00 buku 2 sda jawa final

222
DIREKTORAT PENGAIRAN DAN IRIGASI KEMENTERIAN NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL LAPORAN AKHIR BUKU 2 BUKU 2  IDENTIFIKASI MASALAH IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA AIR DI PULAU JAWA DESEMBER 2006    P    R    A    K    A    R    S    A    S    T    R    A    T    E    G    I    S    P    E    N    G    E    L    O    L    A    A    N    S    U    M    B    E    R    D    A    Y    A    A    I    R    U    N    T    U    K    M    E    N    G    A    T    A    S    I    B    A    N    J    I    R    D    A    N    K    E    K    E    R    I    N    G    A    N    D    I    P    U    L    A    U    J    A    W    A  

Upload: se4lander

Post on 19-Oct-2015

343 views

Category:

Documents


12 download

TRANSCRIPT

  • DIREKTORAT PENGAIRAN DAN IRIGASI KEMENTERIAN NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

    LAPORAN AKHIR

    BUKU 2BUKU 2

    IDENTIFIKASI MASALAH IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA PENGELOLAAN SUMBER DAYA

    AIR DI PULAU JAWA AIR DI PULAU JAWA

    DESEMBER 2006

    PR

    AK

    AR

    SA

    ST

    RA

    TE

    GIS

    P

    EN

    GE

    LO

    LA

    AN

    SU

    MB

    ER

    DA

    YA

    AIR

    U

    NT

    UK

    ME

    NG

    AT

    ASI

    BA

    NJIR

    DA

    N K

    EK

    ER

    ING

    AN

    D

    I P

    UL

    AU

    JA

    WA

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    DAFTAR ISI BAB 1 METODOLOGI 1-1 1.1 Metode Identifikasi Masalah Banjir di Pulau Jawa 1-1 1.2 Inventarisasi Data Ketersediaan dan Kebutuhan Air 1-2 1.3 Inventarisasi data Sekunder Lainnya 1-6 1.4 Metode Identifikasi Masalah Kekeringan di Pulau Jawa 1-10

    1.4.1 Analisis Ketersediaan Air 1-10 1.4.2 Debit Andalan 1-12 1.4.3 Metoda Mock 1-15 1.4.4 Data Kalibrasi 1-32

    1.5 Metodologi Analisis Kebutuhan Air 1-32 1.5.1 Proyeksi Kebutuhan 1-33 1.5.2 Kebutuhan Air Rumah Tangga 1-34 1.5.3 Kebutuhan Air Perkotaan 1-35 1.5.4 Kebutuhan Air Industri 1-38 1.5.5 Kebutuhan Air Peternakan 1-40 1.5.6 Kebutuhan Air Perikanan 1-40 1.5.7 Kebutuhan Air Penggelontoran/Pemeliharaan Sungai 1-41 1.5.8 Kebutuhan Air Irigasi 1-41

    1.6 Aplikasi Analisis Neraca Air 1-46 1.7 Analisis Kekritisan Lahan 1-48

    1.7.1 Erosi Lahan 1-48 1.7.2 Degradasi Lingkungan Daerah Aliran Sungai 1-48 1.7.3 Lahan Kritis dan Ketersediaan Bahan Pangan 1-50 1.7.4 Metoda Penaksiran Degradasi Daerah Aliran Sungai 1-51 1.7.5 Identifikasi Data yang Dibutuhkan 1-52 1.7.6 Definisi Lahan Kritis 1-53

    1.8 Metode Analisis Kondisi Defisit Air di Pulau Jawa 1-58 1.9 Asumsi-Asumsi Perhitungan Neraca Air 1-59

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    BAB 2 IDENTIFIKASI MASALAH BANJIR DI PULAU JAWA 2-1 2.1 Penyebab Terjadinya Banjir 2-1 2.2 Kejadian Banjir 2-8 2.3 Upaya Pengendalian Banjir 2-11 2.4 Pengamatan Indikator Banjir 2-12 2.5 Tahap Siaga Banjir 2-16 BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA 3-1 3.1 Analisis Neraca Air 3-1

    3.1.1 Banten 3-2 3.1.2 Jabotabek dan Sekitarnya 3-11 3.1.3 Jawa Barat 3-23 3.1.4 Jawa Tengah 3-35 3.1.5 Daerah Istimewa Yogyakarta 3-52 3.1.6 Jawa Timur 3-60

    3.2 Analisis Potensi Air Tanah 3-75 3.2.1 Pembagian Cekungan Air Tanah 3-77 3.2.2 Jenis Aquifer Air Tanah 3-80 3.2.3 Potensi Air Tanah 3-81 3.2.4 Prospek Pengembangan Air Tanah 3-84 3.2.5 Permasalahan Penggunaan Air Tanah 3-86

    BAB 4 ANALISIS KONDISI DEFISIT AIR DI PULAU JAWA 4-1 BAB 5 ANALISIS KAJIAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA 5-1

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    DAFTAR TABEL Tabel 1.1 Daftar Perolehan Data-data Pendukung 1-7 Tabel 1.2 Nilai Debit Andalan untuk Berbagai Macam Kegiatan 1-13 Tabel 1.3 Perhitungan Debit Andalan pada Bulan Agustus untuk

    Sungai Hipotetik 1-14 Tabel 1.4 Notasi dan Satuan Parameter Iklim 1-19 Tabel 1.5 Hubungan Temperatur Rata-rata vs Parameter

    Evapotranspirasi A, B & ea 1-22 Tabel 1.6 Nilai Radiasi Matahari pada Permukaan Horizontal Luar

    Atmosfir (mm/hari) 1-22 Tabel 1.7 Koefisien Refleksi, r 1-22 Tabel 1.8 Exposed Surface, m 1-24 Tabel 1.9 Nilai Soil Moisture Capacity untuk Berbagai Tipe Tanaman

    dan Tipe Tanah 1-27 Tabel 1.10 Gambaran Pemakaian Air Rumah Tangga di Beberapa

    Negara 1-34 Tabel 1.11 Standar Kebutuhan Air Rumah Tangga Berdasarkan Jenis

    Kota dan Jumlah Penduduk. 1-35 Tabel 1.12 Besar Kebutuhan Air Perkotaan Berdasarkan Fasilitas

    Perkotaan 1-37 Tabel 1.13 Besarnya Kebutuhan Air Non Domestik Menurut Jumlah

    Penduduk 1-37 Tabel 1.14 Besar Kebutuhan Air Perkotaan Menurut Kepadatan

    Penduduk 1-38 Tabel 1.15 Klasifikasi Industri 1-38 Tabel 1.16 Kebutuhan Air Industri Berdasarkan Beberapa Proses

    Industri 1-39 Tabel 1.17 Kebutuhan Air untuk Ternak 1-40 Tabel 1.18 Koefisien Tanaman, kc 1-44 Tabel 1.19 Jumlah Kota/Kabupaten Berdasarkan Klasifikasi Jumlah

    Bulan Defisit 1-59 Tabel 2.1 Tabulasi Data Peta Sebaran Lokasi Rawan Banjir untuk

    Propinsi Banten 2-3

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    Tabel 2.2 Tabulasi Data Peta Sebaran Lokasi Rawan Banjir Propinsi DKI Jakarta 2-4

    Tabel 2.3 Tabulasi Data Peta Sebaran Lokasi Rawan Banjir Propinsi Jawa Barat 2-6

    Tabel 2.4 Tabulasi Data Peta Sebaran Lokasi Rawan Banjir Propinsi Jawa Tengah 2-6

    Tabel 2.5 Tabulasi Data Peta Sebaran Lokasi Rawan Banjir Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 2-7

    Tabel 2.6 Tabulasi Data Peta Sebaran Lokasi Rawan Banjir Propinsi DKI Jawa Timur 2-7

    Tabel 2.7 Rekapitulasi Kejadian Banjir dan Tanah Longsor Musim Hujan 2001-2002 Per 15 Mei 2002 2-9

    Tabel 2.8 Rekapitulasi Kejadian Banjir dan Tanah Longsor Musim Hujan 2002-2003 Per 30 Juli 2003 2-10

    Tabel 2.9 Kategori Intensitas Gangguan Bencana Banjir 2-21 Tabel 2.10 Kategori Nilai Aset 2-22 Tabel 2.11 Kategori Tingkat Bencana Banjir 2-23 Tabel 3.1 Proyeksi Jumlah Penduduk di Propinsi Banten 3-4 Tabel 3.2 Kebutuhan Air Rumah Tangga di Propinsi Banten 3-4 Tabel 3.3 Kebutuhan Air Perkotaan di Propinsi Banten 3-4 Tabel 3.4 Kebutuhan Air untuk Industri di Propinsi Banten 3-5 Tabel 3.5 Kebutuhan Air Peternakan di Propinsi Banten 3-6 Tabel 3.6 Kebutuhan Air Perikanan di Propinsi Banten 3-6 Tabel 3.7 Proyeksi Luas Lahan Areal Irigasi di Propinsi Banten 3-8 Tabel 3.8 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi Banten 3-8 Tabel 3.9 Ketersediaan Air di Propinsi Banten 3-9 Tabel 3.10 Neraca Air di Propinsi Banten 3-10 Tabel 3.11 Jumlah Bulan Defisit di Propinsi Banten 3-11 Tabel 3.12 Proyeksi Jumlah Penduduk di Jabotabek dan Sekitarnya 3-15 Tabel 3.13 Kebutuhan Air Permukaan untuk Rumah Tangga, Perkotaan

    dan Industri di Jabotabek dan Sekitarnya 3-15 Tabel 3.14 Kebutuhan Air Tanah untuk Rumah Tangga, Perkotaan dan

    Industri di Jabotabek dan Sekitarnya 3-16 Tabel 3.15 Kebutuhan Air Total untuk Rumah Tangga, Perkotaan dan

    Industri di Jabotabek dan Sekitarnya 3-16 Tabel 3.16 Proyeksi Luas Lahan Irigasi di Jabotabek dan Sekitarnya 3-18

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    Tabel 3.17 Kebutuhan Air Irigasi di Jabotabek dan Sekitarnya 3-18 Tabel 3.18 Ketersediaan Air untuk Rumah Tangga, Perkotaan dan

    Industri Jabotabek dan Sekitarnya 3-21 Tabel 3.19 Neraca Air di Jabotabek dan Sekitarnya 3-23 Tabel 3.20 Proyeksi Jumlah Penduduk di Propinsi Jawa Barat 3-25 Tabel 3.21 Kebutuhan Air Rumah Tangga di Propinsi Jawa Barat 3-26 Tabel 3.22 Kebutuhan Air Perkotaan di Propinsi Jawa Barat 3-26 Tabel 3.23 Kebutuhan Air Industri di Propinsi Jawa Barat 3-27 Tabel 3.24 Kebutuhan Air Peternakan di Propinsi Jawa Barat 3-28 Tabel 3.25 Kebutuhan Air Perikanan di Propinsi Jawa Barat 3-29 Tabel 3.26 Proyeksi Luas Lahan Areal Irigasi di Propinsi Jawa Barat 3-30 Tabel 3.27 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi Jawa Barat Tahun 2003 3-31 Tabel 3.28 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi Jawa Barat Tahun 2025 3-31 Tabel 3.29 Ketersediaan Air di Propinsi Jawa Barat 3-33 Tabel 3.30 Neraca Air di Propinsi Jawa Barat Tahun 2003 3-34 Tabel 3.31 Neraca Air di Propinsi Jawa Barat Tahun 2025 3-34 Tabel 3.32 Jumlah Bulan Defisit di Propinsi Jawa Barat 3-35 Tabel 3.33 Proyeksi Jumlah Penduduk di Propinsi Jawa Tengah 3-37 Tabel 3.34 Kebutuhan Air Rumah Tangga di Propinsi Jawa Tengah 3-38 Tabel 3.35 Kebutuhan Air Perkotaan di Propinsi Jawa Tengah 3-39 Tabel 3.36 Kebutuhan Air Industri di Propinsi Jawa Tengah 3-40 Tabel 3.37 Kebutuhan Air Peternakan di Propinsi Jawa Tengah 3-42 Tabel 3.38 Kebutuhan Air Perikanan di Propinsi Jawa Tengah 3-43 Tabel 3.39 Proyeksi Luas Lahan Areal Irigasi di Propinsi Jawa Tengah 3-45 Tabel 3.40 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2003 3-46 Tabel 3.41 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2025 3-46 Tabel 3.42 Ketersediaan Air di Propinsi Jawa Tengah 3-48 Tabel 3.43 Neraca Air di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2003 3-50 Tabel 3.44 Neraca Air di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2025 3-50 Tabel 3.45 Jumlah Bulan Defisit di Propinsi Jawa Tengah 3-51 Tabel 3.46 Proyeksi Jumlah Penduduk di Propinsi DIY 3-54 Tabel 3.47 Kebutuhan Air Rumah Tangga di Propinsi DIY 3-54 Tabel 3.48 Kebutuhan Air untuk Perkotaan di Propinsi DIY 3-54 Tabel 3.49 Kebutuhan Air Industri di Propinsi DIY 3-55 Tabel 3.50 Kebutuhan Air Peternakan di Propinsi DIY 3-56 Tabel 3.51 Kebutuhan Air Perikanan di Propinsi DIY 3-56

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    Tabel 3.52 Proyeksi Luas Lahan Areal Irigasi di Propinsi DIY 3-57 Tabel 3.53 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi DIY Tahun 2003 3-57 Tabel 3.54 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi DIY Tahun 2025 3-58 Tabel 3.55 Ketersediaan Air di Propinsi DIY 3-58 Tabel 3.56 Neraca Air di Propinsi DIY Tahun 2003 3-59 Tabel 3.57 Neraca Air di Propinsi DIY Tahun 2025 3-60 Tabel 3.58 Jumlah Bulan Defisit di Propinsi DIY 3-60 Tabel 3.59 Proyeksi Jumlah Penduduk di Propinsi Jawa Timur 3-62 Tabel 3.60 Kebutuhan Air Rumah Tangga di Propinsi Jawa Timur 3-63 Tabel 3.61 Kebutuhan Air Perkotaan di Propinsi Jawa Timur 3-64 Tabel 3.62 Kebutuhan Air Industri di Propinsi Jawa Timur 3-65 Tabel 3.63 Kebutuhan Air Peternakan di Propinsi Jawa Timur 3-66 Tabel 3.64 Kebutuhan Air Perikanan di Propinsi Jawa Timur 3-67 Tabel 3.65 Proyeksi Luas Lahan Areal Irigasi di Propinsi Jawa Timur 3-69 Tabel 3.66 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi Jawa Timur Tahun 2003 3-70 Tabel 3.67 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi Jawa Timur Tahun 2025 3-70 Tabel 3.68 Ketersediaan Air di Propinsi Jawa Timur 3-72 Tabel 3.69 Neraca Air di Propinsi Jawa Timur Tahun 2003 3-73 Tabel 3.70 Neraca Air di Propinsi Jawa Timur Tahun 2025 3-74 Tabel 3.71 Jumlah Bulan Defisit di Propinsi Jawa Timur 3-75 Tabel 3.72 Cekungan Air Tanah (CAT) di Pulau Jawa dengan Jumlah

    Alirannya 3-78 Tabel 3.73 Potensi Air Tanah di Propinsi Banten 3-82 Tabel 3.74 Potensi Air Tanah di Propinsi DKI Jakarta 3-82 Tabel 3.75 Potensi Air Tanah di Propinsi Jawa Barat 3-82 Tabel 3.76 Potensi Air Tanah di Propinsi Jawa Tengah 3-83 Tabel 3.77 Potensi Air Tanah di Propinsi DIY 3-83 Tabel 3.78 Potensi Air Tanah di Propinsi Jawa Timur 3-84 Tabel 4.1 Jumlah Kota/Kabupaten Berdasarkan Klasifikasi Jumlah

    Bulan Defisit 4-1 Tabel 4.2 Defisit Rerata dan Defisit Maksimum pada Masing-masing

    Wilayah 4-2 Tabel 4.3 Korelasi antara Defisit Ketersediaan Air dengan Kepadatan

    Penduduk 4-6 Tabel 4.4 Korelasi antara Defisit Ketersediaan Air dengan Keluarga Pra

    KS I 4-7

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    Tabel 4.5 Korelasi antara Defisit Ketersediaan Air dengan Luas Lahan Kritis 4-8

    Tabel 4.6 Korelasi antara Defisit Ketersediaan Air dengan Rasio Luas Lahan Kritis 4-9

    Tabel 4.7 Korelasi antara Defisit Ketersediaan Air dengan Jumlah Balita Busung Lapar 4-10

    Tabel 4.8 Korelasi antara Defisit Ketersediaan Air dengan Produktivitas Padi 4-11

    Tabel 4.9 Korelasi antara Defisit Ketersediaan Air dengan Produktivitas Jagung 4-12

    Tabel 4.10 Korelasi antara Defisit Ketersediaan Air dengan Pengeluaran Anggaran Pembangunan 4-13

    Tabel 4.11 Korelasi antara Defisit Ketersediaan Air dengan Pendapatan Asli 4-14

    Tabel 4.12 Korelasi antara Defisit Ketersediaan Air dengan Jumlah Rumah 4-15

    Tabel 4.13 Korelasi antara Defisit Ketersediaan Air dengan Jumlah KK di Lahan Kritis 4-15

    Tabel 4.14 Korelasi antara Defisit Ketersediaan Air dengan Jumlah Industri 4-16

    Tabel 4.15 Korelasi antara Defisit Ketersediaan Air dengan Penghasilan Utama 4-17

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Ilustrasi proses terbentuknya aliran permukaan. 1-12 Gambar 1.2 Lengkung debit aliran pada Bulan Agustus di salah satu

    stasiun pengamatan Sungai Hipotetik. 1-15 Gambar 1.3 Bagan alir model rainfall-runoff. 1-16 Gambar 1.4 Bagan alir perhitungan debit dalam Metoda Mock. 1-17 Gambar 1.5 Sirkulasi air 1-18 Gambar 1.6 Water surplus merupakan presipitasi yang telah

    mengalami evapotranspirasi atau limpasan yang ditambah infiltrasi. 1-25

    Gambar 1.7 Perjalanan air hujan sampai terbentuk debit 1-29 Gambar 1.8 Analisis Neraca Air 1-47 Gambar 1.9 Skema identifikasi lahan kritis aktual. 1-56 Gambar 1.10 Langkah identifikasi lahan kritis aktual. 1-57 Gambar 1.11 Skema definisi kondisi kritis dan lahan kritis. 1-58 Gambar 2.1 Skema sebuah sistem peringatan dini dengan indikator

    tinggi muka air. 2-13 Gambar 2.2 Sistem peringatan dini dengan peramalan banjir. 2-15 Gambar 2.3 Diagram alir penentuan kategori tingkat bencana banjir. 2-21

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    1-1

    BAB 1 METODOLOGI

    LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

    BAB 1 METODOLOGI

    1.1 METODE IDENTIFIKASI MASALAH BANJIR DI PULAU JAWA

    Data banjir yang berhasil dikumpulkan berupa data sekunder dari instansi-instansi terkait. Data sekunder mengenai banjir yang terjadi di Pulau Jawa diperoleh antara lain dari: a) Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah melalui Pusat Data

    Sumber Daya Air (Water Resources Data Center WRDC). b) Kementerian Negara Lingkungan Hidup. c) Dinas-dinas Pengembangan Sumber Daya Air di daerah-daerah. d) Proyek-proyek Induk Wilayah Sungai. e) Balai-balai Pengelolaan Sumber Daya Air dan lain lain. Dari Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah diperoleh 2 macam data banjir. Yang pertama dalam bentuk peta yang diberi nama Peta Sebaran Lokasi Rawan Banjir. Di dalam peta tersebut termuat data-data banjir sebagai berikut: a) Luas genangan (ha). b) Tinggi genangan (m). c) Lama genangan (jam). Bentuk data kedua yang diperoleh dari Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah adalah tabulasi data mengenai kejadiaan banjir dan tanah longsor yang terjadi di Pulau Jawa untuk periode 2001/2002 dan 2002/2003. Dari tabulasi data tersebut dapat diperoleh informasi mengenai banjir yang terjadi meliputi: a) Waktu kejadian. b) Lokasi kejadian. c) Dampak terhadap manusia (meninggal, hilang, mengungsi). d) Dampak terhadap sarana dan prasarana (tergenang, rusak, roboh, hanyut). e) Upaya penanggulangan.

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    1-2

    BAB 1 METODOLOGI

    LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

    Dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup diperoleh peta daerah rawan banjir yang didefinisikan berdasarkan kriteria-kriteria antara lain: curah hujan, jenis tanah, formasi batuan dan tata guna lahan. Dari data-data tersebut maka akan diperoleh informasi mengenai banjir yang pernah terjadi di Pulau Jawa baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif. Sedangkan untuk dapat mengatasi banjir yang mungkin akan terjadi di masa yang akan datang data tersebut masih perlu dianalisis, dibandingkan dan dicek ulang dengan keadaaan di lapangan.

    1.2 INVENTARISASI DATA KETERSEDIAAN DAN KEBUTUHAN AIR Untuk memperhitungkan ketersediaan dan kebutuhan air, data dan informasi yang dapat diperoleh sangat menentukan keakuratan hasil yang hendak dicapai, baik data hidrologi (curah hujan, muka air sungai, debit) pada suatu pos hidrologi maupun data topografi (peta, luas DAS, kemiringan dll), serta data-data pendukung lain untuk memperhitungkan pemanfaatan air baik dari sisi sumberdaya air, tata guna lahan/penataan ruang, data jumlah dan penyebaran penduduk, pertanian, peternakan, industri dan lain-lain. Pengumpulan data penunjang untuk perhitungan ketersediaan dan kebutuhan air ini hanya meliputi data sekunder, sedangkan data primer sebatas diperlukan untuk pengecekan lapangan di lokasi-lokasi tertentu untuk penempatan bangunan-bangunan pengambilan air utama. Selain pengumpulan data di balai-balai PSDA juga dilakukan wawancara dengan para pelaksana operasional di balai-balai tersebut guna mendukung perolehan informasi kondisi wilayah sungai. Secara rinci peta-peta yang dikumpulkan untuk melakukan perhitungan ketersediaan dan kebutuhan air meliputi: 1. Peta Topografi

    Peta topografi dapat diperoleh dari Bakosurtanal (Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional). Ada 2 macam peta topografi yang diperoleh. Yang pertama adalah peta dengan skala 1 : 250.000 dalam format digital,

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    1-3

    BAB 1 METODOLOGI

    LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

    sedangkan yang kedua adalah peta dengan skala 1 : 25.000 dalam format cetakan/hard copy. Peta ini menjadi peta dasar dalam pekerjaan ini. Dengan acuan peta ini dilakukan pelacakan terhadap semua daerah aliran sungai (DAS) untuk setiap sungai yang ada di Pulau Jawa dan Madura sesuai dengan letak geografis dan kontur ketinggian di DAS tersebut. Selanjutnya dari data hasil pelacakan DAS ini disusun tabulasi data numeris yang berisi luasan setiap kabupaten yang termasuk dalam suatu DAS dan juga luasan DAS yang termasuk dalam suatu kabupaten.

    2. Peta Cekungan Air Tanah Peta cekungan air tanah dapat diperoleh dari Direktorat Tata Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Peta ini disusun berdasarkan SK Men ESDM No. 716 K/40/MEM/2003. Dalam peta dengan skala 1 : 250.000 ini digambarkan cekungan-cekungan air tanah yang ada di Pulau Jawa beserta dengan jumlah aliran air tanah untuk tiap cekungannya, baik itu aliran air tanah bebas maupun aliran air tanah tertekan. Dari peta ini dapat diperhitungakan jumlah air tanah yang dapat dieksplorasi oleh suatu daerah dengan luasan tertentu.

    3. Peta Prasarana Peta prasarana diperoleh dari Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Berhasil diperoleh peta prasarana dalam tingkat propinsi dan kabupaten untuk wilayah di seluruh Pulau Jawa dan Madura. Dalam peta tersebut dicantumkan prasarana-prasarana utama yang terdapat di suatu kabupaten maupun propinsi termasuk juga prasarana sumberdaya air yang meliputi bendung, bendungan, embung, maupun waduk. Dengan bantuan peta ini dapat ditentukan titik-titik pengambilan dengan lebih tepat sesuai dengan kondisi di lapangan.

    4. Peta Daerah Irigasi dan Batas Wilayah Sungai Peta daerah irigasi dan batas-batas WS diperoleh dari Pusat Data Sumberdaya Air (Water Resources Data Center-WRDC) Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Dari peta ini kita dapat mengetahui

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    1-4

    BAB 1 METODOLOGI

    LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

    sebaran-sebaran daerah irigasi di seluruh Pulau Jawa dan Madura sehingga dapat kita ketahui pula daerah-daerah pertanian dengan tingkat kebutuhan air yang tinggi yang memerlukan perhatian khusus karena sangat rawan terhadap bencana kekeringan. Dari batas-batas wilayah sungai akan kita ketahui pengelola sumberdaya air pada suatu wilayah sungai tertentu berikut dengan batas wilayah tugasnya.

    5. Peta Tata Guna Lahan dan Penutupan Lahan Data tata guna lahan dan penutupan lahan sangat penting sifatnya dalam melakukan analisis terhadap kejadian banjir dan kekeringan. Agar data tata guna lahan dan penutupan lahan ini benar-benar sesuai dengan keadaan Pulau Jawa dan Madura saat ini maka data ini dianalisis dari citra satelit Landsat ETM-7 yang diperoleh dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) maupun dari Badan Planologi Kehutanan (BAPLAN) Departemen Kehutanan. Citra satelit tersebut diinterpretasi sehingga dihasilkan peta tata guna lahan dan penutupan lahan.

    6. Peta Administrasi Peta batas-batas wilayah administrasi diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS). Dengan peta ini maka diperoleh batas-batas wilayah yang administrasi sesuai dengan perkembangannya sampai dengan tahun 2003. Batas-batas ini sangat berguna karena kebijakan biasanya lebih mudah dilaksanakan apabila dibuat sesuai dengan wilayah administrasi yang jelas

    Sedangkan data-data sekunder pendukung lainnya yang dikumpulkan meliputi: 1. Data Iklim dan Curah Hujan

    Data iklim meliputi data temperatur, kelembaban, kecepatan angin, penyinaran matahari dan evaporasi yang umumnya tersedia di BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika) yang memiliki banyak stasiun pengamatan iklim yang tersebar di seluruh Pulau Jawa dan Madura. Data curah hujan selain dapat dikumpulkan dari BMG dapat juga dikumpulkan dari Dinas Pengairan dan atau Balai Penyuluh Pertanian. Selain itu tiap balai PSDA biasanya memiliki bagian hidrologi yang juga mengadakan pengamatan curah hujan.

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    1-5

    BAB 1 METODOLOGI

    LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

    Data iklim minimal dengan seri data 5 tahun terakhir dan data hujan dengan seri data minimal 25 tahun pengamatan.

    2. Data Debit Aliran Sungai Data debit sungai-sungai yang tersebar di sepanjang Pulau Jawa dan Madura dapat diperoleh dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Air (Pusair) Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah yang mengelola jaringan pos pengamatan muka air sungai-sungai di Jawa dan Madura. Selain itu data tersebut juga dapat diperoleh dari Dinas Pengairan maupun Balai PSDA di daerah-daerah. Data debit tersebut dalam bentuk softcopy terhitung dari tahun 1991-2003 dalam satuan m3/det. Data ini sangat diperlukan untuk menghitung ketersediaan air permukaan. Agar dapat dianalisis debit andalannya maka panjang pengamatan minimal adalah 5 tahun.

    3. Data Pemanfaatan Sumber Air Data ini meliputi pemanfaatan sumber air seperti air tanah, air permukaan dan air hujan untuk keperluan domestik (air minum dan rumah tangga), non domestik (perkantoran, perdagangan, hidran umum), industri, irigasi, pertanian, peternakan dan lain sebagainya.

    4. Data Potensi Air Tanah Data ketersediaan air tanah umumnya belum banyak tersedia dan memerlukan studi lebih lanjut untuk dapat mengetahui potensi air tanah di tiap-tiap daerah. Untuk dapat menyatakan ketersediaan air tanah pada suatu daerah maka digunakan peta cekungan air tanah yang sudah diperoleh dari Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral. Kapasitas aliran tertekan maupun bebas pada cekungan-cekungan tersebut akan didistribusikan ke wilayah-wilayah yang ada di atasnya dengan volume sesuai dengan perbandingan luasnya.

    5. Data Potensi Desa Untuk dapat menghitung kebutuhan air pada suatu daerah, maka kita harus mengetahui data-data penduduk, industri, pertanian, perikanan dan peternakan dari daerah tersebut. Data-data tersebut dapat diperoleh dari

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    1-6

    BAB 1 METODOLOGI

    LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

    hasil Sensus Penduduk tahun 2000 dan Survei Pertanian tahun 2003 yang terangkum dalam Data Potensi Desa tahun 2000 dan 2003. Data Potensi Desa digital tersusun atas file-file data desa di tiap propinsi. Format asli yang disajikan oleh BPS adalah dalam bentuk ASCII (*.txt). Karena banyaknya data yang dimuat dalam file ini maka untuk memudahkan pekerjaan dipakai software bantu analisis statistik SPSS yang berguna untuk mengolah data-data Potensi Desa tersebut dengan lebih mudah dan cepat.

    6. Data Kependudukan Untuk dapat melakukan proyeksi pertumbuhan kebutuhan air untuk masing-masing daerah maka seri data Potensi Desa tahun 2000 dan 2003 masih dirasa kurang panjang maka perlu ditambah seri data lagi. Untuk itu digunakan data statistik dari Propinsi Dalam Angka yang juga oleh dikeluarkan Badan Pusat Statistk (BPS). Buku Propinsi dalam Angka menyajikan data statistik dari berbagai sektor yang berasal dari instansi pemerintah maupun swasta propinsi yang terkait serta beberapa data dari sensus dan survei yang dilakukan oleh BPS. Data Propinsi dalam Angka yang dipergunakan adalah tahun 1990, 1995, 2000 dan 2003.

    1.3 INVENTARISASI DATA SEKUNDER LAINNYA Selain data-data sekunder diatas ada beberapa data lain yang diperoleh dan digunakan dalam pekerjaan. Data-data tersebut sangat membantu dalam mengadakan analisis atas permasalahan sumberdaya air yang terjadi di Pulau Jawa dan Madura. Data-data pendukung tersebut secara lebih rinci daftarnya dapat dilihat pada Tabel 1.1. Data-data sekunder penunjang lain tersebut secara umum diperoleh dari instansi-instansi pemerintah yang terkait, oleh karena itu dalam pencarian data diperlukan surat resmi. Untuk keperluan itu Konsultan mengadakan korespondensi dengan instansi-instansi tersebut atas nama Pemilik Pekerjaan dengan mengirimkan surat-surat permohonan data. Sudah banyak surat-surat permohonan data yang telah terkirim dan macam-macam respon yang telah didapatkan.

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    1-7

    BAB 1 METODOLOGI

    LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

    Tabel 1. 1 Daftar Perolehan Data-data Pendukung NO Jenis Data Sumber Ket

    1 Data Statistik Pengairan (Jawa Timur) Dalam Angka tahun 2003 Bappeda Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Banten 2003 Bapeda Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Banten 2002 Bapeda Draft Final Incremental Capital Output Ratio Banten

    2002 Bapeda

    Indeks Pembangunan Manusia Banten 2002 Bapeda Draft Final Indeks Pembangunan Manusia Banten

    2003 Bapeda

    Jakarta 2003 Bapeda Jakarta 2002 Bapeda Penyusunan Data Sosial Ekonomi Daerah (Suseda)

    2004 Jawa Barat Bapeda

    Penyusunan Data Sosial Ekonomi Daerah (Suseda) 2003 Jawa Barat

    Bapeda

    Ikthisar Data Pembangunan Jawa Barat 2003 Bapeda Ikthisar Data Pembangunan Jawa Barat 2002 Bapeda Monografi Jawa Barat 2003 Bapeda Pesona dan Peluang Jawa Barat Bapeda Digital

    2 Rencana Wilayah Rencana Tata Ruang Jawa Tengah dibuat tahun 2002 Bappeda Digital Rencana Strategis Jawa Tengah 20032003 Bappeda Rencana Tata Ruang Wilayah Jawa Timur 1997/1998-

    2011/2012 Bappeda

    Program Pembangunan Daerah Jawa Timur tahun 2001-2005

    Bappeda

    Pola Dasar Pembangunan Jangka Panjang Banten 2002-2022

    Bapeda

    Rencana Strategis Daerah Propinsi Banten 2002-2006 Bapeda Rencana Tata Ruang Banten 2002-2017 Bapeda Program Pembangunan Daerah (PROPEDA) DKI

    Jakarta 2002-2007 Bapeda

    Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta 2010 Bapeda Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Barat

    2003 Bapeda

    Rencana Strategis Kota Tasikmalaya Tahun 2002-2007

    Bapeda

    3 Data Bencana Prakiraan Musim Kemarau di Indonesia 2004 (+

    digital) B M G

    Daftar Inventarisasi Kerusakan dan Penanganan Banjir Balai PSDA Serang Lusi Juana, 2004

    Balai PSDA Serang Lusi

    Juana

    Laporan Kekeringan Tahun 2004

    Dinas PSDA Jawa Tengah

    Laporan Kekeringan Tahun 2003 Dinas PSDA Jawa Tengah

    Pelaporan dan Evaluasi Kejadian Banjir Musim Hujan Dinas PSDA

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    1-8

    BAB 1 METODOLOGI

    LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

    NO Jenis Data Sumber Ket

    Tahun 2003-2004 Jawa Tengah Laporan Kejadian Banjir Musim Hujan Tahun 2002-

    2003 Dinas PSDA Jawa Tengah

    Daftar Lokasi Kritis Bangunan Air dan Rawan Genangan WS Cimanuk-Cisanggarung 2003 2004

    PIPWS Cimanuk-

    Cisanggarung

    Laporan Daerah Banjir dan Kekeringan Wilayah Propinsi Banten Tahun 2003

    Balai PSDA Banten

    Data Kekeringan Tahun 2004 PJT II Lokasi Bencana Kekeringan Tahun 2003 PJT II Analisa Survey Lapangan Pasca Banjir di Blok Cangab

    dan Blok Cabang Bungin PJT II

    4 Air Tanah Peta Hidrogeologi (1:100.000) Dalam dan Permukaan;

    Lokasi: Anyer (1999 & 2000), Serang (1995), Jakarta (1993), Bogor (1994)

    TLGKP Dep. ESDM

    Peta Hidrogeologi (1:250.000); Lokasi: Jakarta (1996), Bandung (1983), Semarang (1988).

    TLGKP Dep. ESDM

    Peta Konservasi Air Tanah (1:100.000); Lokasi: Bandung (2000), Jakarta (2000), Semarang (2000), Surabaya (2000)

    TLGKP Dep. ESDM

    Penurunan Tanah; Lokasi: Bandung (Grafik 00-02), Jakarta (Peta 82-97), Semarang (Peta 01-03).

    TLGKP Dep. ESDM

    Hidrograf Muka Air Rata-rata Bulanan; Lokasi: Bandung (Grafik 95-02).

    TLGKP Dep. ESDM

    Pengambilan Air Tanah; Lokasi: Jakarta, Semarang, Bandung (Grafik 1900-2003).

    TLGKP Dep. ESDM

    Laporan Pemantauan Kuantitas dan Kualitas Air Tanah; Lokasi: Bandung (2003), Jakarta (2003), Semarang (2003)

    TLGKP Dep. ESDM

    5 Data Kualitas Air Laporan Pemantauan dan Pengujian Kualitas Air

    Sungai Cisadane-Ciliwung Tahun 2001 Balai PSDA Cisadane-Ciliwung

    Laporan Akhir Kegiatan Kualitas Air Balai PSDA Wilayah Ciliwung-Cisadane Tahun 2003

    Balai PSDA Ciliwung-Cisadane

    Laporan Pemantauan Kualitas Air Sungai Proyek Operasionalisasi Manajemen DPS dan Hidrologi Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane, Tahun 2002

    Balai PSDA Ciliwung-Cisadane

    Laporan Akhir Analisa Kualitas Air SWS Bengawan Solo, 2001

    PPSAPB Jratunseluna

    Laporan Akhir Analisa Kualitas Air SWS Serayu Citanduy, 2002

    Proyek Hidrologi Jawa

    Tengah

    Laporan Akhir Analisa Kualitas Air SWS Jratunseluna, 2001

    PPSAPB Jratunseluna

    Laporan Akhir Analisa Kualitas Air SWS Bengawan Solo dan SWS Pemali Comal, 1999

    PPSAPB Jratunseluna

    Laporan Akhir Analisa Kualitas Air SWS Bengawan PPSAPB

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    1-9

    BAB 1 METODOLOGI

    LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

    NO Jenis Data Sumber Ket

    Solo, SWS Sengkareng Sambong, SWS Pemali Comal, 1998

    Jratunseluna

    Laporan Pemantauan Kualitas Air Sungai Kaligarang, Bengawan Solo, Sengkareng-Sambong, Serang, Bodri dan Meduri, 1996

    PPSAPB Jratunseluna

    Laporan Tahunan Pemantauan Kualitas Air WS Cimanuk-Cisanggarung, 2003

    Balai PSDA Cimanuk-

    Cisanggarung

    Laporan Tahunan Pengujian Kualitas Air Basin Cisanggarung 1997/1998

    Balai PSDA Cimanuk-

    Cisanggarung

    Laporan Tahunan Pemantauan Kualitas Air 1998-2002 Balai PSDA Cimanuk-

    Cisanggarung

    Laporan Teknis Pekerjaan Pengetesan Kualitas Air (Pemantauan Kualitas Air) Sungai Citanduy-Ciwulan, September 2003

    Balai PSDA Citanduy-Ciwulan

    Laporan Akhir Proyek Operasionalisasi Manajemen DPS dan Hidrologi T.A. 2003 Kegiatan Pemantauan Kualitas Air

    Balai PSDA Citarum

    Penelitian Kulaitas Air DAS Citarum dan DAS Bekasi, 1993-1995

    PJT II

    Data Kualitas Air Sungai Citarum, 1996-2003 PJT II Laporan Periodik Pengelolaan Kualitas Air Balai PSDA

    Gembong-Pekalen

    6 Data Lain yang Terkait Statistik Lingkungan Hidup B P S Daftar Balai PSDA B W R M Urutan DAS Prioritas dan Lahan Kritis 2002 Dephut Laporan Tahunan Balai Pengelolaan Sumber Daya Air

    Wilayah Sungai Cimanuk-Cisanggarung, Desember 2000

    Balai PSDA Cimanuk-

    Cisanggarung

    Persiapan MenghadapiMusim Kemarau/Kering 2004 dan Musim Hujan/Banjir 2004/2005

    PIPWS Cimanuk-

    Cisanggarung

    Laporan Satgas Penanggulangan Banjir PIPWS Citanduy-Ciwulan, Nopember 2002

    PIPWS Citanduy-Ciwulan

    Potensi Sumber Air PIPWS Citanduy-Ciwulan PIPWS Citanduy-Ciwulan

    Draft Laporan Akhir Inventarisasi Daerah Rawan Bencana Gerakan Tanah di Satuan Wilayah Pengelolaan (SWP) Daerah Aliran Sungai (DAS) Citanduy, 2004

    Balai PDAS Cimanuk-Citanduy

    Pola Pengembangan, Pengusahaan, dan Pemanfaatan Prasarana Sumber Daya Air Wilayah Sungai Citarum, 2002

    Dinas PSDA Jawa Barat

    Daftar Sarana dan Prasarana Kritis yang Memerlukan Rehabilitasi Tahun 2004-2008

    PJT II

    Pola Induk Pengelolaan Sumber Daya Air di Jawa Dinas PSDA

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    1-10

    BAB 1 METODOLOGI

    LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

    NO Jenis Data Sumber Ket

    Barat, 2001 Jawa Barat Rencana Strategis Tahun 2002-2006 Dnas PSDA

    Jawa Barat

    Pembangunan Daerah dalam Angka 2003 Bappenas Pedoman Pembuatan SOP Pengelolaan Banjir Tahun

    Anggaran 2004 Balai PSDA Gembong-

    Pekalen

    Prosedur Tetap Penanggulangan Bencana Banjir 2003/2004

    Balai PSDA Gembong-

    Pekalen

    1.4 METODE IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

    1.4.1 Analisis Ketersediaan Air Salah satu aspek yang harus diketahui sebelum mengadakan analisis neraca air untuk suatu daerah tertentu adalah jumlah ketersediaan air. Ketersediaan air dalam pengertian sumberdaya air pada dasarnya berasal dari air hujan (atmosferik), air permukaan dan air tanah. Hujan yang jatuh di atas permukaan pada suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) atau Wilayah Sungai (WS) sebagian akan menguap kembali sesuai dengan proses iklimnya, sebagian akan mengalir melalui permukaan dan sub permukaan masuk ke dalam saluran, sungai atau danau dan sebagian lagi akan meresap jatuh ke tanah sebagai imbuhan (recharge) pada kandungan air tanah yang ada. Ketersediaan air yang merupakan bagian dari fenomena alam, sering sulit untuk diatur dan diprediksi dengan akurat. Hal ini karena ketersediaan air mengandung unsur variabilitas ruang (spatial variability) dan variabilitas waktu (temporal variability) yang sangat tinggi. Oleh karena itu, analisis kuantitatif dan kualitatif harus dilakukan secermat mungkin agar dapat dihasilkan informasi yang akurat untuk perencanaan dan pengelolaan sumberdaya air. Air permukaan adalah air yang mengalir secara berkesinambungan atau dengan terputus-putus dalam alur sungai atau saluran dari sumbernya yang tertentu, dimana semua ini merupakan bagian dari sistem sungai yang menyeluruh. Ilustrasi dari proses terbentuknya aliran permukaan disajikan pada Gambar 1.1. Aliran yang terukur di sungai atau saluran maupun danau merupakan potensi

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    1-11

    BAB 1 METODOLOGI

    LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

    debit air permukaan, begitu halnya dengan air yang mengalir ke dalam tanah, kandungan air yang tersimpan dalam tanah merupakan potensi debit air tanah. Dari ketiga sumber air tersebut di atas, yang mempunyai potensi paling besar untuk dimanfaatkan adalah sumber air permukaan dalam bentuk air di sungai, saluran, danau/waduk dan lainnya. Penggunaan air tanah sangat membantu pemenuhan kebutuhan air baku maupun air irigasi pada daerah yang sulit mendapatkan air permukaan, namun pemanfaatan air tanah membutuhkan biaya operasional pompa yang sangat mahal. Untuk analisis ketersediaan air permukaan, yang akan digunakan sebagai acuan adalah debit andalan (dependable flow). Yang paling berperan dalam studi ketersediaan air permukaan adalah data rekaman debit aliran sungai. Rekaman tersebut harus berkesinambungan dalam periode waktu yang dapat digunakan untuk pelaksanaan proyek penyediaan air. Apabila penyadapan air akan dilakukan dari sungai yang masih alami, maka diperlukan rekaman data dari periode-periode aliran rendah yang kristis yang cukup panjang, sehingga keandalan pasok air dapat diketahui. Debit andalan adalah suatu besaran debit pada suatu titik kontrol (titik tinjau) di suatu sungai di mana debit tersebut merupakan gabungan antara limpasan langsung dan aliran dasar. Debit ini mencerminkan suatu angka yang dapat diharapkan terjadi pada titik kontrol yang terkait dengan waktu dan nilai keandalan. Keandalan yang dipakai untuk pengambilan bebas baik dengan maupun tanpa struktur pengambilan adalah 80%, sedangkan keandalan yang dipakai untuk pengambilan dengan struktur yang berupa tampungan atau reservoir adalah sebesar 50%.

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    1-12

    BAB 1 METODOLOGI

    LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

    Untuk data aliran yang terbatas dan data hujan yang cukup panjang maka data aliran tersebut dapat dibangkitkan dengan menggunakan metoda pendekatan modelling hujan-aliran. Model hujan-aliran yang digunakan adalah Metoda Mock. Metoda Mock lebih sering dipakai dibandingkan dengan metoda-metoda yang lain (SMAR, NRECA dll) karena metoda ini dikembangkan di Indonesia, penerapannya mudah dan menggunakan data yang relatif lebih sedikit.

    Gambar 1. 1 Ilustrasi proses terbentuknya aliran permukaan.

    1.4.2 Debit Andalan Untuk menentukan besarnya debit andalan dibutuhkan seri data debit yang panjang yang dimiliki oleh setiap statiun pengamatan debit sungai. Metoda yang sering dipakai untuk analisis debit andalan adalah metoda statistik (rangking). Menurut Soemarto (1987), pengamatan besarnya keandalan yang diambil untuk penyelesaian optimum penggunaan air di beberapa macam kegiatan dapat dilihat pada Tabel 1.2 berikut ini.

    AIR TANAH

    BATU PERKOLASI

    INFILTRASI

    HUJAN

    EVAP

    OTRA

    NSPIR

    ASI

    LimpasanPermukaan

    Al

    i r

    an

    TANAH

    A L I R A N A I R T A N A HSu

    nga

    i

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    1-13

    BAB 1 METODOLOGI

    LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

    Penetapan rangking dilakukan menggunakan analisis frekuensi/probabilitas dengan rumus Weibul. Debit andalan 80% (Q80%) berarti bahwa probabilitas debit tersebut untuk disamai atau dilampaui sebesar 80% yang berarti juga bahwa kegagalan kemungkinan terjadi dengan probabilitas sebesar 100% dikurangi 80% atau boleh dikatakan sebesar 20%. Dapat diartikan juga bahwa dalam 5 tahun ada kemungkinan satu tahun gagal.

    Tabel 1. 2 Nilai Debit Andalan untuk Berbagai Macam Kegiatan Kegiatan Keandalan

    Penyediaan air minum 99% Penyediaan air industri 95-98% Penyediaan air irigasi Daerah beriklim setengah lembab 70-85% Daerah beriklim kering 80-95% Pembangkit listrik tenaga air 85-90%

    Prosedur analisis dimulai dengan mengurutkan seri data dari urutan terbesar sampai ke yang terkecil. Selanjutnya dirangking dimulai dengan rangking pertama (m=1) untuk data yang paling besar dan seterusnya. Langkah ketiga dibuatkan kolom plotting dengan rumus Weibul. Adapun Rumus Weibul adalah sebagai berikut:

    1+= NmP

    dimana : P = probabilitas; m = rangking; dan N = jumlah data. Berikut ini ditampilkan contoh tabel dan grafik perhitungan debit andalan 80% untuk salah satu stasiun pengamatan di suatu sungai hipotetik. Data debit yang dianalisis adalah data untuk bulan Agustus dimulai dari tahun 1982 sampai tahun 2003. Untuk mengetahui debit andalan 80% dilakukan interpolasi diantara data ke-18 dan data ke-19, sehingga didapat nilai debit andalan 80% sebesar 2,09 m3/det. Selain dengan cara interpolasi, debit andalan dapat juga dicari dengan membaca

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    1-14

    BAB 1 METODOLOGI

    LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

    grafik yang disusun berdasarkan data-data debit yang sudah olah sesuai dengan prosedur diatas. Untuk Studi Prakarsa Strategis Sumber daya air untuk mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa ini digunakan debit andalan 80% untuk titik-titik pengambilan air sungai yang dilakukan secara bebas atau dengan struktur sederhana seperti bendung. Sedangkan untuk pengambilan air sungai dengan menggunakan struktur khusus berupa waduk atau reservoir digunakan debit andalan sebesar 50%.

    Tabel 1. 3 Perhitungan Debit Andalan pada Bulan Agustus untuk Sungai Hipotetik

    Debit (m3/det) Rangking Probabilitas

    14,46 1 0,04 7,48 2 0,09 6,68 3 0,13 6,37 4 0,17 6,17 5 0,22 5,99 6 0,26 5,96 7 0,30 5,66 8 0,35 5,28 9 0,39 4,75 10 0,43 3,66 11 0,48 3,03 12 0,52 3,02 13 0,57 2,96 14 0,61 2,31 15 0,65 2,24 16 0,70 2,22 17 0,74 2,16 18 0,78 1,98 19 0,83 1,61 20 0,87 1,56 21 0,91 1,30 22 0,96

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    1-15

    BAB 1 METODOLOGI

    LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

    Gambar 1. 2 Lengkung debit aliran pada Bulan Agustus di salah satu stasiun

    pengamatan Sungai Hipotetik.

    1.4.3 Metoda Mock Hasil penaksiran atau perkiraan debit limpasan (run off) tidak bisa menggantikan dokumentasi data aliran sungai. Namun dalam hal dimana sangat dibutuhkan tersedianya data tersebut, maka diperlukan adanya penaksiran atau perkiraan. Ada banyak metoda untuk menaksir debit limpasan. Akurasi dari masing-masing metoda tersebut bergantung pada keseragaman dan keandalan data yang tersedia. Salah satu metoda tersebut adalah Metoda Mock. Metoda Mock adalah suatu metoda untuk memperkirakan keberadaan air berdasarkan konsep water balance. Keberadaan air yang dimaksud di sini adalah besarnya debit suatu daerah aliran sungai. Data yang digunakan untuk memperkirakan debit ini berupa data klimatologi dan karakteristik daerah aliran sungai. Metoda Mock dikembangkan oleh Dr. F. J. Mock berdasarkan atas daur hidrologi. Metoda Mock merupakan salah satu dari sekian banyak metoda yang

    0.00

    2.00

    4.00

    6.00

    8.00

    10.00

    12.00

    14.00

    16.00

    0 20 40 60 80 100

    P(%)

    Deb

    it (m

    3/de

    t)

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    1-16

    BAB 1 METODOLOGI

    LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

    menjelaskan hubungan rainfall-runoff. Secara garis besar model rainfall-runoff bisa dilihat pada Gambar 1.3. Metoda Mock dikembangkan untuk menghitung debit bulanan rata-rata. Data-data yang dibutuhkan dalam perhitungan debit dengan Metoda Mock ini adalah data klimatologi, luas dan penggunaan lahan dari catchment area.

    Gambar 1. 3 Bagan alir model rainfall-runoff.

    Pada prinsipnya, Metoda Mock memperhitungkan volume air yang masuk, keluar dan yang disimpan dalam tanah (soil storage). Volume air yang masuk adalah hujan. Air yang keluar adalah infiltrasi, perkolasi dan yang dominan adalah akibat evapotranspirasi. Perhitungan evapotranspirasi menggunakan Metoda Penmann. Sementara soil storage adalah volume air yang disimpan dalam pori-pori tanah, hingga kondisi tanah menjadi jenuh. Secara keseluruhan perhitungan debit dengan Metoda Mock ini mengacu pada water balance, dimana volume air total yang ada di bumi adalah tetap, hanya sirkulasi dan distribusinya yang bervariasi. Proses perhitungan yang dilakukan dalam Metoda Mock dijelaskan secara umum dalam Gambar 1.4 berikut ini.

    Infiltrasi

    Groundwater Storage

    Surface Storage

    Rainfall Evapotranspirasi

    Surface Run Off

    Groundwater Run Off

    Total Run

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    1-17

    BAB 1 METODOLOGI

    LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

    Gambar 1. 4 Bagan alir perhitungan debit dalam Metoda Mock.

    A. Water Balance Dalam siklus hidrologi, penjelasan mengenai hubungan antara aliran ke dalam (inflow) dan aliran keluar (outflow) di suatu daerah untuk suatu perioda tertentu disebut neraca air atau keseimbangan air (water balance). Hubungan-hubungan ini lebih jelas ditunjukkan oleh Gambar 1.5. Bentuk umum persamaan water balance adalah:

    P = Ea + GS + TRO dengan: P = presipitasi. Ea = evapotranspirasi. GS = perubahan groundwater storage. TRO = total run off.

    Perhitungan Base Flow, Direct Run Off, dan Storm Run Off

    Perhitungan Evapotranspirasi Potensial

    (Metoda Penman)

    Perhitungan Evapotranspirasi Aktual

    Perhitungan Water Surplus

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    1-18

    BAB 1 METODOLOGI

    LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

    Water balance merupakan siklus tertutup yang terjadi untuk suatu kurun waktu pengamatan tahunan tertentu, dimana tidak terjadi perubahan groundwater storage atau GS = 0. Artinya awal penentuan groundwater storage adalah berdasarkan bulan terakhir dalam tinjauan kurun waktu tahunan tersebut. Sehingga persamaan water balance menjadi:

    P = Ea + TRO Beberapa hal yang dijadikan acuan dalam prediksi debit dengan Metoda Mock sehubungan dengan water balance untuk kurun waktu (misalnya 1 tahun) adalah sebagai berikut: a. Dalam satu tahun, perubahan groundwater storage (GS) harus sama

    dengan nol. b. Jumlah total evapotranspirasi dan total run off selama satu tahun harus sama

    dengan total presipitasi yang terjadi dalam tahun itu. Dengan tetap memperhatikan kondisi-kondisi batas water balance di atas, maka prediksi debit dengan Metoda Mock diharapkan dapat akurat.

    Gambar 1. 5 Sirkulasi air

    B. Data Iklim

    Uap Curah

    Air

    Kelembaban Tanah

    Presipitas

    Limpasa

    Perkola

    Perkola

    Presipitas

    Evaporas

    Presipitas

    Evaporas

    Air

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    1-19

    BAB 1 METODOLOGI

    LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

    Data iklim yang digunakan dalam Metoda Mock adalah presipitasi, temperatur, penyinaran matahari, kelembaban relatif dan data kecepatan angin. Secara umum data-data ini digunakan untuk menghitung evapotranspirasi. Dalam Metoda Mock, data-data iklim yang dipakai adalah data bulanan rata-rata, kecuali untuk presipitasi yang digunakan adalah jumlah data dalam satu bulan. Notasi dan satuan yang dipakai untuk data iklim ditabelkan pada Tabel 1.4.

    Tabel 1. 4 Notasi dan Satuan Parameter Iklim

    Data Meteorologi Notasi Satuan Presipitasi P Milimeter (mm) Temperatur T Derajat Celcius (0C) Penyinaran Matahari S Persen (%) Kelembaban Relatif H Persen (%) Kecepatan Angin W Mile per hari (mile/hr)

    Sumber: Sudirman (2002).

    C. Evapotranspirasi Evapotranspirasi merupakan faktor penting dalam memprediksi debit dari data curah hujan dan klimatologi dengan menggunakan Metoda Mock. Alasannya adalah karena evapotranspirasi ini memberikan nilai yang besar untuk terjadinya debit dari suatu daerah aliran sungai. Evapotranspirasi diartikan sebagai kehilangan air dari lahan dan permukaan air dari suatu daerah aliran sungai akibat kombinasi proses evaporasi dan transpirasi. Lebih rinci tentang evapotranspirasi potensial dan evapotranspirasi aktual diuraikan di bawah ini. 1. Evapotranspirasi Potensial

    Evapotranspirasi potensial adalah evapotranspirasi yang mungkin terjadi pada kondisi air yang tersedia berlebihan. Faktor penting yang mempengaruhi evapotranspirasi potensial adalah tersedianya air yang cukup banyak. Jika jumlah air selalu tersedia secara berlebihan dari yang diperlukan oleh tanaman selama proses transpirasi, maka jumlah air yang ditranspirasikan relatif lebih besar dibandingkan apabila tersedianya air di bawah keperluan.

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    1-20

    BAB 1 METODOLOGI

    LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

    Beberapa rumus empiris untuk menghitung evapotranspirasi potensial adalah rumus empiris dari: Thornthwaite, Blaney-Criddle, Penman dan Turc-Langbein-Wundt. Dari rumus-rumus empiris di atas, Metoda Mock menggunakan rumus empiris dari Penman. Rumus empiris Penman memperhitungkan banyak data klimatologi yaitu temperatur, radiasi matahari, kelembaban, dan kecepatan angin sehingga hasilnya relatif lebih akurat. Perhitungan evaporasi potensial Penman didasarkan pada keadaan bahwa agar terjadi evaporasi diperlukan panas. Menurut Penman besarnya evapotranspirasi potensial diformulasikan sebagai berikut:

    0,27A0,27DAH

    E ++=

    dengan: H = energy budget, = R (1-r) (0,18 + 0,55 S) - B (0,56 0,092 de ) (0,10 + 0,9 S) D = panas yang diperlukan untuk evapotranspirasi, = 0,35 (ea ed) (k + 0,01w) A = slope vapour pressure curve pada temperatur rata-rata, dalam

    mmHg/oF. B = radiasi benda hitam pada temperatur rata-rata, dalam mmH2O/hari. ea = tekanan uap air jenuh (saturated vapour pressure) pada temperatur

    rata-rata (mmHg). R = radiasi matahari, dalam mm/hari. r = koefisien refleksi, yaitu perbandingan antara radiasi elektromagnetik

    (dalam sembarang rentang nilai panjang gelombang yang ditentukan) yang dipantulkan oleh suatu benda dengan jumlah radiasi yang terjadi, dan dinyatakan dalam persentasi.

    100% x terjadi yangradiasi jumlah

    ndipantulka yangnetikelektromag radiasir =

    S = rata-rata persentasi penyinaran matahari bulanan, dalam persen (%). ed = tekanan uap air sebenarnya (actual vapour pressure), dalam mmHg. = ea x h. h = kelembaban relatif rata-rata bulanan, dalam persen (%).

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    1-21

    BAB 1 METODOLOGI

    LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

    k = koefisien kekasaran permukaan evaporasi (evaporating surface). Untuk permukaan air nilai k = 0,50 dan untuk permukaan vegetasi

    nilai k = 1,0. w = kecepatan angin rata-rata bulanan, dalam mile/hari. Substitusi persamaan-persamaan di atas menghasilkan:

    ( ) ( ) ( )( ){ } ( ) ( ){ }0,27A

    0,01wk deae 0,35 0,27 0,9S0,1 de0,092-0,5 B0,55S0,18 r1 R A E +++++=

    dalam bentuk lain:

    ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) 0,01wk 0,27A

    deae 0,35 x 0,27 0,9S0,1 0,27A

    de 0,0920,56 AB r1 R 0,27A

    0,55S0,18 A E ++

    ++++

    +=

    jika:

    ( )0,27A

    0,55S0,18 A S)f(T,1F +

    +== ( )

    0,27A

    de 0,0920,56 ABh)f(T,2F +==

    ( )0,27A

    deae 0,35 x 0,27h)f(T,3F +==

    maka: E = F1 x R(1 - r) - F2 x (0,1 + 0,9S) + F3 x (k + 0,01w)

    dan jika: E1 = F1 x R(1 - r) E2 = F2 x (0,1 + 0,9S) E3 = F3 x (k + 0,01w)

    maka bentuk yang sederhana dari persamaan evapotranspirasi potensial menurut Penman adalah:

    E = E1 - E2 + E3

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    1-22

    BAB 1 METODOLOGI

    LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

    Formulasi inilah yang dipakai dalam Metoda Mock untuk menghitung besarnya evapotranspirasi potensial dari data-data klimatologi yang lengkap (temperatur, lama penyinaran matahari, kelembaban relatif, dan kecepatan angin). Besarnya evapotranspirasi potensial ini dinyatakan dalam mm/hari. Untuk menghitung besarnya evapotranspirasi potensial dalam 1 bulan maka kalikan dengan jumlah hari dalam bulan itu. Besarnya A, B dan ea tergantung pada temperatur rata-rata. Hubungan temperatur rata-rata dengan parameter evapotranspirasi ini ditabelkan pada Tabel 1.5. Besarnya radiasi matahari tergantung letak lintang. Besarnya radiasi matahari ini berubah-ubah menurut bulan, seperti Tabel 1.6 pada halaman berikut ini. Koefisien refleksi sangat berpengaruh pada evapotranspirasi. Tabel 1.7 memuat nilai koefisien refleksi yang digunakan dalam Metoda Mock.

    Tabel 1. 5 Hubungan Temperatur Rata-rata vs Parameter Evapotranspirasi A, B & ea Temperatur

    (0C) 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 A

    (mmHg/0F) 0,304 0,342 0,385 0,432 0,484 0,541 0,603 0,671 0,746 0,828 0,917 1,013B

    (mmH2O/hari) 12,60 12,90 13,30 13,70 14,80 14,50 14,90 15,40 15,80 16,20 16,70 17,10Ea

    (mmHg) 8,05 9,21 10,50 12,00 13,60 15,50 17,50 19,80 22,40 25,20 28,30 31,80

    Sumber: Sudirman (2002).

    Tabel 1. 6 Nilai Radiasi Matahari pada Permukaan Horizontal Luar Atmosfir (mm/hari) Bulan Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nop Des Tahun

    50 LU 13,7 14,5 15,0 15,0 14,5 14,1 14,2 14,6 14,9 14,6 13,9 13,4 14,39

    00 14,5 15,0 15,2 14,7 13,9 13,4 13,5 14,2 14,9 15,0 14,6 14,3 14,45

    50 LS 15,2 15,4 15,2 14,3 13,2 12,5 12,7 13,6 14,7 15,2 15,2 15,1 14,33

    100 LS 15,8 15,7 15,1 13,8 12,4 11,6 11,9 13,0 14,4 15,3 15,7 15,8 14,21

    Sumber: Sudirman (2002).

    Tabel 1. 7 Koefisien Refleksi, r No. Permukaan Koefisien Refleksi [r]

    1 Rata-rata permukaan bumi 40 %

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    1-23

    BAB 1 METODOLOGI

    LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

    2 Cairan salju yang jatuh diakhir musim masih segar 40 85 %

    3 Spesies tumbuhan padang pasir dengan daun berbulu 30 40 %

    4 Rumput, tinggi dan kering 31 33 % 5 Permukaan padang pasir 24 28 % 6 Tumbuhan hijau yang membayangi seluruh tanah 24 27 %

    7 Tumbuhan muda yang membayangi sebagian tanah 15 24 %

    8 Hutan musiman 15 20 % 9 Hutan yang menghasilkan buah 10 15 % 10 Tanah gundul kering 12 16 % 11 Tanah gundul lembab 10 12 % 12 Tanah gundul basah 8 10 % 13 Pasir, basah kering 9 18 % 14 Air bersih, elevasi matahari 450 5 % 15 Air bersih, elevasi matahari 200 14 %

    Sumber: Sudirman (2002).

    2. Evapotranspirasi Aktual Jika dalam evapotranspirasi potensial air yang tersedia dari yang diperlukan oleh tanaman selama proses transpirasi berlebihan, maka dalam evapotranspirasi aktual ini jumlah air tidak berlebihan atau terbatas. Jadi evapotranspirasi aktual adalah evapotranspirasi yang terjadi pada kondisi air yang tersedia terbatas. Evapotranspirasi aktual dipengaruhi oleh proporsi permukaan luar yang tidak tertutupi tumbuhan hijau (exposed surface) pada musim kemarau. Besarnya exposed surface (m) untuk tiap daerah berbeda-beda. F.J. Mock mengklasifikasikan menjadi tiga daerah dengan masing-masing nilai exposed surface ditampilkan pada Tabel 1.8.

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    1-24

    BAB 1 METODOLOGI

    LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

    Tabel 1. 8 Exposed Surface, m No. m Daerah 1 0 % Hutan primer, sekunder 2 10 40 % Daerah tererosi 3 30 50 % Daerah ladang pertanian

    Sumber: Sudirman (2002). Selain exposed surface evapotranspirasi aktual juga dipengaruhi oleh jumlah hari hujan (n) dalam bulan yang bersangkutan. Menurut Mock rasio antara selisih evapotranspirasi potensial dan evapotranspirasi aktual dengan evapotranspirasi potensial dipengaruhi oleh exposed surface (m) dan jumlah hari hujan (n), seperti ditunjukan dalam formulasi sebagai berikut.

    ( )n18 20m

    EE

    P

    =

    Sehingga: ( )n18

    20m

    PEE

    =.

    Dari formulasi diatas dapat dianalisis bahwa evapotranspirasi potensial akan sama dengan evapotranspirasi aktual (atau E = 0) jika: a. Evapotranspirasi terjadi pada hutan primer atau hutan sekunder. Dimana

    daerah ini memiliki harga exposed surface (m) sama dengan nol (0). b. Banyaknya hari hujan dalam bulan yang diamati pada daerah itu sama

    dengan 18 hari. Jadi evapotranspirasi aktual adalah evapotranspirasi potensial yang memperhitungkan faktor exposed surface dan jumlah hari hujan dalam bulan yang bersangkutan. Sehingga evapotranspirasi aktual adalah evapotranspirasi yang sebenarnya terjadi atau actual evapotranspiration, dihitung sebagai berikut:

    EPEactualE =

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    1-25

    BAB 1 METODOLOGI

    LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

    D. Water Surplus Water surplus didefinisikan sebagai air hujan (presipitasi) yang telah mengalami evapotranspirasi dan mengisi tampungan tanah (soil storage, disingkat SS). Water surplus ini berpengaruh langsung pada infiltrasi atau perkolasi dan total run off yang merupakan komponen debit. Persamaan water surplus (disingkat WS) adalah sebagai berikut:

    WS = (P Ea) + SS Dengan memperhatikan Gambar 1.6, maka water surplus merupakan air limpasan permukaan ditambah dengan air yang mengalami infiltrasi. Tampungan kelembaban tanah (soil moisture storage, disingkat SMS) terdiri dari kapasitas kelembaban tanah (soil moisture capacity, disingkat SMC), zona infiltrasi, limpasan permukaan tanah dan tampungan tanah (soil storage, disingkat SS).

    Gambar 1. 6 Water surplus merupakan presipitasi yang telah mengalami evapotranspirasi atau limpasan yang ditambah infiltrasi.

    KAPASITAS KELEMBABAN TANAH

    ZONA INFILTRASI

    LIMPASAN PERMUKAAN

    S

    S

    S

    S

    PRESIPITASI

    EVAPOTRANSPIRASI

    TAM

    PUN

    GAN

    KE

    LEM

    BABA

    N T

    ANAH

    OOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    1-26

    BAB 1 METODOLOGI

    LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

    Besarnya soil moisture capacity (SMC) tiap daerah tergantung dari tipe tanaman penutup lahan (land cover) dan tipe tanahnya, seperti ditunjukkan dalam Tabel 1.9. Dalam studi yang dilakukan Mock di daerah aliran sungai di Bogor, ditetapkan besarnya kapasitas kelembaban tanah maksimum adalah 200 mm/bulan. Dalam Metoda Mock, tampungan kelembaban tanah dihitung sebagai berikut:

    SMS = ISMS + (P Ea) dengan: ISMS = initial soil moisture storage (tampungan kelembaban tanah awal),

    merupakan soil moisture capacity (SMC) bulan sebelumnya. PEa = presipitasi yang telah mengalami evapotranspirasi. Asumsi yang dipakai oleh Dr. F.J. Mock adalah air akan memenuhi SMC terlebih dahulu sebelum water surplus tersedia untuk infiltrasi dan perkolasi yang lebih dalam atau melimpas langsung (direct run off). Ada dua keadaan untuk menentukan SMC, yaitu: a) SMC = 200 mm/bulan, jika P Ea < 0.

    Artinya soil moisture storage (tampungan tanah lembab) sudah mencapai kapasitas maksimumnya atau terlampaui sehingga air tidak disimpan dalam tanah lembab. Ini berarti soil storage (SS) sama dengan nol dan besarnya water surplus sama dengan P - Ea.

    b) SMC = SMC bulan sebelumnya + (P Ea), jika P Ea < 0. Untuk keadaan ini, tampungan tanah lembab (soil moisture storage) belum mencapai kapasitas maksimum, sehingga ada air yang disimpan dalam tanah lembab. Besarnya air yang disimpan ini adalah P Ea. Karena air berusaha untuk mengisi kapasitas maksimumnya, maka untuk keadaan ini tidak ada water surplus (WS = 0).

    Selanjutnya WS ini akan mengalami infiltrasi dan melimpas di permukaan (run off). Besarnya infiltrasi ini tergantung pada koefisien infiltrasi.

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    1-27

    BAB 1 METODOLOGI

    LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

    Tabel 1. 9 Nilai Soil Moisture Capacity untuk Berbagai Tipe Tanaman dan Tipe Tanah

    Tipe Tanaman Tipe Tanah Zone Akar

    (dalam m)

    Soil Moisture Capacity

    (dalam mm)

    Pasir Halus 0,50 50 Pasir Halus dan Loam 0,50 75

    Lanau dan Loam 0,62 125 Lempung dan Loam 0,40 100

    Tanaman Berakar Pendek

    Lempung 0,25 75 Pasir Halus 0,75 75 Pasir Halus dan Loam 1,00 150

    Lanau dan Loam 1,00 200 Lempung dan Loam 0,80 200

    Tanaman Berakar Sedang

    Lempung 0,50 150 Pasir Halus 1,00 100 Pasir Halus dan Loam 1,00 150

    Lanau dan Loam 1,25 250 Lempung dan Loam 1,00 250

    Tanaman Berakar Dalam

    Lempung 0,67 200 Pasir Halus 1,50 150 Pasir Halus dan Loam 1,67 250

    Lanau dan Loam 1,50 300 Lempung dan Loam 1,00 250

    Tanaman Palm

    Lempung 0,67 200 Pasir Halus 2,50 250 Pasir Halus dan Loam 2,00 300

    Lanau dan Loam 2,00 400 Lempung dan Loam 1,60 400

    Mendekati Hutan Alam

    Lempung 1,17 350 Sumber: Sudirman (2002).

    E. Limpasan Total Air hujan yang telah mengalami evapotranspirasi dan disimpan dalam tanah lembab selanjutnya melimpas di permukaan (surface run off) dan mengalami

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    1-28

    BAB 1 METODOLOGI

    LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

    perkolasi. Berikutnya, menurut Mock besarnya infiltrasi adalah water surplus (WS) dikalikan dengan koefisien Infiltrasi (if), atau:

    Infiltrasi (i) = WS x if Koefisien infiltrasi ditentukan oleh kondisi porositas dan kemiringan daerah pengaliran. Lahan yang bersifat porous umumnya memiliki koefisien yang cenderung besar. Namun jika kemiringan tanahnya terjal dimana air tidak sempat mengalami infiltrasi dan perkolasi ke dalam tanah, maka koefisien infiltrasinya bernilai kecil. Infiltrasi terus terjadi sampai mencapai zona tampungan air tanah (groundwater storage, disingkat GS). Keadaan perjalanan air di permukaan tanah dan di dalam tanah diperlihatkan dalam Gambar 1.7. Dalam Metoda ini, besarnya groundwater storage (GS) dipengaruhi oleh: a. Infiltrasi (i). Semakin besar infiltrasi maka groundwater storage semakin

    besar pula, dan begitu pula sebaliknya. b. Konstanta resesi aliran bulanan (K). Konstanta resesi aliran bulanan (monthly

    flow recession constan) disimbolkan dengan K adalah proporsi dari air tanah bulan lalu yang masih ada bulan sekarang. Nilai K ini cenderung lebih besar pada bulan basah.

    c. Groundwater storage bulan sebelumnya (GSom). Nilai ini diasumsikan sebagai konstanta awal, dengan anggapan bahwa water balance merupakan siklus tertutup yang ditinjau selama rentang waktu menerus tahunan tertentu. Dengan demikian maka nilai asumsi awal bulan pertama tahun pertama harus dibuat sama dengan nilai bulan terakhir tahun terakhir.

    Dari ketiga faktor di atas, Mock merumuskan sebagai berikut: GS = { 0,5 x (1 + K) x i } + { K x GSom }

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    1-29

    BAB 1 METODOLOGI

    LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

    Gambar 1. 7 Perjalanan air hujan sampai terbentuk debit

    Seperti telah dijelaskan, metoda Mock adalah metoda untuk memprediksi debit yang didasarkan pada water balance. Oleh sebab itu, batasan-batasan water balance ini harus dipenuhi. Salah satunya adalah bahwa perubahan groundwater storage (GS) selama rentang waktu tahunan tertentu adalah nol, atau (misalnya untuk 1 tahun):

    0 GS 12kebulan

    1kebulan i=

    = Perubahan groundwater storage (GS) adalah selisih antara groundwater storage bulan yang ditinjau dengan groundwater storage bulan sebelumnya. Perubahan groundwater storage ini penting bagi terbentuknya aliran dasar sungai (base flow, disingkat BF). Dalam hal ini base flow merupakan selisih antara infiltrasi dengan perubahan groundwater storage, dalam bentuk persamaan:

    BF = i - GS

    SRO

    Ea

    DRO

    Perkolasi

    BF

    TRO Channel

    P

    SROS

    GS

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    1-30

    BAB 1 METODOLOGI

    LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

    Jika pada suatu bulan GS bernilai negatif (terjadi karena GS bulan yang ditinjau lebih kecil dari bulan sebelumnya), maka base flow akan lebih besar dari nilai Infiltrasinya. Karena water balance merupakan siklus tertutup dengan perioda tahunan tertentu (misalnya 1 tahun) maka perubahan groundwater storage (GS) selama 1 tahun adalah nol. Dari persaman di atas maka dalam 1 tahun jumlah base flow akan sama dengan jumlah infiltrasi. Selain base flow, komponen debit yang lain adalah direct run off (limpasan langsung) atau surface run off (limpasan permukaan). Limpasan permukaan berasal dari water surplus yang telah mengalami infiltrasi. Jadi direct run off dihitung dengan persamaan:

    DRO = WS - i Setelah base flow dan direct run off komponen pembentuk debit yang lain adalah storm run off, yaitu limpasan langsung ke sungai yang terjadi selama hujan deras. Storm run off ini hanya beberapa persen saja dari hujan. Storm run off hanya dimasukkan ke dalam total run off, bila presipitasi kurang dari nilai maksimum soil moisture capacity. Menurut Mock storm run off dipengaruhi oleh percentage factor, disimbolkan dengan PF. Percentage factor adalah persen hujan yang menjadi limpasan. Besarnya PF oleh Mock disarankan 5% - 10%, namun tidak menutup kemungkinan untuk meningkat secara tidak beraturan hingga mencapai 37,3%. Dalam perhitungan debit ini, Mock menetapkan bahwa: i. Jika presipitasi (P) > maksimum soil moisture capacity maka nilai storm run off

    = 0. ii. Jika P < maksimum soil moisture capacity maka storm run off adalah jumlah

    curah hujan dalam satu bulan yang bersangkutan dikali percentage factor, atau: SRO = P x PF

    Dengan demikian maka total run off (TRO) yang merupakan komponen-komponen pembentuk debit sungai (stream flow) adalah jumlah antara base flow, direct run off dan storm run off, atau:

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    1-31

    BAB 1 METODOLOGI

    LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

    TRO = BF + DRO + SRO Total run off ini dinyatakan dalam mm/bulan. Maka jika TRO ini dikalikan dengan catchment area (luas daerah tangkapan air) dalam km2 dengan suatu angka konversi tertentu didapatkan besaran debit dalam m3/det.

    F. Parameter Mock Secara umum, parameter-parameter yang dijelaskan berikut ini mempengaruhi besarnya evapotranspirasi, infiltrasi, groundwater storage dan storm run off. a. Koefisien refleksi (r), yaitu perbandingan antara jumlah radiasi matahari yang

    dipantulkan oleh suatu permukaan dengan jumlah radiasi yang terjadi, yang dinyatakan dalam persen. Koefisien refleksi ini berbeda-beda untuk tiap permukaan bumi. Menurut Mock, rata-rata permukaan bumi mempunyai harga koefisien refleksi sebesar 40%. Mock telah mengklasifikasikan tiap permukaan bumi dengan nilai koefisien refleksinya masing-masing. Koefisien refleksi untuk masing-masing permukaan bumi seperti telah ditabelkan dalam Tabel 1.7.

    b. Exposed surface (m), yaitu asumsi proporsi permukaan luar yang tidak tertutupi tumbuhan hijau pada musim kering dan dinyatakan dalam persen. Besarnya harga m ini, tergantung daerah yang diamati. Mock mengklasifikasikan menjadi tiga bagian daerah, yaitu hutan primer atau sekunder, daerah tererosi dan daerah ladang pertanian. Besarnya harga exposed surface ini berkisar antara 0% sampai 50% dan sama untuk tiap bulan. Harga m untuk ketiga klasifikasi daerah ini telah ditabelkan dalam Tabel 1.8 di atas.

    c. Koefisien infiltrasi (if), adalah koefisien yang didasarkan pada kondisi porositas tanah dan kemiringan daerah pengaliran. Koefisien infiltrasi mempunyai nilai yang besar jika tanah bersifat porous, sifat bulan kering dan kemiringan lahannya tidak terjal. Karena dipengaruhi sifat bulan maka if ini bisa berbeda-beda untuk tiap bulan. Harga minimum koefisien infiltrasi bisa dicapai karena kondisi lahan yang terjal dan air tidak sempat mengalami infiltrasi.

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    1-32

    BAB 1 METODOLOGI

    LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

    d. Konstanta resesi aliran (K), yaitu proporsi dari air tanah bulan lalu yang masih ada bulan sekarang. Pada bulan hujan Nilai K cenderung lebih besar, ini berarti tiap bulan nilai K ini berbeda-beda. Harga K suatu bulan relatif lebih besar jika bulan sebelumnya merupakan bulan basah.

    e. Percentage factor (PF), merupakan persentase hujan yang menjadi limpasan. Digunakan dalam perhitungan storm run off pada total run off. Storm run off hanya dimasukkan kedalam total run off bila P lebih kecil dari nilai maksimum soil moisture capacity. Besarnya PF oleh Mock disarankan berkisar 5%-10%, namun tidak menutup kemungkinan untuk meningkat secara tidak beraturan sampai harga 37,3%.

    1.4.4 Data Kalibrasi Kalibrasi terhadap parameter Mock yang digunakan perlu dilakukan agar hasil perhitungan debit dengan metoda ini dapat mewakili kondisi aktual seperti di lapangan (dibandingkan dengan debit hasil pengukuran hidrometri yang diperoleh dari data sekunder). Dalam perhitungan debit limpasan dengan menggunakan metoda Mock tersebut, digunakan data debit bulanan hasil pengumpulan data sekunder untuk kalibrasi yang dilakukan pada semua sungai di Pulau Jawa yang memiliki data stasiun pengukuran debit.

    1.5 METODOLOGI ANALISIS KEBUTUHAN AIR Kebutuhan air secara umum dapat dibagi dalam dua kategori yaitu kebutuhan air yang digunakan untuk keperluan irigasi dan kebutuhan air yang digunakan untuk keperluan non irigasi. Untuk kebutuhan air non irigasi sendiri masih dibagi menjadi kebutuhan air untuk keperluan domestik, non domestik, industri, peternakan perikanan dan penggelontoran/perawatan sungai. Untuk memperkirakan kebutuhan air untuk keperluan-keperluan tersebut, digunakan pendekatan berdasarkan batas administrasi.

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    1-33

    BAB 1 METODOLOGI

    LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

    1.5.1 Proyeksi Kebutuhan Analisis kebutuhan air yang meliputi kebutuhan air untuk irigasi, domestik, non domestik, industri, peternakan, dan perikanan selain dilakukan untuk kebutuhan air saat ini juga dilakukan untuk kebutuhan air di masa akan datang dimana faktor-faktor utama yang mempengaruhi kebutuhan tersebut akan mengalami perubahan. Jumlah dan penyebaran penduduk menentukan kuantitas kebutuhan air sedangkan laju perubahan penggunaan lahan juga sangat menentukan kuantitas kebutuhan air untuk irigasi dan perikanan. Untuk memproyeksikan jumlah penduduk dan perubahan penggunaan lahan secara tepat adalah sangat sulit. Banyak pendekatan yang dapat dilakukan, salah satunya adalah dengan menggunakan metode pendekatan eksponensial yang telah direkomendasikan di dalam buku Pedoman Perencanaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai yang telah diterbitkan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air tahun 2001. Metode ini memakai anggapan persentase pertumbuhan penduduk dan perubahan lahan tiap-tiap tahun adalah konstan. Persamaannya dapat dituliskan sebagai berikut:

    ( )trPPt += 1 dimana: Pt = populasi atau luas lahan t tahun yang akan datang (orang atau ha), P = populasi atau luas lahan waktu dasar yang ditinjau (orang atau ha), r = perkembangan penduduk atau perubahan luas lahan tiap tahun (%), t = banyaknya tahun yang diproyeksikan. Dalam melakukan analisis penentuan jumlah penduduk dan luas lahan suatu kabupaten dihitung berdasarkan data yang diperoleh dari buku Propinsi dalam Angka dan Potensi Desa yang diperoleh dari BPS. Proyeksi yang dilakukan adalah berdasarkan data tahun 1990, 1995, 2000 dan 2003. Dari keempat data tersebut dilakukan perhitungan untuk memperoleh perkembangan penduduk dan perubahan luas lahan tiap tahunnya. Dengan demikian untuk menghitung proyeksi data jumlah penduduk dan luas lahan tahun-tahun mendatang digunakan nilai perkembangan penduduk dan perubahan luas lahan rata-rata dari tahun 1990 sampai 2003.

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    1-34

    BAB 1 METODOLOGI

    LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

    1.5.2 Kebutuhan Air Rumah Tangga Kebutuhan air rumah tangga atau domestik adalah kebutuhan air untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia sehari-hari. Kebutuhan air rumah tangga tersebut antara lain: Minum. Memasak Mandi, cuci, kakus (MCK). Lain-lain seperti cuci mobil, menyiram tanaman dan sebagainya. Untuk memperkirakan jumlah kebutuhan air domestik saat ini dan di masa yang akan datang dihitung berdasarkan jumlah penduduk, tingkat pertumbuhan penduduk dan kebutuhan air perkapita. Kebutuhan air perkapita dipengaruhi oleh aktivitas fisik dan kebiasaan atau tingkat kesejahteraan. Oleh karena itu, dalam memperkirakan besarnya kebutuhan air domestik perlu dibedakan antara kebutuhan air untuk penduduk daerah urban (perkotaan) dan daerah rural (perdesaan). Adanya pembedaan kebutuhan air dilakukan dengan pertimbangan bahwa penduduk di daerah urban cenderung memanfaatkan air secara berlebih dibandingkan penduduk di daerah rural. Besarnya konsumsi air dapat mengacu pada berbagai macam standar yang telah dipublikasikan. Tabel 1.10 menampilkan angka-angka dari pengalaman pemakaian air di di beberapa bagian dunia. Standar kebutuhan air domestik berdasarkan kriteria jumlah penduduk dan jenis kota seperti disajikan pada Tabel 1.11. Jumlah penduduk yang digunakan dalam standar ini adalah jumlah penduduk yang menetap pada satu wilayah.

    Tabel 1. 10 Gambaran Pemakaian Air Rumah Tangga di Beberapa Negara Negara Pemakaian (liter/orang/hari)

    Amerika Serikat 150 1050 Australia 180 290 Eropa 50 320 Tropis 80 185

    Sumber: Chatib dkk, hal 16.

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    1-35

    BAB 1 METODOLOGI

    LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

    Tabel 1. 11 Standar Kebutuhan Air Rumah Tangga Berdasarkan Jenis Kota dan Jumlah Penduduk.

    Jumlah Penduduk Jenis Kota Jumlah Kebutuhan Air (liter/orang/hari) > 2.000.000 Metropolitan > 210

    1.000.000-2.000.000 Metropolitan 150-210 500.000-1.000.000 Besar 120-150 100.000-500.000 Besar 100-150 20.000-100.000 Sedang 90-100

    3.000-20.000 Kecil 60-100 Sumber: Pedoman Konstruksi dan Bangunan, Dep. PU.

    Sedangkan besarnya kebutuhan air untuk tiap orang per hari berdasarkan standar dari Direktorat Jenderal Cipta Karya adalah sebagai berikut: a) Kebutuhan untuk penduduk kota besar sebesar 120 liter/kapita/hari. b) Kebutuhan untuk penduduk kota kecil sebesar 80 liter/kapita/hari. c) Kebutuhan untuk penduduk pedesaan sebesar 60 liter/kapita/hari.

    1.5.3 Kebutuhan Air Perkotaan Kebutuhan air non domestik atau sering juga disebut kebutuhan air perkotaan (municipal) adalah kebutuhan air untuk fasilitas kota, seperti fasilitas komersial, fasilitas pariwisata, fasilitas ibadah, fasilitas kesehatan dan fasilitas pendukung kota lainnya misalnya pembersihan jalan, pemadam kebakaran, sanitasi dan penyiraman tanaman perkotaan. Besarnya kebutuhan air perkotaan dapat ditentukan oleh banyaknya fasilitas perkotaan. Kebutuhan ini sangat dipengaruhi oleh tingkat dinamika kota dan jenjang suatu kota. Untuk memperkirakan kebutuhan air perkotaan suatu kota maka diperlukan data-data lengkap tentang fasilitas pendukung kota tersebut. Cara lain untuk

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    1-36

    BAB 1 METODOLOGI

    LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

    menghitung besarnya kebutuhan perkotaan adalah dengan menggunakan standar kebutuhan air perkotaan yang didasarkan pada kebutuhan air rumah tangga. Besarnya kebutuhan air perkotaan dapat diperoleh dengan prosentase dari jumlah kebutuhan rumah tangga, berkisar antara 25 - 40% dari kebutuhan air rumah tangga. Angka 40% berlaku khusus untuk kota metropolitan yang memiliki kepadatan penduduk sangat tinggi seperti Jakarta. Tabel 1.12 menampilkan standar yang dapat digunakan untuk menghitung kebutuhan air perkotaan apabila data rinci mengenai fasilitas kota dapat diperoleh. Untuk lebih jelasnya, kebutuhan air perkotaan dapat dilihat pada Tabel 1.13 dan Tabel 1.14. Kedua tabel ini digunakan bila tidak ada data rinci mengenai fasilitas kota.

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    1-37

    BAB 1 METODOLOGI

    LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

    Tabel 1. 12 Besar Kebutuhan Air Perkotaan Berdasarkan Fasilitas Perkotaan

    Sumber: Pedoman Konstruksi dan Bangunan, Dep. PU.

    Tabel 1. 13 Besarnya Kebutuhan Air Non Domestik Menurut Jumlah Penduduk Kriteria

    (Jumlah Penduduk) Jumlah Kebutuhan Air Non Domestik (% Kebutuhan Air Rumah Tangga)

    > 500.000 40 100.000 500.000 35

    < 100.000 25 Sumber: Pedoman Konstruksi dan Bangunan, Dep. PU.

    Jenis Kebutuhan Air Untuk Fasilitas Perkotaan Metropolitan Besar Sedang Kecil

    Mutu Air

    Komersial a. Pasar b. Hotel

    - Lokal - Internasional

    c. Hostek d. Bioskop

    0,1-1,00 (l/dt) 400 (l/kamar/hari) 1000 (l/kamar/hari) 135-180 (l/orang/hari) 15 (l/orang/hari)

    Kelas Satu

    Sosial dan Institusi a. Universitas b. Sekolah c. Mesjid d. Rumah Sakit

    100 tempat tidur

    e. Puskesmas f. Kantor g. Militer h. Klinik Kesehatan

    20 (l/siswa/hari) 15 (l/siswa/hari) 1-2 (m3/hari/unit) 340 (l/tp.tdr/hari) 400-450(l/tp.tdr/hari) 1-2 (m3/hari/unit) 0,01-45(l/dt/hari) 10 (m3/hari/unit) 135 (l/orang/unit)

    Fasilitas Pendukung Kota a. Taman b. Road Watering c. Sewer System

    (air kotor)

    1,4 (l/m2/hari) 1,0-1,5 (l/m2/hari) 4,5 (l/kapita/hari)

    Ada Fasilitas

    kamar mandi

    Tidak ada fasilitas kamar mandi

    (liter/kapita/hari)

    Fasilitas Transportasi

    a. Stasiun Menengah b. Stasiun Penghubung &

    Menengah dimana adanya tempat (kotak) surat

    c. Terminal d. Bandar Udara Lokal dan

    Internasional

    45 70

    45 70

    23 45

    45 70

    40 % dari kebutuhan air baku rumah tangga

    (domestik)

    30 % dari kebutuhan air baku rumah tangga

    (domestik)

    25 % dari kebutuhan air baku rumah tangga

    (domestik)

    Kelas Dua

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    1-38

    BAB 1 METODOLOGI

    LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

    Tabel 1. 14 Besar Kebutuhan Air Perkotaan Menurut Kepadatan Penduduk Kriteria

    Kepadatan (jiwa/Ha) Jumlah Kebutuhan Air Perkotaan

    (% Kebutuhan Air Rumah Tangga) > 100 25 35

    50 100 20 30 < 50 15 30

    Sumber: Pedoman Konstruksi dan Bangunan, Dep. PU.

    1.5.4 Kebutuhan Air Industri Kebutuhan air industri adalah kebutuhan air untuk proses industri, termasuk bahan baku, kebutuhan air pekerja industri dan pendukung kegiatan industri. Namun besar kebutuhan air industri ditentukan oleh kebutuhan air untuk diproses, bahan baku industri dan kebutuhan air untuk produktifitas industri. Sedangkan kebutuhan air untuk pendukung kegiatan industri seperti hidran dapat disesuaikan untuk jenis industrinya. Industri perlu diklasifikasikan untuk menentukan jumlah air yang dibutuhkan seperti disajikan pada Tabel 1.15 berikut ini.

    Tabel 1. 15 Klasifikasi Industri Jumlah Tenaga Kerja Klasifikasi Industri

    1 4 orang Rumah Tangga 5 19 orang Kecil

    20 99 orang Sedang > 100 orang Besar

    Besarnya kebutuhan air industri dapat diperkirakan dengan menggunakan standar kebutuhan air industri. Kebutuhan air industri ini berdasarkan pada proses atau jenis industri yang ada pada wilayah kawasan industri yang ada dan jumlah pekerja yang bekerja pada industri tersebut. Besarnya standar kebutuhan industri adalah sebagai berikut:

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    1-39

    BAB 1 METODOLOGI

    LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

    Untuk pekerja industri, kebutuhan air merupakan kebutuhan air domestik yang telah disesuaikan dengan kebutuhan pekerja pabrik. Adapun kebutuhan air tersebut adalah 60 liter/pekerja/hari.

    Untuk proses industri, kebutuhan air diklasifikasi sesuai dengan Tabel 1.16 berikut ini.

    Tabel 1. 16 Kebutuhan Air Industri Berdasarkan Beberapa Proses Industri

    Jenis Industri Jenis Proses Industri Kebutuhan Air (liter/hari) Industri rumah tangga Industri kecil

    Belum ada, rekomendasi dapat disesuaikan dengan kebutuhan air rumah tangga.

    Minuman ringan. 1.600 11.200 Industri es. 18.000 67.000

    Industri sedang

    Kecap. 12.000 97.000 Minuman ringan. 65.000 7,8 juta Industri besar Industri pembekuan ikan dan biota perairan lainnya. 225.000 1,35 juta

    Industri tekstil Proses pengolahan tekstil. 400 700 liter/kapita/hari Sumber: Pedoman Konstruksi dan Bangunan, Dep. PU.

    Apabila data industri yang diperoleh adalah data luas lahan areal industri maka kita dapat menggunakan Kriteria Perencanaan Air Baku yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya (1994) sebagai berikut: Industri berat membutuhkan air sebesar 0,50-1,00 liter/detik/ha. Industri sedang membutuhkan air sebesar 0,25-0,50 liter/detik/ha. Industri kecil membutuhkan air sebesar 0,15-0,25 liter/detik/ha. Banyak cara untuk memprediksikan kebutuhan air industri tergantung pada ketersediaan data yang ada. Jabotabek Water Resources Management Study - JWRMS (1994) telah melakukan studi terhadap lebih dari 6.000 industri dari skala kecil sampai besar untuk mendapatkan korelasi antara jumlah karyawan dengan kebutuhan air untuk industri. Meskipun demikian ditemukan bahwa

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    1-40

    BAB 1 METODOLOGI

    LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

    keanekaragaman parameter produksi sangat besar sehingga hubungan tersebut tidak dapat ditemukan. Akhirnya dipakai angka kebutuhan sebesar 500 liter/karyawan/hari untuk memperhitungkan kebutuhan air untuk sektor industri.

    1.5.5 Kebutuhan Air Peternakan Kebutuhan air rata-rata untuk ternak ditentukan dengan mengacu pada hasil penelitian dari FIDP yang dimuat dalam Technical Report National Water Resources Policy tahun 1992. Rinciannya dapat dilihat pada Tabel 1.17. Secara umum kebutuhan air untuk ternak dapat diestimasikan dengan cara mengkalikan jumlah ternak dengan tingkat kebutuhan air.

    Tabel 1. 17 Kebutuhan Air untuk Ternak Jenis Ternak Kebutuhan air (lt/ekor/hari)

    Sapi/kerbau/kuda 40 Kambing/domba 5,0 Babi 6,0 Unggas 0,6

    Sumber: Technical Report National Water Policy, 1992.

    1.5.6 Kebutuhan Air Perikanan Banyak metoda yang dapat dipakai untuk memperkirakan kebutuhan air perikanan. Kebutuhan ini meliputi untuk mengisi kolam pada saat awal tanam dan untuk penggantian air. Penggantian air bertujuan untuk memperbaiki kondisi kualitas air dalam kolam. Intensitas penggantiannya tergantung pada jenis ikan yang dipelihara. Jenis ikan gurami (Osphronemus gouramy) dan karper (Cyprinus) membutuhkan penggantian air minimal 1 kali dalam seminggu, sedangkan ikan lele dumbo (Clarias glariepinus) hanya membutuhkan minimal 1 bulan sekali. Estimasi besarnya kebutuhan air untuk perikanan ditentukan sesuai dengan studi yang dilakukan oleh FIDP. Ditetapkan bahwa untuk kedalaman kolam ikan

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    1-41

    BAB 1 METODOLOGI

    LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

    kurang lebih 70 cm, banyaknya air yang diperlukan per hektar adalah 35-40 mm/hari, air tersebut nantinya akan dimanfaatkan untuk pengaliran/pembilasan. Namun karena air tersebut tidak langsung dibuang, tetapi kembali lagi, maka besar kebutuhan air untuk perikanan yang diperlukan hanya sekitar 1/5 hingga 1/6 dari kebutuhan yang seharusnya, dan ditetapkan angka sebesar 7 mm/hari/ha sebagai kebutuhan air untuk perikanan.

    1.5.7 Kebutuhan Air Penggelontoran/Pemeliharaan Sungai Kebutuhan air untuk pemeliharaan sungai bisa diestimasi berdasarkan studi yang dilakukan oleh IWRD (The Study for Formulation of Irrigation Development Program in The Republic of Indonesia (FIDP), Nippon Koei Co., Ltd., 1993), yaitu perkalian antara jumlah penduduk perkotaan dengan kebutuhan air untuk pemeliharaan per kapita. Menurut IWRD, kebutuhan air untuk pemeliharaan sungai untuk saat ini adalah sebesar 360 liter/kapita/hari, sedangkan untuk tahun 20152020 diperkirakan kebutuhan air untuk pemeliharaan sungai akan berkurang menjadi 300 liter/kapita/hari dengan pertimbangan bahwa pada tahun 2015 akan semakin banyak penduduk yang mempunyai/memanfaatkan sistem pengolahan limbah. Mengingat bahwa dibutuhkan struktur penampungan air khusus yang dapat mengeluarkan debit air dalam jumlah besar seperti waduk dan reservoir serta nilai ekonomis air yang diperlukan untuk melakukan penggelontoran apabila dibandingkan dengan jika air waduk dipakai sebagai air baku untuk bahan air minum maka pada Studi Prakarsa Strategis Sumber daya air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan ini kebutuhan air untuk penggelontoran atau pemeliharaan sungai tidak diperhitungkan.

    1.5.8 Kebutuhan Air Irigasi Kebutuhan air irigasi ini meliputi pemenuhan kebutuhan air keperluan untuk lahan pertanian yang dilayani oleh suatu sistem irigasi teknis, setengah teknis maupun sederhana. Kebutuhan air untuk irigasi diperkirakan dari perkalian antara luas lahan yang diairi dengan kebutuhan airnya per satuan luas.

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    1-42

    BAB 1 METODOLOGI

    LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

    Kebutuhan air irigasi dipengaruhi oleh beberapa faktor: a. Kebutuhan untuk penyiapan lahan. b. Kebutuhan air konsumtif untuk tanaman. c. Kebutuhan air untuk penggantian lapisan air. d. Perkolasi. e. Efisiensi air irigasi. f. Luas areal irigasi. g. Curah hujan efektif. Kebutuhan total air di sawah mencakup faktor a sampai dengan f, sedangkan untuk kebutuhan bersih air irigasi di sawah mencakup faktor a sampai g. Persamaan untuk menghitung kebutuhan bersih air irigasi di sawah:

    xAIE

    ERPRWEtcIRIG )( +++=

    dengan: IG = kebutuhan air (m3), IR = kebutuhan air untuk penyiapan lahan (mm/hari), Etc = kebutuhan air konsumtif (mm/hari), RW = kebutuhan air untuk penggantian lapisan air (mm/hari), P = perkolasi (mm/hari), ER = hujan efektif (mm/hari), EI = efisiensi irigasi, A = luas areal irigasi (m2).

    A. Kebutuhan Air untuk Penyiapan Lahan (IR) Kebutuhan air untuk penyiapan lahan umumnya sangat menentukan kebutuhan maksimum air irigasi. Bertujuan untuk mempermudah pembajakan dan menyiapkan kelembaban tanah guna pertumbuhan tanaman. Metode ini didasarkan pada kebutuhan air untuk mengganti kehilangan air akibat evaporasi

  • BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

    1-43

    BAB 1 METODOLOGI

    LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis P