1 metode pembelajaran kacapi melalui penerapan

22
1 METODE PEMBELAJARAN KACAPI MELALUI PENERAPAN SISTEM NOTASI Oleh Julia Universitas Pendidikan Indonesia Abstrak Kacapi merupakan salah satu alat kesenian tradisional Sunda yang telah banyak mendapat perhatian untuk dipelajari baik di lingkungan sendiri maupun di luar negeri. Dalam cara pengajarannya, sejak zaman dahulu dilakukan dengan metode oral tradisi tanpa menggunakan sistem notasi. Karena cara tersebut dianggap telah berhasil dalam melakukan regenerasi tabuhan kacapi dari generasi ke generasi. Seiring perkembangan zaman, metode pengajaran kacapi pun mulai mendapat perhatian khususnya dalam dunia pendidikan formal. Karena waditra (instrumen) tersebut telah menjadi salah satu waditra yang wajib dipelajari terutama dalam perguruan tinggi yang bergerak dalam bidang seni. Sehingga, berbagai metode pun dilakukan untuk mengajarkan waditra tersebut, salah satunya yang sekarang penulis tawarkan yakni sebuah metode untuk pengajaran kacapi dengan menggunakan sistem notasi. Metode yang dibuat berbeda dengan metode yang telah ada. Karena biasanya pembelajaran kacapi menggunakan notasi Sunda tanpa menggunakan ilustrasi kawat kacapinya yang berjumlah 18-20 kawat. Ada juga yang menggunakan notasi barat, yakni seperti notasi untuk instrumen piano, sehingga arah tinggi-rendahnya nada pada notasi berlawanan dengan tinggi-rendahnya nada yang terdapat dalam kacapi. Oleh sebab itu, penulis mencoba membuat metode dengan memperhatikan kedua hal tersebut, yaitu dengan menggunakan notasi barat pada diagram kawat kacapi yang berjumlah 18-20 kawat. Sehingga terdapat kesesuaian antara arah tinggi-rendahnya nada pada notasi dan pada kacapi. Dengan demikian, diharapkan akan mempermudah peserta didik dalam mempelajari waditra kacapi. Key Words: Learning Method, Instrument, Kacapi.

Upload: vankhanh

Post on 31-Dec-2016

248 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

1

METODE PEMBELAJARAN KACAPI

MELALUI PENERAPAN SISTEM NOTASI

Oleh Julia

Universitas Pendidikan Indonesia

Abstrak

Kacapi merupakan salah satu alat kesenian tradisional Sunda yang

telah banyak mendapat perhatian untuk dipelajari baik di lingkungan

sendiri maupun di luar negeri. Dalam cara pengajarannya, sejak zaman

dahulu dilakukan dengan metode oral tradisi tanpa menggunakan sistem

notasi. Karena cara tersebut dianggap telah berhasil dalam melakukan

regenerasi tabuhan kacapi dari generasi ke generasi.

Seiring perkembangan zaman, metode pengajaran kacapi pun mulai

mendapat perhatian khususnya dalam dunia pendidikan formal. Karena

waditra (instrumen) tersebut telah menjadi salah satu waditra yang wajib

dipelajari terutama dalam perguruan tinggi yang bergerak dalam bidang

seni. Sehingga, berbagai metode pun dilakukan untuk mengajarkan waditra

tersebut, salah satunya yang sekarang penulis tawarkan yakni sebuah

metode untuk pengajaran kacapi dengan menggunakan sistem notasi.

Metode yang dibuat berbeda dengan metode yang telah ada.

Karena biasanya pembelajaran kacapi menggunakan notasi Sunda tanpa

menggunakan ilustrasi kawat kacapinya yang berjumlah 18-20 kawat. Ada

juga yang menggunakan notasi barat, yakni seperti notasi untuk instrumen

piano, sehingga arah tinggi-rendahnya nada pada notasi berlawanan

dengan tinggi-rendahnya nada yang terdapat dalam kacapi. Oleh sebab itu,

penulis mencoba membuat metode dengan memperhatikan kedua hal

tersebut, yaitu dengan menggunakan notasi barat pada diagram kawat

kacapi yang berjumlah 18-20 kawat. Sehingga terdapat kesesuaian antara

arah tinggi-rendahnya nada pada notasi dan pada kacapi. Dengan

demikian, diharapkan akan mempermudah peserta didik dalam

mempelajari waditra kacapi.

Key Words: Learning Method, Instrument, Kacapi.

2

A. PENGANTAR

Metode merupakan cara sistematis dan terpikir secara baik untuk

mencapai tujuan, prinsip, dan praktik-praktik pengajaran (KLBI, 2006:380).

Dalam dunia pendidikan, metode telah menjadi sesuatu hal yang mutlak

diperlukan, terutama metode dalam aktivitas pembelajaran. Karena, dalam

aktivitas pembelajaran, menyangkut pencarian, pembentukan, dan transfer

ilmu pengetahuan, atau yang biasa disebut dengan kegiatan belajar

mengajar. Sedangkan dalam kegiatan tersebut, di dalamnya melibatkan dua

pihak utama, yaitu pihak pendidik dan peserta didik.

Para pendidik, dalam melaksanakan tugasnya disamping menguasai

bahan atau materi ajar, tentu perlu pula mengetahui bagaimana cara materi

ajar itu disampaikan, serta bagaimana karakteristik peserta didik yang

menerima pelajaran tersebut. Biasanya, kegagalan dalam pembelajaran

terjadi apabila pendidik kurang menguasai bahan, dan yang paling parah

lagi adalah pendidik tidak tahu bagaimana cara menyampaikan materi ajar

dengan baik dan tepat. Sehingga, tidak memungkinkan peserta didik dapat

belajar dengan suasana menyenangkan, serta materi ajar mudah dipahami

dan dikuasai dalam waktu yang relatif singkat. Seperti yang dikemukakan

oleh Georgi Lozanov, bahwa pemercepatan belajar dapat dilakukan

dengan metode pengajaran yang memungkinkan siswa untuk belajar

dengan kecepatan mengesankan, dengan upaya yang normal, dan

dibarengi kegembiraan (DePorter & Hernacki, 2005:14). Oleh karena itu,

3

dengan adanya metode pengajaran, diharapkan kegiatan belajar mengajar

tersebut dapat berjalan dengan lancar, serta tujuannya dapat tercapai

dengan baik.

Meskipun dalam kenyataannya, tidak sedikit berbagai macam

metode pengajaran yang diciptakan, kurang efektif bahkan dapat membuat

peserta didik tidak dapat belajar dengan baik. Karena, peserta didik tidak

merasa tertarik atau tertantang dengan pelajaran yang diberikan. Salah

satunya sebagai akibat dari kurang ampuhnya metode pengajaran yang

digunakan. Berdasarkan permasalahan tersebut, tampaknya tepat untuk

memperhatikan pandangannya Win Wenger, bahwa salah satu pemakain

metode yang lebih baik adalah pada masalah, artinya bagaimana

menciptakan metode-metode yang lebih baik untuk memecahkan masalah

(Wenger, 2000:387). Dalam hal ini, Wenger lebih menekankan pada

proses dengan sasaran membangun alat (toolbuilding). Artinya,

menggunakan suatu metode atau proses khusus, untuk menciptakan alat

atau sarana, metode atau proses yang baru dan lebih baik. Di sinilah perlu

adanya investasi ulang metode untuk metode yang lebih baik, tidak ada

batas yang jelas mengenai seberapa jauh dan seberapa tinggi batas itu.

Berkaitan dengan metode pengajaran tersebut, permasalahannya

tidak hanya terjadi pada pendidikan ilmu-ilmu alam atau pendidikan ilmu-

ilmu sosial, akan tetapi juga terjadi pada pendidikan seni, terutama seni

tradisi. Sebagai seni yang merupakan akar dan khazanah dari budaya

4

bangsa, seni tradisi telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam

dunia pendidikan. Namun dalam pendidikan seni tradisi, permasalahan

metode pengajaran cenderung kurang diperhatikan, karena sampai saat ini

metode yang telah ada yaitu metode oral tradisi (ngabeo), masih dianggap

metode yang paling ampuh dalam hal pengajaran. Namun hal tersebut

tidak terjadi pada semua cabang seni tradisi, terutama seni tradisi yang telah

lama diajarkan di sekolah-sekolah atau perguruan tinggi. Seperti halnya

pembelajaran gamelan degung di Jawa Barat, telah menggunakan metode-

metode pengajaran yang cukup baik.

B. METODE ORAL TRADISI

Selama ini, pengajaran kacapi sebagai waditra pokok dalam

penyajian kawih dan tembang Sunda dilakukan dengan metode oral tradisi

tanpa menggunakan sistem notasi atau partitur, karena waditra tersebut

lebih berkembang di luar dunia pendidikan atau sekolah-sekolah. Sehingga,

metode oral tradisi menjadi warisan dari generasi ke generasi. Tentu saja,

metode itu pun dapat diakui berhasil dalam proses pengajaran di luar dunia

pendidikan, karena materi ajar kacapi memiliki kompleksitas tersendiri yang

sangat sulit untuk dinotasikan. Akan tetapi, lain hal dengan dunia

pendidikan, dimana diperlukan adanya suatu pengembangan pemikiran

bahwa sesulit apapun materi ajar, harus dapat diajarkan dengan

menggunakan notasi. Bahkan diharapkan, dengan pengembangan metode

5

peserta didik dapat belajar sendiri di luar proses pengajaran meskipun

akhirnya harus tetap bertatap muka demi kesempurnaan materi ajar.

Kelemahan yang ditemukan dalam metode oral tradisi, pertama,

memungkinkan terjadinya pengurangan dan menghilangnya karya-karya

yang terdahulu disebabkan tidak adanya dokumentasi yang jelas. Artinya,

dengan oral tradisi hanya mengandalkan memori manusia untuk

mengingatnya. Mengenai hal ini, kita dapat mengambil contoh dengan

karya-karya dari barat yang dibuat pada zaman renaissance, zaman barok,

zaman klasik dan zaman romantik sampai sekarang, masih ada

dokumentasinya sehingga banyak orang dapat mempelajarinya, bahkan

sampai mendunia. Meskipun memiliki perbedaan dalam hal sejarah dan

budaya, tidak ada salahnya apabila kita pun mencoba untuk

mendokumentasikan karya-karya kawih atau tembang Sunda, dengan cara

menotasikan dan sekaligus mengggunakannya untuk metode pengajaran,

demi kelestarian karya-karya dalam kesenian tersebut.

Kedua, metode oral tradisi dalam pelaksanaannya hanya dapat

dilakukan oleh beberapa kalangan saja, sehingga waditra kacapi kurang

diminati oleh banyak orang. Hal tersebut, merupakan salah satu hal yang

telah menyebabkan waditra kacapi menjadi waditra yang minoritas.

Padahal, dalam permainan kacapi terdapat keistimewaan tersendiri seperti

puspa ragam teknik yang cukup sulit dikuasai, sehingga dapat bersaing

dengan instrumen-instrumen barat. Oleh karena itu, di zaman yang telah

6

mengglobal ini, sebagai salah satu upaya pelestarian diperlukan adanya

metode lain agar waditra kacapi dapat dipelajari oleh semua kalangan.

Ketiga, metode oral tradisi juga dapat dinilai kurang efektif dan

efisien. Artinya memerlukan waktu yang cukup lama untuk sampai kepada

tahap peserta didik dapat memainkan waditra kacapi, sedangkan zaman

sekarang orang-orang cenderung berkeinginan untuk mempelajari

instrumen secara cepat dan praktis. Dalam permainan kacapi, tentu saja

terdapat tahapan-tahapan untuk mencapai kepada tingkat yang paling

tinggi, akan tetapi dalam proses pembelajaran bukan berarti harus langsung

menuju tingkatan tersebut, namun proses awalnya yang sangat perlu untuk

diperhatikan agar peserta didik dapat belajar secara cepat sehingga akhirnya

akan mempermudah untuk mencapai tingkatan tinggi.

Hal lainnya yang juga perlu diperhatikan adalah sudah saatnya

pembelajaran waditra kacapi menggunakan sistem notasi yang dapat

dipahami olah semua kalangan. Tujuannya, dengan adanya sistem notasi

diharapkan waditra kacapi dapat lebih dikenal oleh banyak orang, tidak

hanya satu daerah tapi secara nasional bahkan internasional. Seperti

pengaruh musik tradisi barat yang cukup kuat di negara Indonesia, di

antaranya dengan banyaknya partitur-partitur musik barat yang dapat

dipelajari oleh banyak kalangan.

Terakhir, dalam perkembangannya sampai sekarang, dinilai

kurangnya referensi tentang metode pembelajaran waditra kacapi. Oleh

7

karena itu, untuk menambah referensi tersebut maka diperlukan adanya

metode-metode lain yang dapat memperkaya, mempercepat, serta

membantu mempermudah pembelajaran waditra kacapi, khususnya di

kalangan dunia pendidikan dan umumnya di semua kalangan. Setelah

memperhatikan beberapa permasalahan tersebut, maka penulis mencoba

untuk menggunakan metode pengajaran dengan membuat sebuah metode

pembelajaran kacapi menggunakan sistem notasi.

C. PROSES PEMBELAJARAN

Dalam proses pembelajarannya, teori yang digunakan adalah teori

belajar konstruktivisme, khususnya konstruktivisme radikal. Dalam hal ini,

seperti yang dikemukakan oleh Von Glasersfeld, konstruktivisme radikal

berpegang bahwa kita hanya dapat mengetahui apa yang

dibentuk/dikonstruksi oleh pikiran kita (Suparno, 1997:26). Artinya,

pembelajaran lebih menitik beratkan pada keaktifan peserta didik, dengan

mengutamakan pengalaman sebagai salah satu cara untuk memperoleh atau

membentuk perkembangan pengetahuannya. Oleh karena itu, dalam cara

ini pengetahuan dapat lebih cepat dikonstruksi oleh penerima yang aktif,

dan akan berbeda apabila ditransfer kepada penerima yang pasif.

Sedangkan pendidik, merupakan mediator dalam proses

mentransmisikan pengetahuan. Dalam hal ini, Jean Piaget mengemukakan,

karena pendidikan merupakan suatu proses yang menghubungkan dua sisi,

8

“di satu sisi, individu yang sedang tumbuh, dan di sisi lain, nilai sosial,

intelektual, dan moral”. Maka, menjadi tanggung jawab pendidiklah untuk

mendorong individu pada sisi kedua tersebut (Palmer, 2006:75). Oleh

karena itu, pendidik memiliki peran yang cukup kompleks dalam proses

pembelajaran. Selain sebagai pentransmisi pengetahuan, juga berperan

sebagai pengubah perilaku (behaviour changes) peserta didik, dan

pemelihara sistem nilai atau nilai-nilai dari pengetahuan (Makmun,

2000:23).

Proses pembelajaran ini, dalam pelaksanaannya juga didasarkan

pada cara belajar cepat (accelerated learning). Artinya, dalam proses

pembelajaran tersebut peserta didik dituntut untuk lebih cepat memahami

dan menguasai materi ajar. Seperti yang dikemukakan oleh Colin Rose &

Malcolm J. Nicholl, untuk menguasai perubahan yang berlangsung cepat

dibutuhkan pula cara belajar cepat, yakni kemampuan menyerap dan

memahami informasi baru dengan cepat, serta menguasai informasi tersebut

(Rose & Nicholl, 2006:35). Dalam hal ini, pembelajaran dilakukan dengan

menggunakan teknik-teknik yang cocok dengan gaya belajar para peserta

didik, yaitu belajar dengan cara yang paling alamiah. Karena, belajar

dengan cara yang alamiah menjadi lebih mudah, dan yang lebih mudah

menjadi lebih cepat.

9

D. TAHAPAN PEMBELAJARAN

Berkaitan dengan tahapan-tahapan pembelajaran, dalam

pelaksanaannya peserta didik belajar melalui beberapa fase. Secara global,

pembelajaran terbagi ke dalam tiga fase, yaitu:

1. Fase eksplorasi.

2. Fase pengenalan konsep.

3. Fase aplikasi konsep.

Menurut Dimyati & Mudjiono, dalam fase eksplorasi siswa

mempelajari gejala dengan bimbingan. Dalam fase pengenalan konsep,

siswa mengenal konsep yang ada hubungannya dengan gejala. Sedangkan

dalam aplikasi konsep, siswa menggunakan konsep untuk meneliti gejala

lain lebih lanjut (Dimyanti & Mudjiono, 2006: 14). Dalam hal ini, peserta

didik dituntut untuk dapat menguasai konsep, serta memiliki kepekaan

dalam menemukan gejala-gejala yang terjadi dalam proses pembelajaran.

Sedangkan langkah-langkah pembelajarannya, penulis mencoba

untuk menggunakan langkah-langkah pembelajaran yang ditawarkan oleh

Piaget1, yaitu:

1. Menentukan topik yang dapat dipelajari oleh peserta didik.

2. Memilih atau mengembangkan aktivitas kelas dengan topik tersebut.

3. Mengetahui adanya kesempatan bagi pendidik untuk mengemukakan

pertanyaan yang menunjang proses pemecahan masalah.

1 Lihat Dimyanti & Mudjiono. Belajar dan Pembelajaran (2006:14).

10

4. Menilai pelaksanaan tiap kegiatan, memperhatikan keberhasilan, dan

melakukan revisi.

Setelah melalui langkah-langkah tersebut, diharapkan peserta didik

dapat membentuk pengetahuan secara cepat, efektif, dan efisien, serta

memiliki pengalaman tersendiri, yakni pengalaman estetis. Karena, pada

dasarnya dalam pendidikan seni khususnya seni musik, peserta didik

dituntut agar dapat memiliki pengalaman estetis. Seperti yang dikemukakan

oleh Keith Swanwick, bahwa pendidikan musik adalah pendidikan estetik,

dan mendengarkan musik adalah suatu bagian dari pengalaman estetik

(Ellliot, 1995:28). Oleh karena itu, pengalaman estetik merupakan suatu hal

yang mutlak didapatkan oleh para peserta didik sebagai bagian dari

pendidikan musik. Bahkan, Bennett Reimer berpandangan bahwa musik

sama dengan kumpulan objek atau kerja seni. Ikhwal rhythm, melodi,

harmoni, warna suara (termasuk dinamika), tekstur dan bentuk merupakan

estetik atau elemen ekspresi dari musik (Elliot, 1995: 28).

E. PRINSIP REAKSI

Dalam hal ini, prinsip reaksi diartikan sebagai pola kegiatan yang

memperlihatkan hubungan guru dan siswa dalam proses pembelajaran.

Oleh karena itu, pola kegiatan tersebut dapat ditinjau dari beberapa aspek,

seperti yang dikemukakan oleh Dimyanti & Mudjiono, yakni dilihat dari

perhatian dan motivasi, keaktifan, keterlibatan langsung/berpengalaman,

11

pengulangan, tantangan, balikan dan penguatan, serta perbedaan

individual (2006:42).

1. Perhatian dan Motivasi

Perhatian merupakan bagian yang sangat penting dalam proses

pembelajaran. Karena, tanpa perhatian dari peserta didik proses

pembelajaran akan berjalan secara semu. Artinya, materi ajar tidak akan

tersampaikan dengan baik dan tuntas. Seperti yang dikemukakan oleh

Stern dan dikutip oleh Bigot, pertama, perhatian adalah pemusatan

tenaga/kekuatan jiwa tertuju kepada suatu objek. Kedua, perhatian adalah

pendayagunaan kesadaran untuk menyertai sesuatu aktivitas yang

dilakukan (Sagala, 2006:130). Oleh karena itu, keberhasilan pembelajaran

sangat dipengaruhi oleh perhatian peserta didik. Jika tidak ada perhatian,

jangankan mengkontruksi pengetahuan, memahami materi ajarnya saja

akan sulit.

Sedangkan motivasi lebih berkaitan dengan minat peserta didik

dalam mengikuti proses pembelajaran. Artinya, peserta didik akan lebih

cepat membentuk pengetahuan jika mereka memiliki motivasi yang besar

dalam mengikuti pembelajaran. Biasanya, dalam hal motivasi tergantung

kepada kebutuhan, suka dan tidak suka, faktor pengajar, dan faktor

lainnya yang dapat mempengaruhi psikologi peserta didik terhadap materi

yang diajarkan. Dalam hal ini, Dimyanti & Mudjiono membaginya ke

dalam dua motif, yaitu motif intrinsik dan motif ekstrinsik (2006:43).

12

Motif intrinsik adalah tenaga pendorong yang sesuai dengan perbuatan

yang dilakukan, sedangkan motif ekstrinsik adalah tenaga pendorong yang

ada di luar perbuatan yang dilakukannya tetapi menjadi penyertanya.

Sebagai cara untuk membangkitkan motivasi tersebut, maka dalam

proses pembelajarannya akan mencoba menggunakan cara seperti yang

ditawarkan oleh Sagala. Pertama, mempersiapkan untuk menggunakan

cara atau metode dan media mengajar yang bervariasi. Kedua,

merencanakan dan memilih bahan yang menarik minat dan dibutuhkan

siswa. Ketiga, memberikan sasaran antara, sasaran akhir belajar adalah

lulus ujian atau naik kelas. Keempat, memberikan kesempatan untuk

sukses, artinya materi ajar disesuaikan dengan kemampuan peserta didik

yang berbeda-beda. Kelima, diciptakan suasana belajar yang

menyenangkan, dengan suasana familiar. Keenam, adakan persaingan

sehat, atau kompetisi sehat yang dapat membangkitkan motivasi belajar

(Sagala, 2006:153).

2. Keaktifan

Sesuai dengan teori belajar konstruktivisme yang menuntut adanya

keaktifan dari peserta didik, maka dalam proses pembelajaran kacapi

peserta didik dituntut untuk lebih aktif. Karena pembelajaran kacapi

berbentuk praktek, maka keaktifan peserta didik dapat terlihat dalam

mempelajari dan mempraktekan kacapi tersebut. Dalam hal ini, meskipun

keaktifan praktek terletak pada aspek fisik, namun secara psikis juga sangat

13

diperlukan. Seperti memecahkan masalah dalam menyatukan tangan

kanan dan tangan kiri dalam bermain kacapi. Jika peserta didik kurang

aktif dalam kedua aspek tersebut, maka proses pembelajaran akan

berlangsung lebih lama.

3. Keterlibatan Langsung

Maksud dari keterlibatan langsung adalah bahwa peserta didik

langsung mengalami dalam hal proses pembelajaran. Karena

pembelajarannya kacapi, maka peserta didik harus memainkan atau

mempraktekan secara langsung bagaimana mempelajari dan memainkan

instrumen tersebut. Seperti yang telah disebutkan, dari pengalaman inilah

peserta didik mendapatkan pengalaman estetik, dan justru hal inilah yang

paling penting dan mendasar dalam pendidikan musik. Jadi, peserta didik

tidak hanya melihat, mendengarkan, atau mengamati saja, tapi langsung

ikut terlibat.

4. Pengulangan

Berdasarkan pada teorinya Thordike tentang psikologi asosiasi atau

koneksionisme, bahwa belajar adalah pembentukan hubungan antara

stimulus dan respon, dan pengulangan terhadap pengalaman-pengalaman

itu memperbesar peluang timbulnya respon yang benar. Seperti kata

pepatah “latihan menjadikan sempurna” (Dimyanti & Mudjiono,

2006:46). Maka, dalam pembelajaran kacapi peserta didik dikondisikan

untuk terus melakukan latihan dan pengulangan, agar materi yang

14

dipelajari bertambah sempurna. Namun, hal tersebut disesuaikan dengan

waktu pembelajaran yang telah direncanakan, dan yang lebih tepat untuk

banyak melakukan latihan dan pengulangan adalah di luar waktu

pembelajaran formal.

5. Tantangan

Untuk membantu menumbuhkan motif pada peserta didik, maka

diperlukan materi ajar yang menantang, namun tetap disesuaikan dengan

kemampuan para peserta didik. Karena, terlalu menantang tidak baik

terhadap psikologi peserta didik. Artinya, jika materi yang diberikan tidak

sesuai dengan kemampuannya, maka dapat menimbulkan perasaan frustasi

dalam mempelajari kacapi, yang akhirnya menimbulkan rasa malas.

Begitupun sebaliknya, jika materi yang diberikan terlalu mudah dan statis,

artinya yang diberikan hanya itu-itu saja, maka peserta didik akan merasa

bosan.

6. Balikan dan Penguatan

Dalam hal ini, balikan dan penguatan dapat menjadi dorongan bagi

peserta didik. Sebagai contoh, mendapatkan hasil yang baik dalam

mempelajari kacapi dapat menjadi balikan yang menyenangkan, dan

dapat berpengaruh baik terhadap usaha belajar selanjutnya. Sedangkan

penguatan, dapat berupa penguatan positif dapat juga berupa penguatan

negatif. Misalnya, dengan hasil belajarnya peserta didik mampu

memainkan kacapi dengan baik, sehingga mendapatkan nilai ujian yang

15

bagus. Maka, nilai bagus tersebut dapat menjadi penguatan yang positif.

Sebaliknya, jika mendapatkan hasil ujian yang tidak bagus, maka dapat

menjadi penguatan yang negatif. Oleh karena itu, seperti yang dikatakan

Dimyanti & Mudjiono, kegiatan balikan dan penguatan dapat dilakukan

dengan cara tanya jawab, diskusi, eksperimen, metode penemuan, dan

sebagainya (2006:49). Sehingga, peserta didik akan terdorong kembali

untuk lebih giat dan bersemangat.

7. Perbedaan Individual

Dalam upaya menanggulangi perbedaan kemampuan pada peserta

didik, maka guru dapat memberikan tambahan atau pengayaan pelajaran

bagi peserta didik yang pandai. Sedangkan untuk anak-anak yang kurang

pandai, dapat dilakukan dengan memberikan bimbingan belajar, dengan

demikian, mereka dapat terus terdorong untuk lebih berpikir optimis, dan

tetap bersemangat dalam mempelajari kacapi.

F. SISTEM NOTASI KACAPI

Mengingat perkembangan zaman yang begitu pesat, metode

pembelajaran kacapi dengan menggunakan sistem notasi memang sudah

saatnya diluncurkan, disosialisasikan, serta diuji coba, terutama dalam

mengantisipasi paradigma pembelajaran yang baru, yang memiliki indikasi

sifat-sifatnya yang efektif dan efisien dalam prosesnya (Herdini, 2003).

Oleh sebab itu, penulis mencoba membuat metode yang diharapkan

16

memiliki efektifitas dan efisiensi waktu dalam proses pembelajarannya,

yakni dengan membuat sebuah metode pembelajaran kacapi dengan

menggunakan sistem notasi. Panduan sistem notasinya adalah sebagai

berikut:

1. Diagram Kawat Kacapi

Sebagai pengenalan, kacapi yang akan digunakan yakni kacapi yang

memiliki jumlah kawat 18 utas (kacapi tembang Sunda). Perhatikan gambar

di bawah ini.

Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa garis yang digunakan

berjumlah 11 (sebelas) garis, terdiri dari dua bagian yaitu garis dan spasi.

Garis dan spasi tersebut dibagi menjadi empat kelompok, dengan jumlah

tiga kelompok masing-masing memiliki tiga garis dan dua spasi, satu

kelompok memiliki dua garis dan satu spasi. Di antara kelompok yang satu

dengan yang lainnya terdapat satu spasi yang difungsikan sebagai spasi

pembatas. Tanpa menghitung spasi pembatas, garis dan spasi tersebut

berjumlah 18 (delapan belas). Hal ini sesuai dengan jumlah kawat kacapi

tembang Sunda yang berjumlah 18 (delapan belas) utas. Artinya, sistem

17

pengelompokan garis dan spasi tersebut telah diselaraskan dengan sistem

bunyi pada kacapi tembang Sunda.

Cara penerapannya, setiap kelompok terdiri dari nada 1 (da), 2 (mi),

3 (na), 4 (ti) dan 5 (la), dengan dimulai dari bawah, kecuali kelompok

keempat hanya sampai nada 3 (na). Secara keseluruhan nada dimulai dari

yang paling tinggi (high) sampai yang paling rendah (low), hal ini sesuai

dengan urutan nada pada kacapi tembang Sunda. Seperti telah disebutkan

di atas, kelompok paling bawah disebut dengan rakitan petit (oktaf tinggi),

kelompok kedua disebut rakitan galindeng (oktaf sedang), kelompok ketiga

disebut rakitan gentem (oktaf rendah), dan kelompok keempat disebut

rakitan goong (oktaf paling rendah)2. Agar lebih jelas cara penerapan

struktur nada pada sistem notasi di atas, perhatikan gambar berikut.

Untuk keterangan penggunaan jari dalam sistem notasi kacapi ini

tidak menggunakan istilah Kanan (Ka) dan Kiri (Ki), tapi dengan

menggunakan perbedaan warna pada not-nya. Untuk tangan kanan

menggunakan warna hitam, dan untuk tangan kiri menggunakan warna

2 Istilah rakitan petit, rakitan galindeng, rakitan gentem, dan rakitan goong diambil dari buku

belajar nembang karangan Rd. Ace Hasan Su’eb tahun 1997.

18

merah. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah dalam teknik membaca

notasi.

Apabila dalam partitur hanya ada not yang berwarna hitam, maka

partitur tersebut hanya dimainkan oleh tangan kanan, dan apabila dalam

partitur terdapat not yang berbeda warna, maka partitur tersebut

dimainkan oleh dua tangan. Untuk lebih jelasnya perhatikan notasi berikut

ini.

Contoh 1:

Contoh 2:

Seperti terlihat di atas, penulisan melodi pirigan menggunakan

kaidah-kaidah notasi balok, baik bentuk dan durasi not maupun bentuk dan

19

durasi tanda istirahat. Hal ini bertujuan agar notasi dapat dikenal dan

mudah dicerna oleh berbagai kalangan. Sebagai contohnya, di bawah ini

dicantumkan beberapa jenis not dan tanda istirahat berikut durasinya

seperti ditulis oleh Zinn dan Hogenson (1987:19).

Dengan memerhatikan paparan di atas, dapat diketahui bahwa

perbedaan yang cukup signifikan antara sistem notasi kacapi ini dengan

sistem notasi kacapi yang telah ada, antara lain terletak pada: (1)

penggunaan simbol. Sistem notasi sebelumnya hanya menggunakan angka-

angka dari 1 (da) sampai 5 (la) berikut harga nadanya, sedangkan sistem

notasi ini menggunakan notasi damina yang dilengkapi dengan simbol-

simbol sebagaimana notasi balok pada umumnya. Artinya, Anda tetap

membaca notasi dengan bunyi da-mi-na-ti-la, namun secara visual dibantu

dengan simbol-simbol not balok. Hal ini dimaksudkan dan diharapkan agar

lebih mudah diakses atau dipelajari oleh semua kalangan.

(2) perubahan tampilan notasi. Dalam sistem notasi terdahulu notasi

disajikan secara horizontal, sementara dalam sistem notasi ini disajikan

secara horizontal dan vertikal. Dari segi visual, hal ini dapat membantu

mempermudah dalam membaca notasi kacapi, karena terlihat jelas

persamaannya antara struktur kawat kacapi dengan sistem notasi yang

digunakan, yaitu berurutan dari bawah ke atas (vertikal). Dengan sistem

20

notasi ini, Anda dapat mengetahui mana kawat yang dimainkan dan mana

kawat yang tidak dimainkan.

(3) perubahan jumlah garis. Pada sistem notasi terdahulu, jumlah

garis not untuk kacapi tembang Sunda berjumlah 18 garis sesuai dengan

jumlah kawat kacapi, namun pada sistem notasi ini berubah menjadi 11

garis, dan sisanya yang berjumlah 7 dipindahkan ke dalam spasi.

Pengurangan jumlah garis ini setidaknya dapat mengurangi tingkat kesulitan

dalam upaya membaca notasi kacapi.

2. Contoh Bahan Pembelajaran Kacapi Melalui Penerapan Sistem Notasi

Tabuhan Bubuka

Laras Pelog

21

G. KESIMPULAN

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk

pengembangan pembelajaran kacapi diperlukan upaya nyata dalam

menciptakan inovasi-inovasi dalam cara-cara pengajarannya. Oleh karena

itu, sebagai langkah awal, sistem notasi yang ditawarkan alangkah bijaknya

jika diaplikasikan setidaknya sesuai dengan tahapan-tahapan belajar yang

dianjurkan, atau lebih baik jika dikembangkan sesuai dengan situasi dan

kondisi sekolah dan peserta didik. Namun yang jelas, metode pembelajaran

kacapi dengan menggunakan sistem notasi (literasi) ini bertujuan untuk

mempermudah dan mengefisienkan waktu pembelajaran yang biasanya

menggunakan metode oral tradisi (oraliti). Dan dapat dilihat dengan jelas

pula, bahwa sistem notasi kacapi yang digunakan telah mengalami

perubahan dari sistem notasi kacapi yang terdahulu, terutama dalam

tampilan atau visualisasi sistem notasi.

22

BIBLIOGRAFI

Bakir, Suyoto & Sigit Suryanto. (2006). Kamus Lengkap Bahasa Indonesia.

Batam: Karisma Publishing Group.

DePorter, Bobbi & Mike Hernacki. (2005). Quantum Learning. Bandung:

Kaifa.

Dimyanti dan Mudjiono. (2006). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT

Rineka Cipta.

Elliot, David J. (1995). Music Matters. New York: Oxford University Press.

Herdini, Heri. (2003). Metode Pembelajaran Kacapi Indung Dalam

Tembang Sunda Cianjuran. Bandung: STSI Press.

Makmun, Abin Syamsuddin. (2000). Psikologi Kependidikan. Bandung:

Rosdakarya.

Palmer, Joy. A. (2006). Fifty Modern Thinkers On Education. Yogyakarta:

IRCiSoD.

Rose, C and Malcolm J. Nicholl. (2006). Accelerated Learning. Bandung:

Nuansa.

Sagala, Syaiful. (2006). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: CV

Alfabeta.

Wenger, Win. (2004). Beyond Teaching and Learning. Bandung: Nuansa.