kebudayaan.kemdikbud.go.id · web viewselain definisi dan pengertian agama berasal dari bahasa...
TRANSCRIPT
Landasan dan Kewajiban yang Harus Dimiliki Bagi Kadang Penghayat
( Hak dan Kewajiban Para Penghayat )
Oleh:
M. Djayusman
Pendahuluan
Keberadaan agama lokal di Indonesia sudah ada sejak jaman dahulu, bahkan
sebelum adanya agama-agama resmi yang sekarang diakui oleh negara, bangsa
kita telah memeluk agama asli atau yang sering disebut agama nenek moyang
( seperti di Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sumatra, Papua, Nusatenggara dlsb). Hal ini
sebagaimana tulisan :
“………namun demikian perlu dicatat bahwa diluar agama resmi, khususnya
dikalangan rakyat tampaknya kepercayaan Jawa Asli masih bertahan dan mengambil
peranan dalam kehidupan masyarakat.” ( 700 Tahun majapahit ,hal 92 ).
“ ……dikalangan rakyat umum agama Jawa kuno lah yang lebih dominan,
sedang agama Hindu sebenarnya hanya merupakan suatu selubung diluar saja.
Agama Hindu yang sebenarnya hanya terdapat dilingkungan keraton dan biara-biara
dimana Dewa Siwa, Brahma, Wisnu dipuja-puja, sedang yang hidup dihati rakyat dan
berperanan dalam kehidupan sehari-hari adalah para leluhur dan roh-roh lainnya “
( Stutterheim, 1930: 10).
Masih pada cuplikan buku 700 tahun Majapahit ( 1293 – 1993 ) Suatu Bunga
Rampai yang diterbitkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi JawaTimur pada
halaman 97 tentang Kepercayaan Asli, …. bahwa Pengertian kepercayaan asli
pernah dikemukakan oleh Rachmad Subagya dengan istilah agama asli, dengan
pengertian kerohanian khas dari satuan bangsa atau suku bangsa yang timbul dan
tumbuhsecara spontan bersama suku bangsa itu sendiri (Rachmat Subagya,1981: 1).
Bertolak dari pernyataan itu, jelaslah bahwa kepercayaan asli telah tumbuh dan
berkembang sebelum agama Siwa dan Buddha berkembang di Majapahit.
Perkembangan agama Siwa dan Buddha mempengaruhi kondisi kepercayaan asli,
karena agama Siwa pada masa puncak Majapahit menjadi agama Negara.
Kehidupan keagamaan pada masa Majapahit akhir atau sekitar abad 15 mengalamai
perubahan, karena agama Siwa dan Buddha sebagai agama Negara mengalami
kemunduran. Dilain pihak kepercayaan asli muncul kembali, yang mana gejalanya 1
telah tampak pada masa-masa sebelumnya namun perkembangannya benar-benar
menonjol pada masa Majapahit akhir.
Pengertian agama menurut KBBI adalah Sistem yang mengatur tata keimanan
(kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta kaidah yang
berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya
Émile Durkheim mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu
yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci.
Kita sebagai umat beragama semaksimal mungkin berusaha untuk terus meningkatkan
keimanan kita melalui rutinitas beribadah, mencapai rohani yang sempurna
kesuciannya.Sedangkan menurut Bahrun Rangkuti, seorang muslim cendekiawan
sekaligus seorang linguis, mengatakan bahwa definisi dan pengertian agama berasal
dari bahasa Sansekerta; a-ga-ma. A (panjang) artinya adalah cara, jalan, The Way,
dan gama adalah bahasa Indo Germania; bahasa Inggris Togo artinya jalan, cara-cara
berjalan, cara-cara sampai kepada keridhaan kepada Tuhan.
Selain definisi dan pengertian agama berasal dari bahasa Sansekerta, agama dalam
bahasa Latin disebut Religion, dalam bahasa-bahasa barat sekarang bisa disebut
Religion dan Religious, dan dalam bahasa Arab disebut Din.Harun Nasution
mengatakan bahwa agama dilihat dari sudut muatan atau isi yang terkandung di
dalamnya merupakan suatu kumpulan tentang tata cara mengabdi kepada Tuhan yang
terhimpun dalam suatu kitab, selain itu beliau mengatakan bahwa agama merupakan
suatu ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi.
Tajdab,dkk (1994:37) menyatakan bahwa agama berasala dari kata a, berarti
tidak dan gama, berarti kacau, kocar-kacir. Jadi, agama artinya tidak kacau, tidak
kocar-kacir, dan/atau teratur. Maka, istilah agama merupakan suatu kepercayaan yang
mendatangkan kehidupan yang teratur dan tidak kacau serta mendatangkan
kesejahteraan dan keselamatan hidup manusia.
Jadi, agama adalah jalan hidup yang harus ditempuh oleh manusia dalam
kehidupannya di dunia ini supaya lebih teratur dan mendatangkan kesejahteraan dan
keselamatan.
Setelah agama Nasrani masuk ke Indonesia, muncul istilah baru yang diidentikkan
dengam istilah agama, yaitu “religion” (bhs Inggris) yang berasal dari bahasa Latin
yaitu dari kata “relegere” yang artinya berpegang kepada norma-norma. Dalam
bahasa Indonesia kata religion dikenal dengan sebutan “religi” dibaca reliji. Istilah ini
erat kaitannya dengan sistem dan ruang lingkup agama Nasrani yang menunjukkan 2
hubungan tetap antara manusia dengan Tuhan saja. Dalam Islam kata agama
merupakan arti dari kata “ad- diin” yang berarti pengaturan hubungan manusia dengan
Tuhan (vertikal) dan hubungan manusia dengan manusia, termasuk dengan dirinya
sendiri dan alam lingkungan hidupnya (horisontal).
Menurut A.M. saefuddin (1987), menyatakan bahwa agama merupakan
kebutuhan manusia yang paling esensial yang besifat universal. Karena itu, agama
merupakan kesadaran spiritual yang di dalamnya ada satu kenyataan di luar
kenyataan yang namfak ini, yaitu bahwa manusia selalu mengharap belas kasihan-
Nya, bimbingan-Nya, serta belaian-Nya, yang secara ontologis tidak bisa diingkari,
walaupun oleh manusia yang mengingkari agama (komunis) sekalipun.
Menurut Sutan Takdir Alisyahbana (1992), agama adalah suatu system
kelakuan dan perhubungan manusia yang pokok pada perhubungan manusia dengan
rahasia kekuasaan dan kegaiban yang tiada terhingga luasnya, dan dengan demikian
member arti kepada hidupnya dan kepada alam semesta yang mengelilinginya.
Menurut Sidi Gazalba (1975), menyatakan bahwa religi (agama) adalah
kecendrungan rohani manusia, yang berhubungan dengan alam semesta, nilai yang
meliputi segalanya, makna yang terakhir, hakekat dari semuanya itu.
Dari ketiga pendapat tersebut, kalau diteliti lebih mendalam, memiliki titik persamaan.
Semua menyakini bahwa agama merupakan :
1. Kebutuhan manusia yang paling esensial.
2. Adanya kesadaran di luar diri manusia yang tidak dapat dijangkau olehnya.
3. Adanya kesabaran dalam diri manusia, bahwa ada sesuatu yang dapat
membimbing, mengarahkan, dan mengasihi di luar jangkauannya.
Sehingga apa yang tersirat pendapat diatas secara ringkas dapat disebut
sebagai definisi 4 C. (Leonard Swidler and Paul Mojzes, The Study of Religion in an
Age of Global ( Philadelphia : Temple Univercity Press, 2000) yang dikutip dari tulisan
Ahmad Nur Cholis dan Alamsyah M.Djafar pada bukunya yang bertajuk Agama Cinta
halaman 167 -168.
Keempat Cs tersebut adalah creed, code, cult, dan community.
(1). Creed: kepercayaan tentang sesuatu yang secara mutlak dianggap
benar bagi kehidupan manusia. Kebenaran itu dapat berbentuk dewa atau Tuhan
atau Ilah, akan tetapi juga dapat berbentuk yang bukan itu, seperti misalnya
gagasan, kesenangan, dan sebagainya.
(2). Code: pedoman tata tindak (perilaku) yang timbul akibat adanya 3
kepercayaan di atas. Maksudnya, tindakan manusia terjadi berdasarkan pemahaman
atas kepercayaan diatas. Tindakan-tindakan ini termasuk dalam kategori tidak etis.
(3). Cult: upaya manusia untuk menyelaraskan dirinya dengan yang
dipercayainya itu, baik sebagai cara untuk memahami kehendak-Nya atau
memperbaiki kembali kesalahan manusia yang tidak sesuai dengan kehendak
kepercayaan tadi.
(4). Community: adanya kenyatan suatu umat (paguyuban, perkumpulan)
yang terikat dalam kepercayaan, tindakan etik dan kultus tadi.
Dengan demikian, budaya maupun adat istiadat yang melekat dalam
kepercayaansebuah komunitas atau masyarakat yang memiliki keempat cirri tersebut
bisa dikatakan sebagai agama, meski oleh penganutnya sendiri tidak menyebutnnya
sebagai agama. Maka, adat sunda wiwitan dapat disebut sebagai agama sunda
wiwitan. Begitu pun dengan agama parmalim, agama wetu telu, dan seterusnya.
Dalam konteks ini perbedaan antara agama, budaya dan adat istiadat menjdai tidak
relevan.
Mengacu pada definisi diatas sejatinya agama-agama lokal pun memiliki
keempat ciri tersebut. Karenanya tidak ada alasan untuk tidak menyebut bahwa para
penganut penghayat kepercayaan juga dapat dikatakan sebagai pemeluk agama.
Dengan kata lain seperti sunda wiwitan, parmalim, wetu telu, dan juga tolotang bisa
disebut sebagai agama yang memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang dan tidak
layak untuk didiskriminasi.
Kepercayaan asli atau kalau boleh dikatakan merupakan agama asli sebelum
datangnya agama Hindu, Buddha, Islam, Katholik/Kristen dan yang lain ke bumi
nusantara, yang saat ini lebih dikenal dengan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang
Maha Esa.
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan konsep religiusitas tertua
yang ada di Indonesia, dalam beberapa literature disebutkan bahwa keberadaan
penghayat kepercayaan secara definisi berbeda-beda namun maksud dan tujuannya
sama, kepercayaan adalah system keyakinan individu atau kelompok dengan sesuatu
(dzat) yang melebihi manusia ataupun mahluk lainnya yang lazim disebut Tuhan Yang
Maha Esa.
4
PROSES PERJALANAN KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA
Ketika pemerintah mengeluarkan peraturan tentang agama yang diakui hanya 5
(Islam, hindu. Budha ,Nasrani,Konghucu) Setelah adanya PENPRES
No.1/1965,maka Ajaran Ajaran Paguyuban tersebut terhimpun pada Kejiwaan,
Kebatinan dan Kerokhanian ( penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha
Esa).
Dengan demikian Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai budaya
spiritual warisan Bangsa Indonesia merupakan budaya kearifan Lokal.
Konsep Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah keyakinan dan
pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri.
Pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah menjadi dasar bagi perilaku
para penghayat dalam mendekatkan diri kepadaNya dan dalam perilaku hidup
sehari-hari.
Pengakuan para penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
kemudian dilanjutkan dengan keyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta alam
semesta beserta seluruh isinya yang membawa konsekuensi dan pengaruh yang
sangat besar bagi kehidupan para penghayat.
Proses :
1. Aliran kepercayaan menurut jaksa Agung pada Munas HPK V tahun 1989 di
Kaliurang, Yogyakarta terdiri dari :
a. Aliran kepercayaan masyarakat yang bersumber pada wahyu atau kitab-kitab
suci yang berbentuk aliran-aliran keagamaan.
b. Aliran kepercayaan masyarakat yang bersumber pada budaya leluhur Bangsa
Indonesia yang mengandung nilai-nilai luhur dan telah membudaya pada
masyarakat sebagai hasil penalaran daya cipta, karsa dan rasa manusia yang
berwujud konsep dari karya sastra Jawa yang telah popular, seperti Serat
Centhini, Serat Hidayat Jati, Serat Wedatama, dan sebagainya.
Dalam kenyataan ada juga Aliran kepercayaan yang bersumber pada ajaran ajaran
dan Wahyu bukan rekayasa atau racikan orang per orang melainkan atas
kehendak mutlak Hyang Maha Kuasa,dan Ajaranya berkembang dan dihayati oleh 5
masyarakat sampai manca Negara serta nantinya akan membuktikan bahwa
ajaran Budaya sepiritual Bansa Indonesia menjadi oboring Jagat dan tepopaluping
umat dunia.
2. Peran tokoh penghayat wongsonagoro,dan terbentuknya wadah organisasi
penghayat kepercayaan
Perjuangan Wongsonagoro selalu memiliki keterkaitan dengan budaya
Jawa.,Wongsonagoro bergabung ke Budi Utomo yang kemudian dipilih
menjadi Ketua Budi Utomo Cabang Solo (1923-1924), Ketua Perkumpulan
Pegawai Kasunanan Surakarta (1924), dan mendirikan Jong Java,TOKOH
Penghayat masa pergerakan nasional , Tri Koro Dharmo, Jong Java,
Perhimpunan Pelajar Indonesia, Indonesia Muda, insiator dan pembicara dalam
Kongres Pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda,
Wongsonagoro dan Soepomo pernah memimpin Budi Utomo,. Ketokohan
Wongsonagoro diakui secara nasional pada masa persiapan kemerdekaan
dengan ditugaskannya beliau sebagai Anggota Badan Penyeledik Usaha-
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tahun 1945
yang bertugas untuk menyiapkan dasar negara, undang-undang dasar, bentuk
negara, sistem pemerintahan.Wongsonagoro dipercaya sebagai anggota Tim
Kecil Penyusun UUD 1945. Pemikirannya menekanakan pada pentingnya
mengagungkan kedaulatan rakyat (volksvatum) sebagai acuan menentukan
bentuk negara, sebutan kepada pemerintahan, Pasal 29 ayat (2), Bab X UUD
1945 menguat sistem kepercayaan Kejawennya dengan mengusulkan
penambahan kata “ dan kepercayaannya, Wongsonagoro termasuk Tim Tujuh
bersama Soekarno, Hatta, Profesor Soepomo, Subardjo, Otto Iskandardinata,
Mr Muhammad Yamin untuk mengadakan perubahan-perubahan terakhir dan
diperlukan dalam UUD Negara, Wongsonagoro terlibat aktif selama Proklamasi
kemerdekaan dan penyusunan terakhir UUD Negera Republik Indonesia Tahun
1945 dengan menyepakati perumusan Pancasila, Sila pertama, Ketuhanan
Yang Maha Esa.
3. Pembentukan Organisasi Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa: Dari
BKKI menjadi Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mah Esa6
Pada tahun 1951 Wongonegoro berperan aktif dalam memobilisasi warga
kebatinan dalam Panitia Penyelenggara Pertemuan Filsafat dan Kebatinan
melalui partai politik yang didirikannya, Wongsonagoro berhasil menghimpun
kebatinan ke dalam Badan Kongres Kebatinan Seluruh Indonesia (BKKI) di
Semarang yang dipimpin oleh Mr.Wongsonegoro, tanggal 21 Agustus 1955.
Dalam Kongres BKKI di Solo, l956 ditegaskan kebatinan bukan agama baru,
melainkan usaha ikhtiar meningkatkan mutu semua agama dan kebatinan
sebagai sumber dan asas sila Ketuhanan yang Maha Esa. Tahun 1957
diselenggarakan Dewan Musyawarah BKKI di Yogya mengajukan permohonan
kepada Presiden untuk menyamakan BKKI dengan agama-agama yang lain.
Kongres BKKI ke III di Jakarta, tanggal 17-20 Juli 1958.Pada kongres ketiga itu
Presiden Soekarno hadir memberikan sambutan dan membuka kongres.
Kongres BKKI IV di Malang, 22-24 Juli 1960 yang berhasil mensahkan AD/ART
dan tidak ada perbedaan prinsip antara agama dan kepercayaan dan ada
kesamaan yaitu kebatinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan budi luhur.
Kongres BKKI V di Ponorogo, 1-4 Juni 1963. Kongres dihadiri Jenderal
AH.Nasution dan Roeslan Abdul Ghani dan keduanya memberikan amanat
tentang persatuan dan manusia terhormat adalah manusia yang menghargai
bagi manusia lainnya.Kongres BKKI VI dijadwalkan tahun 1965 gagal karena
terjadi pemberontakan G30S/PKI.
BKKI melaksanakan seminar, yaitu pertama di Jakarta tanggal 14-15
Nopember 1959, kedua di Jakarta, tanggal 28-29 Januari 1961 dan ketiga di
Jakarta tanggal 11 Agustus 1962. Seminar ketiga di Jakarta dihasilkan
dukungan politik kepada Golkar atas dasar keputusan Badan Pekerja Pleno
BKKI yang disampaikan oleh Wongsonagoro.
Kemudian dibentuk wadah baru bernama Badan Koordinator Karyawan
Kebatinan, Kejiwaan, Kerohanian Indonesia (BK5I), tanggal 25 Juli
1966.Pengurus dilantik oleh Ketua Umum Sekber Golkar di Aula gedung Staf
Hankam Jalan Merdeka Barat, tanggal 28 Pebruari 1967.
BK5KI melaksanakan Simposium Kepercayaan( Kejiwaan,
kebatinan,Kerokhanian) tahun 1970 di Yogyakarta sebagai ketua
penyelenggara Ibu Sri Pawenang yang menghasilkan rekomendasi
melaksanakan Musyawarah Nasional Kepercayaan di Yogyakarta.
Munas I tanggal 27 -30 Desember 1970 dilaksanakan di Yogyakarta.7
Munas itu menghasilkan pembentukan Sekretariat Kerjasama Kepercayaan
( Kebatinan, Kejiwaan, dan Kerohanian) menggantikan BKKI ( Badan Kongres
Kebatinan Indonesia)
Munas II SKK dilaksanakan di Purwokerto tanggal 5-7 Desember 1974 dan
disusul Munas III di Tawangmangu tanggal 16-18 Nopember 1979 yang
menghasilkan keputusan penggantian Sekretariat Kerjasama Kepercayaan
menjadi Himpunan Penghayat Kepercayan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
(HPK) dengan Ketuanya Zahid Hussein sampai dengan tahun 1989.
Hasil Munas yang lain di antaranya adalah terima kasih kepada pemerintah
yang telah membentuk Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa di lingkungan Direktorat Jenderal Kebudayaan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan menugaskan kepada DPP HPK
untuk berusaha agar Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
senantiasa berada dalam persatuan dan kesatuan rohani mendalami,
menghayati, dan mengamalkan Pancasila.
Pada Munas IV di Cibubur tanggal 20-22 April Tahun 1989 di Cibubur dengan
hasil, yaitu: tetap setia kepada Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia
1945, melestarikan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945, manunggal dengan
Pancasila, UUD 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta peran
serta aktif dalam pembangunan nasional.Munas HPK V di Kaliurang tahun 1989
gagal membentuk kepengurusan. Kegagalan itu memicu munculnya friksi
munculnya organisasi Badan Koordinasi Organisasi Kepercayaan (BKOK)
dimotori oleh dr Wahyono (Organisasi Kapribaden), Engkus Ruswana
(Organisasi Budi Daya) dan Forum Komunikasi Kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa yang dipimpin oleh Budya Pradipta.
Di sisi lain, pemenuhan hak sipil Penghayat mengalami fulktuasi tergantung
kuasa serba negara. Sementara, aspek penyebarluasan ajaran Kepercayaan
masa Soeharto diaktifkan melalui peran Penghayat strategis melalui peran
Soedjono Hoemardani. Capaian yang nyata adalah Mimbar Kepercayaan yang
disetarakan dengan Mimbar Agama
Realitas masyarakat sebgaian besar Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa menginginkan wadah tunggal dengan tujuan lebih menyatukan
dalam perjuangan. Dialog, sarasehan, dan sosialisasi selalu direkomendasikan
8
pentingnya wadah tunggal.Aspirasi itu menjadi agenda penting dalam kongres
nasional.
Kongres Nasional Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa,
Komunitas Adat dan Tradisi yang diselenggarakan pada 25-28 November 2012,
di Surabaya yang menghasilkan rekomendasi di antaranya adalah membentuk
wadah nasional yang baru untuk menghimpun organisasi/kelompok Penghayat
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Hasil rekomendasi tindak lanjut
Kongres Nasional Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, Komunitas
Adat, dan Tradisi itu dibahas di Jakarta oleh Pengurus HPK dan BKOK pada
tanggal 24-27 September 2013 di Jakarta Surat keputusan tentang
pembentukan wadah nasional kepercayaan dan Tim Persiapan pembentukan
wadah Nasional Kepercayaan yang ditandatangani pada tanggal 26 september
2013 oleh Peserta Tindak Lanjut Kongres Kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa yang diketahui oleh Dra.Sri HartIni, M.Si sebagai Direktur
Pembinaan Kepercayan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi. Setelah
melakukan pematangan selama dua tahun, akhirnya pada 14 Oktober 2014,
hari Selasa Tim Persiapan Pembentukan Wadah Nasional Kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa mendeklarasikan organisasi bernama Majelis
Luhur Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia
(MLKI) atau disebut Majelis Luhur. Deklarasi diselenggarakan bersamaan
dengan Sarasehan Nasional Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa difasilitasi oleh Direktorat Pembinaan Kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa dan Tradisi, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan yang berlangsung pada 13-17 Oktober 2014 di
Keraton NgayogyakartaHadiningrat. Pembacaan Deklarasi Majelis Luhur
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia oleh KP. Drs. Sulistyo
Tirtokusumo, M.M. Deklarasi juga langsung menetapkan Pengurus Nasional
yang dilantik secara secara langsung oleh Prof. Wiendu Nuryanti, M.Arch,
Ph.D, Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bidang Kebudayaan.
MLKI dinyatakan bahwa : (l) keangotaanya secara otomatis bagi organisasi/
kelompok Penghayat yang telah terinventarisasi di Instansi Pembina Teknis,
dan secara aktif dengan mendaftarkan diri bagi komunitas budaya
spiritual/komunitas adat dan penghayat perseorangan yang belum 9
terinventarisasi, kepemimpinannya secara kolektif kolegial yaitu dipimpin oleh
Presidium di setiap jenjang kepengurusan; MLKI menjadi mitra pemerintah
dalam menyusun kebijakan dan program yang terkait dengan pembinaan
Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, memberikan rekomendasi untuk
inventarisasi oragnisasi dan sertifikasi dalam pembinaan Organisasi/Kelompok
Kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa.
MLKI bertugas untuk meningkatkan eksistensi Kepercayaan terhadap Tuhan
yang Maha Esa dan advokasi bagi masalah-masalah yang berkaitan dengan
keberdaan organisasi dan penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
esa di Indonesia. MLKI juga menjadi bagian dari seluruh elemen bangsa
Indonesia untuk turut membangun karakter dan jati diri bangsa melalui
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila, demi
kokohnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
LANDASAN DAN PAYUNG HUKUM PENGHAYAT KEPERCAYAAN TERHADAP
TUHAN YANG MAHA ESA
1. Dasar Negara Pancasila;
Undang-Undang Dasar RI 1945, Pasal 29 ayat (2) dan pasal 28 E ayat (1) dan
ayat (2);
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
pasal 2 dan Penjelasan Umum;
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan,
yang sekarang tealh direvisi dengan UU Nomor 17 Tahun 2013;
4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 4 dan
pasal 2;
5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, pasal 18;
10
6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan,
pasal 58 ayat (2) h; pasal 64 ayat (2) dan pasal 105; serta Peraturan Pemerintah
Nomor 37 Tahun 2007.
7. Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata; No. 43 Tahun 2009 dan No. 41 Tahun 2009 tentang Pedoman
Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
8. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 77
tahun 2013 tentang Pedoman Pembinaan Lembaga Kepercayaan terhadap
Tuhan yang Maha Esa dan Adat
9. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 27 Tahun 2016
Tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Pada Satuan Pendidikan
10. Keputusan Makamah Kontitusi Mengabulkan atas Gugatan atas pasal 61 ayat 2
UU nomor 23 tahun 2006 dan pasal 64 ayat 5 sebagaimana telah dirubahdengan
undang undang 24 tahun 2013 tentang administrasi Kependudukan bertentangan
dengan Undang Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 tidak mempunyai
kekuatan Hukum mengikat (Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
masuk Kolom Agama di KTP) (keputusan Mahkamah Konstitusi . Setelah
melakukan uji materi pasal 61 Ayat (1) dan (2), serta pasal 64 ayat (1) dan (5) UU
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk), juncto
UU No 24 Tahun 2013 tentang UU Adminduk, MK memutuskan pemerintah harus
mencatat aliran kepercayaan dalam administrasi kependudukan.
11. Keputusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 yang disampaikan pada hari Selasa
tanggal 7 November 2017, yang isinya :
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan kata “agama” dalam pasal 61 ayat (1) dan pasal 64 ayat (1)
Undang-Undang No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2013
tentang Perubahan Atas Undang Undang Administrasi Kependudukan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 232 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5475) bertentangan
dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak
termasuk “kepercayaan”; 11
Menyatakan Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) Undang Undang Nomor
23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2013 tentang Perubahan
Atas Undang Undang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 232 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5475) bertentangan dengan Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat;
Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.
Kembali pada prespektif UUD 1945, tentang jaminan akan hak konstitusional warga
Negara dalam soal menganut agama atau kepercayaan jelas dituangkan dalam Pasal
28E ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 tegas dinyatakan, Negara
menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan. Tidak hanya itu, pasal 28 UUD
1945 menegaskan bahwa kebebasan beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun.
Dalam hal ini, Udang-Undang Dasar 1945 memberikan jaminan kebebasan beragama
dan berkeyakinan sebagai prinsip yang sah. Dalam kondisi apapun, Negara tidak
boleh mengurangikan hak kebebasan beragama maupun berkepercayaan sebagai hak
intrinsic setiap warga Negara.
Nila- nilai Undang-Undang Dasar 1945 diwujudkan kedalam peraturan perundang-
undangan dibawahnya seperti contoh tersebut diatas yang berkenaan dengan jaminan
dan perlindungan kebebasan beragama dan menganut kepercayaan, nilai dan prinsip
konstitusi dialirkan kesejumlah Peraturan Perundang-Undangan.
PERMASALAHAN PENGHAYAT KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YME
1. Kepercayaan terhadap Tuhan YME dianggap bukanlah agama hanya budaya adat
atau tradisi leluhur, sehingga penghayat mendapatkan perlakuan yang kurang baik.
2. Hak-hak yang diatur dalam peraturan dan perundang undangan belum sepenuhnya
berpihak pada penghayat kepercayaan.
Contoh :
> Hak atas pendidikan agama/ kepercayaan di sekolah
> Hak untuk menjadi anggota TNI/POLRI 12
3. Kepercayaan terhadap Tuhan YME dianggap sebagai sempalan aliran dari agama
yang dianggap menyimpang, sehingga sering dikatagorikan aliran sesat, dan harus
dikembalikan pada induk agamanya, serta harus dibina pada pemahaman agama
yang benar (contoh bunyi pernyataan dalam UU No.1/PNPS/1965, dan keberadaan
PAKEM).
4. Pemerintah dan legislative masih belum memiliki komitmen yang kuat untuk benar-
benar memberdayakan penghayat, sehingga terkesan penghayat dijamin
keberadaannya, tapi tidak boleh besar/berkembang, terbukti dari kecilnya anggaran
negara yang benar-benar diperuntukkan bagi pengembangan dan pembinaan
penghayat kepercayaan, dan seringnya perombakan nomenklatur maupun
penggabungan direktorat kepercayaan dengan direktorat lainnya.
6. Masih adanya pengucilan oleh masyarakat umum.
7. Mayoritas penghayat kepercayaan, masih belum berani terbuka menyatakan dirinya/
Identitasnya sebagai penghayat, dan lebih nyaman mengaku sebagai penganut
agama tertentu.
8. Terlambatnya Regenerasi atau Kaderisasi yang terjadi di dalam tubuh Organisasi /
Paguyuban Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
9. Manajemen Organisasi Penghayat Kepercayaan umumnya belum tertata dengan
baik.
10. Belum adanya akses dengan media televisi, untuk melakukan sosialisasi tentang
Kepercayaan Terhadap Tuhan YME.
11. Belum terkodifikasinya sejarah asal - usul keberadaan ajaran dari masing-masing
Paguyuban/Komunitas Penghayat.
12. Identitas dikosongkan (-) pada kolom agama bagi penghayat masih merugikan
penghayat. karena menurut pendapat umum dianggap tidak memiliki agama.
Kondisi Penghayat Kepercayaan
13
KEKUATAN KELEMAHAN1. Ajaran (sangkan paraning dumadi, manunggaling kawulo lan Gusti, memayu hayu bagya bawana)2. Memiliki panutan3. Payung Hukum4. Komunitas militan5. Wadah Tunggal ( MLKI )
1. Ajaran belum terkodifikasi (lisan)2. SDM 3. SDO4. Program kegiatan (internal-eksternal)5. Kaderisasi6. Pasrah (nrimo ing pandum)
PELUANG ANCAMAN1. Membangun komunikasi lintas Iman dan kepercayaan2. Implementasi regulasi3. Pemerintah sebagai fasilitator4. Medsos sbg sarana pengenalan thdp aktivitas penghayat5. Menjadi ASN / DPRD/ DPR
1. Stigma negative thdp Penghayat2. Regulasi yang belum sepenuhnya berpihak kpd penghayat
Berbicara tentang kemampuan dan peran serta Penghayat Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam mengembangkan kebudayaan maupun adat
tradisi masyarakat di Indonesia perlu dicermati secara seksama agar kelak kedepan
apa yang menjadi harapan semua komunitas penghayat akan dapat terwujud
sesuai harapan yang diinginkan. Oleh karena itu perlu pemetaan yang jelas terkait
sumberdaya manusia maupun sumberdaya organisasi sebagai kekuatan
organisasi para komunitas penghayat untuk lebih menunjukkan eksistensinya.
Stigma negative yang selama ini masih melekat dimasyarakat menjadi
tantangan tersendiri bagi penghayat kepercayaan, sehingga perlu diupayakan
kerjasama lintas oraganisasi baik dengan tokoh-tokoh agama, kepercayaan
maupun dengan pemerintah. Eksistensi penghayat kepercayaan dapat dinilai
positif oleh masyarakat manakala para penghayat mau membuka diri (tidak
bersifat ekslusif) berbaur membangun kebersamaan dalam berbagai segi kegiatan
baik yang dilakukan lintas agama, masyarakat maupun pemerintah.
14
KEWAJIBAN PENGHAYAT KEPERCAYAAN SEBAGAI WARGA NEGARA
Kewajiban adalah sesuatu yang harus dilakukan dengan penuh rasa
tanggung jawab, kewajiban dalam pembangunan Negara bukanlah hanya sekedar
tugas atau tanggung jawab pemerintah. Partisipasi atau peran masyarakat dalam
pembangunan sangtlah penting, karena pembangunan tidak dapat berlangsung
dengan baik apabila tidak ada partisipasi masyarakat itu sendiri. Secara umum
yang sering menyebabkan tidak tumbuhnya partisipasi masyarakat dalam
pembangunan dikarenakan masyarakat tidak atau kurang informasi yang jelas
tetang kesempatan yang disediakan untuk berpartisispasi dalam memanfaatkan
hasil pembangunan. Dengan demikian kerjasama antara pemerintah dan
masyarakat sangatlah diperlukan. Demikian halnya dengan para pengayat
kepercayaan sebagai warga Negara seyogyanya ikut menyingsingkan lengan baju
berpartisipasi dalam pembangunan untuk memajukan bangsa dan Negara yang
kita cintai.
Hak dan Kewajiban merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan, akan
tetapi terjadi pertentangan karena hak dan kewajiban tidak seimbang. Untuk mencapai
keseimbangan antara hak dan kewajiban sebagai warga penghayat dapat dilakukan
dengan cara mengetahui posisi diri kita sendiri.
Sebagai seorang warga negara harus tahu hak dan kewajibannya serta seorang
pejabat atau pemerintah pun harus tahu akan hak dan kewajibannya. Seperti yang
sudah tercantum dalam hukum dan aturan-aturan yang berlaku. Jika hak dan
kewajiban seimbang dan terpenuhi, maka kehidupan masyarakat akan aman
sejahtera. Namun, pada kenyataannya kewajiban dan hak sebagai warga negara
belum dapat dilaksanakan secara seimbang.
Secara garis besar, hak dan kewajiban warga negara yang telah tertuang dalam
UUD 1945 mencakup berbagai bidang. Bidang-bidang ini antara lain, Bidang politik
dan pemerintahan, sosial, keagamaan, pendidikan, ekonomi, dan pertahanan. Apabila
seseorang menjadi warga negara, maka orang tersebut mempunyai hak dan
kewajiban sebagai warga negara.
Hak adalah segala sesuatu yang harus di dapatkan oleh setiap orang yang telah ada
sejak lahir bahkan sebelum lahir. Kewajiban adalah sesuatu yang wajib dilaksanakan,
keharusan atau sesuatu hal yang harus dilaksanakan. Warga Negara adalah
penduduk yang sepenuhnya diatur oleh Pemerintah Negara tersebut dan mengakui
15
Pemerintahnya. Menurut pasal 26 UUD 1945, warga negara adalah orang-orang
bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-
undang sebagai warga-negara. Hak dan kewajiban warga negara, adalah segala
sesuatu yang akan/harus kita dapatkan ketika kita menjadi warga dari suatu negara
dan segala hal yang menjadi keharusan bagi kita sebagai warga Negara.
Sebenarnya hak selalu seiring sejalan dengan kewajiban yang harus dipenuhi.
Kewajiban yang harus dipenuhi oleh penghayat kepercayaan sebagai warga negara
menurut Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah
sebagai berikut :
1. Wajib menaati hukum dan pemerintahan. Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan: “Segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
2. Wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Pasal 27 Ayat (3) Undang- Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan: “Tiap warga negara
berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”.
3. Wajib menghormati hak asasi manusia orang lain. Pasal 28J Ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatakan: “Setiap orang
wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”.
4. Wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang. Pasal
28J Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menyatakan: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis”.
5. Wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Pasal 30 Ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan: “Tiap-
tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan
keamanan negara”.
16
Hak dan kewajiban telah dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Pasal 26, 27, 28, dan 30.
1. Pasal 26 Ayat (1), “Yang menjadi warga negara ialah orang-orang Indonesia asli dan
orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undangundang sebagai warga
negara”, dan pada Ayat (3), “Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur
dengan undang-undang”.
2. Pasal 27 Ayat (1), “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahannya dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya”. Pada Ayat (2), “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
3. Pasal 28, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undangundang”.
4. Pasal 30 Ayat (1), “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha
pertahanan dan keamanan negara”. Selanjutnya, ayat (5) menyatakan bahwa
“...syarat-syarat keikutsertaan warga negara, dalam usaha pertahanan dan
keamanan negara, serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan dan keamanan
diatur dengan undang-undang”.
Kewajiban penghayat kepercayaan sebagai warga Negara yang perlu
mendapatkan perhatian adalah membayar pajak. Pembayaran pajak merupakan
perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak untuk secara
langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan
negara dan pembangunan nasional. Sesuai falsafah undang-undang perpajakan,
membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap
warga negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan
negara dan pembangunan nasional.
Demikian halnya dalam Ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 tersebut mengarahkan bahwa negara harus memenuhi segala
bentuk hak warga negaranya, khususnya berkaitan dengan hak politik warga negara
dan secara lebih khusus lagi berkaitan dengan hak pilih setiap warga negara dalam
proses demokrasi. Hak ini seharusnya membuka ruang yang seluas-luasnya bagi
setiap warga negara untuk bisa menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Umum,
sebab pembatasan hak pilih warga negara merupakan salah satu bentuk pelanggaran
hak asasi manusia, peluang hak politik ini harus digunakan oleh para penghayat 17
kepercayaan, karena hak politik ini lah yang akan dapat menjadi sumbangsih dalam
menentukan arah kebijakan yang berpijak pada kepentingan penghayat kepercayaan.
Begitu besarnya skala pembangunan nasional Indonesia di berbagai bidang,
yang nantinya bermuara pada kesejahteraan masyarakat. Maka, sudah
menjadi kewajiban penghayat kepercayaan sebagai warga negara untuk berpartisipasi
dalam proses pembangunan nasional bangsa ini.
PENUTUP Berbicara tentang kemampuan dan peran serta Penghayat Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam mengembangkan kebudayaan maupun adat
tradisi masyarakat di Indonesia perlu dicermati secara seksama agar kelak kedepan
apa yang menjadi harapan semua komunitas penghayat akan dapat terwujud
sesuai harapan yang diinginkan. Oleh karena itu perlu pemetaan yang jelas terkait
sumberdaya manusia maupun sumberdaya organisasi sebagai kekuatan
organisasi para komunitas penghayat untuk lebih menunjukkan eksistensinya.
Stigma negative yang selama ini masih melekat dimasyarakat menjadi
tantangan tersendiri bagi penghayat kepercayaan, sehingga perlu diupayakan
kerjasama lintas oraganisasi baik dengan tokoh-tokoh agama, kepercayaan
maupun dengan pemerintah. Eksistensi penghayat kepercayaan dapat dinilai
positif oleh masyarakat manakala para penghayat mau membuka diri (tidak
bersifat ekslusif) berbaur membangun kebersamaan dalam berbagai segi kegiatan
baik yang dilakukan lintas agama, masyarakat maupun pemerintah.
Demikianlah sedikit uraian mengenai landasan dan kewajiban yang harus
dilaksanakan sebagai bentuk peran serta penghayat kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa dalam membangun kebudayaan adat maupun tradisi
bangsa, yang telah saya tulis dengan segala keterbatasan dalam mengupas topik
yang ada. Semoga apa yang saya sampaikan ini dapat berguna sebagai bahan
evaluasi diri bagi kita semua, khususnya para penghayat kepercayaan terhadap
Tuhan YME dalam melaksanakan hak dan kewajiban sebagai warga Negara.
18
Daftar Bacaan
M.Djafar,A & Nurcholish A2015 Agama Cinta : Menyelami Samudra Agama Agama Jakarta: Gramedia,
Rachmat Subagya1981 Agama Asli Indonesi
Jakarta : Sinar Harapan & Cipta Loak Caraka.
Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Propinsi Jawa Timur1993 700 Tahun Majapahit (1293 – 1993) Suatu Bunga Rampai Surabaya : CV Wisnu Murt i
--- @ ---
19