia dengan amalnya. Oleh karena itu seseorang hendaklah beramal dengan tujuan mengharap wajah Allah Taala semata.2. Memurnikan mutabaah (mengikuti) kepada Rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam.Maknanya, hendaknya amalan yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah sesuai dengan apa yang disyariatkan oleh Allah dalam Kitab-Nya atau apa yang disyariatkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam sunnahnya.Bahwasannya semua yang dibawa oleh Rasulullah shallallahualaihi wasallam wajib bagi setiap hamba untuk mengambilnya, mengikutinya serta tidak boleh menyelisihinya. Karena setiap nash dari Rasulullah tentang hukum satu perkara sama kedudukannya sepeti nash dari Allah Taala. Maka tidak ada keringanan bagi seseorang pun untuk meninggalkannya dan tidak boleh pula mendahulukan ucapan seseorang di atas ucapan Allah Azza wa Jalla.Jika terjadi perselisihan, kita diperintahkan untuk mengembalikannya kepada Kitab-Nya dan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam karena Allah telah mencela perpecahan dan melarang setiap jalan yang menyebabkan dan menghantarkan kepadanya. Perpecahan merupakan sebab utama kehinaan di dunia dan sebab didapatkannya adzab di akhirat.Solusi agar terbebas dari perpecahan dan perselisihan adalah mengikuti kelompok yang selamat lagi mendapat perrtolongan, yaitu al-Jamaah, mereka adalah orang-orang yang berjalan menempuh manhaj Nabi dan para sahabatnya, tidak berpaling darinya dan tidak menyimpang. Jalan keselamatan adalah mengikuti salafus shalih, baik dalam ucapan, perbuatan, dan itiqad serta tidak menyelisihi dan menyimpang dari mereka.Ittiba dapat dikatakan benar jika terpenuhi tiga hal, yaitu:1. Berpegang teguh dengan Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya.2. Tidak berpecah dan berselisih tentang Al-Quran dan As-Sunnah.3. Hendaknya ittiba kepada Al-Quran dan As-Sunnah diikat dengan pemahaman salafus shalih, tidak dengan pemahaman yang lainnya.Ciri-ciri utama orang-orang yang menyimpang adalah:1. Perpecahan, ini merupakan perkara yang Allah peringatkan dalam firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka.(Qs. Al-Anam:159)2. Mengikuti ayat-ayat yang musytabihat.3. Mengikuti hawa nafsu.4. Mempertentangkan As-Sunnah dengan Al-Quran.5. Membenci Ahlu Atsar.6. Memberikan gelar-gelar yang jelek kepada Ahlus Sunnah.7. Meninggalkan penisbatan kepada madzhab salaf.8. Mengkafirkan siapa saja yang menyelisihi mereka dengan tanpa dalil.9. Membiarkan perkara yang mujmal (global) yang sebenarnya membutuhkan perincian dan penjelasan, serta menerapkan qiyas pada perkara yang tidak sah dengan qiyas di dalamnya.Mengenal Arti Bidah dan BahayaBidahberikut uraian tentang difinisi bidah dan bahayanya dari hadits Aisyah yang masyhur, semoga bisa meluruskan pemahaman kaum muslimin tentang bidah sehingga mereka mau meninggalkannya di atas ilmu, Allahumma amin.Bidah dan Bahayanya : Barangsiapa yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak.Dalam satu riwayat, Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada tuntunan kami di atasnya maka amalan itu tertolak.Takhrij Hadits:Hadits ini dengan kedua lafadznya berasal dari hadits shahabiyah dan istri Nabi Shollallahu alaihi wa ala alihi wasallam A`isyah radhiallahu Taala anha.Adapun lafadz pertama dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhary (2/959/2550-Dar Ibnu Katsir) dan Imam Muslim (3/1343/1718-Dar Ihya`ut Turots).Dan lafadz kedua dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhary secara muallaq (2/753/2035) dan (6/2675/6918) dan Imam Muslim (3/1343/1718).Dan juga hadits ini telah dikeluarkan oleh Abu Yala dalam Musnadnya (4594) dan Abu Awanah (4/18) dengan sanad yang shohih dengan lafadz, Siapa saja yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang tidak ada di dalamnya (urusan kami) maka dia tertolak.Kosa Kata Hadits:1. Dalam urusan kami, maksudnya dalam agama kami, sebagaimana dalam firman Allah Taala-, Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi urusannya (Nabi) takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang pedih.. (QS. An-Nur: 63)2. Tertolak, (Arab: roddun) yakni tertolak dan tidak teranggap.[Lihat Bahjatun Nazhirin hal. 254 dan Syarhul Arbain karya Syaikh Sholih Alu Asy-Syaikh]Komentar Para Ulama :Imam Ahmad rahimahullah berkata, Pondasi Islam dibangun di atas 3 hadits: Hadits setiap amalan tergantung dengan niat, hadits A`isyah Barangsiapa yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak dan hadits An-Numan Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas.Imam Ishaq bin Rahawaih rahimahullah berkata, Ada empat hadits yang merupakan pondasi agama: Hadits Umar Sesungguhnya setiap amalan hanyalah dengan niatnya, hadits Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, hadits Sesungguhnya penciptaan salah seorang di antara kalian dikumpulkan dalam perut ibunya selam 40 hari dan hadits Barangsiapa yang berbuat dalam urusan kami apa-apa yang bukan darinya maka hal itu tertolak.Dan Abu Ubaid rahimahullah berkata, Nabi Shallallahu alaihi wasallam mengumpulkan seluruh urusan akhirat dalam satu ucapan (yaitu) Barangsiapa yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak.[Lihat Jamiul Ulum wal Hikam syarh hadits pertama]Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata dalam Jamiul Ulum wal Hikam, Hadits ini adalah asas yang sangat agung dari asas-asas Islam, sebagaimana hadits Setiap amalan hanyalah dengan niatnya adalah parameter amalan secara batin maka demikian pula dia (hadits ini) adalah parameternya secara zhohir. Maka jika setiap amalan yang tidak diharapkan dengannya wajah Allah Taala-, tidak ada pahala bagi pelakunya, maka demikian pula setiap amalan yang tidak berada di atas perintah Allah dan RasulNya maka amalannya tertolak atas pelakunya. Dan setiap perkara yang dimunculkan dalam agama yang tidak pernah diizinkan oleh Allah dan RasulNya, maka dia bukan termasuk dari agama sama sekali.Syaikh Salim Al-Hilaly hafizhohullah berkata dalam Bahjatun Nazhirin, Hadits ini termasuk hadits-hadits yang Islam berputar di atasnya, maka wajib untuk menghafal dan menyebarkannya, karena dia adalah kaidah yang agung dalam membatalkan semua perkara baru dan bidah (dalam agama).Dan beliau juga berkata, maka hadits ini adalah asal dalam membatalkan pembagian bidah menjadi sayyi`ah (buruk) dan hasanah (terpuji).Dan Syaikh Sholih bin Abdil Aziz Alu Asy-Syaikh hafizhohullah berkata dalam Syarhul Arbain, Hadits ini adalah hadits yang sangat agung dan diagungkan oleh para ulama, dan mereka mengatakan bahwa hadits ini adalah asal untuk membantah semua perkara baru, bidah dan aturan yang menyelisihi syariat.Dan beliau juga berkata dalam mensyarh kitab Fadhlul Islam karya Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab, Hadits ini dengan kedua lafadznya merupakan hujjah dan pokok yang sangat agung dalam membantah seluruh bidah dengan berbagai jenisnya, dan masing-masing dari dua lafadz ini adalah hujjah pada babnya masing-masing, yaitu:a. Lafadz yang pertama (ancamannya) mencakup orang yang pertama kali mencetuskan bidah tersebut walaupun dia sendiri tidak beramal dengannya.b. Adapun lafadz kedua (ancamannya) mencakup semua orang yang mengamalkan bidah tersebut walaupun bukan dia pencetus bidah itu pertama kali. Selesai dengan beberapa perubahan.Syarh :Setelah membaca komentar para ulama berkenaan dengan hadits ini, maka kita bisa mengatahui bahwa hadits ini dengan seluruh lafazhya merupakan ancaman bagi setiap pelaku bidah serta menunjukkan bahwa setiap bidah adalah tertolak dan tercela, tidak ada yang merupakan kebaikan. Dua pont inilah yang insya Allah- kita akan bahas panjang lebar, akan tetapi sebelumnya kita perlu mengetahui definisi dari bidah itu sendiri agar permasalahan menjadi tambah jelas. Maka kami katakan:A. Definisi Bidah.Bidah secara bahasa artinya memunculkan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya, sebagaimana dalam firman Allah -Subhanahu wa Taala-: Allah membuat bidah terhadap langit dan bumi.(QS. Al-Baqarah: 117 dan Al-Anam: 101)Yakni Allah menciptakan langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya yang mendahului. Dan Allah -Azza wa Jalla- berfirman : Katakanlah: Aku bukanlah bidah dari para Rasul. (QS. Al-Ahqaf: 9)Yakni : Saya bukanlah orang pertama yang datang dengan membawa risalah dari Allah kepada para hamba, akan tetapi telah mendahului saya banyak dari para Rasul. Lihat: Lisanul Arab (9/351-352)Adapun secara istilah syariat dan definisi inilah yang dimaksudkan dalam nash-nash syariat- bidah adalah sebagaimana yang didefinisikan oleh Al-Imam Asy-Syathiby dalam kitab Al-Itishom (1/50): , Bidah adalah suatu ungkapan untuk semua jalan/cara dalam agama yang diada-adakan, menyerupai syariat dan dimaksudkan dalam pelaksanaannya untuk berlebih-lebihan dalam menyembah Allah Subhanah.Penjelasan Definisi.Setelah Imam Asy-Syathiby rahimahullah menyebutkan definisi di atas, beliau kemudian mengurai dan menjelaskan maksud dari definisi tersebut, yang kesimpulannya sebagai berikut:1. Perkataan beliau jalan/cara dalam agama. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi Shollallahu alaihi wa ala alihi wasallam: Siapa saja yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak. (HSR. Bukhary-Muslim dari A`isyah)Dan urusan Rasulullah Shollallahu alaihi wa ala alihi wasallam tentunya adalah urusan agama karena pada urusan dunia beliau telah mengembalikannya kepada masing-masing orang, dalam sabdanya: Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian. (HSR. Bukhory)Maka bidah adalah memunculkan perkara baru dalam agama dan tidak termasuk dari bidah apa-apa yang dimunculkan berupa perkara baru yang tidak diinginkannya dengannya masalah agama akan tetapi dimaksudkan dengannya untuk mewujudkan maslahat keduniaan, seperti pembangunan gedung-gedung, pembuatan alat-alat modern, berbagai jenis kendaraan dan berbagai macam bentuk pekerjaan yang semua hal ini tidak pernah ada zaman Nabi Shollallahu alaihi wa ala alihi wasallam. Maka semua perkara ini bukanlah bidah dalam tinjauan syariat walaupun dianggap bidah dari sisi bahasa. Adapun hukum bidah dalam perkara kedunian (secara bahasa) maka tidak termasuk dalam larangan berbuat bidah dalam hadits di atas, oleh karena itulah para Shahabat radhiallahu anhum mereka berluas-luasan dalam perkara dunia sesuai dengan maslahat yang dibutuhkan. 2. Perkatan beliau yang diada-adakan, yaitu sesungguhnya bidah adalah amalan yang tidak mempunyai landasan dalam syariat yang menunjukkan atasnya sama sekali. Adapun amalan-amalan yang ditunjukkan oleh kaidah-kaidah syariat secara umum walaupun tidak ada dalil tentang amalan itu secara khusus- maka bukanlah bidah dalam agama. Misalnya alat-alat tempur modern yang dimaksudkan sebagai persiapan memerangi orang-orang kafir , demikian pula ilmu-ilmu wasilah dalam agama ; seperti ilmu bahasa Arab (Nahwu Shorf dan selainnya) , ilmu tajwid , ilmu mustholahul hadits dan selainnya, demikian pula dengan pengumpulan mushaf di zaman Abu Bakar dan Utsman radhiallahu anhuma . Maka semua perkara ini bukanlah bidah karena semuanya masuk ke dalam kaidah-kaidah syariat secara umum.3. Perkataan beliau menyerupai syariat, yaitu bahwa bidah itu menyerupai cara-cara syariat padahal hakikatnya tidak demikian, bahkan bidah bertolak belakang dengan syariat dari beberapa sisi:a. Meletakkan batasan-batasan tanpa dalil, seperti orang yang bernadzar untuk berpuasa dalam keadaan berdiri dan tidak akan duduk atau membatasi diri dengan hanya memakan makanan atau memakai pakaian tertentu.b. Komitmen dengan kaifiat-kaifiat atau metode-metode tertentu yang tidak ada dalam agama, seperti berdzikir secara berjamaah, menjadikan hari lahir Nabi Shollallahu alaihi wa ala alihi wasallam sebagai hari raya dan yang semisalnya.c. Komitmen dengan ibadah-ibadah tertentu pada waktu-waktu tertentu yang penentuan hal tersebut tidak ada di dalam syariat, seperti komitmen untuk berpuasa pada pertengahan bulan Syaban dan sholat di malam harinya.4. Perkataan beliau dimaksudkan dalam pelaksanaannya untuk berlebih-lebihan dalam menyembah Allah Subhanah. Ini merupakan kesempurnaan dari definisi bidah, karena inilah maksud diadakannya bidah. Hal itu karena asal masuknya seseorang ke dalam bidah adalah adanya dorongan untuk konsentrasi dalam ibadah dan adanya targhib (motivasi berupa pahala) terhadapnya karena Allah -Taala- berfirman: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. Adz-Dzariyat: 56)Maka seakan-akan mubtadi (pelaku bidah) ini menganggap bahwa inilah maksud yang diinginkan (dengan bidahnya) dan tidak belum jelas baginya bahwa apa yang diletakkan oleh pembuat syariat (Allah dan RasulNya) dalam perkara ini berupa aturan-atiran dan batasan-batasan sudah mencukupi.B. Dalil-Dalil Akan Tercelanya Bidah Serta Akibat Buruk yang Akan Didapatkan Oleh Pelakunya.1. Bidah merupakan sebab perpecahan. Allah -Subhanahu wa Taala- berfirman: dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Itulah yang Dia diwasiatkan kepada kalian agar kalian bertakwa. (QS. Al-Anam: 153)Berkata Mujahid rahimahullah dalam menafsirkan makna jalan-jalan : Bidah-bidah dan syahwat. (Riwayat Ad-Darimy no. 203)2. Bidah adalah kesesatan dan mengantarkan pelakunya ke dalam Jahannam.Allah -Azza wa Jalla- berfirman: Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara jalan-jalan ada yang bengkok. Dan jikalau Dia menghendaki, tentulah Dia memimpin kamu semuanya (kepada jalan yang benar).. (QS. An-Nahl: 9)Berkata At-Tastury : Qosdhus sabil adalah jalan sunnah di antaranya ada yang bengkok yakni bengkok ke Neraka yaitu agama-agama yang batil dan bidah-bidah.Maka bidah mengantarkan para pelakunya ke dalan Neraka, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Shollallahu alaihi wa ala alihi wasallam dalam khutbatul hajah: : : Amma badu, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitab Allah, dan sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad, dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dan setiap bidah adalah kesesatan. (HSR. Muslim dari Jabir radhiallahu anhuma)Dalam satu riwayat, Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dan setiap yang diada-adakan adalah bidah.Dan dalam riwayat An-Nasa`iy, Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dan setiap yang diada-adakan adalah bidah dan setiap bidah adalah kesesatan dan semua kesesatan berada dalam Neraka.Dan dalam hadits Irbadh bin Sariyah secara marfu: Dan hati-hati kalian dari perkara yang diada-adakan karena setiap yang diada-adakan adalah bidah dan setiap bidah adalah kesesatan. (HR. Ashhabus Sunan kecuali An-Nasa`iy)3. Bidah itu tertolak atas pelakunya siapapun orangnya.Allah Azza wa Jalla- menegaskan: Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran: 85)Dan bidah sama sekali bukan bahagian dari Islam sedikitpun juga, sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits yang sedang kita bahas sekarang.4. Allah melaknat para pelaku bidah dan orang yang melindungi/menolong pelaku bidah.Rasulullah Shollallahu alaihi wa ala alihi wasallam menegaskan: Barangsiapa yang memunculkan/mengamalkan bidah atau melindungi pelaku bidah, maka atasnya laknat Allah, para malaikat dan seluruh manusia, tidak akan diterima dari tebusan dan tidak pula pemalingan. (HSR. Bukhary-Muslim dari Ali dan HSR. Muslim dari Anas bin Malik)5. Para pelaku bidah jarang diberikan taufiq untuk bertaubat nas`alullaha as-salamata wal afiyah-.Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu, Rasulullah Shollallahu alaihi wa ala alihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah mengahalangi taubat dari setiap pelaku bidah sampai dia meninggalkan bidahnya. (HR. Ath-Thobarony dan Ibnu Abi Ashim dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah no. 1620)Berkata Syaikh Bin Baz ketika ditanya tentang makna hadits di sela-sela pelajaran beliau mensyarah kitab Fadhlul Islam, Maknanya adalah bahwa dia (pelaku bidah ini) menganggap baik bidahnya dan menganggap dirinya di atas kebenaran, oleh karena itulah kebanyakannya dia mati di atas bidah tersebut waliyadzu billah-, karena dia menganggap dirinya benar. Berbeda halnya dengan pelaku maksiat yang dia mengetahui bahwa dirinya salah, lalu dia bertaubat, maka kadang Allah menerima taubatnya.6. Para pelaku bidah akan menanggung dosanya dan dosa setiap orang yang dia telah sesatkan sampai hari Kiamat waliyadzu billah-.Allah-Subhanahu wa Taala- berfirman: (ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat, dan sebahagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu. (QS. An-Nahl: 25)Dan Nabi Shollallahu alaihi wa ala alihi wasallam telah bersabda: Dan barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan, maka atasnya dosa seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dari dosa mereka sedikitpun. (HSR. Muslim dari Abu Hurairah)7. Setiap pelaku bidah akan diusir dari telaga Rasulullah Shollallahu alaihi wa ala alihi wasallam.Beliau Shollallahu alaihi wa ala alihi wasallam bersabda: Saya menunggu kalian di telagaku, akan didatangkan sekelompok orang dari kalian kemudian mereka akan diusir dariku, maka sayapun berkata : Wahai Tuhanku, (mereka adalah) para shahabatku, maka dikatakan kepadaku : Engkau tidak mengetahui apa yang mereka ada-adakan setelah kematianmu. (HSR. Bukhary-Muslim dari Ibnu Masud radhiallahu anhu)8. Para pelaku bidah menuduh Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wa ala alihi wasallam telah berkhianat dalam menyampaikan agama karena ternyata masih ada kebaikan yang belum beliau tuntunkan.Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata -sebagaimana dalam kitab Al-Itishom (1/64-65) karya Imam Asy-Syathiby rahimahullah-, Siapa saja yang membuat satu bidah dalam Islam yang dia menganggapnya sebagai suatu kebaikan maka sungguh dia telah menyangka bahwa Muhammad Shollallahu alaihi wa ala alihi wasallam telah mengkhianati risalah, karena Allah Taala berfirman: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagi kalian. (QS. Al-Ma`idah: 3)Maka perkara apa saja yang pada hari itu bukan agama maka pada hari inipun bukan agama.9. Dalam bidah ada penentangan kepada Al-Qur`an.Al-Imam Asy-Syaukany rahimahullah berkata dalam kitab Al-Qaulul Mufid fii Adillatil Ijtihad wat Taqlid (hal. 38) setelah menyebutkan ayat dalam surah Al-Ma`idah di atas, Maka bila Allah telah menyempurnakan agamanya sebelum Dia mewafatkan NabiNya, maka apakah (artinya) pendapat-pendapat ini yang di munculkan oleh para pemikirnya setelah Allah menyempurnakan agamanya?!. Jika pendapat-pendapat (bidah ini) bahagian dari agama menurut keyakinan mereka- maka berarti Allah belum menyempurnakan agamanya kecuali dengan pendapat-pendapat mereka, dan jika pendapat-pendapat ini bukan bahagian dari agama maka apakah faidah dari menyibukkan diri pada suatu perkara yang bukan bahagaian dari agama ?!.10. Para pelaku bidah akan mendapatkan kehinaan dan kemurkaan dari Allah Taala di dunia.Allah Azza wa Jalla- menegaskan: Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan anak lembu (sebagai sembahannya), kelak akan menimpa mereka kemurkaan dari Tuhan mereka dan kehinaan dalam kehidupan di dunia. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang membuat-buat kedustaan. (QS. Al-Araf: 152)Ayat ini umum, mencakup mereka para penyembah anak sapi dan yang menyerupai mereka dari kalangan ahli bidah, karena bidah itu seluruhnya adalah kedustaan atas nama Allah Taala, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam Sufyan bin Uyainah rahimahullah.C. Perkataan Para Ulama Salaf Dalam Mencela Bidah 1. Abdullah bin Masud radhiallahu anhu berkata: Sederhana dalam melakukan sunnah lebih baik daripada bersungguh-ungguh dalam melaksanakan bidah. (Riwayat Ad-Darimiy)dan beliau juga berkata: Ittibalah kalian dan jangan kalian berbuat bidah karena sesungguhnya kalian telah dicukupi, dan setiap bidah adalah kesesatan. (Riwayat Ad-Darimy no. 211 dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam taliq beliau terhadap Kitabul Ilmi karya Ibnul Qoyyim)2. Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma berkata: Setiap bidah adalah sesat walaupun manusia menganggapnya baik. (Riwayat Al-Lalika`iy dalam Syarh Ushul Itiqod Ahlissunnah)3. Muadz bin Jabal radhiallahu anhu berkata: , Maka waspadalah kalian dari sesuatu yang diada-adakan, karena sesungguhnya apa-apa yang diada-adakan adalah kesesatan. (Riwayat Abu Daud no. 4611)4. Abdullah ibnu Abbas radhiallahu anhuma pernah berkata kepada Utsman bin Hadhir: , Wajib atasmu untuk bertaqwa kepada Allah dan beristiqomah, ittibalah dan jangan berbuat bidah. (Riwayat Ad-Darimy no. 141)5.Telah berlalu perkataan dari Imam Malik rahimahullah.6.Imam Asy-Syafiiy rahimahullah berkata: Barang siapa yang menganggap baik (suatu bidah) maka berarti dia telah membuat syariat.7. Imam Ahmad rahimahullah berkata dalam kitab beliau Ushulus Sunnah: Pokok sunnah di sisi kami adalah berpegang teguh dengan apa-apa yang para shahabat Rasulullah Shollallahu alaihi wa ala alihi wasallam berada di atasnya, meneladani mereka serta meninggalkan bidah dan setiap bidah adalah kesesatan.8.Sahl bin Abdillah At-Tastury rahimahullah berkata: , Tidaklah seseorang memunculkan suatu ilmu (yang baru) sedikitpun kecuali dia akan ditanya tentangnya pada hari Kiamat ; bila ilmunya sesuai dengan sunnah maka dia akan selamat dan bila tidak maka tidak. (Lihat Fathul Bary : 13/290)9. Umar bin Abdil Aziz rahimahullah berkata: , , , Amma badu, saya wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah dan bersikap sederhana dalam setiap perkaraNya, ikutilah sunnah NabiNya Shollallahu alaihi wa ala alihi wasallam dan tinggalkanlah apa-apa yang dimunculkan oleh orang-orang yang mengada-adakan setelah tetapnya sunnah beliau Shollallahu alaihi wa ala alihi wasallam. (Riwayat Abu Daud)10. Abu Utsman An-Naisabury rahimahullah berkata: , Barang siapa yang menguasakan sunnah atas dirinya baik dalam perkataan maupun perbuatan maka dia akan berbicara dengan hikmah, dan barang siapa yang menguasakan hawa nafsu atas dirinya baik dalam perkataan maupun perbuatan maka dia akan berbicara dengan bidah. (Riwayat Abu Nuaim dalam Al-Hilyah : 10/244)