1. halaman sampul

Upload: ayu-shanta-theresia-sitorus

Post on 06-Oct-2015

40 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

1. Halaman Sampul

TRANSCRIPT

  • 1

    BAB 1

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Di Indonesia hukum memegang peranan yang sangat penting dalam

    berbagai segi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Salah satunya

    adalah di bidang kesehatan. Kesehatan merupakan kebutuhan yang utama

    bagi setiap manusia. Keadaan kesehatan seseorang akan dapat

    berpengaruh pada segi-segi kehidupannya seperti sosial, ekonomi,

    maupun kelangsungan kehidupan suatu bangsa dan negara.

    Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur

    kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa

    Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan UUD 1945

    Amandemen Pasal 28 H ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap orang

    berhak hidup sejahtera lahir dan batin, mempunyai tempat tinggal dan

    mendapatkan lingkupan hidup yang baik dan sehat serta berhak

    memperoleh pelayanan kesehatan yang baik. Dalam Penjelasan Umum

    atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 tahun 2009 tentang

    Kesehatan ditentukan bahwa pembangunan kesehatan sebagai salah satu

    upaya pembangunan nasional diarahkan guna hidup sehat bagi setiap

    penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan secara optimal. Hal

    itu menunjukkan, bahwa masalah kesehatan di negara kita mendapatkan

    perhatian dan penanganan secara serius oleh pemerintah, yaitu dengan

    didirikannya sarana-sarana kesehatan, tidak hanya di kota-kota, tetapi

    juga sampai ke desa-desa.

    Untuk dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi

    masyarakat, yang merupakan bagian dari kesejahteraan, diperlukan

    dukungan hukum bagi penyelenggaraan di bidang kesehatan. Pada

    mulanya upaya penyelenggaraan kesehatan hanya berupa upaya

    pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan. Kemudian seiring

    perkembangan jaman upaya tersebut berkembang pada upaya

  • 2

    pembangunan kesehatan yang menyeluruh, terpadu, dan

    berkesinambungan yang mencakup upaya promotif (peningkatan),

    preventif (pencegahan), kuratif (penyembuhan), dan rehabilitatif

    (pemulihan).

    Upaya penyelenggaraan kesehatan sebagaimana dimaksud di atas,

    dipengaruhi oleh faktor lingkungan sosial budaya, termasuk ekonomi,

    lingkungan fisik dan biologis yang bersifat dinamis dan kompleks.

    Menyadari betapa luasnya hal tersebut, pemerintah melalui sistem

    kesehatan nasional, berupaya menyelenggarakan kesehatan melalui

    sarana atau fasilitas kesehatan yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata,

    dan dapat diterima serta terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat luas,

    guna mencapai derajat kesehatan yang optimal.1

    Sarana kesehatan adalah setiap tempat yang digunakan untuk

    menyelenggarakan upaya kesehatan.2 Sarana kesehatan meliputi balai

    pengobatan, pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit umum, rumah sakit

    khusus, praktek dokter, praktek dokter gigi, praktek dokter spesialis,

    praktek dokter gigi spesialis, praktek bidan, toko obat, apotek, pedagang

    besar farmasi, pabrik obat dan bahan obat, laboratorium, sekolah dan

    akademik kesehatan, balai pelatihan kesehatan, dan sarana kesehatan

    lainnya. Sarana kesehatan tersebut dapat diselenggarakan oleh

    pemerintah dan atau masyarakat.

    Dari ketentuan tersebut dapat dilihat, bahwa kesempatan untuk

    mendirikan sarana-sarana kesehatan dalam rangka memberikan

    pelayanan kesehatan kepada masyarakat tidak hanya dilakukan oleh

    pihak pemerintah, tetapi juga diberikan kepada setiap anggota

    masyarakat atau swasta, sehingga akhir-akhir ini nampak peran serta

    masyarakat dalam penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan swasta

    secara merata, terjangkau, dan dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini

    1 Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter,

    (Jakarta, PT Rineke Cipta, 2005), hal. 2.

    2 Indonesia (a), Undang-Undang tentang Kesehatan, UU No. 23 Tahun 1992, LN

    No. 10 Tahun 1992, TLN. 3495, Pasal 1 angka 4. Undang-undang ini telah dicabut dengan

    Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

  • 3

    dapat dilihat dengan semakin meningkat dan berkembangnya pendirian

    klinik-klinik swasta baik di kota, kabupaten, maupun daerah pedalaman.

    Di dalam undang-undang no. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, tidak

    ada disebutkan mengenai sarana kesehatan melainkan fasilitas pelayanan

    kesehatan. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau

    tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan

    kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang

    dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.3

    Pelayanan kesehatan kepada masyarakat merupakan suatu hal yang

    sangat penting, sehingga sangat diperlukan suatu kehati-hatian dan

    keprofesionalisme dari pihak tenaga kesehatan. Selain itu, untuk

    menunjang program pemerintah dalam mewujudkan indonesia sehat

    maka sangat diperlukan tenaga kesehatan yang lebih profesional dan

    bertanggung jawab dalam bidang pelayanan kesehatan. Dalam hal

    program pembangunan nasional di bidang kesehatan tersebut yang

    tujuannya untuk mengupayakan peningkatan derajat kesehatan, maka

    mutu pelayanan kesehatan merupakan hal yang sangat penting.

    Diperlukan mutu pelayanan kesehatan yang terpadu dan menyeluruh

    supaya setiap orang yang menggunakan pelayanan kesehatan dapat

    merasakannya. Pelayanan kesehatan merupakan hal yang penting yang

    harus dijaga dan ditingkatkan kualitasnya. Pelayanan sendiri pada

    hakikatnya merupakan suatu usaha yang membantu menyiapkan segala

    sesuatu yang diperlukan orang lain serta dapat memberikan kepuasan

    sesuai dengan keinginan yang diharapkan oleh konsumen supaya tidak

    terjadi kasus yang merugikan konsumen misalnya seperti malpraktik.

    Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa banyak yang

    mendirikan klinik-klinik kesehatan. Klinik kesehatan adalah salah satu

    fasilitas kesehatan di Indonesia disamping rumah sakit dan fasilitas

    kesehatan lainnya. Klinik merupakan salah satu tempat pelayanan

    kesehatan yang utama di masyarakat. Dalam dunia medis yang sangat

    berkembang, klinik juga memiliki peranan yang tidak kalah pentingnya

    3 Indonesia (b), Undang-Undang tentang Kesehatan, UU No. 36 Tahun 2009, LN

    No. 144 Tahun 2009, TLN. 5063 Pasal 1 angka 7.

  • 4

    dari fasilitas pelayanan kesehatan lainnya dalam menunjang kesehatan

    dari masyarakat. Hal ini dapat dilihat dengan jumlah klinik di Indonesia

    jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah rumah sakit. Pada

    umumnya apabila di dalam satu kabupaten hanya ada satu rumah sakit

    umum maka akan ada terdapat lebih dari satu klinik. Selain itu, klinik

    juga terdapat di daerah-daerah terpencil, kepulauan, dan daerah

    perbatasan. Oleh karena itu, klinik merupakan fasilitas kesehatan yang

    paling mudah diakses oleh masyarakat. Masyarakat pada umumnya lebih

    memilih berobat ke klinik dibandingkan ke rumah sakit karena lebih

    terjangkau lokasinya.

    Walaupun klinik merupakan fasilitas kesehatan yang paling sering

    digunakan oleh masyrakat, ternyata pembinaan dan pengawasan terhadap

    klinik oleh pemerintah tergolong sangat rendah sehingga pengetahuan

    masyarakat tentang klinik kurang dan pelanggaran banyak terjadi klinik.

    Hal ini dapat dilihat dengan kasus yang terjadi dimana ada klinik yang

    seharusnya tidak boleh menyelenggarakan rawat inap tetapi membuatnya

    tanpa izin. Masyarakat kurang mengetahui bahwa apakah semua klinik

    dapat menyelenggarakan rawat inap atau tidak karena mereka tidak

    mengetahui pengaturan mengenai klinik itu sendiri. Selain itu kasus yang

    sering terjadi adalah tenaga asing yang sering diberitakan di media massa

    yang dipekerjakan oleh klinik. Karena klinik sangat jarang diawasi oleh

    pemerintah akhirnya mereka mengambil kesempatan untuk

    mempromosikan klinik mereka yang mempunyai dokter warga negara

    asing. Padahal walaupun sudah diperbolehkan dokter berpraktik di

    Indonesia dengan persyaratan-persyaratan yang diatur dengan peraturan

    perundang-undangan namun pemerintah Indonesia belum pernah

    memberikan izin kepada satupun dokter warga negara asing untuk

    berpraktik di Indonesia sehingga setiap dokter asing yang berpraktik

    tersebut tidak illegal. Hal ini tentunya mengakibatkan pelanggaran yang

    dilakukan oleh klinik yaitu mengadakan praktik illegal di klinik.

    Dengan adanya undang-undang yang mengatur mengenai hak-hak

    konsumen, dalam hal ini adalah seorang pasien, maka akan menjamin

  • 5

    perlindungan hukum bagi pasien. Akan tetapi, hal tersebut tidak

    menghindari adanya permasalahan yang merugikan pasien. Setiap tahun

    masalah yang merugikan pasien semakin bertambah. Oleh karena itu

    dapat dilihat bahwa walaupun hak-hak pasien sudah dilindungi dengan

    undang-undang tetapi tidak menjamin bahwa tidak akan ada

    permasalahan. Salah satu bentuk kerugian yang sering diderita oleh

    konsumen pasien adalah malpraktik yang dilakukan oleh pihak klinik

    baik oleh seorang dokter, perawat, ataupun tenaga kesehatan lainnya.

    Pasien dapat diartikan sebagai konsumen karena konsumen merupakan

    penerima atau pemanfaat barang dan/atau jasa pelayanan kesehatan. Pada

    dasarnya malpraktik dapat dilakukan oleh pihak klinik namun tidak

    jarang juga bahwa kerugian yang diderita oleh pasien diakibatkan adanya

    kelalaian dari pasien itu sendiri. Untuk itu diperlukan kerja sama antara

    pasien dan tenaga kesehatan agar tidak terjadi malpraktik tersebut.

    Beberapa tahun belakangan ini, kejadian malpraktik semakin banyak

    terjadi di Indonesia. Kondisi ini disebabkan oleh kurangnya kesadaran

    pasien mengenai hak dan kewajibannya di bidang kesehatan terlebih

    kurangnya kesadaran dari tenaga kesehatan terhadap kode etik profesi

    yang seharusnya ditaati. Hal tersebut mengakibatkan hak-hak pasien

    dilanggar. Oleh karena itu, ketika pasien merasa dirugikan atas jasa

    pelayanan kesehatan yang diterima dari klinik maka pasien harus

    mendapatkan perlindungan hukum yang diatur dalam Undang-Undang

    No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.

    Menurut Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, pasien

    berhak untuk mendapatkan rasa kenyamanan, keamanan, dan

    keselamatan dalam mengonsumsi suatu produk barang dan/atau jasa yang

    dalam hal ini diberikan oleh tenaga medis kepada pasien. Tindakan yang

    dilakukan tenaga medis tersebut tidak menutup kemungkinan terjadinya

    kesalahan atau kelalaian. Kesalahan atau kelalaian tersebut berbagai

    macam bentuknya misalnya seorang dokter salah mendiagnosa pasien

    sehingga salah mengobati dan salah meresep obat sehingga akibatnya

    pasien bukan menjadi sembuh melainkan semakin parah penyakitnya.

  • 6

    Berdasarkan kesalahan tersebut maka menimbulkan pertanyaan

    bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen pasien yang dirugikan

    tersebut dan bagaimana bentuk tanggung jawab yang dapat diberikan

    oleh pelaku usaha kepada pasien. Hal ini dipertanyakan dikarenakan

    apabila terjadi kesalahan atau kelalain maka akan mempunyai dampak

    yang sangat merugikan baik dari segi klinik maupun pasiennya bahkan

    masyarakat. Selain merusak atau mengurangi kepercayaan masyarakat

    terhadap klinik dan profesi kedokteran juga menimbulkan kerugian bagi

    pasien.

  • 7

    1.2 Pokok Permasalahan

    Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dapat

    diambil tiga rumusan masalah, yaitu:

    a. Bagaimana pengaturan mengenai klinik layanan kesehatan?

    b. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen

    klinik layanan kesehatan ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan

    Konsumen dan Undang-Undang Kesehatan?

    c. Bagaimana tanggung jawab hukum klinik layanan kesehatan terhadap

    pasien sebagai konsumen ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan

    Konsumen dan Undang-Undang Kesehatan?

    1.3 Tujuan Penelitian

    1.3.1 Tujuan Umum

    Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana

    analisis hukum mengenai perlindungan hukum terhadap pasien

    sebagai konsumen klinik layanan kesehatan ditinjau dari undang-

    undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dan

    undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan.

    1.3.2 Tujuan Khusus

    Adapun tujuan khusus dari penelitian ini, yaitu untuk:

    a. Mengetahui pengaturan mengenai klinik layanan kesehatan.

    b. Mengetahui perlindungan hukum terhadap pasien sebagai

    konsumen klinik layanan kesehatan ditinjau dari Undang-

    Undang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang

    Kesehatan.

    c. Mengetahui tanggung jawab hukum klinik layanan kesehatan

    terhadap pasien sebagai konsumen ditinjau dari Undang-

    Undang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang

    Kesehatan.

  • 8

    1.4 Definisi Operasional

    Dalam penelitian, perlu dilakukan penjelasan tentang istilah-istilah

    penting yang digunakan. Penjelasan ini dilakukan dengan membuat

    kerangka konsep. Kerangka konsep adalah kerangka yang

    menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin atau

    akan diteliti.4 Adapun konsep-konsep tersebut, antara lain:

    a. Kesehatan adalah keadaan sejahtera bagi badan, jiwa, dan sosial

    yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan

    ekonomi.5

    b. Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah

    kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang

    diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada

    dokter atau dokter gigi.6

    c. Dokter adalah dokter lulusan pendidikan kedokteran baik di dalam

    maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik

    Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.7

    d. Klinik adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan

    pelayanan kesehatan perorangan yang menyediakan pelayanan medis

    dasar dan/atau spesialistik.8

    e. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam

    bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan

    melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu

    memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.9

    f. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang

    digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan,

    4 Sri Mamuji et, al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan

    Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 67.

    5 Indonesia (b), op.cit., Pasal 1 angka 1.

    6 Indonesia (d), Undang-Undang Praktik Kedokteran, UU No. 29 Tahun 2004, LN

    No. 116 Tahun 2004, TLN 4431, Pasal 1 angka 10.

    7 Ibid, pasal 1 angka 2

    8 Indonesia (c), Peraturan Kementerian Kesehatan.Permenkes No. 9 Tahun 2014,

    Pasal 1 angka 1.

    9 Indonesia (b), op.cit., Pasal 1 angka 6.

  • 9

    baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan

    oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.10

    g. Surat Izin Praktik adalah bukti tertulis yang diberikan pemerintah

    kepada dokter dan dokter gigi yang akan menjalankan praktik

    kedokteran setelah memenuhi persyaratan.11

    h. Perlindungan konsumen adalah segala upaya menjamin adanya

    kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada pasien.12

    i. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi

    yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh

    konsumen.13

    j. Badan Penyelesaian Sengketa adalah badan yang bertugas

    menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan

    konsumen.14

    1.5 Metode Penelitian

    Suatu penelitian hukum harus dilakukan dengan kegiatan ilmiah

    yang didasarkan kepada suatu metode. Selain itu, kegiatan ilmiah

    tersebut juga harus dilakukan secara sistematis dan dengan pemikiran-

    pemikiran tertentu. Oleh karena itu penelitian ini perlu dilakukan secara

    sistematis berdasarkan metode ilmiah.

    Dalam penelitian ini, bentuk penelitian yang digunakan oleh penulis

    adalah metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif

    artinya penelitian ini dilakukan dengan menelaah aturan-aturan hukum

    atau pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan yang dikaitkan

    dengan menggunakan bahan-bahan pustaka. Penelitian kepustakaan atau

    yuridis normatif akan berdasarkan kepada bahan kepustakaan dan juga

    peraturan perundang-undangan yang terkait. Bentuk penelitian tersebut

    10Ibid, Pasal 1 angka 7.

    11

    Indonesia (d), op.cit., Pasal 1 angka 7.

    12

    Indonesia (e), Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8

    Tahun 1999, LN No. 42 Tahun 1999, TLN. 3821 Pasal 1 angka 1.

    13

    Ibid, Pasal 1 angka 5.

    14

    Ibid, Pasal 1 angka 11.

  • 10

    dipilih oleh penulis untuk memberikan paparan normatif yang berkaitan

    dengan hukum terkait yang dibahas dalam melakukan penelitian ini.

    Adapun tipologi penelitian yang digunakan adalah deskriptif.

    Penelitian deskriptif ini bertujuan untuk menggambarkan kondisi yang

    ada terkait pengaturan mengenai klinik kesehatan dan pendiriannya serta

    bagaimana syarat-syarat penyelenggaraa kesehatannya. Penelitian ini

    juga akan memberikan penjelasan mengenai perlindungan hukum

    terhadap pasien sebagai pasien penerima jasa pelayanan kesehatan klinik

    serta tanggung jawab klinik sebagai pelaku usaha pemberi jasa pelayanan

    kesehatan yang ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen

    dan Undang-Undang Kesehatan dan peraturan perundang-undangan

    terkait.

    Selanjutnya, jenis data yang dipergunakan adalah data sekunder,

    yakni dengan data yang diperoleh dari kepustakaan. Dalam memperoleh

    data, penulis akan mengambil dari berbagai literatur berupa buku teks,

    jurnal ilmiah, hingga melalui jurnal atau informasi yang diterbitkan oleh

    pemerintah. Pembahasan dengan data sekunder dilakukan dengan

    mendatangi perpustakaan, pusat dokumentasi, dan dari bahan pustakan

    yang dimiliki oleh penulis.

    Adapun jenis bahan hukum yang dipergunakan adalah:

    a. Bahan hukum primer yaitu merupakan bahan hukum yang mengikat

    kepada masyarakat, terdiri dari:

    1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

    Konsumen.

    2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

    3) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek

    Kedokteran.

    4) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga

    Kesehatan

    5) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2014 tentang

    Klinik.

    6) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

  • 11

    b. Bahan hukum sekunder yaitu merupakan bahan hukum yang

    menjelaskan bahan hukum primer. Antara lain buku, jurnal ilmiah,

    skripsi, dan artikel ilmiah. Bahan hukum sekunder tersebut terdiri

    dari:

    1) Hukum Perlindungan Konsumen dengan pengarang Ahmadi

    Miru dan Sutarman Yodo.

    2) Hukum Perlindungan Konsumen dengan pengarang Az Nasution.

    3) Hukum Tentang Perlindungan Konsumen dengan pengarang

    Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani.

    4) Kapita Selekta Hukum Kedokteran dengan pengaran Fred

    Ameln.

    c. Bahan hukum tersier yaitu merupakan bahan hukum yang

    menjelaskan bahan hukum primer atau sekunder. Antara lain kamus

    hukum atau kamus tentang kesehatan yang dipergunakan penulis.

    Sebagai alat pengumpulan data, penulis menggunakan alat

    pengumpulan data berupa studi dokumen dan wawancara. Studi dokumen

    dilakukan dengan menelaah berbagai bahan kepustakaan. Selanjutnya

    wawancara dilakukan dengan mewawancarai narasumber yang terkait

    dengan penelitian ini yaitu Bapak Ali Usman yang menjabat di Bagian

    Perundang-Undangan Biro Hukum Kementerian Kesehatan, dr. R

    Pasaribu selaku pemilik Klinik Harapan Jaya Balimbingan, dan dr. Fajar

    Sinaga.

    Metode analisis data yang digunakan oleh penulis adalah metode

    kualitatif. Metode ini dipilih karena data yang dipergunakan adalah data

    sekunder. Metode ini juga sesuai dengan bentuk penelitian yaitu

    kepustakaan atau yuridis normatif yang menelaah bahan-bahan

    kepustakaan dengan tataran normatif.

    Berdasarkan bentuk penelitian sebelumnya, bentuk hasil penelitian

    yang sesuai adalah deskriptif analitis. Hasil ini memberikan

    penggambaran dan penjelasan berdasarkan analisis yang dilakukan dalam

  • 12

    penelitian ini. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan

    gambaran secara lengkap terhadap permasalahan yang diteliti.

    1.6 Sistematika Penulisan

    Pembahasan skripsi ini disusun secara sistematis. Penulisan ini akan

    terdiri dari lima bab dengan beberapa sub-bab, dengan sistematika

    sebagai berikut:

    Bab 1 Pendahuluan

    Bab berisi latar belakang masalah, pokok permasalahan, tujuan

    penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika

    penulisan.

    Bab 2 Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Terhadap Pasien

    Sebagai Konsumen Kesehatan

    Pada bab ini akan menguraikan tinjauan umum hukum perlindungan

    konsumen yaitu pengertian perlindungan hukum konsumen, asas dan

    tujuan, pihak-pihak terkait, hak dan kewajiban konsumen dan pasien

    serta pelaku usaha, perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, tanggung

    jawab pelaku usaha, penyelesaian sengketa konsumen, dan sanksi

    hukum.

    Bab 3 Tinjauan Umum Tanggung Jawab Klinik Kesehatan Sebagai

    Pelaku Usaha Kesehatan Terhadap Pasiennya

    Pada bab ini akan menguraikan tentang hukum kesehatan yaitu

    terminologi hukum kesehatan, ruang lingkup hukum kesehatan..

    Kemudian dalam bab ini juga dibahas mengenai klinik yaitu pengertian,

    jenis klinik, pendirian klinik, perbedaan klinik dengan rumah sakit, dan

    hak dan kewajiban klinik, dokter, dan perawat, dan mengenai malpraktik.

  • 13

    Bab 4 Analisis Yuridis Perlindungan Hukum Terhadap Pasien

    Sebagai Konsumen Klinik Kesehatan

    Pada bab ini akan membahas tentang perlindungan hukum terhadap

    pasien sebagai konsumen klinik layanan kesehatan yaitu hubungan antara

    pasien dengan klinik dan tenaga kesehatannya, hak dan kewajiban pasien

    sebagai konsumen, hak dan kewajiban klinik sebagai pelaku usaha,

    tanggung jawab klinik terhadap pasien ditinjau dari undang-undang

    perlindungan konsumen dan undang-undang kesehatan, serta analisis

    kasus.

    Bab 5 Penutup

    Bab ini merupakan bab penutup yang memberikan kesimpulan dan

    saran dari penulis. Pada bab ini, penulis akan menjawab pokok

    permasalahan yang telah dikemukakan pada Bab 1 Pendahuluan.

  • 14

    BAB 2

    TINJAUAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

    PASIEN SEBAGAI KONSUMEN KESEHATAN

    2.1 Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen

    Secara harafiah, kata perlindungan dalam Kamus Besar Bahasa

    Indonesia (KBBI) diartikan sebagai tempat berlindung; hal (perbuatan

    dsb) melindungi15

    dan konsumen diartikan sebagai pemakai barang-

    barang hasil produksi (bahan pakaian, makanan, dan sebagainya) dan

    kepentingannya juga harus diperhatikan.16

    Sedangkan pengertian

    hukum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diartikan

    sebagai peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang

    dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah; undang-undang, peraturan,

    dsb untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat.17

    Dengan demikian,

    hukum perlindungan konsumen dapat diartikan sebagai undang-undang,

    adat, dan segala peraturan yang mengatur pergaulan hidup masyarakat

    sebagai tempat berlindung para pemakai barang-barang hasil industri

    (bahan pakaian, makanan, dan sebagainya).

    Berdasarkan Ketetapan MPR Tahun 1993 terdapat arahan mengenai

    perlindungan konsumen, yaitu melindungi kepentingan produsen dan

    konsumen. Berdasarkan arahan tersebut maka terdapat dua hal yang perlu

    diperhatikan, yaitu adanya kelompok masyarakat produsen serta

    kelompok masyakarat konsumen dan kepentingan (hak-hak) masing-

    masing kelompok yang perlu dilindungi.18

    Menurut Mochtar

    Kusumaatmaja hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-

    asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen

    dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan/atau

    jasa konsumen. Menurut Gunawan Widjaja dan Akhmad Yani, Hukum

    15 Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. 3, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990)

    16

    Ibid.,

    17

    Ibid.,

    18

    Az. Nasution (a), Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta:

    Diadit Media, 2007), hal. 34.

  • 15

    Perlindungan Konsumen merupakan cabang hukum yang bercorak

    Universal. Sebagian besar perangkatnya diwarnai hukum asing, namun

    kalau dilihat dari hukum positif yang sudah ada di Indonesia ternyata

    dasar-dasar yang menopang sudah ada sejak dulu termasuk hukum adat.19

    Menurut Johanes Gunawan, perlindungan hukum konsumen itu hukum

    yang mengatur dan melindungi konsumen di dalam melakukan transaksi

    dengan pelaku usaha. Perlindungan hukum terhadap konsumen tersebut

    oleh Johannes bukan hanya dilakukan oleh pemerintah melainkan juga

    dari pihak pelaku usaha itu sendiri. 20

    Az Nasution membedakan pengertian antara hukum konsumen dan

    hukum perlindungan konsumen. Az Nasution berpendapat bahwa hukum

    konsumen dapat diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-

    kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan

    penggunaan produk barang dan/atau jasa antara berbagai pihak atau satu

    sama lain di dalam pergaulan hidup.21

    Sedangkan Hukum Perlindungan

    Konsumen sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang

    mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah

    penyediaan dan penggunaan produk (barang/jasa) antara penyedia dan

    penggunannya dalam kehidupan bermasyarakat.22

    Berdasarkan hal tersebut maka dapat dibedakan bahwa hukum

    konsumen hanya mengatur mengenai hubungan dan masalah penyediaan

    dan penggunaan produk barang dan/atau jasa antara para pihak

    sedangkan hukum perlindungan konsumen bukan hanya mengatur

    melainkan juga melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah

    penyediaan dan penggunaan produk barang dan/atau jasa antara para

    pihak. Dengan demikian, walaupun hukum konsumen dan hukum

    perlindungan konsumen sama-sama mengatur mengenai hubungan

    19 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen,

    (Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2001), hal. 11-12.

    20

    Johannes Gunawan, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: Universitas

    Katolik Parahyangan, 1999), hal. 3. 21

    Az Nasution, Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada

    Perlindungan Konsumen Indonesia, (Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995), hlm. 72.

    22

    Az. Nasution (b), Hukum Perlindungan Konsumen, Cet. 2, (Jakarta: Diadit

    Media, 2002), hal. 22.

  • 16

    hukum antara para pihak yaitu hak dan kewajibannya masing masing

    tetapi hukum perlindungan konsumen memiliki sifat yang melindungi

    konsumen.

    Kata keseluruhan maksudnya adalah bahwa di dalamnya termasuk

    seluruh pembedaan hukum menurut jenisnya yaitu hukum perdata,

    hukum pidana, hukum administrasi, maupun hukum internasional.

    Sedangkan cakupannya adalah meliputi hak dan kewajiban para pihak

    serta cara-cara pemenuhan kebutuhannya seperti konsumen mulai dari

    usahanya untuk mendapatkan kebutuhannya dari produsen misalnya

    mencari informasi mengenai produk dan harganya sampai akibat-akibat

    yang timbul karena penggunaan kebutuhan tersebut.

    Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Perlindungan

    Konsumen disebutkan bahwa Perlindungan Konsumen adalah segala

    upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi

    perlindungan kepada konsumen.23

    Dengan adanya kalimat yang

    menyatakan segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum

    diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-

    wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi kepentingan

    perlindungan konsumen.24

    Kepastian hukum untuk memberikan

    perlindungan kepada konsumen tersebut antara lain adalah dengan

    meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta membuka akses

    informasi tentang barang dan/atau jasa baginya, dan

    menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung

    jawab.

    Dengan demikian, jika perlindungan konsumen diartikan sebagai

    segala upaya yang menjamin adanya kepastian pemenuhan hak-hak

    konsumen sebagai wujud perlindungan kepada konsumen, maka hukum

    perlindungan konsumen tiada lain adalah hukum yang mengatur upaya-

    upaya untuk menjamin terwujudnya perlindungan hukum terhadap

    kepentingan konsumen.

    23 Indonesia (e), op.cit., Pasal 1 angka 1.

    24

    Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta:

    Rajawali Pers, 2011), hal. 1.

  • 17

    2.2 Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen

    Dalam setiap pembentukan undang-undang ada asas yang mendasari

    pembentukannya dan tujuan dari dibentuknya undang-undang tersebut.

    Asas dan tujuan perlindungan konsumen diatur dalam Bab II UU No. 8

    Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

    2.2.1 Asas Hukum Perlindungan Konsumen

    Asas-asas hukum merupakan pondasi suatu undang-undang dan

    peraturan pelaksananya. Apabila asas-asas dikesampingkan maka

    bangunan undang-undang akan runtuh berikut peraturan pelaksananya.

    Mertokusumo memberikan ulasan sebagai berikut: bahwa asas hukum

    bukan merupakan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar

    yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan konkrit

    yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma

    dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang

    merupakan hukum positif dan dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat

    atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut.25

    Dalam Pasal 2 dan Penjelasan Undang-Undang Perlindungan

    Konsumen dijelaskan bahwa perlindungan konsumen diselenggarakan

    sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam

    pembangunan nasional, yaitu:26

    a) Asas Manfaat

    Asas ini dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala

    upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus

    memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen

    dan pelaku usaha secara keseluruhan. Sebagai contoh, Undang-

    Undang Perlindungan Konsumen memberikan pengaturan kepada

    pelaku usaha untuk memberikan informasi yang jujur kepada

    konsumen dalam memperdagangkan produknya. Aturan ini bukan

    hanya memberikan manfaat kepada konsumen agar terlindungi,

    25 Yusuf Shofie, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, cet. 1

    (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hal. 25.

    26

    Indonesia (e), op.cit., Pasal 2 dan Penjelasan.

  • 18

    namun juga kepada pelaku usaha, karena akan menambah

    kepercayaan konsumen akan produk yang diperdagangkan, sehingga

    saling ketergantungan dapat tercipta.

    b) Asas Keadilan

    Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat

    diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada

    konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan

    melaksanakan kewajibannya secara adil. Sebagai contoh, Undang-

    Undang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai hak dan

    kewajiban yang harus dilakukan oleh konsumen adalah beritikad

    baik dalam melakukan transaksi dengan pelaku usaha. Apabila

    kewajiban ini tidak diaati, maka pelaku usaha berhak untuk

    mendapatkan perlindungan hukum dari perbuatan konsumen

    tersebut. Hal ini juga berlaku sebaliknya, sehingga dapat dikatakan

    bahwa ada kewajiban dan hak dari masing-masing pihak yang

    sifatnya adil bagi masing-masing pihak yaitu konsumen dan pelaku

    usaha.

    c) Asas Keseimbangan

    Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan

    antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam

    arti materiil dan spiritual. Artinya adalah bahwa dalam Undang-

    Undang Perlindungan Konsumen diatur agar kedudukan pelaku

    usaha dan konsumen dalam kedudukan yang seimbang dan saling

    mempengaruhi, tidak ada pihak yang lebih kuat dibanding yang

    lainnya.

    d) Asas Keamanan dan Keselamatan

    Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas

    keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan,

    pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi

    atau digunakan. Sebagai contoh, Undang-Undang Perlindungan

    Konsumen diatur mengenai perbuatan pelaku usaha dalam

    memproduksi barang harus sesuai dengan standar dan peraturan

  • 19

    perundang-undangan yang berlaku. Hal ini menjamin keamanan

    konsumen dan mengkonsumsi produk pelaku usaha.

    e) Asas Kepastian Hukum

    Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun

    konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam

    penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin

    kepastian hukum. Apabila ada pelaku usaha yang melakukan

    perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, dipastikan ada sanksi

    hukum bagi pelaku usaha karena adanya kepastian hukum.

    Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan

    substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu:

    a) Asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan

    keselamatan konsumen,

    b) Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan, dan

    c) Asas kepastian hukum.

    Radbruch menyebutkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian

    hukum adalah sebagai tiga ide dasar hukum atau tiga nilai dasar

    hukum,27

    yang berarti dapat dipersamakan dengan asas hukum. Sebagai

    asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas ini menjadi rujukan

    pertama baik dalam pengaturan perundang-undangan maupun dalam

    berbagai aktivitas yang berhubungan dengan gerakan perlindungan

    konsumen oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya.28

    2.2.2 Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen

    Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen

    diatur mengenai tujuan perlindungan konsumen, yaitu:

    a) Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen

    untuk melindungi diri;

    27 Gustav, Radbruch, Legal Philosophy, in The Legal Philosophies of Lask,

    Radbruch, and Dabin, translated by, Kurt Wilk, (Harvard University Press, Massachusetts,

    1950), hal. 170. Lihat juga Achmad, Ali, Menguak Tabir Hukum, (Jakarta: Chandra

    Pratama, 1996), hal. 95.

    28

    Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op. cit., hal. 26.

  • 20

    b) Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

    menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau

    jasa;

    c) Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,

    menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen jadi

    konsumen bisa berinisiatif terlebih dahulu melalui potensi yang ada

    pada dirinya untuk membela kepentingannya;

    d) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung

    unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk

    mendapatkan informasi.

    e) Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya

    perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan

    bertanggung jawab dalam berusaha

    f) Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin

    kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,

    kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.29

    Tujuan perlindungan konsumen tersebut merupakan isi

    pembangunan nasional yang menjadi sasaran akhir yang harus dicapai

    dalam pelaksanan pembangunan di bidang hukum perlindungan

    konsumen. Keenam tujuan tersebut hanya dapat tercapai secara maksimal

    apabila didukung oleh keseluruhan subsistem perlindungan yang diatur

    dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tanpa mengabaikan

    fasilitas penunjang dan kondisi masyarakat.30

    2.3 Pihak-Pihak Terkait Dalam Undang-Undang Perlindungan

    Konsumen

    Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen terdapat beberapa

    pihak yang terkait dengan permasalahan perlindungan konsumen, antara

    lain konsumen, pelaku usaha, pemerintah, Badan Perlindungan

    Konsumen Nasional, dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya

    Masyarakat (LPKSM). Namun dalam sub-bab ini hanya akan dibahas

    29 Indonesia (e), op.cit., Pasal 3.

    30

    Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op. cit., hal. 34-35.

  • 21

    lebih lanjut mengenai konsumen dan pelaku usaha serta pemerintah

    sebagai Pembina dan pengawas.

    2.3.1 Konsumen

    Az Nasution menyatakan bahwa konsumen adalah setiap orang yang

    mendapatkan secara sah dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk

    suatu kegiatan tertentu.31

    Az Nasution menggolongkan konsumen

    menjadi tiga kategori, yaitu:

    a) Konsumen dalam arti umum, yaitu setiap orang yang mendapatkan

    barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu;

    b) Konsumen antara, yaitu setiap orang yang mendapatkan barang

    dan/atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang /jasa

    lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial);

    c) Konsumen akhir, yaitu setiap orang yang mendapatkan dan

    menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi

    kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga, dan/atau rumah tangga dan

    tidak untuk diperdagangkan kembali.32

    Undang-Undang Perlindungan Konsumen mendefinisikan konsumen

    sebagai setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam

    masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,

    maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.33

    Oleh

    karena itu, apabila dikaitkan dengan penggolongan konsumen oleh Az

    Nasution tersebut maka konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan

    Konsumen termasuk dalam kategori konsumen akhir.

    Pengertian konsumen dalam Pasal 1 angka 2 tersebut tidak ada

    diberi penjelasan oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Oleh

    karena itu, Tim Hukum Perlindungan Konsumen yang dibentuk

    berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI tentang pembentukan

    Tim Penelaah Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Hukum dalam

    31 Az. Nasution (c), Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial, Ekonomi, dan Hukum

    pada Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal. 69.

    32

    Az. Nasution (a), op. cit., hal 35.

    33

    Indonesia (e), op.cit., Pasal 1 angka 2.

  • 22

    Rangka Reformasi Hukum Departemen Kehakiman No. M59-PRO9.04

    tahun 1998 mengkategorikan konsumen akhir tersebut kedalam tiga

    golongan, yaitu:

    1) Pemakai, yaitu setiap konsumen yang memakai barang yang tidak

    mengandung listrik atau elektronika, seperti pemakaian pangan,

    sandang, papan, alat transportasi, dan sebagainya.

    2) Pengguna, yaitu setiap konsumen yang menggunakan barang yang

    mengandung listirk dan elektronika, seperti penggunaan lampu

    listrik, radio, televisi, ATM, atau komputer, dan sebagainya.

    3) Pemanfaat, yaitu setiap konsumen yang memanfaatkan jasa-jasa

    konsumen, seperti jasa kesehatan, jasa angkutan, jasa pengacara, jasa

    pendidikan, jasa perbankan, jasa transportasi, jasa rekreasi, dan

    sebagainya.

    Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, golongan pemakai,

    pengguna, dan pemanfaat merupakan golongan konsumen yang

    dilindungi.

    Pasien atau pesakit adalah seseorang yang menerima perawatan

    medis. Pasien adalah orang sakit (yang dirawat dokter) atau penderita

    (sakit). Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah

    kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan

    baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter

    gigi.34

    Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak diatur

    secara spesifik mengenai jasa dalam bidang kesehatan. Akan tetapi,

    berdasarkan pengertian tersebut dimana pasien adalah orang yang

    memperoleh pelayanan kesehatan maka dapat diartikan bahwa pasien

    merupakan konsumen yaitu konsumen pemakai jasa pelayanan

    kesehatan.

    2.3.2 Pelaku Usaha

    Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengartikan pelaku usaha

    sebagai setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk

    34 Indonesia (d), op. cit. Pasal 1 angka 10.

  • 23

    badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan

    berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara

    Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui

    perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang

    ekonomi.35

    Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah

    perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor,

    dan lain-lain.36

    Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 3 dan Penjelasan

    dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen cukup luas karena

    meliputi grosir, leveransir, pengecer, dan sebagainya. Pengertian pelaku

    usaha tersebut tidaklah mencakup eksportir atau pelaku usaha di luar

    negeri. Hal ini dikarena Undang-Undang Perlindungan Konsumen

    membatasi orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk

    badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan

    berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara

    Republik Indonesia. Dengan demikian, pengusaha Indonesia yang

    melakukan usaha di luar negeri tidak mendapat perlindungan dari

    Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Perlindungan

    Konsumen.

    Menurut Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), pelaku usaha

    digolongkan ke dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu:

    a) Pihak Investor, yaitu penyedia dana untuk digunakan oleh pelaku

    usaha atau konsumen seperti bank, lembaga keuangan non bank, dan

    para penyedia dana lainnya;

    b) Pihak Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi

    barang dan/atau jasa dari barang dan/atau jasa yang lain seperti

    penyelenggara jasa kesehatan, pabrik sandang, pengembang

    perumahan, dan sebagainya;

    c) Pihak Distributor, yaitu pelaku usaha yang mengedarkan atau

    memperdagangkan barang dan atau/jasa tersebut kepada masyarakat

    35 Ibid, Pasal 1 angka 3.

    36

    Ibid.

  • 24

    seperti warung, toko, kedai, supermarket, pedagang kaki lima, dan

    lain-lain.37

    2.3.3 Pemerintah

    Keterlibatan Pemerintah didasarkan pada kepentingan yang diamanatkan

    oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa kehadiran negara

    antara lain, untuk menyejahterahkan rakyatnya. Amanat ini dijabarkan

    dalam pasal 33 UUD 1945 serta peraturan perundang-undangan lainnya.

    Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen peran pemerintah

    terbagi menjadi 2 (dua) yaitu peran pembinaan dan peran pengawasan.

    a) Peran Pembinaa

    Adanya keterlibatan pemerintah dalam pembinaan

    penyelenggaraan perlindungan konsumen dapat dilihat dalam

    ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang

    berbunyi Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan

    penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin

    diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya

    kewajiban konsumen dan pelaku usaha.38

    Sehubungan dengan

    ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Perlindungan Kosumen tersebut,

    dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Perlindungan Konsumen

    ditentukan, faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah

    tingkat kesadaran akan haknya masih rendah, yang terutama

    disebabkan oleh pendidikan yang masih rendah. Oleh karena itu,

    Undang-Undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi

    landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan Lembaga

    Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) untuk

    melakukan pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan

    pendidikan konsumen.39

    Tugas pembinaan penyelenggaraan

    perlindungan konsumen yang menjadi tanggung jawab pemerintah

    dan dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait

    37 Az. Nasution (a), op. cit., hal. 18.

    38

    Indonesia (e), op.cit., Pasal 29 ayat (1).

    39

    Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op. cit., hal. 181.

  • 25

    sebagaimana ditentukan dalam Pasal 29 tersebut, telah dijabarkan

    lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001,

    dengan rincian sebagai berikut:

    1) Menciptakan iklim usaha yang sehat antara pelaku usaha dan

    konsumen, dijabarkan dalam Pasal 4 bahwa upaya tersebut

    dilakukan atas koordinasi Menteri dengan Menteri teknis terkait,

    berupa:

    (a) Penyusunan kebijakan di bidang perlindungan konsumen;

    (b) Pemasyarakatan peraturan dan informasi yang berkaitan

    dengan perlindungan konsumen;

    (c) Peningkatan peranan BPKN dan BPSK melalui peningkatan

    kualitas sumber daya manusia dan lembaga;

    (d) Peningkatan pemahaman dan kesadaran pelaku usaha dan

    konsumen terhadap hak dan kewajiban masing-masing;

    (e) Peningkatan pemberdayaan konsumen melalui pendidikan,

    pelatihan dan keterampilan;

    (f) Penelitian terhadap barang dan/atau jasa beredar yang

    menyangkut perlindungan konsumen;

    (g) Peningkatan kualitas barang dan jasa;

    (h) Peningkatan kesadaran sikap jujur dan tanggung jawab

    pelaku usaha dalam memproduksi, menawarkan

    mempromosikan, mengiklankan, dan menjual barang

    dan/atau jasa; dan

    (i) Peningkatan pemberdayaan usaha kecil dan menengah

    dalam memenuhi standar mutu produksi barang dan jasa

    serta mencantumkan label dan klausula baku.

    2) Berkembangnya lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya

    Masyarakat, dijabarkan dalam Pasal 5 bahwa upaya tersebut

    dilakukan atas koordinasi Menteri dengan Menteri teknis terkait,

    berupa:

    (a) Pemasyarakatan peraturan perundang-undangan dan

    informasi yang berkaitan dengan perlindungan konsumen;

  • 26

    (b) Pembinaan dan peningkatan sumber daya manusia

    pengelola LPKSM melalui pendidikan, pelatihan, dan

    keterampilan.

    3) Berbagai upaya dimaksudkan untuk peningkatan kualitas

    sumber daya disamping kegiatan penelitian dan pengembangan

    di bidang perlindungan konsumen, dijabarkan dalam Pasal 6

    bahwa upaya tersebut dilakukan atas koordinasi Menteri dengan

    Menteri teknis terkait, berupa:

    (a) Peningkatan kualitas aparat penyidik pegawai negeri sipil di

    bidang perlindungan konsumen;

    (b) Peningkatan kualitas tenaga peneliti dan penguji barang

    dan/atau jasa;

    (c) Pengembangan dan pemberdayaan lembaga pengujian mutu

    dan barang; dan

    (d) Penelitian dan pengembangan teknologi pengujian dan

    standar mutu dan/atau jasa serta penerapannya.40

    Penjelasan umum peraturan pemerintah tersebut juga

    menentukan bahwa pembinaan perlindungan konsumen

    diselenggarakan oleh Pemerintah adalah upaya untuk menjamin

    diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya

    kewajiban masing-masing sesuai asas keadilan dan/atau asas

    keseimbangan kepentingan yang dianut dalam Undang-Undang

    Perlindungan Konsumen.

    b) Peran Pengawasan

    Adanya keterlibatan pemerintah dalam pengawasan

    penyelenggaraan perlindungan konsumen dapat dilihat dalam

    ketentuan Pasal 30 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang

    berbunyi:

    40 Indonesia (f), Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang Pembinaan

    dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, PP No. 58 Tahun 2001, LN

    No. 103, TLN No. 4126, Pasal 29.

  • 27

    "Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen

    serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan

    diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga

    perlindungan konsumen swadaya masyarakat."41

    Ketentuan Pasal 30 tersebut memberikan gambaran upaya

    perlindungan konsumen melalui pemberdayaan terhadap setiap unsur

    yang ada yaitu masyarakat dan LPKSM disamping pemerintah

    sendiri melalui Menteri/menteri teknis terkait. Mengenai bentuk-

    bentuk pengawasan secara konkrit oleh pemerintah terdapat dalam

    Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan

    Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Kosumen Pasal 8, yaitu:

    "Pengawasan oleh pemerintah dilakukan terhadap pelaku

    usaha dalam memenuhi standar mutu produksi barang

    dan/atau jasa, pencantuman label dan klausula baku, serta

    pelayanan purna jual barang dan/atau jasa. Pelayanan purna

    jual yang dimaksud, pelayanan yang dilakukan oleh pelaku

    usaha terhadap konsumen, misalnya tersedia suku cadang dan

    jaminan atau garansi."42

    2.4 Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha

    Untuk dapat menjalankan perannya masing-masing, konsumen dan

    pelaku usaha memiliki hal-hal yang harus mereka lakukan yaitu berupa

    kewajiban dan hak-hak yang mereka bisa dapatkan. Oleh karena itu,

    pemerintah melalui peraturan perundang-undangan telah mengatur hak

    dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha tersebut.

    2.4.1 Hak Konsumen

    John F. Kennedy mengemukakan bahwa konsumen memiliki 4 hak

    dasar, yaitu:

    41 Indonesia (e), op.cit., Pasal 30.

    42

    Indonesia (f), Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang Pembinaan

    dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, PP No. 58 Tahun 2001, LN

    No. 103, TLN No. 4126, Pasal 8.

  • 28

    a) The right to safe products, atau hak untuk mendapatkan barang yang

    aman;

    b) The right to be informed about products, atau hak untuk

    mendapatkan informasi tentang produk;

    c) The right to definite choices in selecting products, atau hak untuk

    menetapkan pilihan dalam memilih produk;

    d) The right to be heard regarding consumer interest, atau hak untuk

    didengar terkait kepentingan konsumen.43

    Keempat hak konsumen yang dikemukakan oleh Kennedy tersebut

    menjadi pilar utama dari peraturan International Organizational of

    Consumers Union (IOCU). IOCU kemudian menambahkan 4 (empat)

    hak tambahan, yaitu:

    a) The right to redress, atau hak untuk menerima putusan klaim

    termasuk kompensasi dari kekeliruan pelaku usaha, barang cacat,

    atau jasa yang tidak memuaskan;

    b) The right to consumer education, atau hak untuk mendapatkan

    pengetahuan dan keahlian agar mendapatkan informasi, dapat

    memilih dengan yakin mengenai barang dan jasa, menyadari hak-hak

    dasar dan tanggung jawab konsumen dan bagaimana harus

    bertindak;

    c) The right to a healty environment, atau hak untuk tinggal dan bekerja

    di lingkungan yang tidak membahayakan bagi kesejahteraan generasi

    sekarang dan mendatang;

    d) The right to basic goods and service, atau hak untuk mendapat

    barang dan jasa yang terbaik.44

    Hak konsumen menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen

    adalah sebagai berikut:45

    a) Hak atas kenyamanan, keamanan, keselamatan dalam

    mengkonsumsi barang dan/atau jasa, misalnya konsumen membeli

    43 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, op. cit., hal. 12-13.

    44

    Matthew Hilton, Prosperity for All: Consumer Activisim In an Era of

    Globalization, (Amerika Serikat: Cornell University Press, 2009), hal. 186.

    45

    Indonesia (e), op.cit., Pasal 4.

  • 29

    vitamin dengan tujuan meningkatkan stamina bukan untuk

    menambah keluhan penyakit akibat vitamin yang kadaluarsa;

    b) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

    dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta

    jaminan yang dijanjikan, akan tetapi dalam bidang hukum kesehatan

    tenaga kesehatan tidak dapat menjamin suatu kepastian atas hasil

    dari upaya kesehatan, pada umumnya tenaga kesehatan hanya dapat

    memberikan usaha yang terbaik bagi pasiennya, misalnya dokter

    bedah jantung tidak dapat memastikan dan menjanjikan kepada

    pasiennya bahwa operasi transplantasi jantung yang dilakukan akan

    pasti berhasil;

    c) Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

    jaminan barang dan/atau jasa yang digunakan, misalnya dalam setiap

    kemasan produk kosmetik haruslah mencantumkan komposisi sesuai

    dengan bahan-bahan yang terkandung di dalamnya. Dalam hukum

    kesehatan hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur dapat

    berupa informasi mengenai kompetensi dan kewenangan dari tenaga

    kesehatan yang menangani pasien tersebut apakah kompetensi dan

    kewenangan dari tenaga kesehatan tersebut sudah sesuai dengan

    pelayanan kesehatan yang diberikan atau tidak;

    d) Hak untuk didengar pendapat dan keluahannya atas barang dan/atau

    jasa yang digunakan, misalnya terdapat pada kemasan produk

    elektronik di mana terdapat nomor telepon layanan konsumen;

    e) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya

    penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut,

    misalnya konsumen dapat mengajukan gugatan ke pengadilan;

    f) Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen,

    misalnya informasi dan pembinaan LPKSM bagi konsumen;

    g) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta

    tidak diskriminatif, misalnya setiap orang mendapatkan layanan jasa

    rumah sakit tanpa dibedakan berdasarkan suku, agama, ras,

    pendidikan, maupun ekonomi;

  • 30

    h) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau

    penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai

    dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya, misalnya

    konsumen mengalami keracunan akibat meminum susu yang

    kadaluarsa maka ia berhak untuk mendapatkan ganti rugi biaya

    kesehatan. Dari aspek hukum kesehatan, bahwa hak dari kompensasi

    dan ganti rugi biaya kesehatan hanya dapat didapatkan oleh pasien

    apabila tenaga kesehatan tersebut melakukan kesalahan procedural

    dalam melakukan upaya kesehatan;

    i) Hak-hak untuk diatur dalam ketentuan peraturan perundang-

    undangan lainnya.

    Pasien sebagai konsumen juga memiliki hak-hak. Menurut Ameln,

    hak-hak pasien, yaitu:46

    (a) Hak atas informasi

    (b) Hak untuk memberikan persetujuan

    (c) Hak untuk memilih dokter

    (d) Hak untuk memilih sarana kesehatan

    (e) Hak atas rahasia kedokteran

    (f) Hak untuk menolak pengobatan atau perawatan

    (g) Hak untuk menolak suatu tindakan medis tertentu

    (h) Hak untuk menghentikan pengobatan atau perawatan

    (i) Hak atas second opinion (pendapat kedua)

    (j) Hak untuk melihat rekam medis

    Dalam Undang-Undang Kesehatan disebutkan bahwa setiap orang

    memiliki hak dalam hal kesehatan, yaitu:

    a) Setiap orang berhak atas kesehatan.

    b) Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses

    atas sumber daya di bidang kesehatan.

    46

    Fred Ameln, op. cit., hal 40-41.

  • 31

    c) Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan

    kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.

    d) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab

    menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi

    dirinya.

    e) Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi

    pencapaian derajat kesehatan.

    f) Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi

    tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab.

    g) Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan

    dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang

    akan diterimanya dari tenaga kesehatan.47

    Selain hak setiap orang dalam hal kesehatan, hak-hak setiap orang

    secara khusus sebagai pasien yang menerima pelayanan kesehatan adalah

    sebagai berikut:

    a) Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis

    yang mencakup diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan

    tindakan medis yang dilakukan, alternatif tindakan lain dan

    risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan

    prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.48

    b) Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain.

    c) Menolak tindakan medis.

    d) Mendapatkan isi rekam medis.49

    2.4.2 Kewajiban Konsumen

    Selain mempunyai hak, konsumen juga memiliki kewajiban yang

    harus dipenuhi. Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan

    kewajiban-kewajiban bagi konsumen, yaitu:50

    47 Indonesia (b), op. cit. Pasal 4-8.

    48

    Indonesia (d), op. cit. Pasal 45 ayat (3).

    49

    Ibid, Pasal 52.

    50

    Indonesia (e), op.cit., Pasal 5.

  • 32

    a) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur

    pemakaian atau pemanfaatan barang dan atau jasa, demi keamanan

    dan keselamatan, misalnya sebelum menggunakan mesin cuci,

    konsumen harus membaca petunjuk pemakaiannya terlebih dahulu;

    b) Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang

    dan/atau jasa, misalnya konsumen harus membayar harga yang

    ditetapkan oleh pelaku usaha;

    c) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati, misalnya

    dalam membayar barang kepada pelaku usaha di Indonesia maka

    konsumen harus membayar sejumlah uang dengan mata uang

    Rupiah;

    d) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan

    konsumen secara patut, misalnya dalam upaya penyelesaian

    sengketa, konsumen harus berupaya menyelesaikannya dengan

    secara damai terlebih dahulu.

    Kewajiban-kewajiban yang dimasudkan tersebut adalah agar konsumen

    sendiri dapat memperoleh hasil yang optimum atas perlindungan

    dan/atau kepastian hukum bagi dirinya.51

    Pasien sebagai konsumen

    penerima jasa pelayanan kesehatan memiliki kewajiban. Kewajiban

    pasien tersebut, yaitu:52

    a) Memberikan keterangan atau penjelasan sebanyak mungkin tentang

    penyakitnya.

    b) Menaati petunjuk dan instruksi dokter.

    c) Memberikan imbalan jasa kepada dokter.

    d) Melunaskan biaya rumah sakit.

    Kewajiban pasien dalam hal kesehatan menurut Undang-Undang

    Kesehatan adalah sebagai berikut:

    a) Ikut mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat

    kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya Pelaksanaannya

    51 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen,

    cet. 2, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal. 30.

    52

    Fred, Ameln, op. cit., Hal 53-54

  • 33

    meliputi upaya kesehatan perseorangan, upaya kesehatan

    masyarakat, dan pembangunan berwawasan kesehatan.

    b) Menghormati hak orang lain dalam upaya memperoleh lingkungan

    yang sehat, baik fisik, biologi, maupun sosial.

    c) Berperilaku hidup sehat untuk mewujudkan, mempertahankan, dan

    memajukan kesehatan yang setinggi-tingginya.

    d) Menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan bagi orang lain yang

    menjadi tanggung jawabnya.

    e) Turut serta dalam program jaminan kesehatan sosial.53

    Selain kewajiban setiap orang dalam hal kesehatan, kewajiban setiap

    orang secara khusus sebagai pasien yang menerima pelayanan kesehatan

    adalah sebagai berikut:

    a) Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah

    kesehatannya.

    b) Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter dan dokter gigi.

    c) Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan.

    d) Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterimanya.54

    2.4.3 Hak Pelaku Usaha

    Sebagai salah satu subyek dalam perlindungan konsumen dalam

    Undang-Undang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha juga mempunyai

    hak dan kewajiban. Selain hak yang dimiliki oleh konsumen dalam

    hubungannya dengan pelaku usaha, pelaku usaha juga memiliki hak-hak

    yang perlu untuk dilindungi. Undang-Undang Perlindungan Konsumen

    menyatakan bahwa hak-hak pelaku usaha adalah sebagai berikut:55

    a) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan

    mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang

    diperdagangkan, di bidang hukum kesehatan kondisi dan nilai tukar

    jasa pelayanan kesehatan tidak dapat diperjanjikan, tenaga kesehatan

    hanya dapat memberikan usaha yang terbaik;

    53 Indonesia (b), op. cit. Pasal 9-13.

    54

    Indonesia (d), op. cit. Pasal 53.

    55

    Indonesia (e), op.cit., Pasal 6.

  • 34

    b) Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan

    konsumen yang beritikad tidak baik, misalnya terhadap konsumen

    yang menolak untuk membayar barang yang dibeli;

    c) Hak untuk melakukan pembelaan dan sepatutnya di dalam

    penyelesaian hukum sengketa konsumen;

    d) Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum

    bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau

    jasa yang diperdagangkan, misalnya setelah adanya putusan

    pengadilan bahwa pelaku usaha tidak bersalah maka ia berhak atas

    permintaan maaf secara terbuka oleh konsumen yang telah

    menggugatnya;

    e) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-

    undangan lainnya, misalnya diatur dalam Undang-Undang

    Perbankan, Undang-Undang Kesehatan, dan undang-undang lainnya.

    2.4.4 Kewajiban Pelaku Usaha

    Selain mempunyai hak, pelaku usaha juga memiliki kewajiban yang

    harus dipenuhi. Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan

    kewajiban-kewajiban bagi pelaku usaha, yaitu:56

    a) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

    b) Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi

    dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan

    penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan, misalnya di dalam

    kemasan telepon genggam yang dijual disertakan buku petunjuk

    pemakaian, dalam bidang kesehatan yaitu memberikan informasi

    yang benar dan jujur mengenai indikasi medis dan informasi lain

    yang berkaitan dengan upaya kesehatan yang diberikan;

    c) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur

    serta tidak diskriminatif, misalnya tidak membedakan pelayanan

    kepada konsumen berdasarkan suku, agama, ras, pendidikan,

    maupun ekonomi;

    56 Ibid, Pasal 7.

  • 35

    d) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau yang

    diperdagangkan berdasarkan ketetentuan standar mutu barang

    dan/atau jasa yang berlaku, misalnya menjamin barang-barang yang

    diproduksi telah memenuhi standar mutu tertentu, akan tetapi dalam

    hal di bidang kesehatan akan menjamin mutu jasa yang diberikan

    hampir tidak mungkin karena adanya kemungkinan bahwa reaksi

    pasien terhadap upaya kesehatan yang diberikan oleh tenaga

    kesehatan berbeda-beda;

    e) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, memberi

    jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang

    diperdagangkan;

    f) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian

    akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau

    jasa yang diperdagangkan, akan tetapi dalam bidang kesehatan

    konsumen tentu tidak mungkin menguji jasa pelayanan kesehatan

    yang akan diberikan karena setiap upaya kesehatan yang diberikan

    kepada konsumen akan membawa dampak terhadap kesehatan

    pasien;

    g) Memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila

    barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai

    dengan perjanjian, misalnya mengganti barang-barang cacat

    produksi yang telah dibeli oleh konsumen.

    2.5 Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha

    Untuk mencapai tujuan perlindungan konsumen yaitu melindungi

    kepentingan konsumen serta mengangkat harkat kehidupan konsumen

    maka segala hal yang dapat membawa akibat negatif dari pemakaian

    barang dan/atau jasa harus dihindarkan dari aktivitas perdagangan pelaku

    usaha. Oleh karena itu, pemerintah menetapkan beberapa larangan

    melalui Undang-Undang Perlindungan Konsumen untuk membatasi

    perbuatan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan hal negatif bagi

    konsumen.

  • 36

    Larangan-larang tersebut diatur dalam Bab IV Undang-Undang

    Perlindungan Konsumen mulai dari Pasal 8 sampai dengan Pasal 17.

    Pasal 8 Undang-Undang Perlindungan Konsumen merupakan ketentuan

    umum yang berlaku bagi kegiatan usaha dari pelaku usaha pabrikan atau

    distributor di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

    Dalam pasal tersebut diatur bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi

    dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:

    a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang

    dipersyaratkan dan ketentuan perundang-undangan;

    b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih, atau netto, dan jumlah

    dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket

    barang tersebut;

    c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran timbangan, dan jumlah dalam

    hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

    d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistemewaan, atau

    kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket, atau

    keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

    e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan,

    gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam

    label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

    f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,

    keterangan, iklan, atau promosi penjualan barang/atau jasa tersebut;

    g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu

    penggunaan/pemanfaatan paling baik atas barang tertentu;

    h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana

    pernyataan halal yang dicantumkan dalam label;

    i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang

    memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi,

    aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat

    pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut

    ketentuan harus dipasanng/dibuat;

  • 37

    j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan

    barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-

    undangan.57

    Selain itu, dalam ayat (2) Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen

    pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau

    bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan

    benar atas barang yang dimaksud. Apabila pelaku usaha melakukan

    pelanggaran terhadap ayat (1) dan (2) Pasal 18 Undang-Undang

    Perlindungan Konsumen tersebut maka pelaku usaha dilarang untuk

    memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta pemerintah wajib

    menariknya dari peredaran.58

    Selain itu, pelaku usaha dilarang untuk memperdagangkan sediaan

    farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar, dengan

    atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.59

    Secara garis besarnya, perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha

    dalam Pasal 8 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dapat dibagi

    dalam dua larangan pokok, yaitu:

    a. Larangan mengenai produk itu sendiri yang tidak memenuhi syarat

    dan standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai untuk

    dimanfaatkan oleh konsumen.

    b. Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar dan

    tidak akurat yang menyesatkan konsumen.60

    Pasal 9 Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatur

    mengenai perilaku pelaku usaha yang dilarang menawarkan,

    mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak

    benar. Terhadap pelaku usaha yang melanggar maka akan dilarang

    melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa

    tersebut.61

    Pasal 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatur

    57 Ibid, Pasal 8 ayat (1).

    58

    Ibid, Pasal 8 ayat (4).

    59

    Ibid, Pasal 8 ayat (3).

    60

    Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, op. cit., hal. 39.

    61

    Indonesia (e), op.cit., Pasal 9 ayat (3).

  • 38

    pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan

    untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan,

    mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau

    menyesatkan mengenai:

    a. Harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;

    b. Kegunaan suatu barang dan/atau jasa;

    c. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang

    dan/atau jasa;

    d. Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;

    e. Bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.

    Larangan-larangan yang tertuju pada produk sebagaimana

    dimaksudkan di atas adalah untuk memberikan perlindunga terhadap

    kesehatan/harta konsumen dari penggunaan barang dengan kualitas yang

    di bawah standar atau kualitas yang lebih rendah daripada nilai yang

    dibayar. Dengan demikian, maka konsumen tidak akan diberikan barang

    dengan kualitas yang lebih rendah daripada harga yang dibayarnya, atau

    yang tidak sesuai dengan informasi yang diperolehnya.62

    2.6 Tanggung Jawab Pelaku Usaha

    Tanggung jawab pelaku usaha diatur dalam Pasal 19 ayat (1)

    Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu pelaku usaha

    bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran,

    dan/atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa

    yang dihasilkan atau diperdagangkan. Berdasarkan uraian tersebut,

    tanggung jawab pelaku usaha meliputi:

    a) Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan;

    b) Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran;

    c) Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen.

    Oleh karena itu, adanya produk barang dan/atau jasa yang cacat

    bukan merupakan satu-satunya dasar pertanggungjawaban pelaku usaha.

    62 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit., hal. 66.

  • 39

    Dengan demikian, tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian

    yang dialami oleh konsumen.

    Posisi konsumen yang sangat lemah dibandingkan pelaku usaha

    menyebabkan sulitnya pembuktian oleh konsumen. Selain itu, konsumen

    juga sulit untuk mendapatkan hak ganti rugi atas pelanggaran yang

    dilakukan oleh pelaku usaha di kemudian harinya. Oleh karena itu

    diperlukan adanya suatu penerapan konsep tanggung jawab mutlak, yaitu

    supaya pelaku usaha dapat langsung bertanggung jawab atas kerugian

    yang dirasakan oleh konsumen tanpa mempersoalkan kesalahan dari

    pihak pelaku usaha. Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga

    mengatur tentang pembuktian terhadap pelaku usaha dalam Pasal 28,

    yaitu pembuktian terhadap ada atau tidaknya unsur kesalahan dalam

    gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 19,

    Pasal 22, dan Pasal 23, merupakan beban dan tanggung jawab pelaku

    usaha.

    2.7 Tahap-Tahap Transaksi

    Konsep pemahaman perlindungan konsumen akan lebih mudah

    dilakukan bila melihat tahapan transaksi konsumen. Tahapan transaksi

    konsumen berarti proses terjadinya peralihan pemilikan atau penikmatan

    barang dan/atau jasa konsumen dari penyedia barang atau penyelenggara

    jasa kepada konsumen. Peralihan dapat terjadi karena adanya suatu

    hubungan hukum tertentu sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-

    Undang Hukum Perdata atau peraturan perundang-undangan lainnya.63

    Pembahasan tentang tahapan transaksi konsumen ini dibutuhkan

    untuk pelaksanaan hak dan/atau kewajiban pelaku usaha dan konsumen

    serta mengatasi permasalahan yang timbul dalam hubungan antara

    konsumen dan penyedia barang dan/atau jasa. Tahap transaksi konsumen

    terdiri atas tiga tahap, yaitu:

    a Tahap pratransaksi konsumen

    63 Az. Nasution (c), op. cit., hal. 69.

  • 40

    Pada tahap ini, transaksi belum terjadi. Konsumen masih mencari

    keterangan di mana barang atau jasa kebutuhannya dapat diperoleh,

    berapa harga dan syarat yang harus ia penuhi, serta mempertimbangkan

    berbagai fasilitas atau kondisi dari transaksi yang diinginkan.64

    Misalnya

    apabila konsumen ingin membeli televisi maka ia akan terlebih dulu

    mencari informasi mengenai harga dan spesifikasi dari produk-produk

    televisi yang ada. Informasi ini dapat diperoleh dari brosur, testimoni,

    maupun iklan.

    Pada tahap ini yang paling vital bagi konsumen adalah informasi

    atau keterangan yang benar, jelas, dan jujur dari pelaku usaha yang

    beritikad baik dan bertanggungjawab menyelenggarakan persediaan

    komoditi kebutuhan tersebut. Setiap pelaku udaha wajib beritikad baik

    dan bertanggung jawab dalam menyediakan informasi yang benar, jelas

    dan jujur tentang barang dan/atau jasa yang menjadi mata usahanya.

    (Pasal 7 huruf a dan b jo. Pasal 17, Pasal 20, Pasal 60, dan Pasal 62 ayat

    (1) dan (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen).

    b Tahap transaksi konsumen

    Tahapan ini adalah tahapan di mana terjadi proses peralihan

    kepemilikan barang dan/atau jasa tertentu dari pelaku usaha kepada pihak

    konsumen. Pada tahap transaksi ini yang menentukan adalah syarat-

    syarat perjanjian peralihan pemilikan barang dan/atau pemanfaatan jasa

    tersebut serta ada tidaknya perjanjian dengan klausula baku yang

    dilakukan secara sepihak. Tahapan ini terjadi saat ada peralihan

    kepemilikan barang dan atau pemanfaatan jasa terjadi misalnya dalam

    transaksi jual beli kendaraan bermotor maka tahapan transaksi terjadi saat

    adanya balik nama atas kendaraan bermotor tersebut.

    c Tahap purnatransaksi konsumen

    Tahapan purnatransaksi adalah tahapan pemakaian, penggunaan,

    dan/atau pemanfaatan barang dan/atau jasa yang telah beralih

    pemilikannya atau pemanfaatannya dari pelaku usaha kepada

    64 Ibid, hal. 38.

  • 41

    konsumen. Misalnya dalam jual beli telepon seluler saar telepon seluler

    tersebut sudah beralih kepemilikannya dan penjual memberikan garansi

    maka garansi tersebut masuk ke dalam tahapan purnatransaksi. Apabila

    informasi tentang barang dan/atau jasa yang disediakan oleh pelaku

    usaha sesuai dengan ketentuan yang ditentukan dalam pemakaian,

    penggunaan dan/atau pemanfaatan produk konsumen tersebut, maka

    konsumen akan puas. Tetapi, apabila sebaliknya yang terjadi, maka

    dapat timbul masalah antara konsumen dan pelaku usaha bersangkutan

    sehingga timbul sengketa konsumen.65

    2.8 Penyelesaian Sengketa Konsumen

    Sengketa konsumen adalah sengketa antara konsumen dengan

    pelaku usaha (publik atau privat) tentang produk konsumen, barang

    dan/atau jasa konsumen tertentu.66

    Beberapa hal yang perlu diperhatikan

    dalam menentukan apakah suatu sengketa termasuk dalam sengketa

    konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah:

    a Pihak konsumen yang bersengketa harus merupakan konsumen

    akhir, seperti yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang

    Perlindungan Konsumen, yaitu konsumen yang menggunakan

    barang (consumer goods) dengan maksud memenuhi kebutuhan

    hidup dirinya sendiri, keluarga, dan/atau rumah tangganya.

    b Produk yang disengketakan haruslah merupakan produk konsumen

    yaitu barang dan/atau jasa yang umumnya dipakai, digunakan, atau

    dimanfaatkan untuk memenuhi kepentingan diri, keluarga, dan/atau

    rumah tangga konsumen.67

    Sengketa konsumen dapat diselesaikan melalui dua (2) cara

    penyelesaian yaitu penyelesaian sengketa secara damai atau penyelesaian

    melalui lembaga atau instansi yang berwenang.68

    Penyelesaian sengketa

    65 Az. Nasution (c), op. cit., hal 138.

    66

    Az. Nasution (d), Penulisan Karya Ilmiah tentang Perlindungan Konsumen dan

    Peradilan Indonesia, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional 1995), hal 229.

    67

    Ibid, hal 229-230.

    68

    Ibid, hal 229-232.

  • 42

    konsumen dilakukan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang

    bersengketa.69

    2.8.1 Penyelesaian Sengketa Luar Pengadilan

    Penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah pilihan alternatif

    untuk para pihak apabila para pihak yang menghadapi sengketa

    konsumen ingin menyelesaikan sengketa yang dihadapinya. Pasal 47

    Undang-Undang Perlindungan Konsumen mendefinisikan penyelesaian

    sengketa di luar pengadilan adalah sebagai berikut:

    penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan

    diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan

    besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk

    menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang

    kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.70

    Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan seperti dijelaskan

    sebelumnya terdiri atas dua yaitu penyelesaian sengketa secara damai

    atau penyelesaian melalui lembaga atau instansi yang berwenang:

    a) Penyelesaian Sengketa Secara Damai

    Penyelesaian sengketa secara damai merupakan penyelesaian

    sengketa antara para pihak dengan atau tanpa kuasa/pendamping

    bagi masing-masing pihak melalui cara-cara damai. Cara-cara damai

    dapat dilakukan dengan musyawarah atau mufakat antara para pihak.

    Cara penyelesaian sengketa konsumen dengan damai dilakukan agar

    mudah, murah, dan relatif lebih cepat. Dasar hukum penyelesaian ini

    terdapat dalam Pasal 1852-1854 KUHPerdata tentang

    perdamaian/dading dan dalam Pasal 45 ayat (2) jo Pasal 47 Undang-

    Undang Perlindungan Konsumen.71

    Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini dimaksudkan

    untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti

    dan/atau rugi tindakan tertentu yang menjamin tidak akan terjadi

    69 Indonesia (e), op.cit., Pasal 45 ayat (2).

    70

    Ibid, Pasal 47.

    71

    Az. Nasution (a), op. cit., hal 233.

  • 43

    kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita

    konsumen.72

    Untuk memenuhi tujuan tersebut maka diperlukan

    adanya jaminan tertulis dari pelaku usaha bahwa perilaku yang

    merugikan konsumen itu tidak akan terjadi lagi.73

    b) Penyelesaian Sengketa Melalui Lembaga Atau BPSK

    Penyelesaian sengketa ini adalah penyelesaian sengketa

    melalui peradilan umum atau melalui lembaga khusus yang dibentuk

    oleh undang-undang, yaitu BPSK. BPSK dibentuk di setiap daerah

    tingkat II dan menyelesaikan sengketa di luar pengadilan dengan

    cara konsiliasi, mediasi, dan arbitrase. Setiap keputusan BPSK

    bersifat final dan mempunyai kekuatan yang mengikat para pihak

    yang bersengketa. Meskipun keputusan BPSK bersifat final dan

    mengikat, para pihak yang tidak setuju atas putusan tersebut dapat

    mengajukan keberatan pada Pengadilan Negeri untuk diputus.

    Walaupun Undang-Undang Perlindungan Konsumen hanya

    memberikan hak kepada pihak yang merasa tidak puas untuk

    mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA), namun peluang

    untuk mengajukan kasasi terbuka bagi setiap pihak dalam perkara.74

    Rumusan pengertian BPSK sebagai badan yang membantu

    upaya pengembangan perlindungan konsumen seperti disebut dalam

    penjelesan Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Perlindungan

    Konsumen adalah pengertian yang luas. Sudah tentu hal ini sangat

    menguntungkan konsumen. Hal tersebut memperlihatkan

    kesungguhan pemerintah untuk memberdayakan konsumen dari

    kedudukan yang sebelumnya berada di pihak yang lemah tatkala

    berhadapan dengan pelaku usaha yang memiliki posisi tawar

    menawar yang sangat kuat dalam aspek sosial, ekonomi, dan bahkan

    psikologis.75

    72 Indonesia (e), op.cit., Pasal 47.

    73

    Az. Nasution (a), op. cit., hal 235.

    74

    Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, op.cit., hal. 78-79.

    75

    Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit., hal. 21.

  • 44

    BPSK dibentuk oleh pemerintah sebagai tempat penyelesaian

    sengketa konsumen di luar pengadilan.76

    Ketentuan mengenai BPSK

    diatur dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI

    No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan

    Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

    Anggota-anggota BPSK diangkat dan diberhentikan oleh Menteri

    Perdagangan. Anggota BPSK terdiri dari tiga unsur pemerintah, tiga

    unsur pelaku usaha, dan tiga unsur konsumen. Untuk dapat menjadi

    anggota BPSK harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

    (a) Warga negara Republik Indonesia;

    (b) Berbadan sehat;

    (c) Berkelakuan baik;

    (d) Tidak pernah dihukum karena kejahatan;

    (e) Memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan

    konsumen;

    (f) Berusia sekurang-kurangnya 30 tahun.

    Berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan

    Perdagangan RI No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan

    Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

    (BPSK), metode penyelesaian sengketa di BPSK ada 3, dilakukan

    berdasarkan pilihan dan persetujuan para pihak yang bersangkutan,

    dan bukan merupakan penyelesaian sengketa berjenjang. Metode-

    metode tersebut adalah :77

    (a) Konsiliasi yaitu penyelesaian sengketa yang dilakukan sendiri

    oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh

    Majelis yang bertindak pasif sebagai.

    (b) Mediasi yaitu penyelesaian sengketa yang dilakukan sendiri oleh

    para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh Majelis

    yang bertindak aktif sebagai.

    76 Indonesia (e), op. cit., Pasal 49 ayat (1).

    77

    Indonesia (g), Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik

    Indonesia, Kepmenperindag tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan

    Pernyelesaian Sengketa Konsumen No. 350 Tahun 2001, Pasal 5.

  • 45

    (c) Arbitrase yaitu penyelesaian sengketa yang dilakukan

    sepenuhnya dan diputuskan oleh Majelis yang bertindak sebagai

    Arbiter.

    BPSK dalam menangani dan menyelesaikan sengketa

    konsumen membentuk majelis dan putusan majelis tersebut bersifat

    final dan mengikat. Putusan majelis bersifat final dan mengikat

    artinya bahwa dalam BPSK tidak ada upaya hukum yaitu banding

    dan kasasi. Sehingga, dapat dikatakan bahwa putusan BPSK bersifat

    mengikat dalam arti bahwa putusan tersebut mengikat konsumen dan

    pelaku usaha yang bersengketa dan final dalam arti bahwa apabila

    terjadi keberatan atas putusan BPSK maka keberatan tidak dapat

    diajukan ke BPSK karena dalam BPSK tidak ada upaya hukum

    banding dan kasasi. Dalam hal ini, keberatan atas putusan BPSK

    diajukan ke Pengadilan.78

    2.8.2 Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan

    Penyelesaian sengketa konsumen yang mengacu pada ketentuan

    peradilan umum dengan gugatan di Pengadilan Negeri tempat kedudukan

    konsumen.79

    Alur dan jangka waktu proses penyelesaian sengketa

    mengacu pada keberatan putusan Badan Penyelesaian Sengketa

    Konsumen (BPSK) pada Pengadilan Negeri. Mengenai tuntutan yang

    ditujukan kepada pengadilan negeri, dapat juga tuntutan yang diajukan

    melalui pengadilan negeri dilakukan secara langsung tanpa terlebih

    dahulu melalui BPSK80

    2.9 Sanksi Hukum

    Pada Prinsipnya hubungan hukum antara pelaku usaha dan

    konsumen adalah hubungan hukum keperdataan. Ini berarti bahwa tiap

    perilaku yang merugikan konsumen harus diselesaikan secara perdata.

    Namun pada Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen

    dinyatakan bahwa penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak

    78 Indonesia (e), op. cit., Pasal 54 dan Penjelasannya.

    79

    Ibid, Pasal 36.

    80

    Ibid, Pasal 45 ayat (2).

  • 46

    menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam

    peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    Sanksi yang dapat dikenakan kepada pelaku usaha yang melanggar

    ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen terdiri dari sanksi

    administratif, sanksi pidana pokok, dan sanksi pidana tambahan.

    a) Sanksi Administrasi

    Sanksi administratif merupakan suatu hak khusus yang

    diberikan oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen kepada

    BPSK atas tugas/atau wewenang untuk menyelesaikan persengketaan

    konsumen di luar pengadilan. Menurut ketentuan Pasal 60 ayat (2) jo.

    Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sanksi

    administratif yang dapat dijatuhkan BPSK adalah berupa penetapan

    ganti rugi paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

    Berdasarkan Pasal 60 ayat (2) berarti, jika produsen lalai

    untuk memenuhi tanggung jawabnya, maka pelaku usaha tersebut

    dapat dijatuhi sanksi yang jumlahnya maksimum Rp. 200.000.000,00

    (dua ratus juta rupiah). Ganti kerugian tersebut merupakan bentuk

    pertanggunggugatan terbatas, sehingga secara keseluruhan dapat

    dikatakan bahwa ganti kerugian yang dianut dalam Undang-Undang

    Perlindungan Konsumen menganut ganti kerugian subjektif

    terbatas.81

    Adanya pembatasan ganti kerugian atau yang disebut ganti

    kerugian subjektif terbatas itu, untuk kondisi Indonesia sebagai

    negara yang industrinya masih dalam kondisi berkembang dinilai

    tepat. Oleh karena, disamping memberikan perlindungan kepada

    konsumen juga pelaku usaha masih terlindungi atau dapat terhindar

    dari kerugian yang mengakibatkan kebangkrutan akibat pembayaran

    ganti kerugian yang tanpa batas.82

    b) Sanksi Pidana Pokok

    Sanksi pidana pokok adalah sanksi yang dapat dikenakan dan

    dijatuhkan oleh pengadilan atas tuntutan jaksa penuntut umum

    81 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit., hal. 275.

    82

    Ibid.

  • 47

    terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha. Rumusan