07-kebutuhan lahan untuk buah tropika edit
DESCRIPTION
KebijakanTRANSCRIPT
-
125
KEBUTUHAN LAHAN KHUSUS UNTUK KECUKUPAN PRODUKSI BUAH-BUAHAN TROPIS
S. Purnomo, A. Supriyanto, dan K. Boga Andri
ABSTRAK
Sentra produksi buah-buahan di Indonesia saat ini belum merupakan hamparan tetapi agregat kantong-kantong produksi yang mengumpul di suatu wilayah dengan agroklimat yang sama, belum dikelola secara optimal, sebagian besar berumur puluhan tahun, sehingga produktivitas dan mutu buah rendah, beragam, dan tidak kompetitif. Pengembangan agribisnis dalam satu dekade terakhir berjalan sangat lambat dengan alasan belum ada lahan khusus untuk kawasan pengembangan agribisnis buah-buahan. Untuk memenuhi standar minimal kebutuhan buah 75 kg/kapita/tahun (FAO), maka dalam waktu 40 tahun ke depan (2010-2050) Indonesia perlu memproduksi 41,5 juta ton buah-buahan, termasuk 8 juta ton buah bermutu prima untuk pasar khusus dan ekspor. Untuk itu, diperlukan lahan baru seluas 1,33 juta ha sehingga dengan luas areal yang ada sekarang sekitar 0,77 juta ha, total luas panen buah-buahan akan mencapai 2,10 juta ha. Tambahan perluasan areal baru tersebut dapat disediakan secara bertahap dan setiap tahun diperlukan penambahan areal rata-rata 33.250 ha. Ketersediaan lahan khusus untuk pengembangan agribisnis buah-buahan harus diikuti oleh ketersediaan benih atau bibit bermutu, penerapan inovasi teknologi budi daya maju yang diformulasikan dalam SOP, kemudian dibangun bangsal pengemasan dan penyimpanan, yang dilengkapi dengan kios promosi buah-buahan. Jika perlu dibangun pabrik pengolahan produk berbahan baku buah-buahan. Penguatan kelembagaan petani harus terus ditingkatkan menuju kemandirian Gapoktan maupun asosiasi.
PENDAHULUAN
Rencana tata ruang lahan pertanian di Indonesia belum mengalokasikan
areal yang diperuntukkan bagi usaha produksi buah-buahan. Lahan pertanian
untuk produksi buah-buahan sebagian besar bersifat multifungsi berupa tegalan,
ladang, kebun campuran, pekarangan, atau batas lahan, lahan di pinggiran jalan,
batas hutan, dan pematang. Masih sangat sedikit usaha produksi buah-buahan
yang berupa kebun tanaman monokultur atau berbentuk orchard. Beberapa
kebun buah-buahan komersial skala ekonomi terdapat di beberapa tempat,
seperti pisang dan nenas di Lampung, jeruk di Kalimantan Barat, Sumatera Utara
dan Jawa Barat, serta kebun mangga di Jawa Timur dan Jawa Barat. Dari kebun-
kebun tersebut dihasilkan buah-buahan berkualitas prima untuk konsumen dalam
-
S. Purnomo et al
126
negeri dan untuk ekspor. Namun produksinya relatif kecil sehingga belum mampu
memenuhi kebutuhan buah nasional.
Berdasarkan pengalaman, usaha produksi buah-buahan oleh petani yang
bukan berupa orchard sukar diandalkan untuk menghasilkan buah dengan mutu
tinggi yang memenuhi kriteria standar mutu buah internasional. Kondisi ini yang
menjadi penyebab produk buah dalam negeri sulit memasuki pasar internasional
dan kalah bersaing dengan buah impor di super market. Petani buah belum
menyadari bahwa aspek kualitas buah lebih penting dibandingkan kuantitas. Bagi
sebagian besar petani, buah diposisikan sebagai tanaman penyerta dalam
usahatani, belum diposisikan sebagai tanaman usaha utama. Tanaman buah
semusim seperti melon, semangka, dan pepaya telah diposisikan sebagai
tanaman tunai utama (cash-crop) tetapi skala usaha petani pada umumnya masih
sempit.
Persaingan buah-buahan nasional tidak terbatas pada batas negara
ASEAN/AFTA, tetapi juga di pasar internasional. Sebagai contoh, produksi jeruk
nasional berhadapan dengan jeruk dari USA, RCC, Australia, Argentina, Afrika
Selatan, dan Pakistan. Demikian juga mangga, Indonesia bersaing dengan
Thailand, Filipina, India, Meksiko, Brazil, dan Australia. Pamelo (jeruk besar)
nasional bersaing dengan Thailand, China, dan Filippina. Era pasar global telah
menyatukan pasar buah ke dalam arena persaingan bebas. Perdagangan buah
tropis di tingkat dunia terus mengalami peningkatan (Morey, 2007). Pada tahun
2004, buah tropika utama yang diimpor di tingkat dunia adalah pisang (12,4 juta
ton), nenas (1,6 juta ton), mangga (732 ribu ton), dan pepaya (208 ribu ton).
Negara terbesar yang mengimpor buah tropis dalam bentuk segar adalah
Amerika Serikat, diikuti oleh negara-negara Eropa. Volume ekspor mangga,
manggis, dan jambu biji di pasar dunia mencapai 1,18 juta ton dalam tahun 2005.
Indonesia berkontribusi sebesar 1.760 ton atau 0,15% dari total ekspor dunia,
sedangkan impor Indonesia hanya 540 ton atau 0,06 % (FAO, 2007).
Produksi buah-buahan nasional sebenarnya mengalami peningkatan. Pada
tahun 2008 produksi buah Indonesia mencapai 17,12 juta ton atau naik 4,18%
dibandingkan dengan produksi tahun sebelumnya (Ditjen Hortikultura, 2009).
Konsumsi buah masyarakat Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan
masyarakat Eropa dan Amerika Serikat yang mencapai 90-100 kg/kapita/tahun.
Konsumsi buah masyarakat Indonesia hanya 34 kg/kapita/tahun, lebih rendah
dari anjuran FAO sebesar 75 kg/kapita/tahun. Untuk itu, pada tahun 2010
diperlukan upaya peningkatan produksi buah-buahan sebesar hampir dua kali
-
Kebutuhan Lahan Khusus untuk Kecukupan Produksi Buah-Buahan Tropis
127
lipat dari produksi buah saat ini, yaitu 24,15 juta ton guna mencapai tingkat
konsumsi rata-rata yang dianjurkan FAO.
Untuk mengejar ketertinggalan agribisnis buah-buahan, Indonesia perlu
membangun orchard pada lahan yang secara khusus diperuntukkan bagi usaha
produksi buah, seperti halnya di negara-negara lain. Makalah ini membahas
kebutuhan lahan untuk memproduksi buah-buahan menuju swasembada buah,
dan mampu memasok pasar buah internasional hingga tahun 2050.
SISTEM PRODUKSI BUAH-BUAHAN SAAT INI
Di Indonesia, buah-buahan diusahakan oleh petani kecil dengan ciri-ciri
sebagai berikut: (1) usaha produksi belum merupakan hamparan, tetapi berupa
kantong-kantong produksi di suatu kawasan agroklimat tertentu yang terdiri atas
kebun campuran (karang kitri), skala kecil, di sekitar rumah atau pekarangan dan
tidak dikelola secara intensif; (2) benih/bibit yang ditanam berkualitas rendah,
sering berasal dari biji dan varietas yang ditanam sangat beragam; (3) tanaman
tidak dikelola secara optimal sehingga produktivitasnya rendah dan mutu buah
tidak memenuhi standar; (4) penanganan panen dan pascapanen tidak tepat,
buah dipanen sebelum waktunya, banyak buah memar, rusak, dan kulit buah
kurang bersih; (5) penjualan hasil panen oleh petani sering dilakukan secara ijon,
tebasan atau pohon digadaikan pada saat tanaman belum berbuah. Untuk
mengurangi risiko kehilangan panen buah, penebas atau pengijon biasanya
melakukan panen buah sekaligus, sehingga sering dijumpai buah yang masak
bercampur dengan buah muda.
Mengacu pada sistem agribisnis buah di negara-negara produsen utama,
untuk dapat memasuki pasar buah ekspor yang bersifat kompetitif diperlukan hal-
hal berikut: (1) usaha produksi buah harus dalam skala luas, minimal 5 ha,
bergantung pada jenis komoditasnya, pada lahan yang secara agroklimat sesuai
dan dilengkapi dengan sarana-prasarana produksi yang memadai; (2) hanya
menanam varietas unggul yang mutu buahnya dikehendaki pasar; (3)
menerapkan managemen produksi dengan menerapkan SOP (Standard
Operating Procedure, Standar Operasional Prosedur) dan GAP (Good Agriculture
Practices) secara konsisten; (4) menerapkan secara optimal proses pascapanen
primer meliputi sortasi, pencucian, pelapisan lilin, pengkelasan (grading),
pengemasan, pengepakan, dan transportasi terintergrasi yang merupakan
kelanjutan dari kegiatan produksi; (5) mengembangkan manajemen rantai pasok
(supply chain management) yang melibatkan seluruh pelaku agribisnis komoditas
buah yang diusahakan; (6) meningkatkan kemandirian Gapoktan dan atau
-
S. Purnomo et al
128
asosiasi; (7) promosi, dan (8) kebijakan yang mendukung pengembangan
agribisnis buah-buahan nasional. Petani Indonesia belum mampu memenuhi
kriteria sistem produksi dan distribusi agribisnis tersebut, sehingga buah produksi
dalam negeri belum mampu pula bersaing dengan buah produksi negara lain.
Pengembangan agribisnis buah-buahan nasional dapat diupayakan
dengan membentuk kebun buah skala komersial dengan menerapkan teknologi
budi daya baku. Hal ini dimungkinkan apabila tersedia lahan khusus untuk
memproduksi buah dan dijamin tidak diperuntukkan untuk kegiatan lainnya.
KEBUTUHAN PRODUKSI BUAH-BUAHAN UTAMA MENCUKUPI PERMINTAAN PENDUDUK INDONESIA 2010-2050
Untuk mencapai tingkat konsumsi buah 75 kg/kapita/tahun, pada tahun
2010 diperlukan penambahan produksi buah-buahan sekitar 7 juta ton hingga
mencapai 24,15 juta ton. Buah-buahan yang prospektif pengembangan produksi
dan peluang pasarnya terbuka adalah jeruk, pisang, pepaya, mangga, durian,
manggis, apokat, nenas, melon, dan semangka yang masing-masing menuntut
kondisi agroklimat tertentu.
Penanganan panen dan pascapanen yang masih sederhana berakibat
tingkat kerusakan buah masih tinggi, berkisar antara 20-30%, bergantung pada
jenis buah. Prasarana jalan yang kurang baik, sistem transportasi curah secara
terbuka dan jauhnya jarak lokasi produksi dengan pasar turut menambah besar
tingkat kerusakan buah. Pengemasan, transportasi, dan lokasi pemasaran buah
eceran kepada konsumen di ruang terbuka berperan nyata terhadap besarnya
tingkat kerusakan buah. Dengan masih tingginya tingkat kerusakan buah, maka
produksinya perlu ditingkat menjadi dua kali lipat kebutuhan aktual.
Pertambahan penduduk dari tahun 2010 sampai 2050 masih cukup tinggi,
yang dapat mencapai 300 jutaan orang, mengharuskan peningkatan produksi
buah dari 24,15 juta ton pada 2010 menjadi 41,48 juta ton pada tahun 2050.
Dengan asumsi produksi buah bermutu prima 20% dari total produksi dan layak
ekspor, tingkat kerusakan hasil akibat penanganan panen dan pascapanen
diprediksi masih sekitar 20%, sehingga target produksi untuk mencapai
swasembada dan ekspor buah pada tahun 2050 menjadi 41,48 juta ton.
Produktivitas buah bergantung pada jenis komoditasnya, berkisar antara
15-40 t/ha. Dengan menggunakan angka median produktivitas 25 t/ha, diperlukan
lahan seluas 1 juta ha (netto) pada tahun 2010, dan 1,7 juta ha (netto) pada
tahun 2050. Luasan usaha produksi buah nasional saat ini baru mencapai 0,77
-
Kebutuhan Lahan Khusus untuk Kecukupan Produksi Buah-Buahan Tropis
129
juta ha, sehingga diperlukan penyediaan lahan seluas 0,23 juta ha pada tahun
2010, dan tambahan kumulatif 1 juta ha lahan baru hingga tahun 2050. Disadari
bahwa kebutuhan lahan untuk produksi buah cukup besar dan kurang akurat,
tetapi yang terpenting adalah perlunya penyediaan lahan khusus dalam tata
ruang lahan yang diperuntukkan bagi produksi buah. Penyesuaian bisa dilakukan
sesuai dengan dinamika perkembangan agribisnis buah di masa depan.
HAMBATAN DAN MASALAH DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI DAN KUALITAS BUAH
Berbagai tantangan dalam peningkatan produksi dan kualitas buah tropika
Indonesia yang sering dijumpai di lapangan antara lain adalah:
Skala dan Manajemen Usaha Kecil
Sebagian besar usaha komoditas buah berskala kecil, belum sepenuhnya
menerapkan teknologi maju sehingga cenderung kurang efisien dan produk yang
dihasilkan kurang mempunyai daya saing terhadap produk impor. Manajemen
usaha di tingkat petani umumnya belum diterapkan secara profesional. Petani
hanya terbatas sebagai produsen bahan segar dan belum mampu memadukan
produk yang dihasilkan dengan pasar atau konsumen. Manajemen usaha yang
lemah dan skala usaha yang kecil diperburuk lagi oleh kurangnya prasarana
usaha, seperti jalan usahatani, pengairan, alat dan mesin pertanian, peralatan
panen, dan pascapanen yang kurang memadai menyebabkan efisiensi usaha
rendah, produktivitas dan mutu produk rendah.
Teknologi Maju Belum Diterapkan
Kualitas buah ditentukan sejak dari pemilihan benih/bibit, penerapan
teknologi budidaya maju, hingga penerapan teknologi panen dan pascapanen
yang memadai. Agar teknologi maju dapat diterapkan oleh petani diperlukan
dukungan berupa ketersediaan benih/bibit unggul, paket teknologi yang tepat dan
sosialisasi yang juga tepat sasaran. Produk buah nasional umumnya belum
memenuhi standar mutu karena sistem usahatani belum menerapkan teknologi
maju, keterbatasan ketersediaan benih/bibit varietas unggul berlabel, penerapan
teknologi budi daya belum optimal, penanganan panen dan pascapanen belum
memadai. Di sisi lain, penyebarluasan dan pembinaan penerapan teknologi
anjuran dalam skala luas menjadi sulit, karena skala usaha yang sempit,
lokasinya terpencar, Gapoktan atau asosiasi belum mandiri.
-
S. Purnomo et al
130
Rantai Pemasaran Masih Panjang
Sistem pemasaran buah sampai saat ini belum sepenuhnya berpihak
kepada petani produsen. Rantai pemasarn buah dari produsen hingga konsumen
terlalu panjang dan tidak transparan, sehingga terjadi perbedaan harga yang
sangat besar antara harga yang diterima produsen dengan yang dibayarkan
konsumen.
Produk buah bersifat musiman yang menyebabkan pasokan dan harganya
berfluktuasi yang berdampak terhadap kurangnya jaminan pemasaran.
Lemahnya kelembagaan petani mengakibatkan akses mereka ke permodalan
dan informasi pasar tidak mudah sehingga posisi tawarnya menjadi rendah dan
harga yang diterima petani juga rendah.
Kebijakan Pemerintah Belum Mendukung
Kebijakan di berbagai sektor belum sepenuhnya mendukung
pengembangan agribisnis buah. Pemberian ijin impor tanpa batas dari aspek
jenis buah, persyaratan mutu, jumlah, waktu, dan tempat masuk seakan
mematikan petani produsen buah Indonesia. Buah dari pasar internasional
sebagian berupa carry over (sisa penjualan) musim sebelumnya, sehingga dijual
dengan harga murah. Pengenaan tarif PPN sebesar 10% dibebankan kepada
petani mengakibatkan keuntungan yang mereka peroleh bertambah kecil.
Kebijakan perkreditan untuk membangun usaha agribisnis buah belum didukung
oleh ketersediaan skim kredit khusus. Kredit yang tersedia adalah kredit
komersial dengan agunan dan prosedur yang menyulitkan petani dengan bunga
yang tinggi.
Penerapan retribusi, pajak, dan pungutan lainnya oleh Pemerintah Daerah
merupakan hambatan bagi iklim investasi usaha agribisnis buah. Pungutan pajak
dan restribusi dibebankan pada harga produk di tingkat petani dan pasar, yang
selanjutnya harus dibayar oleh konsumen. Kondisi ini menyebabkan harga buah
dalam negeri lebih mahal daripada buah impor. Minat berinvestasi di bidang
usaha buah masih rendah karena kebijakan dan regulasi yang kurang
menguntungkan dari sisi kemudahan memperoleh lahan, dukungan keamanan
usaha, besarnya bunga bank, dan sulitnya mendapatkan informasi prospek
pengembangan buah di Indonesia. Otonomi daerah diharapkan dapat membuka
peluang investasi pengembangan buah-buahan di Indonesia, walaupun
kenyataannya kebijakan pemerintah daerah belum mampu mendorong
tumbuhnya investasi di bidang perbuahan.
-
Kebutuhan Lahan Khusus untuk Kecukupan Produksi Buah-Buahan Tropis
131
Daya Beli Konsumen Masih Rendah
Konsumen sebagian besar berdaya beli rendah dan belum memberikan
apresiasi terhadap mutu buah yang tinggi, sehingga tidak kondusif bagi
penyediaan produk yang dikemas sesuai standar. Pemasaran buah di tempat
terbuka mengakibatkan menurunnya kesegaran dan mempercepat kerusakan
buah. Walaupun demikian, impor buah yang terus meningkat dapat
mengindikasikan bahwa ada segmen pasar tertentu yang menghendaki buah
berkualitas prima tetapi belum dapat dipenuhi oleh produsen dalam negeri.
Konsumen strata ini diprediksi terus meningkat dan turut menjadikan Indonesia
sebagai pasar potensial bagi produsen buah dunia.
KEBUTUHAN LAHAN UNTUK KECUKUPAN PRODUKSI BUAH-BUAHAN HINGGA TAHUN 2050
Pengembangan agribisnbis buah ke depan diarahkan untuk: (1) mencukupi
kebutuhan dalam negeri, (2) memenuhi bahan baku industri, (3) substitusi impor,
dan (4) mengisi peluang pasar ekspor. Apabila Indonesia ingin mengkespor buah
ke pasar dunia, maka buah harus diproduksi dari kebun yang menerapkan SOP
baku produksi buah. Kebun buah yang demikian harus berbentuk orchard, pada
lahan khusus yang diperuntukkan bagi produksi buah.
Dengan proyeksi kebutuhan buah untuk konsumsi domestik 41,5 juta ton
pada tahun 2050 termasuk perkiraan ekspor 20% atau 8,0 juta ton, maka untuk
memproduksi 41,5 juta ton buah diperlukan lahan seluas 2,0 juta ha. Luas panen
buah pada tahun 2008 sekitar 0,7 juta ha, sehingga sampai tahun 2050
diperlukan penyediaan lahan secara akumulatif seluas 1,3 juta ha (Table 1).
Lokasi lahan yang diperuntukkan khusus untuk pengembangan agribisnis buah
harus sesuai dengan tuntutan agroklimat komoditas yang akan ditanam dan unit
luasan untuk petani secara agregat membentuk hamparan skala ekonomi. Di
masing-masing provinsi telah tersedia peta kesesuaian lahan/agroekologi untuk
masing-masing komoditas buah, sehingga rencana alokasi lahan dapat
ditawarkan kepada pemerintah provinsi/kabupaten yang bersangkutan, hingga
mencapai jumlah luasan yang diinginkan.
-
S. Purnomo et al
132
Table 1. Kebutuhan produksi buah untuk konsumsi domestik dan ekspor (20%) serta keperluan penyediaan lahan baru.
Tahun Kebutuhan buah as produced (juta ton)
1) Keperluan penambahan
lahan akumulatif (ha) Total luas panen buah
(ha)2)
2010 24,15 32.500 802.500 2015 26,86 195.000 965.000 2020 28,93 357.500 1.127.500 2025 31,01 520.000 1.290.000 2030 33,08 682.500 1.452.000 2035 35,16 845.500 1.614.500 2040 37,33 1.007.500 1.777.000 2045 39,41 1.170.000 1.939.500 2050 41,48 1.330.000 2.102.000
1) Kebutuhan produksi buah guna mencukupi konsumsi buah 75 kg/kap/th, termasuk buah menjadi rusak dalam transportasi dan pemasaran +20%, ditambah buah untuk ekspor sekitar 20% dari total produksi nasional.
2) Termasuk luasan panen buah dari areal tradisional, seluas 770.000 ha pada tahun 2009 dan tahun berikutnya.
Pengusahaan agribisnis buah tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan
lahan usaha yang sesuai, tetapi juga oleh kewirausahaan, ketersediaan teknologi,
modal, prasarana dan sarana, serta insentif pasar. Ketersediaan informasi
peruntukan lahan yang sesuai menjadi prerequisite atau persyaratan dasar untuk
tumbuhnya agrisnis buah. Kementerian Pertanian belum membuat rencana tata
ruang lahan pertanian khusus untuk komoditas buah. Sentra produksi buah yang
ada saat ini umumnya terbentuk secara alamiah turun-temurun, berumur puluhan
tahun, dan bercampur dengan komoditas lain seperti tanaman pangan dan
bahkan perumahan. Pengembangan agribisnis buah modern memerlukan konsep
tata ruang peruntukan komoditas, seperti halnya perkebunan kelapa sawit, karet,
kopi, dan teh. Selama belum ada peruntukan lahan yang sesuai untuk
pengembangan agribisnis buah sangat sulit bagi Indonesia untuk ikut berperan
dalam perdagangan buah tropis di pasar internasional, kecuali pasar potensial.
Kebutuhan lahan baru untuk memproduksi tanaman buah seluas 1,33 juta
ha selama 40 tahun (2010-2050) dapat dibagi secara bertahap, rata-rata 33.250
ha per tahun. Program pengalokasian lahan bagi pengembangan kebun buah
dapat ditawarkan kepada pemerintah kabupaten/provinsi, di mana pemerintah
daerah menyediakan lahan dan pemerintah pusat menyediakan dana. Lahan
yang sudah dibuka ditawarkan kepada petani dengan skala usaha minimal 5 ha
per petani, dibeli secara kredit selama 10-20 tahun, seperti dalam skema kredit
pemilikan rumah (KPR). Apabila program demikian dapat berjalan, Indonesia
akan memiliki kebun buah-buahan yang dapat dikelola sesuai menurut SOP
budidaya baku. Hasil buah yang diperoleh dengan menerapkan SOP budidaya
-
Kebutuhan Lahan Khusus untuk Kecukupan Produksi Buah-Buahan Tropis
133
baku semestinya bermutu tinggi sesuai dengan persyaratan mutu buah untuk
super market dan ekpor.
Dengan membangun orchard, Indonesia dapat menghasilkan buah tropis
berkualitas tinggi. Di semua negara yang memproduksi dan mengekspor buah
memiliki kebun buah (orchard) yang dikelola menurut SOP. Fenomena serba
buah Bangkok yang selama ini melekat di masyarakat, pejabat, dan wakil rakyat
bisa terhapuskan jika pemerintah dan swasta benar-benar serius membangun
industri perbuahan nasional yang mampu mewarnai perdagangan buah
internasional. Petani Thailand dan petani buah di negara lain yang mampu
mengisi pasar buah internasional, memproduksi buah pada kebun buah
monokultur yang dikelola sesuai SOP dan bahkan menerapkan ketentuan GAP.
Dari uraian tersebut dapat dibuat skema atau tahapan pembangunan
agribisnis buah tropis untuk menyediakan produk bermutu bagi supermarket atau
ekspor sebagai berikut:
Gambar 1. Skema Tahapan Pembangunan Agribisnis Buah Tropika
Perlu dibentuk task-force perencanaan penyediaan lahan untuk produksi
buah-buahan, yang terdiri dari tim peneliti Balai Besar Penelitian Sumberdaya
Lahan, ahli budidaya buah, Direktorat Jendral Produksi Hortikultura/Direktorat
Buah guna menentukan lokasi lahan, luasan, jenis buah yang sesuai dan teknik
budidayanya. Keterlibatan Pemerintah Kabupaten dan Provinsi serta BPTP
setempat sangat membantu akurasi operasionalisasi tata ruang komoditas buah
tersebut. Perlu ditekankan, hendaknya lahan yang diperuntukan bagi
pengembangan produksi buah harus berupa lahan yang belum dimanfaatkan
secara permanen sebagai tegalan, sawah, perkebunan, perumahan atau fungsi
tetap lainnya, dan secara agroklimat sesuai untuk usaha buah tropis.
Penentuan peruntukan lahan bagi komoditas buah/ pewilayahan komoditas
Alokasi luasan lahan definitif untuk produksi buah
Petani buah terlatih @ 5 ha
Penerapan SOP/ GAP,
Pembimbingan
Ekspor, supermarket, hotel, pasar
Buah mutu standard terkemas baik
Packing house/ perusahaan/asosiasi pengekspor buah
Kebun buah (orchard) terkelola baik
Panen buah bermutu
-
S. Purnomo et al
134
WILAYAH PENGEMBANGAN
Penanaman buah tropika dapat dilakukan di semua provinsi di Indonesia.
Namun tanaman buah umumnya menunjukkan pertumbuhan, produktivitas, dan
kualitas optimal pada agroklimat spesifik. Sebagai contoh, tanaman mangga lebih
adaptif pada wilayah yang memiliki periode kering secara tegas selama 4-5
bulan. Tanaman jeruk lebih adaptif pada wilayah yang udaranya tidak terlalu
lembab dan memiliki periode kering, tetapi kadar air tanah berkisar antara 60-
80% kapasitas lapang. Tanaman pisang, rambutan, dan durian lebih adaptif pada
daerah dataran rendah beriklim basah, sedangkan melon dan semangka lebih
cocok pada wilayah beriklim kering. Peta Arahan Tata Ruang Zone Agroekologi
yang telah dibuat BPTP dapat dijadikan dasar pemilihan wilayah yang sesuai
untuk pengembangan buah-buahan. Permasalahan yang dihadapi adalah, lahan
yang secara karakteristik agroklimat sesuai untuk pengembangan produksi buah
tertentu, kenyataannya sering dimanfaatkan untuk wilayah produksi komoditas
pangan, perkebunan, atau fungsi lainnya.
Pemilihan wilayah pengembangan produksi buah pada areal baru yang
akan menjadi kebun buah permanen perlu mempersyaratkan hal-hal berikut: (1)
kondisi agroklimat sesuai/cukup sesuai untuk pengembangan tanaman buah
dengan kualitas bagus sampai sangat bagus; (2) tersedia sumber pengairan
untuk kebun buah; (3) tersedia prasarana jalan, listrik, dan komunikasi; (4) sesuai
dengan peruntukan tata ruang lahan; dan (5) harga tanah wajar, tidak mahal
seperti lahan untuk perumahan atau kawasan industri.
Wilayah pengembangan buah harus berupa lahan yang belum difungsikan
secara ekonomi seperti hutan sekunder, lahan belukar, padang alang-alang, dan
lahan rawa atau lahan gambut yang potensial untuk tanaman buah. Sebagai
contoh, wilayah potensial untuk pengembangan produksi pisang terdapat di
Kalimantan, Papua, Riau, NAD, Sumut; Sumsel, Bangka-Belitung, Sulsel,
Maluku, dan Maluku Utara. Wilayah potensial untuk pengembangan produksi
jeruk adalah Sumut, Jambi, Sumsel, Lampung, Jabar, Jateng, Jatim, Kalbar,
Kalsel, Kaltim, Kalteng, Sulsel, Maluku, NTB, dan NTT. Wilayah potensial
pengembangan mangga adalah Lampung, Jabar, Jateng, Jatim, Bali, NTB, NTT,
Sulsel, dan Sultra.
Jenis buah-buahan yang beradaptasi secara selektif pada agroekologi
spesifik antara lain durian, manggis, apokat, rambutan, dan duku diprioritaskan
pengembangannya di wilayah yang memiliki agroekologi spesifik yang sesuai,
sehingga diperoleh produktivitas dan kualitas buah yang optimal. Pengembangan
buah berkualitas di Indonesia memerlukan program dan fasilitasi oleh
-
Kebutuhan Lahan Khusus untuk Kecukupan Produksi Buah-Buahan Tropis
135
pemerintah, terutama dalam hal peruntukan dan alokasi lahan yang sesuai dan
pembangunan prasarana pendukung.
KESIMPULAN
1. Sistem produksi buah-buahan di Indonesia belum didukung oleh tata ruang
yang direncanakan sedemikian rupa. Untuk memperoleh produksi buah
dengan kuantitas dan kualitas optimal perlu mengintegrasikan teknik
budidaya sesuai SOP baku pada lahan yang khusus dialokasikan untuk
memproduksi buah-buahan. Dalam hal ini perlu secepatnya diformulasikan
program alokasi lahan khusus untuk pengembangan tanaman buah-buahan
ada jaminan untuk tidak digunakan bagi peruntukan lainnya.
2. Dalam waktu 40 tahun ke depan (2010-2050), untuk memproduksi 41,5 juta
ton buah, termasuk 8 juta ton buah bermutu prima untuk pasar khusus dan
ekspor, diperlukan lahan baru seluas 1,33 juta ha, sehingga total luas panen
buah mencapai 2,1 juta ha. Tambahan perluasan areal baru tersebut dapat
disediakan secara bertahap sehingga setiap tahun diperlukan penambahan
areal rata-rata 33.250 ha.
3. Penentuan lokasi lahan secara definitif perlu dilakukan oleh tim yang terdiri
atas peneliti BBPSDLP, Direktorat Buah, ahli produksi buah, Pemerintah
Provinsi/Kabupaten, dan BPTP setempat. Lahan yang dipilih untuk alokasi
perluasan tanaman buah harus berupa lahan yang belum difungsikan secara
permanen, berupa hutan sekunder, belukar, padang alang-alang, atau lahan
rawa/lahan gambut dan memenuhi kesesuaian agroklimatnya.
4. Kerjasama antara Kemneterian Pertanian dengan Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Provinsi/Kabupaten perlu diwujudkan dan diimplementasikan
hingga kegiatan lapang. Pemerintah Pusat menyediakan dana untuk
reklamasi lahan dan pembangunan prasarana dasar, sementara Pemerintah
Daerah menyediakan lahan, alokasi lahan bagi petani buah dengan skala 5
ha atau lebih untuk setiap petani, menggunakan fasilitas kredit selama 15-20
tahun, seperti halnya kredit pemilikan rumah (KPR).
5. Ketersediaan lahan khusus untuk pengembangan agribisnis buah harus
dibarengi dengan ketersediaan benih/bibit bermutu, penerapan inovasi
teknologi budidaya maju yang diformulasikan dalam SOP, kemudian
dibangun bangsal pengemasan dan penyimpanan, serta kios-kios buah
modern dan promosi. Jika diperlukan dibangun pabrik pengolahan berbahan
baku buah. Penguatan kelembagaan petani harus terus ditingkatkan menuju
kemandirian Gapoktan maupun asosiasi.
-
S. Purnomo et al
136
DAFTAR PUSTAKA
BPS. 2003-2007. Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia. Biro Pusat Statistik. Jakarta.
Ditjen Hortikultura. 2009. Upaya Pengembangan Kawasan Buah Unggulan Tropika untuk Ekspor. Ditjen Hortikultura. Jakarta.
Ditjen Bina Produksi Hortikultura. 2002. Statistik Komoditas Hortikultura. Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. Jakarta.
Ditjen Bina Produksi Hortikultura. 2005. Statistik Komoditas Hortikultura. Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. Jakarta.
Morey, Philip. 2007. The Citrus Market in Indonesia an Eastern Indonesian Perspective. SADI-ACIAR Res. Report, Project Number SMAR/2007/209. Canberra, Australia.