03 modul 2 - kognisi sosial

123
ADPU4218/MODUL 2 1.1 Modul 2 KOGNISI SOSIAL Prof.Dr. M. Enoch Markum Kognisi sosial membicarakan bagaimana suatu informasi ditangkap oleh indera, dianalisis, diinterpretasikan, disimpan dalam ingatan, dan digunakan oleh individu tatkala ia menghadapi lingkungan sosial. Secara singkat, kognisi sosial diartikan sebagai bagaimana individu memahami lingkungan sosial dan dirinya sendiri. Apa yang terjadi tatkala individu mencoba memahami lingkungan sosialnya ? Pertama, proses memahami lingkungan sosial ini bisa berlangsung secara otomatis. Artinya, upaya memahami lingkungan sosial ini berlangsung tanpa usaha, tanpa penalaran, dan berlangsung dengan cepat, Hal ini, antara lain, tampak pada gejala prasangka (prejudice) yang bisa berupa prasangka ras, jender, dan agama (orang Islam teroris, manajer laki-laki). PENDAHULUAN

Upload: dede-firmansah-amd-mi-cht-cba

Post on 24-Nov-2015

731 views

Category:

Documents


32 download

DESCRIPTION

03 Modul 2 - Kognisi Sosial

TRANSCRIPT

MODUL 1

1.30

Psikologi Sosial((ADPU4218/MODUL 21.31

Modul 2KOGNISI SOSIALProf.Dr. M. Enoch Markum

Kognisi sosial membicarakan bagaimana suatu informasi ditangkap oleh indera, dianalisis, diinterpretasikan, disimpan dalam ingatan, dan digunakan oleh individu tatkala ia menghadapi lingkungan sosial. Secara singkat, kognisi sosial diartikan sebagai bagaimana individu memahami lingkungan sosial dan dirinya sendiri.

Apa yang terjadi tatkala individu mencoba memahami lingkungan sosialnya ?

Pertama, proses memahami lingkungan sosial ini bisa berlangsung secara otomatis. Artinya, upaya memahami lingkungan sosial ini berlangsung tanpa usaha, tanpa penalaran, dan berlangsung dengan cepat, Hal ini, antara lain, tampak pada gejala prasangka (prejudice) yang bisa berupa prasangka ras, jender, dan agama (orang Islam teroris, manajer laki-laki).

Kedua, proses memahami lingkungan sosial sering didasari oleh kerangka kognitif yang diperoleh individu melalui pengalaman masa lalu atau disebut skema (schema). Misalnya, skema perkuliahan melibatkan dosen, mahasiswa, jadwal kuliah, bahan kuliah dan seterusnya; diawali dengan dosen memasuki ruangan kuliah, memberikan kuliah, mahasiswa mendengarkan dan mencatat bahan kuliah, dan seterusnya.Selain skema yang berkenaan dengan suatu peristiwa, terdapat skema mengenai orang, peran, dan sekrip yang berfungsi untuk membuat manusia efisien dalam menghadapi lingkungan sosial.

Ketiga, meskipun kita sering memperlihatkan respons otomatis dalam menghadapi lingkungan sosial, namun ada saatnya kita bertindak hati-hati dan menggunakan penalaran. Hal ini berlangsung tatkala kita menghadapi situasi penting atau peristiwa yang tidak kita harapkan.

Secara umum, setelah mempelajari Modul 2 diharapkan Anda memiliki pemahaman yang baik tentang kognisi sosial. Secara khusus, setelah mempelajari Modul 2 diharapkan Anda mampu :

1. Menjelaskan pengertian kognisi sosial

2. Menjelaskan konsep jalan pintas mental3. Memberi contoh jalan pintas mental4. Menjelaskan pengertian skema mental5. Memberi contoh skema mental6. Menjelaskan teori-teori atribusi7. Memberi contoh penerapan teori atribusiKegiatan Belajar 1

PENGERTIAN KOGNISI SOSIAL Lepas dari soal talenta, citra Syaikh Siti Jenar sendiri selama kurun lebih empat abad memang tidak bisa lepas dari stigma kebidahan, kesesatan, kecacingan, dan keanjingan. Sementara, kita tidak pernah tahu apakah ia benar-benar jelmaan cacing. Kita juga tidak pernah tahu apakah ketika mati jasad Syaikh Siti Jenar berubah menjadi anjing. Bahkan kita tidak pernah tahu apakah bangkai anjing itu benar-benar dikubur di kompleks Masjid Agung Demak.

Kontroversi membingungkan tentang Syaikh Siti Jenar yang termuat dalam historiografi sejenis babad, ternyata tidak kita jumpai pada sejumlah naskah kuno asal Cirebon seperti Negara Kretabhumi, Pustaka Rajya Rajya di Bhumi Nusantara, Purwaka Caruban Nagari, dan Babad Cheribon. Dalam naskah-naskah tersebut tidak dijumpai paparan absurd yang menggambarkan tokoh Syaikh Siti Jenar sebagai penjelmaan cacing. Tidak ada cerita yang menggambarkan mayatnya berubah menjadi anjing. Syaikh Siti Jenar, yang kelahiran Cirebon, digambarkan sangat manusiawi lengkap dengan silsilah keluarga yang bnisierasal dari species manusia (Jalil, 2004 : XVIII XIX).

Kutipan singkat di atas merupakan ilustrasi dari tokoh agama Islam yang kontroversial, Syaikh Siti Jenar. Di satu sisi Syaikh Siti Jenar (SSJ), digambarkan sebagai manusia jelmaan cacing yang tatkala meninggal jasadnya berubah menjadi anjing dan konon dikubur di kompleks Masjid Agung Demak. Di sisi lain tokoh SSJ digambarkan sebagai manusia biasa, dilahirkan di Cirebon dengan silsilah lengkap dan berasal dari species manusia. Kontroversi mengenai SSJ dari dua sumber yang berbeda ini menimbulkan pertanyaan bukan saja berkenaan dengan sumber informasi mana yang benar, melainkan juga mengapa terjadi dua pendapat yang bertentangan mengenai SSJ.

Mencari penyebab, alasan atau mengapa suatu peristiwa bisa terjadi merupakan kebutuhan (need) pada manusia yang membedakan hakikat manusia dengan hewan. Manusia tidak hanya mengajukan pertanyaan mengapa mengenai hal yang majemuk seperti ilustrasi SSJ di atas, interaksi Presiden dan Wakil Presiden RI saat ini yang konon tidak harmonis, atau perseteruan antara Perdana Menteri Malaysia dan Anwar Ibrahim, tetapi juga berkenaan dengan peristiwa yang kita alami sehari-hari, seperti mengapa teman dekat saya tidak datang pada perayaan ulang tahun saya, mengapa mahasiswa tidak mengembalikan buku yang dipinjamnya ke perpustakaan, dan mengapa ada kakak dan adik yang tinggal satu rumah namun tidak saling sapa selama tiga tahun. Mencari jawaban atas pertanyaan mengapa ini tidak hanya menyangkut hubungan antar individu (interpersonal relations), tetapi juga menyangkut hubungan antar kelompok (intergroup relations), seperti mengapa hubungan sipil - militer di Indonesia tidak harmonis, demikian pula mengapa terjadi kerusuhan antara etnis Dayak dan etnis Madura beberapa tahun yang lalu serta mengapa perdamaian Israel Palestina tak kunjung tercapai. Dengan demikian, upaya manusia mencari jawaban mengapa suatu peristiwa terjadi, yang meliputi baik hubungan antar pribadi, antar kelompok, maupun antar negara atau antar bangsa ternyata merupakan persoalan yang senantiasa melekat (inherent) pada diri manusia. Inilah sebabnya mengapa manusia ditinjau dari sudut kognisi sosial (social cognition) dijuluki naive scientist atau naive psychologist. Kata naive di sini dimaksudkan bahwa meskipun manusia cenderung mencari penyebab dari suatu peristiwa, namun upaya yang dilakukan tidak seperti upaya para ilmuwan dan psikolog yang mencoba menemukan jawaban suatu fenomen melalui pendekatan yang objektif, sistematis, dan verifikasi data secara cermat. Penjelasan suatu fenomen oleh psikolog atau ilmuwan naif ini justru mengabaikan kaidah-kaidah ilmiah, seperti yang terjadi pada peristiwa prasangka etnis, jender, dan agama.

Mengapa manusia cenderung mengajukan pertanyaan mengapa (why questions) mengenai terjadinya suatu peristiwa? Atau dengan perumusan lain : Mengapa manusia memerlukan pengetahuan mengapa mengenai berbagai peristiwa yang terjadi sehari-hari, khususnya yang berkenaan dengan interaksi sosial? Untuk menjawab pertanyaan ini, akan dikemukakan teori kebutuhan.Telah dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa kecenderungan manusia untuk mencari penyebab dari suatu peristiwa merupakan suatu kebutuhan. Seperti halnya kebutuhan fisik (makan, minum, tempat berteduh, dan reproduksi) yang apabila tidak dipenuhi akan menyebabkan individu tegang (tension) dan berada dalam kondisi tidak seimbang (disequilibrium) yang mendorongnya untuk kembali dalam kondisi seimbang (equilibrium), demikian pula halnya dengan kebutuhan psikis. Sebagai contoh dapat dikemukakan kasus meninggalnya Munir (tokoh HAM) yang karena sampai saat ini belum terungkap siapa pembunuh dan otak pembunuhannya, telah menyebabkan keluarganya tidak tenang dan melalui berbagai upaya akan terus membongkarnya sampai tuntas. Selama kasus Munir ini merupakan misteri, keluarga Munir berada dalam kondisi disequilibrium karena bukan saja disebabkan oleh belum atau tidak terungkapnya pelaku dan siapa dalang dibalik pembunuhan Munir, tetapi juga kebutuhan akan alasan mengapa Munir dijadikan korban oleh Pemerintah belum terpenuhi.

Dari uraian ringkas di atas dapat ditarik simpulan bahwa bertanya mengapa pada diri manusia merupakan salah satu kebutuhan dasar yang apabila dipenuhi, maka manusia akan berada dalam kondisi seimbang. Sebaliknya bila tidak dapat dipenuhi, manusia akan merasakan ketidakseimbangan. Secara lebih rinci, kebutuhan apakah yang harus dipenuhi berkenaan dengan kebutuhan akan pengetahuan mengapa ini ? Menurut Moskowitz (2005) ada tiga kebutuhan dasar manusia (a basic human needs) yang berkenaan dengan pengetahuan mengapa ini, yakni (1) kebutuhan afiliasi (affiliation needs), (2) kebutuhan harga-diri (self-esteem needs), dan (3) kebutuhan epistemik (epistemic needs).

1. KEBUTUHAN AFILIASIKebutuhan afiliasi didasari oleh kenyataan bahwa manusia adalah mahluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain, bahkan saling tergantung. Misalnya, kebutuhan kita akan makanan tidak mungkin terpenuhi tanpa petani, dan sebaliknya kebutuhan petani akan pupuk urea akan bisa dipenuhi oleh produsen pupuk urea. Demikian pula rasa aman akan lebih terjamin bila kita berkelompok daripada kita hidup menyendiri. Dengan menjadi anggota suatu kelompok atau warganegara, individu akan memperoleh perlindungan dari polisi atau penegak hukum lainnya. Selain itu, manusia sebagai mahluk sosial juga sangat membutuhkan identitas sosial, sebab bagaimana pun ia harus mempunyai kejelasan mengenai tergabung dalam kelompok manakah dirinya, dan apakah dirinya diterima sebagai anggota kelompok atau tidak. Seseorang dapat menjadi anggota berbagai pranata: keluarga (anak), sosial (warga RT), pendidikan (mahasiswa), pernikahan (suami), ekonomi (wiraswasta), agama (Muslim), dan lain-lain. Keanggotaan individu dalam berbagai pranata ini boleh jadi tidak sama derajad penerimaannya, bahkan ada pranata yang menolaknya sebagai anggota. Misalnya, individu yang dikeluarkan oleh marganya dan putus kuliah di suatu perguruan tinggi, maka ia tidak berhak lagi menyandang baik identitas marganya maupun identitas perguruan tingginya. Hilangnya dua identitas ini besar kemungkinan mengakibatkan individu yang bersangkutan mengalami disequilibrium karena kebutuhan afiliasinya tidak terpenuhi. Oleh karenanya ia akan berupaya untuk kembali ke kondisi equilibrium. Dengan kata lain, ia harus mengupayakan agar kebutuhan afiliasinya terpenuhi. Untuk itu ia perlu pengetahuan mengapa dirinya dikeluarkan oleh marganya dan mengapa ia dikeluarkan dari perguruan tingginya. Pengetahuan mengapa dalam kaitan dengan kebutuhan afiliasi ini berlaku juga dalam hubungan antar pribadi lainnya, seperti mengapa teman-teman saya menertawakan saya, mengapa kekasih saya sudah satu minggu tidak menghubungi saya, mengapa dosen saya menilai rendah makalah saya, dan lain-lain. Dengan demikian pengetahuan mengenai mengapa ini merupakan kebutuhan yang selanjutnya akan menentukan sikap individu baik terhadap temannya, kekasihnya maupun dosennya.

2. KEBUTUHAN HARGA DIRIKebutuhan harga-diri (self-esteem needs) merupakan kebutuhan manusia yang berkenaan dengan perasaan positif mengenai diri sendiri. Umumnya perasaan positif ini muncul setelah kita menilai penampilan atau kinerja kita. Harga-diri akan tinggi manakala seseorang berhasil menunjukkan kinerja yang baik, dan sebaliknya manakala kinerja individu buruk, harga dirinya akan rendah. Untuk mengetahui apakah kinerja individu itu baik atau buruk mau tidak mau ia senantiasa harus merujuk pada suatu patokan baku (standard) yang ditetapkan oleh orang lain atau kelompoknya. Bisa saja seseorang menentukan patokan baku untuk dirinya tanpa merujuk pada patokan baku yang ditetapkan oleh masyarakatnya. Misalnya, seorang mahasiswa yang bertekad atau berjanji pada dirinya sendiri bahwa IPK-nya pada tahun akademik ini harus minimum 3.75. Implikasinya adalah ia akan puas bila IPK 3.75 tercapai (kondisi equilibrium) dan sebaliknya bila IPK-nya di bawah 3.75, ia akan merasa kecewa (kondisi disequilibrium). Dari ilustrasi ini, terkesan seolah-olah yang menentukan puas atau tidak puasnya mahasiswa tadi adalah dirinya sendiri karena ia membuat tolok-ukurnya sendiri, yakni IPK minimal harus 3.75. Namun, bila diteliti lebih dalam, kepuasan atau kekecewaan mahasiswa yang dasarnya pencapaian IPK minimal 3.75 ini sebenarnya ditentukan oleh orang lain, dalam hal ini perguruan tingginya. Sebab, seandainya mahasiswa tersebut benar-benar bisa meraih IPK 3.75, maka predikat kelulusannya adalah cum-laude. Predikat kelulusannya itu selain menyebabkan ia berada dalam kondisi equilibrium, juga harga-dirinya akan naik atau tinggi.

Dalam kehidupan sehari-hari, sangat jarang ditemui individu yang berhasil berupaya untuk mencari masukan atau umpan-balik mengenai mengapa dirinya bisa berhasil. Namun sebaliknya, pertanyaan mengapa gagal dalam ujian, kalah dalam pertandingan olahraga, pemilihan umum, pemilihan kepala daerah, dan lain-lain sering dikemukakan oleh mereka yang gagal. Hal ini disebabkan oleh adanya hubungan yang erat antara keberhasilan dan harga-diri (baca gengsi). Oleh karena masyarakat yang sangat mengedepankan atau mengutamakan gengsi dan tidak siap untuk menerima kegagalan atau kekalahan, maka pengetahuan mengapa menjadi kebutuhan yang bisa berwujud protes atau demonstrasi, mulai dari yang tertib sampai dengan yang destruktif tidak terkendali.

3. KEBUTUHAN EPISTEMIKKebutuhan epistemik merupakan kebutuhan untuk memahami orang dan objek di sekeliling kita agar kita dapat memperkirakan orang dan objek tersebut. Fritz Heider (1944 dalam Moskowitz, 2005) menamakan hal ini sebagai dorongan kausal (causal drive). Mengapa aktivitas kognitif untuk memahami orang lain atau peristiwa di sekitar kita ini merupakan kebutuhan? Secara umum dapat dikemukakan jawaban bahwa pada dasarnya manusia senantiasa akan menghindari stimulus yang membahayakan atau mengancam dirinya, dan sebaliknya manusia akan mendekati stimulus yang menyenangkan dirinya. Dengan kata lain, manusia akan senantiasa berupaya menghindari bahaya dan mencari rasa aman, demi kelangsungan hidupnya. Maka pengetahuan mengenai kapan kita harus menjauhi suatu stimulus dan kapan kita harus mendekatinya merupakan suatu kebutuhan.

Namun, bagaimana kita mengetahui bahwa suatu stimulus itu membahayakan, sehingga harus kita hindari, sedangkan stimulus yang lain justru harus kita dekati karena tidak membahayakan kelangsungan hidup kita? Untuk menjawab pertanyaan ini, dikemukakan ilustrasi tatkala kita menghadapi makanan tertentu, misalnya roti keju. Pertanyaannya adalah apakah roti keju ini harus dihindari (tidak dimakan) atau didekati (dimakan) ?

PENGERTIAN KOGNISI SOSIALSejauh ini uraian mengenai kognisi sosial belum menyinggung pengertian kognisi sosial (social cognition) secara rinci. Dari kutipan mengenai Syaikh Siti Jenar (SSJ) terdahulu, kita baru membahas masalah mengapa dari suatu peristiwa. Selain membicarakan mengapa dari suatu peristiwa, cakupan kognisi sosial meliputi juga upaya pengumpulan informasi mengenai suatu stimulus yang selanjutnya akan digunakan sebagai dasar atau pedoman untuk berperilaku. Dalam contoh SSJ, misalnya, setelah kita memperoleh informasi, selanjutnya kita akan bersikap terhadap SSJ : memihak atau memusuhi SSJ. Untuk lebih jelas apa yang dimaksud dengan kognisi sosial, berikut ini dikemukakan pengertian kognisi sosial secara lebih rinci.Kognisi sosial membicarakan mengenai upaya individu untuk menginterpretasikan, menganalisis, mengingat, dan menggunakan informasi-informasi dalam menghadapi lingkungan sosial. Informasi-informasi tersebut di dalam kesadaran disebut dengan elemen-elemen kognisi yang saling berhubungan. Ada tiga macam hubungan elemen kognisi :

1. Hubungan yang tidak relevan

Elemen-elemen kognisi tidak saling mempengaruhi sehingga tidak berpengaruh apa-apa, misalnya, merokok dengan banjir merupakan hubungan yang tidak ada kaitannya satu sama lain. Oleh karena rokok tidak menyebabkan banjir, dan demikian pula sebaliknya.2. Hubungan yang konsonan

Hubungan ideal dalam struktur kognisi manusia adalah kondisi konsonan, yaitu jika antara dua elemen ada hubungan yang relevan, dan tidak saling bertentangan, misalnya, merokok dengan kanker paru merupakan hubungan yang konsonan karena rokok adalah penyebab kanker paru.3. Hubungan yang disonan

Hubungan yang disonan terjadi karena ada dua elemen kognisi yang saling bertentangan, misalnya, perokok berat bertahun-tahun, tetapi bebas kanker paru. Untuk mengembalikan kondisi disonan menjadi konsonan ada tiga upaya yang dapat dilakukan :

a. mengubah elemen perilaku, misalnya perokok berat berhenti merokok sama sekali.b. mengubah elemen kondisi lingkungan, misalnya, perokok berat tidak mempercayai anggapan bahwa rokok menyebabkan kanker.c. menambah elemen kognisi baru, sehingga elemen kognisi yang ada diperkuat atau mendapat dukungan dari elemen baru, misalnya, mencari berbagai hasil penelitian mengenai kanker paru untuk memperoleh kepastian mengenai sejauhmana rokok menyebabkan kanker paru.Fiske dan Taylor (1991:1) merumuskan kognisi sosial sebagai berikut : Social cognition is the study of how people form inferences from social information in the environment. Salah satu kata kunci yang akan dibahas dalam definisi ini adalah inferences (penyimpulan). Setiap penyimpulan pada pokoknya melalui beberapa langkah : pengumpulan informasi, menentukan informasi mana yang akan dipakai, dan mengintegrasikan informasi menjadi keputusan. Sebagai contoh, seorang pelamar kerja yang berhasil lolos ke tahap wawancara yang berlangsung di kantor perusahaan yang dilamarnya, maka dia akan mengumpulkan berbagai informasi : sikap pewawancara dan karyawan, produk perusahaan, gedung dan ruang kantor, sistem penggajian, struktur organisasi, jenjang karir, dan lain-lain. Setibanya di rumah pelamar tersebut akan mempertimbangkan informasi mana yang relevan, untuk pengambilan keputusan berikutnya. Misalnya, sistem penggajian dan karir merupakan informasi yang sangat relevan, sedangkan sikap para karyawan bukanlah hal yang terlalu relevan. Demikianlah akhirnya, seandainya pelamar ini diterima atau lolos seleksi, ia akan memutuskan apakah dirinya akan bergabung atau tidak bergabung dengan perusahaan yang dilamarnya.Masalahnya, dilihat dari sudut pandang kognisi sosial adalah kesimpulan mengenai kondisi perusahaan dan keputusan sang pelamar untuk bergabung atau tidak dengan perusahaan tersebut, belum tentu tepat atau benar. Sebab, pada setiap langkah atau proses, penyimpangan selalu ada kemungkinan mengambil jalan-pintas (heuristics), kesalahan berpikir (illusory thinking), berpikir deduktif (schema), dan peran emosi yang sangat dominan. Untuk memperjelas proses kognisi sosial, berikut dikemukakan gambar proses kognisi sosial dan penjelasannya.Gambar: Proses kognisi sosial

12

3 MENGUMPULKAN MEMUTUSKAN INFORMASI MANA

MENYATUKAN INFORMASI INFORMASI YANG AKAN DIGUNAKAN

Dari gambar di atas tampak bahwa tahap pertama adalah pengumpulan informasi. Tatkala ada suatu stimulus (pria dengan pakaian rapi dan berdasi), maka kita akan bertanya pada diri kita : siapa pria itu ? Untuk memperoleh jawaban pertanyaan ini, kita mengumpulkan sejumlah informasi berdasarkan pengalaman dan ingatan kita, misalnya penampilan pria seperti itu mungkin manajer bank, manajer perusahaan asuransi, atau manajer perusahaan property, dan lain-lain. Pada tahap ini kita baru sampai pada tahap identifikasi awal, jakni pria itu manajer, namun belum diketahui lebih rinci mengenai manajer bidang apa.

Untuk sampai pada keputusan final, kita harus lebih dahulu menyatukan berbagai informasi. Ternyata pria berdasi ini memasuki suatu bank, dan disambut dengan ramah oleh satpam bank, selain satpam itu mengetahui nama serta berbincang lama dengan pria berdasi tersebut. Berbagai informasi (elemen kognisi) yang kita satukan ternyata saling mendukung, sehingga keputusan kita mengenai pria berdasi itu adalah manajer bank.

.

Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu dihadapkan pada berbagai macam kejadian. Kejadian-kejadian itu memunculkan rasa ingin tahu mengapa sesuatu terjadi dan mengapa sesuatu tidak terjadi. Rasa ingin tahu itu merupakan kebutuhan dasar manusia. Jika rasa ingin tahu itu terpenuhi, maka manusia akan berada pada kondisi equilibrium (puas). Anda pasti juga mengalaminya.

Sekarang, cobalah ambil 1 contoh kasus rasa ingin tahu yang pernah anda alami, kemudian uraikan proses pemenuhan rasa ingin tahu tersebut:

1. termasuk jenis kebutuhan (need) yang mana

2. apakah terpenuhi (kondisi equilibrium) ataukah tidak terpenuhi (kondisi disequilibrium)

Petunjuk Jawaban Latihan

1. Pelajarilah kebutuhan dasar yang dikemukakan oleh Moskowitz.

2. Pelajari dengan baik pengertian equilibrium dan disequilibrium.

Kognisi sosial adalah suatu cara untuk menginterpretasikan, menganalisis, mengingat, dan menggunakan informasi-informasi dalam lingkungan sosial untuk sampai pada suatu kesimpulan atau atribusi. Kognisi sosial memiliki elemen-elemen yang saling berhubungan. Ada tiga macam hubungan elemen-elemen kognisi, yaitu: (1) hubungan yang tidak relevan, (2) hubungan yang konsonan, dan (3) hubungan yang disonan. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sering kali menggunakan jalan pintas mental (heuristics) untuk sampai pada suatu kesimpulan atau atribusi. Jalan pintas itu digunakan untuk mempercepat proses dan menghemat energi. Namun terkadang jalan pintas bisa juga salah, karena kita tidak mengkaji seluruh informasi yang ada.

1. Dalam kurun waktu enam bulan terakhir ini hubungan antara kelompok Gus Dur dan kelompok Muhaimin Iskandar tampak retak. Bila kita mengikuti pendapat F.Heider yang menyatakan manusia adalah naive scientist, maka kita sebagai manusia cenderung untuk :A. mendamaikan kedua belah pihak yang berseturu

B. menyalahkan salah satu kubu

C. mencari jawaban mengapa terjadi keretakan antara dua kubu yang sama-sama dari PKB

D. bersikap netral, tidak berpihak pada salahsatu kelompok.

2. Kelompok yang pro dan bersimpati pada Munir (alm) berjuang dengan gigih agar dalang pembunuh Munir bisa terungkap. Menurut kognisi sosial gejala kelompok Munir yang sangat aktif ini terjadi karena mereka berada pada kondisi:

A. merasa bersalah yang sangat besar

B. equilibrium

C. disequity

D. disequilibrium

3. Menurut Moskowitz (2005) manusia memiliki tiga kebutuhan dasar sehubungan dengan kebutuhan akan pengetahuan mengapa. Mana dari empat kebutuhan akan pengetahuan mengapa dibawah ini yang tidak merupakan kebutuhan dasar menurut Moskowitz :A. kebutuhan harga-diri

B. kebutuhan epistimologi

C. kebutuhan afiliasi

D. kebutuhan epistemik

4. Salah satu elemen kognisi di bawah ini bukan merupakan elemen kognisi perokok berat yang ketakutan kanker paru-paru, setelah membaca artikel kanker paru-paru dan rokok adalah:A. merokok menyebabkan kanker paru

B. merokok tidak ada hubungannya dengan kreativitas

C. merokok membahayakan pertumbuhan janin

D. merokok di tempat umum (stasiun kereta-api, taman, dan ruang terbuka).

5. Salah satu upaya di bawah ini bukan upaya untuk kembali ke keadaan konsonan, setelah mengalami keadaan disonan :A. tidak mempercayai informasi baru

B. mengadopsi perilaku baru

C. memperkuat elemen kognisi baru

D. membiarkan informasi berfungsi sebagai mana adanya.

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali

80 - 89% = baik

70 - 79% = cukup

< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang belum dikuasai.

Kegiatan Belajar 2

JALAN PINTAS MENTALIlustrasi pengambilan keputusan mengenai pria berdasi yang masuk ke suatu bank dan akrab dengan satpam bank itu ternyata bukan manajer bank yang bersangkutan, melainkan justru nasabah bank yang sudah lama sering berurusan dengan bank tersebut.

Pada ilustrasi ini barangkali kita sebenarnya tidak begitu peduli mengenai siapa orang berdasi ini karena kita tidak mempunyai kepentingan langsung.

Namun, bayangkan misalnya malam hari kita berada di suatu daerah yang terkenal sering terjadi perampokan dan pemerasan. Dalam jarak 20 meteran kita melihat tiga orang pria yang berpakaian lusuh dan berambut gondrong. Dalam kegelapan malam menghadapi stimuli pria yang tidak bersahabat ini, kita harus segera mengambil keputusan : apakah mereka itu perampok atau kuli pelabuhan ? Keputusan mana yang akan kita ambil akan sangat menentukan tindakan kita selanjutnya : berjalan biasa atau lari menjauhi ketiga pria itu. Dalam keadaan ini, demi keselamatan, kita melakukan jalan pintas (heuristics) dengan memutuskan bahwa mereka adalah perampok. Dengan demikian, jalan pintas merupakan pengambilan keputusan yang sifatnya sederhana, cepat, dan tanpa memroses atau mengolah informasi secara cermat.

Dari ilustrasi ini upaya jalan pintas ternyata bermanfaat dalam arti kita terhindar dari kemungkinan menjadi korban kejahatan. Namun, tidak jarang berpikir jalan pintas ini berakibat merugikan. Sebagai contoh orang berdasi, bicara sopan, dan mengendarai mobil disimpulkan sebagai orang baik-baik, padahal dia adalah seorang perampok rumah yang mengelabui pembantu rumah.

Contoh lain dari kecenderungan manusia untuk berpikir jalan pintas dan ternyata bisa salah adalah : Cobalah tanyakan kepada diri sendiri atau keluarga atau tetangga anda. Berapa banyak angka 9 dari 0 sampai 100? Jawablah pertanyaan itu dahulu sebelum membaca lebih lanjut.

Biasanya dalam 2-3 detik sudah ada jawaban yaitu 9 atau 10. Jawaban yang cepat itu terjadi karena orang hanya menghitung 9, 19, 29 dan seterusnya meloncat saja pikirannya. Jika tiap puluhan ada satu angka 9, maka kalau ada 10 puluhan, angka 9-nya juga ada 10 buah. Padahal, jawaban itu salah.

Cobalah anda hitung pelan-pelan : 9, 19, 29, 39, 49, 59, 69, 79, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99. Jadi, jawaban yang benar adalah : 19. (Sarwono, 1997:115)Mengapa manusia cenderung berpikir jalan pintas ? Dalam kehidupan nyata sehari-hari, manusia sering dibanjiri oleh berbagai informasi mengenai sesuatu, misalnya obat-obatan, yang bukan saja beragam, membingungkan khasiatnya dan kadang-kadang satu sama lain bertentangan. Kalau otak manusia yang menyimpan sejumlah informasi diumpamakan sebuah gudang maka isi gudang itu penuh dengan berbagai jenis barang yang baik ukurannya maupun bentuknya tidak sama, sehingga gudang tersebut sebenarnya tidak mampu lagi menampung barang baru apabila diisi lagi dengan barang baru karena kelebihan beban.

Seperti halnya gudang yang sarat dengan barang yang perlu ditata, otak manusia pun bisa tidak mampu lagi menampung berbagai informsi yang sangat beragam. Dengan kata lain, terjadi information overload : tuntutan terhadap sistem kognisi kita tidak sesuai dengan kapasitas kognisi kita. Apabila dalam kondisi sistem kognisi yang kelebihan beban dan kita dituntut untuk mengambil keputusan secara cepat, lebih-lebih kondisi saat itu darurat, maka kita tidak mampu memroses informasi secara cermat dan tenang, sehingga kecenderungan berpikir jalan pintas sangat besar.

Faktor apa yang memfasilitasi kecenderungan orang berpikir jalan pintas ?

1. Representasi

Ketika kita dihadapkan pada satu stimulus yang informasinya tidak lengkap, biasanya kita mencari sejumlah elemen khas dari stimulus itu yang merupakan representasi sebuah konsep yang paling familiar dengan kita. Pada ilustrasi individu yang berhadapan dengan tiga orang yang berpakaian lusuh dan berambut gondrong di malam yang gelap, dan disimpulkan mereka itu perampok karena penampilan mereka merupakan cerminan atau representasi dari ciri-ciri perampok.2. Pengutamaan (priming)

Pikiran kita dipengaruhi oleh faktor pengalaman yang paling baru (baru saja terjadi). Individu yang menganggap tiga orang yang dihadapinya di kegelapan malam sebagai perampok, mungkin disebabkan oleh cerita yang baru saja didengarnya bahwa ciri-ciri perampok itu rambutnya gondrong dan berpakaian lusuh.

3. Pengabaian rata-rata (base rate fallacy)

Yang dimaksud dengan pengabaian rata-rata adalah mengabaikan ciri-ciri umum yang berlaku. Berpikir jalan pintas di sini didasarkan pada informasi khusus tentang satu orang saja. Kecenderungan berpikir jalan pintas dipermudah karena individu hanya berpedoman semata-mata pada satu peristiwa yang dialaminya. Individu yang pernah dirampok oleh orang dengan penampilan lusuh dan berambut gondrong akan berpikir jalan pintas dengan menganggap mereka perampok. Padahal banyak orang yang berpenampilan seperti itu ternyata orang baik-baik (seniman, mahasiswa).4. Ketersediaan Informasi (availability heuristics)

Ketika kita bertanya tentang suatu hal pada orang lain maka jawaban mereka sangat tergantung pada jumlah informasi yang mereka miliki, sehingga kemungkinan pembentukan jalan pintas pada pilihan jawaban tersebut akan semakin besar. Individu yang menganggap tiga orang yang dihadapinya itu perampok karena individu tersebut tidak memiliki informasi lain, misalnya kuli juga penampilannya lusuh, demikian juga penyanyi rock atau siapa tahu mereka itu intel yang sedang melakukan penyamaran.5. Penyesuaian (adjustment heuristics)

Dalam situasi yang tidak jelas, orang cenderung untuk mencari patokan atau jangkar (anchor) yang akan dijadikan pedoman dalam pengambialn keputusan. Selanjutnya apabila orang tadi telah mendapatkan suatu patokan, ia akan menyesuaikan pengambilan keputusannya berdasarkan patokannya tersebut. Contoh yang sederhana adalah orang Barat yang diundang ke resepsi pernikahan. Ia harus menentukan pakaian apa yang dikenakannya; jas berdasi atau kemeja batik. Untuk itu ia mencari patokan yang akan dijadikan dasar pengambilan keputusannya. Oleh karena undangan atau tamu pria umumnya mengenakan kemeja batik tangan panjang, maka orang Barat menjadikan berkemeja batik tangan panjang sebagai patokan, dan karenanya ia tidak mengenakan jas berdasi, melainkan kemeja batik tangan panjang.

Contoh lain penyesuaian jalan pintas adalah bila kita akan membeli sebuah mobil biasanya kita mempunyai patokan tertentu mengenai harga mobil yang akan kita beli (harga pasaran). Keputusan untuk membeli atau tidaknya mobil akan disesuaikan dengan harga pasaran yang merupakan patokan baginya.

1. BERPIKIR ILUSI (Illusory Thinking)Ilusi merupakan salah astu bentuk kesalahan persepsi yang disebabkan oleh faktor individu (bukan objek persepsinya yang salah). Dalam psikologi contoh yang sering dikemukakan adalah ilusi visual, misalnya, garis A dan garis B di bawah ini sebenarnya sama panjang; namun, kita melihatnya garis B lebih panjang daripada garis A. Kalau Anda tidak percaya, cobalah garis A dan B diukur dengan penggaris.

A

B Contoh ilusi visual lain adalah sendok yang dimasukkan ke dalam gelas berisi air penuh, terlihat seolah-olah sendok itu tidak lurus atau patah.Contoh dari kehidupan nyata mengenai ilusi visual lainnya adalah seorang yang melihat pohon yang bergoyang di malam Jumat yang gelap sebagai hantu yang mendekati dirinya. Dari ketiga contoh yang dikemukakan ini sendok, dua buah garis, dan pohon yang bergoyang merupakan kesalahan persepsi atau ilusi yang bersumber pada diri si pengamat.

Dalam kognisi sosial, ilusi juga bisa terjadi dan disebut sebagai berpikir ilusi. Ada tiga bentuk berpikir ilusi :

1. Ilusi tentang korelasi (Illusory Correlation)

Yang dimaksud dengan ilusi korelasi adalah anggapan yang diyakini seseorang mengenai adanya hubungan yang kuat mengenai dua hal atau peristiwa yang sebenarnya tidak ada hubungannya sama sekali. Di Barat diyakini bahwa orang yang berambut pirang itu memiliki sifat lucu; demikian pula angka 13 dianggap sebagai angka sial (gedung tinggi tidak menggunakan lift bernomor 13). Di Indonesia ada anggapan anak yang memiliki dua pusar kepala adalah anak nakal. Padahal rambut pirang dan dua pusar kepala tidak ada hubungannya dengan sifat lucu dan nakal. Dua contoh ilusi korelasi ini bisa mempengaruhi pikiran dan perilaku seseorang yang bertemu dengan mereka yang berambut pirang atau mempunyai dua pusar kepala. Individu yang bertemu dengan orang berambut pirang, ia akan merasa senang dan boleh jadi akan mendekatinya, sedangkan individu yang bertemu dengan anak yang mempunyai dua pusar kepala akan menjauh atau menghindarinya.2. Ilusi Kendali (Illusory Control)

Ilusi kendali diartikan sebagai anggapan seseorang yang merasa bahwa dirinya bisa mengendalikan lingkungan atau suatu peristiwa, padahal sebenarnya tidak bisa. Penelitian Henslin (1967, dalam Sarwono, 1997) terhadap para penjudi terbukti mereka beranggapan bisa mengendalikan penjudian atau keberuntungannya. Mereka melempar dadu pelan-pelan agar keluar nomor kecil sebagai keberuntungannya, dan melempar dadu keras-keras untuk mendapatkan nomor besar yang dianggap akan memberikan keberuntungan.

Contoh lain ilusi kendali adalah berkenaan dengan proyek pembangunan yang nilainya besar (gedung bertingkat tinggi, jembatan panjang, jalan raya lintas hutan). Proyek semacam ini kadang-kadang tidak selesai sesuai dengan rencana karena merasa semua hal yang menyangkut pembangunan bisa dikendalikan. Padalah ada hal-hal yang di luar kendali kontraktor yang tidak bisa sepenuhnya dikendalikan, seperti perubahan politik yang mendadak, kenaikan harga BBM, kelangkaan semen, dan protes masyarakat setempat.3. Penilaian Keliwat Yakin Diri (Overconfidence Judgement)

Contoh ilusi kendali dalam proyek pembangunan fisik yang besar terdahulu, sehingga terjadi keterlambatan atau melampaui waktu penyelesaiannya, mungkin juga disebabkan oleh keliwat yakin diri sang kontraktor. Ada dua faktor yang mempengaruhi sang kontraktor terlalu percaya diri, yakni (a) tidak mau membandingkan secara rinci proyek yang akan dikerjakannya dengan berbagai proyek terdahulu yang pernah dikerjakannya dan (b) terlalu optimistik atau terbuai oleh masa depan, seolah-olah masa depan proyek yang ditanganinya itu tidak akan mengalami masalah yang berarti, bisa dilampaui dengan mudah, dan yang terbayang keuntungan besar.

Contoh penilaian keliwat yakin diri di Indonesia dapat dikemukakan mengenai kepercayaan diri yang sangat besar dari mereka yang mencalonkan diri sebagai Presiden RI pada Pemilu 2009. Meskipun sebenarnya popularitas atau dukungan kepada mereka yang berasal dari partai yang baru berdiri itu rendah (ada yang 5%, 3%, 2%, bahkan 0,3% dukungan), namun mereka tetap yakin bahwa dukungan yang diperolehnya akan meningkat menjelang waktu Pemilu kelak.

Dalam krisis keuangan global yang diakibatkan oleh ulah peusahaan Lehman Brothers di Amerika Serikat, cukup banyak nasabah yang menarik uangnya dari Bank atau melakukan rush. Coba Anda diskusikan gejala rush ini dari sudut pengambilan jalan pintas (heuristics) : Mengapa para nasabah bank melakukan rush, dan jenis jalan pitas mana dari lima jalan pintas yang ada.

Petunjuk jawaban latihan

Pelajarilah apa manfaat jalan-pintas dan kuasai pengertian lima jalan pintas pada KB-2 ini.

Dalam kehidupan nyata sehari-hari, sadar atau tidak sadar kita sering melakukan tindakan jalan-pintas karena kita juga sering dihadapkan pada situasi yang mendadak atau kepala kita sudah penuh (overloaded), sehingga kita tidak bisa berpikir cermat, sistematis, analitis. Apabila dalam kondisi ini kita dituntut untuk mengambil keputusan segera, maka kita akan melakukan jalan-pintas. Ada lima faktor yang memfasilitasi jalan-pintas : representasi, pengutamaan, pengabaian rata-rata, ketersediaan informasi, dan penyesuaian.

1. Bila ada orang sehat yang mendadak meninggal, sangat sering kita jumpai pendapat bahwa orang tersebut meninggal karena serangan jantung. Kesimpulan serangan jantung merupakan jalan-pintas :

A. skema mental

B. ketersediaan informasi

C. penyesuaian informasi

D. pengutamaan

3. Orang pada umumnya lebih takut naik pesawat terbang dari pada naik mobil bila melakukan perjalanan. Dilihat dari sudut jalan-pintas, hal ini merupakan gejala :

A. penyesuaian jalan-pintas

B. ilusi korelasi

C. pengutamaan informasi

D. ketersediaan informasi

4. Orang-orang tua jaman dulu menasihatkan jangan bepergian jauh atau keluar kota pada hari Sabtu karena bisa celaka. Dilihat dari sudut kesalahan persepsi atau berpikir ilusi khususnya, nasihat orang tua dulu itu merupakan gejala :A. ilusi tentang korelasi

B. ilusi kontrol

C. ilusi percaya diri

D. ilusi tidak terkendali

5. Seorang mahasiswa yang meyakini bahwa penyelesaian penyusunan makalah (10-15 halaman) yang ditugaskan oleh dosen bisa diselesaikannya dalam tiga hari, dan ternyata tidak dapat diselesaikan tepat waktu, ditinjau dari sudut berpikir ilusi, berarti ia mengalami ilusi :

A. overconfidence judgement

B. illusory control

C. illusory bias

D. illusory correlation6. Kapan tanggal pernikahan yang dianggap baik ? untuk menentukan hari yang tepat atau hari baik upacara pernikahan ini, orang Jawa menghubungkan dengan hari kelahiran calon mempelai. Dilihat dari sudut berpikir ilusi, cara perhitungan menentukan upacara pernikahan ini merupakan gejala :A. confidence illusion

B. illusion judgement

C. illusory control

D. illusory correlation

Kegiatan Belajar 3SKEMA MENTALDalam kehidupan sehari-hari, skema diartikan sama dengan bagan. Kita bisa membuat skema atau bagan suatu rumah, kantor, kota, peristiwa, organisasi, dan lain-lain. Untuk memperjelas pengertian skema, marilah kita membayangkan seorang teman dekat anda yang berasal dari luar Jawa yang sudah cukup lama tidak mengunjungi Jakarta. Maksud kedatangannya ke Jakarta adalah mengikuti seminar yang berlangsung di Universitas Terbuka (UT), Pondok Cabe, Ciputat. Karena teman dekat ini sudah lama tidak bertemu, maka anda menjemputnya di Bandara Soekarno Hatta. Selanjutnya anda membawanya ke rumah anda yang terletak di daerah Kebon Jeruk, dan mengajaknya tidur di rumah anda. Baru keesokan harinya akan anda antar ke UT. Namun, ternyata anda tidak bisa mengantarnya ke UT karena di luar dugaan hari itu mendadak anda diundang rapat anggaran oleh atasan anda. Ini berarti, anda harus menunjukkan jalan kepada teman anda mengenai arah perjalanan Kebon Jeruk Pondok Cabe. Untuk itu, anda membuat atau menggambar skema rute Kebon Jeruk Pondok Cabe : jalan mana saja yang harus ditempuhnya, melalui under-pass, Mal Pondok Indah, sebelah kiri ada Stadion sepak bola, dan di sebelah kanan jalan ada Carrefour, belok kiri, dan nanti akan ketemu lapangan terbang, dan tidak jauh dari sana di sebelah kanan akan terlihat kampus UT.

Skala skema yang Anda buat ini tentu saja tidak serinci peta DKI, baik yang menyangkut panjang jalan, jarak dari satu check-point ke check-point lainnya, ukuran dan bentuk gedung, maupun berapa tikungan jalan yang akan dilaluinya, singkatnya, dalam skema itu anda menyederhanakan rute Kebon jeruk-Pondok Cabe, dan bahkan anda menghilangkan jalan, gedung, taman, dan tanda-tanda lainnya yang anda anggap tidak penting. Demikianlah, anda mencoba menanamkan suatu pola atau kerangka kognisi mengenai rute perjalanan untuk membantu teman anda menuju UT. Kerangka kognisi yang berfungsi membantu kita dalam menghadapi lingkungan ini, dalam psikologi disebut sebagai skema.

Fiske dan Taylor (1991:98, dalam Vanghn dan Hogg, 2005:31) merumuskan skema mental sebagai berikut : A schema is a cognitive structure that represents knowledge about concept or type of stimulus, including its attributes and relations among those attributes. Jadi skema mental merupakan serangkaian kognisi (pikiran, keyakinan, dan sikap) yang saling keterkaitan yang memungkinkan kita, dengan pengetahuan terbatas, secara cepat bisa memahami orang lain, situasi, peristiwa, atau pun suatu tempat. Sebagai contoh skema mental dapat diketengahkan kalau kita berkunjung ke Yogyakarta sebagai wisatawan, maka tidak lengkap rasanya bila ke Yogya tidak berbelanja di Malioboro. Di sepanjang koridor Malioboro ini terdapat pedagang kali lima (PKL) yang menawarkan berbagai barang, seperti pakaian jadi, alas kaki, dan aksesoris. Dari sekian macam barang yang ditawarkan PKL itu, pakaian jadi kain batik merupakan produk yang dominan dan diminati wisatawan. Selain barang, di Malioboro ini terdapat PKL yang menghidangkan makan-besar yang cara makannya duduk bersila di lantai (lesehan).

Jadi skema mental merupakan serangkaian kognisi (pikiran, keyakinan, dan sikap) yang saling keterkaitan yang memungkinkan kita, dengan pengetahuan terbatas, secara cepat bisa memahami orang lain, situasi, peristiwa, atau pun suatu tempat. Sebagai contoh skema mental dapat diketengahkan kalau kita berkunjung ke Yogyakarta sebagai wisatawan, maka tidak lengkap rasanya bila ke Yogya tidak berbelanja di Malioboro. Di sepanjang koridor Malioboro ini terdapat pedagang kali lima (PKL) yang menawarkan berbagai barang, seperti pakaian jadi, alas kaki, dan aksesoris. Dari sekian macam barang yang ditawarkan PKL itu, pakaian jadi kain batik merupakan produk yang dominan dan diminati wisatawan. Selain barang, di Malioboro ini terdapat PKL yang menghidangkan makan-besar yang cara makannya duduk bersila di lantai (lesehan).

Sementara itu dalam menghadapi PKL lesehan, tidak berlaku tawar-menawar. Pembeli atau tamu di sini duduk di lantai dengan terlebih dahulu melepas alas kaki. Selanjutnya penjual makanan akan mendatangi tamu menanyakan mengenai makanan dan minuman apa yang akan dipesan. Setelah makanan dan minuman dihidangkan, selanjutnya kita menikmati makanan itu sampai habis, dan akhirnya tamu membayar sesuai dengan pesanannya. Urut-urutan perilaku dalam konteks PKL lesehan, dari mulai pembeli membuka alas kaki sampai dengan membayar makanan, merupakan skema yang disebut sebagai sekrip (script). Sekrip lesehan ini tidak hanya berlaku di PKL lesehan tertentu, tetapi berlaku di semua PKL lesehan. Artinya, urutan perilaku membuka alas kaki, duduk di lantai, memesan makanan, menikmati makanan, dan berakhir dengan pembayaran berlaku umum, kapan pun, dan dimana pun PKL lesehan itu berada. Dalam kehidupan sehari-hari bisa ditemukan berbagai sekrip lain, seperti urutan perilaku upacara wisuda, sidang ujian, pengukuhan guru besar, pelantikan dekan, resepsi pernikahan, penarikan uang di bank, berobat ke dokter, dan lain-lain. Dalam berbagai peristiwa ini, skema dan sekrip yang kita miliki berfungsi sebagai rujukan atau pedoman perilaku sesuai dengan konteks peristiwa yang dihadapi. Dengan kata lain, skema dan sekrip akan mendikte perilaku apa yang harus ditampilkan oleh individu dalam konteks peristiwa tertentu, dan bukan sebaliknya. Rumelhart dan Orfony (1977, dalam Vaughan dan Hogg, 2005:31) mengemukakan bahwa skema itu bersifat top-down, conceptually driven, or theory driven processing, as opposed to bottom-up or data driven processing Dengan demikian, sekali suatu skema terbentuk, ia akan mempengaruhi apa yang akan menjadi perhatian kita (attention), yang akan kita masukkan ke dalam ingatan kita (encoding), dan apa yang akan kita ingat kemudian (retrieval).

Selain skrip sebagai bagian dari skema yang menggambarkan urutan perilaku dari suatu peristiwa, dalam skema dikenal juga eksemplar (exemplars). Oleh Tarylor, Peplau, dan Sears (2000:43) eksemplar dirumuskan sebagai : An exemplar is a model example of a category. Susi Susanti, Alan Budikusuma, Ricky Subagdja/Rexy Maniaky, Markis Kido/Hendra Setiawan, Taufik Hidayat, dan Maria Kristin adalah beberapa eksemplar bintang bulu tangkis. Untuk kategori lain (seniman, ilmuwan, pengusaha), masing-masing memiliki eksemplar yang berbeda-beda. Selain ini eksemplar juga memiliki hirarkhi, misalnya eksemplar olahraga, maka di bawahnya terdapat eksemplar bulutangkis, sepakbola, bola voli, bola basket, atletik, dan lain-lain. Selanjutnya di bawah eksemplar bulu tangkis terdapat permainan tunggal, ganda, dan ganda campuran.

Untuk makin memperjelas pengertian eksemplar, berikut dikemukakan bagan eksemplar gender.

I

Perhatikan gambar bawah ini : Apakah gambar ini sesuai dengan skema kita tentang pria atau wanita ?

Tidak? Mengapa? Karena tidak memenuhi kedua karakteristik gender. Kemudian kita membentuk lagi sebuah skema tambahan yang diberi nama transvestis, seperti pada skema di bawah ini.

Tapi coba kita lihat gambar berikutnya.

Thanyarasmi, Pemenang kontes Miss Tiffany Universe 2007, Thailand

Miss Tiffany Universe adalah kontes kecantikan yang ditujukan kepada

gender ketiga yang disebut kathoey (waria) di Thailand

Ternyata skema tentang transverses tidak cukup untuk menjelaskan tentang Thanyarasmi yang memiliki wajah tidak beda dengan wanita. Bertambahnya informasi memperkaya skema kita tentang suatu topik yang dalam hal ini adalah tema gender. Setelah melihat kedua gambar di atas tentunya skema tentang gender kita akan berubah dan tentunya bertambah bukan ?1. MACAM MACAM SKEMA MENTALVaughan dan Hogg dalam bukunya Introduction to social psychology (2005) mengemukakan lima macam skema, yaitu:1. orang (Person Schemas)

Skema ini berisi pengetahuan mengenai orang lain yang dimiliki oleh seseorang. Misalnya, anda mempunyai skema mengenai ibu anda, dosen, teman, politikus, pengarang, dan lain-lain. Skema ibu Anda adalah wanita yang tulus, sangat mencintai anak-anaknya, sederhana, dan tidak pernah marah.

2. Skema peran (Role schemas)

Skema ini merupakan struktur pengetahuan mengenai pekerjaan atau suatu jabatan. Misalnya, profesi, dosen, dokter, akuntan, dan penerbang. Peran seorang dosen diharapkan memberikan 14x kuliah dalam satu semester, mulai dan selesai kuliah tepat waktu, menyelesaikan hasil ujian mahasiswa tepat waktu, dan sebagainya.3. Skrip (Scripts)

Skrip adalah skema mengenai suatu peristiwa. Misalnya, skrip perkuliahan, diawali dengan dosen memasuki ruang kuliah, mengucapkan selamat pagi, menjelaskan bahan perkuliahan, tanya-jawab, dan diakhiri dengan dosen meninggalkan ruang kuliah (pembahasan lebih lengkap mengenai skrip lihat penjelasan mengenai skrip terdahulu).

4. Skema bebas isi (Content free schemas)

Skema ini tidak mengandung informasi yang terlalu kaya mengenai suatu hal atau peristiwa khusus, melainkan lebih menyangkut sejumlah aturan mengenai pemrosesan informasi. Untuk memahami skema bebas is ini dapat dilakukan melalui balanced theory dari F. Heider : jika si A menyukai si B, dan si B menyukai si C, maka supaya hubungan si A dan si B harmonis, si A harus menyukai si C.5. Skema diri (Self schemas)

Setiap orang mempunyai skema mengenai dirinya sendiri. Skema diri ini lebih majemuk dan lebih bervariasi dibandingkan dengan skema orang. Contoh skema diri adalah saya seorang pemalu, tidak bisa bergaul, tidak tegas, suka menolong orang lain, dan suka bekerja. Skema diri ini merupakan bagian dari konsep diri (self concept) yang terdiri dari skema diri dan identitas diri (saya pria, orang Jawa, dst.)

2. KEUNTUNGAN dan KERUGIAN SKEMAContoh terdahulu mengenai individu yang lari tatkala melihat tiga pria berpakaian lusuh, berambut gondrong pada malam hari yang gelap yang menyebabkan individu tersebut selamat dari korban kejahatan merupakan contoh skema yang menguntungkan. Namun, ada kalanya atau tidak jarang karena memiliki skema tertentu, individu pemilik skema mengalami kesulitan atau merugikan dirinya. Sebagai contoh, korban perampokan di dalam taksi yang mempunyai skema perampoknya ( berambut pendek, kulit hitam, dan berbadan tegap) akan menunjuk dan berusaha keras mencocok-cocokan ciri-ciri perampok yang ditangkap oleh polisi dengan skemanya, meskipun orang yang dituduh perampok itu tidak mengakui perbuatannya. Skema menjadi merugikan tatkala beberapa saat kemudian perampok yang sesungguhnya berhasil ditangkap polisi. Karena orang yang dituduh merampok mengadukan korban perampokan pemilik skema tadi dengan pasal mencemarkan nama baik dan menuntut dua ratus juta rupiah. Dalam konteks kehidupan yang lebih luas, skema mendasari terjadinya prasangka yang bisa berkenaan dengan gender, etnis, dan jabatan.

Taylor, Peplau, dan Sears (2000) mengemukakan keuntungan dan kerugian mengenai skema secara lebih rinci.

Keuntungan skema :

1. Skema memudahkan pemrosesan informasi.

Skema yang kita miliki akan sangat membantu dalam memaknai suatu stimulus, dengn memilah-milah berbagai informasi berdasarkan skema yang kita miliki. Misalnya, kalau kita berada di lapangan olahraga, maka kita menggunakan skema olahraga (aturan main, pemain bintang, perhitungan skor, wasit, dan lain-lain). Dengan demikian kita dengan mudah mengetahui tim mana yang menang atau kalah.

2. Skema memudahkan mengingat kembali.

Dalam kehidupan sehari-hari banyak hal yang memerlukan berfungsinya ingatan, misalnya dalam berlalu-lintas (rambu lalu-lintas, kapan masa berlaku STNK dan SIM, tarif jalan tol), perbankan (kapan harus membayar kartu kredit, masa berlaku kartu kredit, nomor PIN kartu kredit), perkuliahan (bahan kuliah dari sekian mata kuliah, batas penyelesaian tugas, jadwal kuliah, waktu pembayaran SPP, semester pendek, peraturan akademik), dan lain-lain. Untuk mengingat semua hal ini tidak mudah karena ingatan manusia kemampuannya terbatas. Skema dalam hubungan ini akan sangat membantu mengingat kembali atau membangkitkan kembali ingatan. Sebagai contoh mengenai hal-hal yang berkenaan dengan perkuliahan. Berbagai hal yang harus diingat itu akan mudah diingat bila kita memiliki skema mengenai peraturan akademik, pembayaran SPP, jadwal perkuliahan, bahan perkuliahan, dan seterusnya. Skema yang telah ada ini akan makin membantu apabila diikuti oleh sub-sub skema seperti halnya eksemplar yang telah diuraikan pada bagian terdahulu. Dalam mengingat kognisi sosial, misalnya, anda bisa menyusun skema yang akan memudahkan atau membantu anda mengingat kognisi sosial, seperti diawali dengan pengertian dan definisi, ruang lingkup, macam-macam skema, pengertian skrip dan eksemplar yang masing-masing topik ini dirinci lebih lanjut menjadi sub-topik.3. Skema mempercepat pemrosesan informasi

Seorang yang mempunyai skema mengenai suatu hal, misalnya, olahraga akan lebih cepat memproses peristiwa olahraga dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki skema olahraga. Misalnya, orang yang memiliki skema sepakbola akan cepat memahami tindakan wasit yang memutuskan mengenai dibatalkannya suatu goal karena pencetak goal berada dalam posisi off-side. Sementara orang yang tidak mempunyai skema sepakbola akan menganggap wasit itu berpihak, tidak adil, dan berat sebelah.

4. Skema membantu berlangsungnya pemrosesan informasi secara otomatis.

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering melakukan sesuatu tanpa disadari atau berjalan secara otomatis. Hal ini disebabkan oleh skema yang mendasari tindakan kita berfungsi secara otomatis. Misalnya, kalau kita setiap hari kerja mengemudikan sendiri mobil dari rumah ke kantor pulang-pergi melalui rute yang sama, maka lama-kelamaan kita tidak berpikir lagi jalan mana yang harus ditempuh, berapa kali belok kanan atau belok kiri, dan melintasi jalan tertentu harus waspada karena ada lintasan jalan kereta-api, dan seterusnya.

Demikian pula kita akan secara spontan memeluk sahabat karib kita yang telah lama tidak bertemu karena dalam skema kita, sahabat karib kita sudah dianggap sebagai anggota keluarga sendiri. Dengan kata lain, kita tidak perlu memroses informasi mengenai sahabat karib karena kita sudah memiliki skema sahabat karib.5. Skema membantu penambahan informasi atau menutup kesenjangan informasi.

Bayangkan kita berada pada acara resepsi pernikahan yang dihadiri oleh banyak tamu undangan, dan tiba-tiba di sebelah kita ada tamu yang belum pernah kita kenal mengajak berbincang-bincang. Lazimnya tentu kita ingin mengetahui : siapa tamu undangan ini ? Dari kartu nama yang diberikannya, ternyata tamu tersebut adalah polisi.

Atas dasar identitas polisi ini, maka skema polisi kita berfungsi, sehingga kesenjangan informasi mengenai tamu tersebut tertutup dan perbincangan akan lebih terarah pada hal-hal yang menyangkut pengalaman tugasnya sebagai polisi.

6. Skema membantu kita dalam menginterpretasikan sesuatu

Telah dikemukakan terdahulu bahwa skema berisi berbagai informasi yang satu sama lain saling berkaitan. Skema penyakit tertentu, misalnya, akan sangat membantu dokter dalam pengobatan atau penyembuhan pasien. Dokter-dokter Indonesia umumnya mempunyai skema mengenai penyakit-penyakit tropis, sementara dokter-dokter Barat tidak memiliki skema penyakit tropis, seperti malaria. Maka dokter Indonesia akan mudah mendiagnosis (menginterpretasikan) gejala malaria. Sedangkan dokter Barat akan mengalami kesulitan mendiagnosis pasien dengan gejala malaria karena tidak memiliki skema malaria.

Selanjutnya, dalam hubungan dengan penyakit malaria ini, mudah difahami bahwa para dokter Indonesia lebih percaya diri atau lebih yakin akan diagnosis yang ditegakkannya; sementara dokter Barat menganggap gejala pasien malaria tidak jelas atau penyakit asing, sehingga mereka tidak yakin akan diagnosis mereka karena tidak memiliki rujukan (baca : skema malaria) yang bisa digunakan untuk mendiagnosis gejala yang ditampilkan pasiennya.

7. Skema juga mengandung suatu harapan

Untuk menjelaskan hubungan antara skema dan harapan akan diketengahkan ilustrasi mengenai jabatan. Seorang yang bekerja pada suatu Perusahaan dan menduduki jabatan tertentu akan mengetahui deskripsi tugasnya, kinerja yang dituntut, kewenangan, tugasnya, imbalan dan fasilitas yang menjadi haknya, jenjang karirnya, siapa atasan dan bawahannya, dan sebagainya. Dengan kata lain, karyawan tersebut mempunyai skema sumber daya manusia (SDM) selain berisi tugas, kewajiban, dan kinerja yang diharapkan, juga mengandung sejumlah harapan, seperti berbagai hak karyawan, imbalan dan fasilitas, dan kenaikan pangkat.

Bila terdapat ketidaksesuaian anatara skema SDM dengan harapannya, maka karyawan tersebut akan merasa tidak puas dan kemungkinannya keluar dari perusahaan, protes, mengajukan gugatan ke Departemen Tenaga Kerja, dan lain-lain. Sebaliknya, bila skema SDM sesuai dengan harapan karyawan, maka ia merasa puas, dan selanjutnya ia akan menunjukkan dedikasi dan loyalitas terhadap perusahaannya.

8. Skema mengandung afek.

Dalam sehari-hari istilah afek (affect) yang diartikan sebagai perasaan (gembira, bahagia, senang, sedih, benci, cinta) tidak dikenal secara luas. Umumnya orang lebih mengenal istilah emosi yang dalam psikologi diartikan sebagai afek yang berlangsung intensif dan lama. Bila emosi seseorang yang berkenaan dengan kesedihan berlangsung lama dan sukar hilang (kehilangan orang dekat yang sangat dicintai), maka orang tersebut berada dalam keadaan depresif. Sebaliknya bila ada orang yang memiliki emosi gembira, riang atau senang secara berlebihan dan terus-menerus, maka emosi orang tersebut disebut manis.

Skema yang kita miliki (orang, peristiwa, situasi) sering mengandung afek. Skema kampus, misalnya, di samping meliputi perkuliahan, ujian tengah dan akhir semester, mahasiswa, dosen, gedung, dan lain-lain, di dalamnya terkandung juga afek. Sebagai contoh kampus saya ini menyenangkan karena bangunannya indah, bersih, dan banyak pohon. Demikian pula para dosen umumnya menyenangkan karena bisa menerangkan bahan kuliah secara jelas, kapan saja bisa ditemui, mau meminjamkan buku-buku miliknya, dan tidak arogan. Namun, ada satu dosen yang menyebalkan karena selain merasa paling pintar, suka melecehkan mahasiswa saat kuliah, kalau ditanya mahasiswa marah dan sinis. Contoh lain adalah skema kita mengenai para politisi akhir-akhir ini yang negatif, misalnya, korupsi, tidak memperjuangkan atau membela kepentingan rakyat, meminta fasilitas, dan lain-lain, sehingga kita tidak menyukai dan menaruh hormat terhadap mereka.

Kerugian SkemaKeuntungan skema yang telah diuraikan terdahulu membantu pemrosesan informasi, membantu ingatan, mempercepat pemrosesan informasi, dan lain -lain, di dalamnya melekat juga kerugian. Hal ini terlihat dari gejala terlalu menyederhanakan (oversimplifications) suatu fenomen. Kalau kita bertemu dengan orang yang baru kita kenal dan kita berhasil mengidentifikasi suku bangsa orang tersebut, misalnya suku Batak, maka dengan cepat kita akan menganggap beragama Kristen. Atau kita menganggap dia orang Medan, dengan segala karakteristiknya yang khas. Padahal sejak kecil dia dibesarkan di Bandung, sehingga karakteristik Batak dan Medan hampir tidak melekat lagi pada dirinya. Bayangkan kalau perkenalan kita dengan orang Batak itu berlanjut dan skema kita mengenai dirinya tidak berubah, maka kita akan mengirim kartu natal kepadanya, padahal dia bergama Islam. Contoh skema yang merugikan ini hanya menyangkut hubungan antarpribadi. Bagimana bila skema yang merugikan itu menyangkut hubungan antar kelompok? Tentu saja akibatnya akan lebih luas. Oleh sebab itu skema negatif yang dimiliki oleh satu kelompok mengenai kelompok lain secara potensial akan sangat merugikan hubungan antar kelompok. Bahkan dalam konteks bangsa atau negara dapat mengancam dan menghancurkan keutuhan suatu negara, seperti yang terjadi di Jengoslavia, Uni Sovyet, dan Afganistan.

Skema yang merugikan dapat terjadi bila seseorang menarik kesimpulan mengenai orang lain atas dasar teori kepribadian implisit (implicit personality theory). Yang dimaksud dengan teori ini adalah kecenderungan pada orang untuk menarik kesimpulan mengenai orang lain hanya atas dasar satu sifat orang lain itu. Sebagai contoh dapat dikemukakan dua orang yang baru berkenalan terdahulu. Orang pertama yang mengidentifikasi orang kedua yang baru dikenalnya itu sebagai orang Batak, akan menyimpulkan juga bahwa orang kedua itu beragama Kristen, gigih, kerja keras, dan bicara blak-blakan. Contoh lain teori kepribadian implisit adalah anggapan bahwa orang cerdas itu pasti memiliki serentetan sifat lain yang baik, seperti jujur, dapat diercaya, peduli pada orang lain, dan imaginatif.

Menarik kesimpulan atas dasar satu sifat orang Batak atau orang cerdas yang tidak didukung oleh data lain merupakan bentuk berpikir otomatis (automatic thoughts) yang sering digunakan orang dalam menilai orang lain, situasi, dan suatu peristiwa. Misalnya, kalau ada pencurian di suatu RT, warga RT akan segera menduga pelakunya adalah mantan narapidana yang baru dibebaskan dua minggu yang lalu.

Buatlah eksemplar mengenai mahasiswa berdasarkan disiplin ilmu, hobi, dan aktivitas unjuk rasa. Buat juga eksemplar mengenai pedagang kali lima (tiga eksemplar).

Petunjuk Jawaban LatihanPelajari pengertian eksemplar dengan cermat.

Skema merupakan struktur kognitif yang mentukan perilaku manusia.

Manusia mempunyai bermacam-macam skema, seperti skema hari wisuda, skema perkuliahan, skema berobat di rumah sakit, skema lalu-lintas, dll. Namun, skema bisa dikelompokan menjadi lima, yakni skema orang, skema peran, skema bebas isi, sekrip, dan skema diri. Skema khusus yang menggambarkan urut-urutan suatu peristiwa disebut sebagai sekrip.

Selain menguntungkan (memudahkan pemrosesan informasi, memudahkan mengingat kembali, mempercepat pemrosesan informasi, membantu pemrosesan informasi secara otomatis, dll., skema juga memiliki kerugian (terlalu menyederhanakan suatu gejala, berperannya implicit personality theory, dan merangsang berpikir otomatis).

1. Menurut Rumelhart dan Orfony, skema yang kita miliki itu mendikte perilaku. Ini berarti bahwa skema itu sifatnya :A. top-down

B. bottom-down

C. bottom-up

D. top-bottom2. Pemain bola legendaris adalah Pele. Dalam skema, Pele adalah :

A. content free schema

B. person script schema

C. role schema

D. exemplar3. Seorang mahasiswa yang dengan mudah dan lancar melakukan pendaftaran ulang karena ia memahami betul urutan atau prosedur pendaftaran ulang, berarti ia memiliki :

A. eksempalr

B. skema ingatan

C. skrip

D. skema bebas isi

4. Salah satu kerugian skema adalah :

A. informasi mengandung afek

B. penyederhanaan informasi

C. menyulitkan interpretasikan informasi

D. mengolah informasi secara otomatis.

5. Tugas dosen, antra lain, memberi kuliah, menilai tugas mahasiswa, dan membimbing penulisan skripsi. Tugas dosen seperti ini termasuk :

A. skema orang

B. skema diri

C. skema status

D. skema peran

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali

80 - 89% = baik

70 - 79% = cukup

< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar 3. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang belum dikuasai.

Kegiatan Belajar 4

ATRIBUSI

Dalam kehidupan nyata sehari-hari manusia menghadapi berbagai informasi mengenai orang, situasi, dan peristiwa yang selanjutnya informasi ini diproses sedemikian rupa, sehingga akhirnya informasi ini dipahami, dan menjadi bermakna. Upaya manusia untuk memahami informasi ini tidak sebatas bagaimana, tetapi manusia cenderung ingin memahaminya sampai ke pengetahuan mengapa dari informasi yang diterimanya itu. Apabila terjadi kecelakaan lalu-lintas, misalnya, orang tidak cukup puas hanya menyaksikan sebuah mobil yang bagian depannya hancur dan letaknya terbalik, sementara di arah yang berlawanan dari posisi mobil tampak sebuah bus yang bagian depannya juga rusak. Orang cenderung untuk merekonstruksi mengapa mobil itu sampai rusak berat dalam posisi terbalik : Apakah pengemudi mobil yang ngantuk, kecepatan mobil sangat tinggi, atau menghindari penyeberang. Sebaliknya, mengenai bus yang juga rusak bisa timbul pertanyaan sebagai berikut : apakah karena pengemudinya ngantuk, rem bus tidak berfungsi, pengemudi yang kurang berpengalaman, ban bus yang tidak layak pakai, dan lain-lain. Atas dasar hasil rekonstruksi ini disimpulkan bahwa pihak yang salah dalam peristiwa kecelakaan lalu lintas ini adalah pengemudi bus.

Kecenderungan manusia untuk mencari dan memperoleh pengetahuan mengapa dari suatu fenomen tidak hanya berlaku dalam peristiwa kecelakaan lalu-lintas, tetapi juga berlaku untuk peristiwa lain, seperti pada kejadian pemain sepakbola memukul wasit, polisi memukul mahasiswa, individu yang datang terlambat pada acara ulangtahun pacarnya, dan mahasiswa yang terlambat memasukan makalah. Bila berbagai peristiwa ini dihubungkan dengan atribusi, maka atribusi berarti proses mencari informasi dan menarik kesimpulan dari suatu peristiwa, situasi, atau perilaku orang. Dengan kata lain, dalam konteks interaksi antara manusia, atribusi diartikan sebagai upaya untuk mencari penyebab di balik perilaku manusia. Menurut Myers (dalam Sarwono, 2005), manusia cenderung untuk mencari penjelasan mengenai segala sesuatu, termasuk perilaku orang lain karena adanya sifat ilmuwan/psikolog pada manusia (naive scientist/psychologist).A. TEORI ATRIBUSI

Mencari atau menemukan penyebab dari suatu perilaku tidaklah mudah. Penyebab dari polisi yang memukul mahasiswa yang berunjuk rasa, misalnya, bisa berada di pihak polisi (diinstruksikan atasan) atau bisa juga berada di pihak mahasiswa (menghina polisi dengan kata-kata kasar dan kotor). Atau bisa juga penyebab kejadian tersebut berada pada kedua belah pihak : polisi mendapat instruksi, sementara mahasiswa menghina polisi. Untuk menjelaskan ilustrasi hubungan polisi mahasiswa, berikut dikemukakan beberapa teori atribusi.

1. Teori Penyimpulan Terkait (Correspondent Inference Theory). Teori ini dikemukakan oleh Jones dan Davis (1965). Menurut teori ini kita dapat mengetahui sifat-sifat seseorang melalui perilaku nyata yang ditampilkan sama dari waktu ke waktu. Kalau kita bisa mengamati perilaku nyata seseorang, maka sebenarnya kita akan memperoleh data yang kaya mengenai sifat di balik perilaku nyata tersebut. Sampai batas-batas tertentu anggapan ini ada benarnya (di balik orang menangis bisa diketahui bahwa ia sedang sedih). Tetapi sebenarnya untuk menangkap sifat di belakang orang yang menangis ini tidak sesederhana itu. Sebab, tidak tertutup kemungkinan perilaku menangis itu disebabkan oleh faktor di luar dirinya (external factors), misalnya, adat-istiadat suku tertentu yang mewajibkan pelayat menangis bila memasuki rumah orang yang meninggal. Demikian juga pelayan toko atau rumah-makan yang berperilaku ramah, sopan, dan tersenyum belum tentu menggambarkan sifat mereka yang sesungguhnya, tetapi lebih disebabkan oleh tuntutan tugasnya. Dengan demikian, mencoba memahami sifat seseorang melalui perilaku nyata bisa menyesatkan atau salah.

Jones dan Davis melalui Teori Penyimpulan Terkait-nya (Teori yang menggunakan perilaku orang lain sebagai dasar untuk menarik simpulan sifat apa yang dimiliki oleh orang tersebut) mengemukakan bahwa untuk bisa menarik simpulan secara tepat mengenai sifat berdasarkan perilaku itu, kita harus memberikan perhatian atau fokus pada perilaku tertentu atau khusus.

Pertama, kita hanya memberikan perhatian pada perilaku yang dipilih secara bebas oleh individu, dan bukan karena kewajiban atau ada unsur paksaan. Misalnya, kalau pelayan rumah-makan itu tersenyum bukan hanya saat melayani pelanggan, tetapi di luar rumah-makan tatkala tidak bertugas pun perilakunya sopan, ramah, dan tersenyum, maka kita baru bisa menarik simpulan mengenai sifat orang tersebut.

Kedua, kita hanya memberikan perhatian terhadap perilaku yang oleh Jones dan Davis (1965) disebut sebagai noncommon effects (efek yang tidak lazim). Kita dapat memahami dengan mudah dan menganggap lazim apabila siswa bidang IPA yang lulus matematika, fisika, dan biologi dengan nilai tinggi memilih kuliah di fakultas tehnik atau fakultas kedokteran. Namun, apabila siswa tadi memilih kuliah di jurusan non-IPA, misalnya Sastra Russia atau Cina, maka kita bisa menarik simpulan bahwa pilihannya itu betul-betul didasari oleh keinginannya yang kuat atau tidak sekadar ikut arus kebanyakan temannya semata-mata. Dengan kata lain, pilihan Sastra Russia atau Cina oleh siswa IPA ini betul-betul di luar kelaziman (distinctive).

Ketiga, penarikan simpulan kita akan lebih tepat, apabila dasar perilaku yang kita amati itu adalah bukan yang dilakukan oleh kebanyakan orang (social desirability). Misalnya, bila ada seorang pria kaya keturunan bangsawan menikah dengan wanita biasa, sederhana, dan keturunan rakyat biasa, maka dapat disimpulkan bahwa dasar pilihan pria bangsawan ini adalah cinta sejati.

Bila kita kembali pada ilustrasi pemukulan mahasiswa yang berunjuk rasa oleh polisi, maka kita tidak bisa memberikan atribusi bahwa polisi gampang main pukul karena mereka memang diintruksikan oleh atasannya untuk memukul (faktor eksternal). Demikian pula halnya dengan mahasiswa yang melontarkan kata-kata kotor dan kasar, tidak dapat disimpulkan bahwa atribusi mereka tidak sopan dan kasar. Oleh karena kata-kata kotor yang ditujukan terhadap polisi itu merupakan strategi yang dirancang (faktor eksternal) untuk memancing kemarahan polisi.2. Teori Psikologi Awam (Theory of naive psychology)

Teori psikologi awam (theory of naive psychology) dikemukakan oleh Heider (1958). Menurut Heider teori psikologi yang dikemukakan oleh orang-orang awam ini selain penting diperhatikan, juga perlu dipelajari. Sebab, psikologi awam ini berpengaruh terhadap perilaku. Sebagai contoh, individu yang percaya pada dukun akan mengikuti kata-kata atau nasihat sang dukun dibandingkan dengan individu lain yang tidak percaya pada dukun. Heider beranggapan bahwa setiap orang itu adalah psikolog awam yang secara awam atau akal sehat (common sense) akan membangun teori untuk menjelaskan penyebab dari perilaku. Misalnya, jika seseorang menyaksikan orang marah-marah di jalan, maka ia akan mencoba menganalisis dan menyimpulkan penyebab dari kemarahan orang tadi. Oleh karena proses melakukan analisis dan menarik kesimpulan orang awam ini kurang lebih sama dengan yang dilakukan oleh ilmuwan, maka menurut Heider orang awam ini bisa juga disebut sebagai ilmuwan awam (naive scientist).

Gagasan Heider mengenai teori psikologi awam ini didasari oleh tiga prinsip :

a. Mengingat perilaku kita umumnya mempunyai atau didasari oleh suatu motif, maka kita pun cenderung untuk mencari atau mengetahui motivasi perilaku orang lain. Dalam hubungan ini Heider dan Simmel (1944) melakukan eksperimen yang meminta peserta eksperimen untuk mendeskripsikan gerakan dari gambar gambar geometris yang abstrak. Ternyata subyek peserta eksperimen mendeskripsikan gerakan gambar geometris itu seolah-olah manusia yang sedang melakukan atau berbuat sesuatu, termasuk alasan mengapa ia melakukan hal itu.

Hasil eksperimen Heider ini sejalan dengan kehidupan manusia sehari-hari yang selalu mencoba mencari penjelasan kausal dari jalan hidupnya atau nasibnya, misalnya, orang yang kena musibah akan menjelaskan penyebabnya dari sudut agama atau takdir.

b. Mengingat dalam membangun teori untuk menjelaskan penyebab perilaku dimaksudkan untuk memprediksi dan bahkan mengendalikan perilaku orang lain, maka kita cenderung untuk mencari sifat (trait) dan atau faktor lingkungan yang relatif tetap. Misalnya, apabila kita bisa menyimpulkan bahwa setelah cukup lama mengamati seorang karyawan kita itu rajin, maka dapat diramalkan bahwa karyawan tersebut akan datang ke kantor tepat waktu dan menyelesaikan tugasnya pun tepat waktu. Dengan demikian, sifat rajin merupakan faktor penyebab yang sifatnya tetap yang dapat digunakan untuk meramalkan datang ke kantor dan penyelesaian tugas.

c. Dalam menentukan penyebab perilaku, Heider membedakan antara faktor pribadi (kepribadian, kemampuan) dan faktor lingkungan (situasi, tekanan sosial). Kalu kita bertemu seorang teman yang sudah lama tidak bertemu di acara re-uni dan ia tampak murung, maka boleh jadi ia memang seorang pemurung atau mungkin ia tidak menyukai acara re-uni tersebut.

Dalam hubungan menentukan faktor penyebab perilaku : apakah terletak pada diri pribadi (atribusi internal) atau lingkungan (atribusi eksternal), Heider berpendapat bahwa karena faktor penyebab pribadi itu sifatnya tersembunyi atau di dalam diri individu, maka kita baru bisa menentukan atribusi internal sebagai faktor penyebab tingkah laku apabila faktor eksternal benar-benar tidak jelas peranannya. Hasil penelitian Scherer (1978, dalam Vaughan dan Hogg, 2005) mendukung pendapat Heider ini. Scherer membuktikan bahwa hanya dengan mendengarkan suara lawan bicara yang belum pernah dikenalnya di telepon (nada suara, cara bicara), individu dapat menyimpulkan sifat lawan bicaranya.

Bila kita kembali pada ilustrasi polisi yang memukul para pengunjuk rasa mahasiswa, maka penjelasan prinsip teori Heider yang pertama adalah bahwa kita sebagai psikolog awam akan mencoba mencari apa motif polisi memukul mahasiswa. Selanjutnya kita akan mengikuti prinsip kedua teori Heider, yakni apakah variabel tetap dari polisi, supaya kita bisa meramalkan perilaku polisi di masa yang akan datang bila menghadapi mahasiswa yang berunjuk rasa, misalnya, kita membuat asumsi bahwa polisi itu aparat negara yang selalu memihak pemerintah. Atas dasar asumsi ini, kita melangkah ke prinsip ketiga dari teori Heider, yakni apakah perilaku polisi selaku aparat pemerintah memukul para mahasiswa itu disebabkan oleh kondisi polisi saat itu (kelelahan, belum makan-atribusi internal) atau diperintah oleh atasannya (atribusi eksternal).3. Model kovarians (Covariation model)

Model kovarians (covariation model) dikemukakan oleh Kelley (1967, 1973) yang pada intinya adalah bahwa suatu perilaku terjadi disebabkan oleh berbagai peristiwa yang berfungsi bersama-sama pada waktu yang sama. Menurut Kelley, karena orang mempertimbangakan berbagai faktor dalam menyimpulkan penyebab dari perilaku, maka ia dapat disamakan dengan ilmuwan. Prosedur menemukan faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap suatu perilaku ini sama dengan teknik analisis statistik ; analisis kovarians (ANOVA), dan karenanya model yang diajukan oleh Kelley ini disebut juga Model ANOVA.Selanjutnya, menurut Kelley, orang menggunakan model kovarians ini untuk memutuskan apakah penyebab atau atribusi perilaku itu terletak pada diri individu (internal dispositions) atau terletak di luar diri individu (external environments).

Untuk menentukan penyebab perilaku itu atribusi internal atau atribusi eksternal, menurut Kelley, orang harus mengumpulkan tiga kelompok informasi yang berfungsi bersama-sama, yakni informasi yang berkenaan dengan konsistensi (consistency), kekhasan (distinctiveness), dan konsensus (consensus. Ketiga kelompok informasi ini oleh Kelley diklasifikasikan menjadi tinggi atau rendah, sehingga bisa terjadi ketiga kelompok informasi ini tinggi semua atau rendah semua, atau kombinasi dari tinggi dan rendah. Untuk memudahkan pemahaman penjelasan model kovarians ini marilah kita ambil contoh mahasiswa A yang malas atau bolos mengikuti mata kuliah X. Persoalannya adalah apakah bolosnya mahasiswa A ini disebabkan oleh dirinya yang memang pembolos (atribusi internal) atau disebabkan oleh dosen mata kuliah X yang tidak menarik (atribusi eksternal). Untuk menjawab persoalan ini marilah kita kumpulkan tiga kelompok informasi sebagaimana dimaksudkan oleh Kelley, sebagai berikut:a. Konsistensi

Tinggi : mahasiswa A selalu bolos pada mata kuliah X

Rendah : mahasiswa A jarang bolos pada mata kuliah X

b. Kekhasan : Tinggi : mahasiswa A hanya bolos pada mata kuliah X

Rendah : mahasiswa A bolos kuliah pada semua mata kuliah

c. Konsensus

Tinggi : banyak mahasiswa yang bolos pada mata kuliah X

Rendah : hanya mahasiswa A yang bolos pada mata uliah X

Seandainya mahasiswa A konsistensinya tinggi (selalu absen atau selalu bolos pada mata kuliah X), dan kekhasannya juga tinggi (hanya bolos pada mata kuliah X), serta konsensusnya tinggi (banyak mahasiswa lain yang bolos pada mata kuliah X), maka berarti penyebab bolos mahasiswa pada mata kuliah X terletak pada dosen mata kuliah X yang tidak menarik (atribusi eksternal).

Sebaliknya, apabila konsistensi mahasiswa A ini tinggi (selalu bolos pada mata kuliah X), kekhasannya rendah (juga bolos pada semua mata kuliah), dan konsensusnya juga rendah (hanya mahasiswa A yang bolos mata kuliah X, sedangkan mahasiswa lain mengikuti mata kuliah X), maka penyebab bolos mahasiswa A terletak pada mahasiswa A sendiri (atribusi internal), atau bukan disebabkan oleh dosen mata kuliah X.

Meskipun model kovarians dari Kelly ini merupakan teori atribusi yang paling dikenal, namun model ini tidak bebas dari berbagai kritik. Misalnya, dalam kenyataan sehari-hari orang sering menyimpulkan sifat seseorang tidak atas dasar ketiga kelompok informasi yang dimaksud oleh Kelley (konsistensi, kekhasan, dan konsensus).

Bahkan, dalam menilai orang lain, orang cenderung mengabaikan atau tidak menggali informasi yang berkenaan dengan konsensus (Mc Arthur, 1972 dalam Vaughan dan Hogg, 2005). Selain ini Nisbett dan Ross (1980, dalam Vaughan dan Hogg, 2005) juga mengemukakan bahwa tidak ada jaminan orang akan menggunakan kovarians model dalam menilai penyebab perilaku, orang sering menggunakan penyebab yang paling menonjol atau pengalaman sebab-akibat yang sudah terbukti. Misalnya, kalau ada kecelakaan bis yang masuk jurang dan kecelakaan seperti ini juga pernah terjadi pada masa lalu dan dikemudikan oleh pengemudi bis yang berasal dari suku bangsa X, maka kita akan langsung menyimpulkan bahwa pengemudi bis yang masuk jurang itu berasal dari suku bangsa X.

Bagaimana model kovarians Kelley menjelaskan perilaku memukul polisi tatkala mahasiswa berunjuk-rasa ? Apakah penyebabnya terletak pada polisi (atribusi internal) atau pada mahasiswa (atribusi eksternal). Untuk menjawab persoalan ini, marilah kita kumpulkan tiga informasi, yakni konsistensi, kekhasan, dan konsensus. Konsistensi

Tinggi : Polisi selalu memukuli pengunjuk-rasa mahasiswa.

Rendah : Polisi jarang memukuli pengunjuk-rasa mahasiswa.

Kekhasan :

Tinggi : Polisi hanya memukuli pengunjuk-rasa mahasiswa

Rendah : Polisis memukuli semua pengunjuk-rasa (mahasiswa, buruh, pedagang kaki lima, pantai, dan lain-lain ).

Konsensus :

Tinggi : Diinstruksikan hanya pengunjuk-rasa mahasiswa yang dipukuli.

Rendah : Diinstruksikan semua pengunjuk-rasa dipukuli.Apabila informasi menunjukkan bahwa ketiga hal itu tinggi (polisi selalu memukuli pengunjuk-rasa mahasiswa, polisi hanya memukuli pengunjuk-rasa mahasiswa, dan polisis diinstruksikan hanya memukuli pengunjuk-rasa mahasiswa), maka berarti penyebab dari polisi memukuli mahasiswa yang berunjuk rasa terletak pada pihak mahasiswa (atribusi eksternal). Sebaliknya, apabila informasi yang diperoleh menunjukkan bawa polisi selalu memukuli pengunjuk-rasa mahasiswa (konsistensi tinggi), dan polisi memukuli siapa saja yang berunjuk rasa (kekhasan rendah), serta polisi diinstruksikan untuk memukul semua pengunjuk rasa (konsensus rendah), maka dalam hal ini memang sifat dasar polisi itu adalah tukang pukul(atribusi internal).4. Labilitas Emosional (Emotional Lability)

Labilitas emosional sebagai salah satu teori atribusi dicetuskan oleh Schachter (1964). Ia mengemukakan bahwa emosi memiliki dua komponen yang berbeda, yakni gugahan fisiologis (physiological arousal) yang tidak membedakan emosi apa yang sedang dialami oleh seseorang, dan kognisi (cognitions) yang memberi sebutan (label) terhadap emosi apa yang dialami oleh seseorang setelah mengalami gugahan fisiologis. Sebagai contoh seorang yang berhadapan dengan harimau di hutan akan tergugah secara fisiologis dan selanjutnya reaksi emosinya disebut takut. Namun, Schachter beranggapan bahwa bisa terjadi kognisi lebih dahulu yang berfungsi (harimau bintang buas, pemakan daging) dan baru disusul kemudian oleh gugahan fisiologis.

Untuk membuktikan mengenai emosi yang berubah-ubah bergantung pada kognisi, Schachter dan Singer (1962, dalam Vaughan dan Hogg, 2005) melakukan sebuah eksperimen. Dalam eksperimennya, mereka memberikan obat bius epinephrine kepada sejumlah mahasiswa (peserta eksperimen). Selanjutnya seluruh peserta eksperimen sebagi menjadi tiga kelompok : Kelompok 1 : diberi informasi yang benar mengenai dampak epinephrine (napas memburu, detak jetak meningkat),

Kelompok 2 : tidak diberikan informasi sama sekali mengenai dampak epinephrine, dan

Kelompok 3 : diberikan informsi yang salah mengenai dampak epinephrine (sakit kepala dari pusing ringan).Proses eksperimen selanjutnya adalah seluruh peserta eksperimen diminta menunggu di suatu ruangan bersama-sama dengan sejumlah orang yang sebenarnya mereka adalah orang-orangnya Schachter dan Singer yang sudah dilatih untuk memainkan peran tertentu (confederate). Separuh dari orang Schacter berperan sebagai orang yang suasana hatinya gembira atau enphoria (tertawa geli dan membuat kapal terbang kertas. Sedangakn separuhnya lagi berperan sebagai orang yang sedang marah (menghentak-hentakan kaki dan merobek-robek kertas).

Hasil eksperimen Schachter dan Singer menunjukkan bahwa baik kelompok peserta eksperimen yang diberi informasi dengan benar maupun kelompok peserta eksperimen yang tidak diberi informasi mengenai dampak epinephrine tidak terpengaruh oleh perilaku orang-orangnya Schachter. Oleh karena kedua kelompok ini sudah mengetahui dampak epinephrine. Sementara kelompok yang pengetahuan dampak epinephrine yang salah mengalami peristiwa yang tidak diharapkan, sehingga emosi mereka terpengaruh (ada yang gembira dan ada yang marah). Sumber perubahan emosi kelompok yang pengetahuannya salah ini berasal dari peran yang dimainkan oleh orang-orang Schachter atau lingkungan.

Bagaimana aplikasi dari hasil eksperimen Schachter dan Singer ini ?

Menurut Valins dan Nisbet (1972, dalam Vaughan dan Hogg, 2005) sangat signifikan bagi kepentingan terapi. Bila emosi ditentukan oleh apa penamaan yang diberikan oleh kognisi, maka melalui atribusi kausal kita dapat melakukan gugahan yang didasari oleh atribusi baru (reattributing arousal), misalnya penderita depresi diubah emosinya menjadi emosi gembira. Demikian pula seorang yang pemalu bisa diperbaiki dengan cara mengemukakan bahwa penyebabnya bukan terletak pada dirinya (atribusi internal), melainkan disebabkan oleh lingkungan (atribusi eksternal). Dengan kata lain, individu memiliki sifat pemalu bukan karena faktor kepribadiannya, tetapi disebabkan oleh faktor lingkungan ( bertemu orang-orang yang tidak atau belum pernah dikenalnya atau orang-orang yang terkenal). Oleh Valins upaya merubah paradigma individu ini atribusi internal ke atribusi eksternal disebut sebagai misattribution. 5. Teori Persepsi Diri (Self-Perception Theory)

Teori Persepsi Diri dicetuskan dan dikembangkan oleh Bem (1967, 1972, dalam Vaughan dan Hogg, 2005). Menurut Bem untuk mengenali diri kita sendiri, kita bisa melakukan introspeksi dengan cara mencoba mengenali pikiran dan perasaan pribadi. Namun, manakala dengan metode introspeksi ternyata sulit untuk mengenali siapa diri kita, maka yang dapat kita lakukan adalah mengamati perbuatan kita atau apa yang kita lakukan. Misalnya, kalau saya mempersepsikan diri saya sebagai kutu-buku, dan saya menikmati membaca buku, serta saya tahan membaca buku berjam-jam tanpa memperdulikan orang lain. Demikian pula mengapa seseorang mempersepsikan dirinya sebagai olahragawan, karena setiap hari ia melakukan jalan pagi satu jam, pergi dan pulang kantor menggunakan sepeda, dan berenang tiga kali seminggu. Dengan kata lain bagaimana seseorang mempersepsikan dirinya (atribusi internal) diperoleh melalui perilakunya.

Persepsi-diri, menurut Anderson dan Godfrey (1987, dalam Vaughan dan Hogg, 2005) dapat juga diperoleh melalui membayangkan seolah-olah kita melakukan perilaku tertentu (behavioral imagining). Untuk membuktikan hal ini Van Gyn dkk. (1990, dalam Vaughan dan Hogg, 2005) membagi sejumlah atlet/pelari menjadi dua kelompok : kelompok yang melakukan latihan keras dengan mengayuh sepeda dan kelompok yang tidak melakukan latihan sama sekali. Selanjutnya, separuh dari masing-masing kelompok diminta membayangkan diri mereka melakukan lari sangat cepat (melakukan sprint),dan separuhnya lagi tidak membayangkan melakukan sprint. Hasil studi ini tentu saja wajar bila kelompok yang berlatih keras dan membayangkan melakukan sprint menunjukkan prestasi paling tinggi. Namun, yang diluar dugaan adalah bahwa prestasi kelompok yang membayangkan melakukan sprint ternyata prestasinya lebih tinggi daripada kelompok yang tidak diminta membayangkan melakukan sprint. Dengan demikian, disimpulkan bahwa membayangkan sesuatu mempengaruhi konsep-diri yang selanjutnya individu melakukan sesuatu sesuai dengan konsep-dirinya.

Persepsi-diri atau atribusi-diri mempunyai implikasi terhadap motivasi. Teori persepsi-diri memprediksikan jika seseorang diminta untuk mengerjakan suatu tugas dan dijanjikan akan memperoleh hadiah besar (atau dihukum berat bila melakukan kesalahan, maka ia akan mempersepsikan adanya faktor atribusi eksternal dan akibatnya motivasi menurut. Namun, bila hadiah yang akan diterimanya minimal atau tidak ada faktor eksternal, maka berarti atribusi orang tersebut internal dan akibatnya motivasinya meningkat, bekerja dengan senang, dan komitmennya tinggi. Kinerja yang dilandasi oleh atribusi internal atau motivasi intrinsik ini oleh Deci dan Ryan 1985, dalam Vaughan dan Hogg, 2005) disebut over-justificaton effect yang dapat dilihat pada gambar berikut ini.Conditions of task performanceAtribution/

reason for performance

taskExampleconsequences

Sumber : Vaughan dan Hogg, 2005:79

6. Teori Atribusi Weiner (Weiners Attributional Theory)Pengembangan teori atribusi lain adalah teori atribusi Weiner (1979, 1985, 1986) yang secara khusus mengaitkan teorinya dengan pencapaian prestasi (achievement). Dalam hubungan ini Weiner mempersoalkan atribusi dari penyebab dan konsekuensi keberhasilan atau kegagalan seseorang, misalnya apa penyebab dari mahasiswa yang gagal ujian dan apa konsekuensi dari kegagalannya : apakah ia akan berupaya memperbaiki nilain ujiannya (makin rajin belajar) atau justru bersikap pasrah (menjadi malas belajar).

Untuk menjawab hal ini, menurut teori atribusi prestasi (achievement attribution theory) dari Weiner, harus dipertimbangkan tiga faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan tugas seserorang, yaitu:1. Lokus (Locus) : apakah keberhasilan atau kegagalan tugas disebabkan oleh dirinya (faktor internal) atau hal-hal lingkungan (faktor eksternal)?2. Stabilitas (Stability) : apakah keberhasilan atau kegagalan tugas disebabkan oleh faktor internal atau eksternal yang stabil (tetap) atau tidak stabil (tidak tetap) ?3. Pengendalian (controllability) : sejauh mana faktor penyebab keberhasilan atau kegagalan tugas dapat dikendalikan di masa yang akan datang ?Atas dasar tiga dimensi penyebab keberhasilan atau kegagalan tugas ini (internal-eksternal, stabil-tidak stabil, dan terkendali-tidak terkendali), maka diperoleh kombinasi dari ketiga dimensi tersebut. Misalnya, penyebab kegagalan bisa internal, stabil, dan tidak dapat dikendalikan. Motivasi merupakan faktor internal yang tidak stabil (bisa tinggi dan kadang-kadang rendah) dan dapat dikendalikan. Sedangkan taraf inteligensi merupakakn faktor internal yang stabil atau tetap dan sulit diupayakan untuk ditingkatkan karena bersifat heriditer atau bawaan.

B. APLIKASI TEORI ATRIBUSIPada bagian terdahulu telah dikemukakan aplikasi teori atribusi, yakni atribusi prestasi (achievement atribution ) dan tehnik terapi (reattribution of arousal). Selain ini akan dikemukakan dua aplikasi teori atribusi lain yang berkenaan dengan gaya atribusi (attributional styles) dan hubungan antar pribadi (interpersonal relationships).

Gaya atribusi dikemukakan oleh Rotter (1966, dalam Vaughan dan Hogg, 2005). Rotter beranggapan bahwa terdapat perbedaan individual dalam hal pengendalian suatu perilaku : apakah peristiwa itu terjadi (misalnya, lulus ujian) karena kendali saya (Lokus internal) atau kendali di luar diri saya (Lokus eksternal : keberuntungan, kekuasaan luar, dan nasib). Gaya atribusi ini dapat juga diterapkan pada bidang kesehatan (sakit karena makan tidak terkendali/lokus internal atau kerena ada wabah/lokus eksternal ), politik (kalah Pilkada karena tidak mempunyai pengalaman politik/lokus internal atau karena campur tangan pejabat tinggi pemerintah/lokus kendali eksternal), olahraga (kalah karena kurang latihan/lokus kendali internal atau dicurangi wasit/lokus kendali eksternal), dan lain-lain. Gaya atribusi orang berhasil adalah lokus kendali internal (kendali keberhasilan terletak pada diri individu yang bersangkutan), sedangkan gaya atribusi orang yang tidak berhasil lokus kendalinya eksternal (kendali keberhasilan ada di luar dirinya : koneksi dengan pejabat, keberuntungan, sistem kekeluargaan, daerah asal, etnis, dan lain-lain). Untuk mengetahui atau mengukur gaya atribusi individu, Rotter menyusun locus of control scale yang terdiri dan 29 items.

Selain skala yang disusun oleh Rotter, terdapat skala atribusi lain yang disusun oleh Peterson dan kawan-kawan (1982, dalam Vaughan dan Hogg, 2005), yakni Attributional Style Questionnare (ASQ).

Dasar penyusunan skala ini merujuk pada tiga dimensi dari suatu perilaku : internal/eksternal, stabil/tidak stabil, dan global/spesifik. Pengertian mengenai dimensi internal/eksternal dan stabil/tidak stabil dapat dirujuk teori atribusi prestasi dari Weiner. Sedangkan yang dimaksud dengan dimensi global/spesifik adalah sejauhmana penyebab dari suatu perilaku itu luas atau sempit. Misalnya, buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) bisa jadi disebabkan oleh krisis keuangan di seluruh dunia (global) atau karena buruknya manajemen perusahaan buruh yang bersangkutan (spesifik). Seseorang yang menganggap penderitaan atau kemiskinan disebabkan oleh faktor internal, stabil, dan global akan memiliki gaya atribusi depresif (depressive attributional style) yang mendorong kondisi ketidak berdayaan dan depresif (helplessness and depressive, Abramson, Siligman, dan Teasdale, 1978 dalam Vaughan dan Hogg, 2005).

Teori atribusi juga memberi sumbangan besar terhadap hubungan antarpribadi, khususnya hubungan antarpribadi yang sifatnya dekat, seperti pernikahan dan persahabatan. Harvey (1987, dalam Vaughan dan Hogg, 2005), misalnya, mengemukakan mengenai tiga tahap dalam hubungan antrapribadi, yakni pembentukan (formation), mempertahankan (maintenance), dan perpecahan (dissolution). Pada tahap pembentukan, peran atribusi adalah mengurangi hal-hal yang tidak jelas, mendorong komunikasi, dan saling pengertian. Pada tahap mempertahankan, kebutuhan, akan atribusi berkurang karena sudah terbentuk hubungan yang stabil. Pada tahap perpecahan hubungan antarpribadi, kebutuhan akan atribusi meningkat karena keinginan untuk memperoleh kembali pengertian mengenai hubungan antrapribadi.

Selain ini Horai (1977, dalam Vaughan dan Hogg, 200