07. lampung

21
Menuju Demokratisasi Pemetaan PEMETAAN PARTISIPATIF : SEBAGAI UPAYA MASYARAKAT MELINDUNGI DAN MENGELOLA SUMBERDAYA ALAM PESISIR LAUT DI PULAU PAHAWANG Oleh : Rizani dan M. Syahril Karim SEJARAH PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM PESISIR LAUT DI DESA PULAU PAHAWANG Kondisi Geografis Desa Pulau Pahawang berada di Kawasan Teluk Lampung, secara administrasi berada di Kecamatan Punduh Pedada, Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung dengan luas wilayah berdasarkan PP tahun 1999 adalah 1.046 hektar. Secara geografis berada pada 5ー40,2’ - 5ー43,2’ LS dan 105ー12,2’ - 105ー15,2’BT. Wilayah Desa Pulau Pahawang merupakan kawasan pesisir, terdiri dari laut, pantai, rawa, daratan dan daerah perbukitan, serta termasuk bagian pulau-pulau kecil yang ada di kawasan Teluk Lampung. Desa ini terbagi menjadi 6 dusun yaitu, Suak Buah, Penggetahan, Jaralangan, Kalangan, Cukuhnyai dan Dusun Pahawang. Sejarah Terbentuknya Desa Berdasarkan cerita masyarakat setempat, nama Desa Pulau Pahawang berasal dari nama seorang nakhkoda kapal yang bernama Pak Hawang dan Mandara yang terdampar dan pada akhirnya menetap di pulau tersebut. Keberadaan Pak Hawang yang menetap di pulau, akhirnya menjadikan pulau tersebut dikenal dengan nama Pahawang. Perkembangan selanjutnya (tidak diketahui dengan pasti tahunnya), beberapa orang datang dan tinggal di Desa Pulau Pahawang. Mereka berasal dari berbagai 145

Upload: muhammad-arsyad

Post on 26-Oct-2015

26 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Menuju Demokratisasi Pemetaan

PEMETAAN PARTISIPATIF :SEBAGAI UPAYA MASYARAKAT MELINDUNGI

DAN MENGELOLA SUMBERDAYA ALAM PESISIRLAUT DI PULAU PAHAWANG

Oleh : Rizani dan M. Syahril Karim

SEJARAH PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM PESISIR LAUT DIDESA PULAU PAHAWANG

Kondisi Geografis

Desa Pulau Pahawang berada di Kawasan Teluk Lampung, secara administrasiberada di Kecamatan Punduh Pedada, Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampungdengan luas wilayah berdasarkan PP tahun 1999 adalah 1.046 hektar. Secarageografis berada pada 5°40,2’ - 5°43,2’ LS dan 105°12,2’ - 105°15,2’BT. WilayahDesa Pulau Pahawang merupakan kawasan pesisir, terdiri dari laut, pantai,rawa, daratan dan daerah perbukitan, serta termasuk bagian pulau-pulau kecilyang ada di kawasan Teluk Lampung. Desa ini terbagi menjadi 6 dusun yaitu,Suak Buah, Penggetahan, Jaralangan, Kalangan, Cukuhnyai dan Dusun Pahawang.

Sejarah Terbentuknya Desa

Berdasarkan cerita masyarakat setempat, nama Desa Pulau Pahawang berasaldari nama seorang nakhkoda kapal yang bernama Pak Hawang dan Mandarayang terdampar dan pada akhirnya menetap di pulau tersebut. Keberadaan PakHawang yang menetap di pulau, akhirnya menjadikan pulau tersebut dikenaldengan nama Pahawang.

Perkembangan selanjutnya (tidak diketahui dengan pasti tahunnya), beberapaorang datang dan tinggal di Desa Pulau Pahawang. Mereka berasal dari berbagai

145

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

tempat. Dari wilayah Banten - Jawa Barat38, mereka adalah Jahari menetap didusun Penggetahan dan Ruslan yang menetap di Dusun Cukuh Nyai Jaralangan.Haji Dul Malik dari Putih Doh, Kecamatan Cukuh Balak, Kabupaten Tanggamus– Lampung menetap di Dusun Pahawang. Kedatangan mereka bertujuan membukalahan untuk berkebun.

Desa Pulau Pahawang saat itu berstatus kampung dan masuk dalam wilayahMarga Punduh. Oleh karena itu secara adat istiadat warga Pulau Pahawangmengikuti aturan Marga Punduh. Untuk urusan pemerintahan dipimpin olehMandara dan urusan keagamaan dipimpin oleh H. Dul Malik. Pada tahun 1980secara definitif Pulau Pahawang ditetapkan menjadi desa.

Penduduk

Sebagian besar masyarakat yang tinggal di Desa Pulau Pahawang adalah orangyang berasal dari suku Sunda (khususnya dari wilayah Banten) dan sebagiankecil adalah berasal dari Lampung Pesisir, Bugis, Padang dan Jawa. Jumlahpenduduk berdasarkan sensus penduduk tahun 2007 adalah 1665 jiwa atausekitar 427 kepala keluarga39. Sebagian besar bekerja sebagai nelayan dansebagian kecil bekerja petani kebun, pedagang, buruh tani, karyawan kerambajaring apung dan pegawai negeri/guru.

Sumber: Profile Desa Pulau Pahawang tahun 2007

Sumberdaya Alam Yang Dimiliki

Sebagai sebuah wilayah kepulauan, Desa Pulau Pahawang memiliki sumberdayaalam yang sangat beragam, baik yang terdapat di daratan maupun yang terdapatdi pesisir dan laut. Sumberdaya alam yang ada dipesisir laut berupa hutanmangrove (masyarakat setempat menyebut dengan istilah hutan Bakau), rawa,gobah40, gosong-gosong41, terumbu karang, pantai, padang lamun42 dan potensiperikanan laut. Sementara di wilayah daratan sumberdaya alam yang adaberupa kebun yang ditanami kelapa, kakau, tangkil, cengkeh dan jenis buah-buahan (duku, durian, jambu, rambutan, dan mangga)

146

Matapencaharian Penduduk Desa Pulau Pahawang Tahun 2007

No. Jenis Matapencaharian Jumlah %

1. Nelayan 313 34,70 2. Petani Kebun 270 29,93 3. Karyawan Keramba Jaring Apung 187 20,73 4. Buruh Tani 94 10,42 5. Pedagang 28 3,10 6. Pegawai Negeri/Guru 2 0,22 7. Honorer 8 0,9

Total Penduduk yang Bekerja 902 100%

Menuju Demokratisasi Pemetaan

Sumberdaya Alam di Desa Pulau Pahawang

No. Sumberdaya Luas (ha)

1. Gobah 21,73 ha 2. Pasir 35,50 ha 3. Padang Lamun/Jerangau 111,52 ha 4. Rawa-rawa 70,37 ha 5. Terumbu Karang 80,51 ha 6. Daratan 824,28 ha

Sumber : Hasil Pemetaan Partisipatif tahun 1999

Desa ini memiliki sumber daya alam pesisir laut yang lengkap di bandingkepulauan lain yang ada di Provinsi Lampung. Hal ini dapat dilihat darikeberadaan hutan mangrove seluas 141,94 hektar dengan berbagai jenistumbuhan bakau, tingi dan nipah. Gosong-gosong yang tersebar di sekitarperairan Pulau Pahawang mencapai 60 buah. Terumbu karang tersebar dan adadisekeliling pulau mencapai 80,52 hektar. Berbagai jenis ikan laut sepertikepiting, simba, ikan tongkol, ikan selar merupakan jenis hewan laut yang adadan hidup di perairan Pulau Pahawang.

Keberadaan sumberdaya alam terutama yang ada di pesisir laut memberikandampak yang baik bagi kehidupan nelayan tradisional yang ada di Desa PulauPahawang. Rebon yang tersedia di sekitar perairan Pulau Pahawang dapatdidapatkan dengan mudah. Rebon digunakan sebagai umpan untuk memancingikan. Selain itu, nelayan dapat memasang alat tangkap ikan – yaitu bubu, pancingrawe dan jaring rampus tanpa harus khawatir terbawa oleh Jaring Trawl (pukatharimau). Dengan alat tangkap tradisional tersebut, nelayan di Desa PulauPahawang mendapatkan hasil tangkapan yang cukup, begitu juga jika merekamemancing ikan disekitar gosong-gosong yang tersebar di perairan, hasiltangkapannya tidak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,melainkan hasilnya dapat untuk mengisi tabungan untuk kebutuhan tidakterduga (seperti untuk biaya kesehatan atau perawatan jika ada anggota keluargayang sakit).

Berdasarkan hasil PP43 yang dilakukan pada tahun 1999, sumberdaya yangdimiliki Desa Pahawang adalah sebagai berikut

Keberadaan potensi sumberdaya alam pesisir dan laut yang melimpahmenyebabkan berbagai cara dilakukan untuk memanfaatkannya, termasuk cara-cara pemanfaatan yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bahanpeledak/bom, penggunaan potasium sianida, dan penangkapan ikan denganmenggunakan jaring trawl.

147

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

Pemboman ikan, yang biasanya dilakukan oleh orang dari luar Pulau Pahawang,berlangsung pada siang hari. Si pelaku mencari lokasi yang banyak ikannya.Setelah mendapat lokasi yang dicari ia akan mengamati apakah banyak nelayandi sekitarnya. Jadi kegiatan ini dilakukan dengan cara kucing-kucingan. Semuajenis ikan besar dan kecil akan mati. Yang lebih memprihatinkan lagi, terumbukarang tempat hidup dan perkembangbiakan ikan pun ikut hancur. Pihak-pihakyang berkompeten (atau memiliki kewenangan) untuk menangani masalah ini,TNI Angkatan Laut (TNI AL), tidak mampu atau tidak berdaya untuk melarangnya.Bila ada laporan dari nelayan atau masyarakat, TNI AL tidak bisa menindaklanjutikarena keterbatasan alat operasional untuk menangani masalah ini. Dalambeberapa kasus mereka berhasil menangkap pelaku pemboman, namun kasusnyaakan segera selesai hanya dalam waktu hitungan hari atau bahkan jam, denganproses yang tidak diketahui oleh masyarakat (tersembunyi). Setelah itu prosespemeboman berlangsung kembali.

Potasium sianida adalah jenis obat bius yang sering dipergunakan dalampenangkapan udang besar (lobster), udang kecil (rebon) dan ikan-ikan karangbaik ikan hias maupun ikank konsumsi seperti ikankerapu, ikan baronang, danlain-lain. Zat kimia tersebut dilarutkan dalam air, kemudian dimasukan ke dalambotol plastik seperti botol kecap plastik atau botol spiritus atau alat semprotkhusus. Penangkapan dilakukan dengan cara menyelam menggunakan maskeratau kompresor. Si penyelam akan menyemprotkan ikan-ikan atau udang yangditemui disela-sela terumbu karang dan digosong-gosong. Biasanya ikan-ikanatau udang-udang ini akan mabuk dan sehingga mudah ditangkap. Penggunaanbahan kimia ini, selain berdampak berkurangnya ikan-ikan karang, juga akanmerusak dan mematikan terumbu karang serta berdampak juga bagi kesehatansi pengguna.

Jaring trawl, sama halnya dengan pemboman ikan, banyak beroperasi di sekitarPulau Pahawang dengan pelakunya orang luar, terutama dari Teluk Betung. Hanyaorang bermodal besar yang memiliki jaring trawl ini karena kapalnyamenggunakan mesin diesel mobil. Semua jenis ikan bukan hanya yang besarsaja yang terangkut, tetapi ikan kecil (yang seharusnya ditangkap pada saatsudah menjadi ikan besar) pun terjaring oleh trawl. Selain ikan, terumbu karangpun ikut terangkat oleh jaring trawl.

Akibat kegiatan-kegiatan merusak ini kondisi terumbu karang di sekitar DesaPulau Pahawang sangat memprihatinkan. Berdasarkan Peta Keadaan TerumbuKarang tahun 1999 kondisi terumbu karang yang baik hanya tinggal 15% saja.Kerusakan terumbu karang disebabkan oleh penggunaan bahan peledak/bomuntuk mengambil ikan di sekitar perairan laut Pulau Pahawang, yaitupenggunaan bius ikan potasium sianida, juga disebabkan karena terjadipengambilan karang yang dipergunakan oleh penduduk untuk bahan membuat

148

Menuju Demokratisasi Pemetaan

pondasi dan dinding rumah, serta pengoperasian jaring trawl. Rusaknya terumbukarang kemudian mengancam kondisi ekositem laut yang juga turut rusak. Fungsiterumbu karang terutama adalah sebagai pendukung ekosistem laut, yaitusebagai tempat ikan berlindung dan berkembang biak, pengatur perimbangansuhu air laut, dan sebagai pelindung kawasan pantai dari gelombang air laut.

Di sepanjang pesisir Teluk Lampung dan Padang Cermin telah banyak sekalikonversi hutan baku menjadi lahan tambak udang. Dampak negatif yang nyata-nyata telah dirasakan masyarakat di pesisir pantai timur yangperkampungannya hancur dan menyatu dengan air laut, akibat abrasi air laut.Selain itu juga limbah dari tambak di sepanjang pesisir ini berdampak padapencemaran air laut. Inilah salah satu kekhawatiran masyarakat PulauPahawang bercermin pada daerah yang telah terjadi. Konversi hutan bakaumenjadi lahan tambak telah teridentifikasi berdampak pula terhadap penyebaranwabah nyamuk demam berdarah atau malaria, karena habitatnya yang banyakterdapat di hutan bakau habis dibabat.

Kerusakan hutan mangrove yang disebabkan oleh adanya penebangan kayubakau juga terjadi untuk tujuan sebagai bahan dasar pembangunan rumah danpembuatan arang oleh penduduk setempat. Namun menurut penduduk setempat,kerusakan hutan mangrove dimulai secara besar-besaran dengan kedatanganperusahaan asing yang berasal dari Taiwan pada tahun 1975. Perusahaantersebut melakukan penebangan secara besar-besaran. Penebangan secarabesar-besaran pada saat itu telah mengganggu ekosistem laut di Desa PulauPahawang. Kegiatan itu juga telah menyebabkan abrasi pantai. Selain itu juga,habitat satwa (monyet dan kera) rusak dan satwa-satwa tersebut harus mencarihabitat lain untuk mendapatkan makanan, dan akibatnya mereka “menyerang”tanaman di kebun-kebun petani setempat. Hal yang paling mengganggumasyarakat Desa Pulau Pahawang, yang mayoritas penduduknya mengandalkanpada hasil laut, adalah hilangnya tempat ikan untuk berkembang biak ataubertelur. Akibatnya mereka tidak dapat lagi mendapatkan ikan dengan mudahdi sekitar pantai karena memang tidak ada lagi ikan yang berkembang biak danhidup di wilayah pesisir pantai.

KONFLIK PEMANFAATAN RUANG PESISIR LAUT

Kekayaan sumberdaya alam yang dimiliki oleh Desa Pulau Pahawang, khususnyasumberdaya perikanan laut, memberikan keuntungan besar bagi penduduk. Tidaksaja nelayan tradisional Desa Pulau Pahawang yang merasakannya, tetapi jugabagi nelayan tradisional yang berada di luar desa Pulau Pahawang. Para nelayan,baik nelayan tradisional maupun nelayan besar yang berasal dari Desa Gebang,Lempasing, Durian, Sanggi Kecamatan Padang Cermin, serta dari Desa SukaJaya Punduh, Kampung Baru, Sukarame Kecamatan Punduh Pedada dan nelayan

149

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

tradisional se-Teluk Lampung juga memanfaatkan sumberdaya perikanan lautyang berada di wilayah Desa Pulau Pahawang.

Banyaknya orang yang tertarik pada sumberdaya alam pesisir di Desa PulauPahawang mengakibatkan konflik pemanfaatan sumberdaya alam pesisir pantai.Berikut ini adalah paparan tentang konflik-konflik yang terjadi di Desa PulauPahawang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir pantai.

Konflik Antara Nelayan Tradisional dan Nelayan Besar

Jaring trawl merupakan salahsatu alat tangkap yang dilarangpenggunaannya sejak tahun1980. Kemudian pada tahun1983, pemerintah saat itu meng-hapuskan secara total penggu-naan jaring trawl oleh kapal-kapal penangkap ikan. Jaringtrawl dapat menangkap berba-gai jenis ikan dan biota laut,dengan berbagai ukuran baikbesar maupun kecil. Padahal para pengguna jaring trawl biasanya hanyamenyasar ikan-ikan yang dia butuhkan, misalnya ikan tuna, tongkol, kembung,simba, dan selar. Akibatnya ikan hasil tangkapan yang tidak dibutuhkan,terutama yang berukuran kecil, dibuang/tidak dimanfaatkan. Sementara ikan-ikan kecil itu seharusnya menjadi faktor keberlanjutan sumberdaya pesisirpantai. Di sinilah sisi baik pelarangan penggunaan jaring trawl yang dibencioleh kelompok nelayan tradisional di manapun.

Berikut adalah ringkasan tentang larangan penggunaan Jaring Trawl secarahukum di Indonesia44 :

· Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Keputusan Presiden RI No.39 Tahun 1980tentang Penghapusan Jaring Trawl: kegiatan penangkapan ikan yangmenggunakan jaring trawl dihapus secara bertahap;

· Berdasarkan Pasal 2 Keputusan Presiden RI No.39 Tahun 1980, terhitungmulai tanggal 1 Juli 1980 sampai dengan tanggal 1 Juli 1981 kapalperikanan yang menggunakan jaring trawl dikurangi jumlahnya, sehinggaseluruhnya tinggal menjadi 1000 (seribu) buah;

· Berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1982tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden RI Nomor 39 Tahun 1980; bahwaPresiden RI mengintruksikan terhitung mulai tanggal 1 Januari 1983 diseluruh Indonesia tidak lagi terdapat kapal perikanan yang menggunakanjaring trawl.

150

Kapal Jaring Trawl

Menuju Demokratisasi Pemetaan

Ironisnya, walaupun larangan sudah diberlakukan sejak tahun 1983, jaringtrawl mulai beroperasi sejak tahun 1996 di perairan Desa Pulau Pahawang.Seperti yang menjadi dasar dari pelarangannya, biota laut dan yang lainnyayang sesungguhnya tidak dikehendaki tertangkap. Di samping itu alat tangkapyang dipergunakan oleh nelayan tradisional Desa Pulau Pahawang seperti,bubu45, pancing rawe46, jaring Rampus47, dan juga rumpon yang dipasang hilangterbawa/tertarik jaring trawl begitupun biota laut lainnya yang sesungguhnyatidak dikehendaki oleh para nelayan pengguna jaring trawl. Sebagian besarkapal-kapal nelayan yang menggunakan Jaring Trawl ini adalah nelayan-nelayanyang berasal dari Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Lempasing dan GudangLelang, Bandar Lampung.

Bagi nelayan tradisional, khususnya yang tinggal di Desa Pulau Pahawang,pemakaian jaring trawl membuat penghidupan mereka terancam. Mereka selalukhawatir karena alat tangkapnya akan hilang, dan terancam karena kemudiansemakin habis sumberdaya ikan karena ikan-ikan kecil sudah terjaring denganjaring trawl. Nelayan Desa Pulau Pahawang kemudian harus mencari lokasiyang masih banyak ikannya tetapi sangat jauh dari desanya. Hal ini menyebabkanongkos melaut menjadi makin mahal.

Klaim Hutan Mangrove

151

Patok Daerah Perlindungan Mangrove

Hutan mangrove yang tumbuh disekitar kawasan pesisir lautmemiliki manfaat untuk melesta-rikan fungsi pantai. BerdasarkanKeputusan Presiden No. 32 Tahun1990 tentang Pengelolaan KawasanLindung, bahwa perlindunganterhadap kawasan pantaiberhutan bakau dilakukan untukmelestari-kan hutan bakau sebagaipembentuk ekosistem hutan bakaudan tempat berkembang biaknyaberbagai biota laut di samping sebagai pelindung pantai dari pengikisan airlaut. Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pertanian dan Menteri KehutananNo. 550/Kpts-4/1984 mensyaratkan lebar jalur hijau pantai (mangrove) mini-mal 200 meter dari garis pantai. Peraturan tersebut menjadi landasan hukumyang kuat atas upaya melindungi kawasan ini dari kepemilikan baik peroranganataupun perusahaan.

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

Di Pulau Pahawang kawasan hutan mangrove yang dibuka dan dijadikan lahantambak sering menjadi persengketaan antar penduduk. Yang membuka kawasanhutan mangrove menjadi lahan tambak adalah pengusaha atau orang-oranglain yang punya modal. Namun pembukaan lahan umumnya dilakukan tanpapemberitahuan kepada penduduk setempat dan tanpa persetujuan darimasyarakat (pemerintahan desa). Hal ini yang di kemudian hari menjadi masalahbesar. Akibatnya adalah persengketaan yang didapat, terutama dengan parapemilik kebun di sekitar tambak tersebut.

Di Pulau Pahawang paling tidak 50-an hektar hutan mangrove sudah dibukauntuk pembangunan tambak. Pada umumnya pembebasan lahan rawa di hutanbakau dibayar dengan harga yang rendah karena pengusaha memakai jasaperantara (calo) untuk membelinya dari masyarakat Pahawang. Sebagai contoh,masyarakat Dusun Kalangan memperoleh pembayaran Rp 400/m2 atas lahanmilik mereka. Di samping itu mereka diperbolehkan untuk memungut hasilkomoditi pertanian seperti kelapa sebelum lahan dibuka menjadi areal tambak.Namun setelah pembebasan selesai janji tersebut tidak ditepati. Karena hutanmangrove yang merupakan penyaring pengaruh lautan ke daratan maupundaratan ke lautan makin terancam keberadaannya, masyarakat menjadi khawatirbahwa pembukaan hutan bakau akan mengakibatkan masuknya air laut ke lahanmereka dan juga penggerusan lahan. Padahal lahan tersebut merupakanpenopang utama kehidupan keluarga.

Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum oleh pemerintah menjadipenyebab adanya tambak di wilayah kepulauan. Salah satunya adalah perizinanyang sangat mudah didapat yang menjadi daya tarik bagi para pengusaha dariluar desa. Pemberian izin pun tanpa pernah ditindaklanjuti dengan pengawasan,sehingga pembukaan yang merusak kawasan hutan mangrove terus terjadi.

Budidaya Kerang Mutiara

Di Teluk Lampung terdapat dua perusahaan modal asing dari Jepang, yaituPT.Hikari dan PT.Kyoko Sinju, yang bergerak di bidang pembudidayaan mutiara.PT. Hikari di Tanjung Putus yang berdekatan dengan Pulau Pahawang telahmengkapling paling tidak 5.000 hektar laut di sekitar gosong-gosong yangmerupakan daerah tangkapan nelayan tradisional. Areal laut yang telahdikapling tersebut mutlak tidak bisa dimasuki oleh nelayan. Bahkan seringterjadi pengusiran terhadap nelayan yang sengaja atau tidak sengaja mendekatke pelampung-pelampung pembatas areal budidaya. Daerah ini juga selaludijaga seorang anggota marinir yang selalu siaga di kantor perusahaaan, makasering pula terjadi intimidasi oleh AL terhadap nelayan. Padahal bagi masyarakatPulau Pahawang areal kaplingan perusahaaan tersebut dulunya merupakanareal tangkap ikan mereka. Dengan demikian, daerah tangkapan yang dimilikinelayan semakin sempit.

152

Menuju Demokratisasi Pemetaan

PP SEBAGAI UPAYA MELINDUNGI DAN MENGELOLA SDA PESISIRLAUT (PELA)

Sejarah Masuknya PP Di Desa Pulau Pahawang

Sejarah PP di Desa Pulau Pahawang diawali oleh kedatangan aktivis MitraBentala. Sebagai organisasi lingkungan, kegiatan yang dilakukandikonsentrasikan pada isu-isu pesisir laut dan pulau-pulau kecil di Lampung.Mitra Bentala mengamati maraknya kegiatan eksploitasi sumberdaya laut –khususnya di Desa Pahawang – yang memiliki kecenderungan merusaklingkungan, penerapan berbagai kebijakan – baik nasional maupun lokal – yangtidak pro-lingkungan serta lemahnya penegakkan hukum terutama di wilayahpesisir laut dan pulau-pulau kecil. Maka, pada tahun 1997, Mitra Bentalamemulai kegiatan advokasi dengan melakukan kegiatan pendampingan di DesaPulau Pahawang.

Pemilihan wilayah untuk kegiatan advokasi oleh Mitra Bentala ini adalahsemakin rusak/hancurnya lingkungan, terutama sumber daya alam pesisir lautDesa Pulau Pahawang, yang mengancam sumber kehidupan bagi masyarakatpesisir yang bekerja sebagai nelayan.

Dengan titik pijak bahwa kerusakan pesisir dan laut makin mengancam sumberpenghidupan masyarakat, Mitra Bentala mengembangkan strategi advokasinyadengan mengirimkan beberapa aktivisnya untuk tinggal dan berada bersamadalam kehidupan masyarakat Desa Pulau Pahawang. Rangkaian prosespendampingan yang dilakukan secara intensif hingga tahun 1999 dimaksudkanuntuk terus menerus menggali persoalan yang diakibatkan oleh semakinhancurnya sumberdaya pesisir dan laut di Desa Pulau Pahawang. Proses inidinilai sangat efektif karena bersama dengan masyarakat Desa Pulau Pahawangpara aktivis dapat mengidentifikasi dengan baik tentang apa dan bagaimanadinamika persoalan penghidupan masyarakat di Desa Pulau Pahawang.

Selain proses pendampingan yang intensif, kegiatan-kegiatan yang dilakukanbersama ini telah membangun interaksi yang baik di antara aktivis-aktivis MitraBentala dengan masyarakat. Komunikasi terjalin baik. Setiap permasalahanyang muncul atau agenda-agenda yang terkait dengan pemerintahan setempat,masyarakat selalu melibatkan Mitra Bentala begitu juga sebaliknya. Dengandemikian, forum-forum diskusi selalu dimanfaatkan untuk memperkuat relasidi antara kedua pihak, misalnya forum-forum atau pertemuan yang bersifatresmi/formal yang melibatkan pemerintahan desa maupun tidak resmi/non for-mal, terutama untuk membahas persoalan-persoalan menyangkut permasalahanyang dihadapi oleh nelayan.

153

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

Pada tahun 1997 rangkaian proses PP mulai dilakukan di Desa Pulau Pahawang.Hingga tahun ini telah menghasilkan beberapa peta, yaitu: Peta Wilayah TangkapNelayan Tradisional, Peta Sumberdaya Alam Pesisir Desa Pulau Pahawang,Peta Keadaan Terumbu Karang dan Tubiran48, Peta Sumberdaya Hutan MangroveDesa Pulau Pahawang serta Peta Sebaran Vegetasi Hutan Mangrove Desa PulauPahawang.

Mitra Bentala juga melakukan pelatihan-pelatihan dengan tema-tema tertentuyang dimaksudkan untuk memperkuat pemahaman masyarakat tentang hak-hak mereka dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Kristalisasi dari prosespendampingan dan pelatihan tersebut adalah pelaksanaan PP. Metode ini dapatdipergunakan untuk membangun keterlibatan masyarakat secara penuh dalamupaya mencari penyelesaian masalah. Keterlibatan seluruh masyarakat dalamPP mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi diharapkanmampu membangkitkan rasa tanggung jawab bersama dalam menjaga sumberdaya alam. Pada akhirnya diharapkan masyarakat dapat mengelola sumberdayamereka secara mandiri dengan prinsip demokratis dan berkelanjutan.

Proses Pemetaan Partisipatif Di Desa Pulau Pahawang

Proses PP yang dilakukan di Desa Pulau Pahawang melalui tahapan sebagaiberikut :

1) Tahap Persiapan yaitu tahap untuk menegaskan kembali dan mengetahuisecara bersama-sama tentang tujuan pelaksanaan PP di Desa PulauPahawang. Selain itu juga, tahap ini untuk menemukenali isu-isu yangberkembang dalam masyarakat serta menyampaikan isu-isu di luar desayang berpengaruh pada kehidupan di desa Pulau Pahawang.

Tahap ini dilakukan melalui serangkaian pertemuan di tingkat kampung dandusun. Hal ini dilakukan agar informasi yang akan disampaikan dan ingindidapatkan relatif lengkap dan merata dari dan ke seluruh anggotamasyarakat desa. Berikut rangkaian pertemuan yang dilakukan di Desa PulauPahawang terkait dengan tahapan persiapan:

a. Pertemuan Kelompok/kampung

Pertemuan ini untuk mengetahui permasalahan yang berkembang ditingkat kelompok masyarakat, seperti kelompok nelayan tradisional, ataukampung. Pada pertemuan tingkat kampung masyarakat menyampaikanpermasalahan dan isu-isu yang berkembang yaitu pemboman ikan,pemakaian potasium sianida, jaring trawl, proyek tambak udang,budidaya mutiara, pariwisata, hama penyakit tanaman dan harga jualkomoditi pertanian yang cenderung menurun.

154

Menuju Demokratisasi Pemetaan

Tujuan setiap pertemuan, mulai dari tingkat kelompok sampai tingkat desa,adalah untuk mempertemukan berbagai tokoh masyarakat dan mem-bicarakan secara musyawarah permasalahan-permasalahan yang ada.

b. Pertemuan tingkat dusun

Pertemuan ini bertujuan untuk menangkap isu yang berkembang danmendiskusikan permasalahan yang dialami kelompok masyarakat didusun/kampung. Pada setiap pertemuan dusun jumlah peserta yang hadirrata-rata sekitar 30 orang dari berbagai elemen masyarakat seperti kepaladusun (1 Orang), pengurus masing-masing RT (2 orang), perwakilan tokohmasyarakat (1 orang yang dituakan), perwakilan dari BPD (1 orang), tokohagama (2 orang), kaum perempuan (5 orang), pemuda (1 orang KetuaPemuda), petani (5 orang) dan nelayan (6 orang).

Permasalahan yang ditemui di tingkat dusun yaitu pemboman ikan,penggunaan jaring trawl dan potasium sianida, pembukaan lahan man-grove untuk tambak, pengaplingan lahan oleh perusahaan mutiara (PTHikari).

Berdasarkan permasalahan diatas dan adanya keinginan untuk mengatasimasalah yang dialami kelompok tapi juga menjadi permasalahan semuapihak yang ada di dusun. Maka masyarakat mendukung untuk dilakukanpemetaan. Proses pengambilan keputusan dilakukan dengan keputusanbersama saat dalam pertemuan.

c. Pertemuan tingkat desa

Pertemuan ini untuk menyampaikan permasalahan yang berkembang padamasing-masing dusun agar mendapat kesepakatan tentang permasalahanyang dihadapi desa. Tidak ada perbedaan yang menonjol di antara semuadusun karena permasalahan yang dialami sama. Pada pertemuan tingkatdesa ini perwakilan masyarakat secara bersama-sama mengambilkeputusan untuk melakukan PP.

155

Komposisi dan Jumlah Perwakilan Masyarakat dalam Pertemuan Tingkat Desa

No. Pihak-pihak Perwakilan Keterangan

1. Dusun Suak Buah 5 orang Terdiri dari Kepala dusun, RT, nelayan, petani2. Dusun Penggetahan 10 orang Terdiri dari Kepal Dusn, RT, nelayan, petani3. Dusun Jaralangan 2 orang Kadus dan warga4. Dusun Cukuh Nyai 3 orang Kadus dan warga5. Dusun Kalangan 3 orang Kadus dan warga6. Pemerintahan Desa 3 orang Kades, sekdes, kaur7. Tokoh Masyarakat 5 orang Agama, masyarakat8. Mitra Bentala 2 orang Staf lapangan

Jumlah 33 orang

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

2) Tahap Pembuatan Peta

Masyarakat bersama aktivis membuat sejumlah peta berdasarkan padakebutuhan dan permasalahan yang dihadapi, terutama yang dapat merusaksumberdaya yang ada. Tahap ini ditempuh dengan kegiatan-kegiatan sebagaiberikut:

a. Pelatihan pembuatan peta

Kegiatan ini pada dasarnya adalah pelatihan bagaimana melakukanpemetaan itu sendiri; mulai dari penggunaan alat, pengambilan datadan penggambaran, serta untuk memahami arti dari PP. Pemetaan inisendiri diikuti oleh masyarakat Desa Pulau Pahawang.

Pelatihan teknis dan penggunaan alat berlangsung selama sehari.Peserta yang terlibat pada kegiatan ini adalah tokoh masyarakat darisetiap dusun dan seorang pemuda dari tiap dusun. Pelatihan danpembuatan peta ini melibatkan LSM dari luar daerah seperti JALA(Jaringan Advokasi Nelayan Sumatera Utara) dan Walhi Sumatera Selatanyang pada saat itu ingin belajar bagaimana melakukan PP Pesisir danLaut. Karenanya dalam pelatihan dilakukan pula diskusi bersamaorganisasi-organisasi tersebut tentang masalah-masalah yang dihadapinelayan tradisional.

Keseluruhan proses pelatihan dilalui dengan dua metode yaitu metodeceramah dan diskusi serta metode praktek.

- Ceramah dan Diskusi Bersama adalah media pemaparan sejumlahteori dan konsep dalam PP oleh Pelatih (Fasilitator) yang dilanjutkandengan diskusi tanya jawab agar seluruh peserta benar-benar paham.Metode ini secara khusus bertujuan untuk:

(1) memperkenalkan secara teoritis bagaimana membuat peta diwilayah pesisir dan laut dan apa yang akan dihasilkan dari prosespemetaan partisipatif ini;

(2) memperkenalkan peralatan yang dipergunakan, yaitu kompas,meteran dan gps. Pelatih membahas apa kegunaan dan kelebihanmasing-masing alat itu. Ia juga memperkenalkan peta dasar sertaapa perbedaannya dengan peta yang akan dihasilkan nanti;

(3) memperkenalkan teknik pemetaan yang dilakukan di perairan lautuntuk pengambilan data ekosistem pesisir, yang meliputi data gosongdan pengamatan terumbu karang di tubiran. Khusus untuk melihatkeberadaan dan kondisi terumbu karang di dalam laut dipakai teknik

156

Menuju Demokratisasi Pemetaan

manta tow, seorang surveyor berenang di atas terumbu pada jalur yangditentukan.

(4) menjelaskan bagaimana penggunaan masing-masing alat yang akandipergunakan;

(5) membagi tugas di antara para peserta latih yang akan melakukansurvei siapa yang mengambil titik koordinat dengan GPS, mengukurdengan meteran, mencatat, dan membuka jalur.

- Praktek adalah kegiatan yang memberi kesempatan seluruh pesertalatih untuk mempraktekkan apa yang sudah diuraikan dan didiskusikansupaya mereka benar-benar paham. Umumnya setelah melakukanpraktek, peserta akan menemui beberapa kendala dan permasalahan.Pelatih/fasilitator senantiasa menemani dan memberikan penjelasanserta membantu dalam penggunaan alat dan praktek-praktek lainnya.Selama proses ini, beberapa yang menjadi pertanyaan adalah:

(1) Kesulitan menggunakan GPS, terutama dalam mengoperasikan alatserta memfungsikan menu-menu yang terdapat dalam GPS

(2) Kesulitan menggunakan kompas khususnya dalam membaca arahmata angin dan besarnya sudut bacaan.

Hasil lain dari proses pelatihan ini adalah peta sketsa. Peta ini akanmemandu tim lapangan untuk proses pengambilan data selanjutnya.

b. Pengambilan Data

Dalam tahap ini tim pemetaan bersama warga masyarakat lainnyamengambil data-data lapangan seperti titik koordinat batas-batas desadan sumberdaya yang ada di desa.

Lama pengambilan data adalah satu minggu, jumlah peserta kuranglebih 13 orang, yang terdiri dari dua orang perwakilan tiap dusunditambah tiga orang dari LSM luar Lampung dan tiga orang pendampingdari Mitra Bentala. Wakil tiap dusun adalah seorang pemuda danseorang tokoh masyarakat. Alasannya adalah tokoh masyarakatbiasanya lebih paham tentang sejarah keberadaan wilayah/dusun/desa, sedangkan para pemuda diharapkan dapat meneruskan segalasesuatu yang berhubungan dengan dusun atau desa kelak, di sampingmereka lebih gesit dan kuat secara fisik. Mereka semua bekerja dalamsebuah tim lapangan (tidak ada pengelompokan). Pengambilan datadilapangan dilakukan dalam tiga tahap yang meliputi: Pengambilandata gosong atau daerah tangkapan, pengambilan data ekosistem

157

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

pesisir, dan pengamatan terumbu karang di tubiran dengan teknikmanta tow. Dalam proses pengambilan data dilakukan sepenuhnyaoleh masyarakat berdasarkan peta sketsa yang telah mereka buatsaat pelatihan.

c. Kompilasi data

Kegiatan ini adalah pengumpulan semua data hasil survei lapanganoleh lima orang yang berlangsung selama sehari. Data yangdikompilasi meliputi titik-titik koordinat yang ada dalam GPS danhasil-hasil pencatatan selama proses pengambilan data lapangan.

d. Verifikasi Peta

Peta yang dibuat berdasarkan data lapangan disampaikan kepadamasyarakat untuk dikoreksi. Hal ini untuk mengantisipasi jika adakesalahan sehingga dapat diperbaiki sebelum peta disahkan danditanda tangani oleh perwakilan masyarakat. Hal-hal yang ditanyakanadalah letak wilayah desa beserta isinya seperti posisi jalan, wilayahtangkapan ikan, hutan mangrove, terumbu karang, gosong-gosong,dan pantai.

Verifikasi peta dilakukan selama sehari. Pesertanya 30-an orang yangterdiri dari aparat desa, kepala dusun, ketua RT masing-masing dusun,tokoh masyarakat, pemuka agama, pemuda dan para peserta pembuatpeta.

Ada beberapa hal yang diperbaiki setelah proses verifikasi, antaralain penamaan tempat, posisi kebun dan pemukiman, tempat-tempatfasilitas umum (masjid, jembatan), batas-batas wilayah dan lain-lain.

e. Pengesahan Peta

Jika peta yang dibuat tidak ada lagi kesalahan, maka peta sudah bisaditanda tangani pada kolom yang sudah disediakan. Pembubuhantandatangan dilakukan oleh tokoh masyarakat, tokoh pemuda, aparatdesa, para kepala dusun dan RT, dan wakil ibu-ibu yang seluruhnyaberjumlah 60 orang. Dalam acara ini para peserta juga membahaskesepakatan dan aturan penggunaan peta.

Kesepakatan mencakup syarat pemegang peta dan aturan dalampenggunaan peta. Syarat bagi pemegang peta harus dapat menyimpanrahasia tentang peta tersebut (terutama daerah-daerah yang potensialuntuk usaha) dan dapat memahami dan menjelaskan peta (baik

158

Menuju Demokratisasi Pemetaan

gambar maupun informasi yang ada di dalam peta). Aturan-aturandalam penggunaan peta harus berdasarkan musyawarah desa (baikuntuk kepentingan masyarakat Desa Pulau Pahawang maupun pihak-pihak dari luar yang memakai/menggunakan peta).

Tahap Paska Pembuatan Peta

Peta yang dihasilkan disosialisasikan kepada masyarakat setempat dan kepadamasyarakat yang lebih luas yaitu masyarakat di luar Desa Pulau Pahawang,unsur pemerintahan seperti Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampungdan pihak keamanan (TNI Angkatan Laut), serta pihak-pihak lain yangberkepentingan seperti nelayan-nelayan tradisional di Teluk Lampung dan PTHikari. Sosialisasi ini terutama berkaitan dengan pengakuan atas hak wilayahtangkap nelayan tradisional.

a. Sosialisasi Keseluruh Masyarakat Desa Pulau Pahawang

Peta yang sudah ada disosialisasikan kepada seluruh masyrakat yangada di Desa Pulau Pahawang dimaksudkan agar masyarakat mengetahuikeberadaan peta dan kegunaannnya.

b. Sosialisasi Kepada Masyarakat yang Lebih Luas

Kepada Masyarakat di Luar Desa Pulau Pahawang

Pertemuan nelayan se-Teluk Lampung dilakukan di Desa Pulau Pahawanguntuk mensosialisasikan hasil pemetaan wilayah sumberdaya alam yangada di desa tersebut agar diperoleh kesepakatan bersama mengenaiwilayah tangkap nelayan tradisional yang ada dalam wilayah desa.

Kepada Unsur Pemerintahan

Pertemuan dengan Menteri Kelautan dan Perikanan (saat itu SarwonoKusumaatmaja) dalam rangka sosialisasi hasil pemetaan dan sebagaidasar untuk memperjuangkan hak nelayan tradisional

Kepada Pihak-pihak yang Berkepentingan Lainnya

Bentuk lain dari kegiatan sosialisasi PP adalah dengan mengikutipameran, festival Krakatau di Lampung, menjadi peserta perwakilan dariNGO dalam pameran Bakosurtanal di Jakarta. Tujuan sosialisasi bentukini adalah agar peta yang dibuat dapat membantu masyarakat untukmemperjuangkan hak nelayan tradisional.

159

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

PP Sebagai Alat Untuk Membuka Sudut Pandang TerhadapPermasalahan Masyarakat

Laut bagi masyarakat Desa Pulau Pahawang adalah ruang bersama, wilayahyang dihaki secara bersama-sama karena pada prinsipnya tidak ada satu or-ang pun yang memiliki. Sehingga siapa saja berhak untuk mengambil ataumemanfaatkannya. Pada akhirnya tidak ada upaya yang dilakukan masyarakatuntuk mencegah setiap bentuk perusakan terhadap sumberdaya yang ada.Apalagi kekompakan masyarakat untuk melarang dan memintapertanggungjawaban jika terjadi perusakan di wilayahnya kurang. Pemahamanmasyarakat tentang arti penting keberadaan sumberdaya alam masih sangatkurang, apalagi rasa kepedulian dan memiliki. Adapun masyarakat yangmemahami pentingnya sumber daya alam pesisir laut tidak mampu mencegahdan merasa bukan menjadi tanggung jawabnya. Bahkan pemerintah yangberwenang pun tidak pernah memberikan arahan atau sosialiasi tentangmanfaat sumberdaya alam, aturan tentang trawl dan penggunaan bahan peledak,apalagi untuk mengamankan perairan laut Desa Pulau Pahawang dari ancamanrusaknya sumberdaya kepada masyarakat desa

Pada akhirnya tidak ada upaya yang dilakukan masyarakat untuk mencegahsetiap bentuk perusakan. Hal tersebut dapat dilihat dengan sering beroperasinyajaring trawl di sekitar wilayah perairan Pulau Pahawang, maraknya penggunaanbahan peledak/bom dan penggunaan potasium, serta pengambilan kayu bakausecara berlebihan di kawasan hutan mangrove untuk bahan bangunan dan untukkebutuhan arang. Pengambilan cacing yang kemudian merusak akar pohonbakau juga merupakan kegiatan rutin yang biasa mereka temukan. Hilangnyaalat tangkap seperti bubu, pancing rawe, jaring rampus yang dipasang olehnelayan tradisional karena tertarik trawl, atau rusaknya rumpon milik nelayanPulau Pahawang dianggap sebagai pelanggaran biasa yang akan selesaipermasalahannya jika sudah ada ganti rugi. Terumbu karang yang sudah matidiambil untuk keperluan pembuatan rumah dan pondasi bangunan dianggaptidak bermasalah karena dianggap masyarakat tidak memiliki fungsi ekologis.

Akhirnya melalui kegiatan PP oleh Mitra Bentala sudut pandang atau pola pikiryang ada pada masyarakat desa Pulau Pahawang diharapkan dapat berubah.PP yang dilakukan menjadi media untuk pembelajaran bagi masyarakat untukmengenal, menjaga dan bahkan mengelola sumberdaya yang ada. Rasa memilikidiharapkan tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Pada akhirnyapermasalahan yang ada dapat mereka selesaikan sendiri.

Pendampingan dan proses pemetaan yang dilakukan oleh Mitra Bentala mulaidari proses persiapan hingga pembuatan peta menjadi kunci berubahnya sudutpandang masyarakat. Masyarakat mendapat visualisasi atau gambaran tentang

160

Menuju Demokratisasi Pemetaan

sumberdaya alam yang menjadi hak mereka dan merupakan kekayaan alamyang mereka miliki dan patut mereka lindungi.

Keterlibatan semua kelompok masyarakat yang ada di Desa Pulau Pahawangdalam mendukung kegiatan pemetaan memperkuat keyakinan akan hak yangmereka miliki. Bagian-bagian masyarakat seperti aparat dusun (ketua Dusun,ketua rukun tetangga), tokoh agama, tokoh masyarakat, kelompok pemuda,kelompok nelayan dan aparat pemerintahan desa memberi dukungan yang besardalam proses sehingga memperkuat rasa memiliki.

Peta yang dihasilkan menjadi bahan diskusi bagi masyarakat dalammenumbuhkan kesadaran untuk menjaga sumber daya alam di sekitar merekadan untuk memahami manfaat dan dampak buruknya. Penggunaan bahanpeledak dan potasium berkurang. Masyarakat mulai berani mengusir trawl danmenindak pelaku penangkapan ikan yang di wilayah tangkap nelayan tradisional.Mereka tidak lagi mengambil karang, melakukan tebang pilih kayu bakau danmembentuk daerah perlindungan mangrove. Mereka pun sudah maumenyampaikan permaslahan pada pihak-pihak terkait seperti Dinas Kelauatan,TNI AL, polisi perairan (Airud), dan pemerintah Kecamatan Punduh Pedada.

PP Sebagai Alat Pengorganisasian Untuk Melindungi Dan Mengelola

SDA

PP yang dilakukan menghasilkan informasi sumberdaya yang dimiliki oleh DesaPulau Pahawang dan memberikan gambaran besarnya permasalahan yangada, maka yang dilakukan adalah dengan menjaga dan melindungi sumberdayayang ada dengan melibatkan masyarakat setempat. Salah satu caranya denganmengorganisir masyarakat melalui kelompok-kelompok. Pembentukan kelompokberdasarkan pada isu yang berkembang. Untuk mengamankan keberadaan ikandan penyelamatan ekosistem laut (terumbu karang) dibentuklah kelompokrumpon. Kelompok nelayan dibuat untuk menjaga sumberdaya ikan dan perairanPahawang. Untuk menjaga dan mengelola kawasan hutan mangrove dibentuklahBadan Pengelola Daerah Perlindungan Mangrove (BPDPM). Pengorganisasianini bertujuan untuk membangun kesadaran masyarakat akan pentingnyasumberdaya yang ada.

Melalui Surat Keputusan Nomor 04/007/KD-BPDPM/11.2/2006 Kepala Desa PulauPahawang mensahkan pembentukan Badan Pengelola Daerah PerlindunganMangrove (BPDPM) dengan Bapak M. Syahril Karim sebagai ketua. Sebagaiorganisasi desa yang bersifat otonom BPDPM berfungsi melakukan pengawasanterhadap hutan mangrove yang ada di Desa Pulau Pahwang. Kerja-kerjaorganisasi ini meliputi perencanaan dan penyusunan program kerja, membuataturan-aturan dalam perlindungan mangrove, pelatihan dan pendidikan,

161

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

pembinaan dan melakukan pengawasan terhadap ancaman kelestarian dankerusakan kawasan hutan mangrove.

Sebagai organisasi yang diberikan otonomi untuk mengelola hutan mangroveBPDPM memiliki empat buah divisi dalam struktur organisasinya. Masing-masing divisi dan unsur di dalam struktur organisasi tersebut adalah sebagaiberikut:

PELINDUNG

KEPALA DESA PULAUPAHAWANG

KETUA

B P D P M

STRUKTUR ORGANISASIBADAN PENGELOLA DAERAH PERLINDUNGAN MANGROVE (BPDPM)

DESA PULAU PAHAWANG

DIVISI IADMINISTRASI &

KEUANGAN

DIVISI II

PENGELOLAAN

DIVISI IIIHUBUNGAN

MASYARAKAT

DIVISI IV

PENGAWASAN

1) Pelindung adalah yang berhak menerima segala pelaporan kerja dari BPDPM,merupakan pelindung tertinggi dalam organisasi dan bertanggungjawab ataskeberhasilan organisasi.

2) Ketua adalah koordinator tertinggi kelembagaan BPDPM yang tugasnyamelakukan koordinasi dalam organisasi.

3) Divisi I (administrasi dan Keuangan) bertugas mengelola keuangan,menangani surat menyurat, inventarisasi alat-alat (alat tulis kantor danbarang lainnya), serta melakukan inventarisasi dokumen-dokumen lembaga

4) Divisi II (Pengelolaan), fungsinya melakukan perencanaan dan pelaksanaanprogram kerja organisasi dan menetapkan aturan-aturan daerahperlindungan mangrove.

5) Divisi III (Hubungan Masyarakat) fungsinya melakukan pembinaan padamasyarakat dan melakukan pelatihan dan pendidikan

162

Menuju Demokratisasi Pemetaan

6) Divisi IV (Pengawasan) dengan fungsinya melakukan pengawasan terhadapdaerah perlindungan mangrove, mecegah terjadinya kerusakan daerahperlindungan mangrove dan menjaga kelestarian daerah perlindungan man-grove

PP Sebagai Alat Negosiasi Dan Penyelesaian Konflik

Peta yang dihasilkan dari proses PP digunakan sebagai bahan untukmemaparkan permasalahan kepada pihak-pihak yang berkepentingan terhadapsumberdaya alam pesisir laut di Desa Pahawang. Peta yang dihasilkan olehmasyarakat digunakan sebagai alat untuk mempertahankan dan menjagawilayah mereka. Peta pun disosialisasikan kepada publik yang lebih luas untukmendapatkan dukungan serta menjadi faktor pendorong bagi kelompok-kelompok yang melakukan advokasi di tingkat nasional dan internasional.

Peta juga berdampak pada pengurangan jumlah dan tingkat konflik pemanfatansumberdaya alam pesisir laut. Perusahaan yang mengkapling wilayah laut mulaimenurunkan tekanannya dengan memperbolehkan nelayan mencari ikan diwilayah gosong-gosong tempat nelayan mencari ikan. Masyarakat sering kalimelarang kapal trawl yang beroperasi dan bahkan mengusirnya dari perairanDesa Pulau Pahawang.

Dari upaya-upaya yang sudah dilakukan tersebut beberapa keberhasilan yangdicapai yaitu:

- Adanya kesepakatan untuk mengakui kawasan tangkap nelayan tradisionaldi Teluk Lampung yang dituangkan dalam sebuah dokumen yangditandatangai semua pihak yang hadir dalam pertemuan antar stakholderpada tahun 2000. Isi kesepakatan tersebut antara lain laranganpengoperasian Trawl di Teluk Lampung, dan khususnya di perairan PulauPahawang dan sekitarnya, serta larangan menangkap ikan dengan pembomandan potasium sianida. Semua kesepakatan tersebut sebenarnya telahtercantum pada banyak peraturan yang dibuat pemerintah sendiri, namunpelaksanaannya tidak efektif.

- Peta sangat efektif untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi,khususnya permasalahan yang melibatkan pihak-pihak dari luar dalampemanfaatan sumberdaya perikanan maupun sumberdaya laut di Desa PulauPahawang. Contohnya, dengan menunjukan hasil kesepakatan bersama danpeta yang dibuat masyarakat Pahawang merampas jaring trawl dan paraawak kapal pun mengakui kesalahan mereka, padahal mereka mendapatperlindungan dari anggota TNI AL. Selain alat tangkap mereka dirampas,mereka juga harus membayar denda berupa uang.

163

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

- Masyarakat mampu ’mengusir’ atau melakukan pencegahan terhadapberoperasinya jaring trawl di sekitar perairan Desa Pulau Pahawang.Terhadap setiap kapal trawl yang beroperasi di perairan Desa PulauPahawang masyarakat beramai-ramai mengusir trawl. Masyarakat pernahmenyandera kapal ikan yang berasal dari Kepulauan Seribu yang beroperasidi perairan Desa Pulau Pahawang.

- Masyarakat juga berhasil mendorong pemerintah desa untuk mengeluarkanperaturan desa tentang perlindungan kawasan Hutan Mangrove (No. 02/007/Perdes-phm/XI/2006). Peraturan ini memuat arti penting kawasan hutanmangrove sebagai sabuk hijau pada daerah pantai dan pulau-pulau kecilguna menghindari terjadinya pengikisan pantai, tempat perkembangan danperlindungan berbagai biota dan satwa serta semakin besarnya kerusakanyang dapat mengancam keberadaan hutan mangrove.

- Pimpinan perusahaan dan pihak keamanan perusahaan budidaya kerangmutiara memperbolehkan nelayan tradisional untuk mencari ikan di dekatareal budidaya berdasarkan hasil lobi masyarakat dalam pertemuan/dia-log dengan pihak perusahaan dengan memperlihatkan peta wilayah tangkapnelayan tradisional.

KESIMPULAN

Sumberdaya alam yang komplit di Desa Pulau Pahawang menjadikan daya tariktersendiri bagi pihak manapun, tidak hanya pemanfaatan untuk kebutuhansehari-hari tetapi juga pemanfaatan dalam skala besar yang memungkinkanterjadinya kerusakan sumberdaya alam laut di desa Pulau Pahawang. Sementaramasyarakat di Desa Pulau Pahawang memiliki pandangan sendiri soalwilayahnya, termasuk wilayah lautnya, karena mereka tidak merasa sebagaipemilik. Mereka tidak berpikir untuk melakukan pelarangan bagi pihak manapunyang memanfaatkan secara berlebihan hingga terjadi kerusakan. Padahal merekasangat menggantungkan hidupnya pada hasil sumberdaya pesisir dan laut.Akhirnya mereka menyadari bahwa sumberdaya laut dan pesisir mereka semakinlama semakin punah karena pemanfaatan yang berlebihan.

Masalah ini mendapat perhatian dari pihak-pihak yang pro terhadapkelangsungan sumberdaya alam (khususnya pesisir dan laut), yaitu MitraBentala. Lembaga ini kemudian diminta bantuannya untuk memberikan arahanguna memecahkan permasalahan yang ada di Desa Pulau Pahawang. Diskusidemi diskusi dilangsungkan hingga kemudian disepakati untuk melakukanpemetaan secara partisipatif oleh seluruh masyarakat dengan bantuan teknisdari Mitra Bentala. Kesepakatan demi kesepakatan dicapai mulai dari persiapan

164

Menuju Demokratisasi Pemetaan

pemetaan sampai pada bagaimana masyarakat selanjutnya memanfaatkan petauntuk tujuan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut diDesa Pulau Pahawang.

Selama prosesnya, yang sesungguhnya hingga sekarang masih berlangsung,upaya-upaya untuk perlindungan dan pengelolaan berjalan sesuai dengan apayang diinginkan oleh masyarakat di Desa Pulau Pahawang. Sandaran utamanyaadalah bagaimana agar pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut di DesaPulau Pahawang tidak mengakibatkan kerusakan yang bisa berdampak padahilangnya sumberdaya yang menjadi tumpuan penopang hidup masyarakat DesaPulau Pahawang. Hal ini ditandai dengan pembentukan kelembagaan khususuntuk pengelolaan wilayah pesisir dan lautnya yaitu Badan Pengelola DaerahPerlindungan Mangrove (BPDPM) melalui Surat Keputusan Kepala Desa PulauPahawang Nomor 04/007/KD-BPDPM/11.2/2006 tahun 2006, serta pengesahanperaturan desa yang mengatur tentang pengelolaan Kawasan Hutan Mangrove(diterbitkannya Perdes No. 02/007/Perdes-phm/XI/2006 tentang PerlindunganHutan Mangrove). Hasil lainnya adalah masyarakat mampu melakukan negosiasidengan pihak-pihak yang bertentangan – khususnya perusahaan yang melarangnelayan untuk mengambil hasil laut di kawasan yang sudah dikuasainya –sehingga kemudian nelayan bisa kembali menangkap ikan di wilayah tersebut.

Diakui bahwa proses terpenting dalam PP yang dilakukan di Desa PulauPahawang adalah perubahan cara berpikir masyarakat tentang pemanfaatansumberdaya alam agar tidak rusak dan habis. Masyarakat yang semulaberpandangan bahwa sumberdaya laut bukanlah milik mereka akhirnyamenyadari bahwa sebenarnya mereka telah membiarkan proses perusakankarena tidak melakukan kontrol ketika ada pihak-pihak yang memanfaatkansecara berlebihan. Mereka tidak terhindar dari kerugian yang mereka rasakanlangsung ketika sumberdaya tersebut semakin lama semakin habis. Perubahansudut pandang tersebut menyebabkan masyarakat berupaya untukmengorganisir diri dengan membentuk kelompok-kelompok yang kemudiandigunakan sebagai alat untuk negosiasi dan menyelesaikan konflik dengan pihak-pihak dari luar desa Pahawang dan dinas terkait. Keberadaan sumberdaya alam,terutama yang ada di pesisir dan laut, harus dijaga dan dilindungi dari berbagaimacam ancaman. Dan yang lebih penting adalah memahami akan hak atassumberdaya alam yang mereka miliki.

165