012_amos_neolaka_unj_94-102

10
Prosiding Konvensi Nasional Asosiasi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan (APTEKINDO) ke 7 FPTK Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, 13 sd.14 November 2014 ISBN: 978-602-72004-0-1 94 Model Pendidikan Guru Vokasional yang Profesional menuju Generasi Emas Amos Neolaka Universitas Negeri Jakarta E-mail: [email protected] Abstrak Tujuan penulisan adalah untuk mengemukakan adanya model pendidikan guru vokasional yang professional menuju generasi emas. Semua kita menginginkan agar generasi usia produktif, yaitu siswa-siswa yang sekarang belajar di PAUD, taman kanak-kanak/TK, sekolah dasar/SD, dan bayi yang akan lahir lima tahun mendatang, memperoleh pendidikan yang layak dan dapat mendorong mereka produktif di masa emas tahun 2045. Pada saat sekarang ini kemajuan teknologi informasi sangat pesat, sehingga setiap pristiwa yang terjadi baik dan buruk, pada waktu yang bersamaan dapat diketahui oleh semua orang termasuk peserta didik kita. Hal ini memberikan makna pada kita bahwa semua pristiwa yang terjadi di bangsa kita, seperti: maraknya korupsi, kebebasan seksual, perkosaan anak- anak, pornografi, narkoba, perilaku kehidupan selebriti yang tidak dapat diteladani, menjadi konsumsi peserta didik kita sehari-hari. Model pendidikan yang bagaimana yang dapat menolong mereka untuk menuju generasi emas, sedangkan setiap hari pristiwa buruk/negatif di media elektronik menjadi makanan peserta didik kita. Sangat disadari bahwa model pendidikan kita saat ini belum cukup mendorong peserta didik kita khususnya generasi usia produktif untuk menuju generasi emas 2045. Dikatakan demikian karena pelaku pendidikan, seperti : orangtua, guru/pendidik, para pemimpin, dan masyarakat tidak memberikan contoh teladan harmonis yang dapat ditiru anak-anak atau peserta didik kita. Orangtua menyerahkan anaknya pada guru, sebaliknya guru mengembalikannya kepada orangtua, dan apa yang diharapkan dari para selebriti di media elektronik atau dari masyarakat? Maka dibutuhkan model pendidikan yang berlaku umum, termasuk di dalamnya pendidikan vokasional. Model pendidikan ini dapat berjalan kalau ada kemauan untuk melaksanakannya. Kata kunci: Perilaku harmonis, kemauan, generasi emas, potensi diri PENDAHULUAN Pada era globalisasi sekarang teknologi informasi/TI berperan sangat penting. Dengan menguasai TI merupakan modal yang cukup untuk menjadi pemenang dalam persaingan global. Oleh karena itu jika kita atau seorang guru tidak menguasai teknologi informasi identik dengan menjadi buta huruf. Dalam kondisi seperti ini para guru di era globalisasi menjadi keharusan untuk menguasai teknologi informasi termasuk guru pendidikan vokasional/kejuruan. Melalui TI para guru dapat mewujudkan pembelajaran yang efektif, menyenangkan, siswa terlibat secara aktif, dengan penggunaan multimedia. Kemajuan yang pesat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi di negara-negara maju akibat dukungan yang kuat dari TI. Penguasaan TI diperlukan kecepatan dan ketepatan, karena tidak ada gunanya menguasai TI yang sudah usang, karena perkembangannya yang sangat pesat dan usia informasi yang sangat pendek. Pada saat kemajuan teknologi informasi sangat pesat, maka setiap pristiwa yang terjadi baik dan buruk, pada waktu yang bersamaan dapat diketahui oleh semua orang termasuk peserta didik. Hal ini memberikan makna pada kita bahwa semua pristiwa yang terjadi di bangsa kita, seperti: maraknya korupsi, kebebasan seksual, perkosaan anak-anak, pornografi, narkoba, perilaku kehidupan selebriti yang tidak dapat diteladani, menjadi konsumsi peserta didik kita sehari- hari. Tanggung jawab para guru dan orangtua pada era globalisasi adalah harus menyiapkan siswa atau anaknya untuk menghadapi semua tantangan yang berubah sangat cepat itu.

Upload: benny-apriyanto

Post on 14-Dec-2015

7 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

nice

TRANSCRIPT

Page 1: 012_Amos_Neolaka_UNJ_94-102

Prosiding Konvensi Nasional Asosiasi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan (APTEKINDO) ke 7 FPTK Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, 13 sd.14 November 2014

ISBN: 978-602-72004-0-1

94

Model Pendidikan Guru Vokasional yang Profesional menuju Generasi Emas

Amos Neolaka Universitas Negeri Jakarta

E-mail: [email protected]

Abstrak

Tujuan penulisan adalah untuk mengemukakan adanya model pendidikan guru vokasional yang professional menuju generasi emas. Semua kita menginginkan agar generasi usia produktif, yaitu siswa-siswa yang sekarang belajar di PAUD, taman kanak-kanak/TK, sekolah dasar/SD, dan bayi yang akan lahir lima tahun mendatang, memperoleh pendidikan yang layak dan dapat mendorong mereka produktif di masa emas tahun 2045. Pada saat sekarang ini kemajuan teknologi informasi sangat pesat, sehingga setiap pristiwa yang terjadi baik dan buruk, pada waktu yang bersamaan dapat diketahui oleh semua orang termasuk peserta didik kita. Hal ini memberikan makna pada kita bahwa semua pristiwa yang terjadi di bangsa kita, seperti: maraknya korupsi, kebebasan seksual, perkosaan anak-anak, pornografi, narkoba, perilaku kehidupan selebriti yang tidak dapat diteladani, menjadi konsumsi peserta didik kita sehari-hari. Model pendidikan yang bagaimana yang dapat menolong mereka untuk menuju generasi emas, sedangkan setiap hari pristiwa buruk/negatif di media elektronik menjadi makanan peserta didik kita. Sangat disadari bahwa model pendidikan kita saat ini belum cukup mendorong peserta didik kita khususnya generasi usia produktif untuk menuju generasi emas 2045. Dikatakan demikian karena pelaku pendidikan, seperti : orangtua, guru/pendidik, para pemimpin, dan masyarakat tidak memberikan contoh teladan harmonis yang dapat ditiru anak-anak atau peserta didik kita. Orangtua menyerahkan anaknya pada guru, sebaliknya guru mengembalikannya kepada orangtua, dan apa yang diharapkan dari para selebriti di media elektronik atau dari masyarakat? Maka dibutuhkan model pendidikan yang berlaku umum, termasuk di dalamnya pendidikan vokasional. Model pendidikan ini dapat berjalan kalau ada kemauan untuk melaksanakannya. Kata kunci: Perilaku harmonis, kemauan, generasi emas, potensi diri PENDAHULUAN

Pada era globalisasi sekarang teknologi informasi/TI berperan sangat penting. Dengan menguasai TI merupakan modal yang cukup untuk menjadi pemenang dalam persaingan global. Oleh karena itu jika kita atau seorang guru tidak menguasai teknologi informasi identik dengan menjadi buta huruf. Dalam kondisi seperti ini para guru di era globalisasi menjadi keharusan untuk menguasai teknologi informasi termasuk guru pendidikan vokasional/kejuruan. Melalui TI para guru dapat mewujudkan pembelajaran yang efektif, menyenangkan, siswa terlibat secara aktif, dengan penggunaan multimedia. Kemajuan yang pesat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi di negara-negara maju akibat dukungan yang kuat dari TI. Penguasaan TI diperlukan kecepatan dan ketepatan, karena tidak ada gunanya menguasai TI yang sudah usang, karena perkembangannya yang sangat pesat dan usia informasi yang sangat pendek. Pada saat kemajuan teknologi informasi sangat pesat, maka setiap pristiwa yang terjadi baik dan buruk, pada waktu yang bersamaan dapat diketahui oleh semua orang termasuk peserta didik. Hal ini memberikan makna pada kita bahwa semua pristiwa yang terjadi di bangsa kita, seperti: maraknya korupsi, kebebasan seksual, perkosaan anak-anak, pornografi, narkoba, perilaku kehidupan selebriti yang tidak dapat diteladani, menjadi konsumsi peserta didik kita sehari-hari. Tanggung jawab para guru dan orangtua pada era globalisasi adalah harus menyiapkan siswa atau anaknya untuk menghadapi semua tantangan yang berubah sangat cepat itu.

Page 2: 012_Amos_Neolaka_UNJ_94-102

Prosiding Konvensi Nasional Asosiasi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan (APTEKINDO) ke 7 FPTK Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, 13 sd.14 November 2014

ISBN: 978-602-72004-0-1

95

Pada kegiatan pendidikan kejuruan dan pendidikan secara umum, Soemardjan[1] menyatakan, peran guru dalam proses peningkatan atau pertumbuhan kualitas peserta didik menjadi sangat penting. Konsep kualitas manusia yang dimaksud adalah watak dan jiwanya, cara berpikirnya, dan sikap hidupnya, dalam hubungan dengan diri sendiri, lingkungan sosial, lingkungan alam, dan dengan Tuhan. Demikian juga, Semiawan[2] menyatakan, hubungan antar manusia atau komunikasi melahirkan pergaulan, dan dalam bergaul faktor perhatian sangat menentukan, diawali dengan perkenalan, sehingga orang perlu mengenal tata karma dalam pergaulan. Tata karma dan komunikasi dalam pergaulan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.

Landasan hukum pendidikan di Indonesia adalah: Undang-Undang RI No.20 Tahun 2003[3]. Berdasarkan Undang-Undang R.I No : 20 Tahun 2003, Pasal 4 ayat (1) pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif, dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Pada pasal 15, jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Pasal 18, ayat (1) Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar, (2) Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan, (3) Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang sedrajat.

Secara normatif dan legal formal, sebenarnya antara pendidikan liberal dan pendidikan vokasional disetiap jenjang pendidikan tidak perlu terjadi dikotomi. Secara jelas pendidikan liberal dan pendidikan vokasional telah diatur dalam undang-undang, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif. Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non formal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Selanjutnya dinyatakan bahwa pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan/ vokasional. Bentuk pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan/ vokasional. Mungkin permasalahan dikotomi yang muncul adalah berkaitan dengan proporsi, kewenangan, interes kepentingan, masalah politik, kualitas luaran/SDM, fasilitas pendukung, sarana parasarana, tuntutan kompetensi dan pengaruh lain diluar masalah pendidikan.. Adanya kenaikan anggaran pendidikan sebesar 20% diharapkan dapat memberikan angin segar bagi pennyelesaian berbagai permasalahan pendidikan di Indonesia, terutama dalam alokasi dana pendidikan menengah dan pendidikan tinggi secara proporsional antara pendidikan umum dan vokasional . Kebijakan Menteri Pendidikan Nasional Indonesia untuk menaikkan proporsi alokasi dana pengembangan Pendidikan Vokasional sekitar 70 % dan untuk Pendidikan Umum sekitarr 30 % pada tahun 2014 , diharapkan dapat menunjang berbagi fasilitas penunjang dan peningkatan SDM tenaga guru/dosen bidang pendidikan vokasional.

Permasalahan adalah bagaimana model pendidikan guru vokasional yang profesional menuju generasi emas? Istilah generasi emas menjadi ramai dibicarakan banyak tokoh dan pengamat pendidikan setelah Mendikbud M. Nuh, menyatakannya pada pidato peringatan Hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas 2012 yang lalu. Sejak tahun 2010 sampai 2035 Indonesia mendapatkan bonus demografi, yakni populasi usia produktif palin besar sepanjang sejarah Indonesia. Diperkirakan pada saat HUT Emas 2045 penduduk Indonesia akan mendekati setengah milyar, dan sekitar 100 juta penduduknya tergolong dalam usia produktif. Penduduk usia produktif ini pada saat sekarang masih belajar di pendidikan dasar (PAUD, taman kanak-kanak/TK, Sekolah Dasar/SD), ditambah bayi yang akan lahir lima tahun mendatang. Generasi usia produktif yang sedang duduk belajar di PAUD, TK, SD, dan yang akan lahir lima tahun mendatang, setiap hari akan menyerap/mengkonsumsi kehidupan masyarakat di zaman sekarang yang penuh dengan contoh-contoh hidup yang tidak patut diteladani. Contoh-contoh tersebut misalnya

Page 3: 012_Amos_Neolaka_UNJ_94-102

Prosiding Konvensi Nasional Asosiasi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan (APTEKINDO) ke 7 FPTK Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, 13 sd.14 November 2014

ISBN: 978-602-72004-0-1

96

kehidupan keluarga yang tidak harmonis, pendidikan agama yang menyimpang, kehidupan para pemimpin yang nepotisme, korupsi, narkoba, terorisme, kebebasan seksual, pornografi, trafficking, ingin hidup kaya tetapi tidak mau bekerja/malas, dan tantangan global lainnya. Dengan demikian dibutuhkan guru-guru yang patut diteladani dalam mendidik generasi usia produktif.

PEMBAHASAN

Pendidikan guru vokasional yang professional dalam pembangunan bangsa menjadi penting saat sekarang karena dibutuhkan tenaga vokasional yang professional untuk mengelola sumber daya alam kita yang berlimpah ini. Apabila dikaitkan dengan generasi usia produktif maka dibutuhkan model pendidikan atau pada tingkat operasional model pembelajaran guru vokasional yang professional menuju generasi emas. Berkaitan dengan model pembelajaran guru vokasional yang profesional, maka sudah tentu yang dimaksudkan adalah guru yang memiliki persyaratan kompetensi, yaitu: kompetensi profesional, pedagogik, kepribadian, dan sosial. Guru yang memiliki keempat kompetensi itu disebut guru yang kompeten. Seorang guru dikatakan kompeten jika mempunyai: pengetahuan/knowledge, keterampilan/skill, dan sikap kerja/attitude. Apabila ditelaah lebih mendalam lagi; seorang guru selama belajar di perguruan tinggi (pendidikan sarjana, magister, atau doktor) dan lulus, ia memperoleh pengetahuan, sedangkan keterampilan akan terlihat setelah bekerja di industri pendidikan. Manakala selama melakukan pekerjaan di lapangan industri, masih kurang pengetahuan, maka dapat belajar lagi untuk meningkatkan pengetahuannya, bila kurang keterampilan maka dapat berlatih melalui diklat yang ditunjuk perusahaan/industri. Sedangkan apabila pekerja atau guru kekurangan di dalam perilaku kehidupan, terlihat sikap kerja kurang baik/jelek, bagaimana memperbaikinya jika individu pekerja atau guru tersebut telah dewasa. Dari uraian singkat ini nampak bahwa kompetensi kepribadian dan sosial seorang guru perlu pendalaman, sebab ungkapan yang menyatakan seorang guru adalah pribadi yang patut digugu dan ditiru menjadi tidak benar, bahkan merusak generasi penerus bangsa. Untuk itulah maka dalam tulisan ini ingin dimunculkan model pendidikan guru vokasional yang profesional menuju generasi emas. 1. Tujuan penelitian

Tujuan penulisan adalah untuk mengemukakan dan menunjukkan adanya model pendidikan guru vokasional yang professional menuju generasi emas.

2. Metode penulisan

Metode penulisan yang digunakan adalah metode literatur atau kepustakaan, yaitu membaca dan menelaah buku yang berkaitan dengan pendidikan pada umumnya dan khususnya pendidikan vokasional/kejuruan. Penelusuran bacaan tentang kompetensi guru yang professional dan anak-anak usia produktif yang merupakan generasi emas.

3. Temuan penulisan

a. Deskripsi data kajian

Pendidikan vokasional/kejuruan menurut Kerschensteiner di kutip Soejono[4] adalah sekolah kerja. Bagi dia mendidik adalah menyiapkan anak untuk menjadi warganegara yang baik. Warganegara yang baik itu adalah pekerja dalam satu lapangan pekerjaan atau menjabat suatu jabatan negara. Oleh sebab itu ia memngutamakan sekolah kejuruan atau jabatan, mengutamakan pula pendidikan watak, dan harus dimulai di sekolah. Sekolah kerja adalah melatih para peserta didik untuk memiliki suatu keterampilan yang guna bekerja sehingga dapat mengabdi pada negara. Di sekolah kerja diperlukan ruang bekerja sebagai ruang pendidikan agar anak dapat banyak aktif dan menghasilkan produk. Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan Brophy & Good, yang diedit oleh Wittrock [5], diperoleh hasil yang menunjukkan perlu adanya seleksi ketat kepada para calon guru, sebab hasil penelitian menunjukkan bahwa, mitos yang menyatakan bahwa guru tidak

Page 4: 012_Amos_Neolaka_UNJ_94-102

Prosiding Konvensi Nasional Asosiasi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan (APTEKINDO) ke 7 FPTK Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, 13 sd.14 November 2014

ISBN: 978-602-72004-0-1

97

membuat perbedaan dalam proses belajar siswa tidak benar/telah dibantah. Selanjutnya hasil penelitian menyatakan bahwa perlu mengidientifikasi kompetensi mengajar guru yang diperlukan yang menjadi dasar evaluasi awal. Rencana awal perlu memilih calon guru yang memiliki spesifikasi materi ajar, tidak disarankan untuk memilih calon guru yang memiliki kemampuan dari berbagai materi ajar, kemudian perlu atau mulai lebih fokus pada kebutuhan untuk perilaku guru yang dikaitkan dengan prestasi akademik siswa.

Salah satu faktor dari sepuluh faktor kemajuan dan ketertinggalan suatu bangsa, yang disunting oleh Lawrenge dan Samuel P. Huntington, yang dikutip Jakob Oetama, di dalam Tilaar[6], yang berjudul, Pendidikan Nasional, Arah ke Mana?, adalah masalah pengembangan pendidikan. Hal ini pernah dikemukakan oleh Mochtar Lubis dan Koentjaraningrat di tahun 1980-an, dan sebelumnya oleh Gunnar Myrdall di tahun 1960-an. Dikatakan Jakob Oetama, bahwa tesis mereka memberi ketegasan dan keyakinan tentang stereotype kita yang mengidap amnesia, gampang lupa. Makna aktualnya adalah keyakinan pendidikan sebagai kata kunci kemajuan, sebaliknya justru kita memperlakukan kegiatan pendidikan sekadar alat kepentingan politik. Apalagi praksis politik terlanjur disempitkan atau diselewengkan jadi sarana merebut, memperbesar dan melestarikan kekuasaan dengan wujud praktis kepentingan sesaat bahkan cenderung sectarian. Pada hal membangun pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan, pendidikan itu humanisasi, sifatnya universal dan lebih mencakup. Dikatakan globalisasi dengan mesin liberalisme dikritik mengabaikan kekhasan dan peranan budaya setempat. Perlu menemukan dan mengangkat kepermukaan kelebihan budaya lokal yang dikelompokkan para antropolog sebagai kearifan lokal (indigenous intellectual). Selanjutnya ditegaskan pendidikan tidak saja menyampaikan pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga membangun karakter-karakter positif dengan bahan yang diambil dari keunggulan kita, budaya bangsa Indonesia.

Di dalam buku bunga rampai Pedagogi Reflektif Ignasian, sebuah Kurikulum Hidup, dengan kata pengantar Frans Magnis-Suseno[7], Nugroho menyatakan bahwa para Yesuit atau Kanisius, cita-cita mendirikan sekolah adalah mendidik kaum muda untuk mengubah dunia. Mendidik orang muda merupakan cara ideal untuk memberi pengaruh kepada generasi selanjutnya yang diharapkan dapat menjadi pemimpin. Pendidikan yang diadakan di sekolah bertujuan untuk membentuk generasi muda yang nantinya dapat memberikan pengaruh luas kepada masyarakat. Para kaum humanis yaitu para Kanisius percaya akan kekuatan pendidikan dalam mempersiapkan orang-orang muda yang akan memiliki pengaruh luas. Melalui pendidikan humanis yang mereka terima para Yesuit atau Kanisius mengkritik pembelajaran yang semata-mata spekulatif dan abstrak. Pendidikan harus ditujukan pada keseluruhan pribadi, karakter, dan moral, tidak hanya pada daya pikir kogmitif.

Menurut Ambarjaya[8], model pembelajaran, sesuai Psikologi Pendidikan dan Pengajaran, ada beberapa jenis, yaitu: pertama, model pemebelajaran dengan pendekatan induktif dan deduktif. Kedua, model pembelajaran dengan pendekatan ekspositori. Ketiga, model pembelajaran dengan pendekatan proses. Keempat, model pembelajaran dengan penemuan terbimbing. Menurut Suparman[9], model-model pembelajaran interaktif terbagi dalam tiga bagian besar, yaitu: pertama, model berbagi informasi, antara lain: model seminar, simposium, panel, forum. Kedua, model belajar melalui pengalaman, antara lain: model simulasi, bermain peran. Ketiga, model pemecahan masalah, antara lain: model tutorial, studi kasus, lokakarya. Menurut Nurfuadi, dalam bukunya Profesionalisme Guru, dengan Editor: Suwito[10], menyatakan bahwa, profesionalisme adalah paham yang mengajarkan bahwa setiap pekerjaan harus dilakukan oleh orang yang professional. Orang yang profesional adalah orang yang memiliki profesi, sedangkan profesi itu harus mengandung keahlian, artinya suatu program itu mesti dilandasi oleh suatu keahlian khusus untuk profesi. Profesionalisme dalampendidikan adalah seperangkat fungsi dan tugas dalam lapangan pendidikan berdasarkan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan, khusus di bidang pekerjaan yang mampu menekuni bidang profesinya. Mereka

Page 5: 012_Amos_Neolaka_UNJ_94-102

Prosiding Konvensi Nasional Asosiasi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan (APTEKINDO) ke 7 FPTK Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, 13 sd.14 November 2014

ISBN: 978-602-72004-0-1

98

adalah para guru yang profesional yang memiliki kompetensi keguruan berkat pendidikan dan latihan di lembaga pendidikan guru dalam jangka waktu tertentu. Guru adalah pekerjaan professional, yaitu pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu, dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak dapat memperoleh pekerjaan lain. Sebagai pendidik profesional, guru bukan saja dituntut melaksanakan tugasnya secara profesional, dan harus memiliki pengetahuan dan kemampuan professional.

Menurut Nolker dan Schoenfeldt [11], pengajaran yang berlangsung dalam lingkup pendidikan kejuruan harus memungkinkan pelajar menangani tugas-tugas yang khas untuk bidang kejuruannya, begitu pula menanggulangi persoalan-persoalan dalam kenyataan bidang profesinya. Tugas serta persoalan itu beraneka ragam sifatnya. Jadi metode yang diterapkan dalam pengajaran hendaknya juga sesuai dan beraneka ragam juga. Jika kita melihat dari sudut pelajar, dapat dibedakan tiga jenis dasar kegiatan belajar, dengan karakteristik yang berbeda-beda. Kegiatan belajarnya adalah: (1) Kerja praktek, dalam bentuk kursus-kursus yang sistematik guna memperoleh serta melatih keterampilan, atau dalam bentuk proyek kerja atau praktik industri. (2) Pengetahuan teori, diperoleh melalui pengajaran secara sistematik, eksperimen, pengamatan, widyawisata, tanyajawab, diskusi. (3) Pengalaman, melalui perayaan, darmawisata, identifikasi serta konfrontasi dengan tokoh-tokoh teladan, pengalaman kesetiakawanan kelompok. Sedangkan corak tindakan pengajar ada dua ragam jenis, tergantung dari situasi belajar yang dihadapi. Bentuk pengajaran yang bercorak monolog, adalah seperti: (1)bentuk pengajaran menyajikan, memperagakan, kuliah/ceramah, dan mendiktekan. (2)bentuk pengajaran memberi tugas, menyarankan, menginstruksikan. (2) Dialog, adalah seperti: pembicaraan dalam pengajaran, diskusi, pemeranan/role playing.

Dalam persiapan menyongsong generasi emas, Bafadal [12], menyatakan bahwa tugas pendidikan adalah mengupayakan agar anak bisa mengenal potensi dirinya, sedangkan pendidikan berperan memberikan fasilitas agar mereka dapat mengembangkan potensinya, baik bidang akademik maupun potensi non-akademik, seperti seni dan olah raga. Secara akademis, riset membuktikan bahwa setiap anak lahir dengan potensinya masing-masing. Ada kata-kata bijak menyebutkan, jadikan anak sesuai dengan potensinya, bukan sesuai dengan harapan orang tua. Selanjutnya Muhdi, Rektor IKIP PGRI Semarang[13], menyatakan bahwa untuk mempersiapkan generasi emas Indonesia 2045, penting bagi dunia pendidikan melakukan perubahan pola pikir. Pendidikan tidak sekadar dimaknai dengan transfer akademik saja, melainkan dilengkapi dengan karakter. Keseimbangan penguasaan ilmu (akademik, keterampilan, dan karakter) merupakan faktor kunci menghasilkan sumber daya manusia yang kompetitif. Dikatakan proses pembelajaran tidak cukup sekadar meningkatkan pengetahuan, melainkan harus dilengkapi dengan kemampuan kritis-kreatif, karakter kuat, yang didukung pula dengan kemampuan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Dengan inilah, harapan mengangkat Indonesia menjadi negara maju dan merupakan kekuatan 12 besar dunia pada 2025 dan 8 besar dunia pada 2045 melalui pertumbuhan ekonomi tinggi yang inklusif dan berkelanjutan, akan terwujud. Untuk usia produktif menuju generasi emas, Ketua Kopertis Wilayah VI Jawa Tengah, Sugiharto, mengemukakan, suatu bangsa akan maju apabila generasi yang mengganti lebih baik dari generasi yang diganti. ‘’Maka menjadi tugas dunia pendidikan di generasi sekarang untuk menyiapkan generasi mendatang lebih baik dan berkualitas. Oleh karena itu perlu ada perubahan pola hidup, pola pikir, kecakapan merespons kompleksitas masalah, berpikir jernih, kritis, kreatif, dengan mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan. Pendidik baik guru maupun dosen harus memfasilitasi anak didik atau mahasiswanya mengerjakan dan mempraktikkan apa yang dipelajari di lingkungan sekitarnya. Beri mereka perhatian, ajak berdiskusi tentang bidang yang diminatinya, lalu dorong terjun ke masyarakat.

Page 6: 012_Amos_Neolaka_UNJ_94-102

Prosiding Konvensi Nasional Asosiasi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan (APTEKINDO) ke 7 FPTK Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, 13 sd.14 November 2014

ISBN: 978-602-72004-0-1

99

Sugestiyadi[14], menyatakan pendidikan vokasional merupakan pendidikan untuk penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang mempunyai nilai ekonomis, sesuai dengan kebutuhan pasar dengan education labor coefficient tinggi . Implikasi bagi pendidikan vokasinal adalah : a) Magang atau internship yang terprogram harus menjadi bagian dari sistem pendidikan vokasional, karena banyak keterampilan teknis, sikap, kebiasaan, dan emosional hanya dapat diperoleh melalui on the job training. b) Dalam on the job training keterampilan yang dipelajari termasuk yang bersifat general maupun spesifik, c) Karena general training mempunyai nilai ekenomis yang lebih lama dan menjadi fondasi, maka perlu kuat, d) Spesific training harus selalu di up to date sesuai dengan kebutuhan pasar, e) Training untuk memiliki keterampilan cara memperoleh dan menggali informasi menjadi penting untuk up dating. Kunci utama berkembangnya Jerman dalam penyelenggaraan penddikan vokasional adalah, bahwa pendidikan vokasional akan berjalan secara efektif dan efisien jika kerjasama antara pendidikan dengan , perdagangan , jasa , dunia usaha dan industri (DUDI) dapat terjamin secara berkelanjutan. Pada kenyataan di lapangan berdasarkan image (citra) masyarakat umum, produk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan produk kelas dua, pada level pendidikan menengah di Indonesia . Sementara ini yang terjadi di Indonesia antara dunia pendidikan, dunia kerja, dunia usaha dan industri (DUDI) terlihat berjalan sendiri-sendiri. Pemerintah sebagai otoritas dari sebuah penyelenggaraan suatu negara harus dapat mengambil suatu kebijakan secara legal-formal, memberi ruang untuk suatu mediasi dalam mensinergikan tiga pilar pembangunan, yaitu: (a) Pendidikan, (b) Dunia usaha dan industri (DUDI). (c) Pemerintah.

Menurut Wikipedia[15], model adalah rencana, representasi, atau deskripsi yang menjelaskan suatu objek, sistem, atau konsep, yang seringkali berupa penyederhanaan atau idealisasi. Bentuknya dapat berupa model fisik (maket, bentuk prototipe), model citra (gambar rancangan, citra komputer), atau rumusan matematis.

Haryanto[16], Model pembelajaran diartikan sebagai prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Dapat juga diartikan suatu pendekatan yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran. Jadi, sebenarnya model pembelajaran memiliki arti yang sama dengan pendekatan, strategi atau metode pembelajaran. Saat ini telah banyak dikembangkan berbagai macam model pembelajaran, dari yang sederhana sampai model yang agak kompleks dan rumit karena memerlukan banyak alat bantu dalam penerapannya. Ada beberapa ciri-ciri model pembelajaran secara khusus diantaranya adalah: (1)Rasional teoretik yang logis yang disusun oleh para pencipta atau pengembangnya.(2)Landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar. (3)Tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakandengan berhasil. (4)Lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran dapat tercapai. Sebagai seorang guru harus mampu memilih model pembelajaran yang tepat bagi peserta didik. Karena itu dalam memilih model pembelajaran, guru harus memperhatikan keadaan atau kondisi siswa, bahan pelajaran serta sumber-sumber belajar yang ada agar penggunaan model pembelajara dapat diterapkan secara efektif dan menunjang keberhasilan belajar siswa. Seorang guru diharapkan memiliki motivasi dan semangat pembaharuan dalam proses pembelajaran yang dijalaninya. Guru yang kompeten adalah guru yang mampu mengelola program belajar-mengajar. Mengelola di sini memiliki arti yang luas yang menyangkut bagaimana seorang guru mampu menguasai keterampilan dasar mengajar, seperti membuka dan menutup pelajaran, menjelaskan, menvariasi media, bertanya, memberi penguatan, dan sebagainya, juga bagaimana guru menerapkan strategi, teori belajar dan pembelajaran, dan melaksanakan pembelajaran yang kondusif.

b. Temuan penulisan dan pembahasan

1) Indikator ciri model pembelajaran

Page 7: 012_Amos_Neolaka_UNJ_94-102

Prosiding Konvensi Nasional Asosiasi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan (APTEKINDO) ke 7 FPTK Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, 13 sd.14 November 2014

ISBN: 978-602-72004-0-1

100

Berdasarkan deskripsi data kajian teori, ditemukan beberapa ciri model pembelajaran yang digunakan untuk pengembangan, yaitu: (1)Rasional teoretik yang logis yang disusun oleh para pencipta atau pengembangnya.(2)Landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar. (3)Tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model dapat dilaksanakan dengan berhasil. (4)Lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran dapat tercapai. Indikator ciri model pembelajaran tersebut adalah seperti tertera pada kotak berikut:

Kotak 1: Indikator Rasional teoretik yang logis

Peran guru adalah meningkatkan kualitas siswa

Pendidikan karakter, watak, sikap, perilaku, tatakrama, agar harmonis*

meningkatkan pengetahuan dan keterampilan siswa ,

menyiapkan siswa sebagai tenaga kerja tingkat menengah yang terampil, terdidik, dan profesional,

mengembangkan diri sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni

Secara umum pendidikan untuk hidup, dan untuk mencari penghidupan

Pendidikan untuk perubahan pola pikir

Kotak 2: Indikator landasan pemikiran tentang bagaimana siswa belajar

Dimensi manusia, meliputi hubungan manusiawi, kreativitas, komitmen atau tanggung jawab, komunikasi, tatakrama dalam pergaulan

fleksibilitas, dan orientasi jauh kedepan.

Pendidikan keluarga, agama, Pancasila, hubungan harmonis dengan diri sendiri*

Pendidikan budi pekerti

Pengembangan potensi diri

Kotak 3: Indikator Tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model berhasil

Dimensi tugas (task) meliputi: perencanaan, pengembangan, manajemen, dan penilaian, penguasan TI,

Memiliki kompetensi (profesional, pedagogik, kepribadian, sosial), fokus pada kompetensi kepribadian dan sosial (harmonisasi dengan diri sendiri)*

Praktik kerja/sekolah kerja

Guru yang telah melewati seleksi ketat

Kotak 4: Indikator Lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan tercapai

Dimensi lingkungan (environment) meliputi sekolah dan masyarakat

Penyediaan tenaga kerja.

Kenyamanan lingkungan

Harmonisasi (diri sendiri, keluarga, lingkungan hidup, dan Pencipta)*

Bengkel, laboratorium, studio

Perpustakaan

*Kurang perhatian oleh pemerintah, sekolah, masyarakat dan keluarga

2) Model pembelajaran yang dikembangkan

Pengembangan model pembelajaran ini akan menjawab pertanyaan masalah penulisan yaitu bagaimana model pendidikan guru vokasional yang profesional menuju generasi emas? Setelah memperhatikan indikator-indikator temuan penulisan di atas

Page 8: 012_Amos_Neolaka_UNJ_94-102

Prosiding Konvensi Nasional Asosiasi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan (APTEKINDO) ke 7 FPTK Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, 13 sd.14 November 2014

ISBN: 978-602-72004-0-1

101

mengenai beberapa ciri model pembelajaran, maka ternyata terdapat indikator yang sangat kurang penekanannya dalam interaksi pembelajaran di sekolah. Indikator tersebut adalah yang berkaitan dengan harmonisasi dengan diri sendiri, terutama guru/sekolah, orangtua, dan pemerintah/masyarakat (ada tanda bintang pada indikatornya). Generasi usia produktif yang adalah generasi emas menuju tahun 2045 akan gagal, apabila indikator yang berkaitan dengan harmonisasi diri kurang diperhatikan. Jadi supaya berhasil, guru/sekolah, orangtua, pejabat/pemerintah, dan masyarakat, harus harmonis dengan diri sendiri, sebab mereka memberi teladan/contoh hidup kepada siswa atau peserta didik dan anak, di dalam kelas oleh gurunya, di rumah oleh orangtuanya, di dalam hidup bermasyarakat oleh pejabat yang korupsi, narkoba, dan lain sebagainya. Model pembelajaran interaktif yang ada selama ini sudah bagus, hanya ditambahkan dengan tindakan guru untuk harmonisasi dengan diri sendiri(+H), sebab tidak dapat mengajarkan materi harmonis dengan diri sendiri kepada siswa, jika gurunya sendiri tidak harmonis. Jadi, model pembelajaran yang disarankan dapat dilihat pada gambar berikut;

Bahan baku/masukan Produk/output

Gambar 1: Model pembelajaran + H

PROSES

PEMBELAJARAN

KONDISI SEKOLAH KEPSEK, GURU, KARYAWAN

KONDISI MASYARAKAT KELUARGA, ORANGTUA

Senyum pd masalah

Akrab dgn Tuhan

Sopan, ramah

Tidak Narkoba

Makan teratur

Sakit ke dokter

Tidur teratur

Bersih,

mandi

Diri Sendiri

Page 9: 012_Amos_Neolaka_UNJ_94-102

Prosiding Konvensi Nasional Asosiasi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan (APTEKINDO) ke 7 FPTK Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, 13 sd.14 November 2014

ISBN: 978-602-72004-0-1

102

KESIMPULAN

Berdasarkan temuan penelitian maka kesimpulannya adalah: model pendidikan atau model pembelajaran guru vokasional yang professional menuju generasi emas, dapat menggunakan model pembelajaran interaktif yang sudah ada selama ini, hanya ditambahkan dengan tindakan guru untuk harmonisasi dengan diri sendiri(+H), sebab tidak mungkin guru mengajarkan materi harmonis dengan diri sendiri kepada siswa, jika gurunya sendiri tidak harmonis. Generasi usia produktif yang adalah generasi emas menuju tahun 2045 akan gagal, apabila indikator yang berkaitan dengan harmonisasi diri kurang diperhatikan. Jadi supaya berhasil, guru harus harmonis dengan diri sendiri, sebab mereka memberi teladan/contoh hidup kepada peserta didik di dalam kelas atau sekolah.

DAFTAR PUSTAKA

(1) Soemardjan, Selo. Peran Guru Dalam Proses Pertumbuhan Kualitas Manusia. Jakarta: Penerbit: PIJ-IKIP Jakarta, 1986, p.5.

(2) Semiawan, Conny. Tata karma Pergaulan. Jakarta: Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984,p.16.

(3) Undang-Undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2003

(4) Soejono. Ag, mengutip Kerschensteiner. Aliran Baru dalam Pendidikan. Bandung: Penerbit CV. ILMU, pp.4-10.

(5) Wittrock. Merlin C, in Brophy, Jere & Good, L Thomas. Teacher Behavior and Student Achievement, Handbook of Research on Teaching, Third Edition. New York: Macmillan Publ. Company, 1986, pp. 345-370.

(6) Tilaar. Windu, Pendidikan Nasional: Arah ke Mana? Jakarta: Kompas, 2012, p. 80.

(7) Magnis, Frans Suseno. Pedagogi Reflektif Ignasian, sebuah Kurikulum Hidup. Jakarta: Penerbit Obor, 2013, p.16.

(8) Ambarjaya, Beni S. Psikologi Pendidikan dan Pengajaran, Teori dan Praktik. Yokyakarta: Penerbit: CAPS, 2012, p. 96.

(9) Suparman, Atwi. Model-model Pembelajaran Interaktif. Jakarta: STIA-LAN Press, 1997, pp.1-151.

(10) Suwito. Ns. Profesionalisme Guru. Purwokerto: STAIN Press, 2012, pp.1-9.

(11) Nolker, Helmut & Schoenfeldt, Eberhard. Pendidikan Kejuruan, pengajaran,Kurikulum dan Perencanaan. Jakarta: PT. Gramedia,1988,p.27.

(12) Bafadal, Ibrahim. http://edukasi.kompas.com/read/2013/10/18

(13) Muhdi, http://umk.ac.id/index.php/4/8/2014

(14) Sugestiyadi, Bambang. Pendidikan Vokasional sebagai Investasi. http://www.scribd. com/doc/202756712/Pend-Vokasional/

(15) Wikipedia, http://id.wikipedia.org/wiki/model

(16) Haryanto, http://belajarpsikologi.com/pengertian-model-pembelajaran/

Gambar 2: Harmonis dengan sendiri

Page 10: 012_Amos_Neolaka_UNJ_94-102

Prosiding Konvensi Nasional Asosiasi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan (APTEKINDO) ke 7 FPTK Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, 13 sd.14 November 2014

ISBN: 978-602-72004-0-1

103