1. bab ii. landasan teori - abstrak.uns.ac.id · a. tinjauan pustaka 1. cuaca dan iklim cuaca dan...

30
5 1. BAB II. LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Cuaca dan Iklim Cuaca dan iklim merupakan salah satu komponen ekosistem alam sehingga kehidupan baik manusia, hewan dan tumbuhan tidak terlepas dari pengaruh atmosfer dan proses-prosesnya. Cuaca adalah keadaan atmosfer pada waktu tertentu yang sifatnya berubah-ubah setiap waktu atau dari waktu ke waktu. Iklim adalah rata-rata keadaan cuaca dengan jangka waktu yang cukup lama minimal 30 tahun dan sifatnya tetap (Kartasapoetra, 2010). Cuaca merupakan keadaan sesaat dari atmosfer (sejam, sehari, seminggu), sedangkan iklim merupakan keadaan atmosfer selama suatu periode tertentu (Nasir dan Sugiarto, 1999). Ilmu yang mempelajari cuaca disebut meteorologi, yakni cabang ilmu yang membahas pembentukan dan perubahan cuaca serta proses-proses fisika yang terjadi di atmosfer. Ilmu yang mempelajari iklim disebut klimatologi, yakni ilmu yang mengkaji gejala-gejala cuaca tetapi sifat-sifat fisik dan gejala-gejala cuaca tersebut mempunyai sifat yang umum dalam jangka waktu yang relatif lebih lama pada atmosfer bumi (Sabaruddin, 2012). Cuaca dan iklim merupakan keadaan atau kondisi fisik atmosfer yang terbentuk melalui interaksi dari berbagai unsur atau komponen yang disebut unsur-unsur cuaca dan iklim yang saling berinteraksi satu dengan lainnya. Unsur-unsur tersebut meliputi radiasi atau lama penyinaran matahari, suhu, kelembaban, tekanan udara, angin, awan, presipitasi dan evaporasi (Sabaruddin, 2012). Unsur-unsur cuaca dan iklim berbeda dari tempat yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan tersebut disebabkan karena pengendali iklim atau faktor iklim, yaitu ketinggian tempat, latitude (letak bintang), daerah-daerah tekanan, arus-arus laut, dan permukaan tanah (Kartasapoetra, 2004). Berikut ini merupakan penjelasan unsur-unsur cuaca/iklim (Kartasapoetra, 2004) : a. Lama penyinaran matahari adalah tergantung pada posisi bumi mengelilingi matahari. Jumlah radiasi matahari yang diterima bumi tergantung pada jarak dari

Upload: dophuc

Post on 21-Aug-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

5

1. BAB II. LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Cuaca dan Iklim

Cuaca dan iklim merupakan salah satu komponen ekosistem alam sehingga

kehidupan baik manusia, hewan dan tumbuhan tidak terlepas dari pengaruh atmosfer

dan proses-prosesnya. Cuaca adalah keadaan atmosfer pada waktu tertentu yang

sifatnya berubah-ubah setiap waktu atau dari waktu ke waktu. Iklim adalah rata-rata

keadaan cuaca dengan jangka waktu yang cukup lama minimal 30 tahun dan sifatnya

tetap (Kartasapoetra, 2010). Cuaca merupakan keadaan sesaat dari atmosfer (sejam,

sehari, seminggu), sedangkan iklim merupakan keadaan atmosfer selama suatu periode

tertentu (Nasir dan Sugiarto, 1999).

Ilmu yang mempelajari cuaca disebut meteorologi, yakni cabang ilmu yang

membahas pembentukan dan perubahan cuaca serta proses-proses fisika yang terjadi di

atmosfer. Ilmu yang mempelajari iklim disebut klimatologi, yakni ilmu yang mengkaji

gejala-gejala cuaca tetapi sifat-sifat fisik dan gejala-gejala cuaca tersebut mempunyai

sifat yang umum dalam jangka waktu yang relatif lebih lama pada atmosfer bumi

(Sabaruddin, 2012).

Cuaca dan iklim merupakan keadaan atau kondisi fisik atmosfer yang terbentuk

melalui interaksi dari berbagai unsur atau komponen yang disebut unsur-unsur cuaca

dan iklim yang saling berinteraksi satu dengan lainnya. Unsur-unsur tersebut meliputi

radiasi atau lama penyinaran matahari, suhu, kelembaban, tekanan udara, angin, awan,

presipitasi dan evaporasi (Sabaruddin, 2012). Unsur-unsur cuaca dan iklim berbeda dari

tempat yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan tersebut disebabkan karena

pengendali iklim atau faktor iklim, yaitu ketinggian tempat, latitude (letak bintang),

daerah-daerah tekanan, arus-arus laut, dan permukaan tanah (Kartasapoetra, 2004).

Berikut ini merupakan penjelasan unsur-unsur cuaca/iklim (Kartasapoetra, 2004) :

a. Lama penyinaran matahari adalah tergantung pada posisi bumi mengelilingi

matahari. Jumlah radiasi matahari yang diterima bumi tergantung pada jarak dari

6

matahari, intensitas radiasi matahari, lama penyinaran matahari/panjang, hari/durasi

dan atmosfer.

b. Suhu/temperatur adalah derajat panas atau dingin yang diukur berdasarkan skala

tertentu dengan menggunakan termometer. Satuan suhu yang bisa digunakan adalah

derajat celcius (oC), sedangkan di Inggris dan beberapa negara lain dinyatakan

dalam derajat Fahrenheit (oF). Suhu di permukaan bumi dipengaruhi oleh jumlah

radiasi yang diterima (per tahun, per hari, per musim), pengaruh daratan dan lautan,

pengaruh ketinggian tempat, pengaruh angin secara tidak langsung, pengaruh panas

laten, penutup tanah, tipe tanah dan sudut datang sinar matahari.

c. Kelembaban adalah banyaknya kadar uap air yang ada di udara. Keadaan

kelembaban udara di atas permukaan bumi berbeda-beda. Pada umumnya

kelembaban yang tertinggi ada di khatulistiwa sedangkan kelembaban terendah

pada lintang 40o. Besarnya kelembaban pada suatu daerah merupakan faktor yang

dapat menstimulasi curah hujan. Di Indonesia, kelembaban tertinggi dicapai pada

musim hujan dan terendah pada musim kemarau.

d. Awan merupakan kumpulan titik-titik air yang banyak jumlahnya dan terletak pada

titik koordinat serta melayang-layang tinggi di udara. Setiap jenis awan mempunyai

kelembaban dan suhu masing-masing. Awan cumulus merupakan awan penyebab

terjadinya hujan, sedangkan awan cumulus nimbus mengakibatkan hujan besar.

e. Hujan merupakan salah satu dari bentuk presipitasi uap air yang berasal dari awan

yang terdapat di atmosfer. Bentuk presipitasi lainnya adalah salju dan es. Hujan

dapat terjadi karena adanya titik-titik kondensasi, amoniak, debu, dan asam

belerang. Titik-titik kondensasi mempunyai sifat dapat mengambil uap air dari

udara. Satuan curah hujan diukur dalam mm atau inchi. Curah hujan merupakan

ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar, tidak menguap, tidak

meresap, dan tidak mengalir. Curah hujan 1 mm berarti air hujan yang jatuh setelah

1 mm tidak mengalir, tidak meresap dan tidak menguap. Intensitas hujan adalah

banyaknya curah hujan per satuan jangka waktu tertentu. Hujan lebat dapat

diartikan sebagai intensitas besar, yang dapat menyebabkan erosi dan banjir.

f. Angin merupakan gerakan atau perpindahan masa udara dari satu tempat ke tempat

lain secara horizontal. Gerakan angin berasal dari daerah bertekanan tinggi ke

7

daerah bertekanan rendah. Angin mempunyai arah dan kecepatan. Arah angin

dilihat dari mana arah angin itu datang, misal dari barat disebut angin barat.

Ada 3 jenis iklim yang mempengaruhi Indonesia, yaitu iklim musim (iklim

muson), iklim tropika, dan iklim laut (Saragih, 2010 dalam Sodiq, 2013).

a. Iklim Musim (Iklim Muson).

Iklim jenis ini sangat dipengaruhi oleh angin musiman yang berubah-ubah setiap

periode. Biasanya satu periode perubahan angin muson adalah 6 bulan. Iklim

musim terdiri atas muson barat (angin musim barat daya) dan muson timur (angin

musim timur laut). Angin muson barat bertiup sekitar bulan Oktober hingga April

yang basah sehingga membawa musim hujan/penghujan. Angin muson timur

bertiup sekitar bulan April hingga bulan Oktober yang bersifat kering yang

mengakibatkan wilayah Indonesia mengalami musim kering/kemarau.

b. Iklim Tropis/Tropika (Iklim Panas).

Wilayah yang berada di sekitar garis khatulistiwa otomatis akan mengalami iklim

tropis yang bersifat panas dan hanya memiliki dua musim yaitu musim kemarau

dan musim hujan. Umumnya wilayah Asia tenggara memiliki iklim tropis,

sedangkan negara Eropa dan Amerika Utara mengalami iklim subtropis. Iklim

tropis bersifat panas sehingga wilayah Indonesia panas yang mengundang banyak

curah hujan atau hujan naik tropika.

c. Iklim Laut.

Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak wilayah laut

mengakibatkan penguapan air laut menjadi udara yang lembab dan curah hujan

yang tinggi.

2. Siklus Hidrologi

Jumlah air di bumi adalah tetap. Perubahan yang dialami air di bumi hanya

terjadi pada sifat, bentuk, dan persebarannya. Air akan selalu mengalami perputaran dan

perubahan bentuk selama siklus hidrologi berlangsung. Air mengalami gerakan dan

perubahan wujud secara berkelanjutan meliputi wujud cair, gas, dan padat. Air di alam

8

dapat berupa air tanah, air permukaan, dan awan. Gambaran secara global penyebaran

air di dunia seperti tercantum dalam Tabel 1.

Tabel 1. Penyebaran Air di Dunia (Maning, 1987 dalam Asdak 2004)

Kategori Presentase (%)

Air Asin:

- Laut

- Danau

97,3

0,01

Air Tawar :

- Air Es (Glacier)

- Akifer

- Kelembaban tanah

- Atmosfer

- Danau

- Sungai

2,14

0,61

0,005

0,001

0,009

0,0001

Total 100

Siklus hidrologi adalah perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfer kemudian

ke permukaan tanah dan kembali lagi ke laut yang tidak pernah berhenti. Air akan

tertahan (sementara) di sungai, danau/waduk, dan dalam tanah sehingga dapat

dimanfaatkan oleh manusia atau makluk hidup lainnya. Dalam siklus hidrologi, energi

panas matahari dan faktor-faktor iklim lainnya menyebabkan terjadinya proses

evaporasi pada permukaan vegetasi dan tanah, di laut atau badan-badan air lainnya

(Asdak, 2004).

Berikut ini penjelasan mengenai siklus hidrologi (Suripin, 2011) :

a. Air menguap dari permukaan samudera akibat energi panas matahari. Laju dan

jumlah penguapan bervariasi, terbesar terjadi di dekat equator, dimana radiasi

matahari lebih kuat.

b. Uap air yang dihasilkan dibawa udara yang bergerak. Dalam kondisi yang

memungkinkan, uap tersebut mengalami kondensasi dan membentuk butir-butir air,

yang pada gilirannya akan jatuh kembali sebagai presipitasi berupa hujan dan/atau

salju.

c. Presipitasi ada yang jatuh di samudera, di darat, dan sebagian menguap kembali

sebelum mencapai ke permukaan bumi. Presipitasi yang jatuh di permukaan bumi

menyebar ke berbagai arah dengan beberapa cara. Sebagian akan tertahan

sementara di permukaan bumi sebagai es atau salju, atau genangan air, yang dikenal

9

dengan simpanan depresi. Sebagian air hujan atau lelehan salju akan mengalir ke

saluran atau sungai yang disebut aliran permukaan. Jika permukaan tanah porus,

sebagian air akan meresap ke dalam tanah melalui peristiwa yang disebut infiltrasi.

Sebagian lagi akan kembali ke atmosfer melalui penguapan dan transpirasi oleh

tanaman.

Gambar 1. Siklus Hidologi (Suripin, 2011)

3. Anomali Iklim

Anomali iklim adalah penyimpangan iklim atau perubahan iklim jangka pendek.

Berikut ini adalah fenomena yang mempengaruhi iklim (anomali iklim) di Indonesia

(BMKG, 2014) :

a. El Nino dan La Nina

El Nino merupakan fenomena global dari sistem interaksi lautan atmosfer yang

ditandai memanasnya suhu permukaan laut di Ekuator Pasifik Tengah (Nino 3.4)

atau anomali suhu permukaan laut di daerah tersebut positif (lebih panas dari rata -

ratanya). Dampak El Nino di Indonesia sangat tergantung pada kondisi perairan

wilayah Indonesia. Fenomena El Nino yang berpengaruh di wilayah Indonesia

dengan diikuti berkurangnya curah hujan secara drastis, baru akan terjadi bila

kondisi suhu perairan Indonesia cukup dingin. Namun bila kondisi suhu perairan

Indonesia cukup hangat, maka tidak akan berpengaruh terhadap berkurangnya

curah hujan secara signifikan di Indonesia. Wilayah Indonesia tidak seluruhnya

dipengaruhi oleh fenomena El Nino. La Nina merupakan kebalikan dari El Nino,

Laut

SungaiDanau

Evaporasi air laut

Evaporasi air

sungai

Evaporasi air

danau, kolam

Transpirasi

Evaporasi air hujan

Muka air tanah

Aliran air tanah

Mata air

Presipitasi

Inf iltrasi

Kondensasi

Aliran air tanah

Aliran permukaan

10

ditandai dengan anomali suhu permukaan laut negatif (lebih dingin dari rata-

ratanya) di Ekuator Pasifik Tengah (Nino 3.4). Fenomena La Nina secara umum

menyebabkan curah hujan di Indonesia meningkat bila dibarengi dengan

menghangatnya suhu permukaan laut di perairan Indonesia. Dampak La Nina ini

tidak berpengaruh ke seluruh wilayah Indonesia.

b. Dipole Mode

Dipole Mode merupakan fenomena interaksi laut dan atmosfer di Samudera Hindia

yang dihitung berdasarkan perbedaan nilai (selisih) antara anomali suhu muka laut

perairan pantai timur Afrika dengan perairan di sebelah barat Sumatera. Perbedaan

nilai anomali suhu muka laut disebut sebagai Dipole Mode Indeks (DMI). Untuk

DMI positif, umumnya berdampak kurangnya curah hujan di Indonesia bagian

barat, sedangkan nilai DMI negatif, berdampak meningkatnya curah hujan di

Indonesia bagian barat.

c. Sirkulasi Monsun Asia – Australia

Sirkulasi angin di Indonesia ditentukan oleh pola perbedaan tekanan udara di

Australia dan Asia. Pola tekanan udara ini mengikuti pola peredaran matahari

dalam setahun yang mengakibatkan sirkulasi angin di Indonesia umumnya adalah

pola monsun, yaitu sirkulasi angin yang mengalami perubahan arah setiap setengah

tahun sekali. Pola angin baratan terjadi karena adanya tekanan tinggi di Asia yang

berkaitan dengan berlangsungnya musim hujan di Indonesia. Pola angin

timuran/tenggara terjadi karena adanya tekanan tinggi di Australia yang berkaitan

dengan berlangsungnya musim kemarau di Indonesia.

d. Daerah Pertemuan Angin Antar Tropis (Inter Tropical Convergence Zona/ ITCZ)

ITCZ merupakan daerah tekanan rendah yang memanjang dari barat ke timur

dengan posisi selalu berubah mengikuti pergerakan posisi matahari ke arah utara

dan selatan khatulistiwa. Wilayah Indonesia yang berada di sekitar khatulistiwa

yang dilewati ITCZ pada umumnya berpotensi terjadinya pertumbuhan awan-awan

hujan.

e. Suhu Permukaan Laut di Wilayah Perairan Indonesia

Kondisi suhu permukaan laut di wilayah perairan Indonesia dapat digunakan

sebagai salah satu indikator banyak-sedikitnya kandungan uap air di atmosfer, dan

11

erat kaitannya dengan proses pembentukan awan di atas wilayah Indonesia. Jika

suhu permukaan laut dingin berpotensi sedikitnya kandungan uap air di atmosfer,

sebaliknya panasnya suhu permukaan laut berpotensi cukup banyaknya uap air di

atmosfer.

4. Perubahan Iklim

iklim adalah perubahan yang disebabkan secara langsung atau tidak langsung

oleh Perubahan aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan komposisi atmosfer

secara global dan selain itu juga perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati

pada kurun waktu yang dapat dibandingkan (IPCC, 2007). Perubahan iklim adalah

perubahan rata-rata salah satu atau lebih elemen cuaca pada suatu daerah tertentu

(LAPAN, 2002). Perubahan iklim adalah perubahan jangka panjang iklim dalam jangka

waktu berdekade ke jutaan tahun. Perubahan iklim merupakan perubahan musiman

jangka panjang dalam pola suhu, tetesan air, kelembaban, angin dan musim.

Hal-hal yang dapat menjadi bukti telah terjadi perubahan iklim di antaranya

adalah: perubahan curah hujan, pergeseran musim, perubahan pada suhu udara,

kelembaban, dan kecepatan angin serta seringnya kejadian iklim ekstrim (BMKG,

2011).

Perubahan iklim merupakan fenomena global, baik dari sisi penyebab,

konsekuensi maupun dampaknya, yang terkait aktivitas manusia di tingkat nasional

maupun lokal. Penyebab pemanasan global yang memicu perubahan iklim adalah

adanya akumulasi konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer terutama

karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O), dan klorofluorokarbon

(CFC). Akumulasi tersebut telah mencapai tingkat yang membahayakan sistem iklim

bumi dan dampaknya menyebar ke seluruh dunia. Gangguan terhadap sistem ekologi

bumi yang ditimbulkan juga membawa perubahan pada cuaca, iklim, curah hujan,

gelombang panas dan berbagai gangguan alam lain yang bisa terjadi, dirasakan dan

diderita semua negara dan makluk hidup di bumi ini (Hadad, 2010).

Perubahan iklim mengakibatkan efek yang luas terhadap lingkungan hidup dan

sektor-sektor penghidupan, meliputi sumber air, pertanian, keamanan pangan, penyakit

menular, keragaman hayati dan kelestarian wilayah pantai (Kusnanto, 2011).

12

Perubahan iklim diukur berdasarkan perubahan komponen utama iklim, yaitu

suhu atau temperatur, musim (hujan dan kemarau), kelembaban dan angin. Dari

variabel-variabel tersebut variabel yang paling banyak dikemukakan adalah suhu dan

curah hujan (BMKG, 2011).

Berdasarkan data beberapa puluh tahun terakhir, pola hujan di sebagian wilayah

Indonesia sudah mengalami perubahan. Di beberapa wilayah, awal musim hujan ada

yang mundur dan ada pula yang maju. Secara umum curah hujan musim hujan di

wilayah Indonesia bagian selatan ekuator (Jawa) dan kawasan Indonesia bagian timur

cenderung meningkat, sedangkan curah hujan musim kemarau cenderung menurun.

Musim kemarau yang terjadi di wilayah tersebut juga cenderung lebih lama (Ministry of

Environment Republic of Indonesia, 2007).

Minimum diperlukan panjang pengamatan data iklim sekitar 30 tahun untuk

dapat menggambarkan kondisi iklim (Organisasi Meteorologi Dunia atau World

Meteorological Organization/WMO, 2007).

5. Curah Hujan Areal (Areal Rainfall)

Ada tiga macam cara yang berbeda dalam menentukan tinggi curah hujan rata-

rata di atas areal tertentu dari angka-angka curah hujan di beberapa titik pos penakar

atau pencatat (Soemarto, 1987).

a. Metode rata-rata aritmatik (aljabar)

Metode ini paling sederhana, pengukuran yang dilakukan di beberapa stasiun

dalam waktu yang bersamaan dijumlahkan dan kemudian dibagi jumlah stasiun. Stasiun

hujan yang digunakan dalam hitungan adalah yang berada dalam DAS, tetapi stasiun di

luar DAS tangkapan yang masih berdekatan juga bisa diperhitungkan. Metode rata-rata

aljabar memberikan hasil yang baik apabila stasiun hujan tersebar secara merata di DAS

dan distribusi hujan relatif merata pada seluruh DAS (Triatmodjo, 2008).

b. Metode Thiessen

Metode ini memperhitungkan bobot dari masing-masing stasiun yang mewakili

luasan di sekitarnya. Pada suatu luasan di dalam DAS dianggap bahwa hujan adalah

sama dengan yang terjadi pada stasiun yang terdekat, sehingga hujan yang tercatat pada

suatu stasiun mewakili luasan tersebut. Metode ini digunakan apabila penyebaran

13

stasiun hujan di daerah yang ditinjau tidak merata, pada metode ini stasium hujan

minimal yang digunakan untuk perhitungan adalah tiga stasiun hujan. Hitungan curah

hujan rata-rata dilakukan dengan memperhitungkan daerah pengaruh dari tiap stasiun.

Metode poligon Thiessen banyak digunakan untuk menghitung hujan rata-rata kawasan.

Poligon Thiessen adalah tetap untuk suatu jaringan stasiun hujan tertentu. Apabila

terdapat perubahan jaringan stasiun hujan seperti pemindahan atau penambahan stasiun,

maka harus dibuat lagi poligon yang baru (Triatmodjo, 2008).

c. Metode Isohyet

Isohyet adalah garis yang menghubungkan titik-titik dengan kedalaman hujan

yang sama. Pada metode Isohyet, dianggap bahwa hujan pada suatu daerah di antara dua

garis Isohyet adalah merata dan sama dengan nilai rata-rata dari kedua garis Isohyet

tersebut. Metode Isohyet merupakan cara paling teliti untuk menghitung kedalaman

hujan rata-rata di suatu daerah, pada metode ini stasiun hujan harus banyak dan tersebar

merata, metode Isohyet membutuhkan pekerjaan dan perhatian yang lebih banyak

dibanding dua metode lainnya (Triatmodjo, 2008).

Dalam tugas akhir ini, perhitungan curah hujan areal di lokasi studi digunakan

metode Thiessen. Menurut Soemarto (1987), metode poligon Thiesen didasarkan pada

cara rata-rata timbang (weighted average). Masing-masing penakar hujan mempunyai

daerah pengaruh yang dibentuk dengan menggambarkan garis-garis sumbu tegak lurus

terhadap penghubung antara dua pos penakar.

Gambar 2. DAS dengan perhitungan curah hujan poligon Thiessen

14

Misalnya A1 adalah luas daerah pengaruh pos penakar 1, A2 luas daerah

pengaruh pos penakar 2 dan seterusnya. Jumlah A1 + A2 + A3 + .... An = A adalah

merupakan jumlah luas seluruh areal yang dicari tinggi curah hujannya. Jika pos

penakar 1 menakar tinggi curah hujan d1, penakar 2 menakar d2 hingga pos penakar n

menakar dn, maka :

𝑑 =𝐴1. 𝑑1 + 𝐴2. 𝑑2 + 𝐴3. 𝑑3 + ⋯+ 𝐴𝑛 .𝑛

𝐴 =

𝐴𝑖 . 𝑑𝑖

𝐴

𝑛

1

.................. (1)

Jika 𝐴1

𝐴= 𝑃𝑖 yang merupakan prosentasi luas maka, 𝑑 =

𝐴𝑖 .𝑑𝑖

𝐴

𝑛1

Dimana :

A = Luas areal (km2 atau Ha)

d = Tinggi curah hujan rata-rata areal

d1, d2, d3,...dn = Tinggi curah hujan di pos 1, 2, 3,...n

A1, A2, A3,...An= Luas daerah pengaruh pos 1, 2, 3,...n

𝑃𝑖𝑛1 = jumlah prosentasi luas = 100%

6. Lahan Tadah Hujan

Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang terdiri atas tanah, iklim, relief,

hidrologi, vegetasi dan benda-benda di atasnya yang selanjutnya semua faktor-faktor

tersebut mempengaruhi penggunaan lahan. Termasuk di dalamnya juga hasil kegiatan

manusia, baik masa lampau maupun sekarang (FAO, 1975 dalam Arsyad, 2000).

Penggunaan lahan (land use) dapat diartikan sebagai campur tangan manusia

terhadap lahan, baik secara menetap maupun berkala untuk memenuhi kebutuhan hidup

baik material maupun spiritual. Penggunaan lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua

golongan besar, yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan

pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan secara garis besar berdasarkan

penyediaan air dan lahan yang diusahakan, sehingga dikenal macam penggunaan lahan

seperti sawah, tegalan, kebun, kebun campuran, ladang, perkebunan dan hutan.

Penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan ke dalam penggunaan kota atau

desa (pemukiman), industri, rekreasi dan sebagainya (Arsyad, 2000).

Penggunaan lahan pertanian dibedakan menjadi dua yaitu lahan sawah (wet land)

dan bukan lahan sawah (non wetland). Lahan sawah (lahan basah/wet land)

15

dikelompokkan menjadi sawah irigasi, tadah hujan, pasang surut, tanah sawah lebak,

polder dll. Bukan lahan sawah (lahan kering/non wet land) dikelompokkan menjadi

tegal/kebun, ladang/huma, perkebunan, ditanami pohon/hutan rakyat, padang

penggembalaan/padang rumput, sementara tidak diusahakan dan lainnya (pekarangan

yang ditanami tanaman pertanian) (BPS, 2013).

Lahan basah dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu lahan basah alami

dan lahan basah buatan. Lahan basah alami adalah lahan dengan pengatusan (drainage)

buruk, bersifat basah sepanjang waktu atau selama bagian terbesar waktu. Lahan basah

buatan ialah lahan yang bentuknya sengaja dibuat sedemikian rupa sehingga dapat

menambat air banyak untuk membuat tanah penuh air (waterlogged) atau untuk

mempertahankan genangan air pada permukaan tanah selama waktu tertentu. Teknik ini

biasanya diterapkan pada budidaya padi sawah (lahan basah buatan sinonim dengan

lahan sawah). Lahan basah buatan tidak terbatas pada keadaan iklim dan bentang lahan

tertentu (Notohadiprawiro, 2006).

Lahan kering adalah lahan yang dalam keadaan alamiah, lapisan atas dan bawah

tubuh tanah (top soil dan sub soil) sepanjang tahun tidak jenuh air dan tidak tergenang

serta kelembaban tanah sepanjang tahun atau hampir sepanjang tahun berada dibawah

kapasitas lapang (Satari, 1977 dalam Guritno, 2011). Lahan kering dapat diartikan juga

sebagai tanah yang hampir sepanjang tahun tidak tergenang secara permanen (Mulyadi,

1977 dalam Guritno, 2011).

Beberapa pengertian yang disarankan oleh Notohadiprawiro (1989) dalam

Suwardji (2003) adalah :

a. Daerah kering adalah kawasan atau daerah yang memiliki jumlah evaporasi

potensial melebihi jumlah curah hujan actual atau daerah yang jumlah curah

hujannya tidak mencukupi untuk usaha pertanian tanpa irigasi.

b. Lahan atasan (upland) adalah lahan dengan drainase alamiah lancar dan bukan

merupakan daerah dataran banjir, rawa, lahan dengan air tanah dangkal, atau lahan

basah alamiah lain.

c. Lahan kering adalah lahan pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan.

16

Para ahli pertanian di Indonesia telah mengambil kesepakatan bahwa arti lahan

kering adalah lahan dimana kebutuhan air tanaman tergantung sepenuhnya pada air

hujan dan tidak pernah tergenang air secara tetap. Pertanian lahan kering adalah

pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan lahan garapan. Maka padi sawah dan

perikanan kolam (air tawar dan tambak) tidak termasuk, akan tetapi padi gogo, palawija,

perumputan pakan, perkebunan dan pekarangan termasuk dalam pertanian lahan kering.

Pemilahan lahan kering dan lahan basah tidak selalu tepat (Guritno, 2011).

Pertanian tadah hujan adalah pertanian yang mengacu pada sistem-sistem

pertanian yang tidak beririgasi dan hanya mengandalkan curah hujan untuk pasokan

airnya. Sekitar 80% dari lahan pertanian di dunia adalah sawah tadah hujan dan rasio ini

meningkat hingga 88% di daratan Asia Tenggara (Devendra dan Thomas, 2002).

Dalam suatu pergiliran tanaman, lahan yang sama dapat disebut lahan kering

pada waktu ditanami palawija (upland crop) dan menjadi lahan basah pada waktu

ditanami padi sawah (lowland rice) (Notohadiprawiro, 2006).

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa lahan tadah hujan

adalah lahan yang sumber air utamanya berasal dari curah hujan dan tidak ada sistem

irigasi teknis. Lahan tadah hujan (rainfed) dapat diusahakan secara sawah atau secara

tegal/ladang. Hal ini berarti bahwa dalam suatu pergiliran lahan yang sama, lahan tadah

hujan dapat berupa lahan kering pada waktu ditanami palawija dan lahan basah pada

waktu ditanami padi sawah (sawah tadah hujan).

a. Klasifikasi Iklim

Klasifikasi iklim pada umumnya sangat spesifik didasarkan pada tujuan

penggunaan, misalnya pertanian, penerbangan atau kelautan. Landasan klasifikasi iklim

menggunakan data unsur iklim, yaitu dengan memilih data unsur-unsur iklim yang

berhubungan dan secara langsung mempengaruhi aktivitas atau objek dalam bidang-

bidang tersebut (Lakitan, 2002). Klasifikasi Iklim dari Koppen, Mohr, Schimidt-

Ferguson sesuai bagi iklim yang ada di Indonesia, sedangkan Klasifikasi Oldeman,

Thornthwaite sesuai untuk iklim di dunia termasuk Indonesia. Dasar klasifikasi iklim

(Kartasapoetra, 2004), yaitu :

1) Klasifikasi Koppen berdasarkan pada curah hujan, temperatur dan vegetasi khusus

pada suatu daerah. Koppen memperkenalkan lima kelompok utama iklim yaitu

17

Iklim A adalah tipe iklim hujan tropis (tropical rainy climates), iklim B adalah tipe

iklim kering (dry climates), iklim C adalah tipe iklim hujan cukup panas (temperate

rainy climates), iklim D adalah tipe iklim hujan salju (cold snowy forest climates)

dan iklim E adalah iklim kutub (polar climates). Klasifikasi iklim Koppen

ditujukan untuk kepentingan sektor kehutanan.

2) Klasifikasi Mohr didasarkan pada hubungan antara penguapan dan besarnya curah

hujan, dari hubungan ini didapatkan tiga jenis pembagian bulan dalam kurun waktu

satu tahun dimana keadaan yang disebut bulan basah apabila curah hujan >100 mm

per bulan, bulan lembab bila curah hujan bulan berkisar antara 100 – 60 mm dan

bulan kering bila curah hujan < 60 mm per bulan. Klasifikasi iklim Mohr ditujukan

untuk kepentingan sektor kehutanan.

3) Klasifikasi Schmid-Ferguson (prinsip yang dikemukakan hampir sama dengan

klasifikasi Mohr), yaitu dengan mengambil bulan basah dan bulan kering

berdasarkan atas harga rata-rata dari curah hujan dari suatu bulan selama periode

panjang. Klasifikasi iklim Schmid-Ferguson ditujukan untuk kepentingan sektor

perkebunan dan kehutanan.

4) Klasifikasi iklim Thornthwaite memasukkan pengertian mengenai penguapan

karena vegetasi atau tumbuhan selain tergantung pada curah hujan juga pada air

yang menguap. Klasifikasi iklim Thornthwaite sesuai untuk keperluan tumbuhan

sedangkan untuk keperluan perikliman manusia serta makluk hidup lainnya kurang

sesuai.

5) Klasifikasi Oldeman didasarkan pada jumlah kebutuhan air oleh tanaman, terutama

pada tanaman padi. Penyusunan tipe iklim berdasarkan jumlah bulan basah yang

berlangsung secara berturut-turut. Klasifikasi iklim Oldeman ditujukan untuk

kepentingan pertanian di Indonesia.

b. Klasifikasi Iklim Oldeman

Sistem klasifikasi iklim Oldeman merupakan sistem penggolongan iklim yang

tergolong baru dibandingkan lainnya. Oldeman et al. (1980) mengungkapkan bahwa

kebutuhan air untuk tanaman padi adalah 150 mm/bulan sedangkan untuk tanaman

palawija adalah 70 mm/bulan, dengan asumsi bahwa peluang terjadinya hujan yang

sama adalah 75% maka untuk mencukupi kebutuhan air tanaman padi 150 mm/bulan

18

diperlukan curah hujan sebesar 220 mm/bulan, sedangkan untuk mencukupi kebutuhan

air untuk tanaman palawija diperlukan curah hujan sebesar 120 mm/bulan, sehingga

menurut Oldeman suatu bulan dikatakan bulan basah apabila mempunyai curah hujan

bulanan lebih besar dari 200 mm dan dikatakan bulan kering apabila curah hujan

bulanan lebih kecil dari 100 mm.

Tipe utama klasifikasi Oldeman membagi 5 tipe iklim dan 4 sub divisi iklim.

Tipe iklim merupakan pembagian dari banyaknya jumlah bulan basah berturut-turut

yang terjadi dalam setahun. Sedangkan sub divisi iklim merupakan banyaknya jumlah

bulan kering berturut-turut dalam setahun.

Tabel 2. Klasifikasi Iklim menurut Oldeman berdasarkan Bulan Basah/Kering

Tipe Utama Bulan Basah

Berturut-turut

Tipe Utama Bulan Kering

Berturut-turut

A > 9 1 < 2

B 7 – 9 2 2 – 3

C 5 – 6 3 4 – 6

D 3 – 4 4 > 6

E < 3

Berdasarkan lima tipe utama dan empat sub divisi tersebut, Oldeman

mengelompokkan menjadi 17 daerah agroklimat mulai dari A1 sampai E4 dengan

penjelasan sebagai berikut (Sabaruddin, 2012) :

Tabel 3. Sistem Klasifikasi Oldeman dan Zona-Zona Agroklimatik Tipe/Zona

Klimatik

Bulan Basah (BB)

Berturut-turut

Bulan Kering (BK)

Berturut-turut

A1 > 9 < 2

A2 > 9 2 – 4 B1 7 – 9 < 2

B2 7 – 9 2 – 3

B3 7 – 9 4 – 6 C1 5 – 6 < 2

C2 5 – 6 2 – 3

C3 5 – 6 4 – 6 C4 5 – 6 > 6

D1 3 – 4 < 2

D2 3 – 4 2 – 3

D3 3 – 4 4 – 6 D4 3 – 4 > 6

E1 < 3 < 2

E2 < 3 2 – 3 E

3 < 3 4 – 6

E4 < 3 > 6

19

Gambar 3. Segitiga Oldeman Bagan Klasifikasi Iklim Pertanian

(Sabaruddin, 2012)

Tabel 4. Karakteristik Tiap Zona Agroklimatik Menurut Oldeman

Tipe Iklim Keterangan

A Sesuai untuk tanaman padi sawah secara terus menerus, namun

produksi berkurang karena fluks radiasi surya rendah sepanjang

tahun.

B1 Sesuai untuk padi terus menerus. Perlu penetapan waktu tanam.

Produksi tanaman lebih tinggi bila waktu panen jatuh pada musim

kemarau.

B2 – B4 Memungkinkan untuk penanaman padi dua kali setahun dengan

varietas umur pendek dan musim kemarau yang pendek cocok untuk

tanaman palawija.

C1 Menanam padi sawah sekali dan palawija dua kali setahun

C2 – C4 Setahun cukup menanam padi sawah sekali, namun untuk palawija

harus berhati-hati agar masa panen tidak jatuh pada musim kemarau.

D1 Tanam padi umur pendek satu kali dengan tingkat produksi tinggi

karena fluks energi radiasi surya tinggi.

D2 – D4 Hanya memungkinkan untuk tanam padi sekali dan palawija sekali

tergantung persediaan air.

E Daerah terlalu kering, mungkin hanya bisa menanam palawija sekali.

(Sumber: Sabaruddin, 2012)

20

7. Kebutuhan Air Pertanian Lahan Tadah Hujan

Pengairan atau irigasi berarti pemberian air pada tanaman untuk memenuhi

kebutuhan air bagi pertumbuhannya. Kegiatan-kegiatan pengairan menyangkut

penampungan air, penyaluran air ke lahan, dan pembuangan kelebihan air serta menjaga

kontinuitas air. Pengairan bertujuan untuk memberikan tambahan air pada air hujan

dalam jumlah yang cukup dan pada waktu diperlukan tanaman (Jumin, 2002).

Dalam pengairan dikenal istilah pemakaian air konsumptif dan kebutuhan air

tanaman. Pemakaian air konsumptif (consumptive water use) adalah jumlah air pada

suatu areal pertanaman yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan transpirasi,

pembentukan jaringan tanaman dan diuapkan dari permukaan tanah dan air (evaporasi),

serta diintersepsi tanaman. Kebutuhan air tanaman adalah pemakaian air konsumptif

ditambah jumlah air untuk mencapai kapasitas lapang dan perkolasi. Perkolasi adalah

bergeraknya air di dalam penampang tanah setelah tanah mencapai kapasitas lapang

atau jenuh. Untuk mengetahui jumlah air yang perlu disediakan untuk mengairi lahan

pertanian, diperlukan informasi atau data kebutuhan air tanaman. Kebutuhan air

tanaman bergantung pada jenis dan umur tanaman, waktu atau periode pertanaman,

sifat-sifat fisik tanah, teknik pemberian air, jarak sumber air ke lahan pertanian, dan luas

areal pertanian yang akan diairi (Arsyad, 2000).

Penentuan kebutuhan air tanaman di daerah pertanian lahan tadah hujan sangat

tergantung pada evapotranspirasi, sedangkan pemenuhan kebutuhan airnya tergantung

kepada curah hujan dan kemampuan tanah menyimpan air. Curah hujan yang tidak

deras dan berlangsung lama akan lebih efektif mengisi lapisan pori tanah. Kemampuan

tanah menyimpan air ditentukan oleh tekstur, struktur dan kepadatan tanah. Tekstur liat

dengan ukuran butiran tanah kecil akan lebih mudah menyimpan air dibandingkan

tekstur tanah yang lebih besar seperti lempung, debu dan pasir. Kepadatan tanah yang

terlalu besar mempersulit penyimpanan air (Nasir, 1999).

8. Dampak Perubahan Iklim terhadap Pertanian Lahan Tadah Hujan

Secara umum, perubahan iklim di Indonesia akan menyebabkan a) seluruh

wilayah Indonesia mengalami kenaikan suhu udara, dengan laju yang lebih rendah

dibandingkan wilayah subtropik, b) wilayah selatan Indonesia mengalami penurunan

curah hujan, sedangkan wilayah utara akan mengalami peningkatan curah hujan. Di

21

wilayah Indonesia bagian selatan, musim hujan yang makin pendek akan menyulitkan

upaya meningkatkan indeks pertanaman (IP) apabila tidak tersedia varietas yang

berumur lebih pendek dan tanpa rehabilitasi jaringan. Meningkatnya hujan pada musim

hujan menyebabkan tingginya frekuensi kejadian banjir, sedangkan menurunnya hujan

pada musim kemarau akan meningkatkan resiko kekeringan. Di wilayah Indonesia

bagian utara, meningkatnya hujan pada musim hujan akan meningkatkan peluang

indeks pertanaman, namun kondisi lahan tidak sebaik di Jawa (Tim Sintesis Kebijakan

BBSDLP, 2008).

Dampak perubahan iklim terhadap sektor pertanian bersifat multidimensional,

mulai dari sumberdaya, infrastruktur pertanian dan sistem produksi pertanian hingga

aspek ketahanan dan kemandirian pangan, serta kesejahteraan petani dan masyarakat

pada umumnya. Pengaruh tersebut dibedakan atas dua indikator, yaitu kerentanan dan

dampak. Secara harfiah, kerentanan (vulnerable) terhadap perubahan iklim adalah

kondisi yang mengurangi kemampuan (manusia, ternak, tanaman) beradaptasi dan/atau

menjalankan fungsi fisiologis/biologis, perkembangan/fenologi, pertumbuhan dan

produksi serta reproduksi secara optimal (wajar) akibat cekaman perubahan iklim.

Dampak perubahan iklim adalah gangguan atau kondisi kerugian dan keuntungan baik

secara fisik maupun sosial dan ekonomi yang disebabkan oleh cekaman perubahan

iklim (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2011).

FAO (2007), menyatakan bahwa dampak perubahan iklim terhadap sektor

pertanian dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu :

a. Dampak biofisik, yaitu:

1) Efek fisiologis pada tanaman, hutan dan ternak (kuantitas, kualitas)

2) Perubahan lahan, tanah dan sumber daya air (kuantitas, kualitas)

3) Peningkatan gangguan gulma dan hama

4) Pergeseran spasial dan temporal

5) Peningkatan permukaan air laut dan salinitas laut

6) Perubahan habitat biota laut termasuk sumberdaya perikanan laut

b. Dampak sosio ekonomi, yaitu :

22

1) Penurunan produktivitas dan produksi pertanian

2) Penurunan pendapatan nasional atau marginal Gross Domestik Bruto (GDP)

dari sektor pertanian

3) Fluktuasi harga di pasar internasional

4) Perubahan distribusi geografis rezim perdagangan

5) Peningkatan jumlah penduduk rawan pangan

6) Migrasi dan kerusuhan sipil (civil unrest)

Lahan tadah hujan merupakan wilayah yang rentan terhadap perubahan iklim.

Produksi pertanian yang dihasilkan lahan tadah hujan sangat tergantung pada

ketersediaan air yang berasal dari curah hujan. Perubahan iklim menyebabkan

terjadinya peningkatan suhu udara, kenaikan permukaan laut, pergeseran pola curah

hujan, dan peningkatan kejadian ekstrim berupa banjir dan kekeringan (Sutrisno et al.,

2012), dengan penjelasan sebagai berikut :

a. Peningkatan suhu udara berpengaruh pada peningkatan laju respirasi dan transpirasi

tanaman sehingga meningkatkan kebutuhan air tanaman dan mempercepat

pematangan buah dan biji yang dapat menurunkan kualitas hasil tanaman.

b. Kenaikan permukaan air laut menyebabkan penyempitan lahan pertanian di

sepanjang pantai.

c. Pergeseran pola curah hujan mempengaruhi pertanaman lahan tadah hujan dan

menurunkan kualitas lahan serta mengubah kapasitas air irigasi. Pergeseran pola

curah hujan juga mempengaruhi waktu, musim serta pola tanam, menurunkan

produktivitas dan luas areal tanam serta areal panen karena adanya keterlambatan

musim tanam.

d. Iklim ekstrim seperti curah hujan yang sangat tinggi serta kekeringan yang sangat

lama mengakibatkan kerusakan tanaman dan kegagalan panen sehingga

produktivitas menurun. Iklim ekstrim juga merusak sumber daya lahan pertanian

beserta infrastrukturnya seperti jaringan irigasi. Peningkatan kelembaban udara

yang ekstrim meningkatkan intensitas serangan Organisme Pengganggu Tanaman

(OPT).

23

Dampak utama perubahan iklim dan variabilitas iklim di agroekosistem lahan

kering adalah (Thomas et al., 2007) :

a. Penurunan hasil panen dan produktivitas pertanian yang mengancam ketahanan

pangan.

b. Pola curah hujan lebih tidak menentu dan kesulitan dalam menentukan jenis

tanaman, waktu tanam dan panen yang tepat dengan berbagai jangka waktu.

c. Mengurangi ketersediaan air, curah hujan yang ekstrim dapat meningkatkan

hilangnya air melalui limpasan.

d. Produktivitas tanaman menurun akibat peristiwa ekstrim seperti kekeringan dan

hujan deras yang berkepanjangan.

e. Berkurangnya kesuburan tanah melalui hilangnya karbon tanah dari erosi dan

dekomposisi yang lebih tinggi dari bahan organik tanah sebagai akibat dari suhu

yang lebih tinggi, serta berkurangnya kelembaban tanah dan kapasitas penyimpanan

air.

f. Produktivitas ternak menjadi rendah akibat peningkatan panas dan ketersediaan

pakan ternak menurun.

g. Perubahan risiko hama dan penyakit untuk tanaman dan hewan (dan manusia).

h. Perubahan agroekologi dan ancaman dari spesies tanaman invasif dan hewan baru.

i. Pengurangan keanekaragaman hayati spesies tanaman utama melalui perubahan

habitat.

j. Peningkatan kerentanan peternak karena produksi lahan tidak menentu akibat

perubahan pola curah hujan dan hilangnya vegetasi tutupan lahan.

9. Pengelolaan Air di Lahan Tadah Hujan sebagai Upaya Adaptasi Petani

Penduduk dunia tidak bisa tinggal diam menghadapi perubahan iklim yang tidak

hanya menimbulkan kerusakan ekosistem, tetapi juga keresahan sosial dan konflik

regional. Adaptasi terhadap perubahan iklim dan dampak yang timbul merupakan

upaya mendesak yang perlu dilakukan. Adaptasi sering dipersepsikan sebagai

mekanisme respon untuk meningkatkan daya tahan sistem alami dan sosial dan

mengurangi kerentanan terhadap efek negatif perubahan iklim. Tujuan adaptasi adalah

24

meminimalkan dampak negatif dan mengeksploitasi peluang-peluang yang

mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Kemampuan sistem alam dan sistem sosial

untuk menyesuaikan diri dengan perubahan iklim tidak sama antara satu daerah dan

daerah lainnya (Kusnanto, 2011).

Adaptasi terhadap perubahan iklim adalah kemampuan suatu sistem (termasuk

ekosistem, sosial-ekonomi, dan kelembagaan) untuk menyesuaikan dengan dampak

perubahan iklim, mengurangi kerusakan, memanfaatkan kesempatan, dan mengatasi

konsekuensinya (IPCC, 2001 dalam Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,

2011).

Adaptasi terhadap perubahan iklim pada sektor pertanian adalah berbagai

tindakan atau upaya penyesuaian diri secara manajerial, teknologi dan pola pertanian,

agar dampak perubahan iklim dapat diminimumkan bahkan dapat dimanfaatkan untuk

meningkatkan produksi pertanian (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,

2011).

Pengelolaan air adalah komponen penting adaptasi terhadap tekanan iklim dan

tekanan sosial-ekonomi pada masa yang akan datang. Tekanan tersebut didorong oleh

perubahan ketersediaan air dan kebutuhan air untuk pertanian serta sektor-sektor lain.

Bentuk adaptasi terhadap perubahan iklim untuk semua sistem produksi lahan adalah

melalui praktek-praktek penggunaan air irigasi untuk meningkatkan produktivitas.

Pengelolaan air dan peningkatan kinerja irigasi sangat penting untuk menjamin

ketersediaan air baik untuk produksi pangan atau kebutuhan manusia dan lingkungan

(FAO, 2007).

Berikut ini adalah teknik adaptasi dan pendekatan khusus pengelolaan air untuk

pertanian (FAO, 2004) :

a. Adopsi varietas atau spesies yang memiliki resistensi terhadap sengatan panas dan

kekeringan.

b. Modifikasi teknik irigasi, termasuk jumlah, waktu atau teknologi.

c. Adopsi irigasi suplementer pada tanaman tadah hujan.

d. Adopsi teknologi hemat air dengan panen air dan menjaga kelembaban tanah.

e. Memperbaiki pengelolaan air untuk mencegah genangan air dan erosi.

25

f. Modifikasi kalender tanaman, yaitu waktu atau lokasi tanam.

g. Pelaksanaan prakiraan iklim musiman.

h. Adaptasi aturan alokasi penggunaan air permukaan dan air tanah.

i. Adopsi langkah-langkah struktural dan nonstruktural untuk mengatasi banjir dan

kekeringan.

Pertanian lahan tadah hujan mempunyai potensi cukup besar dalam memenuhi

kebutuhan pangan saat sekarang dan masa depan melalui peningkatan produktivitas.

Peningkatan pertanian lahan tadah hujan dapat dilakukan dengan praktik-praktik

pengelolaan air, tanah dan lahan yang lebih baik. Hal ini dapat dilakukan melalui

beberapa cara, antara lain (Liuzzi dan Hamdy, 2008) :

a. Meningkatkan produktivitas di daerah tadah hujan melalui peningkatan pengelolaan

kelembaban tanah dan irigasi suplementer.

b. Meningkatkan pengelolaan kesuburan tanah

c. Memperluas daerah pertanaman

Gambar 4. Beberapa Alternatif Pengelolaan Air pada Lahan Tadah Hujan

(Liuzzi dan Hamdy, 2008)

Konservasi lahan merupakan suatu cara penggunaan lahan atau tanah sesuai

dengan kemampuannya dan memberikan perlakuan sesuai dengan syarat-syarat yang

Pen

gel

ola

an

Air

Pertanian Lahan Tadah Hujan

Irigasi Suplementer

Paktik Konservasi Lahan (Field Conservation

Practices)

Pemanenan Air (Water Harvesting)

26

diperlukan. Konservasi lahan dilakukan dengan konservasi tanah dan air. Konservasi

tanah dan air merupakan dua hal yang saling berkaitan. Berbagai macam tindakan

konservasi tanah secara otomatis juga merupakan tindakan konservasi air. Pendekatan

dasar dalam konservasi tanah adalah sebagai berikut :

a. Menyediakan penutup tanah dengan tanaman atau mulsa agar tanah terlindung dari

pukulan hujan langsung.

b. Memperbaiki dan menjaga kondisi tanah agar tanah tahan terhadap penghancuran

dan pengangkutan, serta meningkatkan kapasitas infiltrasi.

c. Mengatur aliran permukaan sedemikian rupa sehingga mengalir dengan energi yang

tidak merusak, dengan cara (1) mengurangi aliran permukaan, (2) menahan aliran

permukaan, dan (3) mengendalikan aliran permukaan.

Konservasi tanah dapat dilakukan dengan metode vegetatif dan mekanik. Teknik

konservasi tanah secara vegetatif adalah setiap pemanfaatan tanaman/vegetasi maupun

sisa-sisa tanaman sebagai media pelindung tanah dari erosi, penghambat laju aliran

permukaan, peningkatan kandungan lengas tanah, serta perbaikan sifat-sifat tanah, baik

sifat fisik, kimia maupun biologi. Teknik konservasi tanah secara mekanis atau disebut

juga sipil teknis adalah upaya menciptakan fisik lahan atau merekayasa bidang olah

lahan pertanian hingga sesuai dengan prinsip konservasi tanah sekaligus konservasi air.

Teknik ini meliputi: guludan, pembuatan teras gulud, teras bangku, teras individu, teras

kredit, pematang kontur, teras kebun, barisan batu, dan teras batu. Khusus untuk tujuan

pemanenan air, teknik konservasi secara mekanis meliputi pembuatan bangunan resapan

air, rorak, dan embung (Agus et al., 1999).

Haryati (2011) menyatakan bahwa irigasi suplemen untuk tanaman diperlukan

sebagai pelengkap (complementary) apabila curah hujan tidak mencukupi untuk

mengkompensasikan kehilangan air tanaman yang disebabkan oleh evapotranspirasi.

Irigasi suplemen bertujuan untuk memberikan air yang dibutuhkan tanaman pada waktu,

volume dan interval yang tepat. Dengan menghitung neraca air tanah harian di zona

perakaran, maka volume dan interval irigasi dapat direncanakan.

Berdasarkan sarana irigasi yang digunakan, sistem irigasi suplemen terdiri atas:

1) irigasi permukaan (surface irrigation), 2) irigasi bawah permukaan (subsurface

irrigation), 3) irigasi sprinkle, 4) irigasi tetes, dan 5) kombinasi dari dua atau lebih

27

sistem (irigasi hybrid). Tersedianya sarana irigasi memungkinkan pemberian air dapat

dilakukan lebih teliti. Untuk irigasi tetes atau sprinkle, pemberian air dapat

dikombinasikan dengan pemupukan (Abdurrahman et al., 2008).

Irigasi permukaan adalah sistem irigasi yang menyadap air air langsung di sungai

melalui bangunan bendung maupun bangunan pengambilan bebas (free intake)

kemudian air irigasi dialirkan secara gravitasi melalui saluran sampai ke lahan

pertanian. Irigasi bawah permukaan (subsurface irrigation) adalah sistem irigasi yang

meletakkan jaringan atau alat irigasinya di bawah permukaan tanah. Irigasi

sprinkle/curah (sprinkler irrigation) adalah salah satu metode irigasi di mana pemberian

air dilakukan dengan penyemprotan air ke udara, jatuh ke permukaan tanah seperti air

hujan atau metode pemberian air pada permukaan tanah melalui pipa-pipa bertekanan

tinggi dan mencurahkannya ke udara dalam bentuk butiran-butiran kecil seperti hujan.

Irigasi tetes adalah sistem irigasi untuk memasok air dan pupuk trsaring k dalam tanah

melalui suatu pemancar. Pasokan air yang diberikan mempunyai debit kecil dan konstan

serta tekanan rendah sehingga air akan menyebar di tanah baik ke samping maupun ke

bawah karena gaya kapiler dan gravitasi (Haryati, 2011).

Pemanenan air (water harvesting) adalah tindakan menampung air hujan dan

aliran permukaan untuk disalurkan ke tempat penampungan sementara dan atau tetap

(permanen) yang sewaktu-waktu dapat digunakan untuk mengairi tanaman yang

diusahakan pada saat diperlukan. Teknologi panen air selain berfungsi menyediakan

sumber air irigasi pada musim kemarau dapat pula berfungsi mengurangi banjir pada

musim hujan. Panen air hujan dan aliran permukaan ditujukan untuk (1) menurunkan

volume aliran permukaan dan meningkatkan cadangan air tanah; (2) meningkatkan

ketersediaan air tanaman terutama pada musim kemarau; dan (3) mengurangi kecepatan

aliran permukaan sehingga daya kikis dan daya angkutnya menurun (Agus et al., 2002).

Strategi adaptasi terhadap perubahan iklim pada penggunaan lahan dapat

dilakukan dengan memanfaatkan modifikasi kondisi agroklimat. Beberapa studi

simulasi menunjukkan pentingnya pengelolaan air irigasi sebagai teknik adaptasi untuk

mengurangi dampak perubahan iklim (IPCC, 2007).

28

11. Regresi Logistik

Regresi logistik (kadang disebut model logistik atau model logit) merupakan

salah satu bagian dari analisis regresi, yang digunakan untuk memprediksi probabilitas

kejadian suatu peristiwa, dengan mencocokkan data pada fungsi logit kurva logistik.

Regresi logistik dapat digunakan untuk memodelkan hubungan antara dua kategori

(binary) variabel hasil (variabel dependen/terikat) dan dua atau lebih variabel penjelas

(variabel independen/bebas). Estimasi model regresi logistik untuk masing-masing

variabel bebas memberikan perkiraan efek variabel tersebut terhadap variabel terikat

setelah menyesuaikannya dengan variabel bebas lainnya pada permodelan tersebut

(Robert, et.al, 2007 dalam Yamin dan Kurniawan, 2011).

Menurut Gujarati (1995), model logistik atau model logit adalah model regresi

non linear yang menghasilkan sebuah persamaan dimana variabel dependen bersifat

kategorikal. Kategori paling dasar dari model tersebut menghasilkan binary values

seperti angka 0 dan 1. Angka yang dihasilkan mewakilkan suatu kategori tertentu yang

dihasilkan dari penghitungan probabilitas terjadinya kategori tersebut. Probabilitas

dalam model logit diberikan seperti pada tabel berikut :

Tabel 5. Probabilitas

Yi Probabilitas

0 1-Pi

1 Pi

Total 1

Sumber : Gujarati 1995

Persamaan untuk regresi model logit diperoleh dari penurunan persamaan probabilitas

dari kategori-kategori yang diestimasi. Persamaan probabilitas tersebut adalah :

𝑷𝒊 = 𝑬 𝒀 =𝟏

𝑿𝒊 =

𝟏

𝟏+𝒆−(𝜷𝟏+𝜷𝟐𝑿𝒊) .................................... (2)

Persamaan tersebut dapat disederhanakan dengan mengasumsikan (𝛽1 + 𝛽2𝑋𝑖) adalah

Zi, sehingga mengahsilkan persamaan :

𝑷𝒊 =𝟏

𝟏+𝒆−𝒁𝒊 ........................ (3)

29

Pada persamaan (3) terlihat bahwa Zi berada dalam kisaran -∞ hingga +∞, dan Pi

berada dalam kisaran 0 hingga 1 dimana Pi memiliki hubungan nonlinier terhadap Zi.

Persyaratan regresi nonlinier adalah ketika Zi +∞, e-Zi

cenderung mendekati 0 dan

ketika Zi -∞, e-Zi

meningkat tidak terbatas. Nonlinieritas dalam Pi tidak hanya

terhadap X, namun juga terhadap β. Hal ini menimbulkan permasalahan estimasi

sehingga prosedur regresi ordinary least square (OLS) tidak dapat dilakukan. OLS

adalah persamaan regresi linier dengan menggunakan persamaan kuadrat kecil. Solusi

dari permasalahan tersebut adalah dengan melinierkan persamaan (3) dengan

menerapkan logaritma natural pada kategori 0 seperti pada persamaan :

𝟏 − 𝑷𝒊 =𝟏

𝟏+𝒆𝒁𝒊 .................................... (4)

Persamaan diatas dapat didistribusikan menjadi persamaan :

𝑷𝒊

𝟏−𝑷𝒊=

𝟏+𝒆𝒁𝒊

𝟏+𝒆−𝒁𝒊= 𝒆𝒁𝒊 .................................... (5)

Persamaan 𝑃𝑖

1−𝑃𝑖 disebut dengan rasio kecenderungan (odds ratio) terjadinya kategori

dengan nilai 1. Selanjutnya dengan menerapkan logaritma natural terhadap odds ratio

akan menghasilkan persamaan :

𝑳𝒊 = 𝒍𝒏 𝑷𝒊

𝟏−𝑷𝒊 = 𝒁𝒊 = 𝜷𝟏 + 𝜷𝟐𝑿𝒊 .................................... (6)

Dalam persamaan diatas, Li adalah log dari odds ratio yang tidak hanya linear terhadap

X, namun juga linear terhadap parameter β. Nilai β1 merupakan intercept yang berarti

bahwa probabilitas kepemilikan rumah adalah sebesar β1 ketika variabel-variabel lain

bernilai nol. Nilai β2 dan seterusnya merupakan ukuran kontribusi dari masing-masing

variabel yang menjadi faktor penentu variabel dependen. Nilai β2 yang positif memiliki

arti peningkatan nilai variabel tersebut sebesar satu satuan akan meningkatkan

probabilitas sebesar β2. Sedangkan nilai β2 yang negatif memiliki arti penurunan nilai

variabel tersebut sebesar satu satuan akan meningkatkan probabilitas sebesar β2.

Persamaan (6) merupakan persamaan regresi logistik sederhana (satu variabel

terikat dan satu variabel bebas), sedang untuk regresi logistik ganda (multiple regression

logistic) antara satu variabel bebas dengan beberapa variabel bebas maka persamaannya

adalah :

30

𝑳𝒊 = 𝒍𝒏 𝑷𝒊

𝟏−𝑷𝒊 = 𝜷𝟎 + 𝜷𝟏𝑿𝟏 + 𝜷𝟐𝑿𝟐 + ⋯𝜷𝒏𝑿𝒏 ........................... (7)

Keterangan :

𝑙𝑛 𝑃𝑖

1−𝑃𝑖 = logodd (logit) : Logaritme natural dari odds. Odds : rasio

probabilitas suatu peristiwa untuk terjadi dan probabilitas suatu

peristiwa untuk tidak terjadi

𝛽0 = konstanta ( intersep)

𝛽1,𝛽2 …𝛽𝑛 = koefisien regresi variabel prediktor (slope)

𝑋1,𝑋2, . .𝑋𝑛 = variabel prediktor yg pengaruhnya akan diteliti.

𝑃𝑖 = probabilitas untuk terjadinya “peristiwa” dari variabel

dependen yg dikotomus

10. Asas Ilmu Lingkungan

Ilmu lingkungan adalah ekologi yang menerapkan berbagai asas dan konsep

kepada masalah yang lebih luas, yang menyangkut pula hubungan manusia dengan

dengan lingkungannya. Ilmu lingkungan mengintegrasikan berbagai ilmu yang

mempelajari hubungan timbal balik antara jasad hidup (termasuk manusia) dengan

lingkungannya. Asas di dalam suatu ilmu yang sedang berkembang digunakan sebagai

landasan yang kokoh dan kuat untuk mendapatkan hasil, teori dan model seperti pada

ilmu lingkungan (Soeriaatmadja, 1989).

Asas ilmu lingkungan terdiri dari 14 asas, antara lain :

a. Asas 1 : Semua energi yang memasuki sebuah organisasi hidup populasi atau

ekosistem dapat dianggap sebagai energi yang tersimpan atau terlepas.

b. Asas 2 : Tak ada sistem pengubahan energi yang betul-betul efesien.

c. Asas 3 : Materi, energi, ruang, waktu, dan keanekaragaman, semua termasuk

kategori sumber alam.

d. Asas 4 : Untuk semua kategori sumber alam, kalau pengadaannya sudah

mencapai optimum, pengaruh unit kenaikannya sering menurun

dengan penambahan sumber alam itu sampai kesuatu tingkat

maksimum.

31

e. Asas 5 : Ada dua jenis sumber daya alam, yaitu sumber alam yang

pengadaannya dapat merangsang penggunaan seterusnya, dan yang

tak mempunyai daya rangsang penggunaan lebih lanjut.

f. Asas 6 : Individu dan spesies yang mempunyai lebih banyak keturunan dari

pada saingannya, cenderung berhasil mengalahkan saingannya.

g. Asas 7 : Kemantapan keanekaragaman suatu komunitas lebih tinggi di alam

lingkungan yang “mudah diramal”.

h. Asas 8 : Sebuah habitat dapat jenuh atau tidak oleh keanekaragaman takson,

bergantung kepada nicia dalam lingkungan hidup itu dapat

memisahkan takson tersebut.

i. Asas 9 : Keanekaragaman komunitas apa saja sebanding dengan biomassa

dibagi produktivitas.

j. Asas 10 : Dalam lingkungan stabil perbandingan antara biomasa dengan

produktivitas dalam perjalanan waktu naik mencapai asimtoot.

k. Asas 11 : Sistem yang sudah mantap (dewasa) mengeksploitasi sistem yang

belum mantap (belum dewasa).

l. Asas 12 : Kesempurnaan adaptasi suatu sifat atau tabiat bergantung kepada

kepentingan relatifnya di dalam keadaan suatu lingkungan.

m. Asas 13 : Lingkungan yang secara fisik mantap terjadinya penimbunan

keanekaragaman biologi dalam ekosistem yang mantap, yang

kemudian dapat menggalakkan kemantapan populasi lebih jauh lagi.

n. Asas 14 : Derajat pola peraturan naik-turunnya populasi bergantung kepada

jumlah keturunan dalam sejarah populasi sebelumnya yang nanti akan

mempengaruhi populasi itu

Penelitian mengenai Adaptasi Petani Lahan Tadah Hujan terhadap Perubahan

Iklim dalam Memenuhi Kebutuhan Air Tanaman ini sesuai dengan asas lingkungan,

yaitu :

a. Asas 3 : Materi, energi, ruang, waktu, dan keanekaragaman adalah kategori

sumber alam.

32

Perbedaan materi, energi, ruang, waktu dan keanekaragaman dapat mempengaruhi

kapasitas petani untuk beradaptasi terhadap lingkungannya. Kapasitas adaptasi

petani yang berkembang pada setiap komunitas berbeda-beda, begitu pula yang

terjadi pada petani lahan tadah hujan di Kabupaten Purworejo.

b. Asas 5 : Ada dua jenis sumber alam dasar, yaitu sumber alam yang

pengadaannya dapat merangsang penggunaan seterusnya, dan yang

tidak mempunyai daya rangsang penggunaan lebih lanjut.

Air sebagai salah satu sumber alam, bila ketersediaannya diketahui secara stabil dan

kontinyu maka akan merangsang kenaikan pendayagunaan dalam kegiatan usaha

tani.

c. Asas 12 : Kesempurnaan adaptasi suatu sifat atau tabiat bergantung kepada

kepentingan relatifnya dalam suatu lingkungan tertentu.

Perubahan iklim akan mengakibatkan terjadinya perubahan lingkungan berupa

ancaman ketersediaan air. Hal ini akan mendorong petani lahan tadah hujan untuk

beradaptasi untuk memenuhi kebutuhan air tanaman dalam melakukan kegiatan

usahatani.

B. Penelitian Yang Relevan

Penelitian mengenai adaptasi petani terhadap perubahan iklim telah dilakukan

oleh peneliti terdahulu antara lain :

1. Penelitian Fitri Kurniawati (2012) dengan judul Pengetahuan dan Adaptasi Petani

Sayuran Terhadap Perubahan Iklim (Studi Kasus : Desa Cibodas, Kecamatan

Lembang, Kabupaten Bandung Barat) Program Studi Magister Ilmu Lingkungan

Program Pascasarjana Universitas Padjajaran Bandung.

Tujuan penelitian adalah mengetahui pengetahuan dan adaptasi petani sayuran

terhadap perubahan iklim serta untuk menganalisis faktor-faktor yang

mempengaruhi petani dalam beradaptasi.

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah kombinasi metode kualitatif dan

kuantitatif. Data dikumpulkan melalui wawancara terstruktur, focus group

discussion (FGD) dan observasi.

33

Hasil penelitian menyatakan bahwa jumlah petani sayuran di Desa Cibodas yang

mengetahui adanya perubahan pada parameter iklim (seperti pergeseran musim,

peningkatan curah hujan, perubahan kecepatan angin dan peningkatan suhu udara)

yang menjadi indikator perubahan iklim masih rendah. Petani di Desa Cibodas

masih dalam tahap menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim yang sedang terjadi

dengan pola adaptasi yang paling banyak diadopsi petani adalah dengan mengubah

teknik pengairan dan drainase, mengubah teknik pengolahan tanah, dan mengubah

teknik pengendalian OPT, sedangkan pola adaptasi yang tidak banyak diadopsi

adalah menggeser masa tanam dan mengubah pola tanam.

2. Penelitian Ubai Dresani (2013) dengan judul Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Strategi Adaptasi Petani Terhadap Perubahan Iklim di Kabupaten Sleman dan

Gunungkidul. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Tujuan penelitian adalah mengetahui persepsi petani mengenai perubahan iklim,

mengetahui ragam strategi adaptasi petani terhadap perubahan iklim, dan

mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi strategi adaptasi petani terhadap

perubahan iklim.

Metode analisis yang digunakan yaitu metode tabel, chi square, dan regresi logit.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar petani tidak tahu mengenai

perubahan iklim dan pemanasan global tetapi merasakan dampak perubahan iklim

seperti suhu semakin panas, penurunan produksi, kegagalan panen, kekeringan, lahan

sulit diolah, dan penurunan volume air irigasi. Strategi adaptasi yang dilakukan petani

antara lain usaha tani organik/semi organik, usaha tani hemat air, tumpangsari,

pergiliran tanaman, penggunaan varietas tahan kering, dan pengelolaan stok. Faktor

yang mempengaruhi kemungkinan petani melakukan strategi adaptasi terhadap

perubahan iklim adalah besarnya nilai produksi ternak, terjadi kekeringan lahan yang

diolah, dan keberadaan sumber air irigasi permanen.

34

C. Kerangka Pemikiran

Gambar 5. Kerangka Pemikiran

Perubahan Iklim - Pergeseran musim

- Peningkatan suhu udara- Perubahan Intensitas Hujan

- Iklim Ekstrim

Adaptasi Petani Lahan Tadah Hujan terhadap Perubahan Iklim dalam Memenuhi

Kebutuhan Air Tanaman dengan Pengelolaan Air, antara lain:

- Praktik Konservasi Lahan- Irigasi Suplementer - Panen Air/Water Harvesting

Perubahan Sistem Pertanian Lahan Tadah Hujan

Faktor-faktor yang mempengaruhi adaptasi petani:

- Faktor Internal : pengetahuan dan penguasaan

teknologi usahatani, kemampuan permodalan, keterampilan manajerial

- Faktor Eksternal : ketersediaan infrastruktur dan

paket-paket teknologi inovatif, kelembagaan

Ancaman Ketersediaan Air

Strategi Adaptasi Petani terhadapPerubahan Iklim dalam Memenuhi

Kebutuhan Air Tanaman