taiwan di bawah presiden ma ying-jeou …sosial dari jurusan ilmu hubungan internasional, fakultas...
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS INDONESIA
KEBIJAKAN LUAR NEGERI TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU (2008-2012) DI
BIDANG KEAMANAN, EKONOMI, DAN IDENTITAS DALAM HUBUNGAN ANTAR-SELAT TAIWAN DAN CINA
TUGAS KARYA AKHIR
FAHMI ISLAMI
0906524223
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
DEPOK JULI 2013
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
ii
UNIVERSITAS INDONESIA
KEBIJAKAN LUAR NEGERI TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU (2008-2012) DI
BIDANG KEAMANAN, EKONOMI, DAN IDENTITAS DALAM HUBUNGAN ANTAR-SELAT TAIWAN DAN CINA
TUGAS KARYA AKHIR Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial
FAHMI ISLAMI
0906524223
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
DEPOK JULI 2013
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan
rahmat-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas karya akhir ini. Tugas
karya akhir ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana
Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Indonesia.
Hubungan antara Taiwan dan Cina merupakan salah satu fokus utama
dalam dinamika kawasan di Asia Timur. Hubungan antara kedua negara diwarnai
oleh sisi positif dan negatif. Hubungan di bidang ekonomi, seperti perdagangan
dan investasi, menutupi potensi konflik yang dapat membawa dunia menuju ke
perang dunia selanjutnya, karena banyaknya kepentingan antara aktor-aktor di
Selat Taiwan.
Dinamika hubungan antara Taiwan dan Cina tentu dipengaruhi oleh
kebijakan-kebijakan yang diambil dari sisi Taiwan. Menilik sejarah Taiwan, tidak
dapat dipungkiri bahwa terjadi beberapa kali pergeseran kebijakan yang diambil
dalam menghadapi Cina dari pemimpin-pemimpin Taiwan. Tugas karya akhir ini
akan mencoba mendalami bagaimana dinamika baru muncul di bawah presiden
Taiwan saat ini, Ma Ying-jeou, dalam periode pertama kepresidenannya dari
tahun 2008 hingga 2012. Secara spesifik, penulis akan membahas tiga kebijakan
utama dalam masa kepemimpinannya, yaitu di bidang keamanan, ekonomi, dan
identitas. Tugas karya akhir ini akan menunjukkan bagaimana Presiden Ma Ying-
jeou membawakan Taiwan ke dalam tahap baru hubungan Taiwan dan Cina.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan yang
terdapat pada tugas akhir ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari pembaca unutk menyempurnakan karya ini. Semoga
tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak baik di bidang akademis
maupun praktis.
Depok, 17 Juli 2013
Fahmi Islami
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
vi
UCAPAN TERIMAKASIH
Dalam kesempatan ini, penulis pertama-tama hendak mengucapkan puji
dan syukur kepada Allah SWT, atas segala kekuatan yang diberikan kepada
penulis selama rangkaian masa perkuliahan dan pada penulisan tugas akhir ini.
Selain itu, penulis juga hendak mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak lain
yang telah membantu dan mendukung penulis dalam penyelesaian tugas akhir ini,
yaitu:
1. Broto Wardoyo, S.Sos., M.A., selaku dosen pembimbing penulis.
Terimakash untuk semua bantuan-bantuan, atensi, dan terutama motivasi
yang tidak berhenti kepada penulis agar segera menyelesaikan tugas akhir
ini.
2. Bantarto Bandoro, S.H., M.A, selaku penguji ahli penulis. Terimakasih
untuk semua input dan saran yang telah diberikan bagi penulis untuk
memperbaiki tugas karya akhir ini. Terimakasih pula untuk semua cookies
dan koala yang pernah diberikan.
3. Dra. Nurul Isnaeni, M.A selaku Ketua Program Sarjana Departemen Ilmu
Hubungan Internasional, FISIP UI dan selaku Ketua Sidang, dan Andrew
Wiguna Mantong, S.Sos, M.Sc., selaku sekretaris program sarjana S-1 dan
sekretaris sidang. Terimakasih untuk segala bantuan yang telah diberikan
kepada penulis selama penulis menjadi mahasiswa di Program Sarjana
Hubungan Internasional-UI
4. Dra. Evi Fitriani, M.A., Ph.D, sebagai Ketua Departemen Ilmu Hubungan
Internasional FISIP, Universitas Indonesia. Terimakasih untuk seluruh
inspirasi yang diberikan kepada penulis selama berkuliah di HI.
5. Andi Widjajanto, Ph.D dan Aninda R. Tirtawinata, M.Litt, selaku pengajar
mata kuliah Colloqium. Terimakasih atas bimbingan dan arahannya dalam
kelas colloquium, yang menjadi dasar penulisan tugas karya akhir ini.
6. Yuni Reti Intarti, S.Ip., M.Si, selaku pembimbing akademik penulis, yang
telah memberikan banyak input bagi penulis selama berkuliah di HI UI.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
vii
7. Seluruh Pengajar dan Staf di Departemen Ilmu Hubungan Internasional,
Universitas Indonesia. Terimakasih atas semua ilmu yang telah diberikan
kepada penulis
8. Mama Emi dan Fadil, Ibu dan Adik dari penulis. Terimakasih atas semua
unconditional love and support selama penulis menjadi mahasiswa.
Doakan agar Fahmi bisa sukses di masa depan.
9. Seluruh teman-teman HI 2009. Penulis bersyukur bisa menjadi salah satu
bagian dari teman-teman semua. Terimakasih untuk 4 tahun yang tak
terlupakan.
10. Teman-teman HI senior angkatan 2006, 2007, dan 2008, serta junior
angkatan 2010 dan 2011. Terimakasih karena telah menjadikan SBAL
sebagai tempat yang menyenangkan untuk dikunjungi, biarpun penulis
jarang berada di SBAL 1 tahun terakhir ini.
11. Seluruh senior-senior Ruang Asdos, Kak Dian, Kak Dina, Kak Agung, dan
Kak Syarip. Terimakasih untuk semua nasehat dan bantuan selama
bersama menjadi penghuni ruang AsDos.
12. Teman-teman penulis di luar HI. UIMUNClub. EDS-UI. HNMUN tahun
2011, 2012, dan 2013. IndonesiaMUN 2011 dan 2012. OIS 2010 dan
2011. Terimakasih untuk semua pelajaran dan kenangan yang tak akan
penulis lupakan.
13. Sri Mulyati. Untuk semua semangat, semua telefon, semua sms, semua
IMs. Terimakasih atas semua kenangan yang indah selama 2 tahun. To
infinity and beyond!
14. Semua pihak lain yang telah membantu penulis selama perkuliahan di HI-
UI, dan juga pada saat penulisan tugas akhir ini.
15. Bapak Ibe. Untuk 10 tahun singkat Fahmi belajar dari Bapak Ibe, yang
akan Fahmi bawa untuk seumur hidup.
Depok, 17 Juli 2013
Fahmi Islami
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
ix
ABSTRAK
Nama : Fahmi Islami Program Studi : Ilmu Hubungan Internasional Judul : Kebijakan Luar Negeri Taiwan di Bawah Presiden Ma
Ying-jeou (2008-2012) di Bidang Keamanan, Ekonomi, dan Identitas dalam Hubungan Antar-Selat Taiwan dan Cina
Tugas karya akhir ini membahas mengenai kebijakan luar negeri yang diambil oleh Presiden Ma Ying-jeou pada masa kepresidenannya yang pertama dari tahun 2008-2012 dalam hubungan antar selat Taiwan dan Cina. Secara spesifik, kebijakan luar negeri yang dibahas merupakan kebijakan luar negeri di bidang keamanan, ekonomi, dan identitas. Di bawah Presiden Ma Ying-jeou, Taiwan berusaha memperbaiki hubungan antar-selat yang memburuk ketika Taiwan dipimpin oleh Presiden Chen Shui-bian. Beberapa kebijakannya, seperti pengakuan kembali Konsensus 1992, dimulainya kembali dialog antara SEF dan ARATS, serta pembentukan ECFA merupakan contoh bagaimana Taiwan mencoba memperbaiki hubungan antar-selat. Menggunakan kerangka konsep Realisme Defensif di bidang keamanan, Neoliberal Institusionalisme di bidang ekonomi, dan konsep Identitas di bidang identitas, tugas karya akhir ini mencoba mencari mengapa Presiden Ma Ying-jeou mengambil kebijakan luar negeri yang bertujuan memperbaiki hubungan antar-selat tersebut. Hasil yang didapatkan menunjukkan bagaimana kebijakan luar negeri Taiwan di bidang keamanan dan ekonomi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di level sistem, terutama dari reaksi Cina terhadap inisiatif yang diberikan oleh Taiwan. Pada bidang identitas, faktor eksternal memiliki pengaruh yang cukup besar, dan dilengkapi oleh faktor-faktor dalam negeri, ikut membentuk kebijakan di bidang identitas.
Kata Kunci: Taiwan, Cina, Hubungan antar-selat, Ma Ying-jeou, Keamanan, Ekonomi, Identitas, ECFA, Konsensus 1992
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
x
ABSTRACT
Name : Fahmi Islami Study Program : International Relations Title : Foreign Policy of Taiwan under President Ma Ying-
jeou (2008-2012) in Security, Economic, and Identity Aspect in Cross-strait Relation Between Taiwan and China
This final assignment discusses the foreign policy of Taiwan under President Ma Ying-jeou under his first term (2008-2012) in Cross-strait Relation between Taiwan and China. Specifically, the policies discussed are those in the aspect of security, economic, and identity. Under President Ma, Taiwan tries to repair the cross-strait relation that was worsening under the previous Taiwan President, President Chen Shui-bian. Some of President Ma’s policies, such as the official recognition of 1992 Consensus, the resumption of SEF-ARATS dialogue, and the creation of ECFA, are examples of the effort Taiwan made to repair the relation between Taiwan and China. Using three theoretical frameworks, which are Defensive Realism in security, Neoliberal Institutionalism in economy, and Identity Concept in identity, this final assignment tries to find why President Ma created foreign policy that tries to repair the cross-strait relation. The discussion concludes that foreign policy of Taiwan in Security and Economic aspect is shaped by factors in systemic level, especially from the reaction of China to initiatives given by Taiwan. In identity aspect, external factors play a big role, and complemented by domestic factors, in shaping the policy in identity aspect.
Keywords: Taiwan, China, Cross-strait relation, Ma Ying-jeou, security, economy, identity, ECFA, 1992 Consensus
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................... iii HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iv KATA PENGANTAR ............................................................................................ v UCAPAN TERIMAKASIH ................................................................................... vi HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ............................................................ viii ABSTRAK ............................................................................................................. ix ABSTRACT ............................................................................................................ x DAFTAR ISI .......................................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR, TABEL, DAN GRAFIK .................................................. xiii DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................... xiv BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................... 1 1.1.1 Kebijakan Luar Negeri Taiwan Terhadap Cina di Bawah Chiang Kai-shek
(1949-1975) ................................................................................................. 2 1.1.2 Kebijakan Luar Negeri Taiwan terhadap Cina di Bawah Chiang Ching-kuo
(1978-1988) ................................................................................................. 4 1.1.3 Kebijakan Luar Negeri Taiwan terhadap Cina di Bawah Lee Teng-hui
(1988-2000) ................................................................................................. 6 1.1.4 Kebijakan Luar Negeri Taiwan terhadap Cina di Bawah Chen Shui-bian
(2000-2008) ................................................................................................. 8 1.1.5 Kebijakan Luar Negeri Taiwan terhadap Cina di Bawah Ma Ying-jeou
(2008-2012) ............................................................................................... 10 1.2 Pertanyaan Penelitian ........................................................................................ 13 1.3 Kerangka Konsep .............................................................................................. 13
1.4 Tujuan Penelitian ……………………………………………………………...18 1.5 Pembabakan TKA ............................................................................................. 19
Bab 2 KEBIJAKAN KEAMANAN TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU DALAM HUBUNGAN ANTAR-SELAT TAIWAN DAN CINA .................................................................................................................... 20
2.1 Kerangka Konsep: Realisme Defensif ............................................................... 20 2.2 Kebijakan Keamanan Taiwan di Bawah Ma Ying-jeou: Bentuk Engagement
Presiden Ma kepada Cina .................................................................................. 25 2.2.1 Pemberian Sinyal Intensi Baik melalui Reassurance dan Ajakan Kerjasama
kepada Cina oleh Presiden Ma Ying-jeou ................................................. 26 2.2.2 Tindakan Hedging Presiden Ma Ying-jeou kepada Cina: Balancing Internal
dan Eksternal Taiwan terhadap Cina ......................................................... 28 2.3 Faktor Eksternal Pembentuk Kebijakan Keamanan Taiwan: Cina sebagai Negara
Realisme Ofensif atau Defensif ......................................................................... 34 2.3.1 Cina dan Klaim sebagai Negara dengan Peaceful Rise .............................. 34 2.3.2 Cina sebagai Negara Realisme Ofensif dalam Hubungan Cina dan Taiwan
................................................................................................................... 36
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
xii
2.4 Faktor Domestik Pembentuk Kebijakan Keamanan Taiwan Terhadap Cina: Peran NSC, Tekanan Publik untuk Rekonsiliasi, dan Pengaruh Presiden Ma ............ 40
Bab 3 KEBIJAKAN EKONOMI TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU DALAM HUBUNGAN ANTAR-SELAT TAIWAN DAN CINA ..................................................................................................................... 44
3.1 Kerangka Konsep Neoliberal Institusionalime .................................................... 45 3.1.1 Neoliberal Institusionalisme ....................................................................... 45 3.1.2 Institusi dalam Neoliberal Institusionalisme ............................................... 47
3.2 Kebijakan Ekonomi Taiwan di Bawah Presiden Ma: Institusionalisasi dan Penandatanganan ECFA .................................................................................... 50
3.2.1 Proses Negosiasi ECFA .............................................................................. 51 3.2.2 ECFA dan 4 Elemen Institusi Keohane ...................................................... 52
3.3 Dasar Eksistensi ECFA: Anticipated Gain dari Perspektif Taiwan ..................... 56 3.3.1 Legal liability .............................................................................................. 57 3.3.2 Transaction Cost ......................................................................................... 59 3.3.3 Uncertainty and Information ....................................................................... 61
3.4 Faktor Domestik Dalam Pengambilan Kebijakan Institusionalisasi Hubungan Ekonomi Taiwan-Cina melalui ECFA .............................................................. 61
Bab 4 KEBIJAKAN IDENTITAS TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU DALAM HUBUNGAN ANTAR-SELAT TAIWAN DAN CINA ..................................................................................................................... 65
4.1 Kerangka Konsep: Identitas dan Identitas Nasional ............................................ 66 4.1.1 Identitas ....................................................................................................... 66 4.1.2 National Identity ......................................................................................... 68
4.2 Sejarah Kebijakan Identitas Taiwan .................................................................... 71 4.2.1 Era Identitas Nasionalis di bawah Kuomintang .......................................... 71 4.2.2 Post-Nationalist Identity Taiwan dan Demokratisasi ................................. 74
4.3 Pembentukan Identitas Taiwan di Bawah Presiden Ma Ying-jeou dari Perspektif Systemic Constructivism .................................................................................... 77
4.4 Kebijakan Identitas Taiwan di Bawah Presiden Ma Ying-jeou ........................... 79 4.4.1 5 Elemen Kebijakan Nasional dalam Kebijakan Identitas Ma Ying-jeou .. 82
4.5 Dampak Kebijakan Identitas Presiden Ma Ying-jeou .......................................... 87 4.5.1 Kebijakan Identitas Presiden Ma dan Pembentukan Identitas di Taiwan ... 88 4.5.2 Dampak Kebijakan Identitas terhadap Hubungan Taiwan-Cina ................ 90
Bab 5 KESIMPULAN ......................................................................................... 94 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 100
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
xiii
DAFTAR GAMBAR, TABEL, DAN GRAFIK
Daftar Gambar
Gambar 2.1.1 Tangga Strategi Realisme………………………………………...22
Gambar 5.1 Segitiga Kebijakan Luar Negeri Presiden Ma Ying-jeou………....101
Daftar Tabel
Tabel 1.3.1 Level Analisa Kebijakan Luar Negeri………………………………15
Tabel 2.2.1.1 Pengeluaran Pertahanan Taiwan 2008-2012……………………....29
Tabel 3.2.2.1 Skema Pengurangan Tarif dalam Program Early Harvest ECFA…51
Daftar Grafik
Grafik 2.4.1 Dukungan Terhadap Peningkatan Cross-Strait Economic
Exchanges………………………………………………………………………..42
Grafik 4.4.1 Probabilitas Penyebutan Kategori dalam Pidato Presiden Ma Ying-
jeou……………………………………………………………………………….76
Grafik 4.3.1.1 Identifikasi Identitas Masyarakat Taiwan 1992-2012……………83
Grafik 4.4.2.1 Tren Unifikasi vs Independensi Taiwan 1992-2012……………...86
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
xiv
DAFTAR SINGKATAN
ARATS Association for Relations Across the Taiwan Straits
DPP Democratic Progressive Party
ECFA Economic Cooperation Framework Agreement
KMT Kuomintang
PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa
PKC Partai Komunis Cina
QDR Quadrennial Defense Review
ROC Republic of China
RRC Republik Rakyat Cina
SEF Straits Exchange Foundation
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dinamika hubungan antara Taiwan dan Cina dimulai pada tahun 1949 saat
pemerintahan Republik Cina di bawah Kuomintang pimpinan Chiang Kai-shek
mengalami kekalahan dari Partai Komunis Cina di Cina Daratan. Chiang Kai-shek
kemudian melarikan diri ke Taiwan setelah melihat tidak ada kemungkinan bagi
Republik Cina untuk dapat bertahan di Cina Daratan. Chiang Kai-shek membawa
bersamanya beberapa juta pendukung dari KMT yang ikut mencari perlindungan
dari pemerintahan Komunis di Cina Daratan. Chiang Kai-shek sendiri
menyatakan meskipun dia mengalami kekalahan, legitimasi pemerintahan Cina
masih berada di bawah Kuomintang, dan Beijing hanya diduduki oleh
“pemberontak komunis”. 1 Kondisi ini menciptakan adanya dualisme klaim
terhadap nama “Cina” antara Cina yang diwakili oleh Partai Komunis Cina yang
memegang kekuasaan pada wilayah Cina Daratan yang luas dan Cina di bawah
Kuomintang yang memegang kendali pemerintahan di Taipei atas wilayah Taiwan
dan beberapa kepulauan di sekitarnya.
Persaingan untuk mendapatkan pengakuan sebagai pemerintahan Cina
yang memiliki legitimasi terhadap seluruh wilayah Cina merupakan awal dari
dinamika panjang antara Taiwan dan Cina. Dinamika ini mengalami perubahan
yang panjang seiring dengan pergantian kepemimpinan di Taipei dan Beijing.
Latar belakang ini akan menjelaskan lebih lanjut mengenai dinamika yang terjadi
antara kedua negara.
1 Jonathan Manthorpe, Forbidden Nation: A History of Taiwan (New York: Palgrave Macmillan, 2005), 107.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
2
1.1.1 Kebijakan Luar Negeri Taiwan Terhadap Cina di Bawah Chiang Kai-
shek (1949-1975)
Kebijakan luar negeri Taiwan terhadap Cina mengalami pergantian dan
perubahan seiring dengan perubahan waktu dan kepemimpinan di dalam Taiwan.
Pemerintahan Taiwan di bawah Kuomintang dimulai oleh kepemimpinan Chiang
Kai-shek. Terkait permasalahan dalam negeri, Chiang Kai-shek selama masa
pemerintahannya melaksanakan reformasi di bidang ekonomi. Reformasi di
bidang ekonomi tidak terjadi di bidang politik, di mana Presiden Chiang Kai-shek
menolak reformasi dan mempertahankan kondisi Darurat Militer, sehingga oposisi
terhadap Kuomintang tidak diperbolehkan ada. 2 Dalam hubungan antar-selat
dengan pemerintahan PKC di Beijing, pemerintahan Chiang Kai-shek masih
mempertahankan prinsip penolakan terhadap keberadaan PKC sebagai
pemerintahan Cina. Prinsip di atas menjadi definisi dari ‘One-China Policy’ di
mana Cina dalam pengertian Chiang Kai-shek dipimpin pemerintahan
Kuomintang yang mengungsi secara darurat di wilayah Taiwan. Penerapan prinsip
‘One-China Policy’ oleh Chiang Kai-shek membuat hubungan Taiwan dan Cina
pada awalnya menjadi perpanjangan terhadap Perang Sipil yang telah terjadi
sebelumnya di Cina Daratan.3 Hal ini terlihat dari intensi Presiden Chiang Kai-
shek dengan menempatkan tentaranya di Pulau Jinmen dan Pulau Mazu sebagai
persiapan jika suatu saat dapat menyerang Cina Daratan.4
Dinamika hubungan Cina dan Taiwan pada masa pemerintahan Chiang
Kai-shek tidak dapat dilepaskan dari dinamika global yang tengah dilanda perang
dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Awal keterlibatan Amerika Serikat
dalam hubungan Taiwan dan Cina dimulai saat Amerika Serikat menempatkan
armada kapal perangnya di Selat Taiwan pada tahun 1950 dengan tujuan menahan
laju komunisme yang sedang bergolak di Perang Semenanjung Korea.5 Amerika
Serikat semakin terlibat dalam dinamika antara Taiwan dan Cina dengan
2 Ibid., 202-205. 3 Phil Deans, “Cross-Strait Relations since 1949: From Radicalism to Conservatism and Back Again,” China Aktuell 34, no. 3 (2005): 28, diakses 12 Mei 2013, http://www.giga-hamburg.de/openaccess/chinaaktuell/2005_3/giga_cha_2005_3_deans.pdf. 4 “The Taiwan Strait Crises 1954-55 and 1958”, U.S. Department of State, diakses 1 Juni 2013, http://2001-2009.state.gov/r/pa/ho/time/lw/88751.htm. 5 Deans, “Cross-Strait Relations since 1949,” 28.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
3
penandatangan Traktat Pertahanan antara Amerika Serikat dan Taiwan pada tahun
1954.6
Konflik bersenjata terus berlanjut antara Taiwan, yang dibantu oleh
Amerika Serikat, dan Cina, yang dibantu oleh Uni Soviet. Puncak konflik terjadi
pada tahun 1958 saat PKC melaksanakan penyerangan besar-besaran terhadap
wilayah Kepulauan Taiwan, karena PKC memanfaatkan Amerika Serikat yang
sedang menghadapi masalah yang lain di wilayah Lebanon.7 Setelah tahun 1958,
perang sipil antara Taiwan dan Cina berubah dari perang militer menjadi “perang”
diplomatis dalam mencari pengakuan dari negara-negara lain sebagai pemerintah
Cina yang memiliki legitimasi. Perubahan ini merupakan hasil dari tekanan yang
diberikan oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet kepada kedua pihak untuk tidak
melaksanakan serangan-serangan militer. 8 Pada dekade 1960an, Kuomintang
masih unggul dibandingkan PKC dalam mencari pengakuan di dunia
internasional. Di dalam organisasi PBB, Kuomintang masih memegang posisi
sebagai Cina dan juga menempati posisi sebagai anggota tetap Dewan Keamanan
PBB.9
Pengaruh yang dimiliki oleh Beijing di bidang diplomasi semakin menguat
pada dekade 1970. Kebijakan ‘One-China Policy’ yang diambil oleh Chiang Kai-
shek membuat kondisi semakin rumit bagi Taiwan, karena Taiwan harus
memutuskan hubungan dengan negara negara yang mengakui Beijing sebagai
Cina. Pada tahun 1971 posisi Taiwan di dunia internasional semakin sulit karena
Amerika Serikat memulai normalisasi hubungan dengan Beijing. Amerika Serikat
juga menghadapi posisi yang sulit di mana Amerika Serikat harus berusaha untuk
mempertahankan posisi keanggotaan Taiwan di PBB. Amerika Serikat sendiri
telah berusaha untuk membuat proposal-proposal baru untuk mempertahankan
keanggotaan Taiwan sebagai anggota PBB dan di saat yang bersamaan
memasukkan PKC juga sebagai anggota PBB (two-china policy). Penolakan
6 Ibid., 28. 7 “The Taiwan Strait Crises 1954-55 and 1958”. U.S. Department of State. 8 Deans, “Cross-Strait Relations since 1949,” 29. 9 Ibid., 29.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
4
proposal-proposal tersebut, dan posisi strategis Amerika Serikat yang semakin
ambigu, memaksa Taiwan untuk mengundurkan diri dari PBB pada tahun 1971.10
1.1.2 Kebijakan Luar Negeri Taiwan terhadap Cina di Bawah Chiang Ching-
kuo (1978-1988)
Chiang Ching-kuo, yang merupakan anak dari Chiang Kai-shek, menerima
tampuk kepemimpinan Taiwan dalam kondisi Taiwan yang semakin terisolasi dari
dunia internasional. 11 Di bawah Chiang Ching-kuo, hubungan Cina-Taiwan
melanjutkan periode pendinginan. Dua faktor penting mempengaruhi dinamika
hubungan antara Cina dan Taiwan, di mana keduanya terjadi di Beijing. Pertama,
Pemerintahan Komunis Cina di Beijing mengalami pergantian kepemimpinan dari
Mao Zedong yang digantikan oleh Deng Xiaoping pada tahun 1979. Sebagai
Presiden baru RRC, Deng Xiaoping memiliki agenda utama memperbaiki kondisi
ekonomi RRC yang mengalami keterpurukan di bawah Mao Zedong. Tekad
Presiden Deng untuk memperbaiki kondisi ekonomi mendorongnya untuk
mengalihkan Beijing dari permasalahan dan pertikaian politik kepada
permasalahan-permasalahan ekonomi. Presiden Deng Xiaoping menekankan
stabilitas sebagai salah satu unsur penting untuk mendatangkan pertumbuhan
ekonomi yang diinginkan, termasuk perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan
antara PKC dengan Kuomintang.12
Dinamika kedua adalah normalisasi hubungan antara Amerika Serikat
dengan Beijing yang diformalisasi oleh kedua pihak pada tahun 1979.
Perpindahan pengakuan Amerika Serikat dari Taipei kepada Beijing membuat
Amerika Serikat harus menghapus pengakuannya terhadap Republik Cina di
Taiwan, membatalkan traktat pertahanan antara Amerika Serikat dan Taiwan, dan
10 Monique Chu, “Taiwan and the United Nations – Withdrawal in 1971 was a Historic Turning Point,” Taipei Times, terakhir dimodifikasi pada 12 September 2001, diakses 1 Juni 2013, http://www.taipeitimes.com/News/local/archives/2001/09/12/102595. 11 Chiang Ching-kuo tidak langsung menjadi Presiden Taiwan setelah kematian Chiang Kai-shek pada tahun 1975. Chiang Kai-shek secara formal digantikan oleh Wakilnya saat itu yaitu Yen Chia-kan. Yen Chia-kan hanya memegang kepemimpinan selama tiga tahun, dan pada tahun 1978, Chiang Ching-kuo dipilih menjadi Presiden Taiwan. 12 Yan Anlin, “Cross-Taiwan Strait Relations and Beijing’s Taiwan Policy Adjustment since 1979”, dalam Cross-Taiwan Straits Relations Since 1979: Policy Adjustment and Institutional Change Across The Strait, ed. Kevin G. Cai (Singapore: World Scientific Publishing, 2011), 25.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
5
menarik pasukannya dari Taiwan.13 Kondisi ini mendorong Presiden Chiang
Ching-kuo untuk membentuk kebijakan luar negeri Taiwan terhadap Beijing
sebagai “Three no’s Policy” (三不政策), yang dijabarkan sebagai tidak ada
kontak, tidak ada negosiasi, dan tidak ada kompromi antara Taiwan dan Beijing.14
Meskipun Amerika Serikat kemudian tetap menghasilkan ‘Taiwan Relations Act’,
pengakuan Amerika Serikat terhadap Beijing mendorong Beijing untuk mengubah
kebijakannya terhadap Taiwan. Kebijakan Beijing yang awalnya bersifat ‘military
liberation’ kepada Taiwan, diubah menjadi ‘peaceful unification’.15 Presiden
Deng Xiaoping menawarkan sebuah proposal yang dinamakan proposal ‘one
country, two system’, di mana proposal tersebut menawarkan Taiwan untuk tetap
mempertahankan sistem ekonominya meskipun telah berada di bawah Beijing.
Usaha ini kemudian akan menjadi cara yang terus dilakukan oleh Beijing untuk
menarik Taiwan menjadi bagian dari Cina.
Di Taiwan sendiri, Presiden Chiang Ching-kuo menghadapi beberapa
tantangan. Tantangan pertama bagi Taiwan adalah semakin banyak rekan
diplomatis Taiwan yang mengalihkan pengakuan ke Beijing, terutama setelah
Taiwan keluar dari PBB dan Amerika Serikat mengalihkan pengakuannya dari
Taiwan kepada Beijing. Keadaan yang mengkhawatirkan tersebut sedikit
membaik saat Taiwan berhasil mendapatkan kepastian akan perlindungan
Amerika Serikat dalam bentuk ‘Taiwan Relations Act’ yang dikeluarkan oleh
Amerika Serikat. Meskipun tidak berbentuk traktat seperti yang sebelumnya
dimiliki oleh Taiwan dengan Amerika Serikat, tetapi melalui ‘Taiwan Relations
Act’ ini, Amerika Serikat mempertahankan posisinya untuk melindungi Taiwan
jika Beijing berencana untuk melaksanakan penyerangan militer kepada Taiwan.16
Isolasi yang dirasakan oleh Taiwan di dunia internasional juga mendorong
Presiden Chiang Ching-kuo untuk memikirkan kembali mengenai implementasi
dari prinsip ‘One-China Policy’ yang selama ini dipegang teguh oleh Chiang Kai-
shek. Didasari oleh kebutuhan Taiwan untuk terus bekerjasama dalam
13 Ibid., 25. 14 Hui-Ching Chang dan G. Richard Holt, “Naming China: An Analysis of Taiwan’s National Day Speeches,” Journal of Language and Politics 10, no.3 (2011): 9, diakses 4 Juni 2013, http://www2.comm.niu.edu/faculty/rholt/eoc/CVnamingChina.pdf. 15 Anlin, “Cross-Taiwan Strait Relations,” 25. 16 Manthorpe, Forbidden Nation, 216.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
6
mempertahankan ekonominya, Chiang Ching-kuo memiliki kepentingan yang
besar untuk mempertahankan keberadaannya pada beberapa organisasi dan
perjanjian ekonomi internasional. Apabila Chiang Ching-kuo mempertahankan
implementasi ‘One-China Policy’ seperti yang selama ini dilaksanakan, maka
Taiwan tidak akan mungkin memasuki organisasi yang telah mengakui Beijing
sebagai perwakilan dari Cina. Kondisi ini menyulitkan Taiwan, karena pada saat
yang bersamaan Beijing semakin mendapat pengakuan internasional dan diterima
menjadi anggota pada berbagai organisasi internasional. Presiden Chiang Ching-
kuo kemudian memodifikasi implementasi dari prinsip ‘One-China Policy’.
Contohnya pada tahun 1984 saat Taiwan memasuki olimpiade dengan
menggunakan nama ‘Chinese, Taipei’. Taiwan juga berhasil mempertahankan
keberadaannya sebagai anggota Bank Pembangunan Asia, meskipun hanya
memiliki status ‘Observer’ atas ‘Taipei, China’. Usaha-usaha yang dilaksanakan
oleh Presiden Chiang Ching-kuo ini dijelaskan oleh Christopher Hughes dalam
bukunya sebagai bentuk ‘stretching One-China Principle’.17 Modifikasi ‘One-
China Policy’ ini terus dilaksanakan oleh Taiwan dalam upaya Taiwan untuk
mempertahankan eksistensi dan relevansi Taiwan.
1.1.3 Kebijakan Luar Negeri Taiwan terhadap Cina di Bawah Lee Teng-hui
(1988-2000)
Setelah kematian Chiang Ching-kuo, Lee Teng-hui menjadi pengganti dari
dinasti Chiang sebagai presiden Taiwan. Meningkatnya pengaruh orang-orang asli
kelahiran Taiwan seiring dengan kemajuan ekonominya mendorong lahirnya
gerakan-gerakan untuk menuntut perbaikan perlakuan kepada orang-orang
Taiwan yang selama ini dinomorduakan oleh pemerintahan Kuomintang. Chiang
Ching-kuo yang menyadari tren ini berusaha untuk memikirkan cara
mempertahankan relevansi dan legitimasi KMT di Taiwan, sehingga terpilihlah
Lee Teng-hui yang merupakan kelahiran Taiwan sebagai pengganti Chiang
Ching-kuo. Selain mengangkat Lee Teng-hui, Chiang Ching-kuo juga di masa-
17 Christopher Hughes, Taiwan and Chinese Nationalism: National Identity and Status in International Society (London: Routledge, 1997), 49.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
7
masa terakhir pemerintahannya mengangkat status Darurat Militer yang berlaku di
Taiwan.18
Pada tahun 1991, Pemerintahan Taiwan di bawah Presiden Lee
membentuk Dewan Unifikasi Nasional yang kemudian mengeluarkan Guideline
on National Reunification. Guideline tersebut menjelaskan mengenai pandangan
Taiwan terhadap tiga proses untuk mencapai unifikasi, yaitu adanya pertukaran
dan timbal balik antara kedua pihak dalam tahap pertama, membangun
kepercayaan bersama dan kerjasama seperti pembukaan hubungan langsung
sebagai tahap kedua, dan diakhiri dengan proses konsultasi dan unifikasi.19 Selain
membentuk Komite Unifikasi Nasional dan guideline, Taiwan juga memulai
sebuah periode baru dalam hubungannya dengan Cina di mana Taiwan
membentuk Strait Exchange Foundation (SEF). SEF merupakan sebuah
organisasi ‘semi pemerintah’ yang dibentuk untuk membuka hubungan informal
dengan Beijing. Beijing sendiri kemudian membentuk organisasi serupa, yaitu
Association for Relations Across The Taiwan Strait (ARATS).20 Hubungan antara
SEF dan ARATS ini akan menjadi bentuk komunikasi institusional antara Cina
dan Taiwan yang berlangsung hingga saat ini.
Salah satu peristiwa penting terjadi pada periode awal kepemimpinan Lee
Teng-hui, di mana sebuah kesepakatan tercipta antara Cina dan Taiwan yang
kemudian dikenal sebagai Konsensus 1992. Konsensus ini merupakan hasil dari
pertemuan yang dilaksanakan oleh pimpinan dari SEF dan ARATS yang dikenal
sebagai ‘Wang-Koo Talks’. Konsensus 1992 adalah kesepakatan antara
pemerintahan kedua pihak, yang diwakili oleh kedua organisasi yang telah
disebutkan di atas, terhadap prinsip ‘One China’ dan membiarkan kedua pihak
memiliki interpretasi masing-masing mengenai prinsip tersebut.21 Pragmatisme
dalam kesepakatan tersebut diperlukan untuk menjadi basis dari kerjasama yang
terjadi antara kedua pihak.
18 Manthorpe, Forbidden Nation, 219. 19 Deans, “Cross-Strait Relations since 1949,” 31. 20 Yan, “Cross-Taiwan Straits Relations,” 26. 21 “The 1992 Consensus: The Foundation for Cross-Strait Peace and Stronger International Links”, Taipei Economic and Cultural Office in Canada, terakhir dimodifikasi pada 7 September 2011, diakses 6 November 2012, http://www.roc-taiwan.org/CA/ct.asp?xItem=219017&ctNode=150&mp=77&nowPage=4&pagesize=15.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
8
Perkembangan yang positif dalam hubungan antar-selat tersebut tidak
berlanjut, karena Lee Teng-hui kemudian menunjukkan keinginannya untuk
mengembangkan proses Taiwanisasi kepada masyarakat Taiwan. Kebijakan yang
paling besar dampaknya yang dilaksanakan oleh Lee Teng-hui adalah
persetujuannya untuk melaksanakan pemilihan umum di Taiwan. Ide pelaksanaan
pemilu ini kemudian menimbulkan kritik dari oposisi Lee dan juga memunculkan
kemarahan dari Beijing yang melihat hal ini sebagai bentuk dari Taiwan yang
menginginkan kemerdekaan dari Cina. Beijing kemudian melancarkan serangan
serangan ke Taiwan melalui peluncuran misil ke beberapa pelabuhan Taiwan,
seperti Kaohsiung dan Keelung.22
Tanda-tanda bahwa Presiden Lee Teng-hui akan semakin membawa
Taiwan menjauhi proses unifikasi semakin jelas ketika pada masa-masa akhir
kepemimpinannya pada tahun 1999, Presiden Lee Teng-hui mengeluarkan sebuah
pernyataan kontroversial bahwa hubungan antara Cina dan Taiwan adalah sebuah
special state-to-state relationship (特殊國與國關係 ). 23 Pernyataan tersebut
menjadi kontroversial karena hal ini menunjukkan sebuah perubahan yang amat
besar dari ‘One-China Policy’ yang secara resmi masih dipegang oleh Taiwan.
1.1.4 Kebijakan Luar Negeri Taiwan terhadap Cina di Bawah Chen Shui-
bian (2000-2008)
Chen Shui-bian menjadi presiden pertama di Taiwan yang menghentikan
dominasi dari KMT sebagai partai pemerintah sejak Chiang Kai-shek berpindah
ke Taiwan pada tahun 1949. Chen Shui-bian merupakan kandidat dari partai DPP,
partai yang memiliki semangat independensi sebagai perlawanan terhadap KMT
yang mendukung unifikasi. Naiknya Chen Shui-bian mendatangkan kekhawatiran
akan masa depan Taiwan dan Cina. Chen Shui-bian dikhawatirkan akan membuat
kebijakan-kebijakan yang semakin menjauhkan Taiwan dari proses unifikasi dan
dengan demikian akan meningkatkan risiko penyerangan dari Beijing kepada
Taiwan
Namun, Presiden Chen Shui-bian pada masa-masa awal kepemimpinannya
justru tidak menunjukkan tanda-tanda akan membawa Taiwan menuju ke arah
22 Manthorpe, Forbidden Nation, 221. 23 Deans, “Cross-Strait Relations since 1949”, 33.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
9
independensi. Pada pidato yang diberikannya saat pelantikan, Presiden Chen
menegaskan bahwa Taiwan tidak akan mengklaim independensi dari Cina, selama
Cina tidak menggunakan kekuatannya untuk menekan Taiwan.24 Secara spesifik,
kebijakan Presiden Chen tersebut dinamakan sebagai “Four Noes and One
Without (四不一没有), yaitu Presiden Chen tidak akan mengejar independensi,
tidak akan mengubah nama negara, tidak mendorong dimasukkannya formula
‘state-to-state relations’ dalam konstitusi Taiwan, dan tidak melaksanakan
referendum untuk unifikasi atau independensi, selama Cina tidak menggunakan
kekerasan dalam hubungannya dengan Taiwan.25 Selanjutnya, Presiden Chen
Shui-bian juga mengeluarkan beberapa kebijakan yang terkesan mendukung
hubungan antara Cina dan Taiwan seperti memperbolehkan adanya penerbangan
langsung antara Cina dan Taiwan.26
Meskipun demikian, seiring berjalannya waktu beberapa kebijakan
Presiden Chen akhirnya memunculkan kembali kekhawatiran bahwa Taiwan akan
mengejar kemerdekaan. Presiden Chen membuat kebijakan identitas yang jauh
lebih masif dan membentuk identitas taiwanese di kalangan penduduk Taiwan. Di
bawah kepemimpinannya, dinamika identitas Taiwan mengalami perubahan yang
besar, dengan semakin bertambahnya orang-orang yang memiliki identitas
taiwanese dan berkurangnya orang orang yang memiliki identitas chinese. Dalam
bidang ekonomi, Presiden Chen juga berusaha untuk menghambat hubungan
kerjasama ekonomi antara Cina dan Taiwan melalui dorongan agar para investor
Taiwan mendiversifikasi tujuan investasinya ke wilayah lain. Dalam bidang
politik, Presiden Chen juga membuat beberapa kebijakan yang mengkhawatirkan.
Pertama, Presiden Chen berencana untuk menghapuskan Dewan Unifikasi
Nasional yang memiliki tugas untuk melihat prospek unifikasi antara Taiwan
dengan Cina. Presiden Chen juga berusaha melaksanakan referendum untuk
mengubah konstitusi Taiwan dan melaksanakan referendum lain untuk
24 Ezra N.H. Chen, “The Economic Integration of Taiwan and China and Its Implications for Cross-strait Relations,” (makalah, Harvard University, 2003), 8, http://programs.wcfia.harvard.edu/files/fellows/files/chen.pdf. 25“President Chen Reiterates ‘Four Noes, One Without’ Policy”, Taipei Economic and Cultural Representative Office in the U.S., terakhir dimodifikasi pada 11 Maret 2013, diakses 5 Juli 2013, http://www.taiwanembassy.org/US/ct.asp?xItem=11637&ctNode=2300&mp=12&nowPage=54&pagesize=15. 26 Deans, “Cross-Strait Relations since 1949,” 33.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
10
melaksanakan pengajuan Taiwan sebagai anggota PBB.27 Kebijakan-kebijakannya
tersebut membuat hubungan Cina dan Taiwan semakin memburuk.
1.1.5 Kebijakan Luar Negeri Taiwan terhadap Cina di Bawah Ma Ying-jeou
(2008-2012)
Periode ketegangan antara Beijing dan Taipei berakhir pada tahun 2008
ketika Ma Ying-jeou dari partai KMT kembali mengambil alih posisi presiden
dari partai DPP. Ma Ying-jeou, sebagai presiden dari partai KMT, membuat
kebijakan luar negeri terhadap Cina yang bertujuan untuk memperbaiki kerjasama
antar selat yang cukup terganggu selama masa pemerintahan dua pendahulunya.
Posisi ini telah ditunjukkan oleh Presiden Ma sebelum dia menjabat menjadi
presiden. Saat ia masih menjabat sebagai Ketua Kuomintang, Ma Ying-jeou yang
mewakili gerakan ‘pan-green’ di Taiwan (gerakan yang tidak menyetujui Taiwan
untuk bersikap nasionalis dan menginginkan kemerdekaan dari Cina) telah
membuka kontak dengan pemerintahan pusat di Beijing. Kontak tersebut
digunakan untuk membahas mengenai kesempatan-kesempatan untuk
bekerjasama antar Taiwan dan Cina.
Pada tahun 2008, Ma Ying-jeou terpilih menjadi presiden Taiwan
mengalahkan lawannya dari partai DPP, Frank Hsieh Chang-ting, dengan
perolehan suara mencapai 58% suara. 28 . Tidak lama setelah Presiden Ma
menjabat, Presiden Ma kemudian mengeluarkan pernyataan bahwa hubungan
antara Cina dan Taiwan adalah hubungan yang spesial, tetapi bukanlah sebuah
hubungan antara dua negara. 29 Biarpun kemudian pernyataan ini kemudian
diklarifikasi oleh Presiden Ma30, tetapi pernyataan tersebut merupakan sebuah
perbaikan dari pernyataan dua pendahulunya, Lee Teng-hui dan Chen Shui-bian.31
27 Yan, “Cross-Taiwan Strait Relations,” 30. 28 Ralph Jehnings, “Taiwan’s New Leader’s Take Office On China Pledges,” International Herald Tribune, terakhir dimodifikasi pada 20 Mei 2008, diakses 18 November 2012, http://www.iht.com/articles/reuters/2008/05/20/asia/OUKWD-UK-TAIWAN-PRESIDENT.php. 29 The China Post, “Taiwan and China in ‘Special Relations’: Ma,” terakhir dimodifikasi pada 04 September 2008, diakses 18 November 2012, http://www.chinapost.com.tw/taiwan/china-taiwan%20relations/2008/09/04/173082/Taiwan-and.htm. 30 Presiden Ma kemudian mengklarifikasi bahwa di dalam hubungan tersebut, Republik Cina adalah negara yang memiliki legitimasi. 31 Chu, “Taiwan and the United Nations.”
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
11
Dalam hubungan antara Taiwan dan Cina, Presiden Ma Ying-jeou juga
mengeluarkan “Three No’s Policy, yaitu No Independence, No Unification, and
No Use of Force (不統、不獨、不武).32 Kebijakan Presiden Ma juga ditandai
dengan keputusan Presiden Ma yang secara tegas mengakui Konsensus 1992.
Untuk menunjukkan keseriusannya dalam membangun kembali hubungan
dengan Cina, Presiden Ma mengambil beberapa keputusan segera setelah dia
memegang kekuasaan. Pertama, Presiden Ma membuka hubungan langsung antara
Cina dan Taiwan dengan membuka penerbangan langsung antara Taiwan dan
Cina. Turis dari wilayah Cina Daratan juga diperbolehkan untuk mengunjungi
Taiwan. Semua kebijakan yang dikeluarkan Presiden Ma bahkan membuat
Majalah Times menuliskan pencapaian Presiden Ma dalam tiga bulan masa
jabatannya telah membuat perbaikan dalam hubungan antara Cina dan Taiwan
selama 6 dekade permasalahan antara kedua pihak tersebut.33
Di dalam menggambarkan mengenai kebijakannya, Presiden Ma
menjelaskan bahwa Taiwan tidak akan berkutat di permasalahan-permasalahan
yang rumit, seperti permasalahan mengenai perjanjian politik ataupun tentang
masalah kedaulatan dalam hubungan kedua negara. Presiden Ma akan lebih
memfokuskan untuk memperbaiki kerjasama terhadap hal-hal yang secara
pragmatis dapat diperbaiki. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Presiden
Ma membuka hubungan kerjasama dengan Cina di segi turisme. Dari segi
perdagangan, Taiwan juga mengurangi larangan-larangan bagi warganya untuk
berinvestasi di Cina ataupun bagi warga Cina untuk berinvestasi di Taiwan.
Kerjasama ekonomi antara Taiwan dan Cina dilengkapi oleh sebuah perjanjian
‘ambisius’, yang dikenal sebagai Economic Cooperation Framework Agreement
(ECFA) China-Taiwan. Dalam perjanjian ECFA ini, Taiwan dan Cina berjanji
32 Steven Goldstein, “Cross-Strait Relations on The Eve of Ma Ying-jeou’s Second Term”, The National Bureau of Asian Research, terakhir dimodifikasi pada 17 Mei 2011, diakses 5 Juli 2013, http://www.nbr.org/research/activity.aspx?id=252#.UdYhclPWEUs. 33 Christie Johnston, “Talking to Taiwan’s New President,” Times, terakhir dimodifikasi pada 11 Agustus 2008, diakses 19 November 2012, http://www.time.com/time/world/article/0,8599,1831748,00.html?xid=rss-topstories.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
12
mengurangi pajak pada pos-pos barangnya masing-masing, dengan jumlah
berbeda yang tercantum dalam perjanjian tersebut.34
Latar belakang di atas bertujuan untuk menjelaskan dinamika hubungan
antara Taiwan dengan Cina. Sebagai sebuah negara de facto, Taiwan menjalani
hubungan luar negeri dengan Cina yang cukup dinamis. Dinamika tersebut terus
berubah, dan ketika terakhir Taiwan dipimpin oleh Chen Shui-bian, Taiwan
memasuki dinamika hubungan yang bersifat konfliktual dengan Cina. Kondisi ini
sangat mengkhawatirkan karena hubungan yang stabil di Selat Taiwan antar
Taiwan dan Cina menjadi hal yang amat penting di tengah kebangkitan Cina. Cina
saat ini merupakan sebuah negara yang sangat penting bagi dunia internasional.
Kemajuan ekonominya yang amat pesat, yang kemudian diikuti oleh kemajuan
militer Cina, membuat negara ini menjadi semakin relevan dalam hampir seluruh
isu internasional. Fokus yang diberikan kepada stabilitas di Selat Taiwan tersebut
membuat hubungan antara Taiwan dan Cina sampai saat ini menjadi sesuatu hal
yang menarik untuk dibahas.
Di dalam dinamika hubungan tersebut terlihat bahwa faktor eksternal
memiliki peran yang cukup penting bagi pembentukan kebijakan luar negeri
Taiwan terhadap Cina. Contoh-contohnya seperti adanya Perang Dingin,
normalisasi hubungan Cina dan Amerika Serikat, dan hingga saat ini terkait
dengan semakin menguatnya ekonomi Cina sebagai salah satu negara terkaya di
dunia. Kenyataan ini menjelaskan bahwa dinamika di level domestik, seperti
perubahan kepemimpinan antara KMT dan DPP, tidak akan mampu mencakup
seluruh dinamika kebijakan luar negeri Taiwan terhadap Cina. Semua pemimpin
di Taiwan pernah mengalami evolusi kebijakan luar negeri dalam masa
kepemimpinannya dan mengambil kebijakan yang tidak sesuai dengan apa yang
diusung oleh partainya.
34 “The 1992 Consensus: The Foundation for Cross-Strait Peace and Stronger International Links”, Taipei Economic and Cultural Office in Canada, diakses 6 November 2012, http://www.roc-taiwan.org/CA/ct.asp?xItem=219017&ctNode=150&mp=77&nowPage=4&pagesize=15.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
13
1.2 Pertanyaan Penelitian
Melihat penjelasan di atas, di bawah kepemimpinan presiden Ma Ying-
jeou kebijakan Taiwan dalam hubungannya dengan Cina menjanjikan perubahan
yang mengarah ke membaiknya hubungan Taiwan dan Cina. Dengan demikian,
pertanyaan Tugas Karya Akhir ini adalah “ Bagaimanakah Kebijakan Antar-
Selat Taiwan di Bawah Presiden Ma Ying-jeou dalam Bidang Keamanan,
Ekonomi, dan Identitas?”
1.3 Kerangka Konsep
Untuk membahas mengenai faktor-faktor di balik kebijakan luar negeri
Presiden Ma Ying-jeou terhadap Cina dalam masa kepemimpinannya, tugas akhir
ini akan menggunakan kerangka konsep foreign policy, atau kebijakan luar negeri.
Kerangka konsep ini akan menyadur banyak penjelasan terhadap kebijakan luar
negeri dari tulisan Marijke Breuning dalam bukunya, “Foreign Policy Analysis: A
Comparative Introduction”.
Studi mengenai kebijakan luar negeri sebuah negara merupakan studi yang
telah berkembang sejak sekian lama. Studi mengenai kebijakan luar negeri sebuah
negara dipelopori salah satunya oleh James Rosenau dengan beberapa literaturnya
pada dekade 1960an. Rosenau sendiri kemudian mengembangkan sebuah sub-
studi dari studi kebijakan luar negeri yang dikenal sebagai Comparative Foreign
Policy (CFP). Rosenau menjelaskan bahwa yang harus dilaksanakan bukanlah
melihat kebijakan luar negeri secara satu per satu, tetapi melihatnya sebagai
sebuah foreign policy behavior melalui komparasi atas kebijakan luar negeri yang
lain. Rosenau menjelaskan bahwa kebijakan luar negeri sebuah negara dapat
diteliti dari 5 sumber utama, yaitu idiosynchratic, role, governmental, societal,
dan system. 35 Rosenau menjelaskan bahwa kelima sumber tersebut tidak
memainkan peranan dalam jumlah yang sama, di mana satu sumber dapat
memainkan peranan lebih penting dibandingkan sumber lainnya. Sumber apa
yang lebih dapat menjelaskan kebijakan luar negeri sebuah negara tergantung dari
seperti apa negara tersebut. Tipologi negara-negara kemudian dibedakan oleh
35 M. Fatih Tayfur, “Main Approaches to the Study of Foreign Policy: A Review,” METU Studies in Development 21, no. 1 (1994): 122, diakses 8 Juli 2013, http://www.metu.edu.tr/~tayfur/reading/main_approaches.pdf.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
14
Rosenau dari tiga faktor, yaitu size, development, dan political accountability.
Penjelasan mengenai kebijakan luar negeri yang didasarkan analisa aktor dan
bersifat multi-level ini kemudian terus berkembang, salah satunya oleh Marijke
Breuning dalam bukunya.
Di dalam bukunya, Breuning secara dalam menjelaskan mengenai studi
kebijakan luar negeri di dalam studi Hubungan Internasional secara umum.
Menurut Breuning, studi kebijakan luar negeri ini tidak menjanjikan dan
menjamin untuk selalu menghasilkan kebijakan luar negeri yang baik, tetapi studi
kebijakan luar negeri lebih berfokus terhadap opsi-opsi yang dimiliki oleh
pemimpin suatu negara dalam menentukan kebijakan luar negerinya dan mencari
alasan-alasan di balik pengambilan sebuah kebijakan luar negeri, seperti
bagaimana prosesnya, siapa saja yang dapat mempengaruhi, bagaimana pemimpin
tersebut bereaksi terhadap sebuah kondisi.36 Kebijakan luar negeri diartikan oleh
Breuning sebagai “Totality of a country’s policies toward and interactions with
the environment beyond its borders”.37
Selanjutnya, Breuning menjelaskan bahwa terdapat tiga hal yang ingin
dijelaskan oleh studi terhadap kebijakan luar negeri, yaitu decision, behavior, dan
outcome. Definisi dari decision adalah pilihan yang diambil oleh sebuah
pemimpin terhadap beberapa opsi kebijakan yang dapat dia ambil. Behavior
adalah upaya-upaya yang dilaksanakan oleh negara terkait dengan keputusan yang
telah diambil. Behavior merupakan usaha negara untuk mempengaruhi negara lain
atau mempertahankan kepentingan nasional negara tersebut. Outcome adalah hasil
akhirnya, dan ini bergantung bukan hanya pada negara tersebut, tetapi juga
bergantung dengan reaksi dari negara lain. Untuk mempelajari mengenai outcome,
tidak cukup dengan membahas kebijakan luar negeri satu negara, tetapi juga
respons negara lain terhadap kebijakan tersebut.
Tiga hal tersebut menunjukkan adanya perbedaan terhadap level analisis di
dalam mempelajari kebijakan luar negeri. Breuning kemudian menjelaskan bahwa
terdapat tiga level analisis yang dapat digunakan dalam studi kebijakan luar
negeri.
36 Marijke Breuning, Foreign Policy Analysis: A Comparative Introduction (New York: Palgrave Macmillan, 2007), 8-9. 37 Ibid., 5.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
15
a. Individual Level of Analysis: analisa pada level ini berfokus terhadap
individu, atau sekelompok individu yang menjadi pengambil
keputusan terkait dengan kebijakan luar negeri. Analisa yang dapat
digunakan dalam level ini terbagi dalam dua hal, yaitu personalities
(kepercayaan, nilai-nilai yang dipegang pemimpin tersebut) dan
perception (cara pemimpin tersebut melihat sebuah situasi dan
mempertimbangkan kebijakan luar negeri berdasarkan hal tersebut).
b. State Level of Analysis: analisa pada level ini berfokus terhadap
kondisi kondisi di dalam negara tersebut yang mempengaruhi
pengambilan keputusan dan perilaku negara tersebut dalam
menjalankan hubungan luar negeri dengan negara lain. Menurut
Breuning, hal-hal yang termasuk dalam kategori ini misalnya kondisi
ekonomi dalam suatu negara, sejarah dan budaya negara tersebut, atau
hubungan fungsi legislatif-eksekutif di negara tersebut.
c. System Level of Analysis: Analisis di level ini berkaitan dengan
komparasi dan interaksi antara negara, terutama terkait dengan relative
power yang dimiliki oleh negara-negara yang berinteraksi tersebut.
Breuning menjelaskan bahwa interaksi antara ketiga level analisa tersebut
mengungkap bahwa ketiganya memiliki peran-peran tertentu. Analisa pada level
sistem akan memberikan pemahaman mengenai kondisi-kondisi yang melimitasi
pilihan-pilihan yang dimiliki oleh seorang pengambil keputusan kebijakan luar
negeri. Sistem internasional yang anarki, distribusi kekuatan antara negara-negara
yang berinteraksi, dan jenis hubungan antara negara (amity atau enmity) akan
melimitasi jenis-jenis pilihan yang dapat diambil oleh sebuah negara. Pilihan
tersebut kemudian semakin dikerucutkan dengan kondisi birokratis negara yang
akan mengambil keputusan tersebut. Pembuatan kebijakan luar negeri dalam
sebuah negara yang demokratis akan berbeda dengan pembuatan kebijakan di
negara yang bersifat otoriter. Pilihan-pilihan yang telah dikerucutkan tersebut,
kemudian akhirnya akan dipilih oleh individu-individu, atau sekelompok individu,
yang memegang peranan penting dalam pemerintahan, untuk menjadi kebijakan
luar negeri negara tersebut.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
16
Tabel 1.3.1 Level Analisa Kebijakan Luar Negeri
Level Analisa Tipe-Tipe Faktor Penyebab
Individual Keputusan sesuai dengan kondisi
pembentuk
Negara Intermediate Cause
Sistem Deep Cause Sumber: Marijke Breuning, Foreign Policy Analysis: A Comparative Introduction (New York:
Palgrave Macmillan, 2007), 15
Marijke Breuning selanjutnya menjelaskan mengenai limitasi-limitasi
yang diberikan oleh sistem internasional kepada pilihan-pilihan kebijakan luar
negeri yang dapat diambil oleh sebuah negara. Sebelumnya Marijke Breuning
menjelaskan terlebih dahulu mengenai klasifikasi negara-negara. Breuning
menjelaskan beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengklasifikasi
negara, seperti besar wilayah, besar ekonomi, kekuatan militer. Indikator tersebut
akan membagi negara-negara seperti menjadi superpower, emerging power, dan
developing countries. Selain indikator-indikator objektif tersebut, terdapat juga
indikator subjektif dalam klasifikasi negara. Contoh yang diberikan adalah
klasifikasi yang diberikan oleh Kanada bahwa Kanada adalah negara middle
power.
Setelah menjelaskan klasifikasi negara-negara, Breuning kemudian
menjelaskan secara lebih spesifik mengenai kebijakan luar negeri yang akan
diambil oleh sebuah negara dengan kekuatan kecil yang terpengaruh lebih besar
oleh limitasi di level sistem. Menurut Breuning, terdapat 4 jenis pola kebijakan
luar negeri yang dapat dilaksanakan oleh sebuah negara kecil, yaitu consensus-
oriented foreign policy, compliant foreign policy, counterdependence,
compensation. Consensus-oriented didefinisikan sebagai sebuah upaya dari
negara kecil untuk mencari kesamaan tujuan dalam hubungan luar negerinya
dengan negara besar. Compliant foreign policy memiliki definisi yang sama,
namun perbedaan antara consensus-oriented dengan compliant foreign policy
terletak di unsur sukarela yang terdapat di consensus-oriented namun tidak
terdapat di compliant foreign policy. Counterdependence merupakan kebijakan
luar negeri yang bertujuan untuk menunjukkan perlawanan terhadap perbedaaan
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
17
kekuatan antara negara kecil tersebut dengan negara besar. Compensation adalah
kebijakan luar negeri yang dikeluarkan negara dengan tujuan untuk
menyenangkan konstituen dalam negeri negara tersebut.38
Pada level analisa domestik, pembentukan kebijakan luar negeri sebuah
negara dapat dilihat dari dua level, yaitu di level negara (state) dan juga level
individu. Di level negara, Marijke Breuning menjelaskan beberapa hal yang dapat
mempengaruhi pembentukan kebijakan luar negeri sebuah negara. Pertama,
Breuning menjelaskan bagaimana kebijakan luar negeri negara amat bergantung
dari struktur dan sistem politik di negara tersebut. Apakah negara tersebut
merupakan negara yang demokratis atau otoriter, apakah negara tersebut benar-
benar otoriter atau hanya semi-otoriter, dan apakah pemilihannya berdasarkan
sistem distrik atau tidak, semuanya dapat mempengaruhi pembentukan kebijakan
negara tersebut. Birokrasi pada agen-agen pemerintahan juga mempengaruhi
kebijakan luar negeri yang diambil, karena agen dan institusi negara tersebut
memiliki andil dalam memberikan informasi yang menjadi basis pengambilan
kebijakan, dan juga ikut dalam mengeksekusi kebijakan luar negeri tersebut.
Selanjutnya, peran media dalam sebuah negara juga dapat berpengaruh
dalam menciptakan kebijakan luar negeri tersebut. Hal ini disebabkan oleh media
yang memiliki fungsi framing, yaitu membentuk persepsi yang dimiliki oleh
masyarakat terkait dengan masalah yang ada. Namun, pengaruh media tersebut
sangat berbeda di setiap negara di mana negara otoriter cenderung tidak banyak
dipengaruhi oleh media, sementara negara demokrasi lebih memperhatikannya.
Terkait dengan persepsi tersebut, Breuning juga menjelaskan bagaimana budaya
dan sejarah nasional sebuah negara juga memiliki pengaruh dalam kebijakan luar
negeri. Sejarah nasional merupakan cerita-cerita kuno dari bangsa tersebut yang
kemudian nilai-nilai yang dikandungnya berubah menjadi budaya nasional.
Budaya tersebut memiliki pengaruh pada kebijakan luar negeri sebuah negara, di
mana kebijakan luar negeri tersebut setidaknya harus terlihat sesuai dengan
budaya nasional yang dipegang oleh negara tersebut.39
Pada level individu, seorang pengambil keputusan dalam kebijakan luar
negeri sebuah negara dapat dianalisa dari tiga hal, yaitu dari personality, 38 Ibid., bab 1, bab 6 39 Ibid., bab 5
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
18
perception dan decision making group. Personality berkaitan dengan perilaku dan
sifat yang dimiliki oleh seorang pengambil kebijakan. Seorang pemimpin yang
haus akan kekuatan digambarkan akan memiliki tendensi untuk mengambil
kebijakan-kebijakan yang lebih agresif, berbeda dengan orang-orang lain yang
tidak seperti mereka dalam memandang kekuasaan. Perception mencoba melihat
bagaimana seorang pemimpin mempertimbangkan dunia yang ada di hadapannya.
Seorang pemimpin akan mengalami situasi di mana dia harus mempertimbangkan
berbagai hal, seperti situasi yang dihadapi negaranya, kepentingan yang dimiliki
oleh negara rekannya berinteraksi, dan berbagai hal lain. Proses mencerna sebuah
kondisi yang dihadapi negara dan kemudian menjadikannya basis sebuah
kebijakan merupakan definisi dari konsep framing. Ketiga, Breuning juga
menjelaskan bahwa kebijakan luar negeri sebuah negara tidak hanya ditentukan
oleh pemimpin tersebut, namun seringkali diciptakan bersamaan dalam sebuah
grup. Contohnya dalam melihat bagaimana interaksi dalam grup pengambil
kebijakan dapat terlihat dalam interaksi sesama anggota standing committee PKC
di Cina.40
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan dari dipilihnya Taiwan dan aspek hubungan antar-selat Taiwan dan
Cina sebagai tema tugas karya akhir ini, terbagi setidaknya menjadi tiga tujuan
utama:
A. Menunjukkan kebijakan Taiwan yang berusaha menyeimbangkan
antara berbagai macam kepentingan, sehingga Taiwan dapat
mempertahankan hubungan dengan Cina
B. Menunjukkan dinamika kebijakan luar negeri Taiwan, termasuk
pilihan-pilihan kebijakan yang dapat diambil oleh Taiwan dan pada
akhirnya,
C. Menunjukkan bagaimana Taiwan dapat mengembangkan kebijakan
yang membuka terhadap kerjasama terhadap Cina, di mana
seharusnya, keduanya memiliki hubungan yang bersifat konfliktual
40 Ibid., 12.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
19
1.5 Pembabakan TKA
Penulisan dari tugas karya akhir ini akan dibagi ke dalam 5 bab. Bab
pertama akan menjelaskan mengenai latar belakang, rumusan permasalahan, dan
kerangka teori yang digunakan, yaitu foreign policy, dan diakhiri dengan tujuan
penulisan dan pembabakan TKA. Pada bab selanjutnya, penulis akan menjelaskan
mengenai kebijakan keamanan yang digunakan oleh Presiden Ma. Penulis akan
membahas terlebih dahulu mengenai Realisme Defensif sebagai kerangka konsep
untuk bab tersebut, dan kemudian mengimplementasikannya pada subbab
berikutnya. Pada bab kedua, penulis akan menjelaskan mengenai kebijakan
ekonomi Presiden Ma. Pada bab ini penulis akan menjelaskan terlebih dahulu
mengenai Neoliberal Institusionalisme sebagai kerangka konsep yang akan
digunakan oleh penulis, dan kemudian menggunakannya pada subbab selanjutnya.
Pada bab keempat, penulis akan menjelaskan mengenai kebijakan Presiden Ma di
bidang identitas. Pada subbab pertama, penulis akan memberikan penjelasan
mengenai identitas, terutama di level sistem, dan juga identitas nasional.
Selanjutnya, penulis akan menjelaskan mengenai kebijakan-kebijakan identitas
Presiden Ma. Bab terakhir akan menjelaskan mengenai kesimpulan dan
menganalisa bagaimana kebijakan Presiden Ma saling berkaitan satu dengan
lainnya membentuk sebuah kebijakan nasional yang koheren dalam hubungan
antar selat antar Taiwan dan Cina.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
20
BAB 2
KEBIJAKAN KEAMANAN TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-
JEOU DALAM HUBUNGAN ANTAR-SELAT TAIWAN DAN CINA
Sebagai sebuah bagian dari kebijakan luar negeri Taiwan dalam
hubungannya dengan Cina, kebijakan Taiwan di bidang keamanan merupakan
salah satu bidang yang paling penting. Perkembangan Cina sangat pesat secara
ekonomi, diikuti dengan pertumbuhan kekuatan militer dari Cina, baik yang
terang-terangan dikatakan oleh Beijing, atau yang diperkirakan dikembangkan
berkali lipat lebih gencar, membuat kebijakan keamanan Taiwan menjadi sangat
penting. Presiden Ma Ying-jeou harus dapat menyeimbangkan kepentingannya
untuk memperbaiki hubungan ekonomi dengan Cina dengan kebutuhan untuk
menjaga keamanan Taiwan dari ancaman Cina.
Usaha perimbangan antara kedua kepentingan tersebut membuat Taiwan
memilih kebijakan engagement terhadap Cina. Kebijakan ini merupakan reaksi
dari kebijakan pertahanan Cina yang masih bersifat ofensif terhadap Taiwan,
terutama di bidang keamanan. Bagian pertama dari bab ini akan menjelaskan
terlebih dahulu mengenai konsep Realisme Defensif yang akan digunakan untuk
menjelaskan kebijakan keamanan yang diambil oleh Presiden Ma Ying-jeou.
Selanjutnya, bab ini akan berargumentasi bahwa kebijakan Presiden Ma Ying-
jeou adalah bentuk dari kebijakan keamanan yang mengadopsi strategi
engagement. Bagian selanjutnya akan menganalisa persepsi Taiwan terhadap
Cina, sebagai basis dari pembentukan kebijakan keamanan. Bagian terakhir dari
bab ini akan menjelaskan mengenai faktor-faktor domestik terkait dengan
pembuatan kebijakan keamanan Presiden Ma Ying-jeou.
2.1 Kerangka Konsep: Realisme Defensif
Pemikiran Realisme dalam ilmu Hubungan Internasional telah mengalami
banyak perkembangan. Pemikiran Realisme berasal dari pesimisme terhadap
dunia politik yang terdiri atas hubungan antar-negara, di mana konflik antar
negara merupakan sebuah bagian yang tidak terpisahkan dari politik internasional.
Penjelasan terhadap pesimisme tersebut berkembang dari pemikiran Realisme
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
21
Klasik, seperti yang dikeluarkan oleh Morgenthau atau E.H. Carr. Pemikiran
tersebut kemudian terus berkembang hingga saat ini memiliki sub-perspektif
seperti Realisme Ofensif yang dikembangkan oleh Mearsheimer, dan juga
Realisme Defensif.
Realisme Defensif sendiri mulai berkembang ketika Kenneth Waltz
mengembangkan teori realismenya yang juga banyak dikenal sebagai Realisme
Struktural. Perkembangan Realisme Struktural ini menghasilkan dua perspektif,
yaitu Realisme Ofensif dan Realisme Defensif. Realisme Ofensif dikembangkan
oleh Mearsheimer, di mana negara-negara menurut perspektif ini cenderung
mengumpulkan power sebanyak-banyaknya. Realisme Defensif sebaliknya tidak
mendukung kebijakan mengumpulkan power yang berlebihan. Kenneth Waltz
berargumentasi bahwa ketika sebuah negara terlalu banyak mengumpulkan
power, hal ini akan memicu aksi balancing dari negara-negara lain dan hal ini
merupakan hal yang harus dihindari oleh negara negara.41
Pemikiran Realisme Defensif kemudian dijelaskan secara lebih mendalam
oleh Shiping Tang dalam bukunya. Shiping Tang menjelaskan terlebih dahulu
mengenai perbedaan Realisme Ofensif dan Defensif. Tang menjelaskan bahwa
dalam kondisi anarki, insentif yang besar justru akan diberikan untuk kebijakan-
kebijakan yang sifatnya defensif (moderate and restrained) dan insentif yang
justru kecil untuk perilaku ofensif. Kebijakan kebijakan yang bersifat ofensif tidak
direkomendasi oleh realisme defensif, kecuali dalam kondisi ekstrim (penekanan
oleh Shiping Tang). 42 Selain itu, berbeda dengan Realisme Ofensif yang
mengeneralisasi intensi seluruh negara, Realisme Defensif berargumentasi bahwa
pembentukan strategi negara bergantung dari persepsi terhadap intensi negara
lain. Shiping Tang membedakan negara berdasarkan strateginya, apakah negara
tersebut menganut Realisme Defensif atau Realisme Ofensif. Pembeda antara
keduanya adalah negara penganut Realisme Ofensif menginginkan keamanan
melalui perusakan terhadap negara lain, sementara negara penganut Realisme
41 John J. Mearsheimer, The Tragedy of Great Power Politics (New York: W.W. Norton and Company, 2001), 20. 42 Shiping Tang, A Theory of Security Strategy for Our Time: Defensive Realism (New York: Palgrave Macmillan, 2010), 28-30.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
22
Defensif tidak menginginkan keamanan seperti itu, kecuali dalam kondisi
ekstrim.43
Tang kemudian menjelaskan bahwa terdapat tangga strategi yang dapat
dipilih sebuah negara. Dari tangga strategi tersebut, Shiping Tang menjelaskan
bahwa terdapat spektrum kebijakan strategi yang dapat diambil negara. Satu
ekstrim, yaitu ekstrim yang paling tidak konfrontatif adalah strategi yang tidak
dianjurkan oleh realisme, baik itu realisme ofensif dan defensif. Strategi tersebut
adalah strategi appeasement dan do nothing. Ekstrim paling konfrontatif adalah
strategi yang digunakan oleh negara-negara yang menganut realisme ofensif,
seperti preventive war, dan active containment. Preventive war adalah strategi
yang diinginkan dan cenderung dimulai oleh sebuah negara yang bersifat ofensif,
karena keinginannya untuk terus meningkatkan relative power yang dimilikinya,
sehingga bisa memicu arms race atau bahkan konflik terbuka.
Dalam spektrum tersebut, Tang menempatkan strategi engagement di
tengah-tengah sebagai kebijakan yang negara-negara penganut realisme defensif
akan gunakan. Kebijakan engagement ini memiliki tiga komponen utama.
Pertama, kebijakan ini memberikan reassurance kepada lawan interaksinya
bahwa negara tersebut tidak mengancam. Kedua, kebijakan ini memberikan
ajakan untuk bekerjasama (yang mungkin berkembang menjadi kerjasama
mendalam). Ketiga, di dalam kebijakan ini juga terdapat hedging, di mana unsur
pertahanan/deterrence dipertahankan, sebagai antisipasi jika lawan interaksinya
merupakan negara agresor yang tidak dapat dirubah intensinya.
43 lebih lanjut lagi, Shiping Tang menjelaskan beberapa keuntungan dari membedakan negara melalui pembedaan apakah mereka menganut realisme defensif atau realisme ofensif. Salah satu hal yang menarik adalah Shiping Tang menggaris bawahi bahwa dengan pembedaan seperti itu, peningkatan kekuatan dengan cara pertumbuhan ekonomi tidak dianggap sebagai pembeda antara negara penganut realisme defensif dan penganut realisme defensif. Menurut Shiping Tang, pengembagan dan pertumbuhan ekonomi merupakan sebuah hal yang murni untuk memperbaiki kesejahteraan rakyatnya, sehingga tidak ada negara yang dapat disalahkan jika ingin meningkatkan kesejahteraan rakyatnya melalui cara ini.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
23
Gambar 2.1.1 Tangga Strategi Realisme
Sumber: Shiping Tang, A Theory of Security Strategy for Our Time: Defensive Realism (New York: Palgrave Macmillan, 2010), 104.
Sebuah negara yang menganut Realisme Defensif akan menganalisa
terlebih dahulu lawan interaksinya sebelum menciptakan kebijakan keamanannya.
Menurut Tang, terdapat dua indikator yang dapat menentukan apakah sebuah
negara merupakan negara yang ofensif atau defensif, yaitu dari words dan deeds.
Pertama, sebuah negara yang menyadari adanya security dilemma dan tindakan
balancing yang mungkin terjadi jika sebuah negara terus mengejar relative power
merupakan indikasi negara yang menganut Realisme Defensif. Kedua, apabila
negara tersebut kemudian mengimplementasikan self-restraint sebagai hasil dari
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
24
pengakuan atas tindakan balancing yang mungkin terjadi seperti dijelaskan di
atas. Ketika sebuah negara telah melaksanakan dua hal di atas, maka negara
tersebut dapat dikatakan sebagai negara penganut realisme defensif.
Setelah melaksanakan pembagian antara negara defensif atau negara
ofensif, tahap selanjutnya kemudian memilih strategi sesuai dengan negara yang
dihadapi. Strategi tersebut terbagi pada dua bidang, yaitu di bidang militer dan
bidang politik.
Pada bidang militer, ketika sebuah negara dihadapkan dengan negara lain
yang bersifat ofensif, maka kebijakan sebuah negara defensif tidak akan banyak
berbeda dengan negara ofensif. Negara bisa memilih antara mengembangkan
postur pertahanannya atau membentuk aliansi untuk melaksanakan balancing
kepada negara ofensif tersebut. Hanya saja, selain mengembangkan pertahanan
atau membuat aliansi, negara yang menganut Realisme Defensif juga akan
memberikan reassurance kepada negara ofensif dengan menunjukkan intensi
baik.
Ketika menghadapi negara yang bersifat defensif, kebijakan militer negara
penganut Realisme Defensif akan memiliki dua unsur. Pertama, negara realisme
defensif akan melaksanakan self-restraint dan juga bersedia untuk dilimitasi oleh
negara lain atau oleh sebuah institusi internasional. Kedua, negara Realisme
Defensif akan mencoba mengukuhkan hubungan dengan negara lain melalui
kerjasama yang lebih mendalam, seperti melalui kebijakan bersifat Confidence-
Building Measures (CBMs).
Pada bidang politik, ketika sebuah negara penganut Realisme Defensif
dihadapkan dengan negara ofensif, kebijakan yang akan diambil adalah mencoba
merubah preferensi negara ofensif tersebut. Negara Realisme Defensif akan
mencoba merubah tujuan negara ofensif, yang awalnya berusaha untuk
mengekspansi kekuatannya, menjadi ke arah defensif. Untuk mengubahnya,
sebuah negara akan memberikan reassurance, untuk menunjukkan intensi baik
dan keinginan untuk bekerjasama. Jika negara tersebut telah berubah dari ofensif
menjadi defensif, kebijakan yang dibuat adalah mencoba membuat kerjasama
yang lebih ekstensif dan mendalam antara negara.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
25
Dari penjelasan di atas, reassurance merupakan sebuah unsur penting
dalam kebijakan yang diambil oleh negara penganut realisme defensif. Tang
menjelaskan bahwa terdapat tiga elemen penting di dalam sebuah reassurance,
yaitu cost, risk, dan credibility.44 Tang menjelaskan bahwa terdapat tiga jenis
reassurance yang dapat diberikan oleh negara, yaitu melalui words, deeds non-
military, dan deeds military.45
Dengan demikian, Realisme Defensif juga percaya bahwa sebuah negara
harus terus menganalisa intensi sebuah negara. Realisme Ofensif cenderung
mengaplikasikan kebijakan yang universal dan berlaku sama di semua kondisi.
Realisme Defensif sebaliknya merekomendasikan kebijakan yang lebih fluid,
menyesuaikan dengan tindakan dari lawan negara tersebut, dan terus menganalisa
perubahan-perubahan yang terjadi. Apabila sebuah negara defensif terlalu
bersikap ofensif, kerugian mungkin akan terjadi karena terlibat dalam
konflik/perang yang tidak perlu. Sebaliknya, jika sebuah negara terus memberikan
reassurance kepada negara yang memang tidak dapat lagi diubah, hal ini dapat
memberikan pengaruh tidak baik, dan dapat dimanfaatkan oleh negara yang
bersikap ofensif/agresif tersebut.
2.2 Kebijakan Keamanan Taiwan di Bawah Ma Ying-jeou: Bentuk
Engagement Presiden Ma kepada Cina
Setelah melihat penjelasan mengenai pilihan-pilihan strategi yang telah
dijelaskan di atas, bagian ini akan menjelaskan mengenai kebijakan keamanan
yang dibuat oleh Presiden Ma dalam masa presidensinya yang pertama. Di bawah
ini, penulis akan berargumentasi bahwa kebijakan Presiden Ma merupakan
strategi engagement, melalui analisa tiga elemen yang ada dalam kebijakan
engagement sesuai penjelasan Tang, yaitu adanya pemberian sinyal untuk
menunjukkan intensi baik melalui reassurance, ajakan untuk memulai kerjasama,
serta pada saat yang bersamaan melaksanakan hedging pada negara tersebut.
44 Cost didefinisikan sebagai dampak yang diterima oleh negara ketika memberikan sinyal untuk reassurance, dan dapat berbentuk material atau simbolis. Risk adalah resiko bahwa cost tersebut kemudian tidak mendapat timbal balik yang positif. Credibility adalah bagaimana penerima sinyal reassurance menilai sinyal tersebut. Kredibilitas tersebut akan datang dari bagaimana penerima sinyal mengkalkulasi seberapa besar cost dan risk dari sinyal yang diberikan. Ibid.,135-137 45 Ibid., Bab 4, Bab 5
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
26
2.2.1 Pemberian Sinyal Intensi Baik melalui Reassurance dan Ajakan
Kerjasama kepada Cina oleh Presiden Ma Ying-jeou
Memburuknya hubungan antara Taiwan dengan Cina di bawah Presiden
Chen Shui-bian menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi oleh Presiden
Ma Ying-jeou. Memburuknya hubungan tersebut membuat ketegangan antara
Taiwan dan Cina semakin meninggi, seperti contohnya diarahkan ribuan misil
Cina di Provinsi Fujian ke arah Taiwan, munculnya Anti-Secession Law di Cina,
dan beberapa provokasi Chen Shui-bian untuk melaksanakan referendum yang
mendorong independensi Taiwan.46
Ketika Presiden Ma Ying-jeou dicalonkan menjadi kandidat presiden
Taiwan dalam pemilihan umum tahun 2008 sebagai calon dari Kuomintang, dia
menjanjikan untuk memperbaiki hubungan yang memburuk antara Cina dengan
Taiwan. 47 Ma Ying-jeou menilai kebijakan-kebijakan yang diberikan oleh
Presiden Chen Shui-bian lebih merugikan dibandingkan menguntungkan bagi
Taiwan. Kerugian tersebut utamanya dalam bidang kerjasama di bidang ekonomi,
karena potensi-potensi kerjasama antara Taiwan dan Cina tidak dapat terealisasi.
Untuk memulai perbaikan hubungan antara Cina dan Taiwan tersebut, Ma Ying-
jeou sejak kampanye menyatakan bahwa Taiwan yang dipimpinnya akan
menghormati dan mengimplementasikan kembali Konsensus 1992.
Ketika Ma Ying-jeou terpilih menjadi presiden Taiwan pada tahun 2008,
dia merealisasikan janji dalam kampanyenya tersebut. Pada pidato pelantikannya,
dia menyebutkan bahwa Konsensus 1992 merupakan bagian penting dalam
kerjasama Taiwan dan Cina selama ini.48 Inisiatif yang diberikan oleh Presiden
Ma Ying-jeou tersebut mendapat respons positif dari Cina. Dialog antara SEF dan
ARATS kembali dimulai, sejak terakhir kali berhenti di bawah Presiden Lee
Teng-hui. 46 Shirley A. Kan, “Taiwan: Major US Arms Sales since 1990,”Taiwan: Major US Arms Sales since 1990,” 5, terakhir dimodifikasi pada 3 Juli 2013, diakses 25 Juli 2013, http://www.fas.org/sgp/crs/weapons/RL30957.pdf. 47 Susan Albright, “Taiwan’s New President Will Try to Calm the Waters,” Minneapolis Post, terakhir dimodifikasi pada 25 Maret 2008, diakses 12 Juni 2013, http://www.minnpost.com/politics-policy/2008/03/taiwans-new-president-will-try-calm-waters. 48 Wu Zhong, “Taiwan’s Ma Strides Across the Strait.” Asia Times, terakhir dimodifikasi pada 10 Februari 2011, diakses 12 Juni 2013, http://www.atimes.com/atimes/China/MB10Ad01.html.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
27
Sinyal positif yang diberikan oleh Presiden Ma Ying-jeou kemudian
berlanjut terus ketika Presiden Ma Ying-jeou telah menjadi presiden dari Taiwan.
Presiden Ma Ying-jeou menginisiasi ide pembentukan ECFA untuk menguatkan
kembali hubungan antara Taiwan dan Cina, terutama di bidang ekonomi.49
Kerjasama antara Taiwan dan Cina sendiri tetap berjalan secara konsisten melalui
dialog antara SEF dan ARATS. 50 Anggaran pertahanan Taiwan juga tidak
meningkat secara berlipat, biarpun Cina secara konsisten terus meningkatkan
anggaran pertahanannya. Anggaran pertahanan Taiwan di bawah Presiden Ma
Ying-jeou tahun 2008-2012 tidak pernah melewati nilai 3% dari total PDB
Taiwan, meskipun 3% adalah batas minimum yang dijanjikan oleh Presiden Ma
Ying-jeou pada masa kampanyenya.
Penjelasan di atas memberikan contoh kebijakan-kebijakan reassurance
Presiden Ma Ying-jeou kepada Cina. Menurut Tang, terdapat tiga jenis
reassurance yang dapat diberikan, yaitu melalui words, deeds non-military, dan
military. Penggunaan kembali Konsensus 1992 merupakan contoh reassurance
yang diberikan dalam bentuk words. Pengakuan kepada Konsensus 1992
merupakan sesuatu yang costly karena pengakuan kepada konsensus ini membuka
interpretasi bahwa Taiwan kehilangan independensinya dari Cina, sebuah risk
yang amat besar bagi Taiwan. Risk tersebut semakin besar ketika Presiden Ma
Ying-jeou menurunkan anggaran pertahanan dan menginstitusionalisasi hubungan
melalui ECFA. Kebijakan-kebijakan tersebut menimbulkan kritik kepada Presiden
Ma, bahwa kebijakannya yang memberikan intensi baik tersebut membuat Taiwan
kehilangan kedaulatannya karena dependensi dengan Cina menjadi semakin
akut.51
Hanya saja, risk tersebut menjadi nyata merugikan kepada negara jika
tindakan reassurance yang diberikan tidak menerima respons positif dari negara
yang menerima sinyal tersebut. Kenyataannya, Cina memberikan respons yang 49 Mathieu Duchatel, “Between Hedging and Bandwagoning for Profit: Taiwan’s Mainland Policy Under Ma Ying-jeou,” 9, (makalah dipresentasikan dalam Track Two Dialogue on EU-China Relations and the Taiwan’s Questions, Shanghai, 5-6 Juni, 2010). 50 Sun Yunlong, “Backgrounder: Key Talks Between ARATS and SEF,” Xinhua News Agency, terakhir dimodifikasi pada 3 November 2008, diakses 12 Juni 2013, http://news.xinhuanet.com/english/2008-11/03/content_10300714.htm. 51 Vincent Y. Chao, “DPP Decries Dependency on PRC,” Taipei Times, terakhir dimodifikasi pada 17 Juni 2011, diakses 12 Juni 2013, http://www.taipeitimes.com/News/taiwan/archives/2011/06/17/2003505997.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
28
cukup positif dari kebijakan-kebijakan reassurances yang diberikan oleh Presiden
Ma. Konsensus 1992 dianggap sebagai bentuk reassurance yang cukup kredibel
untuk membuka kembali hubungan institusional Taiwan dengan Cina melalui
dialog SEF dan ARATS. Inisiatif ECFA sendiri mendapat respons yang positif
dari Cina, bahkan ECFA sendiri menghasilkan aturan-aturan yang berpotensi
merugikan Cina.
2.2.2 Tindakan Hedging Presiden Ma Ying-jeou kepada Cina: Balancing
Internal dan Eksternal Taiwan terhadap Cina
Salah satu elemen penting dari kebijakan engagement adalah usaha
hedging yang dilaksanakan untuk mengantisipasi jika reassurance yang diberikan
tidak mendapat respons yang positif. Menurut Tang, hal ini dapat diberikan
dengan dua cara, yaitu penguatan postur pertahanan secara internal dan
pembuatan aliansi secara eksternal. Bagian ini berusaha menjelaskan mengenai
usaha hedging Presiden Ma, baik dari segi pengembangan postur pertahanan
dalam negeri Taiwan, dan juga dari hubungan Taiwan dengan Amerika Serikat
sebagai pemberi deterrence secara eksternal.
Arah perkembangan kekuatan pertahanan dan keamanan Taiwan di bawah
Presiden Ma Ying-jeou merupakan sebuah hal yang menjadi perdebatan di
Taiwan, terutama ketika Presiden Ma Ying-jeou baru saja memenangkan pemilu
pada tahun 2008. Saat Presiden Ma mengajukan bahwa ia menginginkan adanya
perbaikan dalam hubungan antara Cina dengan Taiwan, pertanyaan yang muncul
kemudian adalah bagaimana Taiwan akan memberikan fokus yang sama pada
pertahanan dan keamanan Taiwan.52
Pada awal kepemimpinannya, Presiden Ma Ying-jeou berusaha untuk
menenangkan para petinggi militer dan analis keamanan di Taiwan bahwa
Presiden Ma masih akan memberikan perhatian yang cukup kepada
pertahanannya. Presiden Ma Ying-jeou berjanji untuk menjaga agar anggaran
52 Michael S. Chase, “Taiwan’s Defense Budget Dilemma: How Much is Enough In An Era of Improving Cross-Strait Relations,” China Brief 8, no. 15 (2008), diakses 21 Desember 2012, http://www.jamestown.org/programs/chinabrief/single/?tx_ttnews%5Btt_news%5D=5061&tx_ttnews%5BbackPid%5D=168&no_cache=1.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
29
pertahanan Taiwan mencapai 3% dari PDB Taiwan. 53 Presiden Ma juga
menunjukkan keinginan untuk membentuk kebijakan pertahanan yang disebut
sebagai “Hard ROC”.54
Asas ini kemudian dijelaskan dengan beberapa kebijakan-kebijakan dalam
QDR yang dikeluarkan oleh Taiwan. Menurut Alexander Chieh-cheng Huang,
terdapat dua hal yang menjadi fokus utama dalam QDR, yaitu prevention dan
transformation.55 Definisi dari prevention adalah usaha-usaha untuk memperkuat
kembali hubungan dengan negara negara yang selama ini menjadi rekan Taiwan
dan juga memperbaiki hubungan lebih baik antara Taiwan dan Cina. Tujuan dari
prevention adalah agar Taiwan tidak terlibat dalam konflik, terutama dengan Cina.
Definisi dari transformation adalah usaha dari Presiden Ma Ying-jeou untuk
mentransformasi angkatan bersenjata dari Taiwan, dari tadinya diisi oleh
campuran wajib militer dan sukarela, menjadi angkatan bersenjata yang
sepenuhnya diisi oleh tenaga sukarela.
Namun setelah berjalan empat tahun masa kepemimpinan Presiden Ma,
perhatian yang diberikan oleh Presiden Ma terhadap pertahanan bisa dikatakan
belum maksimal. Indikator utama dari pernyataan di atas adalah anggaran
pertahanan yang dikeluarkan oleh Taiwan di bawah masa pemerintahan Presiden
Ma tidak pernah menyentuh angka 3% dari PDB Taiwan.56 Jika kita lihat tabel di
bawah, besaran dari anggaran pertahanan Taiwan justru menurun, di mana pada
tahun 2009 anggaran pertahanan sempat mencapai 2,7% dari PDB tetapi
kemudian menurun pada tahun 2010 dan 2011 menjadi masing masing 2,2% dan
2,1% dari PDB Taiwan.
53 Wendell Minnick, “CRS Report Reviews US, Taiwan Relations,” Defense News, terakhir dimodifikasi pada 24 Mei 2012, diakses 21 Desember 2012, http://www.defensenews.com/article/20120524/DEFREG02/305240003/CRS-Report-Reviews-Taiwan-Security-U-S-Relations. 54 Quadrennial Defense Review Editing Group Ministry of National Defense, Quadrennial Defense Review 2009, (Taipei City: Ministry Of National Defense, 2009), 63 55 Alexander Chieh-cheng Huang, “A Midterm Assessment of Taiwan’s First Quadrennial Defense Review,” (Makalah, Brookings Institution, 2011), http://www.brookings.edu/research/papers/2011/02/taiwan-huang 56 Kan, “Taiwan: Major U.S. Arms Sales”, 34-35.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
30
Tabel 2.2.1.1 Pengeluaran Pertahanan Taiwan 2008-2012
Tahun Fiskal Anggaran
Pertahanan (NT$
milyar)
Anggaran
Pertahanan (US$
milyar)
% dari PDB % dari total
pengeluaran
pemerintah
2008 341,1 10,5 2,5 20,2
2009 318,7 9,6 2,7 17,6
2010 297,4 9.3 2,2 17,3
2011 294,6 10,2 2,1 16,5
2012 317,3 10,6 2,2 16,4
Sumber: Shirley A. Kan, “Taiwan: Major US Arms Sales since 1990,”Taiwan: Major US Arms Sales since 1990,” 5, terakhir dimodifikasi pada 3 Juli 2013, diakses 25 Juli 2013,
http://www.fas.org/sgp/crs/weapons/RL30957.pdf., 34-35.
Penurunan anggaran pertahanan dari Taiwan dapat terjadi karena adanya
krisis finansial yang terjadi pada tahun 2008. Hal ini dengan demikian membuat
usaha usaha yang sudah dimasukkan ke dalam QDR kemudian menjadi terganggu
dan terhambat. Program dari Presiden Ma untuk merubah dan mentransformasi
angkatan bersenjata dari Taiwan menjadi seluruhnya volunteer pun menjadi
terganggu. Perubahan menjadi all-volunteer memang akan menambah beban
anggaran pemerintahan Taiwan. Turunnya anggaran pertahanan Taiwan membuat
program tersebut mengalami penundaan dari tadinya dijadwalkan selesai tahun
2014, kemudian berubah menjadi tahun 2015.57
Penurunan anggaran pertahanan Taiwan juga berdampak terhadap
kerjasama yang terjadi antara Taiwan dan Amerika Serikat. Taiwan masih sangat
bergantung dengan Amerika Serikat dalam kerjasama militer yang terjadi antara
kedua negara, terutama dengan tujuan Taiwan untuk memodernisasi angkatan
bersenjatanya. Untuk mencapai modernisasi tersebut, Taiwan memiliki keinginan
untuk membeli kapal patroli maritim P-3C, helikopter serang untuk angkatan
darat, helikopter serba guna untuk angkatan darat, PAC-3 sistem pertahanan rudal,
57 Vincent Y. Chao, “Pundits Says Defense Cuts Invite Aggression,” Taipei Times, terakhir dimodifikasi pada 22 Juni 2011, diakses 21 Desember 2012, http://www.taipeitimes.com/News/front/archives/2011/06/22/2003506383.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
31
Fighter F-16C/D, dan kapal selam tenaga diesel. 58 Penurunan anggaran
pertahanan dari Taiwan menyebabkan hal-hal di atas sulit untuk dicapai. 59
Pesawat F-16C/D yang diinginkan oleh Presiden Ma sendiri semakin sulit untuk
dibeli, dengan Taiwan mempertimbangkan menyiapkan dana US$ 10 juta yang
digunakan untuk membeli F-16C/D, tetapi hanya untuk kepentingan simbolis.60
Pengembangan postur pertahanan Taiwan di bawah Presiden Ma Ying-
jeou dengan demikian tidak memuaskan. Usaha-usaha yang dilakukan oleh
Presiden Ma tidak mencukupi jika dibandingkan dengan reformasi dan
pertumbuhan kekuatan militer yang terjadi di Cina. Oleh karena itu, aspek internal
dari balancing yang dimiliki oleh Taiwan terhadap Cina tidak dapat memenuhi
unsur deterrence yang cukup yang merupakan bagian penting dari kebijakan
engagement.
Selain melalui internal balancing, Tang menjelaskan bahwa negara juga
dapat memilih aliansi sebagai bentuk balancing eksternal. Dalam kasus Taiwan
dan Cina, kehadiran Amerika Serikat sebagai aktor eksternal memegang peran
penting dalam menghadirkan deterrence, bahkan kepada kedua pihak, untuk
mampu mempertahankan perdamaian di Selat Taiwan.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Amerika Serikat telah terlibat
dalam dinamika hubungan antara Taiwan dan Cina sejak tahun 1950 ketika
Amerika Serikat mengirimkan armadanya untuk memberikan efek gentar pada
Beijing untuk tidak menyerang Taiwan.61 Sejak saat itu, Amerika Serikat terus
berada di wilayah Selat Taiwan, memainkan peranan sebagai pihak penengah
yang mencegah agar kedua negara tidak terjerumus dalam perang. Amerika
Serikat sendiri memiliki dinamika dalam hubungannya dengan kedua aktor di
Selat Taiwan, dari awalnya memiliki hubungan aliansi yang kuat dengan Taiwan
melalui traktat pertahanan bersama, kemudian sedikit meregang dengan Taiwan
akibat adanya normalisasi hubungan antara Amerika Serikat dengan Cina, hingga
saat ini di mana Amerika Serikat masih menjaga perimbangan untuk tetap
melindungi Taiwan, jika suatu saat Cina menggunakan aksi-aksi kekerasan secara
58 Chase, “Taiwan’s Defense Budget Dilemma.” 59 Minnick, “CRS Reports Review US.” 60 Ibid. 61 Deans, “Cross-Strait Relations since 1949”, 28
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
32
unilateral, sementara Amerika Serikat menjalin hubungan yang cukup mendalam
dengan Cina.62
Sejak awal keterlibatannya, Amerika Serikat memandang bahwa
kepentingan utamanya adalah untuk menjaga agar tidak terjadi instabilitas di
wilayah Selat Taiwan. Pada masa-masa perang dingin, usaha menjaga stabilitas
ini dilakukan atas dasar kepentingan Amerika Serikat yang tidak menginginkan
adanya konflik terbuka antara Cina dan Taiwan yang dapat membawa Uni Soviet
dan Amerika Serikat ke dalamnya. Kebijakan ini ditunjukkan melalui berbagai
tekanan-tekanan yang diberikan oleh Amerika Serikat kepada Taiwan dan Uni
Soviet kepada Cina agar keduanya tidak lagi berkonflik secara terbuka dan
mengalihkannya pada bidang diplomasi.63 Pada saat normalisasi terjadi antara
Cina dan Amerika Serikat, kepentingan tersebut berubah menjadi menjaga
stabilitas Selat Taiwan. Stabilitas Selat Taiwan merupakan prasyarat penting agar
kerjasama antara Cina dan AS dapat terus berjalan. Saat ini, kepentingan Amerika
Serikat menjaga hubungan antara Cina dan Taiwan didasari atas dasar
kepentingan Amerika Serikat yang tidak ingin memprovokasi Cina, terutama
dengan semakin menguatnya kekuatan ekonomi dan militer Cina.
Keteguhan Amerika Serikat menjaga perdamaian di Selat Taiwan
ditunjukkan melalui beberapa cara. Pertama, keteguhan ini terlihat dengan
Amerika Serikat yang mengembalikan fokusnya kepada Asia, setelah sebelumnya
banyak terlibat di wilayah Timur Tengah. Kebijakan Amerika Serikat ini
kemudian dikenal sebagai ‘Asia Pivot’. 64 Kebijakan Asia Pivot ini menunjukkan
intensi Amerika Serikat untuk kembali memperkuat basis-basisnya di Asia.
Meskipun Taiwan tidak disebut secara spesifik dalam tulisan yang diberikan oleh
Hillary Clinton, tetapi hal ini tidak menegasi bahwa Amerika Serikat memiliki
kepentingan tinggi untuk menjaga stabilitas di wilayah Asia.
62 Ibid., 28-33 63 Ibid., 28-29 64 Hillary Clinton, “America’s Pacific Century: The Future of Politics will be decided in Asia, not Afghanistan or Iraq, and the United States Will Be Right at the Center of Action,” Foreign Policy, terakhir dimodifikasi pada 11 Oktober 2011, diakses 4 November 2012, http://www.foreignpolicy.com/articles/2011/10/11/americas_pacific_century.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
33
Kedua, Amerika Serikat juga masih mempertahankan keputusannya untuk
melaksanakan penjualan senjata kepada Taiwan.65 Amerika Serikat mendapat
dorongan-dorongan, baik dari internal dan eksternal, untuk tidak melanjutkan
penjualan senjata kepada Taiwan karena penjualan senjata tersebut mengancam
hubungan Amerika Serikat dengan Cina. Amerika Serikat sendiri juga mencoba
untuk melimitasi penjualan senjatanya kepada Taiwan, dengan hanya menjual
produk-produk yang bersifat defensif. Amerika Serikat juga tidak mengabulkan
seluruh permintaan pembelian senjata dari Taiwan. Namun, tindakan perimbangan
Amerika Serikat ini, antara menjual senjata dan tidak memprovokasi Cina,
menunjukkan keteguhan Amerika Serikat untuk komitmennya kepada pertahanan
Taiwan.
Ketiga, di dalam hubungan antara Taiwan dan Cina, Amerika Serikat
menegaskan bahwa Taiwan tidak akan ditinggalkan begitu saja. Amerika Serikat,
yang mencoba untuk memperbaiki hubungan dengan Cina pada beberapa
kesempatan (salah satunya melalui pertemuan antara Xi Jinping dan Barack
Obama pada bulan Juni 2013), dikhawatirkan akan mengorbankan Taiwan untuk
mendapatkan konsesi dari Cina. Namun menurut Jeffrey Bader, salah satu mantan
staf Barack Obama, ide untuk ‘meninggalkan’ Taiwan merupakan sesuatu yang
tak terpikirkan. Terdapat dua kepentingan Amerika Serikat untuk tetap
mempertahankan Taiwan dari kemungkinan serangan unilateral dari Cina.
Pertama, Amerika Serikat terikat dengan kesamaan nilai sebagai sesama negara
demokrasi, sehingga Amerika Serikat tidak dapat menerima Taiwan yang
demokrasi harus menerima keadaan di mana keinginan rakyatnya tidak terpenuhi,
terutama saat negara demokrasi tersebut harus diinvasi oleh negara komunis.
Kedua, Amerika Serikat juga tidak dapat meninggalkan Taiwan karena akan
memberikan imej buruk kepada aliansi Amerika Serikat lainnya di wilayah Asia,
seperti Jepang.66
65 Paul Eckert, “U.S. to announce F-16 upgrade for Taiwan: Lobby Group,” Reuters, terakhir dimodifikasi pada 16 September 2011, diakses 1 Juni 2013, http://www.reuters.com/article/2011/09/16/us-usa-taiwan-f-idUSTRE78F2L620110916. 66 Shih Hsiu-chuan, “Abandoning Taiwan is ‘unthinkable’, ex-Obama administration official says,” Taipei Times, terakhir dimodifikasi pada 28 Maret 2012, diakses 12 Juni 2013, http://www.taipeitimes.com/News/taiwan/archives/2012/03/28/2003528896.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
34
Dengan demikian, Amerika Serikat menjadi aktor penting dalam
hubungan keamanan antara Taiwan dan Cina. Sebagai negara dengan kekuatan
militer terbesar di dunia saat ini, komitmen-komitmen yang diberikan oleh
Amerika Serikat tentu tidak dapat diacuhkan, terutama oleh Cina. Komitmen
Amerika Serikat menjaga keamanan di wilayah Selat Taiwan tentu menjadi
pertimbangan baik bagi Taiwan dan Cina dalam membuat strategi keamanannya.
Taiwan dijaga untuk tetap memiliki pertahanan dengan bantuan-bantuan bersifat
defensif, dan Cina di lain pihak tentu menjaga hubungannya dengan Amerika
Serikat tetap terjaga, biarpun pada beberapa kejadian Cina masih menunjukkan
beberapa kebijakan ofensif.
2.3 Faktor Eksternal Pembentuk Kebijakan Keamanan Taiwan: Cina
sebagai Negara Realisme Ofensif
Seperti yang telah dibahas pada pembahasan teori, salah satu hal yang
harus dilaksanakan oleh sebuah negara yang menganut Realisme Defensif dalam
menyusun kebijakan keamanannya dengan negara lain adalah membedakan antara
negara lawannya, apakah negara tersebut adalah negara yang sama sama
menganut Realisme Defensif, ataukah negara tersebut merupakan negara yang
bersifat ofensif. Hal ini kemudian menjadi landasan dari bagaimana Taiwan akan
membuat kebijakan keamanannya terkait dengan Cina. Bagian ini akan
menunjukkan bahwa Cina masih cenderung mengarah sebagai negara dengan
realisme ofensif. Hal ini ditunjukkan saat Cina yang mengeluarkan pernyataan
bahwa kebangkitan Cina merupakan ‘Peaceful Rise’, ternyata masih tidak
melaksanakan self-restraint dalam pengembangan kekuatan militernya, terutama
dalam hubungannya dengan Taiwan.
2.3.1 Cina dan Klaim sebagai Negara dengan Peaceful Rise
Dalam beberapa tahun ke belakang, Cina mendapatkan banyak perhatian
dari dunia karena pertumbuhan ekonominya yang mencapai dua digit dan
bertahan secara stabil sejak Cina memulai liberalisasi ekonominya. Kekuatan
ekonomi Cina yang tumbuh secara berlipat kemudian berdampak pada anggaran
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
35
pertahanan Cina yang terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Tercatat
pada tahun 2013, Cina secara total memiliki anggaran pertahanan mencapai US$
119 milyar, peningkatan 10,7% dari tahun sebelumnya.67 Anggaran pertahanan
yang besar juga dilengkapi dengan komitmen Cina untuk melaksanakan reformasi
di dalam angkatan perangnya, salah satu aspek penting dalam meningkatnya
kekuatan militer Cina.
Dengan terus meningkatnya kekuatan ekonomi dan pertahanan Cina,
banyak negara di dunia yang menjadi khawatir terhadap tren tersebut. Cina yang
terus mengembangkan kekuatan militernya dikhawatirkan akan mengacaukan
stabilitas keamanan, terutama di wilayah Asia. Kekhawatiran tersebut
menunjukkan terbentuknya security dilemma dari negara-negara Asia terhadap
Cina, ditunjukkan dengan tindakan beberapa negara yang beraliansi dengan
Amerika Serikat yang secara eksplisit meminta Amerika Serikat untuk
memberikan kembali fokusnya kepada Asia sebagai bentuk balancing terhadap
Cina.
Adanya security dilemma yang tercipta akibat terus meningkatnya
kekuatan Cina tentu disadari oleh pemimpin-pemimpin di Beijing. Adanya
balancing akan merugikan Cina, sehingga upaya untuk meyakinkan negara bahwa
Cina bukanlah negara yang ofensif kemudian dilaksanakan. Pada masa
pemerintahan Hu Jintao, Cina memunculkan istilah ‘peaceful rise’ untuk
menggambarkan bahwa pertumbuhan kekuatan Cina tidaklah digunakan untuk
mengancam negara lain. 68 Xi Jinping juga tetap menggunakan istilah peaceful
rise untuk meyakinkan negara-negara lain bahwa yang diinginkan oleh Cina
bukanlah hegemoni dan perkembangan militernya bukanlah ancaman bagi negara-
negara di dunia. 69
67Ben Blanchard dan John Ruwitch, “China Hikes Defense Budget, to Spend More on Internal Security,” Reuters, terakhir dimodifikasi pada 5 Maret 2013, diakses 12 Juni 2013, http://www.reuters.com/article/2013/03/05/us-china-parliament-defence-idUSBRE92403620130305. 68 The Economist, “Peaceful Rise,” terakhir dimodifikasi pada 24 Juni 2004, diakses 12 Juni 2013, http://www.economist.com/node/2792533. 69 Zhuang Pinghui, “China’s Rise is Peaceful, Xi Jinping Tells Foreign Experts,” South China Morning Post, terakhir dimodifikasi pada 6 Desember 2012, diakses 12 Juni 2013 http://www.scmp.com/news/china/article/1098533/chinas-rise-peaceful-xi-jinping-tells-foreign-experts.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
36
Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa secara global Cina mengakui
adanya security dilemma yang terbentuk atas dirinya dan berjanji untuk tidak
bersikap ofensif. Namun, hal ini tidak terjadi di level hubungan bilateral antara
Cina dan Taiwan, di mana Cina masih secara eksplisit bersikap ofensif terhadap
situasinya dengan Taiwan.
2.3.2 Cina sebagai Negara Realisme Ofensif dalam Hubungan Cina dan
Taiwan
Secara global, Cina memang telah menyadari akan permasalahan yang
akan dialaminya apabila security dilemma terus terjadi karena meningkatnya
kekuatan Cina di ekonomi dan militer. Hanya saja, interpretasi terhadap ‘peaceful
rise’ ini menempatkan Taiwan sebagai pengecualian. Klaim Cina bahwa Taiwan
merupakan provinsi dari Cina dan memiliki legitimasi atas klaimnya tersebut,
membuat Cina bersikeras bahwa Cina memiliki hak untuk menggunakan ‘use of
force’ jika Cina merasa bahwa kebijakan-kebijakan Taiwan mengarah kepada
independensi.70
Perkembangan kekuatan militer Cina banyak diarahkan secara spesifik
untuk menghadapi ancaman ‘separatisme’ Taiwan dari Cina. QDR 2009 milik
Taiwan secara gamblang menjelaskan di bab 1-nya bahwa Taiwan mengakui
perkembangan modernisasi pertahanan Cina, di mana dengan modernisasi
tersebut kekuatan Cina untuk menghadapi Taiwan telah meningkat secara
dramatis.71 Cina pun dengan demikian dianggap dapat memberikan ancaman
kepada Taiwan dalam 8 bentuk kapabilitas Cina72:
a. Kapabilitas pengintaian, pengawasan, dan satelit
Yang dimaksudkan di sini adalah pengembangan kekuatan Cina yang
berlimpah di bidang pengawasan melalui satelit, dan di masa depan,
pengembangan kekuatan ini juga termasuk membantu misil penjelajah,
misil balistik, ataupun Unmanned Aerial Vehicle (UAVs) yang mungkin
dimiliki oleh Cina;
70 John J. Tkacik Jr., “China’s ‘Peaceful’ Rise at Stake in Power Struggle,” Asia Times, terakhir dimodifikasi pada 8 September 2004, diakses 12 Juni 2013, http://www.atimes.com/atimes/China/FI08Ad03.html. 71 Quadrennial Defense Review Editing Group Ministry of National Defense, Quadrennial Defense Review 2009, 35. 72 Ibid., 35-41.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
37
b. Kapabilitas perang elektronik
Yang dimaksudkan dengan kapabilitas ini adalah kemampuan dari PLA,
terutama angkatan udaranya, untuk menerbangkan pesawat dengan tujuan
jamming dan pada akhirnya dapat mengancam sistem komando, kontrol,
informasi, dan komunikasi dari Taiwan. Perkembangan di masa depan di
kapabilitas ini terkait besar dengan perkembangan kapabilitas
elektromagnetis;
c. Kapabilitas perang informasi
Yang dimaksudkan dengan kapabilitas ini adalah usaha-usaha Cina untuk
memiliki sebuah unit penelitian dan pengembangan yang berfokus
terhadap pembuatan virus, dan perancangan taktik serta kapabilitas untuk
menyerang sistem komputer lawan. Dalam beberapa tahun terakhir, sering
terjadi penyerangan terhadap jaringan di Taiwan oleh peretas dari Cina,
dan ini mungkin saja terjadi dalam skenario perang antara Cina dan
Taiwan;
d. Kapabilitas misil penjelajah dan misil balistik
Saat ini, Cina telah mempersiapkan lebih dari 1.300 misil jelajah dan
balistik jarak rendah mengarah ke arah Taiwan. Hal ini tentu menjadi
ancaman. Lebih lagi ke depannya, perkembangan misil seperti misil
jelajah kecepatan supersonik, misil presisi tinggi, dan misil yang tahan
atas intersepsi bisa menjadi ancaman juga dari Cina terhadap Taiwan;
e. Kapabilitas operasi di udara
Kapabilitas operasi di udara yang dimiliki oleh Cina terdiri dari misil
pertahanan serangan udara, pesawat tempur, dan pesawat pembom.
Kekuatan tersebut tergambarkan dari sekitar 700 pesawat tempur yang
dimiliki oleh Cina, yang mampu menyerang Taiwan secara langsung. Cina
juga memiliki kapabilitas untuk mengintegrasikan teknologi yang
didapatkan dari rekannya, seperti teknologi misil yang didapatkan dari
Rusia;
f. Kapabilitas operasi maritim
Kapabilitas di operasi maritim ini terbagi menjadi tiga bagian. Bagian
pertama, yaitu terkait dengan surface warfare, di mana Cina pada tahun
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
38
2009 telah merampungkan pembelian beberapa kapal destroyer baru, dan
juga membuat multipurpose landing ships. Bagian kedua yaitu
pembangunan kapal selam, di mana telah disebutkan sebelumnya, Cina
banyak berinvestasi pada pengembangan kapabilitas ini, bahkan melebihi
Amerika Serikat dalam hal laju pertumbuhan kepemilikan dari kapal selam
ini. Bagian ketiga terkait dengan kapal induk yang dimiliki oleh Cina, di
mana jika Cina bisa mengembangkan kekuatan di bagian ini, Cina bisa
dengan lebih leluasa menghalangi Taiwan dari terhubung dengan dunia
luar dengan lebih maksimal;
g. Kapabilitas landing assault
Saat ini, Cina setidaknya sudah memiliki beberapa kelebihan
dibandingkan oleh Taiwan, seperti misalnya di masalah jumlah tentara
yang dapat diterjunkan. Selain itu, Cina juga terus mengembangkan
kualitasnya dengan berbagai latihan yang ditujukan untuk menghadapi
skenario jika serangan dengan menerjunkan pasukan langsung ke pulau-
pulau Taiwan harus dilaksanakan. Di masa depan, Cina juga diproyeksi
untuk terus mengembangkan kekuatannya dengan produksi multipurpose
landing ships, amphibious landing ships, dan hovercraft;
h. Kapabilitas three-front war melawan Taiwan
Yang dimaksudkan adalah kemampuan Cina untuk melaksanakan tiga
serangan non-militer terhadap Taiwan. Tiga bidang non-militer yang
dimaksudkan ini adalah dari bidang opini publik, hukum, dan perang
psikologis. Hal hal yang mungkin dilaksanakan misalnya adalah dengan
cara mencari justifikasi secara hukum untuk tindakan tindakan
penyerangan terhadap Taiwan, atau melaksanakan serangan agar opini
publik terbentuk yang dapat meruntuhkan bantuan dan semangat terhadap
Taiwan.
Ancaman ancaman di atas dapat menggambarkan bagaimana Taiwan
melihat Cina sebagai ancaman yang sangat komprehensif. Ancaman yang
diberikan Cina tidak lagi dapat dipandang sebelah mata, karena ancaman Cina
dapat mengancam semua sektor pertahanan Taiwan yang dimiliki saat ini. Dari
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
39
semua ancaman tersebut, QDR Taiwan tahun 2009 menyebutkan bahwa
setidaknya terdapat 5 skenario serangan yang dapat dilancarkan oleh Cina kepada
Taiwan, yaitu intimidasi militer, blokade parsial, serangan terhadap target-target
khusus di Taiwan, melaksanakan peperangan asimetris, dan melaksanakan rapid
landing di Taiwan. Dari 5 skenario tersebut, 4 skenario selain skenario rapid
landing sudah dapat dilaksanakan. Skenario rapid landing bahkan dapat
dilaksanakan jika Cina terus mengembangkan kekuatan militernya, terutama di
bidang multi-purpose ship.73
Dengan demikian, deeds dari Cina di atas masih mendatangkan ancaman
yang besar bagi Taiwan. Selain itu, Cina masih memiliki undang-undang yang
dikenal sebagai anti-secession law (ASL), yang melegitimasi Cina secara
konstitusional untuk menyerang Taiwan jika Taiwan dirasa mengarah kepada
kebijakan pro-kemerdekaan.74 Cina juga masih enggan untuk menarik gelaran
misil-misilnya yang diarahkan ke Taiwan dari Provinsi Fujian. Hal-hal tersebut
tentu menggambarkan bagaimana Cina sampai saat ini masih bersikap secara
ofensif, dan tidak mengimplementasikan self-restraint dalam hubungan
keamanannya dengan Taiwan.
Penjelasan di atas menggambarkan bagaimana Taiwan merupakan
pengecualian dari klaim peaceful rise yang dikembangkan oleh Cina. Cina masih
bersikeras untuk mempertahankan haknya untuk dapat menggunakan use of force
kepada Taiwan. Perkembangan militer Cina pun banyak yang secara eksplisit
menggunakan Taiwan sebagai targetnya. Biarpun Cina secara ‘words’ telah
bersikap secara defensif, namun kenyataannya, ‘deeds’ Cina kepada Taiwan
masih terang-terangan menunjukkan Cina sebagai negara yang ofensif.
Dua sub-bab di atas telah menunjukkan bagaimana Taiwan di bawah
Presiden Ma Ying-jeou mengimplementasikan strategi engagement sebagai
kebijakan keamanannya. Pemberian reassurance dan ajakan kerjasama Taiwan
kepada Cina diimbangi dengan deterrence yang dipertahankan dari presensi
Amerika Serikat dalam dinamika hubungan antara kedua negara. Strategi
engagement ini sendiri merupakan implementasi dari teori yang diberikan Shiping
Tang, bahwa negara penganut realisme defensif akan mencoba kebijakan 73 Ibid, 41-43. 74 Ibid., 31.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
40
engagement kepada negara yang cenderung bersifat ofensif, dengan tujuan untuk
mengubah intensi dari negara yang ofensif tersebut untuk dapat bertindak lebih
defensif.
2.4 Faktor Domestik Pembentuk Kebijakan Keamanan Taiwan Terhadap
Cina: Peran NSC, Tekanan Publik untuk Rekonsiliasi, dan Pengaruh
Presiden Ma
Subbab di atas telah menjelaskan faktor di level sistem yang membentuk
kebijakan keamanan yang diambil oleh Taiwan dalam hubungan antara Taiwan
dan Cina. Bagian selanjutnya pada bab ini akan menjelaskan faktor-faktor
domestik dalam pembentukan kebijakan keamanan tersebut, yaitu bagaimana
National Security Council (NSC) Taiwan berperan dalam pembentukan kebijakan
keamanan, hubungan antara eksekutif dan legislatif di Taiwan, dan opini publik
yang membentuk kebijakan keamanan tersebut.
National Security Council (NSC) atau Dewan Keamanan Nasional,
merupakan sebuah badan yang merupakan gabungan dari beberapa aktor penting
di dalam pemerintahan Taiwan yang berkepentingan dalam kebijakan keamanan
Taiwan. NSC ini terdiri dari beberapa anggota, yaitu Presiden Taiwan (sekaligus
menjabat sebagai Ketua Dewan NSC), Wakil Presiden, 8 anggota kabinet (terdiri
dari premier, vice premiere, Minister of Interior, Foreign Affairs, National
Defense, Treasury, dan Economic, Ketua dari Mainland Affairs Council,
Komandan Angkatan Bersenjata Taiwan, Sekretaris Jenderal dari NSC, dan
Direktur dari Biro Keamanan Nasional.75
NSC sebenarnya telah terbentuk dari tahun 1963. NSC dibentuk dengan
tujuan untuk menjadi tim yang memberikan masukan dan rekomendasi bagi
Presiden ROC dalam menentukan kebijakan luar negerinya, terutama yang
berkaitan dengan permasalahan keamanan dan pertahanan.76 Namun, NSC pada
awal pembentukannya tidak banyak memiliki efektivitas, sampai kemudian
75 York W. Chen, “The Modernization of Taiwan’s National Security Council,” China Brief 10, no. 22 (2010), diakses 9 Mei 2013, http://www.jamestown.org/single/?no_cache=1&tx_ttnews[tt_news]=37144&tx_ttnews[backPid]=7&cHash=4a95d2f20a#.UdmQElPWEUs. 76 Dennis Van Vranken Hickey, Foreign Policy Making in Taiwan: From Principle to Pragmatism (New York: Routledge, 2007), 48.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
41
demokratisasi di Taiwan yang terjadi pada tahun 1990an di bawah Presiden Lee
Teng-hui menghidupkan kembali kinerja dari NSC. Reformasi NSC di bawah
Presiden Lee Teng-hui kemudian kembali diperkuat oleh beberapa perubahan
yang dibawakan oleh Presiden Chen Shui-bian.77
Di bawah Presiden Ma Ying-jeou, NSC dan staf dari NSC sendiri dipilih
berdasarkan orang-orang yang menurut Ma dapat mendukung keinginannya untuk
membuat kebijakan yang memperbaiki hubungan antara Taiwan dan Cina. Orang-
orang yang dipilih oleh Ma tersebut, dipimpin oleh Su Chi sebagai Sekretaris
Jenderal NSC yang ditunjuk oleh Ma, menjadi kaki dan tangan yang mendukung
Presiden Ma Ying-jeou dalam merumuskan dan membentuk kebijakan
keamanannya.
Dalam membentuk kebijakan keamanannya, sebagai sebuah negara
demokrasi, Presiden Ma tentu tidak hanya mempertimbangkan saran-saran yang
datang dari NSC, tetapi juga harus memperhatikan input-input yang datang dari
sumber lain. Input yang pertama harus diperhatikan oleh Presiden Ma tentu
datang dari parlemen Taiwan, atau apa yang dikenal sebagai Legislative Yuan.
Parlemen Taiwan memegang peranan penting di mana hal-hal penting yang
berkaitan dengan pertahanan seperti anggaran pertahanan sangat dipengaruhi oleh
parlemen Taiwan. Presiden Chen Shui-bian, misalnya, memiliki masalah yang
cukup pelik dalam masa pemerintahannya karena kebijakan-kebijakannya yang
terkait dengan pertahanan sering kali dianggap terlalu ofensif, menyebabkan
kebijakan-kebijakan tersebut banyak dikritik oleh legislator dari KMT dan
golongan biru lainnya. Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan terhambatnya
kebijakan tersebut. Hal ini tidak dihadapi oleh Presiden Ma Ying-jeou, di mana
kemenangannya pada pemilihan presiden pada tahun 2008 didahului oleh
kemenangan KMT dari DPP pada pemilihan legislatif di tahun yang sama. Hasil
pemilihan umum tersebut bahkan memenangkan KMT dalam jumlah yang cukup
signifikan, di mana KMT dan legislator golongan biru lainnya menguasai ¾ dari
total anggota parlemen.78 Hal ini memudahkan kinerja Presiden Ma yang tidak
77 Chen, “The Modernization of Taiwan,” 78 Mo Yan-Chih, “Legislative Elections and Referendums: KMT Vows Not to Abuse Power,” Taipei Times, terakhir dimodifikasi pada 13 Januari 2008, diakses 8 Juli 2013, http://www.taipeitimes.com/News/taiwan/archives/2008/01/13/2003396903.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
42
harus menghadapi hambatan-hambatan dari legislatif seperti yang dihadapi oleh
Presiden Chen sebelumnya.
Opini publik yang terbentuk juga mendukung kebijakan Presiden Ma
untuk memperbaiki hubungan antara Taiwan dan Cina. Seperti yang telah
dijelaskan di atas, Presiden Ma telah memberikan janji untuk memperbaiki
hubungan antara Taiwan dan Cina sejak masa kampanyenya, sehingga pemilihan
Presiden Ma sebenarnya merupakan indikasi bagaimana mayoritas publik Taiwan
telah menyadari akan perlunya perbaikan hubungan antara Taiwan dan Cina. Hal
ini ditunjukkan pula oleh grafik di bawah, di mana dari tahun 2003 hingga tahun
2007, publik Taiwan semakin banyak yang menyetujui perbaikan hubungan
antara Taiwan dan Cina.
Grafik 2.4.1 Dukungan Terhadap Peningkatan Cross-Strait Economic
Exchanges Sumber: Chu Yun Han, “Rapprochement in The Taiwan Strait: Opportunities and Challenges for
Taipei,” East Asian Policy 1, no. 4 (2009): 79, diakses 8 Juli 2013, http://www.eai.nus.edu.sg/Vol1No4_ChuYunhan.pdf.
Faktor domestik terakhir tentu adalah Presiden Ma sendiri sebagai
Presiden Taiwan yang banyak mengambil kebijakan-kebijakan penting dalam
hubungan antara Taiwan dan Cina. Dalam melaksanakan fungsi framing terkait
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
43
dengan situasi di hubungan antar-selat Taiwan dan Cina, Presiden Ma sejak awal
melihat bahwa hubungan antara Taiwan dan Cina dapat bersifat kooperatif dan
mengarah pada perdamaian.79 Hubungan yang bersifat konfliktual, ditandai oleh
ketegangan dan provokasi, menurut Presiden Ma merupakan sesuatu yang
merugikan bagi Taiwan, karena tidak dapat melipatgandakan kesempatan-
kesempatan yang sebenarnya dimiliki oleh Taiwan. Hubungan antara Taiwan dan
Cina yang damai dapat mendatangkan keuntungan yang besar bagi Taiwan,
sekaligus mengurangi resiko-resiko perang yang dapat terjadi antara kedua
negara. Framing yang terjadi di atas, menyebabkan Presiden Ma memilih untuk
mengganti active defensive approach yang dibuat oleh Presiden Chen, menjadi
passive defensive approach.
Sebagai kesimpulan, bab ini telah menjelaskan bagaimana kebijakan
keamanan Taiwan di bawah Presiden Ma Ying-jeou. Kebijakan yang berbentuk
engagement, seperti yang telah dijelaskan oleh Shiping Tang, menjadi kebijakan
yang diambil oleh Presiden Ma. Tiga elemen engagement dari hasil analisa bab ini
dapat terlihat dalam kebijakan keamanan Presiden Ma. Terkait dengan faktor
penyebab pengambilan kebijakan ini, analisa faktor eksternal dan internal
menunjukkan bagaimana faktor eksternal memegang peranan yang secara relatif
lebih penting dalam pembentukan kebijakan keamanan tersebut. Tentu sulit untuk
tidak mempertimbangkan faktor eksternal tersebut, karena faktor eksternal
tersebut merupakan analisa dari perilaku yang ditunjukkan oleh Cina, yang
merupakan ancaman terbesar bagi Taiwan. Perilaku Cina yang masih bersifat
ofensif terhadap Taiwan, terutama di bidang pertahanan, menjadi alasan utama
bagi Taiwan di bawah Presiden Ma Ying-jeou untuk mengeluarkan kebijakan
engagement, karena Presiden Ma menginginkan adanya perbaikan dari kebijakan
Cina tersebut. Dengan kebijakan engagement, diharapkan Cina dapat mengubah
kebijakannya yang bersifat ofensif tersebut, sehingga secara perlahan, dapat
bersifat lebih akomodatif terhadap Taiwan, seperti yang telah terlihat di bidang
ekonomi.
79 Yan Jiann-fa, “A Preliminary Probe into The Chinese Policy of the Ma Ying-jeou Administration”, Taiwan International Studies Quarterly 5, no. 3 (2009): 5-6, diakses 8 Juni 2013, http://www.tisanet.org/quarterly/5-3-1.pdf.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
44
BAB 3
KEBIJAKAN EKONOMI TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-
JEOU DALAM HUBUNGAN ANTAR-SELAT TAIWAN DAN CINA
Ketika Presiden Ma Ying-jeou menerima tampuk kepemimpinan Taiwan
dari mantan presiden Chen Shui-bian, Presiden Ma dihadapkan pada tantangan di
berbagai isu. Isu keamanan menjadi perhatian dengan meningginya provokasi
yang datang dari Cina. Taiwan juga dihadapkan dengan isolasi Taiwan di dunia
internasional, dengan makin tertinggalnya Taiwan dari berbagai inisiatif di level
regional atau internasional. Namun, Presiden Ma menduduki kursi kepemimpinan
dengan satu tugas utama: memperbaiki kondisi ekonomi Taiwan.
Presiden Chen Shui-bian merupakan pemimpin dengan tujuan yang jelas
terhadap masa depan Taiwan, yaitu kemerdekaan Taiwan sebagai negara sendiri
terpisah dari Cina. Posisinya ini diartikan dalam kebijakan ekonomi yang
mencegah agar Taiwan dan Cina bekerjasama secara menyeluruh, meskipun pada
awalnya membuka perdagangan agar terjadi antara kedua negara. Meskipun
perdagangan dan investasi antar Cina dan Taiwan tetap terjadi di bawah Presiden
Chen, kondisi kerjasama tersebut tidak menghasilkan keuntungan maksimal dan
malah memberikan kerugian pada beberapa aspek bagi Taiwan.
Kondisi ini kemudian mendorong Presiden Ma untuk memperbaiki
keadaan tersebut, salah satunya adalah dengan penandatanganan Economic
Cooperation Framework Agreement (ECFA). Kebijakan Presiden Ma untuk
menyetujui pembentukan ECFA ini akan menjadi fokus dari bab kebijakan
ekonomi ini. Bab ini akan berargumentasi bahwa dengan pembentukan institusi
ECFA dalam hubungan ekonomi Taiwan dan Cina, Presiden Ma Ying-jeou
memunculkan ekspektasi yang jelas terhadap keuntungan yang akan didapatkan
Taiwan dari institusi tersebut. Ekspektasi keuntungan tersebutlah yang menjadi
pendorong dibentuknya ECFA.
Bab ini akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai teori Neoliberal
Institusionalisme yang menjadi dasar analisa dari subbab berikutnya di bab ini.
Bagian selanjutnya akan menjelaskan mengenai negosiasi dalam pembentukan
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
45
ECFA dan hasil pembentukan ECFA tersebut di bawah Presiden Ma Ying-jeou.
Subbab selanjutnya dari bab ini akan menjelaskan mengenai salah satu aspek
penting yang dijelaskan dalam neoliberal institusionalisme yaitu konsep
anticipated gain sebagai dasar eksistensi keberadaan institusi tersebut. Subbab
terakhir dari bab ini akan menjelaskan faktor-faktor domestik terkait dengan
pembentukan ECFA itu sendiri.
3.1 Kerangka Konsep Neoliberal Institusionalime
Neoliberal Institusionalisme merupakan perspektif yang muncul untuk
menjawab tantangan-tantangan yang diberikan Realisme terhadap pendekatan
Liberalisme sebelumnya, yang banyak menekankan mengenai idealisme aktor
dalam analisa hubungan antar unit dalam ilmu Hubungan Internasional.
Menjawab pertanyaan tersebut, Neoliberalisme mencoba menggunakan beberapa
asumsi dasar yang ada di dalam Realisme untuk menjelaskan Hubungan
Internasional menurut perspektif mereka yang berbeda dengan apa yang
dipikirkan oleh realisme. Salah satu unsur penting dalam pendekatan ini adalah
fungsi institusi yang menurut Neoliberalisme amat penting dalam menghilangkan
pola hubungan konfliktual antar negara dan menjadikan hubungan bersifat lebih
kooperatif. Bagian teori ini akan menjelaskan mengenai Neoliberal
Institusionalisme dan beberapa asumsi dasar yang diberikan di dalamnya. Lebih
lanjut lagi, bagian ini akan memberikan penjelasan mengenai tiga insentif
mengapa dua negara dapat memilih untuk bekerjasama dan membentuk institusi.
Tiga insentif tersebut kemudian akan digunakan dalam bab ini untuk melihat
kebijakan Presiden Ma Ying-jeou dalam bidang ekonomi yang
menginstitusionalisasikan hubungan ekonomi Taiwan dengan Cina melalui
Economic Cooperation Framework Agreement (ECFA).
3.1.1 Neoliberal Institusionalisme
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Neoliberalisme merupakan
jawaban yang diberikan oleh pemikir-pemikir liberal terhadap tantangan-
tantangan yang diberikan oleh pemikiran Realisme, terutama sebagai kritik
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
46
terhadap Neorealisme yang sedang berkembang saat itu. Neoliberalisme
memberikan tantangan tersebut dengan cara mengadopsi beberapa asumsi-asumsi
dasar yang digunakan oleh Neorealisme dan mencoba menunjukkan bahwa
prediksi negatif yang diberikan oleh Neorealisme atas dunia dengan asumsi
tersebut merupakan sebuah hal yang salah.
Neoliberalisme memiliki beberapa asumsi dasar yang membedakannya
dengan pemikiran Liberalisme Klasik, sekaligus menggambarkan posisinya yang
berbeda dengan Realisme terhadap asumsi tersebut. Kesamaan antara asumsi
tersebut terlihat pada pemilihan Neoliberalisme untuk menggunakan negara
sebagai unit analisa utama, sebuah perbedaan dari Liberalisme Klasik yang tidak
mengakui bahwa negara adalah aktor utama dan melihat bahwa terdapat banyak
aktor di dalam lingkungan domestik negara yang mempengaruhi negara dalam
hubungan luar negerinya.80 Selain itu, negara diasumsikan untuk bersikap secara
rasional dalam memilih kebijakan luar negerinya.
Perbedaan paling penting antara Neorealisme dan Neoliberalisme adalah
pandangan keduanya terhadap efek yang diberikan oleh sistem internasional yang
bersifat anarki dan struktur internasional di dalamnya. Sistem internasional yang
bersifat anarki, menurut Neorealisme, membuat kesempatan bagi negara untuk
bekerjasama menjadi sangat kecil jadinya. Neorealisme menilai bahwa meskipun
kerjasama dimungkinkan dengan adanya common goal antara dua negara, namun
negara akan memikirkan mengenai relative gain yang akan didapatkan dari
kerjasama, dan karena realisme cenderung menganalisa menggunakan zero-sum
game, maka sebuah negara akan selalu dirugikan dalam kerjasama, membuat
negara akan sulit mencapai kerjasama. Selain itu, kerjasama juga sulit
dilaksanakan karena keterbatasan negara dalam mengetahui preferensi dan
keinginan negara lain, sehingga permasalahan seperti free-rider dan kecurangan
dalam kerjasama mungkin terjadi.
Neoliberalisme tidak menolak bahwa kerjasama antara negara di dalam
dunia yang bersifat anarki memang sulit untuk dilaksanakan. Keohane bahkan
menjelaskan bahwa dua negara dengan common goal tidak selalu berakhir dengan
80 Jennifer Sterling-Folker, “Neoliberalism,” dalam International Relations Theories: Discipline and Diversity, 3rd ed., ed. Tim Dunne, Milja Kurki, dan Steve Smith (New York: Oxford Universit Press, 2010), 118.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
47
kerjasama.81 Hanya saja, Neoliberalisme menilai bahwa hal ini bukanlah sesuatu
yang tidak mungkin dilaksanakan. Neoliberalisme menilai bahwa kuncinya
terdapat pada perkembangan di dunia hubungan internasional, di mana institusi-
institusi semakin berkembang dalam hubungan antar negara. Institusi
internasional memegang peranan penting, karena institusi internasional dapat
menghilangkan permasalahan-permasalahan yang menyebabkan negara mungkin
terhambat untuk melaksanakan kerjasama. Institusi akan memberikan jalur bagi
negara untuk memastikan preferensi negara lain melalui institusi tersebut. Lebih
lanjut lagi, ekspektasi terhadap interaksi di masa depan yang terjadi secara
reguler, memberikan dorongan bagi negara untuk tidak melaksanakan
kecurangan-kecurangan.82 Nilai-nilai yang diberikan oleh institusi ini menjadi
sumber keyakinan bagi para penganut Neoliberalisme bahwa biarpun negara
berada di dalam sistem anarki, dan negara tersebut adalah negara yang memiliki
kepentingan diri sendiri yang ingin diperjuangkan, kerjasama antar negara
merupakan sesuatu yang masih mungkin dilakukan dengan pengaruh baik dari
institusi.
3.1.2 Institusi dalam Neoliberal Institusionalisme
Dengan penjelasan yang diberikan di atas, kita dapat melihat bahwa
pemikiran Neoliberalisme mengambil posisi yang sama dengan Neorealisme
tentang posisi penting dari negara sebagai unit analisis, dan kebijakan-
kebijakannya yang diasumsikan akan memilih kebijakan yang paling rasional
baginya. Namun yang berbeda dengan Realisme, Neoliberalisme berargumentasi
bahwa berpikir secara rasional tidak sama dengan berpikiran egoistis.83 Menurut
Neoliberalisme, berpikir rasional tidak selalu menghasilkan pola hubungan
konfliktual, karena kerjasama mungkin saja terjadi terutama ketika terdapat
adanya kepentingan bersama antara dua negara.
Salah satu unsur utama yang dapat membantu dalam kerjasama tersebut,
menurut Neoliberalisme, adalah dengan adanya institusi yang terbentuk antara
81 Robert O. Keohane, After Hegemony: Cooperation and Discord in the World Political Economy (New Jersey: Princeton University Press, 1984), 54. 82 Sterling-Folker, “Neoliberalism,” 123. 83 Keohane, After Hegemony, 73.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
48
aktor-aktor yang bekerjasama. Institusi, atau sering kali digunakan pula istilah
rezim, didefinisikan sebagai:
“Sets of implicit or explicit principles, norms, rules, and decision-making procedures around which actors’ expectations converge in a given area of international relations. Principles are beliefs of facts, causation, and rectitude. Norms are standards of behavior defined in terms of rights and obligations. Rules are specific prescriptions or proscriptions for action. Decision-making procedures are prevailing practices for maing and implementing collecive choice”.84
Berangkat dari definisi di atas, Robert O. Keohane menjelaskan mengenai
insentif apa yang menyebabkan dua atau lebih aktor untuk memilih bekerjasama
melalui pembentukan institusi di dalamnya. Untuk menjelaskannya, Keohane
menggunakan ‘functional arguments’. Functional arguments merupakan cara
berpikir yang melihat sesuatu dari efek yang diharapkan akan diberikan olehnya.
Berkaitan dengan institusi, Keohane menjelaskan bahwa sebuah institusi dapat
dijustifikasi dengan melihat ekspektasi keuntungan yang akan didapatkan oleh
aktor aktor yang membuat dan mempertahankan institusi tersebut. Keberadaan
institusi diharapkan mampu memberikan kemakmuran lebih kepada aktor-
aktornya.
Keohane kemudian menjelaskan mengenai ekspektasi tersebut
menggunakan functional argument menganalisa Teorema Coase 85 , yang
menghasilkan bahwa insentif negara untuk membentuk institusi dapat
diklasifikasi menjadi tiga, yaitu legal liability (property rights), transactional
cost, dan uncertainty and information.
a. Legal liability
Aspek pertama yaitu legal liability. Aspek ini berkaitan dengan institusi
internasional yang mampu merubah aksi yang diambil negara agar sesuai
dengan tujuan bersama dan mampu menghasilkan konvergensi yang
84 Ibid., 57 85 Teorema Coase merupakan hasil pengembangan dari artikel yang dikeluarkan oleh Ronald Coase yang membahas mengenai eksternalitas dan kerjasama antara aktor. Teorema Koase berargumentasi bahwa adanya eksternalitas saja tidak menjamin terhambatnya koordinasi antara aktor aktor yang memiliki independensi. Dalam beberapa kondisi, menutur Coase, negosiasi antara aktor aktor tersebut dapat menghasilkan solusi yang menghasilkan keuntungan maksimal bagi aktor aktor tersebut, biarpun tidak adanya paksaan hukum terhadap aktor tersebut. Implementasi dari Teorema Coase ini digunakan dalam membahas mengenai hubungan internasional, di mana tidak ada entitas supra nasional yang dapat mengikat negara seperti negara mengikat masyarakat.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
49
diinginkan dalam kerjasama tersebut. Keohane menyadari bahwa dengan
sistem internasional yang bersifat anarki, maka institusi internasional tidak
akan memiliki status formal seperti yang dimiliki oleh hukum di dalam
level domestik. Tetapi, seperti apa yang dijelaskan oleh Fellner, institusi
internasional didefinisikan lebih sebagai sebuah ‘quasi-agreements’. Sifat
dari quasi-agreements ini tidak mengikat secara hukum, tetapi membantu
untuk mengorganisasikan hubungan yang terjadi agar dapat saling
menguntungkan. Institusi juga dapat mengandung konvensi, di mana
terdapat practices yang diikuti oleh semua negara. Dengan demikian,
aspek ini berkaitan dengan penciptaan sebuah ekspektasi dari semua aktor
dalam institusi terhadap pola perilaku tiap aktor lainya, dan menciptakan
hubungan kerjasama sehingga aktor-aktor tersebut dapat beradaptasi
terhadap situasi-situasi baru.
b. Transaction Cost
Terkait dengan aspek transaction cost, institusi internasional diharapkan
dapat mendatangkan beberapa manfaat. Pertama, institusi internasional
dapat memberikan insentif lebih besar kepada negara untuk tidak
melaksanakan defection. Hal ini karena keterlibatan sebuah negara dalam
institusi membuat negara tersebut terlibat dalam kerjasama yang bersifat
jangka panjang dan dalam beberapa isu, sehingga dorongan untuk
melaksanakan defection dari keuntungan jangka pendek dapat dikalahkan
dengan beratnya implikasi jangka panjang jika sebuah negara melakukan
defection. Kedua, transaction cost bagi negara-negara di dalam sebuah
institusi akan semakin berkurang, karena akan menjadi semakin mudah
bagi negara untuk duduk bersama dan menegosiasikan sebuah perjanjian.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, salah satu unsur penting dari institusi
adalah prinsip yang dikandungnya. Dengan keberadaan institusi yang telah
terbentuk, aktor-aktor yang ingin menegosiasikan perjanjian baru tidak
perlu menegosiasikan prinsip tersebut kembali, dan cukup mengambilnya
dari institusi yang telah tercipta.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
50
c. Uncertainty and Information
Aspek terakhir adalah uncertainty and information dalam pembentukan
institusi internasional. Mengambil penjelasan yang diberikan oleh
Teorema Coase, kondisi internasional di mana tidak adanya institusi
menyebabkan terjadinya kurangnya distribusi informasi terhadap aktor-
aktor, dan hal ini menyebabkan terciptanya kerjasama yang
menguntungkan bagi kedua pihak menjadi tidak dapat tercapai. Fungsi
institusi adalah memperbaiki kondisi ini, dengan koordinasi kebijakan
yang terjadi, sehinggga aktor-aktor akan terdorong untuk membuka
informasi dan preferensinya terhadap suatu hal.
Keohane juga menjelaskan mengenai tiga hal yang menyebabkan
uncertainty di dalam dunia internasional terjadi, bahkan di dalam sebuah
institusi internasional yang telah terbentuk. Pertama, adanya kondisi
asimetris dalam pembagian informasi. Keohane menjelaskan bahwa
adanya rezim memang membuka kesempatan bagi negara yang menjadi
anggota institusi tersebut untuk membuka preferensi dan intensinya
dengan negara lain, tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan tetap
terciptanya kondisi asimetris, karena terdapat perbedaan bagi setiap negara
dalam keinginannya untuk membuka intensi dan preferensinya tersebut.
Kedua, terdapat moral hazard, di mana Keohane menjelaskan bahwa
dalam sebuah kerjasama, perubahan yang terjadi mungkin saja
memberikan insentif kepada perilaku yang sifatnya tidak kooperatif.
Ketiga, terdapat juga permasalahan dengan irresponsibility, yaitu aktor-
aktor yang tidak mampu menjalankan komitmen dalam institusi yang
mereka ikuti.86
3.2 Kebijakan Ekonomi Taiwan di Bawah Presiden Ma: Institusionalisasi
dan Penandatanganan ECFA
Presiden Ma Ying-jeou menaiki kursi kepresidenan di tengah kondisi
ekonomi yang semakin memburuk di bawah Presiden Chen Shui-bian. Presiden
Chen Shui-bian mengimplementasikan kebijakan ekonomi yang menekan
86 Ibid., 88-96.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
51
hubungan ekonomi antara Taiwan dengan Cina. Presiden Chen pada masa awal
pemerintahannya membiarkan hubungan ekonomi antar kedua negara untuk terus
berkembang. Hanya saja, seiring dengan semakin nyatanya intensi Chen untuk
mendorong Taiwan pada independensi, beberapa kebijakan Presiden Chen
akhirnya menekan hubungan ekonomi Taiwan dengan Cina. Contohnya adalah
saat Presiden Chen mengimplementasikan kebijakan “Active Management,
Effective Opening”, yang memaksa investor-investor Taiwan untuk
mendiversifikasi tujuan investasi selain dari Cina.87
Tekanan yang diberikan oleh masyarakat agar pemerintahan Taiwan
memperbaiki hubungan dengan Cina berujung dengan dilantiknya Presiden Ma
Ying-jeou sebagai Presiden Taiwan pada pemilihan umum di Taiwan pada tahun
2008. Presiden Ma Ying-jeou pada masa kampanyenya telah menjanjikan adanya
normalisasi hubungan antara Taiwan dan Cina serta kebijakan yang akan
memperkuat hubungan ekonomi antara keduanya.88 Salah satu proposal yang
diajukan Ma untuk memperbaiki kondisi ekonomi tersebut adalah melalui
penandatanganan kerjasama ekonomi antara Cina dan Taiwan, yang kemudian
dikenal sebagai Economic Cooperation Framework Agreement (ECFA). Subbab
ini akan menjelaskan mengenai pembentukan ECFA dan 4 elemen dari institusi
seperti yang dijelaskan oleh Keohane, yaitu principle, norms, rules, dan decision-
making.
3.2.1 Proses Negosiasi ECFA
Ketika Presiden Ma Ying-jeou terpilih pada tahun 2008, Presiden Ma
Ying-jeou merealisasikan janjinya untuk memperbaiki hubungan dengan Cina.
Salah satu hal paling penting yang dilaksanakannya adalah mengadopsi kembali
Konsensus 1992, yang menjadi prinsip dasar kerjasama kedua pihak sebelum
terjadi ketegangan antara keduanya. Dengan kebijakan Ma untuk mengadopsi
konsensus tersebut, maka kerjasama dan komunikasi antara keduanya dapat
dimulai kembali. Hal ini terwujud dengan dimulainya kembali pertemuan antara
87 Chiu Yut-zu, “Chen to Tighten Cross-Strait Policies,” Taipei Times, terakhir dimodifikasi pada 2 Januari 2006, diakses 1 Juni 2013, http://www.taipeitimes.com/News/front/archives/2006/01/02/2003287016. 88 Mo Yan-Chih, Ko Shu-ling, dan Shih Hsiu-cuan, “Decisive Victory for Ma Ying-jeou,” Taipei Times, terakhir dimodifikasi pada 23 Maret 2008, diakses 2 Juni 2013, http://www.taipeitimes.com/News/front/archives/2008/03/23/2003406711.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
52
Straits Exchange Foundation (SEF) yang mewakili Taiwan dan Association for
Relations Across the Taiwan Strait (ARATS) yang mewakili Beijing.89
Terbukanya kembali kerjasama dan dialog antara Cina dan Taiwan akan
menjadi bagian penting dari dibentuknya ECFA. Satu tahun berlalu sejak dialog
antara SEF dan ARATS dimulai kembali, pada tahun 2009 bulan Desember
dimulailah pembicaraan antara SEF dan ARATS tentang pembentukan ECFA
pada Pertemuan Chiang-Chen yang keempat.90 Pertemuan-pertemuan selanjutnya
untuk membahas lebih lanjut mengenai pembuatan ECFA pun terus berlanjut.
Terdapat 5 ronde negosiasi yang dilakukan antara SEF dan ARATS sebelum pada
akhirnya tercapailah kesepakatan untuk penandatanganan perjanjian ECFA. SEF
yang mewakili Taiwan dipimpin oleh Chiang Pin-kung dan ARATS yang
mewakili Cina dipimpin oleh Chen Yunlin menjadi perwakilan kedua belah pihak
untuk meresmikan perjanjian tersebut pada bulan Juni 2010.91
Proses negosiasi pembentukan ECFA memang sangat cepat, yaitu hanya
dalam rentang waktu 6 bulan dan melalui 5 negosiasi saja. Tetapi, proses
pembicaraan antara kedua pihak untuk membentuk kerjasama ekonomi secara
terinstitusionalisasi sebenarnya telah terbentuk sejak tahun 1991. Telah terjadi 37
kali pertemuan antara SEF dan ARATS dalam membicarakan mengenai
kerjasama ekonomi antara Taiwan dan Cina, sebelum akhirnya negosiasi tersebut
‘dibekukan’ akibat memanasnya hubungan Taiwan dan Cina.92
3.2.2 ECFA dan 4 Elemen Institusi Keohane
Dengan penandatanganan ECFA, Taiwan dan Cina memasuki sebuah
masa baru dalam kerjasama ekonomi antara kedua negara ini. ECFA menjadi
puncak dari momentum membaiknya kerjasama antara Taiwan dan Cina, sesuatu
89 Jonathan Sullivan dan Eliyahu V. Sapir, “Ma Ying-jeou’s Presidential Discourse,” Journal of Current Chinese Affairs 41, No. 3 (2012): 36, diakses 24 Mei 2013, http://hup.sub.uni-hamburg.de/giga/jcca/article/view/533/531. 90The China Post, “Chiang-Chen Meeting to Herald Start of ECFA Talks,” terakhir dimodifikasi pada 18 November 2009, diakses 1 Juni 2013, http://chinapost.com.tw/taiwan/china-taiwan-relations/2009/11/18/233152/Chiang-Chen-meeting.htm. 91 The China Post, “ECFA Signed,” terakhir dimodifikasi pada 30 Juni 2010, diakses 1 Juni 2013, http://www.chinapost.com.tw/taiwan/china-taiwan-relations/2010/06/30/262692/ECFA-signed.htm. 92 Y.C. George Lin, “The Background and Impacts of ECFA on China and Taiwan,” (makalah dipresentasikan di National Chung Cheng University, Taiwan, 19 Maret 2011), 4.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
53
yang diinisiasi oleh pemerintahan Taiwan di bawah Presiden Ma, didukung oleh
rakyat Taiwan, dan mendapat respon positif dari pemerintahan Cina. Bagian ini
akan membahas mengenai ECFA sebagai sebuah institusi internasional dan
mencoba menganalisa 4 elemen dari ECFA sebagai sebuah institusi internasional,
sesuai dengan definisi dari Robert Keohane yang digunakan dalam makalah ini.
Sebagai sebuah perjanjian, ECFA didefinisikan sebagai kerangka
kerjasama antara pihak Taiwan dan Cina untuk mencapai liberalisasi ekonomi
yang diinginkan sehingga kerjasama antara kedua pihak akan semakin meningkat.
Karakteristik dari perjanjian semacam ini, menurut Pemerintah Taiwan, adalah
memberikan aturan yang jelas antara pihak-pihak di dalamnya ketika membuat
perjanjian kerjasama ekonomi di depannya. ECFA juga akan memberikan target
dan rentang jangka waktu, dan hal-hal tersebut akan dilaksanakan secara bertahap.
Melalui ECFA, masalah-masalah penting dapat diselesaikan terlebih dahulu,
menyelesaikan masalah yang simpel terlebih dahulu dibandingkan masalah
kompleks, dan oleh karenanya cocok untuk digunakan di dalam konteks hubungan
kerjasama yang rumit antara Taiwan dan Cina.93
ECFA terdiri dari 5 bab yang terbagi kembali menjadi 16 pasal di
dalamnya. Bab pertama menjelaskan mengenai prinsip-prinsip dasar dari
perjanjian ECFA, yaitu terdiri dari tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh ECFA,
serta bentuk-bentuk kerjasama yang ingin dicapai dalam ECFA ini. Bab kedua
terkait dengan perdagangan dan investasi. Bab ini menjabarkan mengenai
kesepakatan-kesepakatan yang dicapai oleh Taiwan dan Cina terkait dengan
perdagangan barang, jasa, dan investasi antara kedua negara. Secara umum, pasal-
pasal pada bab ini menjelaskan mengenai perlunya konsultasi antara kedua belah
pihak untuk mengurangi hambatan-hambatan untuk barang, jasa, dan investasi
untuk mengalir bagi kedua belah pihak. Bab ketiga menjelaskan mengenai
kerjasama-kerjasama ekonomi lainnya yang dapat dilaksanakan antara kedua
belah pihak, seperti kerjasama di bidang hak kekayaan intelektual, kerjasama
finansial, promosi dan fasilitasi perdagangan, kerjasama di bidang e-commerce,
dan lain-lainnya. Bab 4 menjelaskan secara spesifik mengenai Early Harvest di
93 Mainland Affairs Council, Cross-Strait Economic Cooperation Framework Agreement: Policy Explanation, (Taipei: Mainland Affairs Council, 2009), http://www.mac.gov.tw/public/Data/962614391871.pdf, 5.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
54
dalam perjanjian ECFA. Early Harvest ini program di dalam ECFA di mana
kedua negara akan mengurangi hambatan-hambatan, baik tarif maupun non-tarif,
kepada barang dan jasa untuk dapat memasuki baik Taiwan ataupun Cina. Early
Harvest ini akan diterapkan kepada 539 pos barang-barang ekspor Taiwan yang
akan memasuki Cina, dan 267 barang-barang ekspor Cina yang akan memasuki
Taiwan. Pengurangan tarif yang akan diberikan berbeda dan bertahap, bergantung
dari tarif awal ketika ECFA belum berjalan (lihat tabel di bawah). Bab terakhir
dari ECFA memberikan penjelasan mengenai hal-hal lain dalam perjanjian ini,
seperti mengenai penyelesaian pertikaian, pembentukan komite ECFA,
dokumentasi, dan lain-lain.94
Tabel 3.2.2.1 Skema Pengurangan Tarif dalam Program Early Harvest ECFA
Tarif Impor pada tahun
2009 (X%)
Angka Tarif berdasarkan perjanjian
Tahun Pertama
Implementasi
Program Early
Harvest
Tahun Kedua
Implementasi
Program Early
Harvest
Tahun Ketiga
Implementasi
Program Early
Harvest
1 0 <X≤ 2,5 0
2 2,5 ≤X≤ 7,5 2,5 0
3 X> 7,5 5 2,5 0 Sumber: Annex 1 Economic Cooperation Framework Agreement
Dari penjelasan di atas, kita dapat menganalisa ECFA sebagai sebuah
institusi internasional dari 4 elemen yang telah dijelaskan oleh Robert Keohane.
Aspek pertama dari institusi adalah prinsip-prinsip. Seperti yang telah dijelaskan
di atas, ECFA memiliki prinsip-prinsip yang cukup jelas. Sebagai anggota dari
WTO, Cina dan Taiwan akan mengikuti prinsip-prinsip untuk secara bertahap
mengurangi hambatan tarif dan non-tarif, meningkatkan investasi dan
perdagangan, sehingga liberalisasi perdagangan antara kedua negara dapat
94 disadur dari teks lengkap ECFA. ECFA, Cross-Strait Economic Cooperation Framework Agreement, http://www.ecfa.org.tw/EcfaAttachment/ECFADoc/ECFA.pdf.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
55
tercapai.95 Prinsip ini memiliki arti penting, karena ECFA merupakan sebuah
perjanjian yang bersifat kerangka kerjasama, di mana ECFA akan menjadi
patokan bagi kerjasama-kerjasama di masa depannya.
Elemen kedua di dalam sebuah institusi menurut Keohane adalah norma-
norma di dalamnya, yang mengatur mengenai hak dan kewajiban bagi anggota
dalam institusi. Norma yang terdapat dalam ECFA menghasilkan beberapa
kewajiban. Kewajiban tersebut terlihat dari kewajiban baik Taiwan dan Cina
untuk melaksanakan liberalisasi-liberalisasi bagi pos-pos yang disetujui. Lebih
lanjut lagi, norma yang digunakan di dalam perjanjian ini menurut Taiwan akan
dijalankan dengan menghargai kesamaan hak, penghormatan terhadap harga diri
negara, dan berbasis pada fairness.96 Hak-hak yang diatur bagi Taiwan dan Cina
digambarkan pada bab 5 di perjanjian ECFA, yang menggambarkan hak-hak
seperti memberikan pengecualian-pengecualian untuk liberalisasi barang-barang
yang dirasa masih belum cukup kuat jika hambatan dikeluarkan.97
Elemen ketiga sebuah institusi menurut Keohane adalah peraturan-
peraturan spesifik yang mengatur kebijakan yang diperbolehkan dan dilarang bagi
anggota institusi berkaitan. Terkait dengan elemen ini, penulis melihat bahwa
setidaknya ECFA memberikan ketentuan yang bersifat spesifik pada program
Early Harvest yang ada di dalamnya. Pada program tersebut dijelaskan secara
spesifik mengenai pos-pos barang apa saja yang akan dikurangi tarifnya, dan
mekanisme pengurangan tarifnya pun dijelaskan secara rinci.98
Elemen keempat yang ada di dalam sebuah institusi adalah keberadaan
decision-making process antara anggota-anggota di dalamnya. Untuk memenuhi
elemen ini, ECFA memiliki dua jenis proses pembentukan kebijakan yang akan
diteruskan dari ECFA ini. Pertama, ECFA menetapkan keberadaan konsultasi-
konsultasi antara Taiwan dan Cina terkait dengan kerjasama-kerjasama ekonomi
yang akan menggunakan kerangka ECFA ini. Hal ini akan dilaksanakan di dalam
pertemuan-pertemuan selanjutnya dari SEF dan ARATS. Kedua, dibentuk juga
sebuah komite ECFA. Tugas komite ECFA ini terdiri dari pengawasan terhadap
95 Ibid., bab 1. 96 “ECFA Background,” Mainland Affairs Council, terakhir dimodikasi pada 21 April 2010, diakses 21 Mei 2013, http://www.mac.gov.tw/public/data/051116322071.pdf. 97 ECFA, Economic Cooperation Framework Agreement, 98 Ibid., Bab 4, Annex 1 ECFA.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
56
ECFA, interpretasi terhadap pasal-pasal di dalam ECFA, dan juga menyelesaikan
pertikaian apabila terjadi.99
Bagian di atas telah menjelaskan bagaimana ECFA memenuhi 4 elemen-
elemen yang harus dimiliki oleh sebuah institusi internasional. Sifat dari ECFA
yang hanya merupakan sebuah kerangka kerjasama menjadikan ECFA tidak
menfokuskan pada peraturan yang sifatnya spesifik. Tetapi, hal ini diimbangi
dengan peran lebih berat yang dimiliki ECFA sebagai pembuka dari kerjasama-
kerjasama ekonomi ke depannya bagi Taiwan dan Cina, di mana prinsip-prinsip
dari kerjasama tersebut sudah diletakkan di dalam ECFA.
3.3 Dasar Eksistensi ECFA: Anticipated Gain dari Perspektif Taiwan
Subbab selanjutnya pada bab ini akan menjelaskan mengenai justifikasi
pembentukan ECFA. Pertama, penulis akan menjelaskan mengenai alasan-alasan
pembentukan ECFA. Seperti yang dijelaskan oleh Robert Keohane, pembentukan
sebuah institusi internasional merupakan efek dari adanya antisipasi terhadap
keuntungan-keuntungan yang dapat diberikan oleh institusi tersebut. Tiga hal
yang disebutkan oleh Keohane sebagai keuntungan yang diantisipasi tersebut
adalah legal liability, pengurangan terhadap biaya transaksi, dan menghilangkan
ketidakpastian dan asimetri informasi.
Di dalam perspektif Neoliberal Institusionalisme, negara-negara
diasumsikan memiliki karakteristik yang sama seperti yang diasumsikan oleh
Realisme, di mana negara merupakan aktor rasional yang akan memikirkan
mengenai kepentingannya dalam hubungannya dengan negara lain. Berbeda
dengan Realisme yang bersikap pesimis terhadap dunia yang diisi oleh aktor
negara tersebut, Neoliberal Institusionalisme percaya akan pengaruh yang
diberikan oleh institusi dalam membuat hubungan antar negara menjadi tidak
konfliktual. Di bawah ini, penulis akan menjelaskan dampak-dampak yang
diberikan oleh ECFA dalam hubungan Taiwan dan Cina sebagai sebuah institusi
sesuai dengan tiga anticipated gain menurut Keohane.
99 Ibid., Bab 5, Pasal 11.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
57
3.3.1 Legal Liability
Keuntungan pertama yang diberikan oleh Keohane terkait dengan legal
liability yang diberikan oleh institusi. Seperti yang dijelaskan Keohane, hal ini
berkaitan dengan hak dan kewajiban yang dibentuk oleh institusi berkaitan, dan
juga oleh common practices yang tercipta dalam institusi. Hak dan kewajiban
serta common practices kemudian akan membentuk ekspektasi mengenai
hubungan masa depan bagi kedua anggota institusi tersebut.
Dari definisi di atas, kita dapat melihat bahwa ekspektasi akan kerjasama
yang berkelanjutan menjadi kata kunci. Hal ini menurut penulis terjadi di ECFA,
di mana Taiwan memiliki beberapa tujuan nyata mengapa Taiwan memilih untuk
memperkuat kerjasama dengan Cina melalui institusi ECFA. Pertama, Taiwan
mengharapkan adanya normalisasi hubungan antara Taiwan dan Cina, khususnya
di bidang ekonomi.100 Secara ekonomi, institusionalisasi dari status quo kerjasama
ekonomi antara Cina dan Taiwan merupakan hal yang diinginkan oleh Taiwan.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Cina dan Taiwan memiliki hubungan
ekonomi yang telah terbangun secara mendalam, baik di segi investasi maupun
perdagangan. Dari segi perdagangan, misalnya, perdagangan antara Cina dan
Taiwan sudah bertahun-tahun menjadi sumber satu-satunya surplus neraca
perdagangan bagi Taiwan. Neraca perdagangan Taiwan dengan negara-negara
lain secara total menghasilkan angka defisit, dan hanya karena adanya hubungan
perdagangan Cina dan Taiwanlah yang menyebabkan angka tersebut menjadi
surplus bagi Taiwan. Kondisi ini tentu menjadi amat penting bagi Taiwan untuk
dipertahankan, karena hubungan kerjasama tersebut menguntungkan bagi Taiwan
di mana nilai ekspor memegang perananan yang amat penting bagi Taiwan. ECFA
diharapkan mampu mempertahankan nilai kompetitif dari barang-barang Taiwan
di pasar Cina, terutama saat Cina tengah meningkatkan jumlah perjanjian
perdagangan bebas dengan negara atau wilayah lain, seperti dengan ASEAN.101
Menurut perhitungan dari Mainland Affairs Council (MAC), ECFA diharapkan
mampu meningkatkan pertumbuhan Taiwan sebanyak 1,65%-1,72%.102
100 Mainland Affairs Council, “ECFA Background,” 2-4. 101 Mainland Affairs Council, ECFA Policy Explanation, 8. 102 Mainland Affairs Council, “ECFA Background,” 4.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
58
Realisasi dari ekspektasi di atas terlihat pada perkembangan nilai total
perdagangan antara Cina dan Taiwan pada tahun 2010 meningkat sebanyak 36%
dibandingkan pada tahun sebelumnya.103 Pada tahun 2010, peningkatan ekspor
tersebut hanya mencapai nilai 9%, dan yang mengkhawatirkan adalah, impor
Taiwan dari Cina meningkat mencapai 30%.104 Sementara pada tahun 2012,
ekspor Taiwan meningkat sebanyak 5,8%, sementara impor Taiwan dari Cina
meningkat sebanyak 4,8%.105 Jika kita melihat data di atas, terlihat memang
bahwa ekspor Taiwan ke Cina sebenarnya menurun. Tetapi, ada beberapa hal
yang menurut penulis patut diperhatikan. Pertama, ekspor Taiwan ke Cina
merupakan bagian dari rantai produksi perusahaan-perusahaan Taiwan yang
berinvestasi di Cina, di mana kebanyakan perusahaan tersebut bergantung dari
permintaan yang datang dari Amerika Serikat dan wilayah Eropa. Permasalahan
ekonomi global yang muncul, serta permasalahan ekonomi yang juga terjadi
secara regional di wilayah Eropa, ikut memberikan dampak kepada nilai ekspor
Taiwan yang terkesan menurun.
Hal lain yang amat diharapkan dari Taiwan adalah keberadaaan ECFA
yang mampu membuat Taiwan tidak semakin tertinggal dengan tren perdagangan
bebas antar negara-negara di dunia. Sebelum ECFA, Taiwan sulit untuk
menciptakan perjanjian perdagangan bebas dengan negara lain, karena pengaruh
dari tekanan yang diberikan oleh Cina kepada negara-negara lain di dunia.
Tercatat pada 2008 Taiwan hanya memiliki kerjasama perdagangan bebas dengan
beberapa negara kecil di Amerika Tengah. 106 Kondisi ini diharapkan akan
membaik dengan ditandatangannya ECFA antara Cina dan Taiwan. Berdasarkan
beberapa studi yang telah dilaksanakan, seperti oleh American Chamber of
Commerce, Japanese Chamber of Commerce, dan European Chamber of
Commerce, semua menyatakan bahwa perjanjian ECFA akan membuka jalan 103 Dong Wang, “ECFA and the Elections: Implications for Cross-Strait Relations,” China Brief 12, no. 1 (2012), diakses 1 Juni 2013, http://www.jamestown.org/single/?no_cache=1&tx_ttnews[tt_news]=38855. 104 “Brief Summary Cross-Strait Economic Statistics 2011,” Mainland Affairs Council, diakses 12 Mei 2013. http://www.mac.gov.tw/public/Attachment/22159522847.pdf. 105 “Taiwan-China Trade Reached US$168,96 billion in 2012: China Customs,” Taipei Mission in The Republic of Latvia, terakhir dimodifikasi pada 18 Januari 2013, diakses 1 Juni 2013, http://www.roc-taiwan.org/LV/ct.asp?xItem=345712&ctNode=7925&mp=507. 106 Chiang Min-Hua, “Cross-Strait Economic Integration in the Regional Political Economy,” International Journal of China Studies 2, no. 3 (2011): 693, diakses 2 Juni 2013, http://cmsad.um.edu.my/images/ics/IJCSV2N3/IJCSV2N3-chiang.pdf.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
59
terhadap negosiasi pembentukan FTA dengan negara-negara tersebut, yang
merupakan rekan dagang utama Taiwan selain Cina.107
Terkait dengan ekspektasi ini, hasil yang didapatkan belum seperti yang
diinginkan oleh Taiwan. Taiwan memang telah membuka pembicaraan dengan
beberapa negara, dan beberapa negara pun telah menunjukkan ketertarikannya
untuk memiliki hubungan FTA dengan Taiwan. Di antara negara tersebut antara
lain adalah India, Indonesia, Filipina dan Singapura. Namun sampai pada tahun
2012, kemajuan di aspek ini berjalan di tempat karena Taiwan tidak berhasil
menciptakan hubungan kerjasama dengan negara lain. Hanya saja pada tahun
2013, dua negara akan segara menandatangani kerjasama FTA dengan Taiwan,
yaitu Singapura dan New Zealand.108 Hal ini tentu menunjukkan tren yang
menjanjikan bagi Taiwan, meskipun perkembangan lebih lanjut harus ditunggu
untuk pelaksanaan FTA antara Taiwan dengan negara lain.
3.3.2 Transaction Cost
Keuntungan lain yang dapat diharapkan dari adanya sebuah institusi
internasional adalah transaction cost yang akan semakin menurun antara negara-
negara yang berpartisipasi. Secara simpel, Keohane menjelaskan bahwa institusi
internasional akan menyebabkan frekuensi pertemuan antara anggota institusi
menjadi meningkat. Terkait dengan hal ini, kita dapat melihat bahwa Taiwan dan
Cina akan memiliki pertemuan rutin yang semakin meningkat dengan adanya
ECFA. Konsultasi dan pertemuan akan semakin meningkat sesuai dengan
kebutuhan antara kedua negara.
Lebih lanjut lagi, Robert Keohane menuliskan bahwa menurunnya
transaction cost akan sangat berhubungan dengan meningkatnya linkages
(penghubungan) antara isu-isu terkait. Dalam melihat linkages dalam ECFA,
dapat terlihat bahwa ECFA akan menjadi penghubung utama antara Cina dan
Taiwan dengan kerjasama ekonomi di bidang lain di masa depan. ECFA memang
hanya mengandung klausa yang spesifik terkait dengan early harvest, namun
107 Mainland Affairs Council, “ECFA Background,” 5. 108 Joseph Yeh, “Negotiations with Singapore on Free Trade Pact Completed, Signings Expected,” The China Post, 18 Mei 2013, diakses 1 Juni 2013, http://www.chinapost.com.tw/taiwan/foreign-affairs/2013/05/18/378899/Negotiations-with.htm.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
60
ECFA juga membuka untuk kerjasama lebih lanjut di berbagai bidang, seperti
bidang keuangan dan e-commerce.109 Taiwan juga mengharapkan ECFA untuk
menjadi pendorong bagi pembicaraan untuk menyelesaikan masalah-masalah
yang saat itu masih dihadapi dalam hubungan ekonomi kedua negara, seperti
masalah pengaturan investasi yang saat itu belum memiliki aturan resmi.110
Hasil dari ekspektasi pada aspek ini dapat terlihat pada pertemuan secara
rutin yang dilaksanakan antara SEF dan ARATS sejak ditandatanganinya ECFA
pada tahun 2010. Pada tahun 2010, pertemuan antara SEF dan ARATS
dilaksanakan dengan tujuan untuk mencapai kesepakatan terkait dengan hukum
untuk melindungi investasi kedua negara. Namun pada pertemuan tersebut,
kesepakatan antara Taiwan dan Cina tidak tercapai. 111 Pada tahun 2011,
pertemuan antara SEF dan ARATS menghasilkan kemajuan dalam isu
perlindungan terhadap investasi, di mana kedua belah pihak telah mencapai
sebuah opini yang seragam. Pertemuan SEF dan ARATS pada tahun 2011
tersebut juga menghasilkan konsensus terkait dengan prospek, tujuan, dan area
awal di dalam kerjasama industri antara Taiwan dan Cina.112 Pada tahun 2012,
SEF dan ARATS mampu melahirkan dua kerjasama lanjutan dari ECFA, yaitu
Perjanjian Perlindungan dan Promosi Investasi Antar-selat dan Perjanjian
Kerjasama Bea Cukai Antar-Selat. 113 Penjelasan di atas dapat menjelaskan
bagaimana hubungan institusional antara Cina dan Taiwan terus meningkat,
dibantu oleh ECFA yang mengurangi transactional cost antara kedua pihak.
109 ECFA, Economic Cooperation Framework Agreement, bab 3. 110 Mainland Affairs Council, ECFA Policy Explanation, 9. 111 “Remarks by Minister Lai in The Meeting with ARATS Delegation,” Mainland Affairs Council, terakhir dimodifikasi pada 21 Desember 2010, diakses 1 Juni 2013, http://www.mac.gov.tw/ct.asp?xItem=92596&ctNode=6863&mp=205. 112 “The Seventh Chiang-Chen Talks Come to A Smooth Conclusion with Fruitful Results,” Mainland Affairs Council, terakhir dimodifikasi pada 20 Oktober 2011, diakses 5 Juni 2013, http://www.mac.gov.tw/ct.asp?xItem=98999&ctNode=7228&mp=118. 113 “Eighth Chiang-Chen Talks Are Succesfully Held: The SEF and the ARATS sign the ‘Cross-strait Investment Protection and Promotion Agreement’ and the ‘Cross-strait Customs Cooperation Agreement’ and announce a ‘Consensus on the Protection of Perosonal Freedom and Safety’ in Regards to the Investment Protection Agreement,” Mainland Affairs Council, terakhir dimodifikasi pada 15 Agustus 2012, diakses 5 Juni 2013, http://www.mac.gov.tw/ct.asp?xItem=102788&ctNode=7316&mp=181.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
61
3.3.3 Uncertainty and Information
Sebagai salah satu masalah paling penting yang menghambat negara untuk
melaksanakan kerjasama, masalah distribusi informasi dan kejelasan mengenai
preferensi negara lain dijelaskan oleh faktor-faktor yang mungkin menghambat
munculnya kepercayaan antara negara tersebut, yaitu adanya asimetri dalam
pendistribusian informasi, moral hazard, serta masalah negara-negara yang
mungkin bersifat tidak bertanggung jawab dan menghentikan kerjasama. Selain
itu, masalah informasi dan preferensi ini sangat bergantung dengan koordinasi
kebijakan antara negara. Frekuensi pertemuan yang meningkat antar negara secara
langsung akan meningkatkan koordinasi kebijakan dari negara-negara anggota
institusi.
Seperti yang dijelaskan di atas, ECFA diharapkan akan meningkatkan
frekuensi pertemuan antara Cina dan Taiwan melalui pertemuan SEF dan
ARATS, seiring dengan meningkatnya kebutuhan untuk membicarakan mengenai
kerjasama-kerjasama ekonomi ke depannya. ECFA dengan demikian menjadi
wadah bagi Cina dan Taiwan untuk melaksanakan lebih banyak koordinasi
kebijakan. Namun, dalam aspek informasi dan uncertainty ini masih terdapat satu
kelemahan. Di dalam ECFA terdapat salah satu pasal yang memperbolehkan salah
satu pihak untuk dapat membatalkan perjanjian ini secara unilateral.114 Hal ini
tentu bermasalah karena membuka kemungkinan bagi Taiwan ataupun Cina untuk
menjadi aktor yang tidak bertanggung jawab dan membatalkan kerjasama. Hal ini,
menurut penulis, menjadi salah satu kekurangan dari ECFA secara institusional.
3.4 Faktor Domestik Dalam Pengambilan Kebijakan Institusionalisasi
Hubungan Ekonomi Taiwan-Cina melalui ECFA
Subbab di atas telah menjelaskan faktor-faktor di level eksternal yang
menjadi insentif bagi Presiden Ma Ying-jeou untuk mendorong kebijakan
institusionalisasi hubungan ekonomi kedua negara melalui pembentukan ECFA.
Subbab ini selanjutnya akan membahas mengenai bagaimana kejadian-kejadian di
level internal mempengaruhi institusionalisasi tersebut. Keberadaan faktor
114 ECFA, Economic Cooperation Framework Agreement, pasal 16.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
62
dukungan publik, tekanan dari kelompok bisnis di Taiwan, dan debat dalam
negeri di Taiwan antara KMT dan DPP akan dibahas di dalam subbab ini.
Pertama, terkait dengan dukungan publik, Presiden Ma Ying-jeou
menikmati besarnya dukungan publik bagi perbaikan hubungan di bidang
ekonomi dengan Cina. Seperti yang telah dijelaskan oleh grafik pada bab
sebelumnya, menjelang pemilu pada tahun 2008, mayoritas dari penduduk Taiwan
telah melihat perlunya sebuah perbaikan dalam hubungan ekonomi antar-selat
kedua negara. Angka-angka pada tahun 2007 menunjukkan tingkat dukungan
yang sangat tinggi, di mana 70% masyarakat umum setuju untuk memperbaiki
hubungan ekonomi antara Taiwan dan Cina, dan di antaranya, pendukung Pan-
Blue di Taiwan mencapai 90% yang mendukung kebijakan tersebut.115 Dari
angka-angka di atas, kita dapat melihat bagaimana dukungan publik yang kuat,
yang dibutuhkan dalam sebuah negara demokrasi dalam menciptakan dan
menjalankan kebijakan luar negerinya, telah dimiliki oleh Presiden Ma sehingga
dia dapat menjalankan kebijakannya untuk memperbaiki hubungan ekonomi
antara Taiwan dan Cina.
Selanjutnya, juga sebagai negara demokrasi, salah satu unsur penting
dalam penentuan kebijakan luar negeri adalah adanya tekanan-tekanan yang
datang dari kelompok kepentingan. Dalam hubungan ekonomi antara Taiwan dan
Cina, kelompok pebisnis memegang peranan penting karena kepentingan mereka
untuk menjaga hubungan ekonomi yang stabil antara Taiwan dan Cina. Penjelasan
faktor apa yang menyebabkan banyaknya pebisnis dari Taiwan yang bersikeras
untuk mendatangi Cina terlihat dari penjelasan terhadap istilah ‘guanxi’. 116
Guanxi adalah kondisi kesamaan budaya dan kultur antara orang Taiwan dan
orang Cina, seperti bahasa, edukasi, budaya tradisional, di mana kesamaan budaya
dan kultur tersebut kemudian dimanipulasi untuk membentuk aktivitas bisnis yang
lebih besar. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Presiden Chen dengan
berbagai kebijakannya mencoba untuk menahan laju hubungan ekonomi antara 115 Chu Yun-han, “Rapprochement in The Taiwan Strait: Opportunities and Challenges for Taipei,” East Asian Policy 1, no. 4 (2009): 79, diakses 8 Juli 2013, http://www.eai.nus.edu.sg/Vol1No4_ChuYunhan.pdf. 116 Gordon C.K. Cheung, “New Approaches to Cross-Strait Integration and its Impacts on Taiwan’s Domestic Economy: An Emerging “Chaiwan”?,” Journal of the Current Chinese Affairs/China Aktuell 39, no. 1 (2010): 17, diakses 8 Juli 2013, http://journals.sub.uni-hamburg.de/giga/jcca/article/view/199.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
63
Taiwan dan Cina. Salah satu yang dilaksanakannya adalah mencoba untuk
mengurangi jumlah investasi dari Taiwan untuk masuk ke arah Cina, dan
menurutnya harus dilaksanakan diversifikasi ke wilayah lain seperti ke Asia
Tenggara. Kondisi ini tentu menjadikan para pebisnis asal Taiwan tersebut
frustasi, karena adanya guanxi di Cina yang terbentuk antara pebisnis Taiwan dan
Cina membuat investasi ke Cina menjadi lebih menguntungkan. Hal ini
menyebabkan banyaknya pebisnis-pebisnis yang mencoba mencari jalan untuk
menghindari batas investasi yang dikeluarkan oleh Presiden Chen.117 Rasa frustasi
tersebut menjadi salah satu pendukung kebijakan Presiden Ma untuk memperbaiki
hubungan ekonomi antara Taiwan dan Cina melalui institusionalisasi dan ECFA.
Unsur domestik ketiga yang dapat diperhatikan adalah keberadaan
perdebatan dalam negeri di Taiwan terkait dengan ECFA, terutama antara KMT
yang merupakan partai pemerintah dan DPP yang merupakan partai oposisi.
Perdebatan yang terjadi cukup memanas, terutama ketika kubu oposisi menolak
liberalisasi perdagangan dengan Cina yang semakin dalam dengan ECFA, yang
dikhawatirkan akan memberikan dampak buruk pada Taiwan dari segi ekonomi
(bertambahnya pengangguran) dan politik (hilangnya kedaulatan). 118
Berkurangnya lapangan pekerjaan merupakan sebuah fenomena yang dikenal
sebagai hollowing out, di mana investasi terlalu banyak mengalir ke luar dan pada
akhirnya tidak mampu mendorong industri lokal, sementara hilangnya kedaulatan
berkaitan dengan dependensi yang dinilai akan semakin besar jika Taiwan dan
Cina semakin mengintegrasikan ekonominya. Namun, biarpun telah diberikan
paparan negatif terkait ECFA tersebut, pandangan masyarakat terhadap kerjasama
ECFA tetap bersifat positif, di mana sebanyak 46,2% masyarakat melihat ECFA
sesuatu yang positif, mengalahkan orang orang yang berpikir negatif yang
berjumlah 35%.119
Sebagai kesimpulan, kebijakan ekonomi Presiden Ma Ying-jeou dalam
periode pertama kepemimpinannya mengarahkan Taiwan terhadap
institusionalisasi yang lebih mendalam dalam kerjasama dengan Cina melalui
117 Chu, “Rapprochement in the Taiwan Strait,” 77. 118 Xie Yu, “Taiwan Parties Clash over ECFA”, China Daily, terakhir dimodifikasi pada 26 April 2010, diakses 1 Juni 2013, http://www.chinadaily.com.cn/china/2010-04/26/content_9772390.htm. 119 Ibid.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
64
ECFA. Memang hubungan ekonomi Taiwan dan Cina telah berjalan dan
berkembang sebelum ECFA dilaksanakan. Tetapi, seperti yang dijelaskan oleh
Neoliberal Institusionalisme, institusi ECFA memiliki peran untuk memberikan
ekspektasi kepada kedua negara untuk interaksi yang terus terjaga di masa depan,
di mana interaksi tersebut memegang peranan penting untuk menjaga agar
hubungan baik dapat terus berlanjut antara Taiwan dengan Cina. ECFA memang
memiliki beberapa kelemahan, misalnya dengan adanya klausul pembatalan
ECFA secara sepihak dalam ECFA, tetapi dengan adanya keuntungan-keuntungan
yang dapat diantisipasi oleh kedua belah pihak, terutama oleh Taiwan, maka
institusionalisasi kerjasama ekonomi melalui ECFA merupakan kebijakan
ekonomi yang rasional dari sisi Presiden Ma Ying-jeou. Dari sisi domestik
sendiri, kondisi yang ada bagi Presiden Ma Ying-jeou sangat kondusif untuk
melancarkan kebijakan institusionalisasi hubungan kerjasama melalui ECFA ini.
Hal ini terlihat dengan adanya dukungan yang kuat dari publik, tekanan dari
kalangan pebisnis Taiwan, dan kemenangan KMT dari DPP dalam debat-debat
terkait ECFA ini. Faktor-faktor domestik itu jika dilihat lebih dalam, lahir atas
dasar dorongan faktor-faktor eksternal yang telah dijelaskan di atas, yaitu insentif-
insentif besar dari ECFA yang menjanjikan keuntungan besar dalam stabilnya
hubungan ekonomi Taiwan dan Cina melalui ECFA.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
65
BAB 4
KEBIJAKAN IDENTITAS TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-
JEOU DALAM HUBUNGAN ANTAR-SELAT TAIWAN DAN CINA
Sebagai salah satu negara dengan posisi strategis yang sangat terancam
dengan keberadaan negara besar yaitu Cina, mudah saja untuk tidak
mengindahkan masalah-masalah mengenai identitas dan mengfokuskan hanya
pada masalah-masalah keamanan atau militer. Tetapi, jika ditilik dari sejarah
panjang Taiwan dan hubungannya dengan Cina, identitas ternyata memegang
peranan yang cukup penting. Sejarah panjang Taiwan yang pernah dikuasai oleh
Jepang, kemudian berpindah menjadi salah satu provinsi di Republik Cina, hingga
saat ini menjadi wilayah dengan status yang belum terdefinisikan secara
internasional, mendorong dinamika perubahan identitas dalam Taiwan menjadi
satu hal yang cukup menarik untuk dibahas.
Pentingnya identitas yang dipegang oleh masyarakat Taiwan menjadikan
setiap pemerintahan Taiwan memiliki sebuah kebijakan tersendiri untuk
membentuk identitas apa yang dimiliki oleh masyarakatnya. Bagian pertama pada
bab ini menjelaskan mengenai konsep yang akan digunakan oleh penulis dalam
bab ini, yaitu konsep Identitas dan Identitas Nasional. Sejarah singkat mengenai
kebijakan identitas pemerintahan sebelum Ma Ying-jeou akan dijelaskan di dalam
bagian selanjutnya pada bab ini. Hal ini penting untuk dipaparkan agar dinamika
identitas yang ada di masyarakat Taiwan dapat dipahami, sekaligus memberikan
latar belakang untuk memahami kebijakan identitas yang diambil oleh Ma Ying-
jeou. Bagian selanjutnya dari bab ini akan memaparkan kebijakan-kebijakan apa
saja yang digunakan oleh Ma Ying-jeou, dengan mengaplikasikan konsep dari
Identitas dan Identitas Nasional yang telah dijelaskan sebelumnya. Bagian terakhir
dari bab ini akan menggambarkan pengaruh dari kebijakan identitas tersebut, baik
kepada masyarakat Taiwan, dan juga kepada hubungan antara Taiwan dan Cina.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
66
4.1 Kerangka Konsep: Identitas dan Identitas Nasional
Identitas merupakan salah satu isu yang berkembang dengan
berkembangnya pula Hubungan Internasional melalui munculnya pemikiran-
pemikiran post-positivisme di dalamnya. Penggunaan identitas dalam teori-teori
Hubungan Internasional memberikan perspektif baru dalam menganalisa
fenomena-fenomena hubungan internasional. Salah satu kontribusi terbesar dalam
penggunaan identitas di Hubungan Internasional diberikan oleh Systemic
Constructivism. Perspektif tersebut akan digunakan untuk menjelaskan mengenai
kebijakan identitas Ma Ying-jeou. Penjelasan mengenai unsur-unsur identitas
nasional juga akan diberikan pada bagian ini.
4.1.1 Identitas
Identitas dalam Hubungan Internasional telah berkembang menjadi salah
satu aspek penting dalam hubungan internasional sejalan dengan semakin
berkembangnya pendekatan yang menganalisa aspek non-material yang dimiliki
oleh negara. Definisi identitas, menurut Giddens yang dikutip oleh Manuel
Castells, adalah sumber dari pengertian yang dimiliki oleh seorang aktor, yang
dibangun oleh aktor tersebut sendiri melalui sebuah proses yang disebut
individuation. 120 Manuel Castells kemudian memberi penjelasan lebih lanjut
mengenai tiga jenis identitas, yaitu Legitimizing Identity, Resistance Identity, dan
Project identity
Resistance Identity adalah identitas yang dibuat oleh aktor-aktor yang
berada dalam posisi/kondisi yang devalued dan/atau terkena stigma oleh logika
dominasi (oleh institusi yang dominan). Project Identity adalah ketika aktor sosial
mencoba membangun sebuah identitas baru yang meredefinisi posisi mereka di
masyarakat, dan mencoba mentransformasi struktur sosial secara keseluruhan.
Definisi dari legitimizing identity yang akan digunakan dalam bab ini adalah
identitas yang diberikan oleh institusi yang dominan dalam masyarakat untuk
120 Manuel Castells, The Power of Identity 2nd Ed., (West Sussex: Blackwell Publishing Ltd., 2010), 7.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
67
memperluas dan merasionalisasi dominasi institusi tersebut vis-a-vis aktor sosial
lain.121
Salah satu tokoh Hubungan Internasional yang menggunakan identitas
dalam mengembangkan teori Hubungan Internasional adalah Alexander Wendt.
Alexander Wendt menjelaskan pentingnya identitas dalam konteks negara dan
politik internasional sebagai salah satu aspek penting, di mana sistem
internasional dan anarki di dalamnya sesungguhnya hanyalah hasil dari konstruksi
sosial yang datang dari identitas dan budaya bentukan negara-negara tersebut
(Anarchy is what states make of it).122
Alexander Wendt menjelaskan bahwa di dalam sistem internasional yang
bersifat anarki, hubungan antara negara sebagai aktor utama ditentukan oleh
kepentingan dari negara tersebut. Kepentingan negara tersebut dilahirkan oleh
identitas yang dimiliki negara tersebut, sehingga identitas negara menjadi penentu
bagaimana sebuah negara membangun kepentingannya dengan negara lain.
Selanjutnya hubungan yang telah terjadi tersebut akan merekonstruksi identitas
dan kepentingan negara tersebut ke depannya.123 Identitas dan kepentingan yang
dimiliki negara yang berada di level mikro kemudian akan semakin berkembang
dan menjadi representasi kolektif di level makro, membentuk sebuah kultur dari
sistem internasional.
Alexander Wendt menjelaskan bahwa di dalam dunia internasional
setidaknya terdapat tiga jenis kultur sistem internasional, yang dikembangkan
oleh Wendt dari pemikir terkenal yang mengeluarkan pemikiran tersebut. Pertama
adalah kultur Hobbesian, di mana negara melihat negara lain sebagai musuh dan
negara tidak akan menghargai hak negara lain untuk bertahan dan cenderung
menggunakan kekerasan. Kultur kedua adalah Lockean, di mana negara masih
memiliki kepentingan sendiri sebagai prioritas utama, tetapi berbeda dengan
Hobbesian, kultur Lockean membuat negara memandang satu sama lainnya 121 Ibid., 8 122 Penjelasan terhadap klaim tersebut dijelaskan secara mendalam oleh Alexander Wendt dalam artikelnya, yang kemudian menjadi dasar dari berkembangnya pendekatan konstruktivisme. Alexander Wendt, “Anarchy is What States Make of It: The Social Construction of Power Politics”, International Organization 46, no. 2 (1992), diakses pada 1 Mei 2013, http://www.jstor.org/stable/2706858. 123 Yucel Bozdaglioglu, “Constructivism and Identity Formation: An Interactive Approach,” Review of International Law and Politics 3, no. 11 (2007): 123, diakses 1 Juni 2013, http://www.usak.org.tr/dosyalar/dergi/3abv06hKYpVj1fK71jEi4AP2g6ctBc.pdf.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
68
sebatas rival. Sebagai rival, negara masih mungkin menghargai kedaulatan negara
lain dalam kultur ini. Kultur terakhir adalah kultur Kantian, di mana negara
memandang negara lain sebagai bagian dari ‘self’, sehingga pemikiran negara
akan berdasarkan terhadap kepentingan kelompok.124
Analisa yang diberikan oleh Alexander Wendt menjadikan pemikirannya
sering dikategorikan sebagai ‘systemic constructivism’. Alexander Wendt
memberikan penjelasan mengenai bagaimana identitas membentuk interaksi, dan
interaksi tersebut pada akhirnya akan membentuk identitas negara tersebut pula.
Wendt juga menjelaskan bahwa perbedaan jenis-jenis interaksi antara negara akan
menentukan bagaimana kultur sebuah sistem internasional, terutama terkait
dengan bagaimana cara negara menyikapi kondisi anarki dalam sistem
internasional.
4.1.2 National Identity
Konsep kedua yang akan digunakan di dalam menjelaskan kebijakan
identitas Presiden Ma Ying-jeou adalah konsep Identitas Nasional (National
Identity). Pemilihan terhadap konsep ini didasarkan pada kebutuhan untuk
menjelaskan arah-arah kebijakan identitas yang diambil oleh Presiden Ma.
Penjelasan mengenai konsep Identitas Nasional akan disadur dari tulisan
Ruth Wodak, Rudolf de Cicilia, Martin Reisigl, dan Karin Liebhart terkait
konstruksi diskursif identitas nasional, di mana Wodak et.al. mencoba
menganalisa pembentukan identitas nasional di Austria. 125
Definisi yang diberikan oleh Ruth Wodak et.al. terhadap konsep ‘identitas
nasional’ yaitu:
“If a nation is an imagined community and at the same time a mental construct,…, then this image (of a nation) is real to the extent that one is convinced of it, believes in it, and identifies with it emotionally. The question of how this imaginary community reaches the mind of those who are convinced of it is easy to answer: it is constructed and conveyed in discourse, predominantly in the narrative of national culture. National identity is this the product of discourse”.126
124 Ibid., 133 125 Ruth Wodak et al., The Discursive Consruction of National Identity, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2009), 22. 126 Ibid., 22.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
69
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa identitas adalah bentukan
dari diskursus terkait dengan sebuah komunitas yang disebut ‘bangsa’, melalui
budaya budaya bangsa yang kemudian dinarasikan, dikonstruksi ke dalam setiap
individu yang menjadi anggota bangsa tersebut. Hall, di dalam tulisannya oleh
Wodak et.al., menuliskan bahwa identitas dikonstruksi oleh kultur sebuah bangsa
yang memberikan arti terhadap bangsa tersebut, arti yang dapat diidentifikasi oleh
individual di dalamnya, mencakup cerita-cerita bangsa, memori yang
menghubungkan masa lalu dan masa kini.127
Berangkat dari definisi di atas, Wodak et.al. kemudian juga menjelaskan
mengenai elemen yang ada di dalam identitas nasional. Menurut Wodak et.al.,
yang memodifikasi dari penjelasan yang diberikan oleh Leszek Kolakowski,
terdapat 5 elemen yang ada di dalam sebuah identitas nasional, yaitu national
spirit, historical memory, anticipation and future orientation, national body, dan
nameable beginning.
National Spirit
National spirit, atau volksgeist merupakan ekspresi dalam bentuk budaya hidup
dan tingkah laku kolektif yang khusus. National Spirit ini tidaklah sesuatu yang
bersifat material, namun justru metafisikal, sehingga hal ini tidak
direpresentasikan oleh sebuah kejadian historis, tetapi semangat tersebut tetap ada
di pemikiran masyarakat.
Historical Memory
Historical memory, menurut Kolakowski, adalah sesuatu yang amat penting
terhadap pembentukan sebuah identitas nasional. Kolakowski menyebutnya
sebagai “.., indispensable prerequisite for national identity;”. Bahkan,
Kolakowski menjelaskan bahwa kebenaran terhadap memori historis tersebut
tidak penting apakah sepenuhnya betul, atau hanya betul sebagian, atau bahkan
hanya sebuah legenda. Hal yang penting adalah memori historis tersebut harus
127 Ibid., 23.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
70
datang dari cerita yang telah terjadi sekian lama, sehingga hal tersebut dapat
membentuk sebuah identitas nasional yang lebih kuat.
Anticipation and Future Orientation
Seperti individu yang memiliki identitasnya masing-masing, sebuah bangsa yang
memiliki identitas nasional juga akan memiliki orientasi terhadap masa depannya.
Hal ini berkaitan dengan apa yang akan terjadi dengan mereka di masa depan,
kepentingan mereka di masa depan, bagaimana caranya agar mampu bertahan
hidup (survive), dan persiapan apa yang harus dilaksanakan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut.
National Body
Wodak et.al. memodifikasi pengertian Kolakowski terhadap elemen ‘national
body’ di dalam identitas nasional, di mana Wodak et.al. mengartikan konsep
tersebut secara metaforis. Menurut Wodak et.al., diskusi terhadap national body
dan identitas berkaitan dengan pembicaraan terhadap teritori nasional, alam yang
dikandungnya, serta artifak-artifak fisik yang ada di dalamnya
Nameable Beginning
Sebuah nameable beginning juga merupakan kebutuhan yang harus ada untuk
membangkitkan dan membangun sebuah kesadaran nasional (national
consciousness). Bentuk-bentuk dari nameable beginning ini antara lain adalah
legenda yang spesifik membahas mengenai founding fathers atau founding events.
Nameable beginning kemudian akan digunakan untuk menjadi exordium
temporis, sebuah awal dari waktu yang bersejarah.
Kelima elemen ini akan digunakan oleh penulis untuk mengidentifikasi
kebijakan-kebijakan identitas yang dikeluarkan oleh Presiden Ma. Identifikasi
tersebut akan menunjukkan apakah Presiden Ma telah mencoba untuk membentuk
sebuah identitas nasional dengan memenuhi kelima elemen tersebut, atau tidak
memenuhi kesemuanya.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
71
4.2 Sejarah Kebijakan Identitas Taiwan
Bagian selanjutnya dari bab ini akan mencoba menggambarkan mengenai
dinamika identitas yang terjadi di Taiwan, terutama yang dipengaruhi oleh
kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah-pemerintah Taiwan sebelum
Ma Ying-jeou. Hal ini penting dilaksanakan untuk mengetahui pentingnya
pembentukan identitas di Taiwan, baik dalam keberlangsungan pemerintahan
Taiwan atau dalam dinamika hubungan Taiwan-Cina.
4.2.1 Era Identitas Nasionalis di bawah Kuomintang
Seiring dengan berakhirnya Perang Dunia II dan kekalahan Jepang dari
Pasukan Sekutu kala itu, pemerintahan di Taiwan juga berpindah. Penyerahan
kekuasaan dilaksanakan oleh Jepang kepada Pasukan Sekutu, dengan
penandatanganan Instrumen Penyerahan pada tanggal 15 Agustus 1945, dan
penyerahan formal pada tanggal 25 Oktober 1945.128 Penyerahan secara formal
dilaksanakan antara pemerintah Jepang dan Pasukan Sekutu yang diwakili oleh
Pasukan ROC di bawah Chiang Kai-shek, menunjukkan bahwa Pasukan Sekutu
menyerahkan tugas untuk memerintah wilayah Taiwan kepada Republik Cina.
Keberadaan Republik Cina di Taiwan pada awalnya disambut sebagai
pembawa harapan terhadap perbaikan situasi buruk yang selama ini dirasakan di
bawah Jepang. Namun, kondisi di Cina yang masih berada di bawah instabilitas,
terutama dengan makin meruncingnya persaingan antara Kuomintang dengan
PKC, membuat harapan tersebut tidak terjadi. Chiang Kai-shek menetapkan
Taiwan untuk berada di bawah pemerintahan darurat militer, dengan Jenderal
Chen Yi menjadi Gubernur dari Taiwan. Konflik antara KMT dan PKC disertai
oleh memburuknya ekonomi, dan juga adanya rasa tidak percaya antara
mainlander yang dibawa oleh ROC dengan penduduk asli Taiwan, menyebabkan
banyaknya protes-protes yang muncul. Hal ini bahkan berujung kepada
pembantaian terhadap penduduk asli Taiwan oleh tentara mainlander yang
128 “Taiwan History,” Taiwanese Cultural Society, diakses 14 Mei 2013, http://taiwanese.stanford.edu/taiwan-history.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
72
memakan korban jiwa 18.000-28.000 orang. Insiden ini kemudian dikenal sebagai
‘insiden 228’.129
Kondisi ini tidak berubah saat Taiwan menjadi tempat pelarian
Kuomintang yang mengalami kekalahan dari PKC dalam Perang Sipil pada tahun
1949.130 Datang sebagai seseorang yang baru saja mengalami kekalahan yang
menyakitkan, Chiang Kai-shek dihadapkan pada kenyataan bahwa kondisi di
Taiwan bukanlah kondisi yang ideal. Saat berada di bawah Jenderal Chen Yi,
Taiwan mengalami masa-masa kelam di bidang ekonomi, karena berbagai
kebijakannya sangat merugikan, terutama bagi masyarakat asli Taiwan.131 Kondisi
ini kemudian diperburuk dengan kedatangan Chiang Kai-shek yang membawa
kurang lebih dua juta pengungsi dari Cina Daratan, mempertajam tensi yang telah
muncul sebelumnya akibat penindasan yang dilaksanakan oleh Jenderal Chen Yi
sebelumnya. Kondisi tersebut memaksa Chiang Kai-shek memperbaiki kondisi
tersebut demi keberlangsungan KMT di Taiwan.
Chiang Kai-shek sendiri melaksanakan perbaikan-perbaikan di bidang
ekonomi yang dibutuhkan, salah satunya adalah perbaikan terhadap pengaturan
sistem pertanahan bagi pertanian di Taiwan. Land Reform yang dilaksanakannya,
dengan menyingkirkan tuan-tuan tanah yang sebelumnya mendominasi di Taiwan,
berhasil memperbaiki kondisi ekonomi terutama bagi kaum petani, di mana
reformasinya tersebut mampu meningkatkan produktivitas sebanyak 50% dan
pendapatan petani naik dua kali lipat pada tahun 1963.132
Kemajuan yang signifikan di bidang ekonomi, tidak diikuti di bidang
politik. Chiang Kai-shek yang masih memegang cita-cita akan kembalinya KMT 129 Lee Shiao-Feng, “The 228 Incident,” Taipei Times, terakhir dimodifikasi pada 28 Februari 2004, diakses 13 Mei 2013, http://www.taipeitimes.com/News/editorials/archives/2004/02/28/2003100472. 130 Manthorpe, Forbidden Nation, 194. 131 Pada masa kepemimpinannya, Jenderal Chen Yi mengimplementasikan kebijakan-kebijakan ekonomi yang merugikan masyarakat asli Taiwan, dan mengalirkan keuntungan tersebut kepada warga asli Cina daratan yang dibawanya ke Taiwan. Jenderal Chen banyak menjual aset-aset yang dimiliki oleh Taiwan, dan yang diwariskan ke Taiwan kepada Jepang, ke Cina Daratan, di mana ia mendapatkan keuntungan darinya. Jenderal Chen juga memberikan tugas manajemen beberapa industri penting yang dimiliki oleh Taiwan kepada kroninya, yang menyebabkan industri tersebut terus mengalami kerugian. Puncak kerusakan ekonomi yang dialami oleh Taiwan di bawah Jenderal Chen, harga makanan meningkat 21.000 poin dan pakaian sebanyak 25.000 poin dari November 1945 sampai Januari 1947, hasil pertanian menurun hingga setengah dari apa yang dihasilkan pada dekade 1930an, dan berdampak sosial, seperti meningkatnya masalah kesehatan seperti Malaria dan Kolera. 132 Ibid., 202.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
73
ke Cina Daratan untuk menggulingkan PKC di sana, menolak pelaksanaan
demokrasi di Taiwan. Hal ini harus dilaksanakan oleh Chiang Kai-shek, karena
dia harus konsisten dengan deklarasinya bahwa pemerintahannya merupakan
pemerintahan yang mewakili keseluruhan Cina, bukan Taiwan saja.
Otoritarianisme Chiang Kai-shek pun dilaksanakan dengan mengeliminasi lawan-
lawan politik, dari melarang berdirinya partai politik oposisi hingga melaksanakan
penculikan dan pembunuhan kepada individu-individu yang dianggapnya
mengancam KMT.133
Impian Chiang Kai-shek mengembalikan kejayaan KMT di Cina Daratan
dan membangun kekuatan sedikit demi sedikit mempersiapkan kekuatan untuk
suatu saat menyerang Cina Daratan, diimplementasikan melalui beberapa
kebijakan yang berusaha membentuk identitas masyarakat Taiwan agar merasa
menjadi bagian dari Cina. Kebijakan pembentukan identitas ini dilaksanakan
dengan beberapa cara. Pertama, Chiang Kai-shek mendorong pengimplementasian
‘Bahasa Nasional’, standarisasi bahasa yang dilaksanakan juga di Cina Daratan
ketika KMT masih berkuasa di sana dengan tujuan untuk mengatasi perbedaan
penggunaan dialek antara penduduk Taiwan yang terdiri dari berbagai suku.
Kebijakan bahasa ini juga didukung dengan dibredelnya koran-koran berbahasa
Jepang yang populer saat itu dan menggantinya dengan koran yang menggunakan
bahasa nasional. Kedua, Chiang Kai-shek juga menasionalisasi instrumen-
instrumen harian dari masyarakat Taiwan. Penghitungan tahun diubah dimulai
dengan menetapkan tahun 1912 sebagai ‘year one’. Nama-nama jalan pun diubah
dengan menggunakan nama-nama yang datang dari Cina Daratan. Peta yang
menunjukkan Republik Cina yang terdiri dari Cina Daratan, Taiwan, dan sebagian
Mongolia pun disebarluaskan. Ketiga, Chiang juga memberlakukan nasionalisasi
di sekolah, di mana siswa-siswa diharuskan untuk mengenal simbol-simbol
133 Tindakan opresif dengan menculik dan mengeksekusi lawan-lawan politiknya ini berjalan dalam rentang waktu 4 dekade, masa yang kemudian dikenal sebagai ‘Teror Putih’ (White Terror). Hal ini didukung dengan keberadaan masa Darurat Militer di Taiwan yang telah diterapkan sejak kepemimpinan Jenderal Chen. Teror Putih ini banyak dilaksanakan oleh satuan khusus di Taiwan yang dikenal sebagai Komando Garnisun, dengan Chiang Ching-kuo menjadi salah satu aktor penting di dalamnya. Korban dari Teror Putih selama 4 dekade terungkap mencapai 90.000 orang.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
74
nasional Cina. Penghormatan terhadap bendera, lagu nasional, dan foto Sun Yat-
sen (pendiri Republik Cina) dan Chiang Kai-shek di tiap ruang kelas.134
4.2.2 Post-Nationalist Identity Taiwan dan Demokratisasi
Kebijakan Chiang Kai-shek untuk menasionalisasi penduduk Taiwan
dengan identitas sebagai bagian dari Cina secara bangsa terus dilaksanakan oleh
Chiang Kai-shek sampai ia meninggal dan kemudian digantikan oleh anaknya,
Chiang Ching-kuo pada tahun 1975.
Chiang Ching-kuo pada masa-masa pemerintahannya menghadapi situasi
dan kondisi yang cukup berbeda dibandingkan pada masa pemerintahan ayahnya.
Pertama, Chiang Ching-kuo harus menghadapi kenyataan bahwa KMT semakin
tersudut dan teralienasi dari dunia internasional. Hal ini dimulai dengan
dikeluarkannya KMT sebagai representasi Cina di PBB pada 1971, dimulainya
Diplomasi Ping-Pong pada 1971 yang membuka jalan terhadap normalisasi
hubungan PKC dengan Amerika Serikan, dan puncaknya adalah ketika pada tahun
1979, Amerika Serikat benar-benar menormalisasi hubungannya dengan PKC
dengan mentransfer pengakuan terhadap Cina dari Kuomintang di Taipei kepada
Partai Komunis Cina di Beijing. 135 Kebijakan Amerika Serikat tersebut memicu
negara-negara lain untuk memutuskan hubungan dengan Taiwan serta mendorong
organisasi-organisasi internasional untuk menggantikan posisi KMT sebagai Cina
dengan PKC. Hal ini kemudian memaksa Chiang Ching-kuo untuk membuat
kebijakan luar negeri yang lebih fleksibel, di mana Taiwan tidak lagi memaksa
untuk hanya melaksanakan hubungan diplomatik dengan negara yang tidak
berhubungan dengan PKC.136 Taiwan membuka jalan diplomatik melalui kantor-
kantor budaya dan perdagangan, biarpun hubungan diplomatik secara penuh
mungkin tidak terjadi. Taiwan juga berusaha memasukkan dirinya pada organisasi
internasional, meskipun dengan adanya tekanan dari Cina sehingga Taiwan hanya
mampu memasuki organisasi atau event internasional dalam bidang budaya,
olahraga, atau ekonomi.137
134 Hughes, Taiwan and Chinese Nationalism, 29-30. 135 Manthorpe, Forbidden Nation, 208. 136 Hughes, Taiwan and Chinese Nationalism, 49. 137 Ibid., 49.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
75
Kondisi di dalam negeri pun mendorong berubahnya kebijakan identitas
tersebut. Hal yang paling utama adalah semakin tumbuhnya identitas Taiwanese
di dalam diri masyarakat Taiwan, dan juga di dalam Kuomintang. Pada dekade
1970an, anggota Kuomintang sudah terdiri dari 70% penduduk asli yang lahir di
Taiwan.138 Kebijakan identitas yang diambil sejak zaman Chiang Kai-shek pun
telah banyak mendapat tentangan, salah satunya yang paling terkenal dipelopori
oleh Pei Ming-min. Kebijakan identitas yang diambil oleh Chiang Kai-shek, yang
disertai oleh kebijakan-kebijakna represif terhadap lawan-lawan politiknya,
merupakan bentuk dari legitimizing identity di dalam tiga jenis identitas yang
dijelaskan oleh Manuel Castells. Tindakan dan kebijakan dari Chiang
menimbulkan tentangan seperti yang dilaksanakan oleh Pei Ming-min, yang
menghasilkan Taiwanese sebagai bentuk resistance identity.139 Faktor domestik
kedua adalah semakin besarnya tekanan dari masyarakat Taiwan untuk bisa
membuka hubungan dengan Cina Daratan. Chiang Ching-kuo pada akhirnya
membuka jalan tersebut, dengan memperbolehkan adanya jalur penerbangan dari
Taiwan ke Cina Daratan.140
Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Chiang Ching-kuo, diakibatkan
oleh timbulnya kondisi domestik dan internasional seperti yang telah disebutkan
di atas, menandai berubahnya keteguhan KMT terhadap prinsip One-China, dari
tadinya sangat teguh dipegang oleh Chiang Kai-shek, menjadi lebih fleksibel dan
pragmatis mengikuti kebutuhan Taiwan. Prinsip One-China ini semakin bergeser
ketika kemudian Chiang Ching-kuo digantikan oleh presiden selanjutnya,
presiden Taiwan pertama yang merupakan orang asli Taiwan, Lee Teng-hui. Lee
Teng-hui naik jabatan pada tahun 1988, dan pada masa jabatannya tersebut,
menurut Manthorpe, dimulai sebuah proses panjang ‘Taiwanisasi’, menggantikan
‘Nasionalisasi Cina’ yang dibawa oleh pemerintahan sebelumnya.141
Kebijakan-kebijakan Lee Teng-hui yang berdampak sangat besar terhadap
proses Taiwanisasi tersebut terdapat di sisi politik. Kebebasan politik yang masih
ditutup rapat-rapat oleh Chiang Kai-shek dan Chiang Ching-kuo (biarpun di akhir
138 Ibid., 51. 139 Castells, The Power of Identity, 7. 140 Hughes, Taiwan and Chinese Nationalism, 50. 141 Manthorpe, Forbidden Nation, 220.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
76
kepemimpinannya, Chiang Ching-kuo mulai melonggarkan kekangan terhadap
oposisi dengan membiarkan berdirinya DPP), oleh Lee Teng-hui dibuka melalui
reformasi-reformasi yang dilaksanakannya. Lee Teng-hui melaksanakan
simplifikasi terhadap sistem politik Taiwan, yang dibawa oleh Chiang Kai-shek
mengikuti contoh dari Dinasti Qing, di mana sistem politik tersebut masih
menganggap Taiwan sebagai bagian dari Cina, dan sistem politiknya dengan
demikian harus merepresentasi seluruh Cina. Gebrakan lainnya yang dilaksanakan
oleh Lee Teng-hui adalah mengadakan pemilihan umum untuk posisi sentral,
yaitu terhadap Parlemen Taiwan (Legislative Yuan), dan bahkan pemilihan
presiden. Selain di bidang politik, Taiwanisasi yang dibuat oleh Lee Teng-hui
juga menyentuh sisi kehidupan sehari-hari masyarakat, dengan bidang seni, media
dan sekolah yang mulai menggunakan Minnan, dialek lokal Taiwan, mulai
menggantikan Mandarin yang dipaksakan oleh pemerintah sebelumnya.142
Proses Taiwanisasi tersebut menjadi semakin jelas di bawah
kepemimpinan Chen Shui-bian. Chen Shui-bian merupakan presiden pertama di
Taiwan yang tidak berasal dari Kuomintang, setelah partainya DPP mengalahkan
Kuomintang pada pemilihan umum tahun 2000.143 DPP merupakan partai yang
memang mengedepankan ideologi yang mendukung Taiwanisasi, dengan
tujuannya saat dibentuk yang menuntut merdekanya Taiwan dari Cina. Biarpun
tujuan ini semakin lama semakin dibuat lebih fleksibel (dengan alasan utama
untuk mencegah adanya serangan dari Cina Daratan oleh PKC ke Taiwan),
naiknya Chen Shui-bian tetap menaikkan ketegangan antara Cina dan Taiwan,
karena kebijakan-kebijakannya yang semakin lama semakin memberikan tanda-
tanda mengarahkan Taiwan ke arah independensi.144
Proses Taiwanisasi sendiri mendapatkan dukungan penuh dari Presiden
Chen Shui-bian. Kebijakan budaya Taiwan di bawah DPP digambarkan oleh
Chang Bi-yu di dalam Amae, Yoshihisa, dan Damm, sebagai kebijakan yang
menekankan pada “nilai ekonomis sebuah industri budaya, teorisasi dari 142 Ibid., hal. 220-221 143 Gang Lin, “KMT Split Handed Chen Presidential Victory,” Canada Institute, terakhir dimodifikasi pada 1 April 2000, diakses 16 Mei 2013, www.wilsoncenter.org/article/kmt-split-handed-chen-the-presidential-victory. 144 Joseph Kahn dan Keith Bradsher, “Beijing Accuses Taiwan Leader of ‘Grave Provocation’,” The New York Times, terakhir dimodifikasi pada 1 Maret 2006, diakses 26 Juni 2013, http://www.nytimes.com/2006/03/01/international/asia/01taiwan.html?_r=0.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
77
subjektivitas Taiwan, dan penjualan Taiwan sebagai sebuah produk kultur”.145 Hal
penting yang digambarkan oleh kebijakan ini adalah fokusnya terhadap Taiwan,
di mana Cina hampir tidak memiliki peran yang penting sama sekali. Hal ini
kemudian dimaterialisasikan di bidang pendidikan dengan pendalaman kepada
literatur-literatur asli Taiwan, dan munculnya disiplin baru yang dikenal sebagai
“Taiwan Studies”.146
4.3 Pembentukan Identitas Taiwan di Bawah Presiden Ma Ying-jeou dari
Perspektif Systemic Constructivism
Penjelasan di atas telah menunjukkan bagaimana pembentukan identitas di
Taiwan terjadi di bawah pemerintahan-pemerintahan sebelum Ma Ying-jeou.
Dapat disimpulkan bahwa dengan berbagai kebijakan yang dilaksanakan oleh dua
presiden sebelum Ma Ying-jeou, identitas yang terbentuk mengarahkan Taiwan
dan Cina kepada hubungan yang bersifat konfliktual. Melalui program
Taiwanisasi yang masif terhadap penduduk Taiwan, konstruksi identitas nasional
membuat Cina dan Taiwan semakin terpisah menjadi dua entitas yang berbeda.
Hal yang juga penting adalah kebijakan politik dan ekonomi yang
diberikan oleh Lee Teng-hui dan Chen Shui-bian menjadikan hubungan antara
Taiwan dan Cina semakin memanas. Seperti yang telah dijelaskan di atas, Lee
Teng-hui mengeluarkan pernyataan yang kontroversial dengan menyebut
hubungan Taiwan dan Cina sebagai ‘special state-to-state relationship’. Presiden
Chen Shui-bian bertindak lebih jauh lagi dengan mencoba untuk melaksanakan
referendum terkait dengan hubungan antar-selat Taiwan dan aplikasi Taiwan
memasuki PBB. Hal ini tentu direspons secara negatif oleh Cina. Duta Besar Cina
untuk PBB, misalnya, mengutuk hal ini dengan menyebutnya sebagai sebuah
tindakan yang nyata Taiwan untuk mengejar kemerdekaan.147 Interaksi yang
terjadi antara Cina dan Taiwan pada masa kepemimpinan Presiden Lee dan
145 Yoshihisa Amae dan Jens Damm, “”Whither Taiwanization?” State, Society, and Cultural Production in the New Era,” Journal of Current Chinese Affairs 40, no. 1 (2011): 7, diakses 21 Desember 2012, http://hup.sub.uni-hamburg.de/giga/jcca/article/view/402/400. 146 Ibid., 7 147 Taipei Times, “Taiwan’s UN Bid Doomed to Fail,” terakhir dimodifikasi pada 14 Agustus 2005, diakses 20 Mei 2013, http://www.taipeitimes.com/News/taiwan/archives/2005/08/14/2003267683.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
78
Presiden Chen dapat dikategorikan sebagai konfliktual dan menyebabkan kedua
negara memandang identitas satu dengan lainnya sebagai musuh.
Menjelang akhir masa kepemimpinan Presiden Chen Shui-bian,
Kuomintang sebagai partai oposisi melihat bahwa hubungan yang bersifat
konfliktual antara Taiwan dan Cina tidak baik jika terus dipertahankan. Untuk
memperbaiki kondisi tersebut, pada tahun 2005 Ketua KMT saat itu, Lien Chan,
mengunjungi Cina dengan tujuan untuk membuka dialog dan memperbaiki
hubungan antara Beijing dan Taipei. Dengan inisiatif yang diberikan oleh KMT
tersebut, Beijing sebaliknya memberikan respons yang positif. Hal in ditunjukkan
ketika Lien Chan disambut secara langsung oleh Presiden Hu Jintao, yang
menyambut Lien Chan layaknya seorang ‘saudara yang telah lama hilang’. Lien
sendiri pada kesempatan yang sama menggambarkan bahwa hubungan antara
Cina dan Taiwan merupakan hubungan yang bersifat ‘win-win’ dan seharusnya
diperjuangkan oleh kedua pihak.148
Lien Chan bukanlah kandidat yang kemudian akan maju dari KMT pada
pemilihan 2008, karena Lien Chan tidak lama setelah mengunjungi Cina
digantikan oleh Ma Ying-jeou yang terpilih sebagai ketua KMT selanjutnya.
Presiden Ma kemudian melanjutkan momentum yang telah dibangun oleh Lien
Chan untuk memperbaiki hubungan antara Cina dan Taiwan. Pada masa
kampanyenya untuk menjadi presiden pada tahun 2008, Ma Ying-jeou
menjelaskan bahwa dia akan berusaha untuk memperbaiki interaksi antara Cina
dengan Taiwan. Presiden Ma juga menjanjikan bahwa dirinya akan mengadopsi
kembali konsensus 1992 yang merupakan prasyarat yang diberikan oleh Beijing
untuk membuka kembali kerjasama antara Cina dengan Taiwan.149
Kampanye yang diberikan oleh Ma Ying-jeou untuk memperbaiki
hubungan antara Cina dengan Taiwan mendapatkan respons yang baik dari
Beijing. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, setelah Ma terpilih
menjadi presiden, Beijing dan Taiwan membuka kembali pertemuan secara
148 People’s Daily, “Chinese Mainland Residents Greet KMT Leader’s Visit with Open Arm,” terakhir dimodifikasi pada 26 April 2005, diakses 24 Mei 2013, http://english.peopledaily.com.cn/200504/26/eng20050426_182817.html. 149 Fu-Kuo Liu, “The Dynamics of Cross-Strait Relations: Heading for Peace or Unknown Ground?,” Brookings Institution, terakhir dimodifikasi pada 19 Juli 2011, diakses 1 Juni 2013, http://www.brookings.edu/research/articles/2011/07/19-cross-strait-relations-liu.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
79
institusional antara kedua negara melalui pertemuan antara SEF dan ARATS.
Inisiatif yang diberikan oleh Presiden Ma Ying-jeou di bidang ekonomi juga
mendapatkan respons yang positif, dengan ditandatanganinya ECFA dan berbagai
kerjasama ekonomi yang meneruskan kerangka yang dilahirkan oleh ECFA.
4.4 Kebijakan Identitas Taiwan di Bawah Presiden Ma Ying-jeou
Bagian selanjutnya dari bab ini akan menggambarkan mengenai kebijakan
identitas selama masa kepemimpinannya yang pertama sebagai presiden Taiwan.
Bagian ini akan mencoba melihat kebijakan identitas tersebut ditilik dari lima
elemen identitas nasional yang diberikan oleh Wodak et.al.
Setelah berhasil menduduki kursi sebagai presiden Taiwan, Presiden Ma
Ying-jeou dihadapkan oleh beberapa kondisi yang sulit. Ekonomi Taiwan
memburuk akibat kebijakan Presiden Chen Shui-bian yang menghentikan
kerjasama dengan Cina. Ketegangan juga cukup tinggi karena Presiden Chen
dengan beberapa retorikanya yang pro kemerdekaan Taiwan, menyebabkan Cina
semakin gencar memberikan ancaman untuk menyerang Taiwan.150 Presiden Ma
Ying-jeou juga dihadapkan pada masyarakat Taiwan yang telah dikenai kebijakan
Taiwanisasi selama lebih dari dua dekade pada masa kepemimpinan Lee Teng-hui
dan Chen Shui-bian sehingga menyebabkan orang-orang yang mengidentifikasi
sebagai chinese menjadi semakin sedikit, sementara orang yang mengidentifikasi
dirinya sebagai taiwanese terus bertambah. Pada tahun 1993, orang-orang yang
mengidentifikasi dirinya sebagai chinese masih berjumlah 30%, sementara pada
tahun 2008 angka tersebut telah jauh berkurang menjadi kurang dari 5% saja.151
Kondisi tersebut menjadi tantangan bagi Presiden Ma untuk menyusun
kebijakan identitas. Di satu pihak, sebagai kandidat dari Partai KMT tentu
Presiden Ma memiliki ideologi pro-unifikasi dan melihat Taiwan sebagai bagian
dari ‘One China’, sementara di lain pihak kenyataan bahwa masyarakat telah
banyak yang memiliki identitas Taiwan membuatnya tidak bisa secara ekstrim
150 Edward Cody, “China Sends Warning to Taiwan with Anti-Secession Law,” The Washington Post, terakhir dimodifikasi pada 8 Maret 2005, diakses 3 Juni 2013, http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/articles/A15294-2005Mar7.html. 151 Election Study Center, N.C.C.U., “Important Political Attitude Trend Distribution,” grafik, http://esc.nccu.edu.tw/english/modules/tinyd2/index.php?id=6.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
80
meninggalkan kenyataan tersebut. Kenyataan ini mendorong Presiden Ma pada
masa kampanye untuk tidak begitu menampilkan retorika pro-nasionalisme Cina,
dan sebaliknya, justru banyak memberikan kebijakan yang terlihat seperti
mendukung taiwanisasi yang terus berjalan. Seperti yang digambarkan oleh
Muyard di dalam Lutgard dan Liao, retorika Presiden Ma,
“… launched a campaign centered on his own Taiwanese identity, the defense of Taiwan’s sovereignty as the Republic of China, and his commitment that Taiwan’s future must be decided only by the 23 million Taiwanese.”152
Retorika Ma yang mengikuti arus Taiwanisasi pada masa kampanye tidak
berlanjut ketika Presiden Ma kemudian berhasil menjadi presiden pada tahun
2008. Sesuai dengan ideologi yang diusung partainya, Presiden Ma menjadi lebih
frontal dalam menunjukkan kebijakan-kebijakan identitas yang mengedepankan
unsur kebudayaan Cina di dalamnya. Sebuah penelitian terhadap diskursus
Presiden Ma Ying-jeou pada masa kepemimpinannya yang pertama menunjukkan
bagaimana kebudayaan Cina ditekankan jauh lebih banyak oleh Presiden Ma
Ying-jeou dibandingkan identitas Taiwan.
152 Lams Lutgard dan Xavier Li-Wen Liao, “Tracing “Taiwanization” Processes in Taiwanese Presidential Statements in Times of Cross-Strait Rapprochement,” Journal of Current Chinese Affairs 40, no. 1 (2011): 82, diakses 21 Desember 2012, http://hup.sub.uni-hamburg.de/giga/jcca/article/view/404/402.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
81
Grafik 4.4.1 Grafik Probabilitas Penyebutan Kategori dalam Pidato153 Sumber: Jonathan Sullivan dan Eliyahu V. Sapir, “Ma Ying-jeou’s Presidential
Discourse,” Journal of Current Chinese Affairs 41, no. 3 (2012): 52, diakses 24 Mei 2013, http://hup.sub.uni-hamburg.de/giga/jcca/article/view/533/531.
Grafik di atas merupakan grafik yang dibuat oleh Jonathan Sullivan dan
Eliyahu Sapir yang menunjukkan fokus dari diskursus Presiden Ma Ying-jeou
dalam masa kepemimpinannya yang pertama dari tahun 2008 hingga tahun 2011.
Metode yang digunakan oleh Sullivan dan Sapir adalah menghitung jumlah
Presiden Ma menyebutkan kata-kata yang masuk sebagai kata kunci dalam
kategori tertentu. Contohnya adalah chinese culture, chinese nation, 1992
consensus, Confucius untuk kategori Chinese identity; new Taiwanese, Taiwan
First, love taiwan, the Taiwan Spirit, dalam kategori Taiwanese Identity, dan
seterusnya.154
Dari grafik di atas, kita dapat melihat bagaimana di dalam pidato-pidato
yang diberikan oleh Presiden Ma Ying-jeou, Presiden Ma seiring berjalannya
waktu semakin menekankan terhadap chinese identity dibandingkan taiwanese
identity. Jumlah tersebut dari tadinya perbedaan penekanannya hanya sekitar 10%
153 Sullivan dan Sapir, “Ma Ying-jeou’s Presidential Discourse”, 52. 154 Ibid., 47.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
82
pada bulan Mei tahun 2008, hingga mencapai lebih dari 30% pada bulan Mei
tahun 2011. Hal yang tak dapat dipungkiri adalah fokus terhadap identitas ini
memang tidak menempati fokus pertama karena fokus paling pertama bagi
Presiden Ma adalah masalah ekonomi, tetapi jika dibandingkan secara head to
head antara kebudayaan Cina dan kebudayaan Taiwan maka jelas bahwa Presiden
Ma Ying-jeou lebih menekankan pada unsur kebudayaan Cina.
4.4.1 5 Elemen Kebijakan Nasional dalam Kebijakan Identitas Ma Ying-jeou
Kita telah melihat bagaimana kebijakan identitas Presiden Ma Ying-jeou
mengalami pergeseran dari awalnya pragmatis dalam menghadapi kampanye
dengan memasukkan unsur-unsur taiwanese identity dalam kampanyenya, hingga
kemudian terus menekankan terhadap chinese identity selama masa
kepresidenannya. Bagian ini kemudian akan membahas secara lebih mendalam
mengenai kebijakan-kebijakannya sesuai dengan 5 elemen identitas nasional yang
telah dijelaskan pada bab pertama, yaitu national spirit, historical memory,
future anticipation, national body, dan nameable beginning.
National Spirit
Terkait dengan unsur national spirit, Presiden Ma Ying-jeou memberikan
beberapa pidato yang menyinggung semangat nasional yang dimiliki oleh Taiwan.
Salah satu contoh penting di mana Presiden Ma Ying-jeou menjelaskan mengenai
national spirit tersebut dapat dilihat ketika Presiden Ma Ying-jeou memberikan
pidato pengukuhannya ketika baru terpilih sebagai Presiden Taiwan pada tahun
2008. Di depan rakyat yang melihatnya sekaligus mata internasional yang ikut
menyaksikan saat itu, Presiden Ma menjelaskan mengenai apa yang disebutnya
sebagai ‘Taiwan Spirit’,
“What impressed me most was that the traditional core values of benevolence, righteousness, diligence, honesty, generosity, and industriousness could be seen everywhere in the words and deeds of the
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
83
Taiwanese people. These values have long been ingrained in their character, … also lauded as the “Taiwan Spirit”.155
Dari pidato di atas, kita dapat melihat beberapa karakter utama seorang
rakyat ‘Taiwan’, yang menurut Presiden Ma harus diwarnai oleh kebaikan, kerja
keras, kejujuran, dan tenggang rasa. Biarpun menggunakan retorika sebagai
‘Taiwan Spirit’, hal ini menurut Lams dan Liao merupakan cara Presiden Ma
untuk menghubungkan nilai-nilai tersebut dengan nilai-nilai tradisional
kebudayaan Cina yang berakar dari ajaran Konfusius. 156 Seperti yang telah
disebutkan di atas, Presiden Ma dapat dikatakan menjadi lebih berani dalam
menunjukkan penekanannya terhadap chinese identity seiring dengan berjalannya
masa kepresidenannya. Hal ini menurut penulis tergambarkan dari perbedaan dari
potongan pidato di atas pada tahun 2008, dengan pidatonya pada tahun 2011.
Pada perayaan 100 tahun berdirinya Republik Cina, Presiden Ma menyinggung
semangat nasional,
“ … We must remain true to the idealistic spirit of the nation’s founding fathers. We cannot allow ourselves to be daunted by adversity… We must have the courage to strike out in bold and pioneering new directions, so that our nation can become ‘the gold standard’ among ethnic Chinese societies.”157
Dari pidato yang diberikan di atas, kita dapat melihat dua hal penting.
Pertama, Presiden Ma memberikan referensi terhadap semangat nasional yang
diwariskan dari semangat para pendiri Republik Cina, di mana pendiri Republik
Cina tersebut merupakan tokoh-tokoh seperti Dr. Sun Yat-sen dengan retorika
pro-nasionalisme yang sangat kental. Kedua, kita juga dapat melihat bagaimana
semangat Taiwan tersebut sangat berkaitan dengan posisi Taiwan sebagai bagian
dari sebuah komunitas besar masyarakat Cina dunia, di mana Taiwan diharapkan
menjadi contoh bagi komunitas lain. Contoh di atas menunjukkan bagaimana
155 “Taiwan’s Renaissance: President Ma Ying-jeou Inaugural Address,” Office of the President Republic of China (Taiwan), diakses 27 Mei 2013, http://english.president.gov.tw/Portals/4/images/PresidentOffice/AboutPresident/pdf/section1.pdf. 156 Lams dan Liao, “Tracing “Taiwanization” Process,” 23. 157 “A Century of Struggle, a Democratic Taiwan,” Taiwan Embassy in Canada, diakses 27 Mei 2013, http://www.taiwanembassy.org/CA/ct.asp?xItem=225082&ctNode=150&mp=77.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
84
bentuk narasi dari Presiden Ma membentuk diskursus terhadap ‘Taiwan spirit’
yang berkaitan dengan chinese identity secara keseluruhan.
Historical Memory
Seperti yang telah disebutkan oleh Wodak et. al., di atas, salah satu unsur
penting untuk menciptakan identitas nasional adalah dengan memunculkan
diskursus mengenai memori memori yang berkaitan dengan sejarah bangsa
tersebut. Presiden Ma Ying-jeou banyak menjelaskan cerita-cerita yang berkaitan
dengan sejarah Taiwan dalam membentuk identitas Taiwan. Pada pidato yang
diberikannya ketika ia menjadi presiden, Presiden Ma menyebutkan sejarah
Republik Cina,
“The Republic of China was reborn on Taiwan… This Democratic Republic, the very first in Asia, spent a short 38 years on the Chinese mainland, but has spent nearly 60 years in Taiwan. During these last six decades, the destinies of the Republic of China and Taiwan have been closely intertwined”158
Kita dapat melihat dari pidato di atas bagaimana Presiden Ma Ying-jeou
menggambarkan Taiwan sebagai sebuah ‘bagian’ dari sejarah panjang Republik
Cina. Fokus juga diberikan oleh Presiden Ma dalam menunjukkan bagaimana
Taiwan dan Cina memiliki takdir yang berkaitan satu dengan lainnya. Mengikuti
apa yang disebutkan oleh Wodak, et.al., salah satu faktor yang akan menyebabkan
semakin kuatnya identitas nasional tersebut adalah ketika identitas tersebut
terbangun atas memori historis dari waktu yang amat lama, tidak peduli betul atau
tidaknya memori tersebut. Presiden Ma pun menarik sejarah historis Taiwan dan
mendekatkannya dengan budaya Cina secara umum, ketika Presiden Ma pada
tahun 2012 memimpin upacara untuk menghormati Kaisar Kuning. Kaisar Kuning
dipercaya adalah pemimpin yang pertama kali menemukan Cina lebih dari 5000
tahun yang lalu, dan dianggap sebagai leluhur dari seluruh kaum Cina. Keputusan
Presiden Ma untuk mendatangi langsung dan memimpin upacara tersebut
158 “Taiwan’s Renaissance: President Ma Ying-jeou Inaugural Address”, Office of the President Republic of China (Taiwan), diakses 27 Mei 2013, http://english.president.gov.tw/Portals/4/images/PresidentOffice/AboutPresident/pdf/section1.pdf.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
85
mengundang kontroversi dan kritik dari beberapa kalangan, terutama oposisi saat
itu, namun Presiden Ma, melalui pernyataan di situs resmi pemerintahan Taiwan,
menyatakan bahwa Kaisar Kuning merupakan leluhur Cina dan menghormati
leluhur merupakan salah satu kebudayaan Cina dan juga Taiwan.159
Anticipation and Future Orientation
Terkait mengenai masa depan dari Taiwan dan antisipasi yang diberikan
olehnya, penulis melihat bagaimana Presiden Ma Ying-jeou memberikan
gambaran mengenai apa yang menurutnya seharusnya harus ditempuh oleh
Taiwan jika ingin terus bertahan dari permasalahan-permasalahan yang
dihadapinya. Di dalam pidato pengangkatannya yang diberikan pada tahun 2008,
Presiden Ma memberikan beberapa petunjuk penting mengenai kebijakannya
tersebut,
“The new administration’s most urgent task is to lead Taiwan through the daunting challenges from globalization. The world economy is changing profoundly, and newly emerging countries are rising rapidly. We must upgrade Taiwan’s international competitiveness and recover lost opportunities… Islands like Taiwan flourish in an open economy and wither in a closed one…”160
Dari penggalan di atas, terlihat bagaimana Presiden Ma menunjukkan
tantangan yang dihadapi oleh Taiwan di masa depan. Masalah globalisasi, dengan
perdagangan bebas yang menghadapkan Taiwan dengan persaingan global yang
ketat antar negara-negara di dunia, menjadikan Taiwan harus memiliki semangat
berkompetisi yang kuat. Presiden Ma kemudian menunjukkan bahwa hal tersebut
harus direalisasikan dengan ekonomi yang sifatnya terbuka dan mendukung
perdagangan bebas. Hal-hal tersebut juga menjadi serangan bagi masa
kepemimpinan presiden Taiwan sebelumnya, Chen Shui-bian, terutama ketika
Presiden Ma jelas-jelas menunjukkan intensinya untuk membangun rekonsiliasi
159 Fan Cheng-hsian dan Su Yung-yao, “President Exalts Yellow Emperor,” Taipei Times, terakhir dimodifikasi pada 4 April 2012, diakses 27 Mei 2013, http://www.taipeitimes.com/News/front/archives/2012/04/04/2003529457. 160 A Century of Struggle, a Democratic Taiwan”, Taiwan Embassy in Canada, diakses 27 Mei 2013, http://www.taiwanembassy.org/CA/ct.asp?xItem=225082&ctNode=150&mp=77.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
86
dan mencari cara agar solusi dapat ditemukan antara kedua pihak di Selat Taiwan,
melalui cara perdamaian dan tanpa kekerasan.161
National Body
National body, seperti yang digambarkan oleh Wodak et.al., adalah
diskursus yang dibuat untuk menunjukkan mengenai bagian dari teritori negara,
sumber daya alam yang ada di dalamnya, dan artifak-artifak yang dikandung
olehnya. Seperti yang telah dijelaskan pada subbab terdahulu mengenai sejarah
kebijakan identitas terhadap Taiwan, klaim mengenai Taiwan dan entitas serta
teritori apa yang diwakilinya telah menjadi permasalahan yang amat pelik.
Taiwan di bawah masa-masa awal kepemimpinan KMT menekankan bahwa
Taiwan merupakan pemerintahan yang sah mewakili tidak hanya wilayah Taiwan,
tetapi keseluruhan wilayah Cina termasuk Hongkong dan Makau. Hal ini
kemudian direpresentasikan dengan struktur pemerintahan yang memberikan
privilege kepada orang-orang yang berasal dari Cina daratan.
Dengan naiknya Lee Teng-hui yang merupakan anak yang asli lahir dan
besar di Taiwan, Taiwan kemudian melaksanakan reformasi dan demokratisasi.
Biarpun tidak secara eksplisit menghilangkan klaim Taiwan kepada seluruh Cina
daratan, tetapi Lee Teng-hui menjadi awalan terhadap gerakan yang selanjutnya.
Gerakan tersebut berada di bawah pemerintahan Chen Shui-bian, yang hampir
tidak menekankan terhadap unsur Cina di dalam retorika-retorikanya, sehingga
penjelasan mengenai masalah klaim teritori terhadap Cina tidak banyak diberikan.
Menghadapi kondisi tersebut, Presiden Ma kemudian membuat diskursus
mengenai nasib masa depan wilayah teritori Taiwan dan sumber daya di
dalamnya. Menurut Lams dan Liao, penggalan pidato Presiden Ma pada tahun
2008 ketika baru dilantik pada tahun 2008, seperti yang telah dikutip di atas
tentang lahirnya kembali Taiwan,162 menunjukkan perubahan mengenai klaim
yang diberikan oleh Presiden Ma dengan apa yang mungkin diharapkan oleh
partai KMT. Presiden Ma pada pidatonya tersebut menunjukkan bagaimana
161 Ibid. 162 Ibid.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
87
Republik Cina saat ini memang secara legal institusinya telah berpindah dari Cina
daratan ke Kepulauan Taiwan.163
Nameable Beginning
Terkait dengan nameable beginning, penulis sekali lagi akan melihat dari
pidato Presiden Ma yang diberikan pada saat pelantikannya. Penulis melihat
bahwa sekali lagi Presiden Ma menunjukkan bahwa ia menghitung awal
permulaan terhadap Taiwan dari ketika Republik Cina terbentuk di Cina daratan
pada tahun 1912, bukan ketika pemerintahan KMT yang kalah perang sipil dari
PKC mengungsi ke Taiwan pada tahun 1949. Hal ini menunjukkan bahwa
Presiden Ma masih berpegang terhadap hal tersebut sebagai nameable beginning
dari Taiwan, sesuatu yang telah dibentuk oleh KMT sejak Chiang Kai-shek
membuat keputusan Year Zero yang mengikuti tahun berdirinya Republik Cina.164
Diskursus yang sama juga diberikan oleh Presiden Ma ketika ia
memberikan pidato pada perayaan seabad berdirinya Republik Cina. Pada
pidatonya tersebut, Presiden Ma memberikan sebuah bagian khusus di mana ia
menjelaskan revolusi Xinhai yang menjadi awal mula berdirinya Republik Cina.
Ia menjelaskan mengenai Dr. Sun Yat-sen dengan pemikirannya mengenai
Republik Cina yang ideal, tentang pahlawan-pahlawan revolusi di Cina saat itu
yang datang dari berbagai provinsi, dan tentang arti dari lahirnya Revolusi
tersebut.165
4.5 Dampak Kebijakan Identitas Presiden Ma Ying-jeou
Setelah melihat diskursus yang diberikan oleh Presiden Ma Ying-jeou
terkait dengan identitas, dapat terlihat bagaimana Presiden Ma Ying-jeou secara
umum menunjukkan sikapnya yang pro terhadap Chinese identity. Pada subbab
terakhir di bab ini, kita akan melihat dampak dari retorika tersebut, baik di dalam
negeri maupun dalam hubungan antara Taiwan dan Cina.
163 Lams dan Liao, “Tracing “Taiwanization” Process,” 84. 164 Hughes, Taiwan and Chinese Nationalism, 29-30. 165 A Century of Struggle, a Democratic Taiwan”, Taiwan Embassy in Canada, diakses 27 Mei 2013, http://www.taiwanembassy.org/CA/ct.asp?xItem=225082&ctNode=150&mp=77.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
88
4.5.1 Kebijakan Identitas Presiden Ma dan Pembentukan Identitas di
Taiwan
Grafik 4.3.1.1 Identifikasi Identitas Masyarakat Taiwan 1992-2012 Sumber: Election Study Center NCCU, “Important Political Attitude Trend Distribution,” grafik,
http://esc.nccu.edu.tw/english/modules/tinyd2/index.php?id=6.
Seperti yang telah kita ketahui sebelumnya, kebijakan identitas di Taiwan
bersifat dinamis mengikuti berubahnya kepemimpinan dan ideologi apa yang
dibawa oleh pemimpin tersebut. Taiwanisasi yang terjadi kurang lebih dua dekade
membawa Taiwan pada kondisi di mana masyarakatnya semakin meninggalkan
identitas sebagai orang Cina, dan semakin banyak orang yang mengidentifikasi
sebagai orang Taiwan.
Setelah melihat bagaimana retorika-retorika yang pro-kebudayaan Cina
seperti di atas, maka seharusnya kebijakan tersebut membuahkan hasil sehingga
ada perbaikan terhadap dinamika identitas di masyarakat Taiwan. Hanya saja,
hasil yang terjadi justru sebaliknya,
Dari grafik di atas, kita dapat melihat bagaimana tidak ada perubahan yang
signifikan terhadap identifikasi masyarakat Taiwan sebagai orang Taiwan, orang
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
89
Cina, ataupun orang yang merasa sebagai Cina dan Taiwan. Justru yang terjadi
adalah kenaikan tingkat orang-orang yang merasa sebagai orang Taiwan. Hal ini
tentu tidak sesuai dengan kebijakan identitas yang diberikan oleh Presiden Ma.
Terdapat dua hal yang menjadi masalah mengapa kebijakan retorika yang
diambil Ma tidak menimbulkan efek yang masif. Pertama, hal ini terjadi karena
Presiden Ma memang tidak memiliki keinginan untuk menekankan garis batas
pemisah antar etnisitas, seperti yang dilaksanakan dengan sangat dalam oleh
mantan presiden Chen Shui-bian. Kebijakan Identitas Presiden Ma meskipun
menekankan kebijakan identitas pro-Cina lebih besar daripada Pro-Taiwan, tetapi
kesemuanya merupakan prioritas kedua dibandingkan kebijakan ekonomi Taiwan.
Melihat figur yang telah diberikan pada subbab di atas, kita dapat mengetahui
bahwa figur terhadap penyebutan ekonomi banyak mendapat tempat utama,
mengalahkan kebijakan identitas dan masalah lainnya seperti unifikasi vs
independensi.166
Lebih lanjut lagi, penulis melihat bahwa retorika-retorika yang
disampaikan oleh Presiden Ma Ying-jeou, biarpun menyebut dan menerangkan
mengenai kebudayaan dan sejarah Cina, tetapi tidak juga meninggalkan begitu
saja kebudayaan dan identitas Taiwan. Apa yang telah dibangun selama 20 tahun
sebelumnya tentu meninggalkan impresi di masyarakat Taiwan, sehingga apabila
pemerintah bersifat terlalu ekstrim dengan programnya yang mendukung
kebudayaan Cina, hal ini tentu akan mendorong munculnya resistensi yang besar
di masyarakat. Situasi ini terlihat pada awal-awal pemerintahan Ma Ying-jeou,
ketika situs resmi kepresidenan Taiwan merubah disainnya dan menghilangkan
unsur Taiwan di dalamnya dengan menghapus kata-kata Taiwan dan
menghilangkan gambar kepulauan Taiwan dari situs tersebut. Hanya saja, hal
tersebut mengundang amarah dari masyarakat, ditunjukkan dengan menurunnya
popularitas dari KMT, dan hal ini kemudian mendorong agar unsur-unsur yang
hilang tersebut agar muncul kembali di situs kepresidenan Taiwan.167
Presiden Ma sendiri menamakan kebijakan identitasnya sebagai kebijakan
dengan visi sebagai “New Taiwanese”, di mana Presiden Ma ingin
menggabungkan kebudayaan yang berasal dari Cina dan memberinya ‘sentuhan’ 166 Sullivan dan Sapir, “Ma Ying-jeou’s Presidential Discourse,” 54. 167 Lams dan Liao, “Tracing “Taiwanization” Process,” 83.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
90
asli Taiwan. Hal ini menjadi bukti bahwa Presiden Ma sendiri tidak dapat lepas
dari identitas Taiwan yang saat itu memang masih kuat dimiliki oleh masyarakat
Taiwan. Jika dibandingkan oleh kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden Chen,
Presiden Chen pada masa pertama kepemimpinannya menyinggung mengenai
masalah identitas Taiwan sebanyak 60%, dan terus meningkat hingga mencapai
80% ketika ketegangan antara Cina dan Taiwan memuncak saat Cina
mengeluarkan hukum anti separatisme.168
4.5.2 Dampak Kebijakan Identitas terhadap Hubungan Taiwan-Cina
Naiknya Ma Ying-jeou menjadi presiden pada tahun 2008, menggantikan
DPP membawa harapan akan membaiknya hubungan Cina dan Taiwan. Hal ini
tidak hanya dilihat dari segi kerjasama ekonomi yang terus berkembang, tetapi
juga dari retorika-retorika yang dikeluarkan oleh Presiden Ma Ying-jeou yang
tidak akan bersifat provokatif dan mendorong Cina untuk mengeluarkan ancaman-
ancaman kepada Cina.
Permasalahan mengenai identitas di Cina selalu berkaitan dengan tema
unifikasi dengan independensi. Retorika yang dibawakan oleh mantan Presiden
Chen Shui-bian sangat kental dengan semangat akan Taiwan sebagai sebuah
bangsa yang merdeka dan berdaulat, dan hal ini sering kali kemudian
direalisasikan oleh Presiden Chen dengan usulan-usulan provokatif, seperti salah
satunya yang paling terkenal adalah mengusulkan adanya referendum terkait
dengan hubungan Cina-Taiwan pada 2004, dan referendum untuk mendaftarkan
Taiwan sebagai anggota PBB dengan nama ‘Taiwan’.169
Ucapan-ucapan provokatif tersebut tidak muncul ketika Presiden Ma
menjabat sebagai Presiden. Bahkan sebelum terpilih, presiden Ma telah
menunjukkan bahwa ia ingin memperbaiki hubungan dengan Cina dengan
mengakui kembali Konsensus 1992 yang sempat tidak diakui oleh Presiden Chen.
Selain itu, setelah terpilih, Ma juga dengan tegas menyatakan mendukung “Three
168 Sullivan dan Sapir, “Ma Ying-jeou’s Presidential Discourse,” 52. 169 Austin Ramzy, “Taiwan’s President Calls for Vote,” Time, terakhir dimodifikasi pada 11 Juli 2007, diakses 26 Mei 2013, http://www.time.com/time/world/article/0,8599,1642169,00.html.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
91
Nos” (No Unification, No independence, and no war).170 Hal tersebut mendukung
kembali terbukanya kerjasama antara Cina dan Taiwan.
Secara identitas, kebijakan identitas yang diberikan oleh Presiden Ma
mungkin tidak merubah tren menurunnya masyarakat Taiwan yang
mengidentifikasi dirinya sebagai Orang Cina, tetapi jika kita melihat pada grafik
mengenai identifikasi vs. unifikasi,
Grafik 4.4.2.1 Tren Unifikasi vs Independensi Taiwan 1992-2012
Sumber: Election Study Center NCCU, “Important Political Attitude Trend Distribution,” grafik, http://esc.nccu.edu.tw/english/modules/tinyd2/index.php?id=6
Dari grafik di atas, dapat ditarik. Pertama, Presiden Ma Ying-jeou berhasil
memanfaatkan momentum yang terjadi di Taiwan saat itu, untuk menghentikan
gerakan pro-independensi yang terus meningkat. Bisa dilihat pada grafik satu,
pilihan untuk independensi secepatnya melonjak sangat jauh pada rentang waktu
170 Sullivan dan Sapir, “Ma Ying-jeou’s Presidential Discourse,” 36.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
92
2000-2006, pada masa pemerintahan DPP. Hilangnya kepercayaan masyarakat
terhadap DPP akibat kasus-kasus korupsi dan kegagalannya memperbaiki kondisi
ekonomi Taiwan diakui menjadi awal dari turunnya kejayaan DPP (dan kemudian
mendorong mulai turunnya dukungan terhadap retorika pro-independensi).
Presiden Ma Ying-jeou dengan demikian berhasil memanfaatkan momentum
tersebut dan kemudian perlahan membawa dukungan terhadap independensi
secepatnya untuk terus turun. Kesimpulan kedua yang dapat dilihat adalah
dukungan terhadap status quo (dengan berbagai variasinya) masih mendapatkan
lebih dari 50% dukungan masyarakat Taiwan. Hal ini menunjukkan bagaimana
Presiden Ma masih mendapat dukungan dari mayoritas masyarakat dalam
usahanya mempertahankan hubungan Taiwan dan Cina.
Lebih lanjut lagi, sebuah penelitian mengenai persepsi yang dirasakan oleh
masyarakat Taiwan kepada perilaku ofensif yang diberikan oleh pemerintahan
Cina juga menunjukkan hasil bahwa persepsi yang terbangun dari sisi Taiwan
terhadap Cina menunjukkan penurunan persepsi ancaman dari Cina kepada
Taiwan.171 Hal ini terutama terbangun karena semakin meningkatnya hubungan
ekonomi antara Cina dan Taiwan menyebabkan semakin banyak kaum muda yang
melihat bahwa Cina tidak akan bersifat konfliktual dengan Taiwan karena
hubungan ekonomi yang terbentuk. 172 Sebaliknya, hubungan yang membaik
antara Cina dan Taiwan juga memberikan dampak positif terhadap persepsi yang
diberikan oleh penduduk Cina kepada Taiwan. Hal ini menunjukkan adanya
timbal balik yang positif dari interaksi yang terjadi antara hubungan Cina dan
Taiwan di bawah pemerintahan Presiden Ma Ying-jeou.
Sebagai kesimpulan, kita dapat melihat bagaimana terjadi perubahan yang
cukup signifikan dalam kebijakan identitas antara Presiden Ma dengan presiden
Taiwan sebelumnya. Sesuai dengan analisa yang diberikan oleh Wendt, identitas
sebuah negara dan kepentingannya merupakan hasil produksi dan re-produksi dari
interaksi antara negara, dan melihat bahwa hubungan baik yang terjadi antara
171 “Beijing’s Hostility Toward ROC”, Mainland Affairs Council, diakses 1 Juni 2013, http://www.mac.gov.tw/ct.asp?xItem=103737&ctNode=7366&mp=3. 172 Peter Enav, “Taiwan Runs Short of Volunteers in Military Shift,” News Daily, terakhir dimodifikasi pada 13 Mei 2013, diakses 2 Juni 2013, http://www.newsdaily.com/article/fae3865c11320c484a8ab2ccf7d3c9a4/taiwan-short-of-volunteers-for-the-military.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
93
Cina dengan Taiwan pada akhirnya memberikan hasil yang cukup positif dengan
membaiknya persepsi Taiwan terhadap Cina dan sebaliknya. Kebijakan-kebijakan
Presiden Ma terkait dengan identitas nasional Taiwan yang membangkitkan
kembali hubungannnya dengan kebudayaan Cina, menurut penulis merupakan
upaya Presiden Ma untuk memberikan intensi positif, karena Taiwanisasi yang
terjadi sebelumnya menimbulkan ketegangan antara Cina dengan Taiwan.
Dampak dari unsur domestik, tersebut, dengan demikian, melengkapi inisiatif
yang tadinya telah dikembangkan dan berada di level eksternal. Berbeda dengan
di bidang keamanan dan ekonomi, dengan demikian faktor internal dan eksternal
memegang peranan yang cukup penting dalam pembentukan kebijakan identitas
Taiwan di bawah Presiden Ma Ying-jeou.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
94
BAB 5
KESIMPULAN
Kebijakan luar negeri Taiwan terhadap Cina dalam hubungan antar-selat
di bawah Presiden Ma Ying-jeou merupakan bagian dari dinamika yang cukup
panjang yang telah beberapa kali berubah sejak Taiwan pertama kali berada di
bawah kekuasaan penuh Republik Cina pada tahun 1949. Seperti yang telah
dijelaskan, perubahan dalam dinamika tersebut bermula dengan perpanjangan
perang sipil Cina di masa-masa awal kepemimpinan Chiang Kai-shek, mulai
dibukanya hubungan antara Taiwan dan Cina secara informal dan di bidang
ekonomi di bidang Chiang Ching-kuo, menguatnya hubungan ekonomi yang terus
berkembang sejak saat itu, meskipun pada akhirnya hal tersebut tidak berpengaruh
ke bidang politik karena ketegangan yang sempat naik di bawah Presiden Lee
Teng-hui dan Chen Shui-bian. Tugas akhir ini mencoba menilai kebijakan luar
negeri Taiwan di bawah Presiden Ma Ying-jeou, di mana kebijakan luar negerinya
berusaha untuk memperbaiki hubungan antar-selat.
Tugas akhir ini membagi kebijakan luar negeri Taiwan di bidang
keamanan, ekonomi, dan identitas. Pada bidang keamanan dipergunakan konsep
Realisme Defensif yang dikembangkan oleh Shiping Tang untuk menjelaskan
kebijakan keamanan Presiden Ma Ying-jeou. Shiping Tang memberikan
penjelasan bahwa negara-negara memiliki tangga pilihan kebijakan keamanan,
dari appeasement hingga preventive war. Shiping Tang menawarkan sebuah jenis
kebijakan, yang dinamakan engagement. Menurut Shiping Tang, kebijakan
engagement ini akan diimplementasikan oleh negara yang menganut Realisme
Defensif, di mana terdapat perimbangan antara deterrence dengan reassurance.
Dalam menjustifikasi kebijakan tersebut, Shiping Tang menjelaskan bahwa
terdapat dua indikator yang dapat diberikan untuk menentukan apakah sebuah
negara merupakan negara yang menganut realisme defensif atau ofensif, yaitu
keberadaan adanya security dilemma yang akan melimitasi tindakan sebuah
negara dan apakah sebuah negara melaksanakan sikap self-restraint.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
95
Temuan dalam kebijakan keamanan Presiden Ma Ying-jeou menunjukkan
bagaimana Presiden Ma Ying-jeou berusaha untuk melaksanakan engagement
kepada Cina. Hal ini dibuktikan berdasarkan adanya penurunan anggaran
pertahanan Taiwan, yang merupakan bentuk reassurance yang diberikan oleh Ma
Ying-jeou kepada Cina bahwa Taiwan tidak akan terdorong untuk menambah
anggaran pertahanannya karena Taiwan. Hal ini merupakan salah satu unsur dari
intensi baik yang ditunjukkan oleh Taiwan. Lebih lanjut lagi, Taiwan juga
memberikan ajakan untuk bekerjasama, yang tergambar jelas terutama di bidang
ekonomi. Terkait dengan deterrence, faktor eksternal dalam hubungan kedua
negara ini, yaitu Amerika Serikat, memegang peranan penting, yang
menyebabkan Cina untuk melimitasi provokasi-provokasi militer kepada Taiwan.
Dalam menjustifikasi kebijakan tersebut, seperti yang telah dijelaskan oleh
Shiping Tang, terdapat dua indikator yang dapat menjelaskan mengapa Taiwan
mengambil kebijakan engagement tersebut. Penemuan dari dua indikator di atas
menunjukkan bahwa Cina merupakan negara yang cenderung masih menganut
realisme ofensif, terutama dalam hubungannya dengan Taiwan. Biarpun Cina
mengakui adanya security dilemma terhadap naiknya kekuatan ekonomi dan
pertahanan Cina (yang kemudian mendorong Cina memunculkan konsep
‘Peaceful Rise’), tetapi implementasi dari kesadaran tersebut tidak terlihat karena
Cina masih intensif mengembangkan kekuatan militernya, dan bahkan secara
spesifik mentarget Taiwan dalam pengembangan militernya tersebut. Di bidang
domestik sendiri, terlihat adanya beberapa kondisi yang menguntungkan bagi
kebijakan engagement untuk dilaksanakan, seperti dukungan publik dan dukungan
dari parlemen Taiwan. Hanya saja, faktor-faktor domestik tersebut tidak
memegang perananan sebesar faktor Cina sebagai penentu kebijakan keamanan
Taiwan.
Di dalam bidang ekonomi, dinamika hubungan Taiwan dan Cina diwarnai
dengan meningkatnya nilai investasi dan perdagangan antara kedua negara.
Taiwan memiliki peran cukup besar dalam membantu Cina memiliki
pertumbuhan seperti saat ini, dan sebaliknya Taiwan juga cukup bergantung pada
Cina sebagai tujuan utama ekspor barang-barang Taiwan. Hanya saja, menilik
sejarah di mana Taiwan sempat diperintah oleh Chen Shui-bian, yang memiliki
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
96
agenda-agenda independensi, hubungan ekonomi yang baik tersebut dapat
terancam. Oleh karena itu dimulailah institusionalisasi dalam hubungan ekonomi
kedua negara dalam bentuk Economic Cooperation Framework Agreement
(ECFA). ECFA ini kemudian telah dibuktikan untuk mencukupi 4 elemen yang
harus dimiliki oleh sebuah institusi, yaitu adanya prinsip, norma, aturan-aturan,
dan decision-making process.
Lebih lanjut lagi, proses institusionalisasi ini kemudian ditelaah melalui
perspektif Neoliberal Institusionalisme. Perspektif ini memberikan peran penting
terhadap institusi, di mana keuntungan-keuntungan yang didapat dari institusi
tersebut dapat mengurangi efek buruk dari security dilemma yang tercipta dalam
sistem internasional yang anarki. Secara lebih spesifik, Robert Keohane
menuliskan bahwa keuntungan tersebut dapat diantisipasi terjadi dalam hal legal
liability, transaction cost, dan uncertainty and information. Dari penemuan-
penemuan yang terjadi, baik pra penandatanganan dan paska implementasi ECFA,
terlihat bahwa ECFA dapat memenuhi beberapa keuntungan yang telah
diantisipasi. Keuntungan dari sisi legal liability, di mana ekspektasi akan
hubungan yang terus berjalan stabil, dibuktikan dengan hubungan dagang yang
makin menguat. Dari segi transaction cost, keberadaaan ECFA membuat
penandatanganan kerjasama antara Taiwan dan Cina dalam hal lain di bidang
ekonomi, menjadi lebih mudah tercipta. Dari segi uncertainty and information,
intensitas pertemuan yang rutin keduanya lakukan akibat ECFA menyebabkan
koordinasi kebijakan antara keduanya akan lebih mudah dilakukan, biarpun
terdapat sebuah loophole dalam sisi ini, akibat adanya klausa yang
memperbolehkan pembatalan unilateral terhadap ECFA ini. Di level domestik,
terdapat dukungan dan hambatan terhadap ECFA ini, namun besarnya insentif-
insentif dari hubungan Cina dan Taiwan di bidang ekonomi yang membaik
membuat hambatan-hambatan domestik dapat dilewati.
Dalam aspek identitas, telah dijelaskan terlebih dahulu secara mendalam
bagaimana identitas nasional memegang aspek penting dalam kehidupan Taiwan
sebagai sebuah negara. Evolusi identitas di Taiwan terjadi saat kebijakan One-
China Policy di bawah Kuomintang, kemudian secara perlahan berubah karena
adanya dorongan demokratisasi yang membuat identitas taiwanese semakin
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
97
berkembang dan balik mendominasi di Taiwan. Permasalahan di Taiwan adalah
identitas tersebut amat besar kaitannya dengan politik, di mana hal ini terlihat
sangat besar pada saat Taiwan dipimpin Chen Shui-bian. Taiwanisasi yang
diintensifikasi di bawahnya kemudian diikuti oleh agenda-agenda kemerdekaan
yang memprovokasi Cina. Hal tersebut mengakibatkan meruncingnya hubungan
antara Cina dengan Taiwan, membuat keduanya memandang satu dengan lainnya
sebagai musuh.
Dalam teori yang dikembangkannya yang kemudian dikenal sebagai
Systemic Constructivism, Alexander Wendt menjelaskan bahwa interaksi antara
negara memegang peranan penting dalam membentuk identitas dan kepentingan
negara tersebut satu dengan lainnya dan kemudian identitas dan kepentingan
tersebut membentuk interaksi antar negara tersebut selanjutnya. Dalam konteks
hubungan Taiwan dan Cina, yang meruncing di bawah Chen Shui-bian, inisiatif-
inisiatif coba diberikan oleh Kuomintang yang kala itu menjadi oposisi dari Chen
Shui-bian. Nyatanya, inisiatif tersebut direspons positif oleh Beijing, menciptakan
interaksi yang positif dan selanjutnya membentuk identtias dan kepentingan
antara KMT (yang kemudian memegang kekuasaan Taiwan di bawah Presiden
Ma) dan Beijing. Hal ini terlihat dari respons positif Beijing terhadap terpilihnya
Ma dan juga dari diterimanya proposal-proposal untuk bekerjasama yang
diberikan oleh Presiden Ma kepada Beijing.
Di level domestik, Presiden Ma sebaliknya mencoba membangun identitas
nasional yang mengembalikan identitas Taiwan pada budaya Cina. Menurut
Wodak, dalam penjelasannya mengenai diskursus pembentukan identitas, terdapat
5 elemen diskursus yang harus dibentuk, yaitu national spirit, historical memory,
anticipation and future orientation, national body, dan nameable beginning. Dari
pidato-pidato yang diberikan oleh Presiden Ma, baik secara kuantitatif, dan dari
sisi kontennya, terlihat bahwa 5 elemen tersebut memang digambarkan kembali
memiliki sisi chinese yang kuat, Hal ini menurut Ma akan membawa harmoni
yang dibutuhkannya, dan dari segi hubungan antara Taiwan dan Cina, Cina
sendiri akan lebih tenang dengan perkembangan identtitas tersebut dibandingkan
dengan Taiwanisasi yang dikembangkan oleh Chen Shui-bian.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
98
Dari analisa tiga bidang dalam hubungan antar-selat Taiwan dan Cina, kita
dapat melihat terjadinya hubungan yang membaik antara Taiwan dengan Cina,
terutama di bidang ekonomi. Kebijakan Presiden Ma Ying-jeou, dengan
demikian, dapat dikategorikan sebagai bentuk consensus-oriented foreign policy.
Apabila dikomparasikan dengan Cina dalam hubungan bilateral antara Taiwan
dan Cina, dapat dikatakan Taiwan merupakan negara dengan power yang lebih
kecil. Inisiatif-inisiatif yang diberikan oleh Presiden Ma Ying-jeou seperti yang
digambarkan di atas, menunjukkan unsur inisiatif dan keinginan dari sisi Taiwan
untuk memperbaiki hubungannya dengan Cina, membedakannya dengan
compliant foreign policy, counterdependence, dan compensation.
KEBIJAKAN EKONOMI
KEBIJAKAN KEAMANAN KEBIJAKAN IDENTITAS
Gambar 5.1 Segitiga Kebijakan Luar Negeri Presiden Ma Ying-jeou
Segitiga di atas mencoba menggambarkan bagaimana kebijakan luar
negeri Taiwan di bawah Presiden Ma memiliki tiga fondasi dasar, yaitu di bidang
keamanan, ekonomi, dan identitas. Perlu diperhatikan adalah posisi dari kebijakan
ekonomi yang ditempatkan di atas kebijakan keamanan dan kebijakan identitas.
Alasan dari penempatan tersebut adalah karena kebijakan ekonomi yang
merupakan fokus utama dari hubungan Taiwan dan Cina yang ingin diperbaiki
oleh Presiden Ma. Seperti yang telah terlihat, progres yang sangat besar dapat
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
99
dilihat di bidang ekonomi, di mana institusionalisasi terjadi, sementara di bidang
keamanan, masih terdapat masalah-masalah yang sensitif seperti masih adanya
pengarahan misil ke Taiwan dari Fujian, dan di bidang identitas, identitas asli
Taiwan masih jauh melebihi orang orang yang merasa dirinya chinese.
Hal ini juga terlihat dari peran dan efek dalam hubungan antara ketiga
kebijakan tersebut. Pada kebijakan keamanan, di mana terjadi engagement, salah
satu unsur penting dalam reassurance dan ajakan kerjasama diberikan oleh
Taiwan melalui tawaran-tawaran dalam bentuk kebijakan ekonomi. Pada bidang
identitas, salah satu tujuan dari Presiden Ma untuk memperbaiki disparitas antara
taiwanese dan chinese adalah untuk mencegah munculnya hambatan dalam
kerjasama ekonomi kedua negara. Negara dapat bekerjasama dengan baik ketika
negara tersebut memiliki pandangan identitas yang positif kepada negara lainnya,
dan usaha Presiden Ma dengan kebijakan identitasnya dengan demikian memiliki
kepentingan ekonomi sebagai hasil akhirnya. Dengan demikian, kebijakan
ekonomi memiliki peranan penting dalam upaya besar Presiden Ma Ying-jeou
memperbaiki hubungan antar-selat Taiwan dan Cina.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
100
DAFTAR PUSTAKA
“A Century of Struggle, a Democratic Taiwan.” Taiwan Embassy in Canada.
diakses 27 Mei 2013.
http://www.taiwanembassy.org/CA/ct.asp?xItem=225082&ctNode=150&m
p=77.
Albright, Susan. “Taiwan’s New President Will Try to Calm the Waters.”
Minneapolis Post, 25 Maret 2008. Diakses 12 Juni 2013.
http://www.minnpost.com/politics-policy/2008/03/taiwans-new-president-
will-try-calm-waters.
Amae, Yoshihisa dan Jens Damm. “”Whither Taiwanization?” State, Society, and
Cultural Production in the New Era.” Journal of Current Chinese Affairs 40,
no. 1 (2011): 3-17. Diakses 21 Desember 2012. http://hup.sub.uni-
hamburg.de/giga/jcca/article/view/402/400.
Anlin, Yan. “Cross-Taiwan Strait Relations and Beijing’s Taiwan Policy
Adjustment since 1979.” di dalam Cross-Taiwan Straits Relations Since
1979: Policy Adjustment and Institutional Change Across The Strait, ed.
Kevin G. Cai, 21-50. Singapore: World Scientific Publishing, 2011.
“Beijing’s Hostility Toward ROC.” Mainland Affairs Council. Diakses 1 Juni
2013. http://www.mac.gov.tw/ct.asp?xItem=103737&ctNode=7366&mp=3.
Blanchard, Ben dan John Ruwitch. “China Hikes Defense Budget, to Spend More
on Internal Security.” Reuters, 5 Maret 2013. Diakses 12 Juni 2013.
http://www.reuters.com/article/2013/03/05/us-china-parliament-defence-
idUSBRE92403620130305.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
101
Bozdaglioglu, Yucel. “Constructivism and Identity Formation: An Interactive
Approach.” Review of International Law and Politics 3, no. 11 (2007): 121-
144. Diakses 1 Juni 2013.
http://www.usak.org.tr/dosyalar/dergi/3abv06hKYpVj1fK71jEi4AP2g6ctBc
.pdf.
Breuning, Marijke. Foreign Policy Analysis: A Comparative Introduction. New
York: Palgrave Macmillan, 2007.
“Brief Summary Cross-Strait Economic Statistics 2011.” Mainland Affairs
Council. Diakses 12 Mei 2013.
http://www.mac.gov.tw/public/Attachment/22159522847.pdf.
Castells, Manuel. The Power of Identity 2nd Ed. West Sussex: Blackwell
Publishing Ltd., 2010.
Chang, Hui-Ching dan G. Richard Holt. “Naming China: An Analysis of
Taiwan’s National Day Speeches.” Journal of Language and Politics, no.10
(2011): 396-415. Diakses 4 Juni 2013.
http://www2.comm.niu.edu/faculty/rholt/eoc/CVnamingChina.pdf.
Chao, Vincent Y. “DPP Decries Dependency on PRC.” Taipei Times, 17 Juni
2011. Diakses 12 Juni 2013.
http://www.taipeitimes.com/News/taiwan/archives/2011/06/17/2003505997.
Chao, Vincent Y. “Pundits Says Defense Cuts Invite Aggression.” Taipei Times,
22 Juni 2011. Diakses 21 Desember 2012.
http://www.taipeitimes.com/News/front/archives/2011/06/22/2003506383.
Chase, Michael S. “Taiwan’s Defense Budget Dilemma: How Much is Enough In
An Era of Improving Cross-Strait Relations.” China Brief 8, no. 15 (2008).
Diakses 21 Desember 2012.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
102
http://www.jamestown.org/programs/chinabrief/single/?tx_ttnews%5Btt_ne
ws%5D=5061&tx_ttnews%5BbackPid%5D=168&no_cache=1.
Chen, Ezra N.H. “The Economic Integration of Taiwan and China and Its
Implications for Cross-strait Relations.” Makalah, Harvard University,
2003. http://programs.wcfia.harvard.edu/files/fellows/files/chen.pdf.
Chen, York W. “The Modernization of Taiwan’s National Security Council.”
China Brief 10, no. 22 (2010). Diakses 9 Mei 2013.
http://www.jamestown.org/single/?no_cache=1&tx_ttnews[tt_news]=37144
&tx_ttnews[backPid]=7&cHash=4a95d2f20a#.UdmQElPWEUs.
Cheung, Gordon C.K. “New Approaches to Cross-Strait Integration and its
Impacts on Taiwan’s Domestic Economy: An Emerging “Chaiwan”?.”
Journal of the Current Chinese Affairs/China Aktuell 39, no. 1 (2010): 11-
36. Diakses 8 Juli 2013. http://journals.sub.uni-
hamburg.de/giga/jcca/article/view/199.
Chiang, Min-Hua. “Cross-Strait Economic Integration in the Regional Political
Economy.” International Journal of China Studies 2, no. 3 (2011): 681-700.
Diakses 2 Juni 2013.
http://cmsad.um.edu.my/images/ics/IJCSV2N3/IJCSV2N3-chiang.pdf.
Chiu, Yut-zu. “Chen to Tighten Cross-Strait Policies.” Taipei Times, 2 Januari
2006. Diakses 1 Juni 2013.
http://www.taipeitimes.com/News/front/archives/2006/01/02/2003287016.
Chu, Monique. “Taiwan and the United Nations – Withdrawal in 1971 was a
Historic Turning Point.” Taipei Times, 12 September 2001. Diakses 1 Juni
2013. http://www.taipeitimes.com/News/local/archives/2001/09/12/102595.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
103
Chu, Yun-han. “Rapprochement in The Taiwan Strait: Opportunities and
Challenges for Taipei.” East Asian Policy 1, no. 4 (2009): 77-86. Diakses 8
Juli 2013. http://www.eai.nus.edu.sg/Vol1No4_ChuYunhan.pdf.
Clinton, Hillary. “America’s Pacific Century: The Future of Politics will be
decided in Asia, not Afghanistan or Iraq, and the United States Will Be
Right at the Center of Action.” Foreign Policy, 11 Oktober 2011. Diakses 4
November 2012.
http://www.foreignpolicy.com/articles/2011/10/11/americas_pacific_centur
y.
Cody, Edward. “China Sends Warning to Taiwan with Anti-Secession Law.” The
Washington Post, 8 Maret 2005. Diakses 3 Juni 2013.
http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/articles/A15294-2005Mar7.html.
Deans, Phil. “Cross-Strait Relations since 1949: From Radicalism to
Conservatism and Back Again.” China Aktuell 34, no. 3 (2005): 25-36.
Diakses 12 Mei 2013, http://www.giga-
hamburg.de/openaccess/chinaaktuell/2005_3/giga_cha_2005_3_deans.pdf.
Dong, Wang. “ECFA and the Elections: Implications for Cross-Strait Relations,”
China Brief 12, no. 1 (2012). Diakses 1 Juni 2013.
http://www.jamestown.org/single/?no_cache=1&tx_ttnews[tt_news]=38855
.
Duchatel, Mathieu. “Between Hedging and Bandwagoning for Profit: Taiwan’s
Mainland Policy Under Ma Ying-jeou.” Makalah dipresentasikan dalam
Track Two Dialogue on EU-China Relations and the Taiwan’s Questions,
Shanghai, 5-6 Juni, 2010.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
104
“ECFA Background,” Mainland Affairs Council. Terakhir dimodifikasi 21 April
2010. Diakses 21 Mei 2013.
http://www.mac.gov.tw/public/data/051116322071.pdf.
ECFA. Cross-Strait Economic Cooperation Framework Agreement.
http://www.ecfa.org.tw/EcfaAttachment/ECFADoc/ECFA.pdf.
Eckert, Paul. “U.S. to announce F-16 upgrade for Taiwan: Lobby Group.”
Reuters, 16 September 2011. Diakses 1 Juni 2013.
http://www.reuters.com/article/2011/09/16/us-usa-taiwan-f-
idUSTRE78F2L620110916.
“Eighth Chiang-Chen Talks Are Succesfully Held: The SEF and the ARATS sign
the ‘Cross-strait Investment Protection and Promotion Agreement’ and the
‘Cross-strait Customs Cooperation Agreement’ and announce a ‘Consensus
on the Protection of Perosonal Freedom and Safety’ in Regards to the
Investment Protection Agreement.” Mainland Affairs Council. Dimodifikasi
terakhir 15 Agustus 2012. Diakses 5 Juni 2013.
http://www.mac.gov.tw/ct.asp?xItem=102788&ctNode=7316&mp=181.
Election Study Center, N.C.C.U. “Important Political Attitude Trend
Distribution.” Grafik.
http://esc.nccu.edu.tw/english/modules/tinyd2/index.php?id=6.
Enav, Peter. “Taiwan Runs Short of Volunteers in Military Shift.” News Daily, 13
Mei 2013. Diakses 2 Juni 2013,
http://www.newsdaily.com/article/fae3865c11320c484a8ab2ccf7d3c9a4/tai
wan-short-of-volunteers-for-the-military.
Fan, Cheng-hsian dan Su Yung-yao. “President Exalts Yellow Emperor.” Taipei
Times, 4 April 2012. Diakses 27 Mei 2013.
http://www.taipeitimes.com/News/front/archives/2012/04/04/2003529457.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
105
Gang, Lin. “KMT Split Handed Chen Presidential Victory.” Canada Institute.
Terakhir dimodifikasi 1 April 2000. Diakses 16 Mei 2013.
www.wilsoncenter.org/article/kmt-split-handed-chen-the-presidential-
victory.
Goldstein, Steven. “Cross-Strait Relations on The Eve of Ma Ying-jeou’s Second
Term.” The National Bureau of Asian Research. Dimodifikasi terakhir 17
Mei 2011. Diakses 5 Juli 2013.
http://www.nbr.org/research/activity.aspx?id=252#.UdYhclPWEUs.
Hickey, Dennis Van Vranken. Foreign Policy Making in Taiwan: From Principle
to Pragmatism. New York: Routledge, 2007.
Huang, Alexander Chieh-cheng. “A Midterm Assessment of Taiwan’s First
Quadrennial Defense Review.” Makalah, Brookings Institution, 2011.
http://www.brookings.edu/research/papers/2011/02/taiwan-huang
Hughes, Christopher. Taiwan and Chinese Nationalism: National Identity and
Status in International Society. London: Routledge, 1997.
Jehnings, Ralph. “Taiwan’s New Leader’s Take Office On China Pledges.”
International Herald Tribune, 20 Mei 2008. Diakses 18 November 2012.
http://www.iht.com/articles/reuters/2008/05/20/asia/OUKWD-UK-
TAIWAN-PRESIDENT.php.
Johnston, Christie. “Talking to Taiwan’s New President.” Times, 11 Agustus
2008. Diakses 19 November 2012.
http://www.time.com/time/world/article/0,8599,1831748,00.html?xid=rss-
topstories.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
106
Kahn, Joseph dan Keith Bradsher. “Beijing Accuses Taiwan Leader of ‘Grave
Provocation’.” The New York Times, 1 Maret 2006. Diakses 26 Juni 2013.
http://www.nytimes.com/2006/03/01/international/asia/01taiwan.html?_r=0.
Kan, Shirley A. “Taiwan: Major US Arms Sales since 1990,”Taiwan: Major US
Arms Sales since 1990.” Terakhir Dimodifikasi 3 Juli 2013. Diakses 25 Mei
2013. http://www.fas.org/sgp/crs/weapons/RL30957.pdf.
Keohane, Robert O. After Hegemony: Cooperation and Discord in the World
Political Economy. New Jersey: Princeton University Press, 1984.
Lee, Shiao-Feng. “The 228 Incident.” Taipei Times, 28 Februari 2004. Diakses 13
Mei 2013.
http://www.taipeitimes.com/News/editorials/archives/2004/02/28/20031004
72.
Lin, George Y.C. “The Background and Impacts of ECFA on China and Taiwan.”
Makalah dipresentasikan di National Chung Cheng University, Taiwan, 19
Maret 2011.
Liu, Fu-kuo. “The Dynamics of Cross-Strait Relations: Heading for Peace or
Unknown Ground?.” Brookings Institution. Terakhir dimodifikasi 19 Juli
2011. Diakses 1 Juni 2013.
http://www.brookings.edu/research/articles/2011/07/19-cross-strait-
relations-liu.
Lutgard, Lams dan Xavier Li-Wen Liao. “Tracing “Taiwanization” Processes in
Taiwanese Presidential Statements in Times of Cross-Strait
Rapprochement.” Journal of Current Chinese Affairs 40, no. 1 (2011): 63-
98. Diakses 21 Desember 2012. http://hup.sub.uni-
hamburg.de/giga/jcca/article/view/404/402.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
107
Mainland Affairs Council, Cross-Strait Economic Cooperation Framework
Agreement: Policy Explanation. Taiwan: Mainland Affairs Council, 2009.
http://www.mac.gov.tw/public/Data/962614391871.pdf.
Manthorpe, Jonathan. Forbidden Nation: A History of Taiwan. New York:
Palgrave Macmillan, 2005.
Mearsheimer, John J. The Tragedy of Great Power Politics. New York: W.W.
Norton and Company, 2001.
Minnick, Wendell. “CRS Report Reviews US, Taiwan Relations.” Defense News,
24 Mei 2012. diakses 21 Desember 2012.
http://www.defensenews.com/article/20120524/DEFREG02/305240003/CR
S-Report-Reviews-Taiwan-Security-U-S-Relations.
Mo, Yan-Chih, Ko Shu-ling, dan Shih Hsiu-cuan, “Decisive Victory for Ma Ying-
jeou.” Taipei Times, 23 Maret 2008. Diakses 2 Juni 2013.
http://www.taipeitimes.com/News/front/archives/2008/03/23/2003406711.
Mo, Yan-Chih. “Legislative Elections and Referendums: KMT Vows Not to
Abuse Power.” Taipei Times, 13 Januari 2008. Diakses 8 Juli 2013.
http://www.taipeitimes.com/News/taiwan/archives/2008/01/13/2003396903.
People’s Daily. “Chinese Mainland Residents Greet KMT Leader’s Visit with
Open Arm.” 26 April 2005. Diakses 24 Mei 2013
http://english.peopledaily.com.cn/200504/26/eng20050426_182817.html.
“President Chen Reiterates ‘Four Noes, One Without’ Policy.” Taipei Economic
and Cultural Representative Office in the U.S. Dimodifikasi terakhir 11
Maret 2003. Diakses 5 Juli 2013.
http://www.taiwanembassy.org/US/ct.asp?xItem=11637&ctNode=2300&m
p=12&nowPage=54&pagesize=15.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
108
Quadrennial Defense Review Editing Group Ministry of National Defense.
Quadrennial Defense Review 2009. Taipei City: Ministry Of National
Defense, 2009.
Ramzy, Austin. “Taiwan’s President Calls for Vote.” Time, 11 Juli 2007. Diakses
26 Mei 2013,
http://www.time.com/time/world/article/0,8599,1642169,00.html.
“Remarks by Minister Lai in The Meeting with ARATS Delegation.” Mainland
Affairs Council. Dimodifikasi terakhir 21 Desember 2010. Diakses 1 Juni
2013.
http://www.mac.gov.tw/ct.asp?xItem=92596&ctNode=6863&mp=205.
Shih, Hsiu-chuan. “Abandoning Taiwan is ‘unthinkable’, ex-Obama
administration official says.” Taipei Times, 28 Maret 2012. Diakses 12 Juni
2013.
http://www.taipeitimes.com/News/taiwan/archives/2012/03/28/2003528896.
Sterling-Folker, Jennifer. “Neoliberalism.” dalam International Relations
Theories: Discipline and Diversity, 3rd ed., ed. Tim Dunne, Milja Kurki, dan
Steve Smith, 114-131. New York: Oxford University Press, 2010.
Sullivan, Jonathan dan Eliyahu V. Sapir. “Ma Ying-jeou’s Presidential
Discourse.” Journal of Current Chinese Affairs 41, No. 3 (2012): 33-68.
Diakses 24 Mei 2013. http://hup.sub.uni-
hamburg.de/giga/jcca/article/view/533/531.
Sun, Yunlong. “Backgrounder: Key Talks Between ARATS and SEF.” Xinhua
News Agency, 3 November 2008. Diakses 12 Juni 2013.
http://news.xinhuanet.com/english/2008-11/03/content_10300714.htm.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
109
Taipei Times. “Taiwan’s UN Bid Doomed to Fail.” 14 Agustus 2005. Diakses 20
Mei 2013.
http://www.taipeitimes.com/News/taiwan/archives/2005/08/14/2003267683.
“Taiwan History.” Taiwanese Cultural Society. Diakses 14 Mei 2013.
http://taiwanese.stanford.edu/taiwan-history.
“Taiwan-China Trade Reached US$168,96 billion in 2012: China Customs.”
Taipei Mission in The Republic of Latvia. Dimodifikasi terakhir 18 Januari
2013. Diakses 1 Juni 2013. http://www.roc-
taiwan.org/LV/ct.asp?xItem=345712&ctNode=7925&mp=507.
“Taiwan’s Renaissance: President Ma Ying-jeou Inaugural Address.” Office of
the President Republic of China (Taiwan). diakses 27 Mei 2013.
http://english.president.gov.tw/Portals/4/images/PresidentOffice/AboutPresi
dent/pdf/section1.pdf.
Tang, Shiping. A Theory of Security Strategy for Our Time: Defensive Realism.
New York: Palgrave Macmillan, 2010.
Tayfur, M. Fatih. “Main Approaches to the Study of Foreign Policy: A Review.”
METU Studies in Development 21, no. 1 (1994): 113-141. Diakses 8 Juli
2013. http://www.metu.edu.tr/~tayfur/reading/main_approaches.pdf.
The China Post, “ECFA Signed.” 30 Juni 2010. Diakses 1 Juni 2013.
http://www.chinapost.com.tw/taiwan/china-taiwan-
relations/2010/06/30/262692/ECFA-signed.htm.
“The 1992 Consensus: The Foundation for Cross-Strait Peace and Stronger
International Links.” Taipei Economic and Cultural Office in Canada.
Dimodifikasi terakhir 7 September 2011. Diakses 6 November 2012.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
110
http://www.roc-
taiwan.org/CA/ct.asp?xItem=219017&ctNode=150&mp=77&nowPage=4&
pagesize=15.
The China Post. “Chiang-Chen Meeting to Herald Start of ECFA Talks.” 18
November 2009. Diakses 1 Juni 2013.
http://chinapost.com.tw/taiwan/china-taiwan-
relations/2009/11/18/233152/Chiang-Chen-meeting.htm.
The China Post. “Taiwan and China in ‘Special Relations’: Ma.” 04 September
2008. Diakses 18 November 2012.
http://www.chinapost.com.tw/taiwan/china-
taiwan%20relations/2008/09/04/173082/Taiwan-and.htm.
The Economist, “Peaceful Rise.” 24 Juni 2004. Diakses 12 Juni 2013,
http://www.economist.com/node/2792533.
“The Seventh Chiang-Chen Talks Come to A Smooth Conclusion with Fruitful
Results.” Mainland Affairs Council. Dimodifikasi terakhir 20 Oktober 2011.
Diakses 5 Juni 2013.
http://www.mac.gov.tw/ct.asp?xItem=98999&ctNode=7228&mp=118.
“The Taiwan Strait Crises 1954-55 and 1958.” U.S. Department of State. Diakses
1 Juni 2013. http://2001-2009.state.gov/r/pa/ho/time/lw/88751.htm.
Tkacik Jr., John J. “China’s ‘Peaceful’ Rise at Stake in Power Struggle.” Asia
Times, 8 September 2004. Diakses 12 Juni 2013.
http://www.atimes.com/atimes/China/FI08Ad03.html.
Wendt, Alexander. “Anarchy is What States Make of It: The Social Construction
of Power Politics.” International Organization 46, no. 2 (1992): 391-425.
Diakses pada 1 Mei 2013. http://www.jstor.org/stable/2706858.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
111
Wodak, Ruth, Rudolf de Cicilia, Martin Reisigl, dan Karin Liebhart. The
Discursive Consruction of National Identity. Edinburgh: Edinburgh
University Press, 2009.
Wu, Zhong. “Taiwan’s Ma Strides Across the Strait.” Asia Times, 10 Februari
2011. Diakses 12 Juni 2013.
http://www.atimes.com/atimes/China/MB10Ad01.html.
Xie, Yu. “Taiwan Parties Clash over ECFA.” China Daily, 26 April 2010.
Diakses 1 Juni 2013. http://www.chinadaily.com.cn/china/2010-
04/26/content_9772390.htm.
Yan, Jiann-fa. “A Preliminary Probe into The Chinese Policy of the Ma Ying-jeou
Administration.” Taiwan International Studies Quarterly 5, no. 3 (2009): 1-
25. Diakses 8 Juni 2013. http://www.tisanet.org/quarterly/5-3-1.pdf.
Yeh, Joseph. “Negotiations with Singapore on Free Trade Pact Completed,
Signings Expected.” The China Post, 18 Mei 2013. Diakses 1 Juni 2013.
http://www.chinapost.com.tw/taiwan/foreign-
affairs/2013/05/18/378899/Negotiations-with.htm.
Zhuang, Pinghui. “China’s Rise is Peaceful, Xi Jinping Tells Foreign Experts.”
South China Morning Post, 6 Desember 2012. Diakses 12 Juni 2013.
http://www.scmp.com/news/china/article/1098533/chinas-rise-peaceful-xi-
jinping-tells-foreign-experts.
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014