1. udzur meninggalkan shalat

18
Seri Fiqih Kehidupan (3) : Shalat - 3 Bab 1 : Shalat dalam Berbagai Keadaan 367 Bab 1 : Udzur Meninggalkan Shalat Ikhtishar A. Udzur Syar'i 1. Wanita Haidh dan Nifas 2. Gila 3. Belum Baligh 4. Bukan Muslim B. Udzur Tidak Syar'i 1. Meragukan Sucinya Pakaian 2. Ketiadaan Air untuk Wudhu' 3. Menjama' Shalat di Rumah 4. Alasan Kebolehan Mengqadha' Shalat C. Prinsip Mengerjakan Shalat 1. Mensiasati Waktu Shalat 2. Shalat Tidak Harus di Masjid 3. Ketentuan dalam Menjama' Shalat 4. Shalat di atas Kendaraan 5. Ketentuan dalam Qadha' Shalat Seluruh ulama sepakat bahwa shalat lima waktu hukumnya wajib dijalankan oleh setiap muslim dalam keadaan apapun. Hal itu mengingat bahwa shalat lima waktu menjadi batas antara keislaman dan kekufuran seseorang. Dan shalat lima waktu adalah perkara yang pertama kali akan ditanya di hari kiamat nanti, sebelum amal-amal yang lain. Namun meski pun demikian, tetap saja syariat Islam

Upload: iim-manshur

Post on 16-Dec-2015

61 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Udzur Meninggalkan Shalat

TRANSCRIPT

  • Seri Fiqih Kehidupan (3) : Shalat - 3 Bab 1 : Shalat dalam Berbagai Keadaan

    367

    Bab 1 : Udzur Meninggalkan Shalat

    Ikhtishar

    A. Udzur Syar'i 1. Wanita Haidh dan Nifas 2. Gila 3. Belum Baligh 4. Bukan Muslim

    B. Udzur Tidak Syar'i 1. Meragukan Sucinya Pakaian 2. Ketiadaan Air untuk Wudhu' 3. Menjama' Shalat di Rumah 4. Alasan Kebolehan Mengqadha' Shalat

    C. Prinsip Mengerjakan Shalat 1. Mensiasati Waktu Shalat 2. Shalat Tidak Harus di Masjid 3. Ketentuan dalam Menjama' Shalat 4. Shalat di atas Kendaraan 5. Ketentuan dalam Qadha' Shalat

    Seluruh ulama sepakat bahwa shalat lima waktu hukumnya

    wajib dijalankan oleh setiap muslim dalam keadaan apapun. Hal itu mengingat bahwa shalat lima waktu menjadi batas antara keislaman dan kekufuran seseorang. Dan shalat lima waktu adalah perkara yang pertama kali akan ditanya di hari kiamat nanti, sebelum amal-amal yang lain.

    Namun meski pun demikian, tetap saja syariat Islam

  • Bab 1 : Shalat dalam Berbagai Keadaan Seri Fiqih Kehidupan (3) : Shalat -3

    368

    mengakui adanya udzur syar'i yang menimpa seseorang, sehingga hukum shalat yang asalnya fardhu 'ain berubah menjadi tidak wajib, bahkan malah terlarang, khusus untuk orang tersebut secara kasuistik.

    Kita mengenal udzur ada dua macam, yaitu udzur syar'i dan udzur tidak syar'i.

    A. Udzur Syar'i

    Dengan adanya udzur syar'i seperti ini, maka seorang memang 100% dicabut dari kewajiban untuk mengerjkan shalat, bahkan tidak perlu menggantinya, meski udzur itu sudah berlalu.

    Dan di antara udzur yang dibenarkan untuk meninggalkan shalat terbatas pada beberapa kasus saja, yaitu pada wanita yang mendapat darah haidh atau nifas, orang gila yang tidak berakal, anak-anak yang belum baligh dan orang yang statusnya bukan muslim alias orang kafir.

    1. Wanita Haidh dan Nifas

    Wanita yang sedang mendapatkan darah haidh dan juga nifas adalah orang yang memiliki udzur syar'i. Kewajiban shalat lima waktu yang asalnya merupakan fardhu 'ain, dengan adanya haidh atau nifas, dicabut kewajibannya. Statusnya menjadi gugur kewajiban, sehingga tidak perlu diganti di kemudian hari.

    Dasar dari dicabutnya kewajiban shalat bagi wanita yang sedang haidh atau nifas adalah hadits berikut ini :

    : s

    Dari Aisyah ra berkata"Fatimah binti Abi Hubaisy mendapat darah istihadha maka Rasulullah SAW bersabda

  • Seri Fiqih Kehidupan (3) : Shalat - 3 Bab 1 : Shalat dalam Berbagai Keadaan

    369

    kepadanya"Darah haidh itu berwarna hitam dan dikenali. Bila yang yang keluar seperti itu janganlah shalat. Bila sudah selesai maka berwudhu'lah dan lakukan shalat. (HR. Abu Daud dan An-Nasai).

    Selain itu juga ada hadis lainnya:

    Dari Fatimah binti Abi Khubaisy bahwa Rasulullah SAW bersabda: Bila kamu mendapatkan haid maka tinggalkan shalat

    Karena wanita haidh dan nifas tidak wajib mengerjakan shalat, maka juga tidak ada perintah untuk menggantinya di hari-hari suci dari haidh. Hal ini berbeda dengan puasa, dimana wanita yang haidh atau nifas dilarang berpuasa, namun tetap diwajibkan untuk mengganti puasa itu seusai suci dari haidh.

    Pembedaan hukum ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW sendiri, yaitu :

    Dari Aisyah r.a berkata : Di zaman Rasulullah SAW dahulu kami mendapat haidh lalu kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintah untuk mengqadha salat (HR. Jamaah).

    a. Gugur Kewajiban

    Syarat gugurnya kewajiban shalat adalah apabila haidh atau nifas terjadi sejak masuknya waktu shalat fardhu hingga berakhirnya waktu shalat. Selama masa waktu shalat fardhu berlangsung, haidh terus menerus terjadi, maka gugurlah kewajiban shalat. Bahkan shalat tidak boleh dikerjakan dan tidak perlu diganti.

    Sebagai ilustrasi, bila seorang wanita mendapat haidh sejak sebelum masuknya waktu Dzhuhur dan hingga habisnya waktu Dzhuhur dia masih dalam keadaan haidh, maka kewajiban shalat Dzhuhurnya gugur dengan sendirinya.

  • Bab 1 : Shalat dalam Berbagai Keadaan Seri Fiqih Kehidupan (3) : Shalat -3

    370

    b. Tidak Gugur Kewajiban

    Namun bila seorang wanita mengalami haidh hanya pada sebagian waktu shalat, sedangkan sebagian waktu shalat yang lainnya dia dalam keadaan suci, maka kewajiban shalatnya tidak gugur. Dalam hal ini bisa terjadi dua jenis kejadian :

    Pertama : seorang wanita mendapat haidh, kemudian masuklah waktu shalat fardhu. Sebelum waktu shalat itu habis, dia telah suci dari haidh. Maka wanita itu tetap wajib mengerjakan shalat, karena ada durasi waktu dimana dia dalam keadaan suci.

    Contohnya ketika masuk waktu Dzhuhur seorang wanita masih dalam keadaan haidh. Namun jam 14.00, dipastikan darah haidhnya telah berhenti mengalir. Artinya dia telah suci dan waktu shalat Dhuhur masih ada.

    Dalam kejadian ini, yang wajib dilakukan adalah segera mandi janabah untuk mengangkat hadats besar, lalu segera mengerjakan shalat. Bila waktu shalat sudah habis, maka tetap saja shalat, karena kewajiban shalat tidak gugur dengan lewatnya waktu shalat.

    Sebagian ulama menyebut bahwa shalat yang dilakukan setelah lewat waktunya, apapun alasannya, dengan istilah shalat qadha'.

    Kedua : seorang wanita dalam keadaan suci lalu masuk waktu shalat dan belum sempat mengerjakannya, tiba-tiba dia mendapat darah haidh.

    Contoh gambarannya misalnya, ada seorang wanita yang ketika masuk waktu Dzhuhur masih dalam perjalanan. Niatnya akan mengerjakan shalat di rumah. Tapi ketika hampir mau mengerjakan shalat, tiba-tiba keluar darah haidh.

    Dalam dalam kasus ini, dia tidak boleh shalat, namun kewajiban shalatnya tidak gugur. Alasannya, karena ada masa waktu dimana dia masih suci dan waktu shalat sudah tiba.

    Untuk itu, nanti setelah masa haidh berlalu, seusai mengerjakan mandi janabah untuk mengangkat hadats, dia

  • Seri Fiqih Kehidupan (3) : Shalat - 3 Bab 1 : Shalat dalam Berbagai Keadaan

    371

    harus mengganti shalatnya yang terlewat. Orang sering menyebutnya dengan istilah shalat qadha'.

    2. Gila

    Orang gila pada dasarnya adalah orang tidak punya akal, meskipun dia punya otak di dalam batok tempurung kepalanya. Orang gila tidak punya kesadaran seperti umumnya orang normal. Karena itu dia kehilangan nilai-nilai yang cukup besar, termasuk rasa malu, sungkan, atau pun juga moral dan etika.

    Orang gila sama sekali tidak merasakan apa yang dirasakan oleh orang normal. Telanjang bulat di hadapan publik, menari-nari, bernyanyi, meracau, kadang berteriak atau apapun yang dianggap aneh secara etitude, sama sekali tidak dirasakan oleh orang gila.

    Dengan kondisi yang demikian itu, hampir semua hukum yang berlaku di dunia ini membebaskan orang gila dari semua bentuk kesalahan. Sehingga kejahatan membunuh nyawa manusia yang dilakukan oleh orang gila, tidak bisa dianggap sebagai kejahatan. Orang gila bebas melakukan apa saja, tanpa harus terjerat dengan ketentuan hukum.

    Dalam banyak kisah lari dari jerat hukum, banyak pelaku kejahatan yang berpura-pura jadi orang gila, dan rela masuk ke pusat rehabilitasi atau tinggal di rumah sakit khusus jiwa.

    a. Gugur Beban Taklif

    Dalam hukum syariah, kedudukan orang gila bukan termasuk mukallaf, sehingga Allah SWT tidak memberi beban syariah kepada orang gila. Orang gila termasuk mereka yang mendapat udzur syar'i untuk 100% boleh meninggalkan shalat, puasa, haji, dan berbagai ibadah yang lain.

    Para ulama berbeda pendapat tentang hukum mengeluarkan zakat dari harta milik orang gila. Sebagian berpendapat harta milik orang gila wajib dikeluarkan zakatnya. Namun sebagian lagi menolak hal itu, dengan alasan bahwa zakat itu merupakan ibadah yang membutuhkan niat dari pemiliknya.

  • Bab 1 : Shalat dalam Berbagai Keadaan Seri Fiqih Kehidupan (3) : Shalat -3

    372

    Namun meski pun demikian, para ulama sepakat bahwa dalam urusan hak kepemilikan atas suatu harta, maka orang gila termasuk orang yang berhak memiliki. Contohnya orang gila yang mendapatkan harta warisan dari keluarganya yang wafat. Kegilaan tidak berakibat kepada gugurnya hak waris dan hak untuk memiliki harta benda.

    Maka untuk itu, harta milik orang gila diperlakukan sebagaimana kita memperlakukan harta milik anak kecil, yaitu ada wali yang menjadi wakil dalam urusan harta.

    Dengan gugurnya taklif syariah seperti shalat, maka apabila ada orang gila yang tidak pernah mengerjakan shalat, tidak ada sedikit pun dosa atasnya yang harus ditanggungnya.

    Semua hal di atas khusus buat orang gila yang sifatnya terus menerus, sejak lahir atau setidaknya sejak baligh, hingga meninggal dunia.

    b. Gila Temporal

    Adapun orang gila yang sifatnya temporal, maka di saat-saat seseorang sedang tidak gila, maka tetap ada kewajiban untuk mengerjakan shalat lima waktu.

    Contohnya bila ada orang yang normal, lalu untuk masa waktu 3 bulan dia mengalami kegilaan, maka selama 3 bulan itu tidak 100% bebas dari mengerjakan shalat. Alasannya, karena selama 3 bulan itu dia dalam keadaan gila. Namun sebelum datangnya masa 3 bulan itu dan sesudahnya, dia tetap wajib mengerjakan shalat. Dan bila terlewat, maka dia wajib menggantinya.

    Menurut jumhur ulama, orang yang sempat untuk beberapa saat hilang kewarasannya, begitu sudah kembali ingatannya tidak wajib mengqadha' shalat. Namun hal itu berbeda dengan pendapat kalangan Al-Hanafiyah yang justru mewajibkannya untuk mengqadha' shalat.

    Sedangkan bila hilang kesadaran karena seseorang minum khamar dan mabuk, maka dia wajib mengqadha' shalatnya.

    3. Belum Baligh

  • Seri Fiqih Kehidupan (3) : Shalat - 3 Bab 1 : Shalat dalam Berbagai Keadaan

    373

    Anak yang belum baligh bukan termasuk orang yang diwajibkan untuk mengerjakan shalat lima waktu. Namun demikian, usia yang belum baligh itu tidak menjadi penghalang baginya untuk mengerjakan shalat.

    a. Tidak Ada Dosa Bila Meninggalkan

    Seorang anak yang belum baligh, karena usianya yang belum mencukupi, maka Allah SWT tidak membebaninya dengan taklif syariah sebagaimana orang dewasa yang sudah baligh.

    Maka seorang anak kecil tidak diwajibkan mengerjakan shalat lima waktu. Sehingga apabila dia meninggalkannya, maka tidak ada dosa bagiannya. Dan tidak pula diwajibkan untuk mengganti shalat-shalat yang ditinggalkannya selama masa belum baligh itu.

    Artinya dengan kata lain, gugurlah kewajiban untuk mengerjakan shalat bagi anak yang belum memasuki usia baligh.

    b. Sah Mengerjakan Shalat

    Meski pun tidak diwajibkan untuk mengerjakan shalat, tetapi bila seorang anak sudah mumayyiz, lalu dia mampu mengerjakan semua gerakan dan bacaan shalat dengan benar, maka para ulama sepakat bahwa shalat yang dilakukannya itu sah.

    Tentu agar shalatnya sah, maka semua syarat sah dari shalat harus dipenuhi sebelumnya, seperti suci dari najis dan hadats, menghadap kiblat, menutup aurat, serta tahu bahwa waktu shalat sudah masuk ketika dia mulai mengerjakan shalat.

    Selain juga semua rukun shalat harus dikerjakan seluruhnya, mulai dari niat, takbiratul ihram, membaca surat Al-Fatihah hingga ke urutan terakhir yaitu mengucapkan salam.

    c. Termasuk Shalat Sunnah

    Karena seorang anak kecil tidak diwajibkan shalat lima waktu, namun kalau dia mengerjakannya dianggap sah, maka

  • Bab 1 : Shalat dalam Berbagai Keadaan Seri Fiqih Kehidupan (3) : Shalat -3

    374

    para ulama sering mengatakan bahwa shalat itu merupakan shalat sunnah bagi anak yang belum baligh.

    Sebagaimana definisi sunnah yang umumnya banyak disebutkan para ulama ushul, yaitu suatu ibadah yang apabila dikerjakan akan mendatangkan pahala, namun apabila ditinggalkan tidak mendatangkan dosa.

    Maka kalau ada pertanyaan teka-teki : kapankah shalat Dzhuhur berubah hukumnya dari wajib menjadi sunnah? Maka jawabnya mudah saja, yaitu apabila shalat itu dikerjakan oleh anak yang sudah mumayyiz tapi belum baligh.

    d. Boleh Menjadi Imam

    Dan bukti bahwa shalat yang dilakukan itu sah, adalah dibolehkannya orang-orang dewasa bermakmum di belakang anak itu. Dasarnya adalah hadits bahwa Amru bin Salamah menjadi imam ketika masih berusia 6 atau 7 tahun.

    Dari Amru bin Salamat radhiyallahuanhu bahwa dirinya menjadi imam atas suatu kaum di masa Rasulullah SAW ketika masih berusia enam atau tujuh tahun. (HR. Al-Bukhari)

    Hal yang sama juga terjadi pada diri Abdullah bin Abbas radhiyallahuanhu, yang ketika masih kecil sudah mumayyiz tapi belum baligh, sudah menjadi imam shalat bagi kaumnya.

    Namun demikian, tetap saja mazhab ini lewat Al-Buwaithy mengutamakan imam yang sudah baligh dari pada yang baru mumayyiz, meski yang baru mumayyiz ini barangkali lebih fasih bacaannya.1

    4. Bukan Muslim

    Orang yang bukan muslim alias kafir termasuk dalam kategori orang yang tidak dibebankan untuk mengerjakan shalat

    1 Nihayatul Muhtaj jilid 2 hal. 168

  • Seri Fiqih Kehidupan (3) : Shalat - 3 Bab 1 : Shalat dalam Berbagai Keadaan

    375

    di dunia ini. Namun sifatnya tidak 100% bebas, sebagaimana wanita haidh, nifas atau orang gila dan anak kecil yang belum baligh.

    a. Menanggung Dosa Meninggalkan Shalat

    Para ulama umumnya sepakat bahwa meski di dunia ini orang kafir tidak wajib mengerjakan shalat, namun mereka tetap berdosa dan ada hitung-hitungan dosa tersendiri di akhirat ketika meninggalkan shalat.

    Sehingga dosa dan siksa bagi orang kafir di neraka juga berbeda-beda jumlah dan tingkatannya. Orang kafir yang mati masih muda, katakanlah setahun sejak baligh, maka dosa-dosanya ketika meninggalkan shalat relatif lebih sedikit, apabila dibandingkan dengan orang kafir yang meninggal dalam usia lanjut. Sebab jumlah shalat fardhu yang ditinggalkan tentu sangat banyak.

    Maka orang kafir yang mati di usia lanjut, tanpa pernah masuk Islam, akan jauh lebih banyak dosanya, dan lebih keras siksaannya.

    Maka daripada jadi orang kafir yang mati tua, mendingan jadi orang kafir yang mati muda. Tapi yang lebih baik adalah jadi orang yang ketika meninggal dunia, mati dalam keadaan muslim.

    b. Dosa Dihapus Dengan Masuk Islam

    Meski orang kafir harus menanggung dosa dari meninggalkan shalat seumur hidup, namun dosa-dosa itu bisa dengan mudah dihapus dalam sekejap saja. Caranya mudah, yaitu dengan masuk dan memeluk agama Islam.

    Rasulullah SAW telah bersabda :

    Masuk Islamnya seseorang akan menghapus semua dosa sebelumnya

    Inilah satu-satunya jalan untuk mendapatkan keselamatan

  • Bab 1 : Shalat dalam Berbagai Keadaan Seri Fiqih Kehidupan (3) : Shalat -3

    376

    di akhirat bagi orang yang tidak memeluk agama Islam. Cukup dengan menyatakan diri masuk Islam, mengikrarkan dua kalimat syahadat, maka status kekafiran runtuh seiring dengan runtuhnya dosa.

    Begitu masuk Islam, seseorang akan berada pada posisi seolah-olah dia baru saja dilahirkan dari perut ibunya. Dia tidak punya dosa yang harus ditanggung di kemudian hari, khususnya dosa yang bersifat langsung kepada Allah SWT.

    c. Tidak Perlu Mengganti Shalat

    Para ulama sepakat bahwa karena orang kafir memang tidak diwajibkan untuk mengerjakan shalat, maka kalau pun mereka kemudian masuk Islam, pada hakikatnya tidak ada kewajiban atas mereka untuk mengganti shalat yang tidak dikerjakan.

    Namun hal ini khusus hanya berlaku buat orang yang asalnya kafir 100% alias lahir dalam keadaan bukan muslim. Dan hukumnya menjadi berbeda apabila kasusnya terjadi pada seorang muslim yang murtad keluar dari agama Islam, lalu kembali lagi masuk Islam. Dia tidak benar-benar kafir, tetapi lebih dekat dengan istilah 'cuti' dari keislaman.

    Para ulama memandang bahwa kedudukan hukum orang kafir asli berbeda dengan muslim yang murtad keluar dari agama Islam, lalu kembali lagi. Dan salah satu titik perbedaannya itu adalah bahwa muslim yang murtad itu, apabila nanti dia kembali lagi memeluk agama Islam, maka dia tetap diwajibkan mengganti shalatnya yang telah ditinggalkan selama masa murtadnya.

    B. Udzur Tidak Syar'i

    Di luar dari hal-hal yang menggugurkan kewajiban shalat, seperti wanita yang sedang mendapat haidh atau nifas, orang gila, anak yang belum baligh dan orang kafir, maka kewajiban shalat lima waktu tetap menjadi kewajiban yang asasi.

    Maka bagi seorang muslim, pantang untuk meninggalkan

  • Seri Fiqih Kehidupan (3) : Shalat - 3 Bab 1 : Shalat dalam Berbagai Keadaan

    377

    shalat dalam keadaan apa pun. Walau pun mungkin ada saja alasan yang bisa dibuat-buat untuk seseorang meninggalkan shalat. Padahal sesungguhnya alasan itu tidak bisa dijadikan keringanan untuk meninggalkan shalat, karena memang tidak memenuhi ketentuan.

    Di antara alasan yang paling sering dibuat-buat untuk meninggalkan shalat :

    1. Meragukan Sucinya Pakaian

    Alasan ini adalah alasan yang paling klasik dan paling sering dijadikan tameng dalam banyak kasus, untuk meligitimasi sikap malas mengerjakan shalat.

    Dengan alasan seperti ini, seolah-olah seseorang boleh meninggalkan shalat hanya karena dirinya merasa ragu-ragu apakah pakaiannya ada najisnya atau tidak.

    Anehnya, karena ada rasa ragu, alih-alih mencari alternatif bagaimana caranya agar najisnya hilang, yang dilakukan malah sekalian nekad tidak mengerjakan shalat. Kalau ditanya bagaimaan dengan shalatnya, jawabnya juga amat klasik, nanti saja saya jama' di rumah.

    Padahal alasan ini perlu diklarifikasi dulu, apa benar ada najis yang nampak zahir pada pakaiannya? Ataukah hanya sekedar rasa ragu belaka?

    Dalam banyak kasus, sebenarnya 100% tidak ada najis. Dan rasa ragu atas najis itu sebenarnya hanya dibuat-buat untuk dijadikan alasan.

    Tapi dalam kasus tertentu memang seringkali yang dijadikan kambing hitam adalah masalah pakaian yang sudah kumal dan bau keringat. Seolah-olah kumal dan bau keringat adalah najis. Padahal keringat manusia itu tidak najis.

    Kalau pun seseorang terkena najis pada pakaiannya, maka ada begitu banyak alternatif yang bisa dilakukan untuk terhindar dari najis. Salah satunya dengan cara mencuci secara lokal pada bagian yang nyata-nyata terkena najis. Mencuci lokal artinya pakaian itu tidak harus dicuci secara keseluruhanya,

  • Bab 1 : Shalat dalam Berbagai Keadaan Seri Fiqih Kehidupan (3) : Shalat -3

    378

    cukup dicuci tepat pada bagian yang terkena najis. Yang tidak terkena najis tentu saja tidak perlu dicuci.

    Teknik mencuci lokal seperti ini yang paling mudah adalah dengan mencubit bagian pakaian yang terkena najis tanpa harus melepas dari tubuh, lalu didekatkan ke kran air untuk dikucuri air. Kemudian dikucek sedikit hingga kira-kira najisnya telah hilang, dan selesai sudah.

    Cara lain agar terhindar najis adalah melepas pakaian itu apabila hendak shalat. Katakanlah yang kita anggap terkena najis itu celana dalam, maka silahkan shalat dengan melepas celana dalam. Dan shalat tetap sah walaupun dikerjakan tanpa memakai celana dalam.

    2. Ketiadaan Air Untuk Wudhu

    Alasan lain yang juga paling sering dijadikan alibi untuk meninggalkan kewajiban shalat adalah tidak adanya air untuk mengerjakan wudhu'.

    Seolah-olah bila tidak ada tempat unutk berwudhu berupa kran atau kamar mandi, lantas tidak perlu berwudhu dan lebih baik tidak shalat.

    Anggapan ini tentu saja keliru, sebab sebenarnya kita hidup di tengah-tengah limpahan air, meski tidak harus berbentuk kran air.

    Bukankah di tengah jalanan yang macet itu justru banyak penjaja minuman kemasan? Apakah minuman kemasan bukan termasuk air? Bukankah di kanan kiri jalan itu ada gedung yang pasti memiliki kran air? Karena itu bertayammum di tengah kota yang berlimpah dengan air tidak dapat dibenarkan.

    Keringanan yang Allah berikan tidak berarti boleh dikerjakan sesukanya. Tayammum misalnya, baru boleh dikerjakan bila memang tidak didapat air setelah berusaha mencarinya. Namun dalam kondisi seseorang berada di tengah peradaban atau kota, tidak bisa dikatakan bahwa dia boleh bertayammum.

    3. Menjama' Shalat di Rumah

  • Seri Fiqih Kehidupan (3) : Shalat - 3 Bab 1 : Shalat dalam Berbagai Keadaan

    379

    Alasan klasik lainnya yang sering dijadikan alibi untuk meninggalkan shalat adalah ungkapan,"Nanti shalatnya akan saya jama' setelah tiba di rumah".

    Seolah-olah dengan niat nanti menjama' di rumah, urusan shalat bisa ditinggalkan begitu saja tanpa rasa bersalah dan rasa dosa.

    Kenapa dikatakan salah dan dosa? Karena ada beberapa sebab, antara lain :

    a. Tidak Ada Jama' Bila Sudah Sampai Rumah

    Para ulama sepakat bahwa kalau pun seseorang diperbolehkan untuk menjama' dua shalat karena suatu hal, maka jama' itu hanya boleh dilakukan selama hal yang membolehkan jama' itu masih berlangsung.

    Misalnya seorang musafir dibolehkan untuk menjama' shalat. Maka ketentuannya adalah bahwa jama' itu hanya boleh dilakukan ketika sedang menjadi musafir. Bila seseorang belum mulai menjadi musafir, karena masih berada di dalam rumahnya, maka dia belum boleh menjama' shalatnya.

    Demikian pula bila seseorang sudah selesai menjadi musafir, misalnya karena sudah tiba di dalam rumahnya, maka saat itu sudah tidak sah dan tidak boleh lagi menjama' shalat. Penyebabnya karena syarat yang membolehkan jama' yaitu bepergian (safar) sudah tidak lagi berlangsung.

    Maka alasan orang yang meninggalkan shalat karena niatnya mau dijama' nanti setelah tiba di rumah adalah alasan yang keliru, tidak syar'i, batil dan jelas berdosa.

    b. Syarat Jama' Tidak Terpenuhi

    Para ulama sepakat bahwa hal-hal yang membolehkan shalat dijama' bukan hanya karena sebab perjalanan, tetapi juga oleh sebab-sebab yang lain. Misalnya karena hujan, haji, sakit, atau kejadian luar biasa yang tidak memungkinkan seseorang melakukan shalat.

    Namun macet di jalan yang berlangsung rutin setiap hari

  • Bab 1 : Shalat dalam Berbagai Keadaan Seri Fiqih Kehidupan (3) : Shalat -3

    380

    sepulang kerja, jelas tidak termasuk dari salah satu hal yang membolehkan seseorang menjama' shalat.

    Macet dan berhenti lama di jalan bukan termasuk safar, karena safar itu harus memenuhi tiga syarat. Pertama, safar itu harus keluar kota dan tidak ada safar kalau di dalam kota. Kedua, safar itu minimal harus menempuh jarak 4 burud atau 16 farsakh, atau sekitar 90-an km jaraknya dari rumah. Ketiga, safar itu harus punya tujuan pasti dan bukan hanya berputar-putar di satu titik.

    Maka kalau shalat Maghrib dijama' dengan Isya' karena alasan macet, hukumnya tidak sah. Sebab macet tidak sama dengan safar.

    Macet juga bukan termasuk sakit, hujan atau haji. Macet juga bukan kejadian luar biasa yang menimpa seseorang. Sebab di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, macet sudah menjadi rutinitas sehari-hari. Kalau suatu sore pulang kerja, jalanan sepi dan kosong, justru aneh dan menimbulkan tanda tanya besar.

    4. Alasan Kebolehan Mengqadha' Shalat

    Alasan yang paling jahat dan tidak bertanggung-jawab ketika seseorang meninggalkan shalat adalah alasan bahwa shalatnya nanti akan diqadha'.

    Hukum secara sengaja meninggalkan shalat fardhu tanpa udzur yang syar'i dengan alasan nanti shalatnya mau diqadha' adalah haram dan tidak boleh. Bukan qadha'nya yang haram, melainkan sengaja meninggalkan shalatnya itu yang haram dan berdosa.

    Hukum melakukan shalat qadha' itu berbeda dengan melakukan jama'. Menjama' shalat dibenarkan asalkan syarat-syaratnya terpenuhi dari awal. Misalnya, seorang musafir ketika memasuki waktu maghrib boleh dan diharuskan berniat akan melakukan shalat Maghrib dengan cara dijama' dengan waktu Isya', sehingga dengan demikian, shalat Maghrib secara sah boleh ditinggalkan dengan sengaja dan diganti dengan niat akan dijama' di waktu Isya'.

  • Seri Fiqih Kehidupan (3) : Shalat - 3 Bab 1 : Shalat dalam Berbagai Keadaan

    381

    Namun tidak demikian halnya dengan qadha' shalat. Seseorang tidak diperkenankan untuk secara sengaja meninggalkan shalat, dengan niat nanti akan diqadha'. Sebab qadha itu merupakan jalan keluar apabila seseorang luput dari mengerjakan shalat karena sesuatu hal yang tidak bisa dihindari secara syar'i. Misalnya tertidur dan kesiangan, sakit, kecelakaan, lupa, atau hal-hal lain yang memang di luar kemampuan.

    Tetapi bila alasannya hanya sekedar ritual rutin bermacet-macet ria, meeting, rapat, resepsi pernikahan, nonton bola, masuk bioskop, atau janjian dengan rekan bisnis, semua itu bukan hal yang tidak bisa diantisipasi. Dan tentunya tidak boleh dijadikan alasan untuk meninggalkan shalat.

    C. Prinsip Mengerjakan Shalat

    1. Mensiasati Waktu Shalat

    Jadi yang harus dilakukan adalah membuat perhitungan bagaimana agar bisa shalat Maghrib tepat pada waktunya. Misalnya bila dalam perjalanan pulang harus berganti bus, usahakan saat berganti bus itu untuk mencari tempat shalat.

    2. Shalat Tidak Harus di Masjid

    Dalam hal ini tempat shalatnya tidak harus berupa masjid atau mushalla, tetapi sebuah tempat yang bersih di mana saja asal bisa melakukan shalat. Kita bisa shalat di emper toko, halaman, trotoar dan sebagainya. Karena kelebihan umat Nabi Muhammad SAW adalah dijadikan bumi ini sebagai masjid, dimana pun dirinya berada, dia wajib mengerjakan shalat.

    Maka shalat bisa dikerjakan dimana saja dan kapan saja, yang penting sudah punya wudhu. Bila tidak, bisa membawa bekal sebuah botol kemasan yang diisi dengan air dan berwudlu' cukup dengan air sebotol itu. Ini lebih ekonomis dari pada membeli air minum kemasan yang dijual di jalan.

    Alternatif kedua seperti yang dilakukan oleh banyak orang, kita bisa menunda waktu pulang hingga maghrib tiba, lalu tunaikan shalat maghrib di tempat kerja. Setelah itu barulah

  • Bab 1 : Shalat dalam Berbagai Keadaan Seri Fiqih Kehidupan (3) : Shalat -3

    382

    pulang ke rumah. Konon bila pulang di atas Mahgrib, kemacetan jalan sudah mulai berkurang. Sedangkan shalat Isya' cukup dilakukan nanti di rumah karena waktu masih panjang.

    Dalam kasus tertentu, bila memang bus itu khusus karyawan dan bus jemputan yang mana teman-teman seperjalanannya sudah saling kenal, maka tidak ada salahnya bila jadi pelopor dengan mengusulkan kepada mereka agar bus itu bisa berhenti sejenak di pinggir tol agar bisa memberikan kesempatan kepada mereka yang muslim untuk mengerjakan shalat maghrib.

    Mungkin ide ini dianggap gila atau mengada-ada, tapi tidak ada salahnya dicoba?

    3. Ketentuan dalam Menjama' Shalat

    Di dalam syariat Islam, bila syarat dan ketentuannyaterpenuhi, shalat boleh dijama' atau digabung untuk dikerjakan dalam satu waktu.

    Pada bab-bab berikutnya kita akan membahas secara khusus dan mendalam tentang segala hal yang berkaitan dengan shalat Jama'.

    4. Shalat di Atas Kendaraan

    Alternatif yang terakhir untuk tetap bisa melaksanakan shalat adalah melakukannya di atas kendaraan. Dan syariat Islam memungkinkan kita untuk melakukan shalat di atas kendaraannya, dengan syarat dan ketentuan yang telah baku.

    Namun intinya bahwa shalat di atas kendaraan adalah hal yang masyru' dan pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW.

    Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahuanhu bahwa Nabi SAW shalat di atas kendaraannya menuju ke arah Timur. Namun ketika beliau mau shalat wajib, beliau turun dan shalat menghadap kiblat. (HR. Bukhari)

  • Seri Fiqih Kehidupan (3) : Shalat - 3 Bab 1 : Shalat dalam Berbagai Keadaan

    383

    Dan beliau SAW memerintahkan Ja'far bin Abi Thalib untuk mengerjakan shalat di atas kapal laut.

    Dari Ya'la bin Umayyah bahwa Nabi SAW melewati suatu lembah di atas kendaraannya dalam keadaan hujan dan becek. Datanglah waktu shalat, beliau pun memerintahkan untuk dikumandangkan adzan dan iqamat, kemudian beliau maju di atas kendaraan dan melalukan shalat, dengan membungkukkan badan (saat ruku' dan sujud), dimana membungkuk untuk sujud lebih rendah dari membungkuk untuk ruku'. (HR. Ahmad dan Al-Baihaqi)

    Namun shalat di atas kendaraan ini punya beberapa ketentuan, syarat dan hal-hal teknis yang wajib dipahami dengan mendalam. Untuk itu kita akan bahas secara lebih seksama di dalam bab berikutnya, insya Allah.

    5. Ketentuan Dalam Mengqadha' Shalat

    Apabila sudah tidak ada alternatif lain kecuali meninggalkan shalat, maka tetap saja shalat itu wajib dikerjakan di waktu yang lain.

    Karena kewajiban shalat fardhu tidak gugur meski sudah terlewat waktunya. Untuk itu syariat Islam telah menetapkan adanya shalat qadha' dengan segala ketentuan dan syarat-syarat yang berlaku.

    Insya Allah khusus masalah mengqadha' shalat ini juga akan dibahas dalam satu bab khusus.

  • Bab 1 : Shalat dalam Berbagai Keadaan Seri Fiqih Kehidupan (3) : Shalat -3

    384