taiwan di bawah presiden ma ying-jeou …sosial dari jurusan ilmu hubungan internasional, fakultas...

125
UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN LUAR NEGERI TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU (2008-2012) DI BIDANG KEAMANAN, EKONOMI, DAN IDENTITAS DALAM HUBUNGAN ANTAR-SELAT TAIWAN DAN CINA TUGAS KARYA AKHIR FAHMI ISLAMI 0906524223 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL DEPOK JULI 2013 Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Upload: ngoduong

Post on 14-Feb-2018

227 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

UNIVERSITAS INDONESIA

KEBIJAKAN LUAR NEGERI TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU (2008-2012) DI

BIDANG KEAMANAN, EKONOMI, DAN IDENTITAS DALAM HUBUNGAN ANTAR-SELAT TAIWAN DAN CINA

TUGAS KARYA AKHIR

FAHMI ISLAMI

0906524223

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

DEPOK JULI 2013

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 2: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

ii

UNIVERSITAS INDONESIA

KEBIJAKAN LUAR NEGERI TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU (2008-2012) DI

BIDANG KEAMANAN, EKONOMI, DAN IDENTITAS DALAM HUBUNGAN ANTAR-SELAT TAIWAN DAN CINA

TUGAS KARYA AKHIR Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial

FAHMI ISLAMI

0906524223

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

DEPOK JULI 2013

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 3: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 4: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 5: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan

rahmat-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas karya akhir ini. Tugas

karya akhir ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana

Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik, Universitas Indonesia.

Hubungan antara Taiwan dan Cina merupakan salah satu fokus utama

dalam dinamika kawasan di Asia Timur. Hubungan antara kedua negara diwarnai

oleh sisi positif dan negatif. Hubungan di bidang ekonomi, seperti perdagangan

dan investasi, menutupi potensi konflik yang dapat membawa dunia menuju ke

perang dunia selanjutnya, karena banyaknya kepentingan antara aktor-aktor di

Selat Taiwan.

Dinamika hubungan antara Taiwan dan Cina tentu dipengaruhi oleh

kebijakan-kebijakan yang diambil dari sisi Taiwan. Menilik sejarah Taiwan, tidak

dapat dipungkiri bahwa terjadi beberapa kali pergeseran kebijakan yang diambil

dalam menghadapi Cina dari pemimpin-pemimpin Taiwan. Tugas karya akhir ini

akan mencoba mendalami bagaimana dinamika baru muncul di bawah presiden

Taiwan saat ini, Ma Ying-jeou, dalam periode pertama kepresidenannya dari

tahun 2008 hingga 2012. Secara spesifik, penulis akan membahas tiga kebijakan

utama dalam masa kepemimpinannya, yaitu di bidang keamanan, ekonomi, dan

identitas. Tugas karya akhir ini akan menunjukkan bagaimana Presiden Ma Ying-

jeou membawakan Taiwan ke dalam tahap baru hubungan Taiwan dan Cina.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan yang

terdapat pada tugas akhir ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan

kritik yang membangun dari pembaca unutk menyempurnakan karya ini. Semoga

tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak baik di bidang akademis

maupun praktis.

Depok, 17 Juli 2013

Fahmi Islami

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 6: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

vi

UCAPAN TERIMAKASIH

Dalam kesempatan ini, penulis pertama-tama hendak mengucapkan puji

dan syukur kepada Allah SWT, atas segala kekuatan yang diberikan kepada

penulis selama rangkaian masa perkuliahan dan pada penulisan tugas akhir ini.

Selain itu, penulis juga hendak mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak lain

yang telah membantu dan mendukung penulis dalam penyelesaian tugas akhir ini,

yaitu:

1. Broto Wardoyo, S.Sos., M.A., selaku dosen pembimbing penulis.

Terimakash untuk semua bantuan-bantuan, atensi, dan terutama motivasi

yang tidak berhenti kepada penulis agar segera menyelesaikan tugas akhir

ini.

2. Bantarto Bandoro, S.H., M.A, selaku penguji ahli penulis. Terimakasih

untuk semua input dan saran yang telah diberikan bagi penulis untuk

memperbaiki tugas karya akhir ini. Terimakasih pula untuk semua cookies

dan koala yang pernah diberikan.

3. Dra. Nurul Isnaeni, M.A selaku Ketua Program Sarjana Departemen Ilmu

Hubungan Internasional, FISIP UI dan selaku Ketua Sidang, dan Andrew

Wiguna Mantong, S.Sos, M.Sc., selaku sekretaris program sarjana S-1 dan

sekretaris sidang. Terimakasih untuk segala bantuan yang telah diberikan

kepada penulis selama penulis menjadi mahasiswa di Program Sarjana

Hubungan Internasional-UI

4. Dra. Evi Fitriani, M.A., Ph.D, sebagai Ketua Departemen Ilmu Hubungan

Internasional FISIP, Universitas Indonesia. Terimakasih untuk seluruh

inspirasi yang diberikan kepada penulis selama berkuliah di HI.

5. Andi Widjajanto, Ph.D dan Aninda R. Tirtawinata, M.Litt, selaku pengajar

mata kuliah Colloqium. Terimakasih atas bimbingan dan arahannya dalam

kelas colloquium, yang menjadi dasar penulisan tugas karya akhir ini.

6. Yuni Reti Intarti, S.Ip., M.Si, selaku pembimbing akademik penulis, yang

telah memberikan banyak input bagi penulis selama berkuliah di HI UI.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 7: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

vii

7. Seluruh Pengajar dan Staf di Departemen Ilmu Hubungan Internasional,

Universitas Indonesia. Terimakasih atas semua ilmu yang telah diberikan

kepada penulis

8. Mama Emi dan Fadil, Ibu dan Adik dari penulis. Terimakasih atas semua

unconditional love and support selama penulis menjadi mahasiswa.

Doakan agar Fahmi bisa sukses di masa depan.

9. Seluruh teman-teman HI 2009. Penulis bersyukur bisa menjadi salah satu

bagian dari teman-teman semua. Terimakasih untuk 4 tahun yang tak

terlupakan.

10. Teman-teman HI senior angkatan 2006, 2007, dan 2008, serta junior

angkatan 2010 dan 2011. Terimakasih karena telah menjadikan SBAL

sebagai tempat yang menyenangkan untuk dikunjungi, biarpun penulis

jarang berada di SBAL 1 tahun terakhir ini.

11. Seluruh senior-senior Ruang Asdos, Kak Dian, Kak Dina, Kak Agung, dan

Kak Syarip. Terimakasih untuk semua nasehat dan bantuan selama

bersama menjadi penghuni ruang AsDos.

12. Teman-teman penulis di luar HI. UIMUNClub. EDS-UI. HNMUN tahun

2011, 2012, dan 2013. IndonesiaMUN 2011 dan 2012. OIS 2010 dan

2011. Terimakasih untuk semua pelajaran dan kenangan yang tak akan

penulis lupakan.

13. Sri Mulyati. Untuk semua semangat, semua telefon, semua sms, semua

IMs. Terimakasih atas semua kenangan yang indah selama 2 tahun. To

infinity and beyond!

14. Semua pihak lain yang telah membantu penulis selama perkuliahan di HI-

UI, dan juga pada saat penulisan tugas akhir ini.

15. Bapak Ibe. Untuk 10 tahun singkat Fahmi belajar dari Bapak Ibe, yang

akan Fahmi bawa untuk seumur hidup.

Depok, 17 Juli 2013

Fahmi Islami

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 8: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 9: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

ix

ABSTRAK

Nama : Fahmi Islami Program Studi : Ilmu Hubungan Internasional Judul : Kebijakan Luar Negeri Taiwan di Bawah Presiden Ma

Ying-jeou (2008-2012) di Bidang Keamanan, Ekonomi, dan Identitas dalam Hubungan Antar-Selat Taiwan dan Cina

Tugas karya akhir ini membahas mengenai kebijakan luar negeri yang diambil oleh Presiden Ma Ying-jeou pada masa kepresidenannya yang pertama dari tahun 2008-2012 dalam hubungan antar selat Taiwan dan Cina. Secara spesifik, kebijakan luar negeri yang dibahas merupakan kebijakan luar negeri di bidang keamanan, ekonomi, dan identitas. Di bawah Presiden Ma Ying-jeou, Taiwan berusaha memperbaiki hubungan antar-selat yang memburuk ketika Taiwan dipimpin oleh Presiden Chen Shui-bian. Beberapa kebijakannya, seperti pengakuan kembali Konsensus 1992, dimulainya kembali dialog antara SEF dan ARATS, serta pembentukan ECFA merupakan contoh bagaimana Taiwan mencoba memperbaiki hubungan antar-selat. Menggunakan kerangka konsep Realisme Defensif di bidang keamanan, Neoliberal Institusionalisme di bidang ekonomi, dan konsep Identitas di bidang identitas, tugas karya akhir ini mencoba mencari mengapa Presiden Ma Ying-jeou mengambil kebijakan luar negeri yang bertujuan memperbaiki hubungan antar-selat tersebut. Hasil yang didapatkan menunjukkan bagaimana kebijakan luar negeri Taiwan di bidang keamanan dan ekonomi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di level sistem, terutama dari reaksi Cina terhadap inisiatif yang diberikan oleh Taiwan. Pada bidang identitas, faktor eksternal memiliki pengaruh yang cukup besar, dan dilengkapi oleh faktor-faktor dalam negeri, ikut membentuk kebijakan di bidang identitas.

Kata Kunci: Taiwan, Cina, Hubungan antar-selat, Ma Ying-jeou, Keamanan, Ekonomi, Identitas, ECFA, Konsensus 1992

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 10: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

x

ABSTRACT

Name : Fahmi Islami Study Program : International Relations Title : Foreign Policy of Taiwan under President Ma Ying-

jeou (2008-2012) in Security, Economic, and Identity Aspect in Cross-strait Relation Between Taiwan and China

This final assignment discusses the foreign policy of Taiwan under President Ma Ying-jeou under his first term (2008-2012) in Cross-strait Relation between Taiwan and China. Specifically, the policies discussed are those in the aspect of security, economic, and identity. Under President Ma, Taiwan tries to repair the cross-strait relation that was worsening under the previous Taiwan President, President Chen Shui-bian. Some of President Ma’s policies, such as the official recognition of 1992 Consensus, the resumption of SEF-ARATS dialogue, and the creation of ECFA, are examples of the effort Taiwan made to repair the relation between Taiwan and China. Using three theoretical frameworks, which are Defensive Realism in security, Neoliberal Institutionalism in economy, and Identity Concept in identity, this final assignment tries to find why President Ma created foreign policy that tries to repair the cross-strait relation. The discussion concludes that foreign policy of Taiwan in Security and Economic aspect is shaped by factors in systemic level, especially from the reaction of China to initiatives given by Taiwan. In identity aspect, external factors play a big role, and complemented by domestic factors, in shaping the policy in identity aspect.

Keywords: Taiwan, China, Cross-strait relation, Ma Ying-jeou, security, economy, identity, ECFA, 1992 Consensus

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 11: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................... iii  HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iv  KATA PENGANTAR ............................................................................................ v  UCAPAN TERIMAKASIH ................................................................................... vi  HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ............................................................ viii  ABSTRAK ............................................................................................................. ix  ABSTRACT ............................................................................................................ x  DAFTAR ISI .......................................................................................................... xi  DAFTAR GAMBAR, TABEL, DAN GRAFIK .................................................. xiii  DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................... xiv  BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1  

1.1   Latar Belakang ..................................................................................................... 1  1.1.1 Kebijakan Luar Negeri Taiwan Terhadap Cina di Bawah Chiang Kai-shek

(1949-1975) ................................................................................................. 2  1.1.2 Kebijakan Luar Negeri Taiwan terhadap Cina di Bawah Chiang Ching-kuo

(1978-1988) ................................................................................................. 4  1.1.3 Kebijakan Luar Negeri Taiwan terhadap Cina di Bawah Lee Teng-hui

(1988-2000) ................................................................................................. 6  1.1.4 Kebijakan Luar Negeri Taiwan terhadap Cina di Bawah Chen Shui-bian

(2000-2008) ................................................................................................. 8  1.1.5 Kebijakan Luar Negeri Taiwan terhadap Cina di Bawah Ma Ying-jeou

(2008-2012) ............................................................................................... 10  1.2 Pertanyaan Penelitian ........................................................................................ 13  1.3 Kerangka Konsep .............................................................................................. 13

1.4 Tujuan Penelitian ……………………………………………………………...18 1.5 Pembabakan TKA ............................................................................................. 19  

Bab 2 KEBIJAKAN KEAMANAN TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU DALAM HUBUNGAN ANTAR-SELAT TAIWAN DAN CINA .................................................................................................................... 20

2.1 Kerangka Konsep: Realisme Defensif ............................................................... 20  2.2 Kebijakan Keamanan Taiwan di Bawah Ma Ying-jeou: Bentuk Engagement

Presiden Ma kepada Cina .................................................................................. 25  2.2.1 Pemberian Sinyal Intensi Baik melalui Reassurance dan Ajakan Kerjasama

kepada Cina oleh Presiden Ma Ying-jeou ................................................. 26  2.2.2 Tindakan Hedging Presiden Ma Ying-jeou kepada Cina: Balancing Internal

dan Eksternal Taiwan terhadap Cina ......................................................... 28  2.3 Faktor Eksternal Pembentuk Kebijakan Keamanan Taiwan: Cina sebagai Negara

Realisme Ofensif atau Defensif ......................................................................... 34  2.3.1 Cina dan Klaim sebagai Negara dengan Peaceful Rise .............................. 34  2.3.2 Cina sebagai Negara Realisme Ofensif dalam Hubungan Cina dan Taiwan

................................................................................................................... 36  

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 12: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

xii

2.4 Faktor Domestik Pembentuk Kebijakan Keamanan Taiwan Terhadap Cina: Peran NSC, Tekanan Publik untuk Rekonsiliasi, dan Pengaruh Presiden Ma ............ 40  

Bab 3 KEBIJAKAN EKONOMI TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU DALAM HUBUNGAN ANTAR-SELAT TAIWAN DAN CINA ..................................................................................................................... 44  

3.1 Kerangka Konsep Neoliberal Institusionalime .................................................... 45  3.1.1 Neoliberal Institusionalisme ....................................................................... 45  3.1.2 Institusi dalam Neoliberal Institusionalisme ............................................... 47  

3.2 Kebijakan Ekonomi Taiwan di Bawah Presiden Ma: Institusionalisasi dan Penandatanganan ECFA .................................................................................... 50  

3.2.1 Proses Negosiasi ECFA .............................................................................. 51  3.2.2 ECFA dan 4 Elemen Institusi Keohane ...................................................... 52  

3.3 Dasar Eksistensi ECFA: Anticipated Gain dari Perspektif Taiwan ..................... 56  3.3.1 Legal liability .............................................................................................. 57  3.3.2 Transaction Cost ......................................................................................... 59  3.3.3 Uncertainty and Information ....................................................................... 61  

3.4 Faktor Domestik Dalam Pengambilan Kebijakan Institusionalisasi Hubungan Ekonomi Taiwan-Cina melalui ECFA .............................................................. 61  

Bab 4 KEBIJAKAN IDENTITAS TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU DALAM HUBUNGAN ANTAR-SELAT TAIWAN DAN CINA ..................................................................................................................... 65  

4.1 Kerangka Konsep: Identitas dan Identitas Nasional ............................................ 66  4.1.1 Identitas ....................................................................................................... 66  4.1.2 National Identity ......................................................................................... 68  

4.2 Sejarah Kebijakan Identitas Taiwan .................................................................... 71  4.2.1 Era Identitas Nasionalis di bawah Kuomintang .......................................... 71  4.2.2 Post-Nationalist Identity Taiwan dan Demokratisasi ................................. 74  

4.3 Pembentukan Identitas Taiwan di Bawah Presiden Ma Ying-jeou dari Perspektif Systemic Constructivism .................................................................................... 77  

4.4 Kebijakan Identitas Taiwan di Bawah Presiden Ma Ying-jeou ........................... 79  4.4.1 5 Elemen Kebijakan Nasional dalam Kebijakan Identitas Ma Ying-jeou .. 82  

4.5 Dampak Kebijakan Identitas Presiden Ma Ying-jeou .......................................... 87  4.5.1 Kebijakan Identitas Presiden Ma dan Pembentukan Identitas di Taiwan ... 88  4.5.2 Dampak Kebijakan Identitas terhadap Hubungan Taiwan-Cina ................ 90  

Bab 5 KESIMPULAN ......................................................................................... 94  DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 100  

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 13: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

xiii

DAFTAR GAMBAR, TABEL, DAN GRAFIK

Daftar Gambar

Gambar 2.1.1 Tangga Strategi Realisme………………………………………...22

Gambar 5.1 Segitiga Kebijakan Luar Negeri Presiden Ma Ying-jeou………....101

Daftar Tabel

Tabel 1.3.1 Level Analisa Kebijakan Luar Negeri………………………………15

Tabel 2.2.1.1 Pengeluaran Pertahanan Taiwan 2008-2012……………………....29

Tabel 3.2.2.1 Skema Pengurangan Tarif dalam Program Early Harvest ECFA…51

Daftar Grafik

Grafik 2.4.1 Dukungan Terhadap Peningkatan Cross-Strait Economic

Exchanges………………………………………………………………………..42

Grafik 4.4.1 Probabilitas Penyebutan Kategori dalam Pidato Presiden Ma Ying-

jeou……………………………………………………………………………….76

Grafik 4.3.1.1 Identifikasi Identitas Masyarakat Taiwan 1992-2012……………83

Grafik 4.4.2.1 Tren Unifikasi vs Independensi Taiwan 1992-2012……………...86

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 14: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

xiv

DAFTAR SINGKATAN

ARATS Association for Relations Across the Taiwan Straits

DPP Democratic Progressive Party

ECFA Economic Cooperation Framework Agreement

KMT Kuomintang

PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa

PKC Partai Komunis Cina

QDR Quadrennial Defense Review

ROC Republic of China

RRC Republik Rakyat Cina

SEF Straits Exchange Foundation

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 15: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dinamika hubungan antara Taiwan dan Cina dimulai pada tahun 1949 saat

pemerintahan Republik Cina di bawah Kuomintang pimpinan Chiang Kai-shek

mengalami kekalahan dari Partai Komunis Cina di Cina Daratan. Chiang Kai-shek

kemudian melarikan diri ke Taiwan setelah melihat tidak ada kemungkinan bagi

Republik Cina untuk dapat bertahan di Cina Daratan. Chiang Kai-shek membawa

bersamanya beberapa juta pendukung dari KMT yang ikut mencari perlindungan

dari pemerintahan Komunis di Cina Daratan. Chiang Kai-shek sendiri

menyatakan meskipun dia mengalami kekalahan, legitimasi pemerintahan Cina

masih berada di bawah Kuomintang, dan Beijing hanya diduduki oleh

“pemberontak komunis”. 1 Kondisi ini menciptakan adanya dualisme klaim

terhadap nama “Cina” antara Cina yang diwakili oleh Partai Komunis Cina yang

memegang kekuasaan pada wilayah Cina Daratan yang luas dan Cina di bawah

Kuomintang yang memegang kendali pemerintahan di Taipei atas wilayah Taiwan

dan beberapa kepulauan di sekitarnya.

Persaingan untuk mendapatkan pengakuan sebagai pemerintahan Cina

yang memiliki legitimasi terhadap seluruh wilayah Cina merupakan awal dari

dinamika panjang antara Taiwan dan Cina. Dinamika ini mengalami perubahan

yang panjang seiring dengan pergantian kepemimpinan di Taipei dan Beijing.

Latar belakang ini akan menjelaskan lebih lanjut mengenai dinamika yang terjadi

antara kedua negara.

1 Jonathan Manthorpe, Forbidden Nation: A History of Taiwan (New York: Palgrave Macmillan, 2005), 107.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 16: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

2

1.1.1 Kebijakan Luar Negeri Taiwan Terhadap Cina di Bawah Chiang Kai-

shek (1949-1975)

Kebijakan luar negeri Taiwan terhadap Cina mengalami pergantian dan

perubahan seiring dengan perubahan waktu dan kepemimpinan di dalam Taiwan.

Pemerintahan Taiwan di bawah Kuomintang dimulai oleh kepemimpinan Chiang

Kai-shek. Terkait permasalahan dalam negeri, Chiang Kai-shek selama masa

pemerintahannya melaksanakan reformasi di bidang ekonomi. Reformasi di

bidang ekonomi tidak terjadi di bidang politik, di mana Presiden Chiang Kai-shek

menolak reformasi dan mempertahankan kondisi Darurat Militer, sehingga oposisi

terhadap Kuomintang tidak diperbolehkan ada. 2 Dalam hubungan antar-selat

dengan pemerintahan PKC di Beijing, pemerintahan Chiang Kai-shek masih

mempertahankan prinsip penolakan terhadap keberadaan PKC sebagai

pemerintahan Cina. Prinsip di atas menjadi definisi dari ‘One-China Policy’ di

mana Cina dalam pengertian Chiang Kai-shek dipimpin pemerintahan

Kuomintang yang mengungsi secara darurat di wilayah Taiwan. Penerapan prinsip

‘One-China Policy’ oleh Chiang Kai-shek membuat hubungan Taiwan dan Cina

pada awalnya menjadi perpanjangan terhadap Perang Sipil yang telah terjadi

sebelumnya di Cina Daratan.3 Hal ini terlihat dari intensi Presiden Chiang Kai-

shek dengan menempatkan tentaranya di Pulau Jinmen dan Pulau Mazu sebagai

persiapan jika suatu saat dapat menyerang Cina Daratan.4

Dinamika hubungan Cina dan Taiwan pada masa pemerintahan Chiang

Kai-shek tidak dapat dilepaskan dari dinamika global yang tengah dilanda perang

dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Awal keterlibatan Amerika Serikat

dalam hubungan Taiwan dan Cina dimulai saat Amerika Serikat menempatkan

armada kapal perangnya di Selat Taiwan pada tahun 1950 dengan tujuan menahan

laju komunisme yang sedang bergolak di Perang Semenanjung Korea.5 Amerika

Serikat semakin terlibat dalam dinamika antara Taiwan dan Cina dengan

2 Ibid., 202-205. 3 Phil Deans, “Cross-Strait Relations since 1949: From Radicalism to Conservatism and Back Again,” China Aktuell 34, no. 3 (2005): 28, diakses 12 Mei 2013, http://www.giga-hamburg.de/openaccess/chinaaktuell/2005_3/giga_cha_2005_3_deans.pdf. 4 “The Taiwan Strait Crises 1954-55 and 1958”, U.S. Department of State, diakses 1 Juni 2013, http://2001-2009.state.gov/r/pa/ho/time/lw/88751.htm. 5 Deans, “Cross-Strait Relations since 1949,” 28.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 17: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

3

penandatangan Traktat Pertahanan antara Amerika Serikat dan Taiwan pada tahun

1954.6

Konflik bersenjata terus berlanjut antara Taiwan, yang dibantu oleh

Amerika Serikat, dan Cina, yang dibantu oleh Uni Soviet. Puncak konflik terjadi

pada tahun 1958 saat PKC melaksanakan penyerangan besar-besaran terhadap

wilayah Kepulauan Taiwan, karena PKC memanfaatkan Amerika Serikat yang

sedang menghadapi masalah yang lain di wilayah Lebanon.7 Setelah tahun 1958,

perang sipil antara Taiwan dan Cina berubah dari perang militer menjadi “perang”

diplomatis dalam mencari pengakuan dari negara-negara lain sebagai pemerintah

Cina yang memiliki legitimasi. Perubahan ini merupakan hasil dari tekanan yang

diberikan oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet kepada kedua pihak untuk tidak

melaksanakan serangan-serangan militer. 8 Pada dekade 1960an, Kuomintang

masih unggul dibandingkan PKC dalam mencari pengakuan di dunia

internasional. Di dalam organisasi PBB, Kuomintang masih memegang posisi

sebagai Cina dan juga menempati posisi sebagai anggota tetap Dewan Keamanan

PBB.9

Pengaruh yang dimiliki oleh Beijing di bidang diplomasi semakin menguat

pada dekade 1970. Kebijakan ‘One-China Policy’ yang diambil oleh Chiang Kai-

shek membuat kondisi semakin rumit bagi Taiwan, karena Taiwan harus

memutuskan hubungan dengan negara negara yang mengakui Beijing sebagai

Cina. Pada tahun 1971 posisi Taiwan di dunia internasional semakin sulit karena

Amerika Serikat memulai normalisasi hubungan dengan Beijing. Amerika Serikat

juga menghadapi posisi yang sulit di mana Amerika Serikat harus berusaha untuk

mempertahankan posisi keanggotaan Taiwan di PBB. Amerika Serikat sendiri

telah berusaha untuk membuat proposal-proposal baru untuk mempertahankan

keanggotaan Taiwan sebagai anggota PBB dan di saat yang bersamaan

memasukkan PKC juga sebagai anggota PBB (two-china policy). Penolakan

6 Ibid., 28. 7 “The Taiwan Strait Crises 1954-55 and 1958”. U.S. Department of State. 8 Deans, “Cross-Strait Relations since 1949,” 29. 9 Ibid., 29.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 18: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

4

proposal-proposal tersebut, dan posisi strategis Amerika Serikat yang semakin

ambigu, memaksa Taiwan untuk mengundurkan diri dari PBB pada tahun 1971.10

1.1.2 Kebijakan Luar Negeri Taiwan terhadap Cina di Bawah Chiang Ching-

kuo (1978-1988)

Chiang Ching-kuo, yang merupakan anak dari Chiang Kai-shek, menerima

tampuk kepemimpinan Taiwan dalam kondisi Taiwan yang semakin terisolasi dari

dunia internasional. 11 Di bawah Chiang Ching-kuo, hubungan Cina-Taiwan

melanjutkan periode pendinginan. Dua faktor penting mempengaruhi dinamika

hubungan antara Cina dan Taiwan, di mana keduanya terjadi di Beijing. Pertama,

Pemerintahan Komunis Cina di Beijing mengalami pergantian kepemimpinan dari

Mao Zedong yang digantikan oleh Deng Xiaoping pada tahun 1979. Sebagai

Presiden baru RRC, Deng Xiaoping memiliki agenda utama memperbaiki kondisi

ekonomi RRC yang mengalami keterpurukan di bawah Mao Zedong. Tekad

Presiden Deng untuk memperbaiki kondisi ekonomi mendorongnya untuk

mengalihkan Beijing dari permasalahan dan pertikaian politik kepada

permasalahan-permasalahan ekonomi. Presiden Deng Xiaoping menekankan

stabilitas sebagai salah satu unsur penting untuk mendatangkan pertumbuhan

ekonomi yang diinginkan, termasuk perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan

antara PKC dengan Kuomintang.12

Dinamika kedua adalah normalisasi hubungan antara Amerika Serikat

dengan Beijing yang diformalisasi oleh kedua pihak pada tahun 1979.

Perpindahan pengakuan Amerika Serikat dari Taipei kepada Beijing membuat

Amerika Serikat harus menghapus pengakuannya terhadap Republik Cina di

Taiwan, membatalkan traktat pertahanan antara Amerika Serikat dan Taiwan, dan

10 Monique Chu, “Taiwan and the United Nations – Withdrawal in 1971 was a Historic Turning Point,” Taipei Times, terakhir dimodifikasi pada 12 September 2001, diakses 1 Juni 2013, http://www.taipeitimes.com/News/local/archives/2001/09/12/102595. 11 Chiang Ching-kuo tidak langsung menjadi Presiden Taiwan setelah kematian Chiang Kai-shek pada tahun 1975. Chiang Kai-shek secara formal digantikan oleh Wakilnya saat itu yaitu Yen Chia-kan. Yen Chia-kan hanya memegang kepemimpinan selama tiga tahun, dan pada tahun 1978, Chiang Ching-kuo dipilih menjadi Presiden Taiwan. 12 Yan Anlin, “Cross-Taiwan Strait Relations and Beijing’s Taiwan Policy Adjustment since 1979”, dalam Cross-Taiwan Straits Relations Since 1979: Policy Adjustment and Institutional Change Across The Strait, ed. Kevin G. Cai (Singapore: World Scientific Publishing, 2011), 25.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 19: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

5

menarik pasukannya dari Taiwan.13 Kondisi ini mendorong Presiden Chiang

Ching-kuo untuk membentuk kebijakan luar negeri Taiwan terhadap Beijing

sebagai “Three no’s Policy” (三不政策), yang dijabarkan sebagai tidak ada

kontak, tidak ada negosiasi, dan tidak ada kompromi antara Taiwan dan Beijing.14

Meskipun Amerika Serikat kemudian tetap menghasilkan ‘Taiwan Relations Act’,

pengakuan Amerika Serikat terhadap Beijing mendorong Beijing untuk mengubah

kebijakannya terhadap Taiwan. Kebijakan Beijing yang awalnya bersifat ‘military

liberation’ kepada Taiwan, diubah menjadi ‘peaceful unification’.15 Presiden

Deng Xiaoping menawarkan sebuah proposal yang dinamakan proposal ‘one

country, two system’, di mana proposal tersebut menawarkan Taiwan untuk tetap

mempertahankan sistem ekonominya meskipun telah berada di bawah Beijing.

Usaha ini kemudian akan menjadi cara yang terus dilakukan oleh Beijing untuk

menarik Taiwan menjadi bagian dari Cina.

Di Taiwan sendiri, Presiden Chiang Ching-kuo menghadapi beberapa

tantangan. Tantangan pertama bagi Taiwan adalah semakin banyak rekan

diplomatis Taiwan yang mengalihkan pengakuan ke Beijing, terutama setelah

Taiwan keluar dari PBB dan Amerika Serikat mengalihkan pengakuannya dari

Taiwan kepada Beijing. Keadaan yang mengkhawatirkan tersebut sedikit

membaik saat Taiwan berhasil mendapatkan kepastian akan perlindungan

Amerika Serikat dalam bentuk ‘Taiwan Relations Act’ yang dikeluarkan oleh

Amerika Serikat. Meskipun tidak berbentuk traktat seperti yang sebelumnya

dimiliki oleh Taiwan dengan Amerika Serikat, tetapi melalui ‘Taiwan Relations

Act’ ini, Amerika Serikat mempertahankan posisinya untuk melindungi Taiwan

jika Beijing berencana untuk melaksanakan penyerangan militer kepada Taiwan.16

Isolasi yang dirasakan oleh Taiwan di dunia internasional juga mendorong

Presiden Chiang Ching-kuo untuk memikirkan kembali mengenai implementasi

dari prinsip ‘One-China Policy’ yang selama ini dipegang teguh oleh Chiang Kai-

shek. Didasari oleh kebutuhan Taiwan untuk terus bekerjasama dalam

13 Ibid., 25. 14 Hui-Ching Chang dan G. Richard Holt, “Naming China: An Analysis of Taiwan’s National Day Speeches,” Journal of Language and Politics 10, no.3 (2011): 9, diakses 4 Juni 2013, http://www2.comm.niu.edu/faculty/rholt/eoc/CVnamingChina.pdf. 15 Anlin, “Cross-Taiwan Strait Relations,” 25. 16 Manthorpe, Forbidden Nation, 216.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 20: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

6

mempertahankan ekonominya, Chiang Ching-kuo memiliki kepentingan yang

besar untuk mempertahankan keberadaannya pada beberapa organisasi dan

perjanjian ekonomi internasional. Apabila Chiang Ching-kuo mempertahankan

implementasi ‘One-China Policy’ seperti yang selama ini dilaksanakan, maka

Taiwan tidak akan mungkin memasuki organisasi yang telah mengakui Beijing

sebagai perwakilan dari Cina. Kondisi ini menyulitkan Taiwan, karena pada saat

yang bersamaan Beijing semakin mendapat pengakuan internasional dan diterima

menjadi anggota pada berbagai organisasi internasional. Presiden Chiang Ching-

kuo kemudian memodifikasi implementasi dari prinsip ‘One-China Policy’.

Contohnya pada tahun 1984 saat Taiwan memasuki olimpiade dengan

menggunakan nama ‘Chinese, Taipei’. Taiwan juga berhasil mempertahankan

keberadaannya sebagai anggota Bank Pembangunan Asia, meskipun hanya

memiliki status ‘Observer’ atas ‘Taipei, China’. Usaha-usaha yang dilaksanakan

oleh Presiden Chiang Ching-kuo ini dijelaskan oleh Christopher Hughes dalam

bukunya sebagai bentuk ‘stretching One-China Principle’.17 Modifikasi ‘One-

China Policy’ ini terus dilaksanakan oleh Taiwan dalam upaya Taiwan untuk

mempertahankan eksistensi dan relevansi Taiwan.

1.1.3 Kebijakan Luar Negeri Taiwan terhadap Cina di Bawah Lee Teng-hui

(1988-2000)

Setelah kematian Chiang Ching-kuo, Lee Teng-hui menjadi pengganti dari

dinasti Chiang sebagai presiden Taiwan. Meningkatnya pengaruh orang-orang asli

kelahiran Taiwan seiring dengan kemajuan ekonominya mendorong lahirnya

gerakan-gerakan untuk menuntut perbaikan perlakuan kepada orang-orang

Taiwan yang selama ini dinomorduakan oleh pemerintahan Kuomintang. Chiang

Ching-kuo yang menyadari tren ini berusaha untuk memikirkan cara

mempertahankan relevansi dan legitimasi KMT di Taiwan, sehingga terpilihlah

Lee Teng-hui yang merupakan kelahiran Taiwan sebagai pengganti Chiang

Ching-kuo. Selain mengangkat Lee Teng-hui, Chiang Ching-kuo juga di masa-

17 Christopher Hughes, Taiwan and Chinese Nationalism: National Identity and Status in International Society (London: Routledge, 1997), 49.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 21: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

7

masa terakhir pemerintahannya mengangkat status Darurat Militer yang berlaku di

Taiwan.18

Pada tahun 1991, Pemerintahan Taiwan di bawah Presiden Lee

membentuk Dewan Unifikasi Nasional yang kemudian mengeluarkan Guideline

on National Reunification. Guideline tersebut menjelaskan mengenai pandangan

Taiwan terhadap tiga proses untuk mencapai unifikasi, yaitu adanya pertukaran

dan timbal balik antara kedua pihak dalam tahap pertama, membangun

kepercayaan bersama dan kerjasama seperti pembukaan hubungan langsung

sebagai tahap kedua, dan diakhiri dengan proses konsultasi dan unifikasi.19 Selain

membentuk Komite Unifikasi Nasional dan guideline, Taiwan juga memulai

sebuah periode baru dalam hubungannya dengan Cina di mana Taiwan

membentuk Strait Exchange Foundation (SEF). SEF merupakan sebuah

organisasi ‘semi pemerintah’ yang dibentuk untuk membuka hubungan informal

dengan Beijing. Beijing sendiri kemudian membentuk organisasi serupa, yaitu

Association for Relations Across The Taiwan Strait (ARATS).20 Hubungan antara

SEF dan ARATS ini akan menjadi bentuk komunikasi institusional antara Cina

dan Taiwan yang berlangsung hingga saat ini.

Salah satu peristiwa penting terjadi pada periode awal kepemimpinan Lee

Teng-hui, di mana sebuah kesepakatan tercipta antara Cina dan Taiwan yang

kemudian dikenal sebagai Konsensus 1992. Konsensus ini merupakan hasil dari

pertemuan yang dilaksanakan oleh pimpinan dari SEF dan ARATS yang dikenal

sebagai ‘Wang-Koo Talks’. Konsensus 1992 adalah kesepakatan antara

pemerintahan kedua pihak, yang diwakili oleh kedua organisasi yang telah

disebutkan di atas, terhadap prinsip ‘One China’ dan membiarkan kedua pihak

memiliki interpretasi masing-masing mengenai prinsip tersebut.21 Pragmatisme

dalam kesepakatan tersebut diperlukan untuk menjadi basis dari kerjasama yang

terjadi antara kedua pihak.

18 Manthorpe, Forbidden Nation, 219. 19 Deans, “Cross-Strait Relations since 1949,” 31. 20 Yan, “Cross-Taiwan Straits Relations,” 26. 21 “The 1992 Consensus: The Foundation for Cross-Strait Peace and Stronger International Links”, Taipei Economic and Cultural Office in Canada, terakhir dimodifikasi pada 7 September 2011, diakses 6 November 2012, http://www.roc-taiwan.org/CA/ct.asp?xItem=219017&ctNode=150&mp=77&nowPage=4&pagesize=15.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 22: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

8

Perkembangan yang positif dalam hubungan antar-selat tersebut tidak

berlanjut, karena Lee Teng-hui kemudian menunjukkan keinginannya untuk

mengembangkan proses Taiwanisasi kepada masyarakat Taiwan. Kebijakan yang

paling besar dampaknya yang dilaksanakan oleh Lee Teng-hui adalah

persetujuannya untuk melaksanakan pemilihan umum di Taiwan. Ide pelaksanaan

pemilu ini kemudian menimbulkan kritik dari oposisi Lee dan juga memunculkan

kemarahan dari Beijing yang melihat hal ini sebagai bentuk dari Taiwan yang

menginginkan kemerdekaan dari Cina. Beijing kemudian melancarkan serangan

serangan ke Taiwan melalui peluncuran misil ke beberapa pelabuhan Taiwan,

seperti Kaohsiung dan Keelung.22

Tanda-tanda bahwa Presiden Lee Teng-hui akan semakin membawa

Taiwan menjauhi proses unifikasi semakin jelas ketika pada masa-masa akhir

kepemimpinannya pada tahun 1999, Presiden Lee Teng-hui mengeluarkan sebuah

pernyataan kontroversial bahwa hubungan antara Cina dan Taiwan adalah sebuah

special state-to-state relationship (特殊國與國關係 ). 23 Pernyataan tersebut

menjadi kontroversial karena hal ini menunjukkan sebuah perubahan yang amat

besar dari ‘One-China Policy’ yang secara resmi masih dipegang oleh Taiwan.

1.1.4 Kebijakan Luar Negeri Taiwan terhadap Cina di Bawah Chen Shui-

bian (2000-2008)

Chen Shui-bian menjadi presiden pertama di Taiwan yang menghentikan

dominasi dari KMT sebagai partai pemerintah sejak Chiang Kai-shek berpindah

ke Taiwan pada tahun 1949. Chen Shui-bian merupakan kandidat dari partai DPP,

partai yang memiliki semangat independensi sebagai perlawanan terhadap KMT

yang mendukung unifikasi. Naiknya Chen Shui-bian mendatangkan kekhawatiran

akan masa depan Taiwan dan Cina. Chen Shui-bian dikhawatirkan akan membuat

kebijakan-kebijakan yang semakin menjauhkan Taiwan dari proses unifikasi dan

dengan demikian akan meningkatkan risiko penyerangan dari Beijing kepada

Taiwan

Namun, Presiden Chen Shui-bian pada masa-masa awal kepemimpinannya

justru tidak menunjukkan tanda-tanda akan membawa Taiwan menuju ke arah

22 Manthorpe, Forbidden Nation, 221. 23 Deans, “Cross-Strait Relations since 1949”, 33.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 23: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

9

independensi. Pada pidato yang diberikannya saat pelantikan, Presiden Chen

menegaskan bahwa Taiwan tidak akan mengklaim independensi dari Cina, selama

Cina tidak menggunakan kekuatannya untuk menekan Taiwan.24 Secara spesifik,

kebijakan Presiden Chen tersebut dinamakan sebagai “Four Noes and One

Without (四不一没有), yaitu Presiden Chen tidak akan mengejar independensi,

tidak akan mengubah nama negara, tidak mendorong dimasukkannya formula

‘state-to-state relations’ dalam konstitusi Taiwan, dan tidak melaksanakan

referendum untuk unifikasi atau independensi, selama Cina tidak menggunakan

kekerasan dalam hubungannya dengan Taiwan.25 Selanjutnya, Presiden Chen

Shui-bian juga mengeluarkan beberapa kebijakan yang terkesan mendukung

hubungan antara Cina dan Taiwan seperti memperbolehkan adanya penerbangan

langsung antara Cina dan Taiwan.26

Meskipun demikian, seiring berjalannya waktu beberapa kebijakan

Presiden Chen akhirnya memunculkan kembali kekhawatiran bahwa Taiwan akan

mengejar kemerdekaan. Presiden Chen membuat kebijakan identitas yang jauh

lebih masif dan membentuk identitas taiwanese di kalangan penduduk Taiwan. Di

bawah kepemimpinannya, dinamika identitas Taiwan mengalami perubahan yang

besar, dengan semakin bertambahnya orang-orang yang memiliki identitas

taiwanese dan berkurangnya orang orang yang memiliki identitas chinese. Dalam

bidang ekonomi, Presiden Chen juga berusaha untuk menghambat hubungan

kerjasama ekonomi antara Cina dan Taiwan melalui dorongan agar para investor

Taiwan mendiversifikasi tujuan investasinya ke wilayah lain. Dalam bidang

politik, Presiden Chen juga membuat beberapa kebijakan yang mengkhawatirkan.

Pertama, Presiden Chen berencana untuk menghapuskan Dewan Unifikasi

Nasional yang memiliki tugas untuk melihat prospek unifikasi antara Taiwan

dengan Cina. Presiden Chen juga berusaha melaksanakan referendum untuk

mengubah konstitusi Taiwan dan melaksanakan referendum lain untuk

24 Ezra N.H. Chen, “The Economic Integration of Taiwan and China and Its Implications for Cross-strait Relations,” (makalah, Harvard University, 2003), 8, http://programs.wcfia.harvard.edu/files/fellows/files/chen.pdf. 25“President Chen Reiterates ‘Four Noes, One Without’ Policy”, Taipei Economic and Cultural Representative Office in the U.S., terakhir dimodifikasi pada 11 Maret 2013, diakses 5 Juli 2013, http://www.taiwanembassy.org/US/ct.asp?xItem=11637&ctNode=2300&mp=12&nowPage=54&pagesize=15. 26 Deans, “Cross-Strait Relations since 1949,” 33.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 24: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

10

melaksanakan pengajuan Taiwan sebagai anggota PBB.27 Kebijakan-kebijakannya

tersebut membuat hubungan Cina dan Taiwan semakin memburuk.

1.1.5 Kebijakan Luar Negeri Taiwan terhadap Cina di Bawah Ma Ying-jeou

(2008-2012)

Periode ketegangan antara Beijing dan Taipei berakhir pada tahun 2008

ketika Ma Ying-jeou dari partai KMT kembali mengambil alih posisi presiden

dari partai DPP. Ma Ying-jeou, sebagai presiden dari partai KMT, membuat

kebijakan luar negeri terhadap Cina yang bertujuan untuk memperbaiki kerjasama

antar selat yang cukup terganggu selama masa pemerintahan dua pendahulunya.

Posisi ini telah ditunjukkan oleh Presiden Ma sebelum dia menjabat menjadi

presiden. Saat ia masih menjabat sebagai Ketua Kuomintang, Ma Ying-jeou yang

mewakili gerakan ‘pan-green’ di Taiwan (gerakan yang tidak menyetujui Taiwan

untuk bersikap nasionalis dan menginginkan kemerdekaan dari Cina) telah

membuka kontak dengan pemerintahan pusat di Beijing. Kontak tersebut

digunakan untuk membahas mengenai kesempatan-kesempatan untuk

bekerjasama antar Taiwan dan Cina.

Pada tahun 2008, Ma Ying-jeou terpilih menjadi presiden Taiwan

mengalahkan lawannya dari partai DPP, Frank Hsieh Chang-ting, dengan

perolehan suara mencapai 58% suara. 28 . Tidak lama setelah Presiden Ma

menjabat, Presiden Ma kemudian mengeluarkan pernyataan bahwa hubungan

antara Cina dan Taiwan adalah hubungan yang spesial, tetapi bukanlah sebuah

hubungan antara dua negara. 29 Biarpun kemudian pernyataan ini kemudian

diklarifikasi oleh Presiden Ma30, tetapi pernyataan tersebut merupakan sebuah

perbaikan dari pernyataan dua pendahulunya, Lee Teng-hui dan Chen Shui-bian.31

27 Yan, “Cross-Taiwan Strait Relations,” 30. 28 Ralph Jehnings, “Taiwan’s New Leader’s Take Office On China Pledges,” International Herald Tribune, terakhir dimodifikasi pada 20 Mei 2008, diakses 18 November 2012, http://www.iht.com/articles/reuters/2008/05/20/asia/OUKWD-UK-TAIWAN-PRESIDENT.php. 29 The China Post, “Taiwan and China in ‘Special Relations’: Ma,” terakhir dimodifikasi pada 04 September 2008, diakses 18 November 2012, http://www.chinapost.com.tw/taiwan/china-taiwan%20relations/2008/09/04/173082/Taiwan-and.htm. 30 Presiden Ma kemudian mengklarifikasi bahwa di dalam hubungan tersebut, Republik Cina adalah negara yang memiliki legitimasi. 31 Chu, “Taiwan and the United Nations.”

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 25: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

11

Dalam hubungan antara Taiwan dan Cina, Presiden Ma Ying-jeou juga

mengeluarkan “Three No’s Policy, yaitu No Independence, No Unification, and

No Use of Force (不統、不獨、不武).32 Kebijakan Presiden Ma juga ditandai

dengan keputusan Presiden Ma yang secara tegas mengakui Konsensus 1992.

Untuk menunjukkan keseriusannya dalam membangun kembali hubungan

dengan Cina, Presiden Ma mengambil beberapa keputusan segera setelah dia

memegang kekuasaan. Pertama, Presiden Ma membuka hubungan langsung antara

Cina dan Taiwan dengan membuka penerbangan langsung antara Taiwan dan

Cina. Turis dari wilayah Cina Daratan juga diperbolehkan untuk mengunjungi

Taiwan. Semua kebijakan yang dikeluarkan Presiden Ma bahkan membuat

Majalah Times menuliskan pencapaian Presiden Ma dalam tiga bulan masa

jabatannya telah membuat perbaikan dalam hubungan antara Cina dan Taiwan

selama 6 dekade permasalahan antara kedua pihak tersebut.33

Di dalam menggambarkan mengenai kebijakannya, Presiden Ma

menjelaskan bahwa Taiwan tidak akan berkutat di permasalahan-permasalahan

yang rumit, seperti permasalahan mengenai perjanjian politik ataupun tentang

masalah kedaulatan dalam hubungan kedua negara. Presiden Ma akan lebih

memfokuskan untuk memperbaiki kerjasama terhadap hal-hal yang secara

pragmatis dapat diperbaiki. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Presiden

Ma membuka hubungan kerjasama dengan Cina di segi turisme. Dari segi

perdagangan, Taiwan juga mengurangi larangan-larangan bagi warganya untuk

berinvestasi di Cina ataupun bagi warga Cina untuk berinvestasi di Taiwan.

Kerjasama ekonomi antara Taiwan dan Cina dilengkapi oleh sebuah perjanjian

‘ambisius’, yang dikenal sebagai Economic Cooperation Framework Agreement

(ECFA) China-Taiwan. Dalam perjanjian ECFA ini, Taiwan dan Cina berjanji

32 Steven Goldstein, “Cross-Strait Relations on The Eve of Ma Ying-jeou’s Second Term”, The National Bureau of Asian Research, terakhir dimodifikasi pada 17 Mei 2011, diakses 5 Juli 2013, http://www.nbr.org/research/activity.aspx?id=252#.UdYhclPWEUs. 33 Christie Johnston, “Talking to Taiwan’s New President,” Times, terakhir dimodifikasi pada 11 Agustus 2008, diakses 19 November 2012, http://www.time.com/time/world/article/0,8599,1831748,00.html?xid=rss-topstories.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 26: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

12

mengurangi pajak pada pos-pos barangnya masing-masing, dengan jumlah

berbeda yang tercantum dalam perjanjian tersebut.34

Latar belakang di atas bertujuan untuk menjelaskan dinamika hubungan

antara Taiwan dengan Cina. Sebagai sebuah negara de facto, Taiwan menjalani

hubungan luar negeri dengan Cina yang cukup dinamis. Dinamika tersebut terus

berubah, dan ketika terakhir Taiwan dipimpin oleh Chen Shui-bian, Taiwan

memasuki dinamika hubungan yang bersifat konfliktual dengan Cina. Kondisi ini

sangat mengkhawatirkan karena hubungan yang stabil di Selat Taiwan antar

Taiwan dan Cina menjadi hal yang amat penting di tengah kebangkitan Cina. Cina

saat ini merupakan sebuah negara yang sangat penting bagi dunia internasional.

Kemajuan ekonominya yang amat pesat, yang kemudian diikuti oleh kemajuan

militer Cina, membuat negara ini menjadi semakin relevan dalam hampir seluruh

isu internasional. Fokus yang diberikan kepada stabilitas di Selat Taiwan tersebut

membuat hubungan antara Taiwan dan Cina sampai saat ini menjadi sesuatu hal

yang menarik untuk dibahas.

Di dalam dinamika hubungan tersebut terlihat bahwa faktor eksternal

memiliki peran yang cukup penting bagi pembentukan kebijakan luar negeri

Taiwan terhadap Cina. Contoh-contohnya seperti adanya Perang Dingin,

normalisasi hubungan Cina dan Amerika Serikat, dan hingga saat ini terkait

dengan semakin menguatnya ekonomi Cina sebagai salah satu negara terkaya di

dunia. Kenyataan ini menjelaskan bahwa dinamika di level domestik, seperti

perubahan kepemimpinan antara KMT dan DPP, tidak akan mampu mencakup

seluruh dinamika kebijakan luar negeri Taiwan terhadap Cina. Semua pemimpin

di Taiwan pernah mengalami evolusi kebijakan luar negeri dalam masa

kepemimpinannya dan mengambil kebijakan yang tidak sesuai dengan apa yang

diusung oleh partainya.

34 “The 1992 Consensus: The Foundation for Cross-Strait Peace and Stronger International Links”, Taipei Economic and Cultural Office in Canada, diakses 6 November 2012, http://www.roc-taiwan.org/CA/ct.asp?xItem=219017&ctNode=150&mp=77&nowPage=4&pagesize=15.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 27: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

13

1.2 Pertanyaan Penelitian

Melihat penjelasan di atas, di bawah kepemimpinan presiden Ma Ying-

jeou kebijakan Taiwan dalam hubungannya dengan Cina menjanjikan perubahan

yang mengarah ke membaiknya hubungan Taiwan dan Cina. Dengan demikian,

pertanyaan Tugas Karya Akhir ini adalah “ Bagaimanakah Kebijakan Antar-

Selat Taiwan di Bawah Presiden Ma Ying-jeou dalam Bidang Keamanan,

Ekonomi, dan Identitas?”

1.3 Kerangka Konsep

Untuk membahas mengenai faktor-faktor di balik kebijakan luar negeri

Presiden Ma Ying-jeou terhadap Cina dalam masa kepemimpinannya, tugas akhir

ini akan menggunakan kerangka konsep foreign policy, atau kebijakan luar negeri.

Kerangka konsep ini akan menyadur banyak penjelasan terhadap kebijakan luar

negeri dari tulisan Marijke Breuning dalam bukunya, “Foreign Policy Analysis: A

Comparative Introduction”.

Studi mengenai kebijakan luar negeri sebuah negara merupakan studi yang

telah berkembang sejak sekian lama. Studi mengenai kebijakan luar negeri sebuah

negara dipelopori salah satunya oleh James Rosenau dengan beberapa literaturnya

pada dekade 1960an. Rosenau sendiri kemudian mengembangkan sebuah sub-

studi dari studi kebijakan luar negeri yang dikenal sebagai Comparative Foreign

Policy (CFP). Rosenau menjelaskan bahwa yang harus dilaksanakan bukanlah

melihat kebijakan luar negeri secara satu per satu, tetapi melihatnya sebagai

sebuah foreign policy behavior melalui komparasi atas kebijakan luar negeri yang

lain. Rosenau menjelaskan bahwa kebijakan luar negeri sebuah negara dapat

diteliti dari 5 sumber utama, yaitu idiosynchratic, role, governmental, societal,

dan system. 35 Rosenau menjelaskan bahwa kelima sumber tersebut tidak

memainkan peranan dalam jumlah yang sama, di mana satu sumber dapat

memainkan peranan lebih penting dibandingkan sumber lainnya. Sumber apa

yang lebih dapat menjelaskan kebijakan luar negeri sebuah negara tergantung dari

seperti apa negara tersebut. Tipologi negara-negara kemudian dibedakan oleh

35 M. Fatih Tayfur, “Main Approaches to the Study of Foreign Policy: A Review,” METU Studies in Development 21, no. 1 (1994): 122, diakses 8 Juli 2013, http://www.metu.edu.tr/~tayfur/reading/main_approaches.pdf.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 28: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

14

Rosenau dari tiga faktor, yaitu size, development, dan political accountability.

Penjelasan mengenai kebijakan luar negeri yang didasarkan analisa aktor dan

bersifat multi-level ini kemudian terus berkembang, salah satunya oleh Marijke

Breuning dalam bukunya.

Di dalam bukunya, Breuning secara dalam menjelaskan mengenai studi

kebijakan luar negeri di dalam studi Hubungan Internasional secara umum.

Menurut Breuning, studi kebijakan luar negeri ini tidak menjanjikan dan

menjamin untuk selalu menghasilkan kebijakan luar negeri yang baik, tetapi studi

kebijakan luar negeri lebih berfokus terhadap opsi-opsi yang dimiliki oleh

pemimpin suatu negara dalam menentukan kebijakan luar negerinya dan mencari

alasan-alasan di balik pengambilan sebuah kebijakan luar negeri, seperti

bagaimana prosesnya, siapa saja yang dapat mempengaruhi, bagaimana pemimpin

tersebut bereaksi terhadap sebuah kondisi.36 Kebijakan luar negeri diartikan oleh

Breuning sebagai “Totality of a country’s policies toward and interactions with

the environment beyond its borders”.37

Selanjutnya, Breuning menjelaskan bahwa terdapat tiga hal yang ingin

dijelaskan oleh studi terhadap kebijakan luar negeri, yaitu decision, behavior, dan

outcome. Definisi dari decision adalah pilihan yang diambil oleh sebuah

pemimpin terhadap beberapa opsi kebijakan yang dapat dia ambil. Behavior

adalah upaya-upaya yang dilaksanakan oleh negara terkait dengan keputusan yang

telah diambil. Behavior merupakan usaha negara untuk mempengaruhi negara lain

atau mempertahankan kepentingan nasional negara tersebut. Outcome adalah hasil

akhirnya, dan ini bergantung bukan hanya pada negara tersebut, tetapi juga

bergantung dengan reaksi dari negara lain. Untuk mempelajari mengenai outcome,

tidak cukup dengan membahas kebijakan luar negeri satu negara, tetapi juga

respons negara lain terhadap kebijakan tersebut.

Tiga hal tersebut menunjukkan adanya perbedaan terhadap level analisis di

dalam mempelajari kebijakan luar negeri. Breuning kemudian menjelaskan bahwa

terdapat tiga level analisis yang dapat digunakan dalam studi kebijakan luar

negeri.

36 Marijke Breuning, Foreign Policy Analysis: A Comparative Introduction (New York: Palgrave Macmillan, 2007), 8-9. 37 Ibid., 5.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 29: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

15

a. Individual Level of Analysis: analisa pada level ini berfokus terhadap

individu, atau sekelompok individu yang menjadi pengambil

keputusan terkait dengan kebijakan luar negeri. Analisa yang dapat

digunakan dalam level ini terbagi dalam dua hal, yaitu personalities

(kepercayaan, nilai-nilai yang dipegang pemimpin tersebut) dan

perception (cara pemimpin tersebut melihat sebuah situasi dan

mempertimbangkan kebijakan luar negeri berdasarkan hal tersebut).

b. State Level of Analysis: analisa pada level ini berfokus terhadap

kondisi kondisi di dalam negara tersebut yang mempengaruhi

pengambilan keputusan dan perilaku negara tersebut dalam

menjalankan hubungan luar negeri dengan negara lain. Menurut

Breuning, hal-hal yang termasuk dalam kategori ini misalnya kondisi

ekonomi dalam suatu negara, sejarah dan budaya negara tersebut, atau

hubungan fungsi legislatif-eksekutif di negara tersebut.

c. System Level of Analysis: Analisis di level ini berkaitan dengan

komparasi dan interaksi antara negara, terutama terkait dengan relative

power yang dimiliki oleh negara-negara yang berinteraksi tersebut.

Breuning menjelaskan bahwa interaksi antara ketiga level analisa tersebut

mengungkap bahwa ketiganya memiliki peran-peran tertentu. Analisa pada level

sistem akan memberikan pemahaman mengenai kondisi-kondisi yang melimitasi

pilihan-pilihan yang dimiliki oleh seorang pengambil keputusan kebijakan luar

negeri. Sistem internasional yang anarki, distribusi kekuatan antara negara-negara

yang berinteraksi, dan jenis hubungan antara negara (amity atau enmity) akan

melimitasi jenis-jenis pilihan yang dapat diambil oleh sebuah negara. Pilihan

tersebut kemudian semakin dikerucutkan dengan kondisi birokratis negara yang

akan mengambil keputusan tersebut. Pembuatan kebijakan luar negeri dalam

sebuah negara yang demokratis akan berbeda dengan pembuatan kebijakan di

negara yang bersifat otoriter. Pilihan-pilihan yang telah dikerucutkan tersebut,

kemudian akhirnya akan dipilih oleh individu-individu, atau sekelompok individu,

yang memegang peranan penting dalam pemerintahan, untuk menjadi kebijakan

luar negeri negara tersebut.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 30: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

16

Tabel 1.3.1 Level Analisa Kebijakan Luar Negeri

Level Analisa Tipe-Tipe Faktor Penyebab

Individual Keputusan sesuai dengan kondisi

pembentuk

Negara Intermediate Cause

Sistem Deep Cause Sumber: Marijke Breuning, Foreign Policy Analysis: A Comparative Introduction (New York:

Palgrave Macmillan, 2007), 15

Marijke Breuning selanjutnya menjelaskan mengenai limitasi-limitasi

yang diberikan oleh sistem internasional kepada pilihan-pilihan kebijakan luar

negeri yang dapat diambil oleh sebuah negara. Sebelumnya Marijke Breuning

menjelaskan terlebih dahulu mengenai klasifikasi negara-negara. Breuning

menjelaskan beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengklasifikasi

negara, seperti besar wilayah, besar ekonomi, kekuatan militer. Indikator tersebut

akan membagi negara-negara seperti menjadi superpower, emerging power, dan

developing countries. Selain indikator-indikator objektif tersebut, terdapat juga

indikator subjektif dalam klasifikasi negara. Contoh yang diberikan adalah

klasifikasi yang diberikan oleh Kanada bahwa Kanada adalah negara middle

power.

Setelah menjelaskan klasifikasi negara-negara, Breuning kemudian

menjelaskan secara lebih spesifik mengenai kebijakan luar negeri yang akan

diambil oleh sebuah negara dengan kekuatan kecil yang terpengaruh lebih besar

oleh limitasi di level sistem. Menurut Breuning, terdapat 4 jenis pola kebijakan

luar negeri yang dapat dilaksanakan oleh sebuah negara kecil, yaitu consensus-

oriented foreign policy, compliant foreign policy, counterdependence,

compensation. Consensus-oriented didefinisikan sebagai sebuah upaya dari

negara kecil untuk mencari kesamaan tujuan dalam hubungan luar negerinya

dengan negara besar. Compliant foreign policy memiliki definisi yang sama,

namun perbedaan antara consensus-oriented dengan compliant foreign policy

terletak di unsur sukarela yang terdapat di consensus-oriented namun tidak

terdapat di compliant foreign policy. Counterdependence merupakan kebijakan

luar negeri yang bertujuan untuk menunjukkan perlawanan terhadap perbedaaan

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 31: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

17

kekuatan antara negara kecil tersebut dengan negara besar. Compensation adalah

kebijakan luar negeri yang dikeluarkan negara dengan tujuan untuk

menyenangkan konstituen dalam negeri negara tersebut.38

Pada level analisa domestik, pembentukan kebijakan luar negeri sebuah

negara dapat dilihat dari dua level, yaitu di level negara (state) dan juga level

individu. Di level negara, Marijke Breuning menjelaskan beberapa hal yang dapat

mempengaruhi pembentukan kebijakan luar negeri sebuah negara. Pertama,

Breuning menjelaskan bagaimana kebijakan luar negeri negara amat bergantung

dari struktur dan sistem politik di negara tersebut. Apakah negara tersebut

merupakan negara yang demokratis atau otoriter, apakah negara tersebut benar-

benar otoriter atau hanya semi-otoriter, dan apakah pemilihannya berdasarkan

sistem distrik atau tidak, semuanya dapat mempengaruhi pembentukan kebijakan

negara tersebut. Birokrasi pada agen-agen pemerintahan juga mempengaruhi

kebijakan luar negeri yang diambil, karena agen dan institusi negara tersebut

memiliki andil dalam memberikan informasi yang menjadi basis pengambilan

kebijakan, dan juga ikut dalam mengeksekusi kebijakan luar negeri tersebut.

Selanjutnya, peran media dalam sebuah negara juga dapat berpengaruh

dalam menciptakan kebijakan luar negeri tersebut. Hal ini disebabkan oleh media

yang memiliki fungsi framing, yaitu membentuk persepsi yang dimiliki oleh

masyarakat terkait dengan masalah yang ada. Namun, pengaruh media tersebut

sangat berbeda di setiap negara di mana negara otoriter cenderung tidak banyak

dipengaruhi oleh media, sementara negara demokrasi lebih memperhatikannya.

Terkait dengan persepsi tersebut, Breuning juga menjelaskan bagaimana budaya

dan sejarah nasional sebuah negara juga memiliki pengaruh dalam kebijakan luar

negeri. Sejarah nasional merupakan cerita-cerita kuno dari bangsa tersebut yang

kemudian nilai-nilai yang dikandungnya berubah menjadi budaya nasional.

Budaya tersebut memiliki pengaruh pada kebijakan luar negeri sebuah negara, di

mana kebijakan luar negeri tersebut setidaknya harus terlihat sesuai dengan

budaya nasional yang dipegang oleh negara tersebut.39

Pada level individu, seorang pengambil keputusan dalam kebijakan luar

negeri sebuah negara dapat dianalisa dari tiga hal, yaitu dari personality, 38 Ibid., bab 1, bab 6 39 Ibid., bab 5

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 32: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

18

perception dan decision making group. Personality berkaitan dengan perilaku dan

sifat yang dimiliki oleh seorang pengambil kebijakan. Seorang pemimpin yang

haus akan kekuatan digambarkan akan memiliki tendensi untuk mengambil

kebijakan-kebijakan yang lebih agresif, berbeda dengan orang-orang lain yang

tidak seperti mereka dalam memandang kekuasaan. Perception mencoba melihat

bagaimana seorang pemimpin mempertimbangkan dunia yang ada di hadapannya.

Seorang pemimpin akan mengalami situasi di mana dia harus mempertimbangkan

berbagai hal, seperti situasi yang dihadapi negaranya, kepentingan yang dimiliki

oleh negara rekannya berinteraksi, dan berbagai hal lain. Proses mencerna sebuah

kondisi yang dihadapi negara dan kemudian menjadikannya basis sebuah

kebijakan merupakan definisi dari konsep framing. Ketiga, Breuning juga

menjelaskan bahwa kebijakan luar negeri sebuah negara tidak hanya ditentukan

oleh pemimpin tersebut, namun seringkali diciptakan bersamaan dalam sebuah

grup. Contohnya dalam melihat bagaimana interaksi dalam grup pengambil

kebijakan dapat terlihat dalam interaksi sesama anggota standing committee PKC

di Cina.40

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dari dipilihnya Taiwan dan aspek hubungan antar-selat Taiwan dan

Cina sebagai tema tugas karya akhir ini, terbagi setidaknya menjadi tiga tujuan

utama:

A. Menunjukkan kebijakan Taiwan yang berusaha menyeimbangkan

antara berbagai macam kepentingan, sehingga Taiwan dapat

mempertahankan hubungan dengan Cina

B. Menunjukkan dinamika kebijakan luar negeri Taiwan, termasuk

pilihan-pilihan kebijakan yang dapat diambil oleh Taiwan dan pada

akhirnya,

C. Menunjukkan bagaimana Taiwan dapat mengembangkan kebijakan

yang membuka terhadap kerjasama terhadap Cina, di mana

seharusnya, keduanya memiliki hubungan yang bersifat konfliktual

40 Ibid., 12.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 33: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

19

1.5 Pembabakan TKA

Penulisan dari tugas karya akhir ini akan dibagi ke dalam 5 bab. Bab

pertama akan menjelaskan mengenai latar belakang, rumusan permasalahan, dan

kerangka teori yang digunakan, yaitu foreign policy, dan diakhiri dengan tujuan

penulisan dan pembabakan TKA. Pada bab selanjutnya, penulis akan menjelaskan

mengenai kebijakan keamanan yang digunakan oleh Presiden Ma. Penulis akan

membahas terlebih dahulu mengenai Realisme Defensif sebagai kerangka konsep

untuk bab tersebut, dan kemudian mengimplementasikannya pada subbab

berikutnya. Pada bab kedua, penulis akan menjelaskan mengenai kebijakan

ekonomi Presiden Ma. Pada bab ini penulis akan menjelaskan terlebih dahulu

mengenai Neoliberal Institusionalisme sebagai kerangka konsep yang akan

digunakan oleh penulis, dan kemudian menggunakannya pada subbab selanjutnya.

Pada bab keempat, penulis akan menjelaskan mengenai kebijakan Presiden Ma di

bidang identitas. Pada subbab pertama, penulis akan memberikan penjelasan

mengenai identitas, terutama di level sistem, dan juga identitas nasional.

Selanjutnya, penulis akan menjelaskan mengenai kebijakan-kebijakan identitas

Presiden Ma. Bab terakhir akan menjelaskan mengenai kesimpulan dan

menganalisa bagaimana kebijakan Presiden Ma saling berkaitan satu dengan

lainnya membentuk sebuah kebijakan nasional yang koheren dalam hubungan

antar selat antar Taiwan dan Cina.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 34: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

20

BAB 2

KEBIJAKAN KEAMANAN TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-

JEOU DALAM HUBUNGAN ANTAR-SELAT TAIWAN DAN CINA

Sebagai sebuah bagian dari kebijakan luar negeri Taiwan dalam

hubungannya dengan Cina, kebijakan Taiwan di bidang keamanan merupakan

salah satu bidang yang paling penting. Perkembangan Cina sangat pesat secara

ekonomi, diikuti dengan pertumbuhan kekuatan militer dari Cina, baik yang

terang-terangan dikatakan oleh Beijing, atau yang diperkirakan dikembangkan

berkali lipat lebih gencar, membuat kebijakan keamanan Taiwan menjadi sangat

penting. Presiden Ma Ying-jeou harus dapat menyeimbangkan kepentingannya

untuk memperbaiki hubungan ekonomi dengan Cina dengan kebutuhan untuk

menjaga keamanan Taiwan dari ancaman Cina.

Usaha perimbangan antara kedua kepentingan tersebut membuat Taiwan

memilih kebijakan engagement terhadap Cina. Kebijakan ini merupakan reaksi

dari kebijakan pertahanan Cina yang masih bersifat ofensif terhadap Taiwan,

terutama di bidang keamanan. Bagian pertama dari bab ini akan menjelaskan

terlebih dahulu mengenai konsep Realisme Defensif yang akan digunakan untuk

menjelaskan kebijakan keamanan yang diambil oleh Presiden Ma Ying-jeou.

Selanjutnya, bab ini akan berargumentasi bahwa kebijakan Presiden Ma Ying-

jeou adalah bentuk dari kebijakan keamanan yang mengadopsi strategi

engagement. Bagian selanjutnya akan menganalisa persepsi Taiwan terhadap

Cina, sebagai basis dari pembentukan kebijakan keamanan. Bagian terakhir dari

bab ini akan menjelaskan mengenai faktor-faktor domestik terkait dengan

pembuatan kebijakan keamanan Presiden Ma Ying-jeou.

2.1 Kerangka Konsep: Realisme Defensif

Pemikiran Realisme dalam ilmu Hubungan Internasional telah mengalami

banyak perkembangan. Pemikiran Realisme berasal dari pesimisme terhadap

dunia politik yang terdiri atas hubungan antar-negara, di mana konflik antar

negara merupakan sebuah bagian yang tidak terpisahkan dari politik internasional.

Penjelasan terhadap pesimisme tersebut berkembang dari pemikiran Realisme

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 35: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

21

Klasik, seperti yang dikeluarkan oleh Morgenthau atau E.H. Carr. Pemikiran

tersebut kemudian terus berkembang hingga saat ini memiliki sub-perspektif

seperti Realisme Ofensif yang dikembangkan oleh Mearsheimer, dan juga

Realisme Defensif.

Realisme Defensif sendiri mulai berkembang ketika Kenneth Waltz

mengembangkan teori realismenya yang juga banyak dikenal sebagai Realisme

Struktural. Perkembangan Realisme Struktural ini menghasilkan dua perspektif,

yaitu Realisme Ofensif dan Realisme Defensif. Realisme Ofensif dikembangkan

oleh Mearsheimer, di mana negara-negara menurut perspektif ini cenderung

mengumpulkan power sebanyak-banyaknya. Realisme Defensif sebaliknya tidak

mendukung kebijakan mengumpulkan power yang berlebihan. Kenneth Waltz

berargumentasi bahwa ketika sebuah negara terlalu banyak mengumpulkan

power, hal ini akan memicu aksi balancing dari negara-negara lain dan hal ini

merupakan hal yang harus dihindari oleh negara negara.41

Pemikiran Realisme Defensif kemudian dijelaskan secara lebih mendalam

oleh Shiping Tang dalam bukunya. Shiping Tang menjelaskan terlebih dahulu

mengenai perbedaan Realisme Ofensif dan Defensif. Tang menjelaskan bahwa

dalam kondisi anarki, insentif yang besar justru akan diberikan untuk kebijakan-

kebijakan yang sifatnya defensif (moderate and restrained) dan insentif yang

justru kecil untuk perilaku ofensif. Kebijakan kebijakan yang bersifat ofensif tidak

direkomendasi oleh realisme defensif, kecuali dalam kondisi ekstrim (penekanan

oleh Shiping Tang). 42 Selain itu, berbeda dengan Realisme Ofensif yang

mengeneralisasi intensi seluruh negara, Realisme Defensif berargumentasi bahwa

pembentukan strategi negara bergantung dari persepsi terhadap intensi negara

lain. Shiping Tang membedakan negara berdasarkan strateginya, apakah negara

tersebut menganut Realisme Defensif atau Realisme Ofensif. Pembeda antara

keduanya adalah negara penganut Realisme Ofensif menginginkan keamanan

melalui perusakan terhadap negara lain, sementara negara penganut Realisme

41 John J. Mearsheimer, The Tragedy of Great Power Politics (New York: W.W. Norton and Company, 2001), 20. 42 Shiping Tang, A Theory of Security Strategy for Our Time: Defensive Realism (New York: Palgrave Macmillan, 2010), 28-30.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 36: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

22

Defensif tidak menginginkan keamanan seperti itu, kecuali dalam kondisi

ekstrim.43

Tang kemudian menjelaskan bahwa terdapat tangga strategi yang dapat

dipilih sebuah negara. Dari tangga strategi tersebut, Shiping Tang menjelaskan

bahwa terdapat spektrum kebijakan strategi yang dapat diambil negara. Satu

ekstrim, yaitu ekstrim yang paling tidak konfrontatif adalah strategi yang tidak

dianjurkan oleh realisme, baik itu realisme ofensif dan defensif. Strategi tersebut

adalah strategi appeasement dan do nothing. Ekstrim paling konfrontatif adalah

strategi yang digunakan oleh negara-negara yang menganut realisme ofensif,

seperti preventive war, dan active containment. Preventive war adalah strategi

yang diinginkan dan cenderung dimulai oleh sebuah negara yang bersifat ofensif,

karena keinginannya untuk terus meningkatkan relative power yang dimilikinya,

sehingga bisa memicu arms race atau bahkan konflik terbuka.

Dalam spektrum tersebut, Tang menempatkan strategi engagement di

tengah-tengah sebagai kebijakan yang negara-negara penganut realisme defensif

akan gunakan. Kebijakan engagement ini memiliki tiga komponen utama.

Pertama, kebijakan ini memberikan reassurance kepada lawan interaksinya

bahwa negara tersebut tidak mengancam. Kedua, kebijakan ini memberikan

ajakan untuk bekerjasama (yang mungkin berkembang menjadi kerjasama

mendalam). Ketiga, di dalam kebijakan ini juga terdapat hedging, di mana unsur

pertahanan/deterrence dipertahankan, sebagai antisipasi jika lawan interaksinya

merupakan negara agresor yang tidak dapat dirubah intensinya.

43 lebih lanjut lagi, Shiping Tang menjelaskan beberapa keuntungan dari membedakan negara melalui pembedaan apakah mereka menganut realisme defensif atau realisme ofensif. Salah satu hal yang menarik adalah Shiping Tang menggaris bawahi bahwa dengan pembedaan seperti itu, peningkatan kekuatan dengan cara pertumbuhan ekonomi tidak dianggap sebagai pembeda antara negara penganut realisme defensif dan penganut realisme defensif. Menurut Shiping Tang, pengembagan dan pertumbuhan ekonomi merupakan sebuah hal yang murni untuk memperbaiki kesejahteraan rakyatnya, sehingga tidak ada negara yang dapat disalahkan jika ingin meningkatkan kesejahteraan rakyatnya melalui cara ini.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 37: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

23

Gambar 2.1.1 Tangga Strategi Realisme

Sumber: Shiping Tang, A Theory of Security Strategy for Our Time: Defensive Realism (New York: Palgrave Macmillan, 2010), 104.

Sebuah negara yang menganut Realisme Defensif akan menganalisa

terlebih dahulu lawan interaksinya sebelum menciptakan kebijakan keamanannya.

Menurut Tang, terdapat dua indikator yang dapat menentukan apakah sebuah

negara merupakan negara yang ofensif atau defensif, yaitu dari words dan deeds.

Pertama, sebuah negara yang menyadari adanya security dilemma dan tindakan

balancing yang mungkin terjadi jika sebuah negara terus mengejar relative power

merupakan indikasi negara yang menganut Realisme Defensif. Kedua, apabila

negara tersebut kemudian mengimplementasikan self-restraint sebagai hasil dari

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 38: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

24

pengakuan atas tindakan balancing yang mungkin terjadi seperti dijelaskan di

atas. Ketika sebuah negara telah melaksanakan dua hal di atas, maka negara

tersebut dapat dikatakan sebagai negara penganut realisme defensif.

Setelah melaksanakan pembagian antara negara defensif atau negara

ofensif, tahap selanjutnya kemudian memilih strategi sesuai dengan negara yang

dihadapi. Strategi tersebut terbagi pada dua bidang, yaitu di bidang militer dan

bidang politik.

Pada bidang militer, ketika sebuah negara dihadapkan dengan negara lain

yang bersifat ofensif, maka kebijakan sebuah negara defensif tidak akan banyak

berbeda dengan negara ofensif. Negara bisa memilih antara mengembangkan

postur pertahanannya atau membentuk aliansi untuk melaksanakan balancing

kepada negara ofensif tersebut. Hanya saja, selain mengembangkan pertahanan

atau membuat aliansi, negara yang menganut Realisme Defensif juga akan

memberikan reassurance kepada negara ofensif dengan menunjukkan intensi

baik.

Ketika menghadapi negara yang bersifat defensif, kebijakan militer negara

penganut Realisme Defensif akan memiliki dua unsur. Pertama, negara realisme

defensif akan melaksanakan self-restraint dan juga bersedia untuk dilimitasi oleh

negara lain atau oleh sebuah institusi internasional. Kedua, negara Realisme

Defensif akan mencoba mengukuhkan hubungan dengan negara lain melalui

kerjasama yang lebih mendalam, seperti melalui kebijakan bersifat Confidence-

Building Measures (CBMs).

Pada bidang politik, ketika sebuah negara penganut Realisme Defensif

dihadapkan dengan negara ofensif, kebijakan yang akan diambil adalah mencoba

merubah preferensi negara ofensif tersebut. Negara Realisme Defensif akan

mencoba merubah tujuan negara ofensif, yang awalnya berusaha untuk

mengekspansi kekuatannya, menjadi ke arah defensif. Untuk mengubahnya,

sebuah negara akan memberikan reassurance, untuk menunjukkan intensi baik

dan keinginan untuk bekerjasama. Jika negara tersebut telah berubah dari ofensif

menjadi defensif, kebijakan yang dibuat adalah mencoba membuat kerjasama

yang lebih ekstensif dan mendalam antara negara.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 39: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

25

Dari penjelasan di atas, reassurance merupakan sebuah unsur penting

dalam kebijakan yang diambil oleh negara penganut realisme defensif. Tang

menjelaskan bahwa terdapat tiga elemen penting di dalam sebuah reassurance,

yaitu cost, risk, dan credibility.44 Tang menjelaskan bahwa terdapat tiga jenis

reassurance yang dapat diberikan oleh negara, yaitu melalui words, deeds non-

military, dan deeds military.45

Dengan demikian, Realisme Defensif juga percaya bahwa sebuah negara

harus terus menganalisa intensi sebuah negara. Realisme Ofensif cenderung

mengaplikasikan kebijakan yang universal dan berlaku sama di semua kondisi.

Realisme Defensif sebaliknya merekomendasikan kebijakan yang lebih fluid,

menyesuaikan dengan tindakan dari lawan negara tersebut, dan terus menganalisa

perubahan-perubahan yang terjadi. Apabila sebuah negara defensif terlalu

bersikap ofensif, kerugian mungkin akan terjadi karena terlibat dalam

konflik/perang yang tidak perlu. Sebaliknya, jika sebuah negara terus memberikan

reassurance kepada negara yang memang tidak dapat lagi diubah, hal ini dapat

memberikan pengaruh tidak baik, dan dapat dimanfaatkan oleh negara yang

bersikap ofensif/agresif tersebut.

2.2 Kebijakan Keamanan Taiwan di Bawah Ma Ying-jeou: Bentuk

Engagement Presiden Ma kepada Cina

Setelah melihat penjelasan mengenai pilihan-pilihan strategi yang telah

dijelaskan di atas, bagian ini akan menjelaskan mengenai kebijakan keamanan

yang dibuat oleh Presiden Ma dalam masa presidensinya yang pertama. Di bawah

ini, penulis akan berargumentasi bahwa kebijakan Presiden Ma merupakan

strategi engagement, melalui analisa tiga elemen yang ada dalam kebijakan

engagement sesuai penjelasan Tang, yaitu adanya pemberian sinyal untuk

menunjukkan intensi baik melalui reassurance, ajakan untuk memulai kerjasama,

serta pada saat yang bersamaan melaksanakan hedging pada negara tersebut.

44 Cost didefinisikan sebagai dampak yang diterima oleh negara ketika memberikan sinyal untuk reassurance, dan dapat berbentuk material atau simbolis. Risk adalah resiko bahwa cost tersebut kemudian tidak mendapat timbal balik yang positif. Credibility adalah bagaimana penerima sinyal reassurance menilai sinyal tersebut. Kredibilitas tersebut akan datang dari bagaimana penerima sinyal mengkalkulasi seberapa besar cost dan risk dari sinyal yang diberikan. Ibid.,135-137 45 Ibid., Bab 4, Bab 5

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 40: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

26

2.2.1 Pemberian Sinyal Intensi Baik melalui Reassurance dan Ajakan

Kerjasama kepada Cina oleh Presiden Ma Ying-jeou

Memburuknya hubungan antara Taiwan dengan Cina di bawah Presiden

Chen Shui-bian menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi oleh Presiden

Ma Ying-jeou. Memburuknya hubungan tersebut membuat ketegangan antara

Taiwan dan Cina semakin meninggi, seperti contohnya diarahkan ribuan misil

Cina di Provinsi Fujian ke arah Taiwan, munculnya Anti-Secession Law di Cina,

dan beberapa provokasi Chen Shui-bian untuk melaksanakan referendum yang

mendorong independensi Taiwan.46

Ketika Presiden Ma Ying-jeou dicalonkan menjadi kandidat presiden

Taiwan dalam pemilihan umum tahun 2008 sebagai calon dari Kuomintang, dia

menjanjikan untuk memperbaiki hubungan yang memburuk antara Cina dengan

Taiwan. 47 Ma Ying-jeou menilai kebijakan-kebijakan yang diberikan oleh

Presiden Chen Shui-bian lebih merugikan dibandingkan menguntungkan bagi

Taiwan. Kerugian tersebut utamanya dalam bidang kerjasama di bidang ekonomi,

karena potensi-potensi kerjasama antara Taiwan dan Cina tidak dapat terealisasi.

Untuk memulai perbaikan hubungan antara Cina dan Taiwan tersebut, Ma Ying-

jeou sejak kampanye menyatakan bahwa Taiwan yang dipimpinnya akan

menghormati dan mengimplementasikan kembali Konsensus 1992.

Ketika Ma Ying-jeou terpilih menjadi presiden Taiwan pada tahun 2008,

dia merealisasikan janji dalam kampanyenya tersebut. Pada pidato pelantikannya,

dia menyebutkan bahwa Konsensus 1992 merupakan bagian penting dalam

kerjasama Taiwan dan Cina selama ini.48 Inisiatif yang diberikan oleh Presiden

Ma Ying-jeou tersebut mendapat respons positif dari Cina. Dialog antara SEF dan

ARATS kembali dimulai, sejak terakhir kali berhenti di bawah Presiden Lee

Teng-hui. 46 Shirley A. Kan, “Taiwan: Major US Arms Sales since 1990,”Taiwan: Major US Arms Sales since 1990,” 5, terakhir dimodifikasi pada 3 Juli 2013, diakses 25 Juli 2013, http://www.fas.org/sgp/crs/weapons/RL30957.pdf. 47 Susan Albright, “Taiwan’s New President Will Try to Calm the Waters,” Minneapolis Post, terakhir dimodifikasi pada 25 Maret 2008, diakses 12 Juni 2013, http://www.minnpost.com/politics-policy/2008/03/taiwans-new-president-will-try-calm-waters. 48 Wu Zhong, “Taiwan’s Ma Strides Across the Strait.” Asia Times, terakhir dimodifikasi pada 10 Februari 2011, diakses 12 Juni 2013, http://www.atimes.com/atimes/China/MB10Ad01.html.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 41: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

27

Sinyal positif yang diberikan oleh Presiden Ma Ying-jeou kemudian

berlanjut terus ketika Presiden Ma Ying-jeou telah menjadi presiden dari Taiwan.

Presiden Ma Ying-jeou menginisiasi ide pembentukan ECFA untuk menguatkan

kembali hubungan antara Taiwan dan Cina, terutama di bidang ekonomi.49

Kerjasama antara Taiwan dan Cina sendiri tetap berjalan secara konsisten melalui

dialog antara SEF dan ARATS. 50 Anggaran pertahanan Taiwan juga tidak

meningkat secara berlipat, biarpun Cina secara konsisten terus meningkatkan

anggaran pertahanannya. Anggaran pertahanan Taiwan di bawah Presiden Ma

Ying-jeou tahun 2008-2012 tidak pernah melewati nilai 3% dari total PDB

Taiwan, meskipun 3% adalah batas minimum yang dijanjikan oleh Presiden Ma

Ying-jeou pada masa kampanyenya.

Penjelasan di atas memberikan contoh kebijakan-kebijakan reassurance

Presiden Ma Ying-jeou kepada Cina. Menurut Tang, terdapat tiga jenis

reassurance yang dapat diberikan, yaitu melalui words, deeds non-military, dan

military. Penggunaan kembali Konsensus 1992 merupakan contoh reassurance

yang diberikan dalam bentuk words. Pengakuan kepada Konsensus 1992

merupakan sesuatu yang costly karena pengakuan kepada konsensus ini membuka

interpretasi bahwa Taiwan kehilangan independensinya dari Cina, sebuah risk

yang amat besar bagi Taiwan. Risk tersebut semakin besar ketika Presiden Ma

Ying-jeou menurunkan anggaran pertahanan dan menginstitusionalisasi hubungan

melalui ECFA. Kebijakan-kebijakan tersebut menimbulkan kritik kepada Presiden

Ma, bahwa kebijakannya yang memberikan intensi baik tersebut membuat Taiwan

kehilangan kedaulatannya karena dependensi dengan Cina menjadi semakin

akut.51

Hanya saja, risk tersebut menjadi nyata merugikan kepada negara jika

tindakan reassurance yang diberikan tidak menerima respons positif dari negara

yang menerima sinyal tersebut. Kenyataannya, Cina memberikan respons yang 49 Mathieu Duchatel, “Between Hedging and Bandwagoning for Profit: Taiwan’s Mainland Policy Under Ma Ying-jeou,” 9, (makalah dipresentasikan dalam Track Two Dialogue on EU-China Relations and the Taiwan’s Questions, Shanghai, 5-6 Juni, 2010). 50 Sun Yunlong, “Backgrounder: Key Talks Between ARATS and SEF,” Xinhua News Agency, terakhir dimodifikasi pada 3 November 2008, diakses 12 Juni 2013, http://news.xinhuanet.com/english/2008-11/03/content_10300714.htm. 51 Vincent Y. Chao, “DPP Decries Dependency on PRC,” Taipei Times, terakhir dimodifikasi pada 17 Juni 2011, diakses 12 Juni 2013, http://www.taipeitimes.com/News/taiwan/archives/2011/06/17/2003505997.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 42: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

28

cukup positif dari kebijakan-kebijakan reassurances yang diberikan oleh Presiden

Ma. Konsensus 1992 dianggap sebagai bentuk reassurance yang cukup kredibel

untuk membuka kembali hubungan institusional Taiwan dengan Cina melalui

dialog SEF dan ARATS. Inisiatif ECFA sendiri mendapat respons yang positif

dari Cina, bahkan ECFA sendiri menghasilkan aturan-aturan yang berpotensi

merugikan Cina.

2.2.2 Tindakan Hedging Presiden Ma Ying-jeou kepada Cina: Balancing

Internal dan Eksternal Taiwan terhadap Cina

Salah satu elemen penting dari kebijakan engagement adalah usaha

hedging yang dilaksanakan untuk mengantisipasi jika reassurance yang diberikan

tidak mendapat respons yang positif. Menurut Tang, hal ini dapat diberikan

dengan dua cara, yaitu penguatan postur pertahanan secara internal dan

pembuatan aliansi secara eksternal. Bagian ini berusaha menjelaskan mengenai

usaha hedging Presiden Ma, baik dari segi pengembangan postur pertahanan

dalam negeri Taiwan, dan juga dari hubungan Taiwan dengan Amerika Serikat

sebagai pemberi deterrence secara eksternal.

Arah perkembangan kekuatan pertahanan dan keamanan Taiwan di bawah

Presiden Ma Ying-jeou merupakan sebuah hal yang menjadi perdebatan di

Taiwan, terutama ketika Presiden Ma Ying-jeou baru saja memenangkan pemilu

pada tahun 2008. Saat Presiden Ma mengajukan bahwa ia menginginkan adanya

perbaikan dalam hubungan antara Cina dengan Taiwan, pertanyaan yang muncul

kemudian adalah bagaimana Taiwan akan memberikan fokus yang sama pada

pertahanan dan keamanan Taiwan.52

Pada awal kepemimpinannya, Presiden Ma Ying-jeou berusaha untuk

menenangkan para petinggi militer dan analis keamanan di Taiwan bahwa

Presiden Ma masih akan memberikan perhatian yang cukup kepada

pertahanannya. Presiden Ma Ying-jeou berjanji untuk menjaga agar anggaran

52 Michael S. Chase, “Taiwan’s Defense Budget Dilemma: How Much is Enough In An Era of Improving Cross-Strait Relations,” China Brief 8, no. 15 (2008), diakses 21 Desember 2012, http://www.jamestown.org/programs/chinabrief/single/?tx_ttnews%5Btt_news%5D=5061&tx_ttnews%5BbackPid%5D=168&no_cache=1.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 43: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

29

pertahanan Taiwan mencapai 3% dari PDB Taiwan. 53 Presiden Ma juga

menunjukkan keinginan untuk membentuk kebijakan pertahanan yang disebut

sebagai “Hard ROC”.54

Asas ini kemudian dijelaskan dengan beberapa kebijakan-kebijakan dalam

QDR yang dikeluarkan oleh Taiwan. Menurut Alexander Chieh-cheng Huang,

terdapat dua hal yang menjadi fokus utama dalam QDR, yaitu prevention dan

transformation.55 Definisi dari prevention adalah usaha-usaha untuk memperkuat

kembali hubungan dengan negara negara yang selama ini menjadi rekan Taiwan

dan juga memperbaiki hubungan lebih baik antara Taiwan dan Cina. Tujuan dari

prevention adalah agar Taiwan tidak terlibat dalam konflik, terutama dengan Cina.

Definisi dari transformation adalah usaha dari Presiden Ma Ying-jeou untuk

mentransformasi angkatan bersenjata dari Taiwan, dari tadinya diisi oleh

campuran wajib militer dan sukarela, menjadi angkatan bersenjata yang

sepenuhnya diisi oleh tenaga sukarela.

Namun setelah berjalan empat tahun masa kepemimpinan Presiden Ma,

perhatian yang diberikan oleh Presiden Ma terhadap pertahanan bisa dikatakan

belum maksimal. Indikator utama dari pernyataan di atas adalah anggaran

pertahanan yang dikeluarkan oleh Taiwan di bawah masa pemerintahan Presiden

Ma tidak pernah menyentuh angka 3% dari PDB Taiwan.56 Jika kita lihat tabel di

bawah, besaran dari anggaran pertahanan Taiwan justru menurun, di mana pada

tahun 2009 anggaran pertahanan sempat mencapai 2,7% dari PDB tetapi

kemudian menurun pada tahun 2010 dan 2011 menjadi masing masing 2,2% dan

2,1% dari PDB Taiwan.

53 Wendell Minnick, “CRS Report Reviews US, Taiwan Relations,” Defense News, terakhir dimodifikasi pada 24 Mei 2012, diakses 21 Desember 2012, http://www.defensenews.com/article/20120524/DEFREG02/305240003/CRS-Report-Reviews-Taiwan-Security-U-S-Relations. 54 Quadrennial Defense Review Editing Group Ministry of National Defense, Quadrennial Defense Review 2009, (Taipei City: Ministry Of National Defense, 2009), 63 55 Alexander Chieh-cheng Huang, “A Midterm Assessment of Taiwan’s First Quadrennial Defense Review,” (Makalah, Brookings Institution, 2011), http://www.brookings.edu/research/papers/2011/02/taiwan-huang 56 Kan, “Taiwan: Major U.S. Arms Sales”, 34-35.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 44: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

30

Tabel 2.2.1.1 Pengeluaran Pertahanan Taiwan 2008-2012

Tahun Fiskal Anggaran

Pertahanan (NT$

milyar)

Anggaran

Pertahanan (US$

milyar)

% dari PDB % dari total

pengeluaran

pemerintah

2008 341,1 10,5 2,5 20,2

2009 318,7 9,6 2,7 17,6

2010 297,4 9.3 2,2 17,3

2011 294,6 10,2 2,1 16,5

2012 317,3 10,6 2,2 16,4

Sumber: Shirley A. Kan, “Taiwan: Major US Arms Sales since 1990,”Taiwan: Major US Arms Sales since 1990,” 5, terakhir dimodifikasi pada 3 Juli 2013, diakses 25 Juli 2013,

http://www.fas.org/sgp/crs/weapons/RL30957.pdf., 34-35.

Penurunan anggaran pertahanan dari Taiwan dapat terjadi karena adanya

krisis finansial yang terjadi pada tahun 2008. Hal ini dengan demikian membuat

usaha usaha yang sudah dimasukkan ke dalam QDR kemudian menjadi terganggu

dan terhambat. Program dari Presiden Ma untuk merubah dan mentransformasi

angkatan bersenjata dari Taiwan menjadi seluruhnya volunteer pun menjadi

terganggu. Perubahan menjadi all-volunteer memang akan menambah beban

anggaran pemerintahan Taiwan. Turunnya anggaran pertahanan Taiwan membuat

program tersebut mengalami penundaan dari tadinya dijadwalkan selesai tahun

2014, kemudian berubah menjadi tahun 2015.57

Penurunan anggaran pertahanan Taiwan juga berdampak terhadap

kerjasama yang terjadi antara Taiwan dan Amerika Serikat. Taiwan masih sangat

bergantung dengan Amerika Serikat dalam kerjasama militer yang terjadi antara

kedua negara, terutama dengan tujuan Taiwan untuk memodernisasi angkatan

bersenjatanya. Untuk mencapai modernisasi tersebut, Taiwan memiliki keinginan

untuk membeli kapal patroli maritim P-3C, helikopter serang untuk angkatan

darat, helikopter serba guna untuk angkatan darat, PAC-3 sistem pertahanan rudal,

57 Vincent Y. Chao, “Pundits Says Defense Cuts Invite Aggression,” Taipei Times, terakhir dimodifikasi pada 22 Juni 2011, diakses 21 Desember 2012, http://www.taipeitimes.com/News/front/archives/2011/06/22/2003506383.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 45: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

31

Fighter F-16C/D, dan kapal selam tenaga diesel. 58 Penurunan anggaran

pertahanan dari Taiwan menyebabkan hal-hal di atas sulit untuk dicapai. 59

Pesawat F-16C/D yang diinginkan oleh Presiden Ma sendiri semakin sulit untuk

dibeli, dengan Taiwan mempertimbangkan menyiapkan dana US$ 10 juta yang

digunakan untuk membeli F-16C/D, tetapi hanya untuk kepentingan simbolis.60

Pengembangan postur pertahanan Taiwan di bawah Presiden Ma Ying-

jeou dengan demikian tidak memuaskan. Usaha-usaha yang dilakukan oleh

Presiden Ma tidak mencukupi jika dibandingkan dengan reformasi dan

pertumbuhan kekuatan militer yang terjadi di Cina. Oleh karena itu, aspek internal

dari balancing yang dimiliki oleh Taiwan terhadap Cina tidak dapat memenuhi

unsur deterrence yang cukup yang merupakan bagian penting dari kebijakan

engagement.

Selain melalui internal balancing, Tang menjelaskan bahwa negara juga

dapat memilih aliansi sebagai bentuk balancing eksternal. Dalam kasus Taiwan

dan Cina, kehadiran Amerika Serikat sebagai aktor eksternal memegang peran

penting dalam menghadirkan deterrence, bahkan kepada kedua pihak, untuk

mampu mempertahankan perdamaian di Selat Taiwan.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Amerika Serikat telah terlibat

dalam dinamika hubungan antara Taiwan dan Cina sejak tahun 1950 ketika

Amerika Serikat mengirimkan armadanya untuk memberikan efek gentar pada

Beijing untuk tidak menyerang Taiwan.61 Sejak saat itu, Amerika Serikat terus

berada di wilayah Selat Taiwan, memainkan peranan sebagai pihak penengah

yang mencegah agar kedua negara tidak terjerumus dalam perang. Amerika

Serikat sendiri memiliki dinamika dalam hubungannya dengan kedua aktor di

Selat Taiwan, dari awalnya memiliki hubungan aliansi yang kuat dengan Taiwan

melalui traktat pertahanan bersama, kemudian sedikit meregang dengan Taiwan

akibat adanya normalisasi hubungan antara Amerika Serikat dengan Cina, hingga

saat ini di mana Amerika Serikat masih menjaga perimbangan untuk tetap

melindungi Taiwan, jika suatu saat Cina menggunakan aksi-aksi kekerasan secara

58 Chase, “Taiwan’s Defense Budget Dilemma.” 59 Minnick, “CRS Reports Review US.” 60 Ibid. 61 Deans, “Cross-Strait Relations since 1949”, 28

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 46: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

32

unilateral, sementara Amerika Serikat menjalin hubungan yang cukup mendalam

dengan Cina.62

Sejak awal keterlibatannya, Amerika Serikat memandang bahwa

kepentingan utamanya adalah untuk menjaga agar tidak terjadi instabilitas di

wilayah Selat Taiwan. Pada masa-masa perang dingin, usaha menjaga stabilitas

ini dilakukan atas dasar kepentingan Amerika Serikat yang tidak menginginkan

adanya konflik terbuka antara Cina dan Taiwan yang dapat membawa Uni Soviet

dan Amerika Serikat ke dalamnya. Kebijakan ini ditunjukkan melalui berbagai

tekanan-tekanan yang diberikan oleh Amerika Serikat kepada Taiwan dan Uni

Soviet kepada Cina agar keduanya tidak lagi berkonflik secara terbuka dan

mengalihkannya pada bidang diplomasi.63 Pada saat normalisasi terjadi antara

Cina dan Amerika Serikat, kepentingan tersebut berubah menjadi menjaga

stabilitas Selat Taiwan. Stabilitas Selat Taiwan merupakan prasyarat penting agar

kerjasama antara Cina dan AS dapat terus berjalan. Saat ini, kepentingan Amerika

Serikat menjaga hubungan antara Cina dan Taiwan didasari atas dasar

kepentingan Amerika Serikat yang tidak ingin memprovokasi Cina, terutama

dengan semakin menguatnya kekuatan ekonomi dan militer Cina.

Keteguhan Amerika Serikat menjaga perdamaian di Selat Taiwan

ditunjukkan melalui beberapa cara. Pertama, keteguhan ini terlihat dengan

Amerika Serikat yang mengembalikan fokusnya kepada Asia, setelah sebelumnya

banyak terlibat di wilayah Timur Tengah. Kebijakan Amerika Serikat ini

kemudian dikenal sebagai ‘Asia Pivot’. 64 Kebijakan Asia Pivot ini menunjukkan

intensi Amerika Serikat untuk kembali memperkuat basis-basisnya di Asia.

Meskipun Taiwan tidak disebut secara spesifik dalam tulisan yang diberikan oleh

Hillary Clinton, tetapi hal ini tidak menegasi bahwa Amerika Serikat memiliki

kepentingan tinggi untuk menjaga stabilitas di wilayah Asia.

62 Ibid., 28-33 63 Ibid., 28-29 64 Hillary Clinton, “America’s Pacific Century: The Future of Politics will be decided in Asia, not Afghanistan or Iraq, and the United States Will Be Right at the Center of Action,” Foreign Policy, terakhir dimodifikasi pada 11 Oktober 2011, diakses 4 November 2012, http://www.foreignpolicy.com/articles/2011/10/11/americas_pacific_century.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 47: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

33

Kedua, Amerika Serikat juga masih mempertahankan keputusannya untuk

melaksanakan penjualan senjata kepada Taiwan.65 Amerika Serikat mendapat

dorongan-dorongan, baik dari internal dan eksternal, untuk tidak melanjutkan

penjualan senjata kepada Taiwan karena penjualan senjata tersebut mengancam

hubungan Amerika Serikat dengan Cina. Amerika Serikat sendiri juga mencoba

untuk melimitasi penjualan senjatanya kepada Taiwan, dengan hanya menjual

produk-produk yang bersifat defensif. Amerika Serikat juga tidak mengabulkan

seluruh permintaan pembelian senjata dari Taiwan. Namun, tindakan perimbangan

Amerika Serikat ini, antara menjual senjata dan tidak memprovokasi Cina,

menunjukkan keteguhan Amerika Serikat untuk komitmennya kepada pertahanan

Taiwan.

Ketiga, di dalam hubungan antara Taiwan dan Cina, Amerika Serikat

menegaskan bahwa Taiwan tidak akan ditinggalkan begitu saja. Amerika Serikat,

yang mencoba untuk memperbaiki hubungan dengan Cina pada beberapa

kesempatan (salah satunya melalui pertemuan antara Xi Jinping dan Barack

Obama pada bulan Juni 2013), dikhawatirkan akan mengorbankan Taiwan untuk

mendapatkan konsesi dari Cina. Namun menurut Jeffrey Bader, salah satu mantan

staf Barack Obama, ide untuk ‘meninggalkan’ Taiwan merupakan sesuatu yang

tak terpikirkan. Terdapat dua kepentingan Amerika Serikat untuk tetap

mempertahankan Taiwan dari kemungkinan serangan unilateral dari Cina.

Pertama, Amerika Serikat terikat dengan kesamaan nilai sebagai sesama negara

demokrasi, sehingga Amerika Serikat tidak dapat menerima Taiwan yang

demokrasi harus menerima keadaan di mana keinginan rakyatnya tidak terpenuhi,

terutama saat negara demokrasi tersebut harus diinvasi oleh negara komunis.

Kedua, Amerika Serikat juga tidak dapat meninggalkan Taiwan karena akan

memberikan imej buruk kepada aliansi Amerika Serikat lainnya di wilayah Asia,

seperti Jepang.66

65 Paul Eckert, “U.S. to announce F-16 upgrade for Taiwan: Lobby Group,” Reuters, terakhir dimodifikasi pada 16 September 2011, diakses 1 Juni 2013, http://www.reuters.com/article/2011/09/16/us-usa-taiwan-f-idUSTRE78F2L620110916. 66 Shih Hsiu-chuan, “Abandoning Taiwan is ‘unthinkable’, ex-Obama administration official says,” Taipei Times, terakhir dimodifikasi pada 28 Maret 2012, diakses 12 Juni 2013, http://www.taipeitimes.com/News/taiwan/archives/2012/03/28/2003528896.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 48: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

34

Dengan demikian, Amerika Serikat menjadi aktor penting dalam

hubungan keamanan antara Taiwan dan Cina. Sebagai negara dengan kekuatan

militer terbesar di dunia saat ini, komitmen-komitmen yang diberikan oleh

Amerika Serikat tentu tidak dapat diacuhkan, terutama oleh Cina. Komitmen

Amerika Serikat menjaga keamanan di wilayah Selat Taiwan tentu menjadi

pertimbangan baik bagi Taiwan dan Cina dalam membuat strategi keamanannya.

Taiwan dijaga untuk tetap memiliki pertahanan dengan bantuan-bantuan bersifat

defensif, dan Cina di lain pihak tentu menjaga hubungannya dengan Amerika

Serikat tetap terjaga, biarpun pada beberapa kejadian Cina masih menunjukkan

beberapa kebijakan ofensif.

2.3 Faktor Eksternal Pembentuk Kebijakan Keamanan Taiwan: Cina

sebagai Negara Realisme Ofensif

Seperti yang telah dibahas pada pembahasan teori, salah satu hal yang

harus dilaksanakan oleh sebuah negara yang menganut Realisme Defensif dalam

menyusun kebijakan keamanannya dengan negara lain adalah membedakan antara

negara lawannya, apakah negara tersebut adalah negara yang sama sama

menganut Realisme Defensif, ataukah negara tersebut merupakan negara yang

bersifat ofensif. Hal ini kemudian menjadi landasan dari bagaimana Taiwan akan

membuat kebijakan keamanannya terkait dengan Cina. Bagian ini akan

menunjukkan bahwa Cina masih cenderung mengarah sebagai negara dengan

realisme ofensif. Hal ini ditunjukkan saat Cina yang mengeluarkan pernyataan

bahwa kebangkitan Cina merupakan ‘Peaceful Rise’, ternyata masih tidak

melaksanakan self-restraint dalam pengembangan kekuatan militernya, terutama

dalam hubungannya dengan Taiwan.

2.3.1 Cina dan Klaim sebagai Negara dengan Peaceful Rise

Dalam beberapa tahun ke belakang, Cina mendapatkan banyak perhatian

dari dunia karena pertumbuhan ekonominya yang mencapai dua digit dan

bertahan secara stabil sejak Cina memulai liberalisasi ekonominya. Kekuatan

ekonomi Cina yang tumbuh secara berlipat kemudian berdampak pada anggaran

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 49: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

35

pertahanan Cina yang terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Tercatat

pada tahun 2013, Cina secara total memiliki anggaran pertahanan mencapai US$

119 milyar, peningkatan 10,7% dari tahun sebelumnya.67 Anggaran pertahanan

yang besar juga dilengkapi dengan komitmen Cina untuk melaksanakan reformasi

di dalam angkatan perangnya, salah satu aspek penting dalam meningkatnya

kekuatan militer Cina.

Dengan terus meningkatnya kekuatan ekonomi dan pertahanan Cina,

banyak negara di dunia yang menjadi khawatir terhadap tren tersebut. Cina yang

terus mengembangkan kekuatan militernya dikhawatirkan akan mengacaukan

stabilitas keamanan, terutama di wilayah Asia. Kekhawatiran tersebut

menunjukkan terbentuknya security dilemma dari negara-negara Asia terhadap

Cina, ditunjukkan dengan tindakan beberapa negara yang beraliansi dengan

Amerika Serikat yang secara eksplisit meminta Amerika Serikat untuk

memberikan kembali fokusnya kepada Asia sebagai bentuk balancing terhadap

Cina.

Adanya security dilemma yang tercipta akibat terus meningkatnya

kekuatan Cina tentu disadari oleh pemimpin-pemimpin di Beijing. Adanya

balancing akan merugikan Cina, sehingga upaya untuk meyakinkan negara bahwa

Cina bukanlah negara yang ofensif kemudian dilaksanakan. Pada masa

pemerintahan Hu Jintao, Cina memunculkan istilah ‘peaceful rise’ untuk

menggambarkan bahwa pertumbuhan kekuatan Cina tidaklah digunakan untuk

mengancam negara lain. 68 Xi Jinping juga tetap menggunakan istilah peaceful

rise untuk meyakinkan negara-negara lain bahwa yang diinginkan oleh Cina

bukanlah hegemoni dan perkembangan militernya bukanlah ancaman bagi negara-

negara di dunia. 69

67Ben Blanchard dan John Ruwitch, “China Hikes Defense Budget, to Spend More on Internal Security,” Reuters, terakhir dimodifikasi pada 5 Maret 2013, diakses 12 Juni 2013, http://www.reuters.com/article/2013/03/05/us-china-parliament-defence-idUSBRE92403620130305. 68 The Economist, “Peaceful Rise,” terakhir dimodifikasi pada 24 Juni 2004, diakses 12 Juni 2013, http://www.economist.com/node/2792533. 69 Zhuang Pinghui, “China’s Rise is Peaceful, Xi Jinping Tells Foreign Experts,” South China Morning Post, terakhir dimodifikasi pada 6 Desember 2012, diakses 12 Juni 2013 http://www.scmp.com/news/china/article/1098533/chinas-rise-peaceful-xi-jinping-tells-foreign-experts.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 50: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

36

Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa secara global Cina mengakui

adanya security dilemma yang terbentuk atas dirinya dan berjanji untuk tidak

bersikap ofensif. Namun, hal ini tidak terjadi di level hubungan bilateral antara

Cina dan Taiwan, di mana Cina masih secara eksplisit bersikap ofensif terhadap

situasinya dengan Taiwan.

2.3.2 Cina sebagai Negara Realisme Ofensif dalam Hubungan Cina dan

Taiwan

Secara global, Cina memang telah menyadari akan permasalahan yang

akan dialaminya apabila security dilemma terus terjadi karena meningkatnya

kekuatan Cina di ekonomi dan militer. Hanya saja, interpretasi terhadap ‘peaceful

rise’ ini menempatkan Taiwan sebagai pengecualian. Klaim Cina bahwa Taiwan

merupakan provinsi dari Cina dan memiliki legitimasi atas klaimnya tersebut,

membuat Cina bersikeras bahwa Cina memiliki hak untuk menggunakan ‘use of

force’ jika Cina merasa bahwa kebijakan-kebijakan Taiwan mengarah kepada

independensi.70

Perkembangan kekuatan militer Cina banyak diarahkan secara spesifik

untuk menghadapi ancaman ‘separatisme’ Taiwan dari Cina. QDR 2009 milik

Taiwan secara gamblang menjelaskan di bab 1-nya bahwa Taiwan mengakui

perkembangan modernisasi pertahanan Cina, di mana dengan modernisasi

tersebut kekuatan Cina untuk menghadapi Taiwan telah meningkat secara

dramatis.71 Cina pun dengan demikian dianggap dapat memberikan ancaman

kepada Taiwan dalam 8 bentuk kapabilitas Cina72:

a. Kapabilitas pengintaian, pengawasan, dan satelit

Yang dimaksudkan di sini adalah pengembangan kekuatan Cina yang

berlimpah di bidang pengawasan melalui satelit, dan di masa depan,

pengembangan kekuatan ini juga termasuk membantu misil penjelajah,

misil balistik, ataupun Unmanned Aerial Vehicle (UAVs) yang mungkin

dimiliki oleh Cina;

70 John J. Tkacik Jr., “China’s ‘Peaceful’ Rise at Stake in Power Struggle,” Asia Times, terakhir dimodifikasi pada 8 September 2004, diakses 12 Juni 2013, http://www.atimes.com/atimes/China/FI08Ad03.html. 71 Quadrennial Defense Review Editing Group Ministry of National Defense, Quadrennial Defense Review 2009, 35. 72 Ibid., 35-41.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 51: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

37

b. Kapabilitas perang elektronik

Yang dimaksudkan dengan kapabilitas ini adalah kemampuan dari PLA,

terutama angkatan udaranya, untuk menerbangkan pesawat dengan tujuan

jamming dan pada akhirnya dapat mengancam sistem komando, kontrol,

informasi, dan komunikasi dari Taiwan. Perkembangan di masa depan di

kapabilitas ini terkait besar dengan perkembangan kapabilitas

elektromagnetis;

c. Kapabilitas perang informasi

Yang dimaksudkan dengan kapabilitas ini adalah usaha-usaha Cina untuk

memiliki sebuah unit penelitian dan pengembangan yang berfokus

terhadap pembuatan virus, dan perancangan taktik serta kapabilitas untuk

menyerang sistem komputer lawan. Dalam beberapa tahun terakhir, sering

terjadi penyerangan terhadap jaringan di Taiwan oleh peretas dari Cina,

dan ini mungkin saja terjadi dalam skenario perang antara Cina dan

Taiwan;

d. Kapabilitas misil penjelajah dan misil balistik

Saat ini, Cina telah mempersiapkan lebih dari 1.300 misil jelajah dan

balistik jarak rendah mengarah ke arah Taiwan. Hal ini tentu menjadi

ancaman. Lebih lagi ke depannya, perkembangan misil seperti misil

jelajah kecepatan supersonik, misil presisi tinggi, dan misil yang tahan

atas intersepsi bisa menjadi ancaman juga dari Cina terhadap Taiwan;

e. Kapabilitas operasi di udara

Kapabilitas operasi di udara yang dimiliki oleh Cina terdiri dari misil

pertahanan serangan udara, pesawat tempur, dan pesawat pembom.

Kekuatan tersebut tergambarkan dari sekitar 700 pesawat tempur yang

dimiliki oleh Cina, yang mampu menyerang Taiwan secara langsung. Cina

juga memiliki kapabilitas untuk mengintegrasikan teknologi yang

didapatkan dari rekannya, seperti teknologi misil yang didapatkan dari

Rusia;

f. Kapabilitas operasi maritim

Kapabilitas di operasi maritim ini terbagi menjadi tiga bagian. Bagian

pertama, yaitu terkait dengan surface warfare, di mana Cina pada tahun

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 52: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

38

2009 telah merampungkan pembelian beberapa kapal destroyer baru, dan

juga membuat multipurpose landing ships. Bagian kedua yaitu

pembangunan kapal selam, di mana telah disebutkan sebelumnya, Cina

banyak berinvestasi pada pengembangan kapabilitas ini, bahkan melebihi

Amerika Serikat dalam hal laju pertumbuhan kepemilikan dari kapal selam

ini. Bagian ketiga terkait dengan kapal induk yang dimiliki oleh Cina, di

mana jika Cina bisa mengembangkan kekuatan di bagian ini, Cina bisa

dengan lebih leluasa menghalangi Taiwan dari terhubung dengan dunia

luar dengan lebih maksimal;

g. Kapabilitas landing assault

Saat ini, Cina setidaknya sudah memiliki beberapa kelebihan

dibandingkan oleh Taiwan, seperti misalnya di masalah jumlah tentara

yang dapat diterjunkan. Selain itu, Cina juga terus mengembangkan

kualitasnya dengan berbagai latihan yang ditujukan untuk menghadapi

skenario jika serangan dengan menerjunkan pasukan langsung ke pulau-

pulau Taiwan harus dilaksanakan. Di masa depan, Cina juga diproyeksi

untuk terus mengembangkan kekuatannya dengan produksi multipurpose

landing ships, amphibious landing ships, dan hovercraft;

h. Kapabilitas three-front war melawan Taiwan

Yang dimaksudkan adalah kemampuan Cina untuk melaksanakan tiga

serangan non-militer terhadap Taiwan. Tiga bidang non-militer yang

dimaksudkan ini adalah dari bidang opini publik, hukum, dan perang

psikologis. Hal hal yang mungkin dilaksanakan misalnya adalah dengan

cara mencari justifikasi secara hukum untuk tindakan tindakan

penyerangan terhadap Taiwan, atau melaksanakan serangan agar opini

publik terbentuk yang dapat meruntuhkan bantuan dan semangat terhadap

Taiwan.

Ancaman ancaman di atas dapat menggambarkan bagaimana Taiwan

melihat Cina sebagai ancaman yang sangat komprehensif. Ancaman yang

diberikan Cina tidak lagi dapat dipandang sebelah mata, karena ancaman Cina

dapat mengancam semua sektor pertahanan Taiwan yang dimiliki saat ini. Dari

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 53: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

39

semua ancaman tersebut, QDR Taiwan tahun 2009 menyebutkan bahwa

setidaknya terdapat 5 skenario serangan yang dapat dilancarkan oleh Cina kepada

Taiwan, yaitu intimidasi militer, blokade parsial, serangan terhadap target-target

khusus di Taiwan, melaksanakan peperangan asimetris, dan melaksanakan rapid

landing di Taiwan. Dari 5 skenario tersebut, 4 skenario selain skenario rapid

landing sudah dapat dilaksanakan. Skenario rapid landing bahkan dapat

dilaksanakan jika Cina terus mengembangkan kekuatan militernya, terutama di

bidang multi-purpose ship.73

Dengan demikian, deeds dari Cina di atas masih mendatangkan ancaman

yang besar bagi Taiwan. Selain itu, Cina masih memiliki undang-undang yang

dikenal sebagai anti-secession law (ASL), yang melegitimasi Cina secara

konstitusional untuk menyerang Taiwan jika Taiwan dirasa mengarah kepada

kebijakan pro-kemerdekaan.74 Cina juga masih enggan untuk menarik gelaran

misil-misilnya yang diarahkan ke Taiwan dari Provinsi Fujian. Hal-hal tersebut

tentu menggambarkan bagaimana Cina sampai saat ini masih bersikap secara

ofensif, dan tidak mengimplementasikan self-restraint dalam hubungan

keamanannya dengan Taiwan.

Penjelasan di atas menggambarkan bagaimana Taiwan merupakan

pengecualian dari klaim peaceful rise yang dikembangkan oleh Cina. Cina masih

bersikeras untuk mempertahankan haknya untuk dapat menggunakan use of force

kepada Taiwan. Perkembangan militer Cina pun banyak yang secara eksplisit

menggunakan Taiwan sebagai targetnya. Biarpun Cina secara ‘words’ telah

bersikap secara defensif, namun kenyataannya, ‘deeds’ Cina kepada Taiwan

masih terang-terangan menunjukkan Cina sebagai negara yang ofensif.

Dua sub-bab di atas telah menunjukkan bagaimana Taiwan di bawah

Presiden Ma Ying-jeou mengimplementasikan strategi engagement sebagai

kebijakan keamanannya. Pemberian reassurance dan ajakan kerjasama Taiwan

kepada Cina diimbangi dengan deterrence yang dipertahankan dari presensi

Amerika Serikat dalam dinamika hubungan antara kedua negara. Strategi

engagement ini sendiri merupakan implementasi dari teori yang diberikan Shiping

Tang, bahwa negara penganut realisme defensif akan mencoba kebijakan 73 Ibid, 41-43. 74 Ibid., 31.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 54: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

40

engagement kepada negara yang cenderung bersifat ofensif, dengan tujuan untuk

mengubah intensi dari negara yang ofensif tersebut untuk dapat bertindak lebih

defensif.

2.4 Faktor Domestik Pembentuk Kebijakan Keamanan Taiwan Terhadap

Cina: Peran NSC, Tekanan Publik untuk Rekonsiliasi, dan Pengaruh

Presiden Ma

Subbab di atas telah menjelaskan faktor di level sistem yang membentuk

kebijakan keamanan yang diambil oleh Taiwan dalam hubungan antara Taiwan

dan Cina. Bagian selanjutnya pada bab ini akan menjelaskan faktor-faktor

domestik dalam pembentukan kebijakan keamanan tersebut, yaitu bagaimana

National Security Council (NSC) Taiwan berperan dalam pembentukan kebijakan

keamanan, hubungan antara eksekutif dan legislatif di Taiwan, dan opini publik

yang membentuk kebijakan keamanan tersebut.

National Security Council (NSC) atau Dewan Keamanan Nasional,

merupakan sebuah badan yang merupakan gabungan dari beberapa aktor penting

di dalam pemerintahan Taiwan yang berkepentingan dalam kebijakan keamanan

Taiwan. NSC ini terdiri dari beberapa anggota, yaitu Presiden Taiwan (sekaligus

menjabat sebagai Ketua Dewan NSC), Wakil Presiden, 8 anggota kabinet (terdiri

dari premier, vice premiere, Minister of Interior, Foreign Affairs, National

Defense, Treasury, dan Economic, Ketua dari Mainland Affairs Council,

Komandan Angkatan Bersenjata Taiwan, Sekretaris Jenderal dari NSC, dan

Direktur dari Biro Keamanan Nasional.75

NSC sebenarnya telah terbentuk dari tahun 1963. NSC dibentuk dengan

tujuan untuk menjadi tim yang memberikan masukan dan rekomendasi bagi

Presiden ROC dalam menentukan kebijakan luar negerinya, terutama yang

berkaitan dengan permasalahan keamanan dan pertahanan.76 Namun, NSC pada

awal pembentukannya tidak banyak memiliki efektivitas, sampai kemudian

75 York W. Chen, “The Modernization of Taiwan’s National Security Council,” China Brief 10, no. 22 (2010), diakses 9 Mei 2013, http://www.jamestown.org/single/?no_cache=1&tx_ttnews[tt_news]=37144&tx_ttnews[backPid]=7&cHash=4a95d2f20a#.UdmQElPWEUs. 76 Dennis Van Vranken Hickey, Foreign Policy Making in Taiwan: From Principle to Pragmatism (New York: Routledge, 2007), 48.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 55: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

41

demokratisasi di Taiwan yang terjadi pada tahun 1990an di bawah Presiden Lee

Teng-hui menghidupkan kembali kinerja dari NSC. Reformasi NSC di bawah

Presiden Lee Teng-hui kemudian kembali diperkuat oleh beberapa perubahan

yang dibawakan oleh Presiden Chen Shui-bian.77

Di bawah Presiden Ma Ying-jeou, NSC dan staf dari NSC sendiri dipilih

berdasarkan orang-orang yang menurut Ma dapat mendukung keinginannya untuk

membuat kebijakan yang memperbaiki hubungan antara Taiwan dan Cina. Orang-

orang yang dipilih oleh Ma tersebut, dipimpin oleh Su Chi sebagai Sekretaris

Jenderal NSC yang ditunjuk oleh Ma, menjadi kaki dan tangan yang mendukung

Presiden Ma Ying-jeou dalam merumuskan dan membentuk kebijakan

keamanannya.

Dalam membentuk kebijakan keamanannya, sebagai sebuah negara

demokrasi, Presiden Ma tentu tidak hanya mempertimbangkan saran-saran yang

datang dari NSC, tetapi juga harus memperhatikan input-input yang datang dari

sumber lain. Input yang pertama harus diperhatikan oleh Presiden Ma tentu

datang dari parlemen Taiwan, atau apa yang dikenal sebagai Legislative Yuan.

Parlemen Taiwan memegang peranan penting di mana hal-hal penting yang

berkaitan dengan pertahanan seperti anggaran pertahanan sangat dipengaruhi oleh

parlemen Taiwan. Presiden Chen Shui-bian, misalnya, memiliki masalah yang

cukup pelik dalam masa pemerintahannya karena kebijakan-kebijakannya yang

terkait dengan pertahanan sering kali dianggap terlalu ofensif, menyebabkan

kebijakan-kebijakan tersebut banyak dikritik oleh legislator dari KMT dan

golongan biru lainnya. Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan terhambatnya

kebijakan tersebut. Hal ini tidak dihadapi oleh Presiden Ma Ying-jeou, di mana

kemenangannya pada pemilihan presiden pada tahun 2008 didahului oleh

kemenangan KMT dari DPP pada pemilihan legislatif di tahun yang sama. Hasil

pemilihan umum tersebut bahkan memenangkan KMT dalam jumlah yang cukup

signifikan, di mana KMT dan legislator golongan biru lainnya menguasai ¾ dari

total anggota parlemen.78 Hal ini memudahkan kinerja Presiden Ma yang tidak

77 Chen, “The Modernization of Taiwan,” 78 Mo Yan-Chih, “Legislative Elections and Referendums: KMT Vows Not to Abuse Power,” Taipei Times, terakhir dimodifikasi pada 13 Januari 2008, diakses 8 Juli 2013, http://www.taipeitimes.com/News/taiwan/archives/2008/01/13/2003396903.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 56: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

42

harus menghadapi hambatan-hambatan dari legislatif seperti yang dihadapi oleh

Presiden Chen sebelumnya.

Opini publik yang terbentuk juga mendukung kebijakan Presiden Ma

untuk memperbaiki hubungan antara Taiwan dan Cina. Seperti yang telah

dijelaskan di atas, Presiden Ma telah memberikan janji untuk memperbaiki

hubungan antara Taiwan dan Cina sejak masa kampanyenya, sehingga pemilihan

Presiden Ma sebenarnya merupakan indikasi bagaimana mayoritas publik Taiwan

telah menyadari akan perlunya perbaikan hubungan antara Taiwan dan Cina. Hal

ini ditunjukkan pula oleh grafik di bawah, di mana dari tahun 2003 hingga tahun

2007, publik Taiwan semakin banyak yang menyetujui perbaikan hubungan

antara Taiwan dan Cina.

Grafik 2.4.1 Dukungan Terhadap Peningkatan Cross-Strait Economic

Exchanges Sumber: Chu Yun Han, “Rapprochement in The Taiwan Strait: Opportunities and Challenges for

Taipei,” East Asian Policy 1, no. 4 (2009): 79, diakses 8 Juli 2013, http://www.eai.nus.edu.sg/Vol1No4_ChuYunhan.pdf.

Faktor domestik terakhir tentu adalah Presiden Ma sendiri sebagai

Presiden Taiwan yang banyak mengambil kebijakan-kebijakan penting dalam

hubungan antara Taiwan dan Cina. Dalam melaksanakan fungsi framing terkait

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 57: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

43

dengan situasi di hubungan antar-selat Taiwan dan Cina, Presiden Ma sejak awal

melihat bahwa hubungan antara Taiwan dan Cina dapat bersifat kooperatif dan

mengarah pada perdamaian.79 Hubungan yang bersifat konfliktual, ditandai oleh

ketegangan dan provokasi, menurut Presiden Ma merupakan sesuatu yang

merugikan bagi Taiwan, karena tidak dapat melipatgandakan kesempatan-

kesempatan yang sebenarnya dimiliki oleh Taiwan. Hubungan antara Taiwan dan

Cina yang damai dapat mendatangkan keuntungan yang besar bagi Taiwan,

sekaligus mengurangi resiko-resiko perang yang dapat terjadi antara kedua

negara. Framing yang terjadi di atas, menyebabkan Presiden Ma memilih untuk

mengganti active defensive approach yang dibuat oleh Presiden Chen, menjadi

passive defensive approach.

Sebagai kesimpulan, bab ini telah menjelaskan bagaimana kebijakan

keamanan Taiwan di bawah Presiden Ma Ying-jeou. Kebijakan yang berbentuk

engagement, seperti yang telah dijelaskan oleh Shiping Tang, menjadi kebijakan

yang diambil oleh Presiden Ma. Tiga elemen engagement dari hasil analisa bab ini

dapat terlihat dalam kebijakan keamanan Presiden Ma. Terkait dengan faktor

penyebab pengambilan kebijakan ini, analisa faktor eksternal dan internal

menunjukkan bagaimana faktor eksternal memegang peranan yang secara relatif

lebih penting dalam pembentukan kebijakan keamanan tersebut. Tentu sulit untuk

tidak mempertimbangkan faktor eksternal tersebut, karena faktor eksternal

tersebut merupakan analisa dari perilaku yang ditunjukkan oleh Cina, yang

merupakan ancaman terbesar bagi Taiwan. Perilaku Cina yang masih bersifat

ofensif terhadap Taiwan, terutama di bidang pertahanan, menjadi alasan utama

bagi Taiwan di bawah Presiden Ma Ying-jeou untuk mengeluarkan kebijakan

engagement, karena Presiden Ma menginginkan adanya perbaikan dari kebijakan

Cina tersebut. Dengan kebijakan engagement, diharapkan Cina dapat mengubah

kebijakannya yang bersifat ofensif tersebut, sehingga secara perlahan, dapat

bersifat lebih akomodatif terhadap Taiwan, seperti yang telah terlihat di bidang

ekonomi.

79 Yan Jiann-fa, “A Preliminary Probe into The Chinese Policy of the Ma Ying-jeou Administration”, Taiwan International Studies Quarterly 5, no. 3 (2009): 5-6, diakses 8 Juni 2013, http://www.tisanet.org/quarterly/5-3-1.pdf.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 58: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

44

BAB 3

KEBIJAKAN EKONOMI TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-

JEOU DALAM HUBUNGAN ANTAR-SELAT TAIWAN DAN CINA

Ketika Presiden Ma Ying-jeou menerima tampuk kepemimpinan Taiwan

dari mantan presiden Chen Shui-bian, Presiden Ma dihadapkan pada tantangan di

berbagai isu. Isu keamanan menjadi perhatian dengan meningginya provokasi

yang datang dari Cina. Taiwan juga dihadapkan dengan isolasi Taiwan di dunia

internasional, dengan makin tertinggalnya Taiwan dari berbagai inisiatif di level

regional atau internasional. Namun, Presiden Ma menduduki kursi kepemimpinan

dengan satu tugas utama: memperbaiki kondisi ekonomi Taiwan.

Presiden Chen Shui-bian merupakan pemimpin dengan tujuan yang jelas

terhadap masa depan Taiwan, yaitu kemerdekaan Taiwan sebagai negara sendiri

terpisah dari Cina. Posisinya ini diartikan dalam kebijakan ekonomi yang

mencegah agar Taiwan dan Cina bekerjasama secara menyeluruh, meskipun pada

awalnya membuka perdagangan agar terjadi antara kedua negara. Meskipun

perdagangan dan investasi antar Cina dan Taiwan tetap terjadi di bawah Presiden

Chen, kondisi kerjasama tersebut tidak menghasilkan keuntungan maksimal dan

malah memberikan kerugian pada beberapa aspek bagi Taiwan.

Kondisi ini kemudian mendorong Presiden Ma untuk memperbaiki

keadaan tersebut, salah satunya adalah dengan penandatanganan Economic

Cooperation Framework Agreement (ECFA). Kebijakan Presiden Ma untuk

menyetujui pembentukan ECFA ini akan menjadi fokus dari bab kebijakan

ekonomi ini. Bab ini akan berargumentasi bahwa dengan pembentukan institusi

ECFA dalam hubungan ekonomi Taiwan dan Cina, Presiden Ma Ying-jeou

memunculkan ekspektasi yang jelas terhadap keuntungan yang akan didapatkan

Taiwan dari institusi tersebut. Ekspektasi keuntungan tersebutlah yang menjadi

pendorong dibentuknya ECFA.

Bab ini akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai teori Neoliberal

Institusionalisme yang menjadi dasar analisa dari subbab berikutnya di bab ini.

Bagian selanjutnya akan menjelaskan mengenai negosiasi dalam pembentukan

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 59: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

45

ECFA dan hasil pembentukan ECFA tersebut di bawah Presiden Ma Ying-jeou.

Subbab selanjutnya dari bab ini akan menjelaskan mengenai salah satu aspek

penting yang dijelaskan dalam neoliberal institusionalisme yaitu konsep

anticipated gain sebagai dasar eksistensi keberadaan institusi tersebut. Subbab

terakhir dari bab ini akan menjelaskan faktor-faktor domestik terkait dengan

pembentukan ECFA itu sendiri.

3.1 Kerangka Konsep Neoliberal Institusionalime

Neoliberal Institusionalisme merupakan perspektif yang muncul untuk

menjawab tantangan-tantangan yang diberikan Realisme terhadap pendekatan

Liberalisme sebelumnya, yang banyak menekankan mengenai idealisme aktor

dalam analisa hubungan antar unit dalam ilmu Hubungan Internasional.

Menjawab pertanyaan tersebut, Neoliberalisme mencoba menggunakan beberapa

asumsi dasar yang ada di dalam Realisme untuk menjelaskan Hubungan

Internasional menurut perspektif mereka yang berbeda dengan apa yang

dipikirkan oleh realisme. Salah satu unsur penting dalam pendekatan ini adalah

fungsi institusi yang menurut Neoliberalisme amat penting dalam menghilangkan

pola hubungan konfliktual antar negara dan menjadikan hubungan bersifat lebih

kooperatif. Bagian teori ini akan menjelaskan mengenai Neoliberal

Institusionalisme dan beberapa asumsi dasar yang diberikan di dalamnya. Lebih

lanjut lagi, bagian ini akan memberikan penjelasan mengenai tiga insentif

mengapa dua negara dapat memilih untuk bekerjasama dan membentuk institusi.

Tiga insentif tersebut kemudian akan digunakan dalam bab ini untuk melihat

kebijakan Presiden Ma Ying-jeou dalam bidang ekonomi yang

menginstitusionalisasikan hubungan ekonomi Taiwan dengan Cina melalui

Economic Cooperation Framework Agreement (ECFA).

3.1.1 Neoliberal Institusionalisme

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Neoliberalisme merupakan

jawaban yang diberikan oleh pemikir-pemikir liberal terhadap tantangan-

tantangan yang diberikan oleh pemikiran Realisme, terutama sebagai kritik

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 60: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

46

terhadap Neorealisme yang sedang berkembang saat itu. Neoliberalisme

memberikan tantangan tersebut dengan cara mengadopsi beberapa asumsi-asumsi

dasar yang digunakan oleh Neorealisme dan mencoba menunjukkan bahwa

prediksi negatif yang diberikan oleh Neorealisme atas dunia dengan asumsi

tersebut merupakan sebuah hal yang salah.

Neoliberalisme memiliki beberapa asumsi dasar yang membedakannya

dengan pemikiran Liberalisme Klasik, sekaligus menggambarkan posisinya yang

berbeda dengan Realisme terhadap asumsi tersebut. Kesamaan antara asumsi

tersebut terlihat pada pemilihan Neoliberalisme untuk menggunakan negara

sebagai unit analisa utama, sebuah perbedaan dari Liberalisme Klasik yang tidak

mengakui bahwa negara adalah aktor utama dan melihat bahwa terdapat banyak

aktor di dalam lingkungan domestik negara yang mempengaruhi negara dalam

hubungan luar negerinya.80 Selain itu, negara diasumsikan untuk bersikap secara

rasional dalam memilih kebijakan luar negerinya.

Perbedaan paling penting antara Neorealisme dan Neoliberalisme adalah

pandangan keduanya terhadap efek yang diberikan oleh sistem internasional yang

bersifat anarki dan struktur internasional di dalamnya. Sistem internasional yang

bersifat anarki, menurut Neorealisme, membuat kesempatan bagi negara untuk

bekerjasama menjadi sangat kecil jadinya. Neorealisme menilai bahwa meskipun

kerjasama dimungkinkan dengan adanya common goal antara dua negara, namun

negara akan memikirkan mengenai relative gain yang akan didapatkan dari

kerjasama, dan karena realisme cenderung menganalisa menggunakan zero-sum

game, maka sebuah negara akan selalu dirugikan dalam kerjasama, membuat

negara akan sulit mencapai kerjasama. Selain itu, kerjasama juga sulit

dilaksanakan karena keterbatasan negara dalam mengetahui preferensi dan

keinginan negara lain, sehingga permasalahan seperti free-rider dan kecurangan

dalam kerjasama mungkin terjadi.

Neoliberalisme tidak menolak bahwa kerjasama antara negara di dalam

dunia yang bersifat anarki memang sulit untuk dilaksanakan. Keohane bahkan

menjelaskan bahwa dua negara dengan common goal tidak selalu berakhir dengan

80 Jennifer Sterling-Folker, “Neoliberalism,” dalam International Relations Theories: Discipline and Diversity, 3rd ed., ed. Tim Dunne, Milja Kurki, dan Steve Smith (New York: Oxford Universit Press, 2010), 118.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 61: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

47

kerjasama.81 Hanya saja, Neoliberalisme menilai bahwa hal ini bukanlah sesuatu

yang tidak mungkin dilaksanakan. Neoliberalisme menilai bahwa kuncinya

terdapat pada perkembangan di dunia hubungan internasional, di mana institusi-

institusi semakin berkembang dalam hubungan antar negara. Institusi

internasional memegang peranan penting, karena institusi internasional dapat

menghilangkan permasalahan-permasalahan yang menyebabkan negara mungkin

terhambat untuk melaksanakan kerjasama. Institusi akan memberikan jalur bagi

negara untuk memastikan preferensi negara lain melalui institusi tersebut. Lebih

lanjut lagi, ekspektasi terhadap interaksi di masa depan yang terjadi secara

reguler, memberikan dorongan bagi negara untuk tidak melaksanakan

kecurangan-kecurangan.82 Nilai-nilai yang diberikan oleh institusi ini menjadi

sumber keyakinan bagi para penganut Neoliberalisme bahwa biarpun negara

berada di dalam sistem anarki, dan negara tersebut adalah negara yang memiliki

kepentingan diri sendiri yang ingin diperjuangkan, kerjasama antar negara

merupakan sesuatu yang masih mungkin dilakukan dengan pengaruh baik dari

institusi.

3.1.2 Institusi dalam Neoliberal Institusionalisme

Dengan penjelasan yang diberikan di atas, kita dapat melihat bahwa

pemikiran Neoliberalisme mengambil posisi yang sama dengan Neorealisme

tentang posisi penting dari negara sebagai unit analisis, dan kebijakan-

kebijakannya yang diasumsikan akan memilih kebijakan yang paling rasional

baginya. Namun yang berbeda dengan Realisme, Neoliberalisme berargumentasi

bahwa berpikir secara rasional tidak sama dengan berpikiran egoistis.83 Menurut

Neoliberalisme, berpikir rasional tidak selalu menghasilkan pola hubungan

konfliktual, karena kerjasama mungkin saja terjadi terutama ketika terdapat

adanya kepentingan bersama antara dua negara.

Salah satu unsur utama yang dapat membantu dalam kerjasama tersebut,

menurut Neoliberalisme, adalah dengan adanya institusi yang terbentuk antara

81 Robert O. Keohane, After Hegemony: Cooperation and Discord in the World Political Economy (New Jersey: Princeton University Press, 1984), 54. 82 Sterling-Folker, “Neoliberalism,” 123. 83 Keohane, After Hegemony, 73.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 62: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

48

aktor-aktor yang bekerjasama. Institusi, atau sering kali digunakan pula istilah

rezim, didefinisikan sebagai:

“Sets of implicit or explicit principles, norms, rules, and decision-making procedures around which actors’ expectations converge in a given area of international relations. Principles are beliefs of facts, causation, and rectitude. Norms are standards of behavior defined in terms of rights and obligations. Rules are specific prescriptions or proscriptions for action. Decision-making procedures are prevailing practices for maing and implementing collecive choice”.84

Berangkat dari definisi di atas, Robert O. Keohane menjelaskan mengenai

insentif apa yang menyebabkan dua atau lebih aktor untuk memilih bekerjasama

melalui pembentukan institusi di dalamnya. Untuk menjelaskannya, Keohane

menggunakan ‘functional arguments’. Functional arguments merupakan cara

berpikir yang melihat sesuatu dari efek yang diharapkan akan diberikan olehnya.

Berkaitan dengan institusi, Keohane menjelaskan bahwa sebuah institusi dapat

dijustifikasi dengan melihat ekspektasi keuntungan yang akan didapatkan oleh

aktor aktor yang membuat dan mempertahankan institusi tersebut. Keberadaan

institusi diharapkan mampu memberikan kemakmuran lebih kepada aktor-

aktornya.

Keohane kemudian menjelaskan mengenai ekspektasi tersebut

menggunakan functional argument menganalisa Teorema Coase 85 , yang

menghasilkan bahwa insentif negara untuk membentuk institusi dapat

diklasifikasi menjadi tiga, yaitu legal liability (property rights), transactional

cost, dan uncertainty and information.

a. Legal liability

Aspek pertama yaitu legal liability. Aspek ini berkaitan dengan institusi

internasional yang mampu merubah aksi yang diambil negara agar sesuai

dengan tujuan bersama dan mampu menghasilkan konvergensi yang

84 Ibid., 57 85 Teorema Coase merupakan hasil pengembangan dari artikel yang dikeluarkan oleh Ronald Coase yang membahas mengenai eksternalitas dan kerjasama antara aktor. Teorema Koase berargumentasi bahwa adanya eksternalitas saja tidak menjamin terhambatnya koordinasi antara aktor aktor yang memiliki independensi. Dalam beberapa kondisi, menutur Coase, negosiasi antara aktor aktor tersebut dapat menghasilkan solusi yang menghasilkan keuntungan maksimal bagi aktor aktor tersebut, biarpun tidak adanya paksaan hukum terhadap aktor tersebut. Implementasi dari Teorema Coase ini digunakan dalam membahas mengenai hubungan internasional, di mana tidak ada entitas supra nasional yang dapat mengikat negara seperti negara mengikat masyarakat.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 63: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

49

diinginkan dalam kerjasama tersebut. Keohane menyadari bahwa dengan

sistem internasional yang bersifat anarki, maka institusi internasional tidak

akan memiliki status formal seperti yang dimiliki oleh hukum di dalam

level domestik. Tetapi, seperti apa yang dijelaskan oleh Fellner, institusi

internasional didefinisikan lebih sebagai sebuah ‘quasi-agreements’. Sifat

dari quasi-agreements ini tidak mengikat secara hukum, tetapi membantu

untuk mengorganisasikan hubungan yang terjadi agar dapat saling

menguntungkan. Institusi juga dapat mengandung konvensi, di mana

terdapat practices yang diikuti oleh semua negara. Dengan demikian,

aspek ini berkaitan dengan penciptaan sebuah ekspektasi dari semua aktor

dalam institusi terhadap pola perilaku tiap aktor lainya, dan menciptakan

hubungan kerjasama sehingga aktor-aktor tersebut dapat beradaptasi

terhadap situasi-situasi baru.

b. Transaction Cost

Terkait dengan aspek transaction cost, institusi internasional diharapkan

dapat mendatangkan beberapa manfaat. Pertama, institusi internasional

dapat memberikan insentif lebih besar kepada negara untuk tidak

melaksanakan defection. Hal ini karena keterlibatan sebuah negara dalam

institusi membuat negara tersebut terlibat dalam kerjasama yang bersifat

jangka panjang dan dalam beberapa isu, sehingga dorongan untuk

melaksanakan defection dari keuntungan jangka pendek dapat dikalahkan

dengan beratnya implikasi jangka panjang jika sebuah negara melakukan

defection. Kedua, transaction cost bagi negara-negara di dalam sebuah

institusi akan semakin berkurang, karena akan menjadi semakin mudah

bagi negara untuk duduk bersama dan menegosiasikan sebuah perjanjian.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, salah satu unsur penting dari institusi

adalah prinsip yang dikandungnya. Dengan keberadaan institusi yang telah

terbentuk, aktor-aktor yang ingin menegosiasikan perjanjian baru tidak

perlu menegosiasikan prinsip tersebut kembali, dan cukup mengambilnya

dari institusi yang telah tercipta.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 64: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

50

c. Uncertainty and Information

Aspek terakhir adalah uncertainty and information dalam pembentukan

institusi internasional. Mengambil penjelasan yang diberikan oleh

Teorema Coase, kondisi internasional di mana tidak adanya institusi

menyebabkan terjadinya kurangnya distribusi informasi terhadap aktor-

aktor, dan hal ini menyebabkan terciptanya kerjasama yang

menguntungkan bagi kedua pihak menjadi tidak dapat tercapai. Fungsi

institusi adalah memperbaiki kondisi ini, dengan koordinasi kebijakan

yang terjadi, sehinggga aktor-aktor akan terdorong untuk membuka

informasi dan preferensinya terhadap suatu hal.

Keohane juga menjelaskan mengenai tiga hal yang menyebabkan

uncertainty di dalam dunia internasional terjadi, bahkan di dalam sebuah

institusi internasional yang telah terbentuk. Pertama, adanya kondisi

asimetris dalam pembagian informasi. Keohane menjelaskan bahwa

adanya rezim memang membuka kesempatan bagi negara yang menjadi

anggota institusi tersebut untuk membuka preferensi dan intensinya

dengan negara lain, tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan tetap

terciptanya kondisi asimetris, karena terdapat perbedaan bagi setiap negara

dalam keinginannya untuk membuka intensi dan preferensinya tersebut.

Kedua, terdapat moral hazard, di mana Keohane menjelaskan bahwa

dalam sebuah kerjasama, perubahan yang terjadi mungkin saja

memberikan insentif kepada perilaku yang sifatnya tidak kooperatif.

Ketiga, terdapat juga permasalahan dengan irresponsibility, yaitu aktor-

aktor yang tidak mampu menjalankan komitmen dalam institusi yang

mereka ikuti.86

3.2 Kebijakan Ekonomi Taiwan di Bawah Presiden Ma: Institusionalisasi

dan Penandatanganan ECFA

Presiden Ma Ying-jeou menaiki kursi kepresidenan di tengah kondisi

ekonomi yang semakin memburuk di bawah Presiden Chen Shui-bian. Presiden

Chen Shui-bian mengimplementasikan kebijakan ekonomi yang menekan

86 Ibid., 88-96.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 65: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

51

hubungan ekonomi antara Taiwan dengan Cina. Presiden Chen pada masa awal

pemerintahannya membiarkan hubungan ekonomi antar kedua negara untuk terus

berkembang. Hanya saja, seiring dengan semakin nyatanya intensi Chen untuk

mendorong Taiwan pada independensi, beberapa kebijakan Presiden Chen

akhirnya menekan hubungan ekonomi Taiwan dengan Cina. Contohnya adalah

saat Presiden Chen mengimplementasikan kebijakan “Active Management,

Effective Opening”, yang memaksa investor-investor Taiwan untuk

mendiversifikasi tujuan investasi selain dari Cina.87

Tekanan yang diberikan oleh masyarakat agar pemerintahan Taiwan

memperbaiki hubungan dengan Cina berujung dengan dilantiknya Presiden Ma

Ying-jeou sebagai Presiden Taiwan pada pemilihan umum di Taiwan pada tahun

2008. Presiden Ma Ying-jeou pada masa kampanyenya telah menjanjikan adanya

normalisasi hubungan antara Taiwan dan Cina serta kebijakan yang akan

memperkuat hubungan ekonomi antara keduanya.88 Salah satu proposal yang

diajukan Ma untuk memperbaiki kondisi ekonomi tersebut adalah melalui

penandatanganan kerjasama ekonomi antara Cina dan Taiwan, yang kemudian

dikenal sebagai Economic Cooperation Framework Agreement (ECFA). Subbab

ini akan menjelaskan mengenai pembentukan ECFA dan 4 elemen dari institusi

seperti yang dijelaskan oleh Keohane, yaitu principle, norms, rules, dan decision-

making.

3.2.1 Proses Negosiasi ECFA

Ketika Presiden Ma Ying-jeou terpilih pada tahun 2008, Presiden Ma

Ying-jeou merealisasikan janjinya untuk memperbaiki hubungan dengan Cina.

Salah satu hal paling penting yang dilaksanakannya adalah mengadopsi kembali

Konsensus 1992, yang menjadi prinsip dasar kerjasama kedua pihak sebelum

terjadi ketegangan antara keduanya. Dengan kebijakan Ma untuk mengadopsi

konsensus tersebut, maka kerjasama dan komunikasi antara keduanya dapat

dimulai kembali. Hal ini terwujud dengan dimulainya kembali pertemuan antara

87 Chiu Yut-zu, “Chen to Tighten Cross-Strait Policies,” Taipei Times, terakhir dimodifikasi pada 2 Januari 2006, diakses 1 Juni 2013, http://www.taipeitimes.com/News/front/archives/2006/01/02/2003287016. 88 Mo Yan-Chih, Ko Shu-ling, dan Shih Hsiu-cuan, “Decisive Victory for Ma Ying-jeou,” Taipei Times, terakhir dimodifikasi pada 23 Maret 2008, diakses 2 Juni 2013, http://www.taipeitimes.com/News/front/archives/2008/03/23/2003406711.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 66: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

52

Straits Exchange Foundation (SEF) yang mewakili Taiwan dan Association for

Relations Across the Taiwan Strait (ARATS) yang mewakili Beijing.89

Terbukanya kembali kerjasama dan dialog antara Cina dan Taiwan akan

menjadi bagian penting dari dibentuknya ECFA. Satu tahun berlalu sejak dialog

antara SEF dan ARATS dimulai kembali, pada tahun 2009 bulan Desember

dimulailah pembicaraan antara SEF dan ARATS tentang pembentukan ECFA

pada Pertemuan Chiang-Chen yang keempat.90 Pertemuan-pertemuan selanjutnya

untuk membahas lebih lanjut mengenai pembuatan ECFA pun terus berlanjut.

Terdapat 5 ronde negosiasi yang dilakukan antara SEF dan ARATS sebelum pada

akhirnya tercapailah kesepakatan untuk penandatanganan perjanjian ECFA. SEF

yang mewakili Taiwan dipimpin oleh Chiang Pin-kung dan ARATS yang

mewakili Cina dipimpin oleh Chen Yunlin menjadi perwakilan kedua belah pihak

untuk meresmikan perjanjian tersebut pada bulan Juni 2010.91

Proses negosiasi pembentukan ECFA memang sangat cepat, yaitu hanya

dalam rentang waktu 6 bulan dan melalui 5 negosiasi saja. Tetapi, proses

pembicaraan antara kedua pihak untuk membentuk kerjasama ekonomi secara

terinstitusionalisasi sebenarnya telah terbentuk sejak tahun 1991. Telah terjadi 37

kali pertemuan antara SEF dan ARATS dalam membicarakan mengenai

kerjasama ekonomi antara Taiwan dan Cina, sebelum akhirnya negosiasi tersebut

‘dibekukan’ akibat memanasnya hubungan Taiwan dan Cina.92

3.2.2 ECFA dan 4 Elemen Institusi Keohane

Dengan penandatanganan ECFA, Taiwan dan Cina memasuki sebuah

masa baru dalam kerjasama ekonomi antara kedua negara ini. ECFA menjadi

puncak dari momentum membaiknya kerjasama antara Taiwan dan Cina, sesuatu

89 Jonathan Sullivan dan Eliyahu V. Sapir, “Ma Ying-jeou’s Presidential Discourse,” Journal of Current Chinese Affairs 41, No. 3 (2012): 36, diakses 24 Mei 2013, http://hup.sub.uni-hamburg.de/giga/jcca/article/view/533/531. 90The China Post, “Chiang-Chen Meeting to Herald Start of ECFA Talks,” terakhir dimodifikasi pada 18 November 2009, diakses 1 Juni 2013, http://chinapost.com.tw/taiwan/china-taiwan-relations/2009/11/18/233152/Chiang-Chen-meeting.htm. 91 The China Post, “ECFA Signed,” terakhir dimodifikasi pada 30 Juni 2010, diakses 1 Juni 2013, http://www.chinapost.com.tw/taiwan/china-taiwan-relations/2010/06/30/262692/ECFA-signed.htm. 92 Y.C. George Lin, “The Background and Impacts of ECFA on China and Taiwan,” (makalah dipresentasikan di National Chung Cheng University, Taiwan, 19 Maret 2011), 4.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 67: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

53

yang diinisiasi oleh pemerintahan Taiwan di bawah Presiden Ma, didukung oleh

rakyat Taiwan, dan mendapat respon positif dari pemerintahan Cina. Bagian ini

akan membahas mengenai ECFA sebagai sebuah institusi internasional dan

mencoba menganalisa 4 elemen dari ECFA sebagai sebuah institusi internasional,

sesuai dengan definisi dari Robert Keohane yang digunakan dalam makalah ini.

Sebagai sebuah perjanjian, ECFA didefinisikan sebagai kerangka

kerjasama antara pihak Taiwan dan Cina untuk mencapai liberalisasi ekonomi

yang diinginkan sehingga kerjasama antara kedua pihak akan semakin meningkat.

Karakteristik dari perjanjian semacam ini, menurut Pemerintah Taiwan, adalah

memberikan aturan yang jelas antara pihak-pihak di dalamnya ketika membuat

perjanjian kerjasama ekonomi di depannya. ECFA juga akan memberikan target

dan rentang jangka waktu, dan hal-hal tersebut akan dilaksanakan secara bertahap.

Melalui ECFA, masalah-masalah penting dapat diselesaikan terlebih dahulu,

menyelesaikan masalah yang simpel terlebih dahulu dibandingkan masalah

kompleks, dan oleh karenanya cocok untuk digunakan di dalam konteks hubungan

kerjasama yang rumit antara Taiwan dan Cina.93

ECFA terdiri dari 5 bab yang terbagi kembali menjadi 16 pasal di

dalamnya. Bab pertama menjelaskan mengenai prinsip-prinsip dasar dari

perjanjian ECFA, yaitu terdiri dari tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh ECFA,

serta bentuk-bentuk kerjasama yang ingin dicapai dalam ECFA ini. Bab kedua

terkait dengan perdagangan dan investasi. Bab ini menjabarkan mengenai

kesepakatan-kesepakatan yang dicapai oleh Taiwan dan Cina terkait dengan

perdagangan barang, jasa, dan investasi antara kedua negara. Secara umum, pasal-

pasal pada bab ini menjelaskan mengenai perlunya konsultasi antara kedua belah

pihak untuk mengurangi hambatan-hambatan untuk barang, jasa, dan investasi

untuk mengalir bagi kedua belah pihak. Bab ketiga menjelaskan mengenai

kerjasama-kerjasama ekonomi lainnya yang dapat dilaksanakan antara kedua

belah pihak, seperti kerjasama di bidang hak kekayaan intelektual, kerjasama

finansial, promosi dan fasilitasi perdagangan, kerjasama di bidang e-commerce,

dan lain-lainnya. Bab 4 menjelaskan secara spesifik mengenai Early Harvest di

93 Mainland Affairs Council, Cross-Strait Economic Cooperation Framework Agreement: Policy Explanation, (Taipei: Mainland Affairs Council, 2009), http://www.mac.gov.tw/public/Data/962614391871.pdf, 5.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 68: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

54

dalam perjanjian ECFA. Early Harvest ini program di dalam ECFA di mana

kedua negara akan mengurangi hambatan-hambatan, baik tarif maupun non-tarif,

kepada barang dan jasa untuk dapat memasuki baik Taiwan ataupun Cina. Early

Harvest ini akan diterapkan kepada 539 pos barang-barang ekspor Taiwan yang

akan memasuki Cina, dan 267 barang-barang ekspor Cina yang akan memasuki

Taiwan. Pengurangan tarif yang akan diberikan berbeda dan bertahap, bergantung

dari tarif awal ketika ECFA belum berjalan (lihat tabel di bawah). Bab terakhir

dari ECFA memberikan penjelasan mengenai hal-hal lain dalam perjanjian ini,

seperti mengenai penyelesaian pertikaian, pembentukan komite ECFA,

dokumentasi, dan lain-lain.94

Tabel 3.2.2.1 Skema Pengurangan Tarif dalam Program Early Harvest ECFA

Tarif Impor pada tahun

2009 (X%)

Angka Tarif berdasarkan perjanjian

Tahun Pertama

Implementasi

Program Early

Harvest

Tahun Kedua

Implementasi

Program Early

Harvest

Tahun Ketiga

Implementasi

Program Early

Harvest

1 0 <X≤ 2,5 0

2 2,5 ≤X≤ 7,5 2,5 0

3 X> 7,5 5 2,5 0 Sumber: Annex 1 Economic Cooperation Framework Agreement

Dari penjelasan di atas, kita dapat menganalisa ECFA sebagai sebuah

institusi internasional dari 4 elemen yang telah dijelaskan oleh Robert Keohane.

Aspek pertama dari institusi adalah prinsip-prinsip. Seperti yang telah dijelaskan

di atas, ECFA memiliki prinsip-prinsip yang cukup jelas. Sebagai anggota dari

WTO, Cina dan Taiwan akan mengikuti prinsip-prinsip untuk secara bertahap

mengurangi hambatan tarif dan non-tarif, meningkatkan investasi dan

perdagangan, sehingga liberalisasi perdagangan antara kedua negara dapat

94 disadur dari teks lengkap ECFA. ECFA, Cross-Strait Economic Cooperation Framework Agreement, http://www.ecfa.org.tw/EcfaAttachment/ECFADoc/ECFA.pdf.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 69: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

55

tercapai.95 Prinsip ini memiliki arti penting, karena ECFA merupakan sebuah

perjanjian yang bersifat kerangka kerjasama, di mana ECFA akan menjadi

patokan bagi kerjasama-kerjasama di masa depannya.

Elemen kedua di dalam sebuah institusi menurut Keohane adalah norma-

norma di dalamnya, yang mengatur mengenai hak dan kewajiban bagi anggota

dalam institusi. Norma yang terdapat dalam ECFA menghasilkan beberapa

kewajiban. Kewajiban tersebut terlihat dari kewajiban baik Taiwan dan Cina

untuk melaksanakan liberalisasi-liberalisasi bagi pos-pos yang disetujui. Lebih

lanjut lagi, norma yang digunakan di dalam perjanjian ini menurut Taiwan akan

dijalankan dengan menghargai kesamaan hak, penghormatan terhadap harga diri

negara, dan berbasis pada fairness.96 Hak-hak yang diatur bagi Taiwan dan Cina

digambarkan pada bab 5 di perjanjian ECFA, yang menggambarkan hak-hak

seperti memberikan pengecualian-pengecualian untuk liberalisasi barang-barang

yang dirasa masih belum cukup kuat jika hambatan dikeluarkan.97

Elemen ketiga sebuah institusi menurut Keohane adalah peraturan-

peraturan spesifik yang mengatur kebijakan yang diperbolehkan dan dilarang bagi

anggota institusi berkaitan. Terkait dengan elemen ini, penulis melihat bahwa

setidaknya ECFA memberikan ketentuan yang bersifat spesifik pada program

Early Harvest yang ada di dalamnya. Pada program tersebut dijelaskan secara

spesifik mengenai pos-pos barang apa saja yang akan dikurangi tarifnya, dan

mekanisme pengurangan tarifnya pun dijelaskan secara rinci.98

Elemen keempat yang ada di dalam sebuah institusi adalah keberadaan

decision-making process antara anggota-anggota di dalamnya. Untuk memenuhi

elemen ini, ECFA memiliki dua jenis proses pembentukan kebijakan yang akan

diteruskan dari ECFA ini. Pertama, ECFA menetapkan keberadaan konsultasi-

konsultasi antara Taiwan dan Cina terkait dengan kerjasama-kerjasama ekonomi

yang akan menggunakan kerangka ECFA ini. Hal ini akan dilaksanakan di dalam

pertemuan-pertemuan selanjutnya dari SEF dan ARATS. Kedua, dibentuk juga

sebuah komite ECFA. Tugas komite ECFA ini terdiri dari pengawasan terhadap

95 Ibid., bab 1. 96 “ECFA Background,” Mainland Affairs Council, terakhir dimodikasi pada 21 April 2010, diakses 21 Mei 2013, http://www.mac.gov.tw/public/data/051116322071.pdf. 97 ECFA, Economic Cooperation Framework Agreement, 98 Ibid., Bab 4, Annex 1 ECFA.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 70: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

56

ECFA, interpretasi terhadap pasal-pasal di dalam ECFA, dan juga menyelesaikan

pertikaian apabila terjadi.99

Bagian di atas telah menjelaskan bagaimana ECFA memenuhi 4 elemen-

elemen yang harus dimiliki oleh sebuah institusi internasional. Sifat dari ECFA

yang hanya merupakan sebuah kerangka kerjasama menjadikan ECFA tidak

menfokuskan pada peraturan yang sifatnya spesifik. Tetapi, hal ini diimbangi

dengan peran lebih berat yang dimiliki ECFA sebagai pembuka dari kerjasama-

kerjasama ekonomi ke depannya bagi Taiwan dan Cina, di mana prinsip-prinsip

dari kerjasama tersebut sudah diletakkan di dalam ECFA.

3.3 Dasar Eksistensi ECFA: Anticipated Gain dari Perspektif Taiwan

Subbab selanjutnya pada bab ini akan menjelaskan mengenai justifikasi

pembentukan ECFA. Pertama, penulis akan menjelaskan mengenai alasan-alasan

pembentukan ECFA. Seperti yang dijelaskan oleh Robert Keohane, pembentukan

sebuah institusi internasional merupakan efek dari adanya antisipasi terhadap

keuntungan-keuntungan yang dapat diberikan oleh institusi tersebut. Tiga hal

yang disebutkan oleh Keohane sebagai keuntungan yang diantisipasi tersebut

adalah legal liability, pengurangan terhadap biaya transaksi, dan menghilangkan

ketidakpastian dan asimetri informasi.

Di dalam perspektif Neoliberal Institusionalisme, negara-negara

diasumsikan memiliki karakteristik yang sama seperti yang diasumsikan oleh

Realisme, di mana negara merupakan aktor rasional yang akan memikirkan

mengenai kepentingannya dalam hubungannya dengan negara lain. Berbeda

dengan Realisme yang bersikap pesimis terhadap dunia yang diisi oleh aktor

negara tersebut, Neoliberal Institusionalisme percaya akan pengaruh yang

diberikan oleh institusi dalam membuat hubungan antar negara menjadi tidak

konfliktual. Di bawah ini, penulis akan menjelaskan dampak-dampak yang

diberikan oleh ECFA dalam hubungan Taiwan dan Cina sebagai sebuah institusi

sesuai dengan tiga anticipated gain menurut Keohane.

99 Ibid., Bab 5, Pasal 11.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 71: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

57

3.3.1 Legal Liability

Keuntungan pertama yang diberikan oleh Keohane terkait dengan legal

liability yang diberikan oleh institusi. Seperti yang dijelaskan Keohane, hal ini

berkaitan dengan hak dan kewajiban yang dibentuk oleh institusi berkaitan, dan

juga oleh common practices yang tercipta dalam institusi. Hak dan kewajiban

serta common practices kemudian akan membentuk ekspektasi mengenai

hubungan masa depan bagi kedua anggota institusi tersebut.

Dari definisi di atas, kita dapat melihat bahwa ekspektasi akan kerjasama

yang berkelanjutan menjadi kata kunci. Hal ini menurut penulis terjadi di ECFA,

di mana Taiwan memiliki beberapa tujuan nyata mengapa Taiwan memilih untuk

memperkuat kerjasama dengan Cina melalui institusi ECFA. Pertama, Taiwan

mengharapkan adanya normalisasi hubungan antara Taiwan dan Cina, khususnya

di bidang ekonomi.100 Secara ekonomi, institusionalisasi dari status quo kerjasama

ekonomi antara Cina dan Taiwan merupakan hal yang diinginkan oleh Taiwan.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Cina dan Taiwan memiliki hubungan

ekonomi yang telah terbangun secara mendalam, baik di segi investasi maupun

perdagangan. Dari segi perdagangan, misalnya, perdagangan antara Cina dan

Taiwan sudah bertahun-tahun menjadi sumber satu-satunya surplus neraca

perdagangan bagi Taiwan. Neraca perdagangan Taiwan dengan negara-negara

lain secara total menghasilkan angka defisit, dan hanya karena adanya hubungan

perdagangan Cina dan Taiwanlah yang menyebabkan angka tersebut menjadi

surplus bagi Taiwan. Kondisi ini tentu menjadi amat penting bagi Taiwan untuk

dipertahankan, karena hubungan kerjasama tersebut menguntungkan bagi Taiwan

di mana nilai ekspor memegang perananan yang amat penting bagi Taiwan. ECFA

diharapkan mampu mempertahankan nilai kompetitif dari barang-barang Taiwan

di pasar Cina, terutama saat Cina tengah meningkatkan jumlah perjanjian

perdagangan bebas dengan negara atau wilayah lain, seperti dengan ASEAN.101

Menurut perhitungan dari Mainland Affairs Council (MAC), ECFA diharapkan

mampu meningkatkan pertumbuhan Taiwan sebanyak 1,65%-1,72%.102

100 Mainland Affairs Council, “ECFA Background,” 2-4. 101 Mainland Affairs Council, ECFA Policy Explanation, 8. 102 Mainland Affairs Council, “ECFA Background,” 4.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 72: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

58

Realisasi dari ekspektasi di atas terlihat pada perkembangan nilai total

perdagangan antara Cina dan Taiwan pada tahun 2010 meningkat sebanyak 36%

dibandingkan pada tahun sebelumnya.103 Pada tahun 2010, peningkatan ekspor

tersebut hanya mencapai nilai 9%, dan yang mengkhawatirkan adalah, impor

Taiwan dari Cina meningkat mencapai 30%.104 Sementara pada tahun 2012,

ekspor Taiwan meningkat sebanyak 5,8%, sementara impor Taiwan dari Cina

meningkat sebanyak 4,8%.105 Jika kita melihat data di atas, terlihat memang

bahwa ekspor Taiwan ke Cina sebenarnya menurun. Tetapi, ada beberapa hal

yang menurut penulis patut diperhatikan. Pertama, ekspor Taiwan ke Cina

merupakan bagian dari rantai produksi perusahaan-perusahaan Taiwan yang

berinvestasi di Cina, di mana kebanyakan perusahaan tersebut bergantung dari

permintaan yang datang dari Amerika Serikat dan wilayah Eropa. Permasalahan

ekonomi global yang muncul, serta permasalahan ekonomi yang juga terjadi

secara regional di wilayah Eropa, ikut memberikan dampak kepada nilai ekspor

Taiwan yang terkesan menurun.

Hal lain yang amat diharapkan dari Taiwan adalah keberadaaan ECFA

yang mampu membuat Taiwan tidak semakin tertinggal dengan tren perdagangan

bebas antar negara-negara di dunia. Sebelum ECFA, Taiwan sulit untuk

menciptakan perjanjian perdagangan bebas dengan negara lain, karena pengaruh

dari tekanan yang diberikan oleh Cina kepada negara-negara lain di dunia.

Tercatat pada 2008 Taiwan hanya memiliki kerjasama perdagangan bebas dengan

beberapa negara kecil di Amerika Tengah. 106 Kondisi ini diharapkan akan

membaik dengan ditandatangannya ECFA antara Cina dan Taiwan. Berdasarkan

beberapa studi yang telah dilaksanakan, seperti oleh American Chamber of

Commerce, Japanese Chamber of Commerce, dan European Chamber of

Commerce, semua menyatakan bahwa perjanjian ECFA akan membuka jalan 103 Dong Wang, “ECFA and the Elections: Implications for Cross-Strait Relations,” China Brief 12, no. 1 (2012), diakses 1 Juni 2013, http://www.jamestown.org/single/?no_cache=1&tx_ttnews[tt_news]=38855. 104 “Brief Summary Cross-Strait Economic Statistics 2011,” Mainland Affairs Council, diakses 12 Mei 2013. http://www.mac.gov.tw/public/Attachment/22159522847.pdf. 105 “Taiwan-China Trade Reached US$168,96 billion in 2012: China Customs,” Taipei Mission in The Republic of Latvia, terakhir dimodifikasi pada 18 Januari 2013, diakses 1 Juni 2013, http://www.roc-taiwan.org/LV/ct.asp?xItem=345712&ctNode=7925&mp=507. 106 Chiang Min-Hua, “Cross-Strait Economic Integration in the Regional Political Economy,” International Journal of China Studies 2, no. 3 (2011): 693, diakses 2 Juni 2013, http://cmsad.um.edu.my/images/ics/IJCSV2N3/IJCSV2N3-chiang.pdf.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 73: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

59

terhadap negosiasi pembentukan FTA dengan negara-negara tersebut, yang

merupakan rekan dagang utama Taiwan selain Cina.107

Terkait dengan ekspektasi ini, hasil yang didapatkan belum seperti yang

diinginkan oleh Taiwan. Taiwan memang telah membuka pembicaraan dengan

beberapa negara, dan beberapa negara pun telah menunjukkan ketertarikannya

untuk memiliki hubungan FTA dengan Taiwan. Di antara negara tersebut antara

lain adalah India, Indonesia, Filipina dan Singapura. Namun sampai pada tahun

2012, kemajuan di aspek ini berjalan di tempat karena Taiwan tidak berhasil

menciptakan hubungan kerjasama dengan negara lain. Hanya saja pada tahun

2013, dua negara akan segara menandatangani kerjasama FTA dengan Taiwan,

yaitu Singapura dan New Zealand.108 Hal ini tentu menunjukkan tren yang

menjanjikan bagi Taiwan, meskipun perkembangan lebih lanjut harus ditunggu

untuk pelaksanaan FTA antara Taiwan dengan negara lain.

3.3.2 Transaction Cost

Keuntungan lain yang dapat diharapkan dari adanya sebuah institusi

internasional adalah transaction cost yang akan semakin menurun antara negara-

negara yang berpartisipasi. Secara simpel, Keohane menjelaskan bahwa institusi

internasional akan menyebabkan frekuensi pertemuan antara anggota institusi

menjadi meningkat. Terkait dengan hal ini, kita dapat melihat bahwa Taiwan dan

Cina akan memiliki pertemuan rutin yang semakin meningkat dengan adanya

ECFA. Konsultasi dan pertemuan akan semakin meningkat sesuai dengan

kebutuhan antara kedua negara.

Lebih lanjut lagi, Robert Keohane menuliskan bahwa menurunnya

transaction cost akan sangat berhubungan dengan meningkatnya linkages

(penghubungan) antara isu-isu terkait. Dalam melihat linkages dalam ECFA,

dapat terlihat bahwa ECFA akan menjadi penghubung utama antara Cina dan

Taiwan dengan kerjasama ekonomi di bidang lain di masa depan. ECFA memang

hanya mengandung klausa yang spesifik terkait dengan early harvest, namun

107 Mainland Affairs Council, “ECFA Background,” 5. 108 Joseph Yeh, “Negotiations with Singapore on Free Trade Pact Completed, Signings Expected,” The China Post, 18 Mei 2013, diakses 1 Juni 2013, http://www.chinapost.com.tw/taiwan/foreign-affairs/2013/05/18/378899/Negotiations-with.htm.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 74: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

60

ECFA juga membuka untuk kerjasama lebih lanjut di berbagai bidang, seperti

bidang keuangan dan e-commerce.109 Taiwan juga mengharapkan ECFA untuk

menjadi pendorong bagi pembicaraan untuk menyelesaikan masalah-masalah

yang saat itu masih dihadapi dalam hubungan ekonomi kedua negara, seperti

masalah pengaturan investasi yang saat itu belum memiliki aturan resmi.110

Hasil dari ekspektasi pada aspek ini dapat terlihat pada pertemuan secara

rutin yang dilaksanakan antara SEF dan ARATS sejak ditandatanganinya ECFA

pada tahun 2010. Pada tahun 2010, pertemuan antara SEF dan ARATS

dilaksanakan dengan tujuan untuk mencapai kesepakatan terkait dengan hukum

untuk melindungi investasi kedua negara. Namun pada pertemuan tersebut,

kesepakatan antara Taiwan dan Cina tidak tercapai. 111 Pada tahun 2011,

pertemuan antara SEF dan ARATS menghasilkan kemajuan dalam isu

perlindungan terhadap investasi, di mana kedua belah pihak telah mencapai

sebuah opini yang seragam. Pertemuan SEF dan ARATS pada tahun 2011

tersebut juga menghasilkan konsensus terkait dengan prospek, tujuan, dan area

awal di dalam kerjasama industri antara Taiwan dan Cina.112 Pada tahun 2012,

SEF dan ARATS mampu melahirkan dua kerjasama lanjutan dari ECFA, yaitu

Perjanjian Perlindungan dan Promosi Investasi Antar-selat dan Perjanjian

Kerjasama Bea Cukai Antar-Selat. 113 Penjelasan di atas dapat menjelaskan

bagaimana hubungan institusional antara Cina dan Taiwan terus meningkat,

dibantu oleh ECFA yang mengurangi transactional cost antara kedua pihak.

109 ECFA, Economic Cooperation Framework Agreement, bab 3. 110 Mainland Affairs Council, ECFA Policy Explanation, 9. 111 “Remarks by Minister Lai in The Meeting with ARATS Delegation,” Mainland Affairs Council, terakhir dimodifikasi pada 21 Desember 2010, diakses 1 Juni 2013, http://www.mac.gov.tw/ct.asp?xItem=92596&ctNode=6863&mp=205. 112 “The Seventh Chiang-Chen Talks Come to A Smooth Conclusion with Fruitful Results,” Mainland Affairs Council, terakhir dimodifikasi pada 20 Oktober 2011, diakses 5 Juni 2013, http://www.mac.gov.tw/ct.asp?xItem=98999&ctNode=7228&mp=118. 113 “Eighth Chiang-Chen Talks Are Succesfully Held: The SEF and the ARATS sign the ‘Cross-strait Investment Protection and Promotion Agreement’ and the ‘Cross-strait Customs Cooperation Agreement’ and announce a ‘Consensus on the Protection of Perosonal Freedom and Safety’ in Regards to the Investment Protection Agreement,” Mainland Affairs Council, terakhir dimodifikasi pada 15 Agustus 2012, diakses 5 Juni 2013, http://www.mac.gov.tw/ct.asp?xItem=102788&ctNode=7316&mp=181.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 75: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

61

3.3.3 Uncertainty and Information

Sebagai salah satu masalah paling penting yang menghambat negara untuk

melaksanakan kerjasama, masalah distribusi informasi dan kejelasan mengenai

preferensi negara lain dijelaskan oleh faktor-faktor yang mungkin menghambat

munculnya kepercayaan antara negara tersebut, yaitu adanya asimetri dalam

pendistribusian informasi, moral hazard, serta masalah negara-negara yang

mungkin bersifat tidak bertanggung jawab dan menghentikan kerjasama. Selain

itu, masalah informasi dan preferensi ini sangat bergantung dengan koordinasi

kebijakan antara negara. Frekuensi pertemuan yang meningkat antar negara secara

langsung akan meningkatkan koordinasi kebijakan dari negara-negara anggota

institusi.

Seperti yang dijelaskan di atas, ECFA diharapkan akan meningkatkan

frekuensi pertemuan antara Cina dan Taiwan melalui pertemuan SEF dan

ARATS, seiring dengan meningkatnya kebutuhan untuk membicarakan mengenai

kerjasama-kerjasama ekonomi ke depannya. ECFA dengan demikian menjadi

wadah bagi Cina dan Taiwan untuk melaksanakan lebih banyak koordinasi

kebijakan. Namun, dalam aspek informasi dan uncertainty ini masih terdapat satu

kelemahan. Di dalam ECFA terdapat salah satu pasal yang memperbolehkan salah

satu pihak untuk dapat membatalkan perjanjian ini secara unilateral.114 Hal ini

tentu bermasalah karena membuka kemungkinan bagi Taiwan ataupun Cina untuk

menjadi aktor yang tidak bertanggung jawab dan membatalkan kerjasama. Hal ini,

menurut penulis, menjadi salah satu kekurangan dari ECFA secara institusional.

3.4 Faktor Domestik Dalam Pengambilan Kebijakan Institusionalisasi

Hubungan Ekonomi Taiwan-Cina melalui ECFA

Subbab di atas telah menjelaskan faktor-faktor di level eksternal yang

menjadi insentif bagi Presiden Ma Ying-jeou untuk mendorong kebijakan

institusionalisasi hubungan ekonomi kedua negara melalui pembentukan ECFA.

Subbab ini selanjutnya akan membahas mengenai bagaimana kejadian-kejadian di

level internal mempengaruhi institusionalisasi tersebut. Keberadaan faktor

114 ECFA, Economic Cooperation Framework Agreement, pasal 16.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 76: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

62

dukungan publik, tekanan dari kelompok bisnis di Taiwan, dan debat dalam

negeri di Taiwan antara KMT dan DPP akan dibahas di dalam subbab ini.

Pertama, terkait dengan dukungan publik, Presiden Ma Ying-jeou

menikmati besarnya dukungan publik bagi perbaikan hubungan di bidang

ekonomi dengan Cina. Seperti yang telah dijelaskan oleh grafik pada bab

sebelumnya, menjelang pemilu pada tahun 2008, mayoritas dari penduduk Taiwan

telah melihat perlunya sebuah perbaikan dalam hubungan ekonomi antar-selat

kedua negara. Angka-angka pada tahun 2007 menunjukkan tingkat dukungan

yang sangat tinggi, di mana 70% masyarakat umum setuju untuk memperbaiki

hubungan ekonomi antara Taiwan dan Cina, dan di antaranya, pendukung Pan-

Blue di Taiwan mencapai 90% yang mendukung kebijakan tersebut.115 Dari

angka-angka di atas, kita dapat melihat bagaimana dukungan publik yang kuat,

yang dibutuhkan dalam sebuah negara demokrasi dalam menciptakan dan

menjalankan kebijakan luar negerinya, telah dimiliki oleh Presiden Ma sehingga

dia dapat menjalankan kebijakannya untuk memperbaiki hubungan ekonomi

antara Taiwan dan Cina.

Selanjutnya, juga sebagai negara demokrasi, salah satu unsur penting

dalam penentuan kebijakan luar negeri adalah adanya tekanan-tekanan yang

datang dari kelompok kepentingan. Dalam hubungan ekonomi antara Taiwan dan

Cina, kelompok pebisnis memegang peranan penting karena kepentingan mereka

untuk menjaga hubungan ekonomi yang stabil antara Taiwan dan Cina. Penjelasan

faktor apa yang menyebabkan banyaknya pebisnis dari Taiwan yang bersikeras

untuk mendatangi Cina terlihat dari penjelasan terhadap istilah ‘guanxi’. 116

Guanxi adalah kondisi kesamaan budaya dan kultur antara orang Taiwan dan

orang Cina, seperti bahasa, edukasi, budaya tradisional, di mana kesamaan budaya

dan kultur tersebut kemudian dimanipulasi untuk membentuk aktivitas bisnis yang

lebih besar. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Presiden Chen dengan

berbagai kebijakannya mencoba untuk menahan laju hubungan ekonomi antara 115 Chu Yun-han, “Rapprochement in The Taiwan Strait: Opportunities and Challenges for Taipei,” East Asian Policy 1, no. 4 (2009): 79, diakses 8 Juli 2013, http://www.eai.nus.edu.sg/Vol1No4_ChuYunhan.pdf. 116 Gordon C.K. Cheung, “New Approaches to Cross-Strait Integration and its Impacts on Taiwan’s Domestic Economy: An Emerging “Chaiwan”?,” Journal of the Current Chinese Affairs/China Aktuell 39, no. 1 (2010): 17, diakses 8 Juli 2013, http://journals.sub.uni-hamburg.de/giga/jcca/article/view/199.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 77: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

63

Taiwan dan Cina. Salah satu yang dilaksanakannya adalah mencoba untuk

mengurangi jumlah investasi dari Taiwan untuk masuk ke arah Cina, dan

menurutnya harus dilaksanakan diversifikasi ke wilayah lain seperti ke Asia

Tenggara. Kondisi ini tentu menjadikan para pebisnis asal Taiwan tersebut

frustasi, karena adanya guanxi di Cina yang terbentuk antara pebisnis Taiwan dan

Cina membuat investasi ke Cina menjadi lebih menguntungkan. Hal ini

menyebabkan banyaknya pebisnis-pebisnis yang mencoba mencari jalan untuk

menghindari batas investasi yang dikeluarkan oleh Presiden Chen.117 Rasa frustasi

tersebut menjadi salah satu pendukung kebijakan Presiden Ma untuk memperbaiki

hubungan ekonomi antara Taiwan dan Cina melalui institusionalisasi dan ECFA.

Unsur domestik ketiga yang dapat diperhatikan adalah keberadaan

perdebatan dalam negeri di Taiwan terkait dengan ECFA, terutama antara KMT

yang merupakan partai pemerintah dan DPP yang merupakan partai oposisi.

Perdebatan yang terjadi cukup memanas, terutama ketika kubu oposisi menolak

liberalisasi perdagangan dengan Cina yang semakin dalam dengan ECFA, yang

dikhawatirkan akan memberikan dampak buruk pada Taiwan dari segi ekonomi

(bertambahnya pengangguran) dan politik (hilangnya kedaulatan). 118

Berkurangnya lapangan pekerjaan merupakan sebuah fenomena yang dikenal

sebagai hollowing out, di mana investasi terlalu banyak mengalir ke luar dan pada

akhirnya tidak mampu mendorong industri lokal, sementara hilangnya kedaulatan

berkaitan dengan dependensi yang dinilai akan semakin besar jika Taiwan dan

Cina semakin mengintegrasikan ekonominya. Namun, biarpun telah diberikan

paparan negatif terkait ECFA tersebut, pandangan masyarakat terhadap kerjasama

ECFA tetap bersifat positif, di mana sebanyak 46,2% masyarakat melihat ECFA

sesuatu yang positif, mengalahkan orang orang yang berpikir negatif yang

berjumlah 35%.119

Sebagai kesimpulan, kebijakan ekonomi Presiden Ma Ying-jeou dalam

periode pertama kepemimpinannya mengarahkan Taiwan terhadap

institusionalisasi yang lebih mendalam dalam kerjasama dengan Cina melalui

117 Chu, “Rapprochement in the Taiwan Strait,” 77. 118 Xie Yu, “Taiwan Parties Clash over ECFA”, China Daily, terakhir dimodifikasi pada 26 April 2010, diakses 1 Juni 2013, http://www.chinadaily.com.cn/china/2010-04/26/content_9772390.htm. 119 Ibid.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 78: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

64

ECFA. Memang hubungan ekonomi Taiwan dan Cina telah berjalan dan

berkembang sebelum ECFA dilaksanakan. Tetapi, seperti yang dijelaskan oleh

Neoliberal Institusionalisme, institusi ECFA memiliki peran untuk memberikan

ekspektasi kepada kedua negara untuk interaksi yang terus terjaga di masa depan,

di mana interaksi tersebut memegang peranan penting untuk menjaga agar

hubungan baik dapat terus berlanjut antara Taiwan dengan Cina. ECFA memang

memiliki beberapa kelemahan, misalnya dengan adanya klausul pembatalan

ECFA secara sepihak dalam ECFA, tetapi dengan adanya keuntungan-keuntungan

yang dapat diantisipasi oleh kedua belah pihak, terutama oleh Taiwan, maka

institusionalisasi kerjasama ekonomi melalui ECFA merupakan kebijakan

ekonomi yang rasional dari sisi Presiden Ma Ying-jeou. Dari sisi domestik

sendiri, kondisi yang ada bagi Presiden Ma Ying-jeou sangat kondusif untuk

melancarkan kebijakan institusionalisasi hubungan kerjasama melalui ECFA ini.

Hal ini terlihat dengan adanya dukungan yang kuat dari publik, tekanan dari

kalangan pebisnis Taiwan, dan kemenangan KMT dari DPP dalam debat-debat

terkait ECFA ini. Faktor-faktor domestik itu jika dilihat lebih dalam, lahir atas

dasar dorongan faktor-faktor eksternal yang telah dijelaskan di atas, yaitu insentif-

insentif besar dari ECFA yang menjanjikan keuntungan besar dalam stabilnya

hubungan ekonomi Taiwan dan Cina melalui ECFA.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 79: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

65

BAB 4

KEBIJAKAN IDENTITAS TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-

JEOU DALAM HUBUNGAN ANTAR-SELAT TAIWAN DAN CINA

Sebagai salah satu negara dengan posisi strategis yang sangat terancam

dengan keberadaan negara besar yaitu Cina, mudah saja untuk tidak

mengindahkan masalah-masalah mengenai identitas dan mengfokuskan hanya

pada masalah-masalah keamanan atau militer. Tetapi, jika ditilik dari sejarah

panjang Taiwan dan hubungannya dengan Cina, identitas ternyata memegang

peranan yang cukup penting. Sejarah panjang Taiwan yang pernah dikuasai oleh

Jepang, kemudian berpindah menjadi salah satu provinsi di Republik Cina, hingga

saat ini menjadi wilayah dengan status yang belum terdefinisikan secara

internasional, mendorong dinamika perubahan identitas dalam Taiwan menjadi

satu hal yang cukup menarik untuk dibahas.

Pentingnya identitas yang dipegang oleh masyarakat Taiwan menjadikan

setiap pemerintahan Taiwan memiliki sebuah kebijakan tersendiri untuk

membentuk identitas apa yang dimiliki oleh masyarakatnya. Bagian pertama pada

bab ini menjelaskan mengenai konsep yang akan digunakan oleh penulis dalam

bab ini, yaitu konsep Identitas dan Identitas Nasional. Sejarah singkat mengenai

kebijakan identitas pemerintahan sebelum Ma Ying-jeou akan dijelaskan di dalam

bagian selanjutnya pada bab ini. Hal ini penting untuk dipaparkan agar dinamika

identitas yang ada di masyarakat Taiwan dapat dipahami, sekaligus memberikan

latar belakang untuk memahami kebijakan identitas yang diambil oleh Ma Ying-

jeou. Bagian selanjutnya dari bab ini akan memaparkan kebijakan-kebijakan apa

saja yang digunakan oleh Ma Ying-jeou, dengan mengaplikasikan konsep dari

Identitas dan Identitas Nasional yang telah dijelaskan sebelumnya. Bagian terakhir

dari bab ini akan menggambarkan pengaruh dari kebijakan identitas tersebut, baik

kepada masyarakat Taiwan, dan juga kepada hubungan antara Taiwan dan Cina.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 80: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

66

4.1 Kerangka Konsep: Identitas dan Identitas Nasional

Identitas merupakan salah satu isu yang berkembang dengan

berkembangnya pula Hubungan Internasional melalui munculnya pemikiran-

pemikiran post-positivisme di dalamnya. Penggunaan identitas dalam teori-teori

Hubungan Internasional memberikan perspektif baru dalam menganalisa

fenomena-fenomena hubungan internasional. Salah satu kontribusi terbesar dalam

penggunaan identitas di Hubungan Internasional diberikan oleh Systemic

Constructivism. Perspektif tersebut akan digunakan untuk menjelaskan mengenai

kebijakan identitas Ma Ying-jeou. Penjelasan mengenai unsur-unsur identitas

nasional juga akan diberikan pada bagian ini.

4.1.1 Identitas

Identitas dalam Hubungan Internasional telah berkembang menjadi salah

satu aspek penting dalam hubungan internasional sejalan dengan semakin

berkembangnya pendekatan yang menganalisa aspek non-material yang dimiliki

oleh negara. Definisi identitas, menurut Giddens yang dikutip oleh Manuel

Castells, adalah sumber dari pengertian yang dimiliki oleh seorang aktor, yang

dibangun oleh aktor tersebut sendiri melalui sebuah proses yang disebut

individuation. 120 Manuel Castells kemudian memberi penjelasan lebih lanjut

mengenai tiga jenis identitas, yaitu Legitimizing Identity, Resistance Identity, dan

Project identity

Resistance Identity adalah identitas yang dibuat oleh aktor-aktor yang

berada dalam posisi/kondisi yang devalued dan/atau terkena stigma oleh logika

dominasi (oleh institusi yang dominan). Project Identity adalah ketika aktor sosial

mencoba membangun sebuah identitas baru yang meredefinisi posisi mereka di

masyarakat, dan mencoba mentransformasi struktur sosial secara keseluruhan.

Definisi dari legitimizing identity yang akan digunakan dalam bab ini adalah

identitas yang diberikan oleh institusi yang dominan dalam masyarakat untuk

120 Manuel Castells, The Power of Identity 2nd Ed., (West Sussex: Blackwell Publishing Ltd., 2010), 7.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 81: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

67

memperluas dan merasionalisasi dominasi institusi tersebut vis-a-vis aktor sosial

lain.121

Salah satu tokoh Hubungan Internasional yang menggunakan identitas

dalam mengembangkan teori Hubungan Internasional adalah Alexander Wendt.

Alexander Wendt menjelaskan pentingnya identitas dalam konteks negara dan

politik internasional sebagai salah satu aspek penting, di mana sistem

internasional dan anarki di dalamnya sesungguhnya hanyalah hasil dari konstruksi

sosial yang datang dari identitas dan budaya bentukan negara-negara tersebut

(Anarchy is what states make of it).122

Alexander Wendt menjelaskan bahwa di dalam sistem internasional yang

bersifat anarki, hubungan antara negara sebagai aktor utama ditentukan oleh

kepentingan dari negara tersebut. Kepentingan negara tersebut dilahirkan oleh

identitas yang dimiliki negara tersebut, sehingga identitas negara menjadi penentu

bagaimana sebuah negara membangun kepentingannya dengan negara lain.

Selanjutnya hubungan yang telah terjadi tersebut akan merekonstruksi identitas

dan kepentingan negara tersebut ke depannya.123 Identitas dan kepentingan yang

dimiliki negara yang berada di level mikro kemudian akan semakin berkembang

dan menjadi representasi kolektif di level makro, membentuk sebuah kultur dari

sistem internasional.

Alexander Wendt menjelaskan bahwa di dalam dunia internasional

setidaknya terdapat tiga jenis kultur sistem internasional, yang dikembangkan

oleh Wendt dari pemikir terkenal yang mengeluarkan pemikiran tersebut. Pertama

adalah kultur Hobbesian, di mana negara melihat negara lain sebagai musuh dan

negara tidak akan menghargai hak negara lain untuk bertahan dan cenderung

menggunakan kekerasan. Kultur kedua adalah Lockean, di mana negara masih

memiliki kepentingan sendiri sebagai prioritas utama, tetapi berbeda dengan

Hobbesian, kultur Lockean membuat negara memandang satu sama lainnya 121 Ibid., 8 122 Penjelasan terhadap klaim tersebut dijelaskan secara mendalam oleh Alexander Wendt dalam artikelnya, yang kemudian menjadi dasar dari berkembangnya pendekatan konstruktivisme. Alexander Wendt, “Anarchy is What States Make of It: The Social Construction of Power Politics”, International Organization 46, no. 2 (1992), diakses pada 1 Mei 2013, http://www.jstor.org/stable/2706858. 123 Yucel Bozdaglioglu, “Constructivism and Identity Formation: An Interactive Approach,” Review of International Law and Politics 3, no. 11 (2007): 123, diakses 1 Juni 2013, http://www.usak.org.tr/dosyalar/dergi/3abv06hKYpVj1fK71jEi4AP2g6ctBc.pdf.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 82: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

68

sebatas rival. Sebagai rival, negara masih mungkin menghargai kedaulatan negara

lain dalam kultur ini. Kultur terakhir adalah kultur Kantian, di mana negara

memandang negara lain sebagai bagian dari ‘self’, sehingga pemikiran negara

akan berdasarkan terhadap kepentingan kelompok.124

Analisa yang diberikan oleh Alexander Wendt menjadikan pemikirannya

sering dikategorikan sebagai ‘systemic constructivism’. Alexander Wendt

memberikan penjelasan mengenai bagaimana identitas membentuk interaksi, dan

interaksi tersebut pada akhirnya akan membentuk identitas negara tersebut pula.

Wendt juga menjelaskan bahwa perbedaan jenis-jenis interaksi antara negara akan

menentukan bagaimana kultur sebuah sistem internasional, terutama terkait

dengan bagaimana cara negara menyikapi kondisi anarki dalam sistem

internasional.

4.1.2 National Identity

Konsep kedua yang akan digunakan di dalam menjelaskan kebijakan

identitas Presiden Ma Ying-jeou adalah konsep Identitas Nasional (National

Identity). Pemilihan terhadap konsep ini didasarkan pada kebutuhan untuk

menjelaskan arah-arah kebijakan identitas yang diambil oleh Presiden Ma.

Penjelasan mengenai konsep Identitas Nasional akan disadur dari tulisan

Ruth Wodak, Rudolf de Cicilia, Martin Reisigl, dan Karin Liebhart terkait

konstruksi diskursif identitas nasional, di mana Wodak et.al. mencoba

menganalisa pembentukan identitas nasional di Austria. 125

Definisi yang diberikan oleh Ruth Wodak et.al. terhadap konsep ‘identitas

nasional’ yaitu:

“If a nation is an imagined community and at the same time a mental construct,…, then this image (of a nation) is real to the extent that one is convinced of it, believes in it, and identifies with it emotionally. The question of how this imaginary community reaches the mind of those who are convinced of it is easy to answer: it is constructed and conveyed in discourse, predominantly in the narrative of national culture. National identity is this the product of discourse”.126

124 Ibid., 133 125 Ruth Wodak et al., The Discursive Consruction of National Identity, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2009), 22. 126 Ibid., 22.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 83: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

69

Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa identitas adalah bentukan

dari diskursus terkait dengan sebuah komunitas yang disebut ‘bangsa’, melalui

budaya budaya bangsa yang kemudian dinarasikan, dikonstruksi ke dalam setiap

individu yang menjadi anggota bangsa tersebut. Hall, di dalam tulisannya oleh

Wodak et.al., menuliskan bahwa identitas dikonstruksi oleh kultur sebuah bangsa

yang memberikan arti terhadap bangsa tersebut, arti yang dapat diidentifikasi oleh

individual di dalamnya, mencakup cerita-cerita bangsa, memori yang

menghubungkan masa lalu dan masa kini.127

Berangkat dari definisi di atas, Wodak et.al. kemudian juga menjelaskan

mengenai elemen yang ada di dalam identitas nasional. Menurut Wodak et.al.,

yang memodifikasi dari penjelasan yang diberikan oleh Leszek Kolakowski,

terdapat 5 elemen yang ada di dalam sebuah identitas nasional, yaitu national

spirit, historical memory, anticipation and future orientation, national body, dan

nameable beginning.

National Spirit

National spirit, atau volksgeist merupakan ekspresi dalam bentuk budaya hidup

dan tingkah laku kolektif yang khusus. National Spirit ini tidaklah sesuatu yang

bersifat material, namun justru metafisikal, sehingga hal ini tidak

direpresentasikan oleh sebuah kejadian historis, tetapi semangat tersebut tetap ada

di pemikiran masyarakat.

Historical Memory

Historical memory, menurut Kolakowski, adalah sesuatu yang amat penting

terhadap pembentukan sebuah identitas nasional. Kolakowski menyebutnya

sebagai “.., indispensable prerequisite for national identity;”. Bahkan,

Kolakowski menjelaskan bahwa kebenaran terhadap memori historis tersebut

tidak penting apakah sepenuhnya betul, atau hanya betul sebagian, atau bahkan

hanya sebuah legenda. Hal yang penting adalah memori historis tersebut harus

127 Ibid., 23.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 84: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

70

datang dari cerita yang telah terjadi sekian lama, sehingga hal tersebut dapat

membentuk sebuah identitas nasional yang lebih kuat.

Anticipation and Future Orientation

Seperti individu yang memiliki identitasnya masing-masing, sebuah bangsa yang

memiliki identitas nasional juga akan memiliki orientasi terhadap masa depannya.

Hal ini berkaitan dengan apa yang akan terjadi dengan mereka di masa depan,

kepentingan mereka di masa depan, bagaimana caranya agar mampu bertahan

hidup (survive), dan persiapan apa yang harus dilaksanakan untuk menjawab

pertanyaan-pertanyaan tersebut.

National Body

Wodak et.al. memodifikasi pengertian Kolakowski terhadap elemen ‘national

body’ di dalam identitas nasional, di mana Wodak et.al. mengartikan konsep

tersebut secara metaforis. Menurut Wodak et.al., diskusi terhadap national body

dan identitas berkaitan dengan pembicaraan terhadap teritori nasional, alam yang

dikandungnya, serta artifak-artifak fisik yang ada di dalamnya

Nameable Beginning

Sebuah nameable beginning juga merupakan kebutuhan yang harus ada untuk

membangkitkan dan membangun sebuah kesadaran nasional (national

consciousness). Bentuk-bentuk dari nameable beginning ini antara lain adalah

legenda yang spesifik membahas mengenai founding fathers atau founding events.

Nameable beginning kemudian akan digunakan untuk menjadi exordium

temporis, sebuah awal dari waktu yang bersejarah.

Kelima elemen ini akan digunakan oleh penulis untuk mengidentifikasi

kebijakan-kebijakan identitas yang dikeluarkan oleh Presiden Ma. Identifikasi

tersebut akan menunjukkan apakah Presiden Ma telah mencoba untuk membentuk

sebuah identitas nasional dengan memenuhi kelima elemen tersebut, atau tidak

memenuhi kesemuanya.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 85: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

71

4.2 Sejarah Kebijakan Identitas Taiwan

Bagian selanjutnya dari bab ini akan mencoba menggambarkan mengenai

dinamika identitas yang terjadi di Taiwan, terutama yang dipengaruhi oleh

kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah-pemerintah Taiwan sebelum

Ma Ying-jeou. Hal ini penting dilaksanakan untuk mengetahui pentingnya

pembentukan identitas di Taiwan, baik dalam keberlangsungan pemerintahan

Taiwan atau dalam dinamika hubungan Taiwan-Cina.

4.2.1 Era Identitas Nasionalis di bawah Kuomintang

Seiring dengan berakhirnya Perang Dunia II dan kekalahan Jepang dari

Pasukan Sekutu kala itu, pemerintahan di Taiwan juga berpindah. Penyerahan

kekuasaan dilaksanakan oleh Jepang kepada Pasukan Sekutu, dengan

penandatanganan Instrumen Penyerahan pada tanggal 15 Agustus 1945, dan

penyerahan formal pada tanggal 25 Oktober 1945.128 Penyerahan secara formal

dilaksanakan antara pemerintah Jepang dan Pasukan Sekutu yang diwakili oleh

Pasukan ROC di bawah Chiang Kai-shek, menunjukkan bahwa Pasukan Sekutu

menyerahkan tugas untuk memerintah wilayah Taiwan kepada Republik Cina.

Keberadaan Republik Cina di Taiwan pada awalnya disambut sebagai

pembawa harapan terhadap perbaikan situasi buruk yang selama ini dirasakan di

bawah Jepang. Namun, kondisi di Cina yang masih berada di bawah instabilitas,

terutama dengan makin meruncingnya persaingan antara Kuomintang dengan

PKC, membuat harapan tersebut tidak terjadi. Chiang Kai-shek menetapkan

Taiwan untuk berada di bawah pemerintahan darurat militer, dengan Jenderal

Chen Yi menjadi Gubernur dari Taiwan. Konflik antara KMT dan PKC disertai

oleh memburuknya ekonomi, dan juga adanya rasa tidak percaya antara

mainlander yang dibawa oleh ROC dengan penduduk asli Taiwan, menyebabkan

banyaknya protes-protes yang muncul. Hal ini bahkan berujung kepada

pembantaian terhadap penduduk asli Taiwan oleh tentara mainlander yang

128 “Taiwan History,” Taiwanese Cultural Society, diakses 14 Mei 2013, http://taiwanese.stanford.edu/taiwan-history.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 86: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

72

memakan korban jiwa 18.000-28.000 orang. Insiden ini kemudian dikenal sebagai

‘insiden 228’.129

Kondisi ini tidak berubah saat Taiwan menjadi tempat pelarian

Kuomintang yang mengalami kekalahan dari PKC dalam Perang Sipil pada tahun

1949.130 Datang sebagai seseorang yang baru saja mengalami kekalahan yang

menyakitkan, Chiang Kai-shek dihadapkan pada kenyataan bahwa kondisi di

Taiwan bukanlah kondisi yang ideal. Saat berada di bawah Jenderal Chen Yi,

Taiwan mengalami masa-masa kelam di bidang ekonomi, karena berbagai

kebijakannya sangat merugikan, terutama bagi masyarakat asli Taiwan.131 Kondisi

ini kemudian diperburuk dengan kedatangan Chiang Kai-shek yang membawa

kurang lebih dua juta pengungsi dari Cina Daratan, mempertajam tensi yang telah

muncul sebelumnya akibat penindasan yang dilaksanakan oleh Jenderal Chen Yi

sebelumnya. Kondisi tersebut memaksa Chiang Kai-shek memperbaiki kondisi

tersebut demi keberlangsungan KMT di Taiwan.

Chiang Kai-shek sendiri melaksanakan perbaikan-perbaikan di bidang

ekonomi yang dibutuhkan, salah satunya adalah perbaikan terhadap pengaturan

sistem pertanahan bagi pertanian di Taiwan. Land Reform yang dilaksanakannya,

dengan menyingkirkan tuan-tuan tanah yang sebelumnya mendominasi di Taiwan,

berhasil memperbaiki kondisi ekonomi terutama bagi kaum petani, di mana

reformasinya tersebut mampu meningkatkan produktivitas sebanyak 50% dan

pendapatan petani naik dua kali lipat pada tahun 1963.132

Kemajuan yang signifikan di bidang ekonomi, tidak diikuti di bidang

politik. Chiang Kai-shek yang masih memegang cita-cita akan kembalinya KMT 129 Lee Shiao-Feng, “The 228 Incident,” Taipei Times, terakhir dimodifikasi pada 28 Februari 2004, diakses 13 Mei 2013, http://www.taipeitimes.com/News/editorials/archives/2004/02/28/2003100472. 130 Manthorpe, Forbidden Nation, 194. 131 Pada masa kepemimpinannya, Jenderal Chen Yi mengimplementasikan kebijakan-kebijakan ekonomi yang merugikan masyarakat asli Taiwan, dan mengalirkan keuntungan tersebut kepada warga asli Cina daratan yang dibawanya ke Taiwan. Jenderal Chen banyak menjual aset-aset yang dimiliki oleh Taiwan, dan yang diwariskan ke Taiwan kepada Jepang, ke Cina Daratan, di mana ia mendapatkan keuntungan darinya. Jenderal Chen juga memberikan tugas manajemen beberapa industri penting yang dimiliki oleh Taiwan kepada kroninya, yang menyebabkan industri tersebut terus mengalami kerugian. Puncak kerusakan ekonomi yang dialami oleh Taiwan di bawah Jenderal Chen, harga makanan meningkat 21.000 poin dan pakaian sebanyak 25.000 poin dari November 1945 sampai Januari 1947, hasil pertanian menurun hingga setengah dari apa yang dihasilkan pada dekade 1930an, dan berdampak sosial, seperti meningkatnya masalah kesehatan seperti Malaria dan Kolera. 132 Ibid., 202.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 87: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

73

ke Cina Daratan untuk menggulingkan PKC di sana, menolak pelaksanaan

demokrasi di Taiwan. Hal ini harus dilaksanakan oleh Chiang Kai-shek, karena

dia harus konsisten dengan deklarasinya bahwa pemerintahannya merupakan

pemerintahan yang mewakili keseluruhan Cina, bukan Taiwan saja.

Otoritarianisme Chiang Kai-shek pun dilaksanakan dengan mengeliminasi lawan-

lawan politik, dari melarang berdirinya partai politik oposisi hingga melaksanakan

penculikan dan pembunuhan kepada individu-individu yang dianggapnya

mengancam KMT.133

Impian Chiang Kai-shek mengembalikan kejayaan KMT di Cina Daratan

dan membangun kekuatan sedikit demi sedikit mempersiapkan kekuatan untuk

suatu saat menyerang Cina Daratan, diimplementasikan melalui beberapa

kebijakan yang berusaha membentuk identitas masyarakat Taiwan agar merasa

menjadi bagian dari Cina. Kebijakan pembentukan identitas ini dilaksanakan

dengan beberapa cara. Pertama, Chiang Kai-shek mendorong pengimplementasian

‘Bahasa Nasional’, standarisasi bahasa yang dilaksanakan juga di Cina Daratan

ketika KMT masih berkuasa di sana dengan tujuan untuk mengatasi perbedaan

penggunaan dialek antara penduduk Taiwan yang terdiri dari berbagai suku.

Kebijakan bahasa ini juga didukung dengan dibredelnya koran-koran berbahasa

Jepang yang populer saat itu dan menggantinya dengan koran yang menggunakan

bahasa nasional. Kedua, Chiang Kai-shek juga menasionalisasi instrumen-

instrumen harian dari masyarakat Taiwan. Penghitungan tahun diubah dimulai

dengan menetapkan tahun 1912 sebagai ‘year one’. Nama-nama jalan pun diubah

dengan menggunakan nama-nama yang datang dari Cina Daratan. Peta yang

menunjukkan Republik Cina yang terdiri dari Cina Daratan, Taiwan, dan sebagian

Mongolia pun disebarluaskan. Ketiga, Chiang juga memberlakukan nasionalisasi

di sekolah, di mana siswa-siswa diharuskan untuk mengenal simbol-simbol

133 Tindakan opresif dengan menculik dan mengeksekusi lawan-lawan politiknya ini berjalan dalam rentang waktu 4 dekade, masa yang kemudian dikenal sebagai ‘Teror Putih’ (White Terror). Hal ini didukung dengan keberadaan masa Darurat Militer di Taiwan yang telah diterapkan sejak kepemimpinan Jenderal Chen. Teror Putih ini banyak dilaksanakan oleh satuan khusus di Taiwan yang dikenal sebagai Komando Garnisun, dengan Chiang Ching-kuo menjadi salah satu aktor penting di dalamnya. Korban dari Teror Putih selama 4 dekade terungkap mencapai 90.000 orang.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 88: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

74

nasional Cina. Penghormatan terhadap bendera, lagu nasional, dan foto Sun Yat-

sen (pendiri Republik Cina) dan Chiang Kai-shek di tiap ruang kelas.134

4.2.2 Post-Nationalist Identity Taiwan dan Demokratisasi

Kebijakan Chiang Kai-shek untuk menasionalisasi penduduk Taiwan

dengan identitas sebagai bagian dari Cina secara bangsa terus dilaksanakan oleh

Chiang Kai-shek sampai ia meninggal dan kemudian digantikan oleh anaknya,

Chiang Ching-kuo pada tahun 1975.

Chiang Ching-kuo pada masa-masa pemerintahannya menghadapi situasi

dan kondisi yang cukup berbeda dibandingkan pada masa pemerintahan ayahnya.

Pertama, Chiang Ching-kuo harus menghadapi kenyataan bahwa KMT semakin

tersudut dan teralienasi dari dunia internasional. Hal ini dimulai dengan

dikeluarkannya KMT sebagai representasi Cina di PBB pada 1971, dimulainya

Diplomasi Ping-Pong pada 1971 yang membuka jalan terhadap normalisasi

hubungan PKC dengan Amerika Serikan, dan puncaknya adalah ketika pada tahun

1979, Amerika Serikat benar-benar menormalisasi hubungannya dengan PKC

dengan mentransfer pengakuan terhadap Cina dari Kuomintang di Taipei kepada

Partai Komunis Cina di Beijing. 135 Kebijakan Amerika Serikat tersebut memicu

negara-negara lain untuk memutuskan hubungan dengan Taiwan serta mendorong

organisasi-organisasi internasional untuk menggantikan posisi KMT sebagai Cina

dengan PKC. Hal ini kemudian memaksa Chiang Ching-kuo untuk membuat

kebijakan luar negeri yang lebih fleksibel, di mana Taiwan tidak lagi memaksa

untuk hanya melaksanakan hubungan diplomatik dengan negara yang tidak

berhubungan dengan PKC.136 Taiwan membuka jalan diplomatik melalui kantor-

kantor budaya dan perdagangan, biarpun hubungan diplomatik secara penuh

mungkin tidak terjadi. Taiwan juga berusaha memasukkan dirinya pada organisasi

internasional, meskipun dengan adanya tekanan dari Cina sehingga Taiwan hanya

mampu memasuki organisasi atau event internasional dalam bidang budaya,

olahraga, atau ekonomi.137

134 Hughes, Taiwan and Chinese Nationalism, 29-30. 135 Manthorpe, Forbidden Nation, 208. 136 Hughes, Taiwan and Chinese Nationalism, 49. 137 Ibid., 49.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 89: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

75

Kondisi di dalam negeri pun mendorong berubahnya kebijakan identitas

tersebut. Hal yang paling utama adalah semakin tumbuhnya identitas Taiwanese

di dalam diri masyarakat Taiwan, dan juga di dalam Kuomintang. Pada dekade

1970an, anggota Kuomintang sudah terdiri dari 70% penduduk asli yang lahir di

Taiwan.138 Kebijakan identitas yang diambil sejak zaman Chiang Kai-shek pun

telah banyak mendapat tentangan, salah satunya yang paling terkenal dipelopori

oleh Pei Ming-min. Kebijakan identitas yang diambil oleh Chiang Kai-shek, yang

disertai oleh kebijakan-kebijakna represif terhadap lawan-lawan politiknya,

merupakan bentuk dari legitimizing identity di dalam tiga jenis identitas yang

dijelaskan oleh Manuel Castells. Tindakan dan kebijakan dari Chiang

menimbulkan tentangan seperti yang dilaksanakan oleh Pei Ming-min, yang

menghasilkan Taiwanese sebagai bentuk resistance identity.139 Faktor domestik

kedua adalah semakin besarnya tekanan dari masyarakat Taiwan untuk bisa

membuka hubungan dengan Cina Daratan. Chiang Ching-kuo pada akhirnya

membuka jalan tersebut, dengan memperbolehkan adanya jalur penerbangan dari

Taiwan ke Cina Daratan.140

Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Chiang Ching-kuo, diakibatkan

oleh timbulnya kondisi domestik dan internasional seperti yang telah disebutkan

di atas, menandai berubahnya keteguhan KMT terhadap prinsip One-China, dari

tadinya sangat teguh dipegang oleh Chiang Kai-shek, menjadi lebih fleksibel dan

pragmatis mengikuti kebutuhan Taiwan. Prinsip One-China ini semakin bergeser

ketika kemudian Chiang Ching-kuo digantikan oleh presiden selanjutnya,

presiden Taiwan pertama yang merupakan orang asli Taiwan, Lee Teng-hui. Lee

Teng-hui naik jabatan pada tahun 1988, dan pada masa jabatannya tersebut,

menurut Manthorpe, dimulai sebuah proses panjang ‘Taiwanisasi’, menggantikan

‘Nasionalisasi Cina’ yang dibawa oleh pemerintahan sebelumnya.141

Kebijakan-kebijakan Lee Teng-hui yang berdampak sangat besar terhadap

proses Taiwanisasi tersebut terdapat di sisi politik. Kebebasan politik yang masih

ditutup rapat-rapat oleh Chiang Kai-shek dan Chiang Ching-kuo (biarpun di akhir

138 Ibid., 51. 139 Castells, The Power of Identity, 7. 140 Hughes, Taiwan and Chinese Nationalism, 50. 141 Manthorpe, Forbidden Nation, 220.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 90: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

76

kepemimpinannya, Chiang Ching-kuo mulai melonggarkan kekangan terhadap

oposisi dengan membiarkan berdirinya DPP), oleh Lee Teng-hui dibuka melalui

reformasi-reformasi yang dilaksanakannya. Lee Teng-hui melaksanakan

simplifikasi terhadap sistem politik Taiwan, yang dibawa oleh Chiang Kai-shek

mengikuti contoh dari Dinasti Qing, di mana sistem politik tersebut masih

menganggap Taiwan sebagai bagian dari Cina, dan sistem politiknya dengan

demikian harus merepresentasi seluruh Cina. Gebrakan lainnya yang dilaksanakan

oleh Lee Teng-hui adalah mengadakan pemilihan umum untuk posisi sentral,

yaitu terhadap Parlemen Taiwan (Legislative Yuan), dan bahkan pemilihan

presiden. Selain di bidang politik, Taiwanisasi yang dibuat oleh Lee Teng-hui

juga menyentuh sisi kehidupan sehari-hari masyarakat, dengan bidang seni, media

dan sekolah yang mulai menggunakan Minnan, dialek lokal Taiwan, mulai

menggantikan Mandarin yang dipaksakan oleh pemerintah sebelumnya.142

Proses Taiwanisasi tersebut menjadi semakin jelas di bawah

kepemimpinan Chen Shui-bian. Chen Shui-bian merupakan presiden pertama di

Taiwan yang tidak berasal dari Kuomintang, setelah partainya DPP mengalahkan

Kuomintang pada pemilihan umum tahun 2000.143 DPP merupakan partai yang

memang mengedepankan ideologi yang mendukung Taiwanisasi, dengan

tujuannya saat dibentuk yang menuntut merdekanya Taiwan dari Cina. Biarpun

tujuan ini semakin lama semakin dibuat lebih fleksibel (dengan alasan utama

untuk mencegah adanya serangan dari Cina Daratan oleh PKC ke Taiwan),

naiknya Chen Shui-bian tetap menaikkan ketegangan antara Cina dan Taiwan,

karena kebijakan-kebijakannya yang semakin lama semakin memberikan tanda-

tanda mengarahkan Taiwan ke arah independensi.144

Proses Taiwanisasi sendiri mendapatkan dukungan penuh dari Presiden

Chen Shui-bian. Kebijakan budaya Taiwan di bawah DPP digambarkan oleh

Chang Bi-yu di dalam Amae, Yoshihisa, dan Damm, sebagai kebijakan yang

menekankan pada “nilai ekonomis sebuah industri budaya, teorisasi dari 142 Ibid., hal. 220-221 143 Gang Lin, “KMT Split Handed Chen Presidential Victory,” Canada Institute, terakhir dimodifikasi pada 1 April 2000, diakses 16 Mei 2013, www.wilsoncenter.org/article/kmt-split-handed-chen-the-presidential-victory. 144 Joseph Kahn dan Keith Bradsher, “Beijing Accuses Taiwan Leader of ‘Grave Provocation’,” The New York Times, terakhir dimodifikasi pada 1 Maret 2006, diakses 26 Juni 2013, http://www.nytimes.com/2006/03/01/international/asia/01taiwan.html?_r=0.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 91: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

77

subjektivitas Taiwan, dan penjualan Taiwan sebagai sebuah produk kultur”.145 Hal

penting yang digambarkan oleh kebijakan ini adalah fokusnya terhadap Taiwan,

di mana Cina hampir tidak memiliki peran yang penting sama sekali. Hal ini

kemudian dimaterialisasikan di bidang pendidikan dengan pendalaman kepada

literatur-literatur asli Taiwan, dan munculnya disiplin baru yang dikenal sebagai

“Taiwan Studies”.146

4.3 Pembentukan Identitas Taiwan di Bawah Presiden Ma Ying-jeou dari

Perspektif Systemic Constructivism

Penjelasan di atas telah menunjukkan bagaimana pembentukan identitas di

Taiwan terjadi di bawah pemerintahan-pemerintahan sebelum Ma Ying-jeou.

Dapat disimpulkan bahwa dengan berbagai kebijakan yang dilaksanakan oleh dua

presiden sebelum Ma Ying-jeou, identitas yang terbentuk mengarahkan Taiwan

dan Cina kepada hubungan yang bersifat konfliktual. Melalui program

Taiwanisasi yang masif terhadap penduduk Taiwan, konstruksi identitas nasional

membuat Cina dan Taiwan semakin terpisah menjadi dua entitas yang berbeda.

Hal yang juga penting adalah kebijakan politik dan ekonomi yang

diberikan oleh Lee Teng-hui dan Chen Shui-bian menjadikan hubungan antara

Taiwan dan Cina semakin memanas. Seperti yang telah dijelaskan di atas, Lee

Teng-hui mengeluarkan pernyataan yang kontroversial dengan menyebut

hubungan Taiwan dan Cina sebagai ‘special state-to-state relationship’. Presiden

Chen Shui-bian bertindak lebih jauh lagi dengan mencoba untuk melaksanakan

referendum terkait dengan hubungan antar-selat Taiwan dan aplikasi Taiwan

memasuki PBB. Hal ini tentu direspons secara negatif oleh Cina. Duta Besar Cina

untuk PBB, misalnya, mengutuk hal ini dengan menyebutnya sebagai sebuah

tindakan yang nyata Taiwan untuk mengejar kemerdekaan.147 Interaksi yang

terjadi antara Cina dan Taiwan pada masa kepemimpinan Presiden Lee dan

145 Yoshihisa Amae dan Jens Damm, “”Whither Taiwanization?” State, Society, and Cultural Production in the New Era,” Journal of Current Chinese Affairs 40, no. 1 (2011): 7, diakses 21 Desember 2012, http://hup.sub.uni-hamburg.de/giga/jcca/article/view/402/400. 146 Ibid., 7 147 Taipei Times, “Taiwan’s UN Bid Doomed to Fail,” terakhir dimodifikasi pada 14 Agustus 2005, diakses 20 Mei 2013, http://www.taipeitimes.com/News/taiwan/archives/2005/08/14/2003267683.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 92: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

78

Presiden Chen dapat dikategorikan sebagai konfliktual dan menyebabkan kedua

negara memandang identitas satu dengan lainnya sebagai musuh.

Menjelang akhir masa kepemimpinan Presiden Chen Shui-bian,

Kuomintang sebagai partai oposisi melihat bahwa hubungan yang bersifat

konfliktual antara Taiwan dan Cina tidak baik jika terus dipertahankan. Untuk

memperbaiki kondisi tersebut, pada tahun 2005 Ketua KMT saat itu, Lien Chan,

mengunjungi Cina dengan tujuan untuk membuka dialog dan memperbaiki

hubungan antara Beijing dan Taipei. Dengan inisiatif yang diberikan oleh KMT

tersebut, Beijing sebaliknya memberikan respons yang positif. Hal in ditunjukkan

ketika Lien Chan disambut secara langsung oleh Presiden Hu Jintao, yang

menyambut Lien Chan layaknya seorang ‘saudara yang telah lama hilang’. Lien

sendiri pada kesempatan yang sama menggambarkan bahwa hubungan antara

Cina dan Taiwan merupakan hubungan yang bersifat ‘win-win’ dan seharusnya

diperjuangkan oleh kedua pihak.148

Lien Chan bukanlah kandidat yang kemudian akan maju dari KMT pada

pemilihan 2008, karena Lien Chan tidak lama setelah mengunjungi Cina

digantikan oleh Ma Ying-jeou yang terpilih sebagai ketua KMT selanjutnya.

Presiden Ma kemudian melanjutkan momentum yang telah dibangun oleh Lien

Chan untuk memperbaiki hubungan antara Cina dan Taiwan. Pada masa

kampanyenya untuk menjadi presiden pada tahun 2008, Ma Ying-jeou

menjelaskan bahwa dia akan berusaha untuk memperbaiki interaksi antara Cina

dengan Taiwan. Presiden Ma juga menjanjikan bahwa dirinya akan mengadopsi

kembali konsensus 1992 yang merupakan prasyarat yang diberikan oleh Beijing

untuk membuka kembali kerjasama antara Cina dengan Taiwan.149

Kampanye yang diberikan oleh Ma Ying-jeou untuk memperbaiki

hubungan antara Cina dengan Taiwan mendapatkan respons yang baik dari

Beijing. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, setelah Ma terpilih

menjadi presiden, Beijing dan Taiwan membuka kembali pertemuan secara

148 People’s Daily, “Chinese Mainland Residents Greet KMT Leader’s Visit with Open Arm,” terakhir dimodifikasi pada 26 April 2005, diakses 24 Mei 2013, http://english.peopledaily.com.cn/200504/26/eng20050426_182817.html. 149 Fu-Kuo Liu, “The Dynamics of Cross-Strait Relations: Heading for Peace or Unknown Ground?,” Brookings Institution, terakhir dimodifikasi pada 19 Juli 2011, diakses 1 Juni 2013, http://www.brookings.edu/research/articles/2011/07/19-cross-strait-relations-liu.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 93: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

79

institusional antara kedua negara melalui pertemuan antara SEF dan ARATS.

Inisiatif yang diberikan oleh Presiden Ma Ying-jeou di bidang ekonomi juga

mendapatkan respons yang positif, dengan ditandatanganinya ECFA dan berbagai

kerjasama ekonomi yang meneruskan kerangka yang dilahirkan oleh ECFA.

4.4 Kebijakan Identitas Taiwan di Bawah Presiden Ma Ying-jeou

Bagian selanjutnya dari bab ini akan menggambarkan mengenai kebijakan

identitas selama masa kepemimpinannya yang pertama sebagai presiden Taiwan.

Bagian ini akan mencoba melihat kebijakan identitas tersebut ditilik dari lima

elemen identitas nasional yang diberikan oleh Wodak et.al.

Setelah berhasil menduduki kursi sebagai presiden Taiwan, Presiden Ma

Ying-jeou dihadapkan oleh beberapa kondisi yang sulit. Ekonomi Taiwan

memburuk akibat kebijakan Presiden Chen Shui-bian yang menghentikan

kerjasama dengan Cina. Ketegangan juga cukup tinggi karena Presiden Chen

dengan beberapa retorikanya yang pro kemerdekaan Taiwan, menyebabkan Cina

semakin gencar memberikan ancaman untuk menyerang Taiwan.150 Presiden Ma

Ying-jeou juga dihadapkan pada masyarakat Taiwan yang telah dikenai kebijakan

Taiwanisasi selama lebih dari dua dekade pada masa kepemimpinan Lee Teng-hui

dan Chen Shui-bian sehingga menyebabkan orang-orang yang mengidentifikasi

sebagai chinese menjadi semakin sedikit, sementara orang yang mengidentifikasi

dirinya sebagai taiwanese terus bertambah. Pada tahun 1993, orang-orang yang

mengidentifikasi dirinya sebagai chinese masih berjumlah 30%, sementara pada

tahun 2008 angka tersebut telah jauh berkurang menjadi kurang dari 5% saja.151

Kondisi tersebut menjadi tantangan bagi Presiden Ma untuk menyusun

kebijakan identitas. Di satu pihak, sebagai kandidat dari Partai KMT tentu

Presiden Ma memiliki ideologi pro-unifikasi dan melihat Taiwan sebagai bagian

dari ‘One China’, sementara di lain pihak kenyataan bahwa masyarakat telah

banyak yang memiliki identitas Taiwan membuatnya tidak bisa secara ekstrim

150 Edward Cody, “China Sends Warning to Taiwan with Anti-Secession Law,” The Washington Post, terakhir dimodifikasi pada 8 Maret 2005, diakses 3 Juni 2013, http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/articles/A15294-2005Mar7.html. 151 Election Study Center, N.C.C.U., “Important Political Attitude Trend Distribution,” grafik, http://esc.nccu.edu.tw/english/modules/tinyd2/index.php?id=6.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 94: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

80

meninggalkan kenyataan tersebut. Kenyataan ini mendorong Presiden Ma pada

masa kampanye untuk tidak begitu menampilkan retorika pro-nasionalisme Cina,

dan sebaliknya, justru banyak memberikan kebijakan yang terlihat seperti

mendukung taiwanisasi yang terus berjalan. Seperti yang digambarkan oleh

Muyard di dalam Lutgard dan Liao, retorika Presiden Ma,

“… launched a campaign centered on his own Taiwanese identity, the defense of Taiwan’s sovereignty as the Republic of China, and his commitment that Taiwan’s future must be decided only by the 23 million Taiwanese.”152

Retorika Ma yang mengikuti arus Taiwanisasi pada masa kampanye tidak

berlanjut ketika Presiden Ma kemudian berhasil menjadi presiden pada tahun

2008. Sesuai dengan ideologi yang diusung partainya, Presiden Ma menjadi lebih

frontal dalam menunjukkan kebijakan-kebijakan identitas yang mengedepankan

unsur kebudayaan Cina di dalamnya. Sebuah penelitian terhadap diskursus

Presiden Ma Ying-jeou pada masa kepemimpinannya yang pertama menunjukkan

bagaimana kebudayaan Cina ditekankan jauh lebih banyak oleh Presiden Ma

Ying-jeou dibandingkan identitas Taiwan.

152 Lams Lutgard dan Xavier Li-Wen Liao, “Tracing “Taiwanization” Processes in Taiwanese Presidential Statements in Times of Cross-Strait Rapprochement,” Journal of Current Chinese Affairs 40, no. 1 (2011): 82, diakses 21 Desember 2012, http://hup.sub.uni-hamburg.de/giga/jcca/article/view/404/402.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 95: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

81

Grafik 4.4.1 Grafik Probabilitas Penyebutan Kategori dalam Pidato153 Sumber: Jonathan Sullivan dan Eliyahu V. Sapir, “Ma Ying-jeou’s Presidential

Discourse,” Journal of Current Chinese Affairs 41, no. 3 (2012): 52, diakses 24 Mei 2013, http://hup.sub.uni-hamburg.de/giga/jcca/article/view/533/531.

Grafik di atas merupakan grafik yang dibuat oleh Jonathan Sullivan dan

Eliyahu Sapir yang menunjukkan fokus dari diskursus Presiden Ma Ying-jeou

dalam masa kepemimpinannya yang pertama dari tahun 2008 hingga tahun 2011.

Metode yang digunakan oleh Sullivan dan Sapir adalah menghitung jumlah

Presiden Ma menyebutkan kata-kata yang masuk sebagai kata kunci dalam

kategori tertentu. Contohnya adalah chinese culture, chinese nation, 1992

consensus, Confucius untuk kategori Chinese identity; new Taiwanese, Taiwan

First, love taiwan, the Taiwan Spirit, dalam kategori Taiwanese Identity, dan

seterusnya.154

Dari grafik di atas, kita dapat melihat bagaimana di dalam pidato-pidato

yang diberikan oleh Presiden Ma Ying-jeou, Presiden Ma seiring berjalannya

waktu semakin menekankan terhadap chinese identity dibandingkan taiwanese

identity. Jumlah tersebut dari tadinya perbedaan penekanannya hanya sekitar 10%

153 Sullivan dan Sapir, “Ma Ying-jeou’s Presidential Discourse”, 52. 154 Ibid., 47.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 96: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

82

pada bulan Mei tahun 2008, hingga mencapai lebih dari 30% pada bulan Mei

tahun 2011. Hal yang tak dapat dipungkiri adalah fokus terhadap identitas ini

memang tidak menempati fokus pertama karena fokus paling pertama bagi

Presiden Ma adalah masalah ekonomi, tetapi jika dibandingkan secara head to

head antara kebudayaan Cina dan kebudayaan Taiwan maka jelas bahwa Presiden

Ma Ying-jeou lebih menekankan pada unsur kebudayaan Cina.

4.4.1 5 Elemen Kebijakan Nasional dalam Kebijakan Identitas Ma Ying-jeou

Kita telah melihat bagaimana kebijakan identitas Presiden Ma Ying-jeou

mengalami pergeseran dari awalnya pragmatis dalam menghadapi kampanye

dengan memasukkan unsur-unsur taiwanese identity dalam kampanyenya, hingga

kemudian terus menekankan terhadap chinese identity selama masa

kepresidenannya. Bagian ini kemudian akan membahas secara lebih mendalam

mengenai kebijakan-kebijakannya sesuai dengan 5 elemen identitas nasional yang

telah dijelaskan pada bab pertama, yaitu national spirit, historical memory,

future anticipation, national body, dan nameable beginning.

National Spirit

Terkait dengan unsur national spirit, Presiden Ma Ying-jeou memberikan

beberapa pidato yang menyinggung semangat nasional yang dimiliki oleh Taiwan.

Salah satu contoh penting di mana Presiden Ma Ying-jeou menjelaskan mengenai

national spirit tersebut dapat dilihat ketika Presiden Ma Ying-jeou memberikan

pidato pengukuhannya ketika baru terpilih sebagai Presiden Taiwan pada tahun

2008. Di depan rakyat yang melihatnya sekaligus mata internasional yang ikut

menyaksikan saat itu, Presiden Ma menjelaskan mengenai apa yang disebutnya

sebagai ‘Taiwan Spirit’,

“What impressed me most was that the traditional core values of benevolence, righteousness, diligence, honesty, generosity, and industriousness could be seen everywhere in the words and deeds of the

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 97: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

83

Taiwanese people. These values have long been ingrained in their character, … also lauded as the “Taiwan Spirit”.155

Dari pidato di atas, kita dapat melihat beberapa karakter utama seorang

rakyat ‘Taiwan’, yang menurut Presiden Ma harus diwarnai oleh kebaikan, kerja

keras, kejujuran, dan tenggang rasa. Biarpun menggunakan retorika sebagai

‘Taiwan Spirit’, hal ini menurut Lams dan Liao merupakan cara Presiden Ma

untuk menghubungkan nilai-nilai tersebut dengan nilai-nilai tradisional

kebudayaan Cina yang berakar dari ajaran Konfusius. 156 Seperti yang telah

disebutkan di atas, Presiden Ma dapat dikatakan menjadi lebih berani dalam

menunjukkan penekanannya terhadap chinese identity seiring dengan berjalannya

masa kepresidenannya. Hal ini menurut penulis tergambarkan dari perbedaan dari

potongan pidato di atas pada tahun 2008, dengan pidatonya pada tahun 2011.

Pada perayaan 100 tahun berdirinya Republik Cina, Presiden Ma menyinggung

semangat nasional,

“ … We must remain true to the idealistic spirit of the nation’s founding fathers. We cannot allow ourselves to be daunted by adversity… We must have the courage to strike out in bold and pioneering new directions, so that our nation can become ‘the gold standard’ among ethnic Chinese societies.”157

Dari pidato yang diberikan di atas, kita dapat melihat dua hal penting.

Pertama, Presiden Ma memberikan referensi terhadap semangat nasional yang

diwariskan dari semangat para pendiri Republik Cina, di mana pendiri Republik

Cina tersebut merupakan tokoh-tokoh seperti Dr. Sun Yat-sen dengan retorika

pro-nasionalisme yang sangat kental. Kedua, kita juga dapat melihat bagaimana

semangat Taiwan tersebut sangat berkaitan dengan posisi Taiwan sebagai bagian

dari sebuah komunitas besar masyarakat Cina dunia, di mana Taiwan diharapkan

menjadi contoh bagi komunitas lain. Contoh di atas menunjukkan bagaimana

155 “Taiwan’s Renaissance: President Ma Ying-jeou Inaugural Address,” Office of the President Republic of China (Taiwan), diakses 27 Mei 2013, http://english.president.gov.tw/Portals/4/images/PresidentOffice/AboutPresident/pdf/section1.pdf. 156 Lams dan Liao, “Tracing “Taiwanization” Process,” 23. 157 “A Century of Struggle, a Democratic Taiwan,” Taiwan Embassy in Canada, diakses 27 Mei 2013, http://www.taiwanembassy.org/CA/ct.asp?xItem=225082&ctNode=150&mp=77.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 98: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

84

bentuk narasi dari Presiden Ma membentuk diskursus terhadap ‘Taiwan spirit’

yang berkaitan dengan chinese identity secara keseluruhan.

Historical Memory

Seperti yang telah disebutkan oleh Wodak et. al., di atas, salah satu unsur

penting untuk menciptakan identitas nasional adalah dengan memunculkan

diskursus mengenai memori memori yang berkaitan dengan sejarah bangsa

tersebut. Presiden Ma Ying-jeou banyak menjelaskan cerita-cerita yang berkaitan

dengan sejarah Taiwan dalam membentuk identitas Taiwan. Pada pidato yang

diberikannya ketika ia menjadi presiden, Presiden Ma menyebutkan sejarah

Republik Cina,

“The Republic of China was reborn on Taiwan… This Democratic Republic, the very first in Asia, spent a short 38 years on the Chinese mainland, but has spent nearly 60 years in Taiwan. During these last six decades, the destinies of the Republic of China and Taiwan have been closely intertwined”158

Kita dapat melihat dari pidato di atas bagaimana Presiden Ma Ying-jeou

menggambarkan Taiwan sebagai sebuah ‘bagian’ dari sejarah panjang Republik

Cina. Fokus juga diberikan oleh Presiden Ma dalam menunjukkan bagaimana

Taiwan dan Cina memiliki takdir yang berkaitan satu dengan lainnya. Mengikuti

apa yang disebutkan oleh Wodak, et.al., salah satu faktor yang akan menyebabkan

semakin kuatnya identitas nasional tersebut adalah ketika identitas tersebut

terbangun atas memori historis dari waktu yang amat lama, tidak peduli betul atau

tidaknya memori tersebut. Presiden Ma pun menarik sejarah historis Taiwan dan

mendekatkannya dengan budaya Cina secara umum, ketika Presiden Ma pada

tahun 2012 memimpin upacara untuk menghormati Kaisar Kuning. Kaisar Kuning

dipercaya adalah pemimpin yang pertama kali menemukan Cina lebih dari 5000

tahun yang lalu, dan dianggap sebagai leluhur dari seluruh kaum Cina. Keputusan

Presiden Ma untuk mendatangi langsung dan memimpin upacara tersebut

158 “Taiwan’s Renaissance: President Ma Ying-jeou Inaugural Address”, Office of the President Republic of China (Taiwan), diakses 27 Mei 2013, http://english.president.gov.tw/Portals/4/images/PresidentOffice/AboutPresident/pdf/section1.pdf.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 99: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

85

mengundang kontroversi dan kritik dari beberapa kalangan, terutama oposisi saat

itu, namun Presiden Ma, melalui pernyataan di situs resmi pemerintahan Taiwan,

menyatakan bahwa Kaisar Kuning merupakan leluhur Cina dan menghormati

leluhur merupakan salah satu kebudayaan Cina dan juga Taiwan.159

Anticipation and Future Orientation

Terkait mengenai masa depan dari Taiwan dan antisipasi yang diberikan

olehnya, penulis melihat bagaimana Presiden Ma Ying-jeou memberikan

gambaran mengenai apa yang menurutnya seharusnya harus ditempuh oleh

Taiwan jika ingin terus bertahan dari permasalahan-permasalahan yang

dihadapinya. Di dalam pidato pengangkatannya yang diberikan pada tahun 2008,

Presiden Ma memberikan beberapa petunjuk penting mengenai kebijakannya

tersebut,

“The new administration’s most urgent task is to lead Taiwan through the daunting challenges from globalization. The world economy is changing profoundly, and newly emerging countries are rising rapidly. We must upgrade Taiwan’s international competitiveness and recover lost opportunities… Islands like Taiwan flourish in an open economy and wither in a closed one…”160

Dari penggalan di atas, terlihat bagaimana Presiden Ma menunjukkan

tantangan yang dihadapi oleh Taiwan di masa depan. Masalah globalisasi, dengan

perdagangan bebas yang menghadapkan Taiwan dengan persaingan global yang

ketat antar negara-negara di dunia, menjadikan Taiwan harus memiliki semangat

berkompetisi yang kuat. Presiden Ma kemudian menunjukkan bahwa hal tersebut

harus direalisasikan dengan ekonomi yang sifatnya terbuka dan mendukung

perdagangan bebas. Hal-hal tersebut juga menjadi serangan bagi masa

kepemimpinan presiden Taiwan sebelumnya, Chen Shui-bian, terutama ketika

Presiden Ma jelas-jelas menunjukkan intensinya untuk membangun rekonsiliasi

159 Fan Cheng-hsian dan Su Yung-yao, “President Exalts Yellow Emperor,” Taipei Times, terakhir dimodifikasi pada 4 April 2012, diakses 27 Mei 2013, http://www.taipeitimes.com/News/front/archives/2012/04/04/2003529457. 160 A Century of Struggle, a Democratic Taiwan”, Taiwan Embassy in Canada, diakses 27 Mei 2013, http://www.taiwanembassy.org/CA/ct.asp?xItem=225082&ctNode=150&mp=77.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 100: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

86

dan mencari cara agar solusi dapat ditemukan antara kedua pihak di Selat Taiwan,

melalui cara perdamaian dan tanpa kekerasan.161

National Body

National body, seperti yang digambarkan oleh Wodak et.al., adalah

diskursus yang dibuat untuk menunjukkan mengenai bagian dari teritori negara,

sumber daya alam yang ada di dalamnya, dan artifak-artifak yang dikandung

olehnya. Seperti yang telah dijelaskan pada subbab terdahulu mengenai sejarah

kebijakan identitas terhadap Taiwan, klaim mengenai Taiwan dan entitas serta

teritori apa yang diwakilinya telah menjadi permasalahan yang amat pelik.

Taiwan di bawah masa-masa awal kepemimpinan KMT menekankan bahwa

Taiwan merupakan pemerintahan yang sah mewakili tidak hanya wilayah Taiwan,

tetapi keseluruhan wilayah Cina termasuk Hongkong dan Makau. Hal ini

kemudian direpresentasikan dengan struktur pemerintahan yang memberikan

privilege kepada orang-orang yang berasal dari Cina daratan.

Dengan naiknya Lee Teng-hui yang merupakan anak yang asli lahir dan

besar di Taiwan, Taiwan kemudian melaksanakan reformasi dan demokratisasi.

Biarpun tidak secara eksplisit menghilangkan klaim Taiwan kepada seluruh Cina

daratan, tetapi Lee Teng-hui menjadi awalan terhadap gerakan yang selanjutnya.

Gerakan tersebut berada di bawah pemerintahan Chen Shui-bian, yang hampir

tidak menekankan terhadap unsur Cina di dalam retorika-retorikanya, sehingga

penjelasan mengenai masalah klaim teritori terhadap Cina tidak banyak diberikan.

Menghadapi kondisi tersebut, Presiden Ma kemudian membuat diskursus

mengenai nasib masa depan wilayah teritori Taiwan dan sumber daya di

dalamnya. Menurut Lams dan Liao, penggalan pidato Presiden Ma pada tahun

2008 ketika baru dilantik pada tahun 2008, seperti yang telah dikutip di atas

tentang lahirnya kembali Taiwan,162 menunjukkan perubahan mengenai klaim

yang diberikan oleh Presiden Ma dengan apa yang mungkin diharapkan oleh

partai KMT. Presiden Ma pada pidatonya tersebut menunjukkan bagaimana

161 Ibid. 162 Ibid.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 101: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

87

Republik Cina saat ini memang secara legal institusinya telah berpindah dari Cina

daratan ke Kepulauan Taiwan.163

Nameable Beginning

Terkait dengan nameable beginning, penulis sekali lagi akan melihat dari

pidato Presiden Ma yang diberikan pada saat pelantikannya. Penulis melihat

bahwa sekali lagi Presiden Ma menunjukkan bahwa ia menghitung awal

permulaan terhadap Taiwan dari ketika Republik Cina terbentuk di Cina daratan

pada tahun 1912, bukan ketika pemerintahan KMT yang kalah perang sipil dari

PKC mengungsi ke Taiwan pada tahun 1949. Hal ini menunjukkan bahwa

Presiden Ma masih berpegang terhadap hal tersebut sebagai nameable beginning

dari Taiwan, sesuatu yang telah dibentuk oleh KMT sejak Chiang Kai-shek

membuat keputusan Year Zero yang mengikuti tahun berdirinya Republik Cina.164

Diskursus yang sama juga diberikan oleh Presiden Ma ketika ia

memberikan pidato pada perayaan seabad berdirinya Republik Cina. Pada

pidatonya tersebut, Presiden Ma memberikan sebuah bagian khusus di mana ia

menjelaskan revolusi Xinhai yang menjadi awal mula berdirinya Republik Cina.

Ia menjelaskan mengenai Dr. Sun Yat-sen dengan pemikirannya mengenai

Republik Cina yang ideal, tentang pahlawan-pahlawan revolusi di Cina saat itu

yang datang dari berbagai provinsi, dan tentang arti dari lahirnya Revolusi

tersebut.165

4.5 Dampak Kebijakan Identitas Presiden Ma Ying-jeou

Setelah melihat diskursus yang diberikan oleh Presiden Ma Ying-jeou

terkait dengan identitas, dapat terlihat bagaimana Presiden Ma Ying-jeou secara

umum menunjukkan sikapnya yang pro terhadap Chinese identity. Pada subbab

terakhir di bab ini, kita akan melihat dampak dari retorika tersebut, baik di dalam

negeri maupun dalam hubungan antara Taiwan dan Cina.

163 Lams dan Liao, “Tracing “Taiwanization” Process,” 84. 164 Hughes, Taiwan and Chinese Nationalism, 29-30. 165 A Century of Struggle, a Democratic Taiwan”, Taiwan Embassy in Canada, diakses 27 Mei 2013, http://www.taiwanembassy.org/CA/ct.asp?xItem=225082&ctNode=150&mp=77.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 102: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

88

4.5.1 Kebijakan Identitas Presiden Ma dan Pembentukan Identitas di

Taiwan

Grafik 4.3.1.1 Identifikasi Identitas Masyarakat Taiwan 1992-2012 Sumber: Election Study Center NCCU, “Important Political Attitude Trend Distribution,” grafik,

http://esc.nccu.edu.tw/english/modules/tinyd2/index.php?id=6.

Seperti yang telah kita ketahui sebelumnya, kebijakan identitas di Taiwan

bersifat dinamis mengikuti berubahnya kepemimpinan dan ideologi apa yang

dibawa oleh pemimpin tersebut. Taiwanisasi yang terjadi kurang lebih dua dekade

membawa Taiwan pada kondisi di mana masyarakatnya semakin meninggalkan

identitas sebagai orang Cina, dan semakin banyak orang yang mengidentifikasi

sebagai orang Taiwan.

Setelah melihat bagaimana retorika-retorika yang pro-kebudayaan Cina

seperti di atas, maka seharusnya kebijakan tersebut membuahkan hasil sehingga

ada perbaikan terhadap dinamika identitas di masyarakat Taiwan. Hanya saja,

hasil yang terjadi justru sebaliknya,

Dari grafik di atas, kita dapat melihat bagaimana tidak ada perubahan yang

signifikan terhadap identifikasi masyarakat Taiwan sebagai orang Taiwan, orang

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 103: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

89

Cina, ataupun orang yang merasa sebagai Cina dan Taiwan. Justru yang terjadi

adalah kenaikan tingkat orang-orang yang merasa sebagai orang Taiwan. Hal ini

tentu tidak sesuai dengan kebijakan identitas yang diberikan oleh Presiden Ma.

Terdapat dua hal yang menjadi masalah mengapa kebijakan retorika yang

diambil Ma tidak menimbulkan efek yang masif. Pertama, hal ini terjadi karena

Presiden Ma memang tidak memiliki keinginan untuk menekankan garis batas

pemisah antar etnisitas, seperti yang dilaksanakan dengan sangat dalam oleh

mantan presiden Chen Shui-bian. Kebijakan Identitas Presiden Ma meskipun

menekankan kebijakan identitas pro-Cina lebih besar daripada Pro-Taiwan, tetapi

kesemuanya merupakan prioritas kedua dibandingkan kebijakan ekonomi Taiwan.

Melihat figur yang telah diberikan pada subbab di atas, kita dapat mengetahui

bahwa figur terhadap penyebutan ekonomi banyak mendapat tempat utama,

mengalahkan kebijakan identitas dan masalah lainnya seperti unifikasi vs

independensi.166

Lebih lanjut lagi, penulis melihat bahwa retorika-retorika yang

disampaikan oleh Presiden Ma Ying-jeou, biarpun menyebut dan menerangkan

mengenai kebudayaan dan sejarah Cina, tetapi tidak juga meninggalkan begitu

saja kebudayaan dan identitas Taiwan. Apa yang telah dibangun selama 20 tahun

sebelumnya tentu meninggalkan impresi di masyarakat Taiwan, sehingga apabila

pemerintah bersifat terlalu ekstrim dengan programnya yang mendukung

kebudayaan Cina, hal ini tentu akan mendorong munculnya resistensi yang besar

di masyarakat. Situasi ini terlihat pada awal-awal pemerintahan Ma Ying-jeou,

ketika situs resmi kepresidenan Taiwan merubah disainnya dan menghilangkan

unsur Taiwan di dalamnya dengan menghapus kata-kata Taiwan dan

menghilangkan gambar kepulauan Taiwan dari situs tersebut. Hanya saja, hal

tersebut mengundang amarah dari masyarakat, ditunjukkan dengan menurunnya

popularitas dari KMT, dan hal ini kemudian mendorong agar unsur-unsur yang

hilang tersebut agar muncul kembali di situs kepresidenan Taiwan.167

Presiden Ma sendiri menamakan kebijakan identitasnya sebagai kebijakan

dengan visi sebagai “New Taiwanese”, di mana Presiden Ma ingin

menggabungkan kebudayaan yang berasal dari Cina dan memberinya ‘sentuhan’ 166 Sullivan dan Sapir, “Ma Ying-jeou’s Presidential Discourse,” 54. 167 Lams dan Liao, “Tracing “Taiwanization” Process,” 83.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 104: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

90

asli Taiwan. Hal ini menjadi bukti bahwa Presiden Ma sendiri tidak dapat lepas

dari identitas Taiwan yang saat itu memang masih kuat dimiliki oleh masyarakat

Taiwan. Jika dibandingkan oleh kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden Chen,

Presiden Chen pada masa pertama kepemimpinannya menyinggung mengenai

masalah identitas Taiwan sebanyak 60%, dan terus meningkat hingga mencapai

80% ketika ketegangan antara Cina dan Taiwan memuncak saat Cina

mengeluarkan hukum anti separatisme.168

4.5.2 Dampak Kebijakan Identitas terhadap Hubungan Taiwan-Cina

Naiknya Ma Ying-jeou menjadi presiden pada tahun 2008, menggantikan

DPP membawa harapan akan membaiknya hubungan Cina dan Taiwan. Hal ini

tidak hanya dilihat dari segi kerjasama ekonomi yang terus berkembang, tetapi

juga dari retorika-retorika yang dikeluarkan oleh Presiden Ma Ying-jeou yang

tidak akan bersifat provokatif dan mendorong Cina untuk mengeluarkan ancaman-

ancaman kepada Cina.

Permasalahan mengenai identitas di Cina selalu berkaitan dengan tema

unifikasi dengan independensi. Retorika yang dibawakan oleh mantan Presiden

Chen Shui-bian sangat kental dengan semangat akan Taiwan sebagai sebuah

bangsa yang merdeka dan berdaulat, dan hal ini sering kali kemudian

direalisasikan oleh Presiden Chen dengan usulan-usulan provokatif, seperti salah

satunya yang paling terkenal adalah mengusulkan adanya referendum terkait

dengan hubungan Cina-Taiwan pada 2004, dan referendum untuk mendaftarkan

Taiwan sebagai anggota PBB dengan nama ‘Taiwan’.169

Ucapan-ucapan provokatif tersebut tidak muncul ketika Presiden Ma

menjabat sebagai Presiden. Bahkan sebelum terpilih, presiden Ma telah

menunjukkan bahwa ia ingin memperbaiki hubungan dengan Cina dengan

mengakui kembali Konsensus 1992 yang sempat tidak diakui oleh Presiden Chen.

Selain itu, setelah terpilih, Ma juga dengan tegas menyatakan mendukung “Three

168 Sullivan dan Sapir, “Ma Ying-jeou’s Presidential Discourse,” 52. 169 Austin Ramzy, “Taiwan’s President Calls for Vote,” Time, terakhir dimodifikasi pada 11 Juli 2007, diakses 26 Mei 2013, http://www.time.com/time/world/article/0,8599,1642169,00.html.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 105: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

91

Nos” (No Unification, No independence, and no war).170 Hal tersebut mendukung

kembali terbukanya kerjasama antara Cina dan Taiwan.

Secara identitas, kebijakan identitas yang diberikan oleh Presiden Ma

mungkin tidak merubah tren menurunnya masyarakat Taiwan yang

mengidentifikasi dirinya sebagai Orang Cina, tetapi jika kita melihat pada grafik

mengenai identifikasi vs. unifikasi,

Grafik 4.4.2.1 Tren Unifikasi vs Independensi Taiwan 1992-2012

Sumber: Election Study Center NCCU, “Important Political Attitude Trend Distribution,” grafik, http://esc.nccu.edu.tw/english/modules/tinyd2/index.php?id=6

Dari grafik di atas, dapat ditarik. Pertama, Presiden Ma Ying-jeou berhasil

memanfaatkan momentum yang terjadi di Taiwan saat itu, untuk menghentikan

gerakan pro-independensi yang terus meningkat. Bisa dilihat pada grafik satu,

pilihan untuk independensi secepatnya melonjak sangat jauh pada rentang waktu

170 Sullivan dan Sapir, “Ma Ying-jeou’s Presidential Discourse,” 36.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 106: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

92

2000-2006, pada masa pemerintahan DPP. Hilangnya kepercayaan masyarakat

terhadap DPP akibat kasus-kasus korupsi dan kegagalannya memperbaiki kondisi

ekonomi Taiwan diakui menjadi awal dari turunnya kejayaan DPP (dan kemudian

mendorong mulai turunnya dukungan terhadap retorika pro-independensi).

Presiden Ma Ying-jeou dengan demikian berhasil memanfaatkan momentum

tersebut dan kemudian perlahan membawa dukungan terhadap independensi

secepatnya untuk terus turun. Kesimpulan kedua yang dapat dilihat adalah

dukungan terhadap status quo (dengan berbagai variasinya) masih mendapatkan

lebih dari 50% dukungan masyarakat Taiwan. Hal ini menunjukkan bagaimana

Presiden Ma masih mendapat dukungan dari mayoritas masyarakat dalam

usahanya mempertahankan hubungan Taiwan dan Cina.

Lebih lanjut lagi, sebuah penelitian mengenai persepsi yang dirasakan oleh

masyarakat Taiwan kepada perilaku ofensif yang diberikan oleh pemerintahan

Cina juga menunjukkan hasil bahwa persepsi yang terbangun dari sisi Taiwan

terhadap Cina menunjukkan penurunan persepsi ancaman dari Cina kepada

Taiwan.171 Hal ini terutama terbangun karena semakin meningkatnya hubungan

ekonomi antara Cina dan Taiwan menyebabkan semakin banyak kaum muda yang

melihat bahwa Cina tidak akan bersifat konfliktual dengan Taiwan karena

hubungan ekonomi yang terbentuk. 172 Sebaliknya, hubungan yang membaik

antara Cina dan Taiwan juga memberikan dampak positif terhadap persepsi yang

diberikan oleh penduduk Cina kepada Taiwan. Hal ini menunjukkan adanya

timbal balik yang positif dari interaksi yang terjadi antara hubungan Cina dan

Taiwan di bawah pemerintahan Presiden Ma Ying-jeou.

Sebagai kesimpulan, kita dapat melihat bagaimana terjadi perubahan yang

cukup signifikan dalam kebijakan identitas antara Presiden Ma dengan presiden

Taiwan sebelumnya. Sesuai dengan analisa yang diberikan oleh Wendt, identitas

sebuah negara dan kepentingannya merupakan hasil produksi dan re-produksi dari

interaksi antara negara, dan melihat bahwa hubungan baik yang terjadi antara

171 “Beijing’s Hostility Toward ROC”, Mainland Affairs Council, diakses 1 Juni 2013, http://www.mac.gov.tw/ct.asp?xItem=103737&ctNode=7366&mp=3. 172 Peter Enav, “Taiwan Runs Short of Volunteers in Military Shift,” News Daily, terakhir dimodifikasi pada 13 Mei 2013, diakses 2 Juni 2013, http://www.newsdaily.com/article/fae3865c11320c484a8ab2ccf7d3c9a4/taiwan-short-of-volunteers-for-the-military.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 107: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

93

Cina dengan Taiwan pada akhirnya memberikan hasil yang cukup positif dengan

membaiknya persepsi Taiwan terhadap Cina dan sebaliknya. Kebijakan-kebijakan

Presiden Ma terkait dengan identitas nasional Taiwan yang membangkitkan

kembali hubungannnya dengan kebudayaan Cina, menurut penulis merupakan

upaya Presiden Ma untuk memberikan intensi positif, karena Taiwanisasi yang

terjadi sebelumnya menimbulkan ketegangan antara Cina dengan Taiwan.

Dampak dari unsur domestik, tersebut, dengan demikian, melengkapi inisiatif

yang tadinya telah dikembangkan dan berada di level eksternal. Berbeda dengan

di bidang keamanan dan ekonomi, dengan demikian faktor internal dan eksternal

memegang peranan yang cukup penting dalam pembentukan kebijakan identitas

Taiwan di bawah Presiden Ma Ying-jeou.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 108: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

94

BAB 5

KESIMPULAN

Kebijakan luar negeri Taiwan terhadap Cina dalam hubungan antar-selat

di bawah Presiden Ma Ying-jeou merupakan bagian dari dinamika yang cukup

panjang yang telah beberapa kali berubah sejak Taiwan pertama kali berada di

bawah kekuasaan penuh Republik Cina pada tahun 1949. Seperti yang telah

dijelaskan, perubahan dalam dinamika tersebut bermula dengan perpanjangan

perang sipil Cina di masa-masa awal kepemimpinan Chiang Kai-shek, mulai

dibukanya hubungan antara Taiwan dan Cina secara informal dan di bidang

ekonomi di bidang Chiang Ching-kuo, menguatnya hubungan ekonomi yang terus

berkembang sejak saat itu, meskipun pada akhirnya hal tersebut tidak berpengaruh

ke bidang politik karena ketegangan yang sempat naik di bawah Presiden Lee

Teng-hui dan Chen Shui-bian. Tugas akhir ini mencoba menilai kebijakan luar

negeri Taiwan di bawah Presiden Ma Ying-jeou, di mana kebijakan luar negerinya

berusaha untuk memperbaiki hubungan antar-selat.

Tugas akhir ini membagi kebijakan luar negeri Taiwan di bidang

keamanan, ekonomi, dan identitas. Pada bidang keamanan dipergunakan konsep

Realisme Defensif yang dikembangkan oleh Shiping Tang untuk menjelaskan

kebijakan keamanan Presiden Ma Ying-jeou. Shiping Tang memberikan

penjelasan bahwa negara-negara memiliki tangga pilihan kebijakan keamanan,

dari appeasement hingga preventive war. Shiping Tang menawarkan sebuah jenis

kebijakan, yang dinamakan engagement. Menurut Shiping Tang, kebijakan

engagement ini akan diimplementasikan oleh negara yang menganut Realisme

Defensif, di mana terdapat perimbangan antara deterrence dengan reassurance.

Dalam menjustifikasi kebijakan tersebut, Shiping Tang menjelaskan bahwa

terdapat dua indikator yang dapat diberikan untuk menentukan apakah sebuah

negara merupakan negara yang menganut realisme defensif atau ofensif, yaitu

keberadaan adanya security dilemma yang akan melimitasi tindakan sebuah

negara dan apakah sebuah negara melaksanakan sikap self-restraint.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 109: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

95

Temuan dalam kebijakan keamanan Presiden Ma Ying-jeou menunjukkan

bagaimana Presiden Ma Ying-jeou berusaha untuk melaksanakan engagement

kepada Cina. Hal ini dibuktikan berdasarkan adanya penurunan anggaran

pertahanan Taiwan, yang merupakan bentuk reassurance yang diberikan oleh Ma

Ying-jeou kepada Cina bahwa Taiwan tidak akan terdorong untuk menambah

anggaran pertahanannya karena Taiwan. Hal ini merupakan salah satu unsur dari

intensi baik yang ditunjukkan oleh Taiwan. Lebih lanjut lagi, Taiwan juga

memberikan ajakan untuk bekerjasama, yang tergambar jelas terutama di bidang

ekonomi. Terkait dengan deterrence, faktor eksternal dalam hubungan kedua

negara ini, yaitu Amerika Serikat, memegang peranan penting, yang

menyebabkan Cina untuk melimitasi provokasi-provokasi militer kepada Taiwan.

Dalam menjustifikasi kebijakan tersebut, seperti yang telah dijelaskan oleh

Shiping Tang, terdapat dua indikator yang dapat menjelaskan mengapa Taiwan

mengambil kebijakan engagement tersebut. Penemuan dari dua indikator di atas

menunjukkan bahwa Cina merupakan negara yang cenderung masih menganut

realisme ofensif, terutama dalam hubungannya dengan Taiwan. Biarpun Cina

mengakui adanya security dilemma terhadap naiknya kekuatan ekonomi dan

pertahanan Cina (yang kemudian mendorong Cina memunculkan konsep

‘Peaceful Rise’), tetapi implementasi dari kesadaran tersebut tidak terlihat karena

Cina masih intensif mengembangkan kekuatan militernya, dan bahkan secara

spesifik mentarget Taiwan dalam pengembangan militernya tersebut. Di bidang

domestik sendiri, terlihat adanya beberapa kondisi yang menguntungkan bagi

kebijakan engagement untuk dilaksanakan, seperti dukungan publik dan dukungan

dari parlemen Taiwan. Hanya saja, faktor-faktor domestik tersebut tidak

memegang perananan sebesar faktor Cina sebagai penentu kebijakan keamanan

Taiwan.

Di dalam bidang ekonomi, dinamika hubungan Taiwan dan Cina diwarnai

dengan meningkatnya nilai investasi dan perdagangan antara kedua negara.

Taiwan memiliki peran cukup besar dalam membantu Cina memiliki

pertumbuhan seperti saat ini, dan sebaliknya Taiwan juga cukup bergantung pada

Cina sebagai tujuan utama ekspor barang-barang Taiwan. Hanya saja, menilik

sejarah di mana Taiwan sempat diperintah oleh Chen Shui-bian, yang memiliki

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 110: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

96

agenda-agenda independensi, hubungan ekonomi yang baik tersebut dapat

terancam. Oleh karena itu dimulailah institusionalisasi dalam hubungan ekonomi

kedua negara dalam bentuk Economic Cooperation Framework Agreement

(ECFA). ECFA ini kemudian telah dibuktikan untuk mencukupi 4 elemen yang

harus dimiliki oleh sebuah institusi, yaitu adanya prinsip, norma, aturan-aturan,

dan decision-making process.

Lebih lanjut lagi, proses institusionalisasi ini kemudian ditelaah melalui

perspektif Neoliberal Institusionalisme. Perspektif ini memberikan peran penting

terhadap institusi, di mana keuntungan-keuntungan yang didapat dari institusi

tersebut dapat mengurangi efek buruk dari security dilemma yang tercipta dalam

sistem internasional yang anarki. Secara lebih spesifik, Robert Keohane

menuliskan bahwa keuntungan tersebut dapat diantisipasi terjadi dalam hal legal

liability, transaction cost, dan uncertainty and information. Dari penemuan-

penemuan yang terjadi, baik pra penandatanganan dan paska implementasi ECFA,

terlihat bahwa ECFA dapat memenuhi beberapa keuntungan yang telah

diantisipasi. Keuntungan dari sisi legal liability, di mana ekspektasi akan

hubungan yang terus berjalan stabil, dibuktikan dengan hubungan dagang yang

makin menguat. Dari segi transaction cost, keberadaaan ECFA membuat

penandatanganan kerjasama antara Taiwan dan Cina dalam hal lain di bidang

ekonomi, menjadi lebih mudah tercipta. Dari segi uncertainty and information,

intensitas pertemuan yang rutin keduanya lakukan akibat ECFA menyebabkan

koordinasi kebijakan antara keduanya akan lebih mudah dilakukan, biarpun

terdapat sebuah loophole dalam sisi ini, akibat adanya klausa yang

memperbolehkan pembatalan unilateral terhadap ECFA ini. Di level domestik,

terdapat dukungan dan hambatan terhadap ECFA ini, namun besarnya insentif-

insentif dari hubungan Cina dan Taiwan di bidang ekonomi yang membaik

membuat hambatan-hambatan domestik dapat dilewati.

Dalam aspek identitas, telah dijelaskan terlebih dahulu secara mendalam

bagaimana identitas nasional memegang aspek penting dalam kehidupan Taiwan

sebagai sebuah negara. Evolusi identitas di Taiwan terjadi saat kebijakan One-

China Policy di bawah Kuomintang, kemudian secara perlahan berubah karena

adanya dorongan demokratisasi yang membuat identitas taiwanese semakin

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 111: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

97

berkembang dan balik mendominasi di Taiwan. Permasalahan di Taiwan adalah

identitas tersebut amat besar kaitannya dengan politik, di mana hal ini terlihat

sangat besar pada saat Taiwan dipimpin Chen Shui-bian. Taiwanisasi yang

diintensifikasi di bawahnya kemudian diikuti oleh agenda-agenda kemerdekaan

yang memprovokasi Cina. Hal tersebut mengakibatkan meruncingnya hubungan

antara Cina dengan Taiwan, membuat keduanya memandang satu dengan lainnya

sebagai musuh.

Dalam teori yang dikembangkannya yang kemudian dikenal sebagai

Systemic Constructivism, Alexander Wendt menjelaskan bahwa interaksi antara

negara memegang peranan penting dalam membentuk identitas dan kepentingan

negara tersebut satu dengan lainnya dan kemudian identitas dan kepentingan

tersebut membentuk interaksi antar negara tersebut selanjutnya. Dalam konteks

hubungan Taiwan dan Cina, yang meruncing di bawah Chen Shui-bian, inisiatif-

inisiatif coba diberikan oleh Kuomintang yang kala itu menjadi oposisi dari Chen

Shui-bian. Nyatanya, inisiatif tersebut direspons positif oleh Beijing, menciptakan

interaksi yang positif dan selanjutnya membentuk identtias dan kepentingan

antara KMT (yang kemudian memegang kekuasaan Taiwan di bawah Presiden

Ma) dan Beijing. Hal ini terlihat dari respons positif Beijing terhadap terpilihnya

Ma dan juga dari diterimanya proposal-proposal untuk bekerjasama yang

diberikan oleh Presiden Ma kepada Beijing.

Di level domestik, Presiden Ma sebaliknya mencoba membangun identitas

nasional yang mengembalikan identitas Taiwan pada budaya Cina. Menurut

Wodak, dalam penjelasannya mengenai diskursus pembentukan identitas, terdapat

5 elemen diskursus yang harus dibentuk, yaitu national spirit, historical memory,

anticipation and future orientation, national body, dan nameable beginning. Dari

pidato-pidato yang diberikan oleh Presiden Ma, baik secara kuantitatif, dan dari

sisi kontennya, terlihat bahwa 5 elemen tersebut memang digambarkan kembali

memiliki sisi chinese yang kuat, Hal ini menurut Ma akan membawa harmoni

yang dibutuhkannya, dan dari segi hubungan antara Taiwan dan Cina, Cina

sendiri akan lebih tenang dengan perkembangan identtitas tersebut dibandingkan

dengan Taiwanisasi yang dikembangkan oleh Chen Shui-bian.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 112: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

98

Dari analisa tiga bidang dalam hubungan antar-selat Taiwan dan Cina, kita

dapat melihat terjadinya hubungan yang membaik antara Taiwan dengan Cina,

terutama di bidang ekonomi. Kebijakan Presiden Ma Ying-jeou, dengan

demikian, dapat dikategorikan sebagai bentuk consensus-oriented foreign policy.

Apabila dikomparasikan dengan Cina dalam hubungan bilateral antara Taiwan

dan Cina, dapat dikatakan Taiwan merupakan negara dengan power yang lebih

kecil. Inisiatif-inisiatif yang diberikan oleh Presiden Ma Ying-jeou seperti yang

digambarkan di atas, menunjukkan unsur inisiatif dan keinginan dari sisi Taiwan

untuk memperbaiki hubungannya dengan Cina, membedakannya dengan

compliant foreign policy, counterdependence, dan compensation.

KEBIJAKAN EKONOMI

KEBIJAKAN KEAMANAN KEBIJAKAN IDENTITAS

Gambar 5.1 Segitiga Kebijakan Luar Negeri Presiden Ma Ying-jeou

Segitiga di atas mencoba menggambarkan bagaimana kebijakan luar

negeri Taiwan di bawah Presiden Ma memiliki tiga fondasi dasar, yaitu di bidang

keamanan, ekonomi, dan identitas. Perlu diperhatikan adalah posisi dari kebijakan

ekonomi yang ditempatkan di atas kebijakan keamanan dan kebijakan identitas.

Alasan dari penempatan tersebut adalah karena kebijakan ekonomi yang

merupakan fokus utama dari hubungan Taiwan dan Cina yang ingin diperbaiki

oleh Presiden Ma. Seperti yang telah terlihat, progres yang sangat besar dapat

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 113: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

99

dilihat di bidang ekonomi, di mana institusionalisasi terjadi, sementara di bidang

keamanan, masih terdapat masalah-masalah yang sensitif seperti masih adanya

pengarahan misil ke Taiwan dari Fujian, dan di bidang identitas, identitas asli

Taiwan masih jauh melebihi orang orang yang merasa dirinya chinese.

Hal ini juga terlihat dari peran dan efek dalam hubungan antara ketiga

kebijakan tersebut. Pada kebijakan keamanan, di mana terjadi engagement, salah

satu unsur penting dalam reassurance dan ajakan kerjasama diberikan oleh

Taiwan melalui tawaran-tawaran dalam bentuk kebijakan ekonomi. Pada bidang

identitas, salah satu tujuan dari Presiden Ma untuk memperbaiki disparitas antara

taiwanese dan chinese adalah untuk mencegah munculnya hambatan dalam

kerjasama ekonomi kedua negara. Negara dapat bekerjasama dengan baik ketika

negara tersebut memiliki pandangan identitas yang positif kepada negara lainnya,

dan usaha Presiden Ma dengan kebijakan identitasnya dengan demikian memiliki

kepentingan ekonomi sebagai hasil akhirnya. Dengan demikian, kebijakan

ekonomi memiliki peranan penting dalam upaya besar Presiden Ma Ying-jeou

memperbaiki hubungan antar-selat Taiwan dan Cina.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 114: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

100

DAFTAR PUSTAKA

“A Century of Struggle, a Democratic Taiwan.” Taiwan Embassy in Canada.

diakses 27 Mei 2013.

http://www.taiwanembassy.org/CA/ct.asp?xItem=225082&ctNode=150&m

p=77.

Albright, Susan. “Taiwan’s New President Will Try to Calm the Waters.”

Minneapolis Post, 25 Maret 2008. Diakses 12 Juni 2013.

http://www.minnpost.com/politics-policy/2008/03/taiwans-new-president-

will-try-calm-waters.

Amae, Yoshihisa dan Jens Damm. “”Whither Taiwanization?” State, Society, and

Cultural Production in the New Era.” Journal of Current Chinese Affairs 40,

no. 1 (2011): 3-17. Diakses 21 Desember 2012. http://hup.sub.uni-

hamburg.de/giga/jcca/article/view/402/400.

Anlin, Yan. “Cross-Taiwan Strait Relations and Beijing’s Taiwan Policy

Adjustment since 1979.” di dalam Cross-Taiwan Straits Relations Since

1979: Policy Adjustment and Institutional Change Across The Strait, ed.

Kevin G. Cai, 21-50. Singapore: World Scientific Publishing, 2011.

“Beijing’s Hostility Toward ROC.” Mainland Affairs Council. Diakses 1 Juni

2013. http://www.mac.gov.tw/ct.asp?xItem=103737&ctNode=7366&mp=3.

Blanchard, Ben dan John Ruwitch. “China Hikes Defense Budget, to Spend More

on Internal Security.” Reuters, 5 Maret 2013. Diakses 12 Juni 2013.

http://www.reuters.com/article/2013/03/05/us-china-parliament-defence-

idUSBRE92403620130305.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 115: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

101

Bozdaglioglu, Yucel. “Constructivism and Identity Formation: An Interactive

Approach.” Review of International Law and Politics 3, no. 11 (2007): 121-

144. Diakses 1 Juni 2013.

http://www.usak.org.tr/dosyalar/dergi/3abv06hKYpVj1fK71jEi4AP2g6ctBc

.pdf.

Breuning, Marijke. Foreign Policy Analysis: A Comparative Introduction. New

York: Palgrave Macmillan, 2007.

“Brief Summary Cross-Strait Economic Statistics 2011.” Mainland Affairs

Council. Diakses 12 Mei 2013.

http://www.mac.gov.tw/public/Attachment/22159522847.pdf.

Castells, Manuel. The Power of Identity 2nd Ed. West Sussex: Blackwell

Publishing Ltd., 2010.

Chang, Hui-Ching dan G. Richard Holt. “Naming China: An Analysis of

Taiwan’s National Day Speeches.” Journal of Language and Politics, no.10

(2011): 396-415. Diakses 4 Juni 2013.

http://www2.comm.niu.edu/faculty/rholt/eoc/CVnamingChina.pdf.

Chao, Vincent Y. “DPP Decries Dependency on PRC.” Taipei Times, 17 Juni

2011. Diakses 12 Juni 2013.

http://www.taipeitimes.com/News/taiwan/archives/2011/06/17/2003505997.

Chao, Vincent Y. “Pundits Says Defense Cuts Invite Aggression.” Taipei Times,

22 Juni 2011. Diakses 21 Desember 2012.

http://www.taipeitimes.com/News/front/archives/2011/06/22/2003506383.

Chase, Michael S. “Taiwan’s Defense Budget Dilemma: How Much is Enough In

An Era of Improving Cross-Strait Relations.” China Brief 8, no. 15 (2008).

Diakses 21 Desember 2012.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 116: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

102

http://www.jamestown.org/programs/chinabrief/single/?tx_ttnews%5Btt_ne

ws%5D=5061&tx_ttnews%5BbackPid%5D=168&no_cache=1.

Chen, Ezra N.H. “The Economic Integration of Taiwan and China and Its

Implications for Cross-strait Relations.” Makalah, Harvard University,

2003. http://programs.wcfia.harvard.edu/files/fellows/files/chen.pdf.

Chen, York W. “The Modernization of Taiwan’s National Security Council.”

China Brief 10, no. 22 (2010). Diakses 9 Mei 2013.

http://www.jamestown.org/single/?no_cache=1&tx_ttnews[tt_news]=37144

&tx_ttnews[backPid]=7&cHash=4a95d2f20a#.UdmQElPWEUs.

Cheung, Gordon C.K. “New Approaches to Cross-Strait Integration and its

Impacts on Taiwan’s Domestic Economy: An Emerging “Chaiwan”?.”

Journal of the Current Chinese Affairs/China Aktuell 39, no. 1 (2010): 11-

36. Diakses 8 Juli 2013. http://journals.sub.uni-

hamburg.de/giga/jcca/article/view/199.

Chiang, Min-Hua. “Cross-Strait Economic Integration in the Regional Political

Economy.” International Journal of China Studies 2, no. 3 (2011): 681-700.

Diakses 2 Juni 2013.

http://cmsad.um.edu.my/images/ics/IJCSV2N3/IJCSV2N3-chiang.pdf.

Chiu, Yut-zu. “Chen to Tighten Cross-Strait Policies.” Taipei Times, 2 Januari

2006. Diakses 1 Juni 2013.

http://www.taipeitimes.com/News/front/archives/2006/01/02/2003287016.

Chu, Monique. “Taiwan and the United Nations – Withdrawal in 1971 was a

Historic Turning Point.” Taipei Times, 12 September 2001. Diakses 1 Juni

2013. http://www.taipeitimes.com/News/local/archives/2001/09/12/102595.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 117: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

103

Chu, Yun-han. “Rapprochement in The Taiwan Strait: Opportunities and

Challenges for Taipei.” East Asian Policy 1, no. 4 (2009): 77-86. Diakses 8

Juli 2013. http://www.eai.nus.edu.sg/Vol1No4_ChuYunhan.pdf.

Clinton, Hillary. “America’s Pacific Century: The Future of Politics will be

decided in Asia, not Afghanistan or Iraq, and the United States Will Be

Right at the Center of Action.” Foreign Policy, 11 Oktober 2011. Diakses 4

November 2012.

http://www.foreignpolicy.com/articles/2011/10/11/americas_pacific_centur

y.

Cody, Edward. “China Sends Warning to Taiwan with Anti-Secession Law.” The

Washington Post, 8 Maret 2005. Diakses 3 Juni 2013.

http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/articles/A15294-2005Mar7.html.

Deans, Phil. “Cross-Strait Relations since 1949: From Radicalism to

Conservatism and Back Again.” China Aktuell 34, no. 3 (2005): 25-36.

Diakses 12 Mei 2013, http://www.giga-

hamburg.de/openaccess/chinaaktuell/2005_3/giga_cha_2005_3_deans.pdf.

Dong, Wang. “ECFA and the Elections: Implications for Cross-Strait Relations,”

China Brief 12, no. 1 (2012). Diakses 1 Juni 2013.

http://www.jamestown.org/single/?no_cache=1&tx_ttnews[tt_news]=38855

.

Duchatel, Mathieu. “Between Hedging and Bandwagoning for Profit: Taiwan’s

Mainland Policy Under Ma Ying-jeou.” Makalah dipresentasikan dalam

Track Two Dialogue on EU-China Relations and the Taiwan’s Questions,

Shanghai, 5-6 Juni, 2010.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 118: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

104

“ECFA Background,” Mainland Affairs Council. Terakhir dimodifikasi 21 April

2010. Diakses 21 Mei 2013.

http://www.mac.gov.tw/public/data/051116322071.pdf.

ECFA. Cross-Strait Economic Cooperation Framework Agreement.

http://www.ecfa.org.tw/EcfaAttachment/ECFADoc/ECFA.pdf.

Eckert, Paul. “U.S. to announce F-16 upgrade for Taiwan: Lobby Group.”

Reuters, 16 September 2011. Diakses 1 Juni 2013.

http://www.reuters.com/article/2011/09/16/us-usa-taiwan-f-

idUSTRE78F2L620110916.

“Eighth Chiang-Chen Talks Are Succesfully Held: The SEF and the ARATS sign

the ‘Cross-strait Investment Protection and Promotion Agreement’ and the

‘Cross-strait Customs Cooperation Agreement’ and announce a ‘Consensus

on the Protection of Perosonal Freedom and Safety’ in Regards to the

Investment Protection Agreement.” Mainland Affairs Council. Dimodifikasi

terakhir 15 Agustus 2012. Diakses 5 Juni 2013.

http://www.mac.gov.tw/ct.asp?xItem=102788&ctNode=7316&mp=181.

Election Study Center, N.C.C.U. “Important Political Attitude Trend

Distribution.” Grafik.

http://esc.nccu.edu.tw/english/modules/tinyd2/index.php?id=6.

Enav, Peter. “Taiwan Runs Short of Volunteers in Military Shift.” News Daily, 13

Mei 2013. Diakses 2 Juni 2013,

http://www.newsdaily.com/article/fae3865c11320c484a8ab2ccf7d3c9a4/tai

wan-short-of-volunteers-for-the-military.

Fan, Cheng-hsian dan Su Yung-yao. “President Exalts Yellow Emperor.” Taipei

Times, 4 April 2012. Diakses 27 Mei 2013.

http://www.taipeitimes.com/News/front/archives/2012/04/04/2003529457.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 119: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

105

Gang, Lin. “KMT Split Handed Chen Presidential Victory.” Canada Institute.

Terakhir dimodifikasi 1 April 2000. Diakses 16 Mei 2013.

www.wilsoncenter.org/article/kmt-split-handed-chen-the-presidential-

victory.

Goldstein, Steven. “Cross-Strait Relations on The Eve of Ma Ying-jeou’s Second

Term.” The National Bureau of Asian Research. Dimodifikasi terakhir 17

Mei 2011. Diakses 5 Juli 2013.

http://www.nbr.org/research/activity.aspx?id=252#.UdYhclPWEUs.

Hickey, Dennis Van Vranken. Foreign Policy Making in Taiwan: From Principle

to Pragmatism. New York: Routledge, 2007.

Huang, Alexander Chieh-cheng. “A Midterm Assessment of Taiwan’s First

Quadrennial Defense Review.” Makalah, Brookings Institution, 2011.

http://www.brookings.edu/research/papers/2011/02/taiwan-huang

Hughes, Christopher. Taiwan and Chinese Nationalism: National Identity and

Status in International Society. London: Routledge, 1997.

Jehnings, Ralph. “Taiwan’s New Leader’s Take Office On China Pledges.”

International Herald Tribune, 20 Mei 2008. Diakses 18 November 2012.

http://www.iht.com/articles/reuters/2008/05/20/asia/OUKWD-UK-

TAIWAN-PRESIDENT.php.

Johnston, Christie. “Talking to Taiwan’s New President.” Times, 11 Agustus

2008. Diakses 19 November 2012.

http://www.time.com/time/world/article/0,8599,1831748,00.html?xid=rss-

topstories.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 120: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

106

Kahn, Joseph dan Keith Bradsher. “Beijing Accuses Taiwan Leader of ‘Grave

Provocation’.” The New York Times, 1 Maret 2006. Diakses 26 Juni 2013.

http://www.nytimes.com/2006/03/01/international/asia/01taiwan.html?_r=0.

Kan, Shirley A. “Taiwan: Major US Arms Sales since 1990,”Taiwan: Major US

Arms Sales since 1990.” Terakhir Dimodifikasi 3 Juli 2013. Diakses 25 Mei

2013. http://www.fas.org/sgp/crs/weapons/RL30957.pdf.

Keohane, Robert O. After Hegemony: Cooperation and Discord in the World

Political Economy. New Jersey: Princeton University Press, 1984.

Lee, Shiao-Feng. “The 228 Incident.” Taipei Times, 28 Februari 2004. Diakses 13

Mei 2013.

http://www.taipeitimes.com/News/editorials/archives/2004/02/28/20031004

72.

Lin, George Y.C. “The Background and Impacts of ECFA on China and Taiwan.”

Makalah dipresentasikan di National Chung Cheng University, Taiwan, 19

Maret 2011.

Liu, Fu-kuo. “The Dynamics of Cross-Strait Relations: Heading for Peace or

Unknown Ground?.” Brookings Institution. Terakhir dimodifikasi 19 Juli

2011. Diakses 1 Juni 2013.

http://www.brookings.edu/research/articles/2011/07/19-cross-strait-

relations-liu.

Lutgard, Lams dan Xavier Li-Wen Liao. “Tracing “Taiwanization” Processes in

Taiwanese Presidential Statements in Times of Cross-Strait

Rapprochement.” Journal of Current Chinese Affairs 40, no. 1 (2011): 63-

98. Diakses 21 Desember 2012. http://hup.sub.uni-

hamburg.de/giga/jcca/article/view/404/402.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 121: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

107

Mainland Affairs Council, Cross-Strait Economic Cooperation Framework

Agreement: Policy Explanation. Taiwan: Mainland Affairs Council, 2009.

http://www.mac.gov.tw/public/Data/962614391871.pdf.

Manthorpe, Jonathan. Forbidden Nation: A History of Taiwan. New York:

Palgrave Macmillan, 2005.

Mearsheimer, John J. The Tragedy of Great Power Politics. New York: W.W.

Norton and Company, 2001.

Minnick, Wendell. “CRS Report Reviews US, Taiwan Relations.” Defense News,

24 Mei 2012. diakses 21 Desember 2012.

http://www.defensenews.com/article/20120524/DEFREG02/305240003/CR

S-Report-Reviews-Taiwan-Security-U-S-Relations.

Mo, Yan-Chih, Ko Shu-ling, dan Shih Hsiu-cuan, “Decisive Victory for Ma Ying-

jeou.” Taipei Times, 23 Maret 2008. Diakses 2 Juni 2013.

http://www.taipeitimes.com/News/front/archives/2008/03/23/2003406711.

Mo, Yan-Chih. “Legislative Elections and Referendums: KMT Vows Not to

Abuse Power.” Taipei Times, 13 Januari 2008. Diakses 8 Juli 2013.

http://www.taipeitimes.com/News/taiwan/archives/2008/01/13/2003396903.

People’s Daily. “Chinese Mainland Residents Greet KMT Leader’s Visit with

Open Arm.” 26 April 2005. Diakses 24 Mei 2013

http://english.peopledaily.com.cn/200504/26/eng20050426_182817.html.

“President Chen Reiterates ‘Four Noes, One Without’ Policy.” Taipei Economic

and Cultural Representative Office in the U.S. Dimodifikasi terakhir 11

Maret 2003. Diakses 5 Juli 2013.

http://www.taiwanembassy.org/US/ct.asp?xItem=11637&ctNode=2300&m

p=12&nowPage=54&pagesize=15.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 122: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

108

Quadrennial Defense Review Editing Group Ministry of National Defense.

Quadrennial Defense Review 2009. Taipei City: Ministry Of National

Defense, 2009.

Ramzy, Austin. “Taiwan’s President Calls for Vote.” Time, 11 Juli 2007. Diakses

26 Mei 2013,

http://www.time.com/time/world/article/0,8599,1642169,00.html.

“Remarks by Minister Lai in The Meeting with ARATS Delegation.” Mainland

Affairs Council. Dimodifikasi terakhir 21 Desember 2010. Diakses 1 Juni

2013.

http://www.mac.gov.tw/ct.asp?xItem=92596&ctNode=6863&mp=205.

Shih, Hsiu-chuan. “Abandoning Taiwan is ‘unthinkable’, ex-Obama

administration official says.” Taipei Times, 28 Maret 2012. Diakses 12 Juni

2013.

http://www.taipeitimes.com/News/taiwan/archives/2012/03/28/2003528896.

Sterling-Folker, Jennifer. “Neoliberalism.” dalam International Relations

Theories: Discipline and Diversity, 3rd ed., ed. Tim Dunne, Milja Kurki, dan

Steve Smith, 114-131. New York: Oxford University Press, 2010.

Sullivan, Jonathan dan Eliyahu V. Sapir. “Ma Ying-jeou’s Presidential

Discourse.” Journal of Current Chinese Affairs 41, No. 3 (2012): 33-68.

Diakses 24 Mei 2013. http://hup.sub.uni-

hamburg.de/giga/jcca/article/view/533/531.

Sun, Yunlong. “Backgrounder: Key Talks Between ARATS and SEF.” Xinhua

News Agency, 3 November 2008. Diakses 12 Juni 2013.

http://news.xinhuanet.com/english/2008-11/03/content_10300714.htm.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 123: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

109

Taipei Times. “Taiwan’s UN Bid Doomed to Fail.” 14 Agustus 2005. Diakses 20

Mei 2013.

http://www.taipeitimes.com/News/taiwan/archives/2005/08/14/2003267683.

“Taiwan History.” Taiwanese Cultural Society. Diakses 14 Mei 2013.

http://taiwanese.stanford.edu/taiwan-history.

“Taiwan-China Trade Reached US$168,96 billion in 2012: China Customs.”

Taipei Mission in The Republic of Latvia. Dimodifikasi terakhir 18 Januari

2013. Diakses 1 Juni 2013. http://www.roc-

taiwan.org/LV/ct.asp?xItem=345712&ctNode=7925&mp=507.

“Taiwan’s Renaissance: President Ma Ying-jeou Inaugural Address.” Office of

the President Republic of China (Taiwan). diakses 27 Mei 2013.

http://english.president.gov.tw/Portals/4/images/PresidentOffice/AboutPresi

dent/pdf/section1.pdf.

Tang, Shiping. A Theory of Security Strategy for Our Time: Defensive Realism.

New York: Palgrave Macmillan, 2010.

Tayfur, M. Fatih. “Main Approaches to the Study of Foreign Policy: A Review.”

METU Studies in Development 21, no. 1 (1994): 113-141. Diakses 8 Juli

2013. http://www.metu.edu.tr/~tayfur/reading/main_approaches.pdf.

The China Post, “ECFA Signed.” 30 Juni 2010. Diakses 1 Juni 2013.

http://www.chinapost.com.tw/taiwan/china-taiwan-

relations/2010/06/30/262692/ECFA-signed.htm.

“The 1992 Consensus: The Foundation for Cross-Strait Peace and Stronger

International Links.” Taipei Economic and Cultural Office in Canada.

Dimodifikasi terakhir 7 September 2011. Diakses 6 November 2012.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 124: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

110

http://www.roc-

taiwan.org/CA/ct.asp?xItem=219017&ctNode=150&mp=77&nowPage=4&

pagesize=15.

The China Post. “Chiang-Chen Meeting to Herald Start of ECFA Talks.” 18

November 2009. Diakses 1 Juni 2013.

http://chinapost.com.tw/taiwan/china-taiwan-

relations/2009/11/18/233152/Chiang-Chen-meeting.htm.

The China Post. “Taiwan and China in ‘Special Relations’: Ma.” 04 September

2008. Diakses 18 November 2012.

http://www.chinapost.com.tw/taiwan/china-

taiwan%20relations/2008/09/04/173082/Taiwan-and.htm.

The Economist, “Peaceful Rise.” 24 Juni 2004. Diakses 12 Juni 2013,

http://www.economist.com/node/2792533.

“The Seventh Chiang-Chen Talks Come to A Smooth Conclusion with Fruitful

Results.” Mainland Affairs Council. Dimodifikasi terakhir 20 Oktober 2011.

Diakses 5 Juni 2013.

http://www.mac.gov.tw/ct.asp?xItem=98999&ctNode=7228&mp=118.

“The Taiwan Strait Crises 1954-55 and 1958.” U.S. Department of State. Diakses

1 Juni 2013. http://2001-2009.state.gov/r/pa/ho/time/lw/88751.htm.

Tkacik Jr., John J. “China’s ‘Peaceful’ Rise at Stake in Power Struggle.” Asia

Times, 8 September 2004. Diakses 12 Juni 2013.

http://www.atimes.com/atimes/China/FI08Ad03.html.

Wendt, Alexander. “Anarchy is What States Make of It: The Social Construction

of Power Politics.” International Organization 46, no. 2 (1992): 391-425.

Diakses pada 1 Mei 2013. http://www.jstor.org/stable/2706858.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014

Page 125: TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU …Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. ... oleh sisi positif dan

Universitas Indonesia

111

Wodak, Ruth, Rudolf de Cicilia, Martin Reisigl, dan Karin Liebhart. The

Discursive Consruction of National Identity. Edinburgh: Edinburgh

University Press, 2009.

Wu, Zhong. “Taiwan’s Ma Strides Across the Strait.” Asia Times, 10 Februari

2011. Diakses 12 Juni 2013.

http://www.atimes.com/atimes/China/MB10Ad01.html.

Xie, Yu. “Taiwan Parties Clash over ECFA.” China Daily, 26 April 2010.

Diakses 1 Juni 2013. http://www.chinadaily.com.cn/china/2010-

04/26/content_9772390.htm.

Yan, Jiann-fa. “A Preliminary Probe into The Chinese Policy of the Ma Ying-jeou

Administration.” Taiwan International Studies Quarterly 5, no. 3 (2009): 1-

25. Diakses 8 Juni 2013. http://www.tisanet.org/quarterly/5-3-1.pdf.

Yeh, Joseph. “Negotiations with Singapore on Free Trade Pact Completed,

Signings Expected.” The China Post, 18 Mei 2013. Diakses 1 Juni 2013.

http://www.chinapost.com.tw/taiwan/foreign-

affairs/2013/05/18/378899/Negotiations-with.htm.

Zhuang, Pinghui. “China’s Rise is Peaceful, Xi Jinping Tells Foreign Experts.”

South China Morning Post, 6 Desember 2012. Diakses 12 Juni 2013.

http://www.scmp.com/news/china/article/1098533/chinas-rise-peaceful-xi-

jinping-tells-foreign-experts.

Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014