supriyatnagus88.files.wordpress.com · menyebutkan lima identitas seni dalam ... teater bukan saja...
TRANSCRIPT
THE 2nd INTERNATIONAL CONFERENCE ON SPECIAL EDUCATIONAL NEEDS UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA, SATURDAY, DECEMBER 2ND, 2017
307
CONSTRUCTIVE APPROACH IN THEATER ARTS LEARNING
TO HELP DEAF STUDENTS HAVE SMOOTH SPEAKING
Agus Supriyatna
Universitas Pendidikan Indonesia
Email [email protected]
ABSTRACT
The purpose of this study is to discuss constructive approaches in the learning of theater arts to help smooth
speaking. This research focuses on deaf students in formal schools. An important reason for the study, the
lack of professional competence of the theater art teacher in the formal school of Indonesia has had an
impact on the weakness of learning services to students in formal schools. Therefore, researchers consider
it important to raise the issue of education for all with constructive approach in the teaching of theater arts
which can be done by art teacher or non art rather than educated background or experienced theater art.
The research approach uses qualitative design with descriptive method. Research data were obtained
through literature review, observation, participation and documentation study. The data obtained
categorization, analysis, exposure, conclusion and validation of data by means of triangulation, thus
becoming a picture of research on the concept of constructive approach in the learning of theater arts to
help smooth speaking of students deaf. The study of theater arts with an emphasis on the role art material
with the method of global method mix and methods of analysis of synthesis and learning media through
the stimulation of the object and the object image object sourced from daily life. The outline of research is
the theory about the concept of constructive approach in theater learning with the scope of role art material;
(articulation, voice and eloquence) and feeling (appreciation and emotion) are expected to reinforce the
importance of theater learning as an educational medium to help speaking fluency and art material in the
expression of theater art for deaf students.
Keywords: constructive approach, theater art learning and speking fluency
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan faktor penting dalam mencapai tujuan pembangunan bangsa di era
globalisasi. Pendidikan formal di Indonesia di era globalisai dalam perjalannya tidak lepas dari isu-isu yang
mengemuka dan hangat dibicarakan, antara lain: wajib belajar sembilan tahun, terjadinya tiga kali
pergantian kurikulum pendidikan (2004, 2006, 2013 dan 2016), hingga kini wajib belajar 12 tahun,
pendidikan berbasis karakter, sertifikasi profesi pendidik dan dosen dan seterusnya.
Dengan mengangkat isu-isu pendidikan berbasis karakter di era globalisasi abad milenium tiga
adalah tuntutan mutlak untuk diwujudkan seluruh bangsa dan negara di muka bumi. Utamanya bangsa
Indonesia yang ingin hidup terhormat, sejajar dan maju dari bangsa lain sebagaimana diamanatkan
Undang-undang dasar 1945. (UUD 1945, 2008; Pasal 31, Ayat 1)
Potret realitas dunia pendidikan kita, utamanya dalam pembelajaran seni dengan segenap
kompleksitas permasalahan yang dihadapi tidak hanya terjadi pada jenjang, tingkat pendidikan secara
umum. Tetapi dirasakan pada persoalan penyelenggaraan dan pelaksanaan pendidikan di sekolah luar biasa
semakin termarginalkan, jauh dari harapan dengan apa yang telah dilakukan di Belanda.
(Agustiar,2001,hlm.90).
THE 2nd INTERNATIONAL CONFERENCE ON SPECIAL EDUCATIONAL NEEDS UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA, SATURDAY, DECEMBER 2ND, 2017
308
Pentingnya pembelajaran seni atau pembelajaran estetika untuk mengembangkan segenap potensi
siswa tidak perlu diragukan lagi manfaatnya. Sebagaimana diungkapkan beberapa pakar pendidikan dan
praktisi pendidikan, Read (Suwaji,1990), Mahendra (1998,hlm.130; Singer, 1980; Fleishman,1972;
Schmidt, 1991), Dewantara dan Goleman (Sumarta, 2000,hlm. 182), Klanger (2000,hlm.66), Wijaya
(Riantiarno, 2003, hlm.2), Wickiser (Zajuli, 2008,hlm. 47- 48), Mulyasa (2006,hlm.98) dan Bizo
(Wawancara, 3 Juni 2008). Mahendra (1998, hlm.130; Singer, 1980); Fleishman,1972; Schmidt, 1991).
Selanjutnya, pendidikan seni dipandang penting untuk dibelajarkan kepada para siswa, termasuk
di dalamnya siswa berkebutuhan khusus dengan kategori yang disandangnya sebagaimana diamanat
pemerintah dan dikatakan para pakar pendidikan. (Depdikbud, 2001, hlm 8), Bambang, (2001, hlm. 9)
(Kurikulum PLB, 1999), (Dirjen. Manajemen Dikdasmen, 2007, hlm.117),(BKBPI,2007; 6-7, poin 1 dan
point sub 4d), (Efendi, 2008, hlm.1), Mulyasa (2006, hlm.286).
Merujuk pendapat di atas, jelas bahwa pendidikan seni melalui ruang-ruang kelas baik,
intrakurikuler maupun ekstrakurikuler perlu dibelajarkan pada siswa sebagai pengimbang dari rutinitas
pembelajaran yang selama ini lebih terfokus pada dominasi teoritis yang kurang memperhatikan
keseimbangan otak kanan dan kiri.
Pendapat lain tentang eskpresi di dalam pendidikan seni, Wickiser (Zajuli: 2008, hlm. 47- 48)
menyebutkan lima identitas seni dalam hubungannya dengan pendidikan seni, yakni; eskpresi, imitasi,
keindahan, hiburan dan komunikasi. Dari kelima identitas tersebut, hanya ’ekspresi’ yang diakui Wickiser
sebagai konsep seni, sedangkan yang lain hanya atribut atau ciri-ciri seni. Seni sebagai ekspresi diartikan
sebagai ungkapan ide rasa, maka landasan konsep pendidikan seni adalah ekspresi. Kegiatan ekspresi
mencakup kegiatan ekspresi kreatif, yang menghasilkan keindahan, kesenangan dan komunikasi ide.
Tercapainya tujuan pendidikan nasional tidak lepas dari upaya optimal semua pihak dengan segala
kemampuan dan keterbatasan yang ada dari beberapa komponen pembelajaran di dalamnya; kurikulum,
sarana prasarana, pendanaan, lingkungan belajar, siswa dan orang tua serta kompetensi pendidik sebagai
faktor penentu tercapainya peningkatan layanan pembelajaran.
Pentingnya pendidikan seni melalui seni teater, Wijaya (Riantiarno: 2003, hlm.2) mengatakan
sebagai berikut.
Teater (baca drama) bukan hanya pertunjukan, bukan semata-mata hiburan, tetapi juga perjalanan
pemikiran. Sebagai seni kolektif, teater bukan saja menyangkut segala bidang seni (rupa, pantomim,
musik dan sastra), tetapi juga menyambar manajemen, psikologi, sejarah, filsafat, dan sebagainya.
Seseorang yang mempunyai masalah kejiwaan, seperti gagap, minder, ektrovert, tak mampu
berkomunikasi dalam masyarakat, atau demam panggung dapat disembuhkan lewat teater (drama).
Merujuk pendapat Wijaya, setidaknya apabila pembelajaran teater diberikan pada siswa, utamanya
siswa tuna runggu. Siswa tidak hanya diajak untuk berpengalaman seni dengan memekarkan rasa,
mencerdaskan pikir dan berekpresi seni. Lebih jauh dari itu, siswa diarahkan pada proses terapeutik, untuk
mengurangi tingkat hambatan yang dideritanya dalam kemampuan berbicara (verbal) dan mengembangkan
potensi yang nampak siswa berupa kemampuan gerak (nonverbal) agar lebih berkembang menjadi wahana
ekspresi dan prestasi siswa dengan memanfaatkan wadah yang telah ada yang difasilitasi pemerintah melalui
payung kegiatan Lomba Seni Anak Berkebutuhan Khusus (LS-ABK).
THE 2nd INTERNATIONAL CONFERENCE ON SPECIAL EDUCATIONAL NEEDS UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA, SATURDAY, DECEMBER 2ND, 2017
309
Hasil-hasil penelitian sebelumnya, baik dalam bentuk jurnal penelitian dan laporan penelitian,
terkait kajian terhadap pemanfaatan dan implementasi dalam pembelajaran seni (teater, drama, tari, musik
dan rupa) memberikan dampak positif untuk menumbuhkan dan mengurangi tingkat ketegangan konflik
dan mengembangkan potensi para siswa (siswa berkebutuhan khusus) sebagaimana telah dilakukan oleh
beberapa pakar pendidikan, antara lain; Gervais, Marie, 2006, April 14, IJAE,7, (2); Wager, & Beck., 2011;
IJEA, 12(16); Sextou, 2011, pp.225-231, JILL,9, (X); Lea, Belliveau,; Cawthon, & Dawson, 2011;IJAE,12
(17); Komalasari,2014; Dunn, Bundy & Stinson, 2015; IJAE, 16 (6).
Begitu pula, terkait pemanfaatan partisipasi drama atau teater sebagai media integrasi disiplin
ilmu, hiburan dan relaksasi karyawan dan pasien di rumah sakit dan para tahanan penjara telah diteliti oleh;
Lea, Belliveau, Wager, & Beck., 2011; IJEA, 12(16); Cawthon, & Dawson, 2011; IJAE,12 (17; Bizo,
wawancara, 3 Juni 2008); Sextou and Sharon, 2015, ATR,3 (1); Wong, 2015;4, APJAE,14).
Berdasarkan gambaran penting pendidikan seni, seni teater dalam berbagai setting penelitian
secara tidak langsung memberikan inspirasi bagi peneliti untuk mengembangkan pemikiran melalui suatu
kajian. Utamanya dalam menanggapi layanan pembelajaran seni teater pada siswa Tunarungu di Indonesia.
Terkait, ketertarikan kajian terhadap siswa Tunarungu, peneliti memandang penting untuk mengemukakan
suatu konsep pembelajaran seni teater dengan topik kajian pendekatan konstruktif dalam pembelajaran seni
teater untuk membantu siswa Tunarungu dalam kelancaran berbicara.
Tujuan penelitian ini untuk mendiskusikan konsep pendekatan konstruktif dalam pembelajaran
seni teater untuk membantu kelancaran berbicara siswa Tunarungu di sekolah formal Indonesia. Konsep
pembelajaran seni teater dengan pendekatan konstruktif di dalamnya akan dibahasa dengan pendekatan
teori pedagogik; (a) Pendekatan kontruktif dalam pembelajaran, (b) Pembelajaran seni teater, (c)
Kemampuan bahasa dan bicara siswa Tunarungu, (d) Karakteristik kecerdasan siswa Tunarungu, (e)
Konsep pendekatan konstruktif dalam pembelajaran seni teater untuk membantu kelancaran siswa
Tunarungu.
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metode deskriptif sebagai suatu cara untuk
mengkaji dan memahami sejumlah data hasil penelitian, baik data yang diperoleh di lapangan dan studi
literatur berupa data primer terkait gambaran pembelajaran di sekolah Tunarungu dan data sekunder dari
sumber lain yang relevan dengan topik kajian sebagai bahan referensi untuk menganalisis temuan konsep
penelitian dengan teknik validasi data secara triangulasi (Hopkin dalam Creswell, 2010, hlm.157) dan
selanjutnya dipaparkan secara sistematis menjadi suatu gambaran penelitian tentang konsep pendekatan
konstruktif dalam pembelajaran seni teater untuk membantu kelancaran berbicara siswa Tunarungu
dengan aktivitas dan kreativitas guru, siswa dan beberapa faktor yang mempengaruhi pembelajaran siswa
yakni keterlibatan peran orang tua.
Subjek penelitian terfokus pada isu pendekatan konstruktif dalam pembelajaran seni teater untuk
membantu kelancaran siswa Tunarungu sesuai harapan kuriulum 2016 di Indonesia.
Sumber data diperoleh melalui pengumpulan data dengan menggunakan teknik; observasi
THE 2nd INTERNATIONAL CONFERENCE ON SPECIAL EDUCATIONAL NEEDS UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA, SATURDAY, DECEMBER 2ND, 2017
310
lapangan, wawancara, dokumentasi dan studi literatur dengan penjelasan sebagai berikut.
Data yang terkumpul direduksi dengan membuat pengelompokan atau kategorisasi dan abstraksi.
Analisis bersifat terbuka, longgar, dan tidak kaku, serta induktif. Hal ini dilakukan agar peneliti dapat
memahami data secara utuh sehingga reduksi dapat dilakukan secara tepat. Dari interpretasi penelitian akan
dilakukan analisis berdasarkan kerangka pendekatan dan teori pembelajaran konstruktif, yang disesuaikan
dengan tujuan penelitian, diantaranya untuk membahas terkait guru seni teater, pembelajaran seni teater
dan beberapa faktor yang terlibat dalam penelitian dalam pembelajaran seni teater.
Analisis data menggunakan analisis secara mendalam dan menyeluruh (holistik), bersumber kajian
berdasarkan kajian lapangan dan teori. Dengan demikian dapat diperoleh suatu pengertian permukaan dari
suatu disiplin ilmu secara menyeluruh dan sekaligus juga mendalam terkait pendekatan kontruktif dalam
pembelajaran seni teater untuk membantu kelancaran berbicara siswa Tunarungu. Semua kegiatan
penelitian dalam pencapaian hasil dilakukan dengan teknik validasi secara Triangulasi mengacu kepada
pendapat Hopkin (1993, hlm. 157) dan Creswell (2010, hlm. 286-287).
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Konsep Pendekatan Konstuktif dalam Pembelajaran Seni Teater Untuk Membantu Kelancaran
Berbicara Siswa Tunarungu.
Konsep pembelajaran seni teater dengan pendekatan konstuktif untuk membantu kelancaran
berbicara siswa Tunarungu dalam proses pembelajarannya siswa dimotivasi dan difasilitasi guru untuk
memahami teori, konsep, teknik dan prosedur seni teater yang dikontruks siswa secara aktif (active
learning), siswa terlibat berbasis temuan (discovery learning) dalam memecahan masalah (problem
solving) dari penugasan (learning base project) dan pembimbigan guru (scalfolding) melalui dan
bersumber pengalaman belajar siswa (zone of proximal development). Tahapan pembelajaran dibangun
dengan kecenderungan memerhatikan potensi yang nampak dan pengalaman belajar siswa bersumber
lingkungan sekitar, pengetahuan siswa dibangun dari cara berpikir sederhana menuju berpikir kritis,
pengalaman belajar dibangun dari hal konkrit menuju abstrak, dan interaksi pembelajaran dibangun dari
pembelajaran individual menuju pembelajaran kelompok.
Komunikasi verbal yang dikembangkan melalui pengalaman belajar dari gaya seni peran realistik
(pemeranan gaya sehari-hari) ke dalam gaya seni peran komikal dengan penekanan gerak tubuh sebagai
media komunikasi. bukan dialog atau bermain kata atau dilog, layaknya komunikasi verbal yang dilakukan
siswa normal pada umumnya. Untuk memberikan pembelajaran yang optimal, guru disyaratkan untuk
memiliki pemahaman terkait karakteristik siswa Tunarungu dengan klasifikasi dan hambatan yang
diderita siswa. Lingkup pembelajaran Seni Teater dengan pendekatan konstruktivisme dalam membangun
budaya belajar melalui pemahaman konsep, teknik dan prosedur seni teater diharapkan dapat menjadi
media untuk membantu kemampuan verbal siswa Tunarungu dalam kelancaran berbicara dan berekspresi
melalui seni teater.
THE 2nd INTERNATIONAL CONFERENCE ON SPECIAL EDUCATIONAL NEEDS UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA, SATURDAY, DECEMBER 2ND, 2017
311
Kompetensi siswa setelah mengikuti pembelajaran seni teater dengan pendekatan konstruktif dan
menempatkan seni teater sebagai materi dan media melalui seni peran dengan rangsang kreatif dengan
menggunakan media visual kata bersumber kegiatan sehari-hari yang akrab dengan siswa. Pembelajaran
melalui materi dan media seni teater dengan pendekatan konstruktivisme dengan langkah-langkah
pembelajaran dapat dilakukan sebagai berikut; mengamati, menginterpretasi (untuk melatih persepsi,
ingatan, emosi dan imajinasi), mengeksplorasi kata (utamanya untuk melatih artikulasi pengucapan kata)
dan mengekspresikan pengucapan kata berdasarkan objek kata sebagai media pembelajaran.
Selanjutnya, siswa dimotivasi dan difasilitasi untuk beraktivitas dan berkreativitas seni teater
dengan langkah-langkah pembelajaran; mengamati, menginterpretasi (untuk melatih ingatan emosi dan
imajinasi), mengeksplorasi seni peran dan mengekspresikan seni peran di dalam seni teater (gaya realistik
dikonstruk dalam bentuk seni pantomim) berdasarkan objek kata sebagai materi seni dalam pembelajaran
seni teater. Konsep pembelajaran seni teater untuk pertemuan selanjutnya dan memperoleh pembelajaran
yang optimal, siswa dimotivasi dan difasilitasi dalam mengkomunikasikan secara lisan, tertulis,
memeragakan dan praktik bermain peran sesuai tema cerita temuan siswa melalui rangsang objek kata
atau gambar, objek kata dan gambar bersumber aktivitas sehari-hari sesuai tema cerita temuan siswa
Tunarungu.
Setelah siswa mengikuti proses pembelajaran seni teater dengan pendekatan konstruktif dalam
membangun budaya belajar dengan pengelolaan beberapa komponen pembelajaran di dalamnya,
diharapkan dapat memiliki pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam seni teater dengan materi seni peran
yang dikonstruk dari pemahaman konsep berpikir sederhana menuju tingkat berpikir kritis dalam gaya seni
peran dengan gaya keseharian ( gaya realistik) menuju konsep seni peran komikal dengan teknik stilasi
dan distorsi seni peran dalam bentuk ekspresi seni teater dapat dijelaskan dalam peta konsep pembelajaran
seni teater dengan pendekatan membangun budaya belajar.
Peta konsep pembelajaran hendaklah dijadikan sebagai acuan dalam pengkategorian tahapan dan
langkah-langkah pendekatan untuk memudahkan proses pembelajaran seni teater dalam membantu
kelancaran berbicara dan memahami materi seni teater yang dikonstruk dalam bentuk ekspresi seni teater
dengan pertimbangan kemampuan yang nampak pada siswa Tunarungu dalam mata pelajaran seni sesuai
kurikulum yang berlaku.
Konsep pembelajaran seni teater dengan pendekatan konstruktif dalam membangun budaya belajar
untuk membantu kelancaran berbicara siswa Tunarungu di sekolah dapat diungkapkan sebagai berikut.
Guru dalam melaksanakan pembelajaran seni teater bagi siswa Tunarungu diharapkan mampu
memberikan citra, sebagai: a) Materi pembelajaran seni yang cocok dengan karakteristik, potensi motorik,
dan gaya belajar siswa Tunarungu, b) Upaya implementasi pembelajaran seni teater sesuai tuntutan
kurikulum seni yang berlaku. c) Upaya membantu kelancaran berbicara siswa Tunarungu.
Pemilihan dan penggunaan model dan pendekatan pembelajaran dengan materi seni teater
dikemas dan lebih mengutamakan interaksi sosial (guru dengan siswa, siswa dengan siswa) sehingga
tercipta situasi belajar mengajaryang mampu memberikan ruang berkembangnya segenap potensi siswa
dalam tiga ranah: kognitif, afektif dan psikomotor.
THE 2nd INTERNATIONAL CONFERENCE ON SPECIAL EDUCATIONAL NEEDS UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA, SATURDAY, DECEMBER 2ND, 2017
312
Guru dalam menyiapkan materi pembelajaran diupayakan berbasis lingkungan sekitar. Dengan
demikian guru diupayakan dalam memberikan materi pembelajaran bukan diukur dari banyaknya materi,
tetapi bagaimana materi yang dipilih dan dipilah serta diberikan kepada para siswa mampu memberikan
rangsang kreatif agar siswa tumbuh minat belajar dan mampu mengembangkan segenap potensi siswa.
Metode Pembelajaran bersifat variatif dengan penekanan metode gabungan global dan analisis
sintesis yang dipandang dapat memberikan layanan siswa aktif melalui ekspresi khas materi dalam
pembelajaran teater yakni seni peran sehingga dapat memberikan rangsang kreatif sebagi media dalam
membantu kelancaran berbicara. Mengembangkan eskpresi gerak tubuh dari gerak sehari-hari (gerak dasar,
realis) yang dikontruk menuju gerak seni teater dengan teknik stilasi (penyederhanaan), distorsi
(penglebihan-pengembangan) dan komikal (stilasi dan distorsi gerak).
Media yang digunakan dalam pembelajaran seni teater, siswa dirangsang melalui objek kata dan
gambar bersumber peristiwa dan aktivitas sehari-hari. Media pembelajaran berupa objek kata memberikan
keluasan bagi siswa untuk memaknai dan membantu kelancaran berbicara dan mengembangkan
kemampuan ekspresi gerak melalui tubuh, yakni mempersepsi, menginterpretasi, mengekplorasi,
menyeleksi, menyusun dan berekspresi dengan kepekaan pikir, gerak dan rasa menjadi suatu penyajian
seni teater yang bermakna dan kemudian dievalusi beradasarkan proses dan hasil ekspresi kreatif sesuai
dengan tujuan pembelajaran yang diharapkan.
Tahapan dan langkah-langkah pembelajaran dilakukan guru dengan pengaturan penguasaan materi
melalui kegiatan pembelajaran siswa Tunarungu diajak untuk mengobservasi, mengekplorasi, menyeleksi,
menyusun dan berekspresi seni teater dengan kepekaan pikir, gerak dan rasa menjadi sebuah penyajian
seni teater. Dampak dari proses pembelajaran seni teater diharapkan dapat membantu kelancaran berbicara
dan pengembangan kecerdasan lain disamping kemampuan untuk melatih imajinasi, mempertajam ingatan
emosi. (1) Siswa Tunarungu menemukan gagasan dan ide cerita. (2) Siswa Tunarungu mengekplorasi
seni peran tubuh secara mengulang sederhana menuju mengulang komplek berdasarkan gagasan dan ide
cerita yang dibuatnya secara individu dan atau kelompok untuk melatih kelenturan tubuh dari seni peran
yang kaku sekaligus menumbuhkan sikap kerjasama, toleransi sesama teman, meningkatkan kepekaan
simpati dan empati.(3) Siswa Tunarungu mengekspresikan agar tumbuh dan berkembang sebagai jiwa
yang mandiri, percaya pada diri sendiri dan menerima kehadiran orang lain untuk mengurangi sikap egois
yang berlebihan.
Evaluasi dilakukan dengan penilaian yang sebenarnya (otentik), yakni penilaian yang diarahkan
pada penilaian penampilan atau ekspresi siswa Tunarungu bukan pada penilaian yang bersifat menghapal
fakta. Penilaian dilakukan untuk mengukur tingkat kemampuan pengucapan/ujaran alfabetis, kata, kalimat
dan lakon sesuai tema yang dibuatnya dan ekspresi seni dalam bentuk seni teater yang ditempatkan sebagai
penguasaan siswa Tunarungu terhadap materi seni teater dilakukan dengan tahapan dan langkah-langkah
pembelajaran; mengamati, mengeksplorasi, menyeleksi, menyusun, membentuk dan mengekspresikan seni
dengan rangsang melalui media kata atau gambar bersumber perististiwa atau aktivitas sehari-hari sesuai
cerita yang dibuatnya.
THE 2nd INTERNATIONAL CONFERENCE ON SPECIAL EDUCATIONAL NEEDS UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA, SATURDAY, DECEMBER 2ND, 2017
313
Selanjutnya, peta konsep pembelajaran seni teater dengan pendekatan konstruktif, bersumber
kegiatan sehari-hari dalam proses pembelajarannya untuk siswa Tunarungu dapat dipetakan dalam bagan
berikut ini.
Bagan 1. Peta Konsep Pendekatan Konstruktif dalam Pembelajaran Seni Teater
Untuk Membantu Kelancaran Berbicara Siswa Tunarungu
2. Proses Pembelajaran Seni Teater dengan Pendekatan Konstruktif
Proses pembelajaran dalam mengusai konsep seni peran, meliputi; pengertian, ragam jenis dan unsur
dalam seni peran bersumber objek kata dengan materi kegiatan sehari hari siswa Tunarungu dilakukan
menggunakan pendekatan konstruktif dapat dilakukan antara lain sebagai berikut; mengamati,
mempersepsi, mengeksplorasi, menyusun, membentuk, mengekspresikan dan mengevaluasi. Pembelajaran
dengan pendekatan konstruktif, guru dalam proses pembelajarannya dapat memilih dan menggunakan
beberapa pendekatan dan model yang relevan seperti; model pembelajaran kolaboratif, model
pembelajaran berbasis masalah, model pembelajaran penemuan, model pembelajaran berbasis proyek,
model pembelajaran masalah, model pembelajaran berbasis konteks, dst.
Langkah pembelajaran seni teater dengan pendekatan konstruktif untuk membantu kelancaran
berbicara siswa Tunarungu dalam proses pembelajarannya dapat dilakukan dengan langkah-langkah
pembelajaran yang dilakukan guru dan siswa sebagai berikut.
Mengeksplorasi Pengucapan Kata dan
Seni Peran sesuai Objek Kata dan
Gambar.
Membentuk Cerita dan Ekspresi
Seni Peran sesuai Temuan Siswa
Menyeleksi Kata/Gambar dan
Seni Peran sesuai Tema Temuan
Siswa
Pendekatan Konstruktif: (Problem
Based Learning, Discovery
Learning, contextual learning dan
Project Based Learning)
Media Visual Kata dan
Gambar Bersumber
Aktivitas Sehari- Hari
Pembelajaran
Seni Teater
PEMBELAJARAN
SENI TEATER
UNTUK
MEMBANTU
KELANCARAN
BERBICARA
Aktivitas dan Kreativitas
Siswa Tuna Rungu
Mengobservasi Media Visual
Objek Kata dan Gambar.
Menginterpretasi
Objek Kata dan Gambar dalam
bentuk Pengucapan Kata dan
Seni Peran.
Menyusun Kata/ Gambar dan Seni
Peran sesuai Tema Temuan Siswa
Mengevaluasi Cerita dan Seni
Peran temuan siswa melalui ujaran
Huruf Alfabetis, Kata dan
Kalimat.
Metode Pembelajaran
Bersifat Variatif
Olah Tubuh, Olah Suara dan
Olah Mimik
THE 2nd INTERNATIONAL CONFERENCE ON SPECIAL EDUCATIONAL NEEDS UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA, SATURDAY, DECEMBER 2ND, 2017
314
Tabel 2. Aktivitas dan Kreativitas Siswa dan Guru
dalam Pembelajaran Seni Teater dengan Pendekatan Konstruktif
Tabel 3. Pengamatan Pembelajaran Seni Peran Siswa Tunarungu
Melalui Rangsang Kata Bersumber Kegiatan Sehari-hari
NO. RANGSANG OBJEK KATA RANGSANG PERTANYAAN
1
1. Kata manakah yang menunjukkan kegiatan
sehari-hari yang kalian lakukan dan ketahui?
Taggapan atau jawaban siswa sangat beragam dan
bersifat unik dengan kecenderungan sangat dipengaruhi
oleh kategori hambatan yang diderita, pengalaman
mempersepsi, ingatan dan emosi siswa Tunarungu.
2 2. Dapatkah kalian mengucapkan kata-kata
berdasarkan objek kata tersebut?
Taggapan atau jawaban siswa sangat beragam dan
bersifat unik dengan praksis kecenderungan sangat
dipengaruhi oleh kategori hambatan yang diderita,
pengalaman mempersepsi, ingatan dan emosi siswa
Tunarungu.
3 3. Dapatkah kalian memeragakan seni peran
dengan gaya keseharian dan gaya seni teater
bersumber objek kata tersebut?
Taggapan atau jawaban siswa sangat beragam dan
bersifat praksis kelenturan tubuh dengan kecenderungan
tidak dipengaruhi oleh kategori hambatan yang diderita
siswa Tunarungu.
4 4. Dapatkah kalian menyusun kata-kata menjadi
kalimat berdasarkan tema cerita yang
dikehendaki?
Taggapan atau jawaban siswa sangat beragam dan
bersifat analisis kognitif dengan praksis kecenderungan
sangat dipengaruhi oleh kategori hambatan yang diderita,
pengalaman mempersepsi, ingatan dan emosi siswa
Tunarungu.
5 5. Dapatkah kalian mengucapkan kalimat sesuai
tema cerita yang kalian buat? Taggapan atau jawaban siswa sangat beragam dan
Pertemuan atau Siklus Pembelajaran
NO AKTIVITAS SISWA DIMOTIVASI
DAN DIFASILITASI MELAKUKAN:
AKTIVITAS GURU MEMOTIVASI DAN
MEMFASILITASI SISWA MELAKUKAN:
1 Pengamatan melalui rangsang kata dan atau gambar sesuai objek kata pada tabel 2
dan atau tabel 3 dengan pengerjaan tugas siswa sesuai gambar 1 dan atau 2.
2 Mempersepsi Objek Kata dan atau Media Gambar.
3 Pengucapan/ujaran sesuai Media Objek Kata dan atau Media Gambar.
4 Eksplorasi Pengucapan/Ujaran sesuai Media Objek Kata dan atau Media Objek
Gambar Pilihan Siswa dengan Olah Suara: Artikulasi, Intonasi dan Kefasihan.
5 Interpretasi Kata dengan Aktivitas Seni Peran sesuai
Gaya Realistik atau Gaya Keseharian dengan Olah Rasa dan Olah Ruang.
6 Interpretasi Kata dengan Aktivitas Seni Peran sesuai
Gaya Komikal Teater Pantomim dan atau Gaya Realis Teater Mini Kata.
7 Ekspresi Pengucapan/Ujaran sesuai Objek kata dan atau Media Gambar.
8 Ekspresi Seni Peran sesuai Objek Kata sesuai Pilihan Siswa dalam
Bentuk Seni Teater (Pantomim, Mini Kata dan seterusnya)
Pertemuan selanjutnya atau kembali kepertemuan atau siklus satu sebagai refleksi
dari hasil pertemuan atau siklus pembelajaran sebelumnya.
THE 2nd INTERNATIONAL CONFERENCE ON SPECIAL EDUCATIONAL NEEDS UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA, SATURDAY, DECEMBER 2ND, 2017
315
bersifat unik dengan praksis kecenderungan sangat
dipengaruhi oleh kategori hambatan yang diderita,
pengalaman mempersepsi, ingatan dan emosi siswa
Tunarungu.
Tabel 4. Pengamatan Pembelajaran Seni Peran Siswa Tunarungu
Melalui Rangsang Gambar Bersumber Kegiatan Sehari-hari
NO. RANGSANG OBJEK GAMBAR RANGSANG PERTANYAAN
1
1. Gambar manakah yang menunjukkan kegiatan sehari-
hari yang kalian lakukan dan ketahui?
Taggapan atau jawaban siswa sangat beragam dan bersifat unik
dengan kecenderungan sangat dipengaruhi oleh kategori hambatan yang diderita, pengalaman mempersepsi, ingatan dan
emosi siswa Tunarungu.
2 2. Dapatkah kalian mengucapkan kata-kata berdasarkan
objek gambar tersebut?
Taggapan atau jawaban siswa sangat beragam dan bersifat unik
dengan praksis kecenderungan sangat dipengaruhi oleh kategori
hambatan yang diderita, pengalaman mempersepsi, ingatan dan emosi siswa Tunarungu.
3 3. Dapatkah kalian memeragakan seni peran dengan gaya
keseharian dan gaya seni teater bersumber objek
gambar tersebut?
Taggapan atau jawaban siswa sangat beragam dan bersifat
praksis kelenturan tubuh dengan kecenderungan tidak
dipengaruhi oleh kategori hambatan yang diderita siswa Tunarungu.
4 4. Dapatkah kalian menyusun kata-kata menjadi kalimat
berdasarkan tema cerita yang dikehendaki?
Taggapan atau jawaban siswa sangat beragam dan bersifat analisis kognitif dengan praksis kecenderungan sangat
dipengaruhi oleh kategori hambatan yang diderita, pengalaman
mempersepsi, ingatan dan emosi siswa Tunarungu.
5 5. Dapatkah kalian mengucapkan kalimat sesuai tema
cerita yang kalian buat?
Taggapan atau jawaban siswa sangat beragam dan bersifat unik
dengan praksis kecenderungan sangat dipengaruhi oleh kategori hambatan yang diderita, pengalaman mempersepsi, ingatan dan
emosi siswa Tunarungu.
Gambar 1. Kartu Soal Aktivitas dan Kreativitas Siswa
dalam Berekspresi Pengucapan/ Ujaran Kata dan Seni Peran
Beberapa hal yang perlu diperhatikan guru dalam melakukan evaluasi adalah keterbukaan terhadap
berbagai alternatif jawaban Siswa yang cenderung berbeda dan tidak lazim. Guru tetap harus menghargai
aktivitas dan kretivitas siswa dari jawaban yang dilakukan setiap siswa.
Penilaian proses untuk sub-materi ini mencakup tiga aspek dasar, yaitu pengetahuan, sikap, dan
keterampilan. Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh lembar penilaian berikut.
THE 2nd INTERNATIONAL CONFERENCE ON SPECIAL EDUCATIONAL NEEDS UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA, SATURDAY, DECEMBER 2ND, 2017
316
Tabel 5. Penilai Ranah Pengetahuan
No.
Nama Siswa
PENGETAHUAN
TOTAL
NILAI
Analisis
Rangsang Kata
dan atau
Gambar sesuai
Objek
Memahami
Teknik Seni Peran
sesuai Objek Kata
dan atau Gambar
Memahami
Prosedur
Pengucapan Kata
dan Seni Peran
sesuai Objek Kata
dana tau Gambar
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
1
2
3
4
dst.
Skor Maksimal 15
Tabel 6. Penilaian Ranah Sikap
Tabel 7. Penilai Ranah Keterampilan
Penilaian pada masing-masing aspek menggunakan skala Likert (Mulyasa, 2006) yaitu dengan
memberikan skor antara 1 – 5. Masing-masing skor mendeskripsikan tingkat kemampuan siswa, sebagai
berikut.
Tabel 8. Keterangan Skor
SKOR PENJELASAN
5 Sangat Baik
4 Baik
3 Cukup
2 Kurang
1 Sangat Kurang
No.
Nama Siswa
SIKAP
TOTAL
NILAI
Berani
Mengemukakan
Pendapat
Menghargai
Kreativitas Seni
Peran
Menghargai
Pendapat Teman
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
1
2
3
4
dst.
Skor Maksimal 15
No.
Nama Siswa
KETERAMPILAN
TOTAL
NILAI
Mencari
Informasi
Kesungguhan
Berlatih Seni
Peran
Mengeskspresikan
Cerita dan Seni
Peran sesuai
Temuan
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
1
2
3
4
dst.
Skor Maksimal 15
THE 2nd INTERNATIONAL CONFERENCE ON SPECIAL EDUCATIONAL NEEDS UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA, SATURDAY, DECEMBER 2ND, 2017
317
X 100
Penilaian dilaksanakan selama KBM berlangsung.
Kriteria penilaian, dilakukan dengan menggunakan nilai skor 1 sampai 5.
Tabel 9. Kriteria Penilaian
No. Kriteria
Penilaian Nilai Skor Keterangan
1. Sangat Baik 5 86-100
Apabila, siswa sangat aktif, memahami dan
menanggapi dengan sangat baik dalam mengikuti
pembelajaran.
2. Baik 4 76-85 Apabila, siswa aktif, memahami dan menanggapi
dengan baik dalam mengikuti pembelajaran.
3. Cukup 3 66-75 Apabila, siswa cukup aktif, cukup memahami, dan
cukup menanggapi dalam mengikuti pembelajaran.
4. Kurang 2 56-65 Apabila, siswa kurang aktif, kurang memahami, dan
kurang menanggapi dalam mengikuti pembelajaran.
5. Sangat Kurang 1 50-55
Apabila, siswa sangat kurang aktif, sangat kurang
memahami, dan menanggapi dalam mengikuti
pembelajaran.
Pedoman Penilaian:
Nilai Skor = % = ........
Skor maksimal dalam penilaian proses untuk ketiga aspek tersebut adalah 45 dan skor minimal
adalah 9. Apabila seorang siswa memperoleh total nilai 12 untuk aspek pengetahuan, 10 untuk aspek sikap,
dan 14 untuk aspek keterampilan maka total nilai yang diperoleh adalah: 12 + 10 + 14 = 36. Nilai 36
menunjukkan bahwa kemampuan yang dicapai oleh siswa adalah 33 dari 45 skor maksimal atau 36 atau
45 dikali 100 %, sehingga dapat dikatakan atau disimpulkan bahwa capaian kemampuan siswa adalah 80%
atau jumlah nilai 80 dengan predikat nilai siswa kategori baik untuk ketiga aspek tersebut.
Penilaian hasil melibatkan tes tertulis, tes lisan berupa pengucapan/ujaran huruf konsonan dan
vocal, kata, kalimat dan tematik cerita atau lakon pendek temuan siswa dalam memahami konsep seni
peran. Penilaian hasil dilakukan pada setiap akhir pertemuan.
Pengayan
Tahap pengayaan merupakan tahap yang dilakukan oleh siswa atau kelompok siswa yang
memiliki tingkat kompetensi yang lebih tinggi daripada siswa atau kelompok siswa yang lain. Bagi siswa
atau kelompok siswa yang memiliki kompetensi yang lebih tinggi, guru dapat menstimuli mereka untuk
lebih memperdalam pemahaman tentang konsep dalam pembelajaran seni peran untuk mengembangkan
45
Skor siswa
THE 2nd INTERNATIONAL CONFERENCE ON SPECIAL EDUCATIONAL NEEDS UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA, SATURDAY, DECEMBER 2ND, 2017
318
potensi secara lebih optimal. Tugas yang diberikan oleh guru dalam tahap ini adalah menstimuli siswa atau
kelompok siswa untuk menemukan beragam konsep dalam pembelajaran seni peran dari kelompok seni
teater yang ada di masyarakat.
Kegiatan pengayaan dalam pembelajaran seni peran, sangat bermanfaat untuk membuka wawasan
siswa, memberikan stimulus dalam berfikir dan berbuat lebih kreatif.
Remedial
Kemampuan para siswa tentu saja berbeda satu sama lain. Bagi siswa yang kurang dapat
menguasai konsep ini, guru dapat mengulang kembali materi yang telah diajarkan. Pengulangan materi
disertai dengan pendekatan-pendekatan yang lebih memperhatikan hambatan yang dialami siswa atau
kelompok siswa dalam memahami materi pembelajaran. Misalnya, membimbing pemahaman siswa atau
kelompok siswa dengan memberi lebih banyak contoh dari yang paling sederhana sampai yang agak sulit.
Contoh-contoh yang diberikan dapat berupa objek kata, audio, maupun audio-visual. Pendekatan lain yang
dapat dilakukan guru dalam tahap remedial ini adalah dengan lebih banyak memberi perhatian kepada
siswa atau kelompok siswa tersebut yang dilakukan secara menyenangkan. Pendekatan yang
menyenangkan ini dapat dilakukan guru dengan tujuan agar siswa atau kelompok siswa tersebut dapat
lebih termotivasi untuk mencari informasi yang mereka butuhkan, lebih termotivasi untuk bertanya,
mengemukakan pendapat, dan menganalisis dalam lingkup konsep seni peran bersumber objek kata
dengan materi kegiatan sehari hari siswa. Tahap remedial diakhiri dengan penilaian untuk mengukur
kembali tingkat pemahaman siswa atau kelompok siswa tersebut terhadap sub-materi pembelajaran.
Interaksi dengan Orang Tua Siswa
Pemahaman siswa terhadap sub-materi pembelajaran akan dapat dicapai dengan lebih baik melalui
kerjasama dengan pihak orang tua siswa . Oleh karena itu, guru diharapkan dapat berinteraksi dengan orang
tua para siswa, seperti meminta kesediaan para orang tua untuk dapat menyediakan sarana yang dibutuhkan
oleh anak-anak mereka, memberi kesempatan kepada anak-anak mereka untuk mengikuti kegiatan
melaksanakan tugas kelompok di luar proses pembelajaran, berdiskusi dengan anak-anak mereka tentang
sub-materi yang dipelajari di sekolah, serta meluangkan waktu untuk menyaksikan beragam pementasan
teater dengan anak-anak mereka dan mendiskusikan pengamatan mereka terhadap pementasan teater
tersebut.
PEMBAHASAN
1. Pendekatan Konstruktif
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan khususnya psikologi tingkah laku dan teknologi
informasi – komunikasi, konsep mengajar pun mengalami penyesuaian. Mengajar tidak lagi dipandang
sebagai proses menanamkan atau proses mengkomunikasikan, akan tetapi dipandang sebagai proses
mengatur lingkungan dengan harapan siswa belajar. Konsep ini selanjutnya dikenal dengan istilah
“pembelajaran” terjemahan dari “instruction”.
THE 2nd INTERNATIONAL CONFERENCE ON SPECIAL EDUCATIONAL NEEDS UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA, SATURDAY, DECEMBER 2ND, 2017
319
Tujuan dari pembelajaran bukan hanya sekedar menyampaikan informasi, akan tetapi membantu
siswa untuk belajar dan menambah pengetahuan yang diperlukan, memberi keterampilan tertentu sesuai
dengan tujuan yang ingin dicapai.
Dengan demikian tugas dan peran guru memiliki konsekuensi yang berbeda dari dua pandangan
tersebut. Mengajar adalah guru memegang peranan sebagai penyampai informasi, sedang pembelajaran,
guru adalah motivator, fasilitator dan pendesain lingkungan agar tumbuh gairah, keinginan dan kesadaran
siswa untuk beraktivitas belajar.
Salah satu landasan teoritik pendidikan modern adalah teori pembelajaran konstruktif. Pendekatan
pembelajaran ini pada dasarnya menekankan pentingnya siswa membangun sendiri pengetahuan mereka
lewat keterlibatan aktif proses belajar mengajar. Proses belajar mengajar lebih diwarnai student centered
daripada teacher centered. Sebagian besar waktu proses belajar mengajar berlangsung dengan berbasis
pada aktivitas siswa. (Trianto, 2007, hlm.101-115).
Joyce, Weil dan Marsha dalam Mulyasa (2004, hlm. 286) disamping penyediaan lingkungan yang
kreatif bagi siswa, guru dapat menggunakan pendekatan konstruktif, salah satunya pendekatan kreatif
(Creative approach). Beberapa saran untuk pendekatan ini adalah dikembangkannya; problem solving,
brain storming, inquiry, dan role playing.
Problem-Based Learning tersebut juga sejalan dengan pengajaran top-down yang lebih ditekankan
pada pendekatan konstruktivis. Di dalam pengajaran top-down, siswa mulai dengan suatu tugas yang
kompleks dan autentik yang akhirnya diharapkan tugas itu dapat dilakukan siswa, melainkan tugas itu
merupakan tugas kompleks yang sebenarnya tersebut.
Constructivism (konstruktivisme) merupakan landasan berpikir (filosofi) dengan pendekatan
konstekstual, yaitu bahwa Pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya
diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat
fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi
pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Ide-ide konstruktivis modern banyak berlandaskan pada teori Vygotsky yang telah digunakan
untuk menunjang metode pengajaran yang menekankan pada pembelajaran kooperatif, pembelajaran
berbasis kegiatan, dan penemuan. Salah satu prinsip kunci yang diturunkan dari teorinya adalah penekanan
pada hakikat sosial dari pembelajaran. Ia mengemukakan bahwa siswa belajar melalui interaksi dengan
orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu (Slavin, 2000). Berdasarkan teori ini dikembangkanlah
pembelajaran kooperatif, yaitu siswa lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit
jika mereka saling mendiskusikan masalah tersebut dengan temannya.
Teori Vygotsky yang lain mengatakan bahwa siswa belajar konsep paling baik apabila konsep itu
berada dalam daerah perkembangan terdekat atau zone of proxima1development siswa. Daerah
perkembangan terdekat adalah tingkat perkembangan sedikit di atas tingkat perkembangan seseorang saat
ini. Tingkat perkembangan seseorang saat ini tidak lain adalah tingkat pengetahuan awal atau pengetahuan
prasyarat itu telah dikuasai 'maka kemungkinan sekali akan terjadi pembelajaran bermakna.
THE 2nd INTERNATIONAL CONFERENCE ON SPECIAL EDUCATIONAL NEEDS UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA, SATURDAY, DECEMBER 2ND, 2017
320
Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi
dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada
siswa. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivis
adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi
lain, dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Dengan dasar itu, pembelajaran
harus dikemas menjadi proses `mengkonstruksi' bukan `menerima' pengetahuan. Dalam proses
pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses
belajar dan mengaiar. Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan guru.
Landasan berpikir konstruktivisme agak berbeda dengan pandangan kaum objektivis, yang lebih
menekankan pada hasil pembelajaran. Dalam pandangan konstruktivis, strategi pemerolehan lebih
diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk itu,
tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut : (1) Menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi
siswa, (2) Memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri, dan (3) Menyadarkan
siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.
Pengetahuan tumbuh berkembang melalui pengalaman. Pemahaman berkembang semakin dalam
dan semakin kuat apabila selalu diuji dengan pengalaman baru. Menurut Piaget, manusia memiliki struktur
pengetahuan dalam otaknya, seperti kotak-kotak yang masing-masing berisi informasi bermakna yang
berbeda-beda. pengalaman yang sama bagi beberapa orang akan dimaknai berbeda-beda oleh masing-
masing individu dan disimpan dalam kotak yang berbeda. Setiap pengalaman baru dihubungkan dengan
kotak-kotak (struktur pengetahuan) dalam otak manusia tersebut. Struktur pengetahuan dikembangkan
dalam otak manusia melalui dua cara, yaitu asimilasi atau akomodasi. Asimilasi maksudnya struktur
pengetahuan baru dibuat atau dibangun atas dasar struktur pengetahuan yang sudah ada. Akomodasi
maksudnya struktur pengetahuan yang sudah ada dimodifikasi untuk menampung dan menyesuaikan
dengan hadirnya pengalaman baru.
Metode pembelajaran memiliki andil yang cukup besar dalam proses kegiatan belajar mengajar,
Suatu pembelajaran diharapkan memiliki metode yang tepat yang sesuai dengan tujuan pembelajaran.
Dalam mengajar penggunaan metode pembelajaran tidak cukup dengan satu metode saja, bahkan para
pengajar sering menggunakan beberapa metode untuk ketercapaian pembelajaran.
Salah satu usaha yang tidak pernah guru tinggalkan adalah bagaimana memahami metode yang
ikut ambil bagian bagi keberhasilan kegiatan belajar mengajar. Hal ini dikemukakan juga oleh Djamarah
(2006, hlm.73) sebagai berikut “Sebagai salah satu komponen pembelajaran, metode menempati peranan
yang tidak kalah pentingnya dari komponen lainnya dalam kegiatan belajar mengajar. Tidak ada satu
kegiatan belajar mengajar yang tidak menggunakan metode pembelajaran. Ini berarti guru memahami
benar kedudukan metode sebagai alat motivasi ekstrinsik dalam kegiatan belajar mengajar.”
Metode pembelajaran mungkin dapat dikatakan tepat untuk suatu pelajaran tetapi belum tentu
tepat untuk pelajaran yang lainnya, untuk itu guru haruslah pandai dalam memilih dan menggunakan
metode-metode pembelajaran mana yang akan digunakan dan disesuaikan dengan materi yang akan
diberikan dan karakteristik siswa. Metode pembelajaran merupakan cara yang digunakan oleh guru dalam
THE 2nd INTERNATIONAL CONFERENCE ON SPECIAL EDUCATIONAL NEEDS UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA, SATURDAY, DECEMBER 2ND, 2017
321
mencapai strategi pembelajaran kepada peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajaran. Hal tersebut
dipertegas Gulo (2002, hlm. 4) sebagai berikut “….metode pembelajaran adalah cara yang digunakan untuk
mencapai tujuan itu. Metode pembelajaran adalah alat untuk mengoperasionalkan apa yang direncanakan
dalam strategi. Untuk melaksanakan suatu strategi digunakan seperangkat metode pembelajaran tertentu.
Dalam pengertian yang demikian, maka metode pembelajaran menjadi salah satu unsur dalam strategi
belajar mengajar.”
Dari penyataan di atas sangat jelas bahwa metode pembelajaran merupakan - strategi dalam
meningkatkan minat siswa untuk belajar, sama halnya dengan pembelajaran seni teater yang
memerlukan metode untuk meningkatkan belajar siswa.
Metode merupakan suatu alat yang dapat membantu mempermudah siswa dalam menerima
pembelajaran, maka pemilihan metode yang tepat harus dilakukan setiap para pendidik. Adapun beberapa
hal yang harus dilakukan yaitu: (1) Menyesuaikan atau memperhatikan materi yang akan disampaikan, (2)
Memperhatikan kebutuhan siswa, dan (3) Memperhatikan sarana dan prasarana yang ada dalam
mendukung materi tersebut.
Komponen pembelajaran lainnya yang dianggap penting untuk diperhatikan adalah media. Kata
media memiliki arti "perantara" atau “ pengantar". Association for Education and Communication
Technology (AECT) mendefinisikan media yaitu segala bentuk yang dipergunakan untuk suatu proses
penyaluran informasi. Sedangkan Education Association (NEA) mendefinisikan sebagai benda yang dapat
dimanipulasikan, dilihat, didengar, dibaca atau dibicarakan beserta instrumen yang dipergunakan dengan
baik dalam kegiatan belajar mengajar, dapat mempengaruhi efektivitas program instruktional.
(Sujana:1997, hlm. 25); (Sanjaya:2006, hlm. 57); (Asnawir:2008, hlm.11) ; dan (Harjanto: 2005, hlm.77)
Pada konteks yang lebih luas, elemen-elemen tubuh atau fisik dari guru merupakan bagian dari
media. Melalui bahasa tubuh dari guru (pendidik), komunikasi dan penyampaian informasi terhadap
peserta didik dapat dioptimalisasikan dengan baik. Hanya saja persoalannya, bahan dan materi yang
diberikan pada setiap pertemuan memiliki karakteristik yang berbeda-beda sehingga memerlukan sebuah
pertimbangan matang dari guru untuk dapat memilih dan memiliki kemampuan dalam mengembangkan
media pembelajaran.
Pengalaman belajar siswa memiliki klasifikasi yang berbeda, mulai dari hal-hal yang paling
konkrit sampai kepada hal-hal yang dianggap paling abstrak. Klasifikasi pengalaman tersebut diikuti secara
luas oleh kalangan guru dalam menentukan alat bantu apa seharusnya yang sesuai untuk pengalaman
belajar tertentu. Klasifikasi pengalaman tersebut lebih dikenal dengan kerucut pengalaman (Cone of
Experience). (Dale dalam Asnawir: 2008, hlm.14)
Komponen lain dalam pembelajaran yang tidak kalah penting dan perlu dipahami guru adalah
penilaian. Penilaian atau menilai pengetahuan, sikap dan keterarnpilan (performance) yang diperoleh
siswa. Penilai tidak hanya guru, tetapi bisa juga teman lain atau orang lain. Karakteristik penilaian,
diantaranya adalah (1) Dilaksanakan 'selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung, (2) Bisa
digunakan untuk formatif maupun sumatif, (3) Yang diukur keterampilan dan performansi, bukan
THE 2nd INTERNATIONAL CONFERENCE ON SPECIAL EDUCATIONAL NEEDS UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA, SATURDAY, DECEMBER 2ND, 2017
322
mengingat fakta, (4) Berkesinambungan, (5) Terintegrasi; dan(6) Dapat digunakan sebagai feed back.
(Harjanto: 2005, hlm.77).
2. Pembelajaran Seni Teater
Berdasarkan gambaran pentingnya pendidikan seni, seni teater dalam berbagai setting penelitian,
secara tidak langsung memberikan inspirasi bagi peneliti untuk mengembangkan pemikiran melalui kajian.
Utamanya dalam menanggapi layanan dan pembelajaran seni teater pada siswa sekolah formal di
Indonesia.
Tujuan dari pembelajaran bukan hanya sekedar menyampaikan informasi, akan tetapi membantu
siswa untuk belajar dan menambah pengetahuan yang diperlukan, memberi keterampilan tertentu sesuai
dengan tujuan yang ingin dicapai. Termasuk di dalamnya pembelajaran seni teater.
Lingkup pembelajaran seni teater dapat diungkapkan secara garis besar meliputi penguasaan
konsep, teknik dan prosedur; seni peran, menyusun lakon, merancang pementasan dan pementasan seni
teater.
Seni peran merupakan unsur penting dalam pementasan teater. Mengapa demikian? Karena tanpa
kehadiran seni peran yang dilakukan seorang atau banyak orang selaku pemeran di atas pentas tidak
mungkin terjadi peristiwa teater. Oleh karenanya, pembelajaran pertama dan utama dalam seni teater yang
harus dipahami adalah teori, konsep, teknik dan prosedur tentang seni peran.
Seni peran secara etimogis (bahasa Inggris)berasal dari kata “ to act to” yang berarti berbuat,
bertindak, melakukan atau berbuat menjadi atau berbuat seolah-olah menjadi di luar dirinya. Dari kata “to
act” lahirlah istilah actordan actris. Actor adalah pemeran, pelaku atau pemain untuk pria dan actris istilah
penamaan untukpemainwanita. Oleh karenanya berbicara masalah pemain yang memiliki padanan; aktor,
aktris, pelaku, atau pemeran kehadirannya tidak dapat lepas dari seni peran.
Pembelajaran teknik dasar seni peran dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang
dilakukan oleh beberapa pakar seni teater (Boleslavsky, 1975; Stanislavsky,1980; Arayana, 2005: Rendra,
2013) . Lingkup materi seni peran yang perlu dilakukan agar siswa memiliki ketrampilan seni peran yang
prima, ketahanan tubuh, suara yang memadai dan kepekaan rasa dalam mencapai tujuan pembelajaran.
Siswa penting untuk mendapatkan pemahaman terkait materi; olah tubuh, olah suara, olah arasa atau olah
sukma melalui pengalaman belajar seni teater.
3. Kemampuan Bahasa dan Bicara Siswa Tunarungu
Ada dua hal penting yang menjadi ciri khas hambatan siswa Tunarungu dalam aspek
kebahasaannya. Pertama, konsekuensi akibat kelainan pendengaran (Tunarungu) berdampak pada
kesulitan dalam menerima rangsang bunyi atau peristiwa bunyi yang ada di sekitarnya. Kedua, akibat
keterbatasannya dalam menerima rangsang bunyi pada gilirannya penderita akan mengalami kesulitan
dalam memproduksi suara atau bunyi Bahasa yang ada di sekitarnya. (Efendi, 2008, hlm.75)
Selanjutnya Efendi (2008, hlm.76) mengatakan kemandegan perkembangan bahasa dan bicara
pada siswa Tunarungu yang berhenti pada awal masa meraban (babbling, masa dimana anak mulai
mencoba untuk mereaksi suaranya sendiri) ini, disebabkan tidak adanya umpan balik atas suaranya sendiri
THE 2nd INTERNATIONAL CONFERENCE ON SPECIAL EDUCATIONAL NEEDS UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA, SATURDAY, DECEMBER 2ND, 2017
323
dan perhatian orang lain di sekitarnya. Oleh karena itu, pada akhir fase ini perkembangan bahasa dan bicara
siswa Tunarungu tidak diikuti fase perkembangan berikutnya.
Pendapat lain terkait kemampuan siswa Tunarungu, Sastrawinata dalam Efendi (2008, hlm.77)
siswa Tunarungu, segala sesuatu yang sempat terekam di otak melalui persepsi visual tidak ubahnya bagai
pertunjukan film bisu sebab siswa Tunarungu hanya dapat menangkap peristiwa itu secara visual saja
dan tidak lebih dari itu. Atas dasar itulah rata-rata problem yang dihadapi oleh siswa Tunarungu dari
aspek kebahasaannya tampak; (1) miskin kosakata (perbendaharaan kataatau bahasa terbatas), (2) sulit
mengartikan ungkapan bahasa yang mengandung arti kiasan atau sindirin, (3) kesulitan dalam mengartikan
kata-kata abstrak seperti kata Tuhan, pandai, mustahil, dan lain-lain, (4) kesulitan dalam menguasai irama
dan gaya Bahasa
Hal terkait penyebab siswa Tunarungu mengalami hambatan atau gangguan, Efendi (2008, hlm.77)
mengatakan sebagai berikut. Ada beberapa factor yang menyebabkan anak Tunarungu mengalami
gangguan kemampuan bicara: (1) Anak Tunarungu mengalami kesukaran dalam penyesuaian volume
suara, (2) anak Tunarungu memiliki kualitas suara yang monoton, dan (3) Anak Tunarungu kesulitan
dalam melakukan artikulasi bicara secara cepat.
Berdasarkan hasil penelitian sejak tahun 1960-an mulai diperkenalkan kombinasi kedua
pendekatan tersebut. Beberapa penelitian diketahui bahwa pemakaian kombinasi metode dapat
meningkatkan pendidikan umum (Stevenson, 1964) kemampuan membaca ujaran (Stuckless dan Birch,
1966) dan kemampuan Bahasa tulis dan kematangan social (Meadow, 1968). Penguasaan kemampuan
pemerolehan kosakata anak Tunarungu serta kemampuan mengungkapkan dalam berbicara dengan
menggunakan metode kombinasi isyarat dan oral rata-rata mencapai 66% (Mulyana, 1993). Demikian pula
dalam hal kecepatan membaca efektif, anak Tunarungu yang dididik dengan menggunakan komunikasi
total (kombinasi metode oral dan isyarat) memiiki kecepatan membaca efektif yang lebih baik daripada
anak Tunarungu yang dididik menggunakan metode oral pendapat Asikin (Efendi, 2008, hlm.78-79).
Efendi (2008, hlm.59) dalam perkembangan siswa Tunarungu harus ditinjau dari berbagai aspek,
salah satunya dari kepentingan tujuan pendidikannya, antar lain sebagai berikut.
(a) Kehilangan pendengaran antara 20-30 dB, cukup hanya memerlukan latihan membaca bibir untuk
pemahaman percakapan, (b) Kehilangan pendengaran antara 30-40 dB, memerlukan membaca bibir,
latihan pendengaran, latihan bicara, artikulasi, serta latihan kosakata, c) Kehilangan pendengaran
antara 40-60 dB, meliputi latihan artikulasi, latihan membaca bibir, latihan kosakata, serta, pelu
menggunakan alat bantu dengar untuk membantu ketajaman pendengarannya, (d) Kehilangan
pendengaran antara,60- 75 dB, perlu latihan pendengaran intensif, membaca bibir, latihan
pembentukan kosakata, (e) Kehilangan pendengaran antara 75 dB. Keatas, meliputi membaca bibir,
latihan mendengar untuk kesadaran bunyi, latihan membentuk dan membaca ujaran dengan
menggunakan metode-metode pengajaran yang khusus, seperti tactile kinestetic, visualisasi yang
dibantu dengan segenap kemampuan indranya yang tersisa.
Berdasarkan pernyataan para ahli maka dapat disimpulkan bahwa siswaTunarungu adalah individu
yang kehilangan pendengaran yang mencakup seluruh tingkatan pendengaran dari yang sangat ringan
hingga yang sangat berat akibatnya menghambat proses informasi verbal atau infomasi bahasa yang
didengarnya.
THE 2nd INTERNATIONAL CONFERENCE ON SPECIAL EDUCATIONAL NEEDS UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA, SATURDAY, DECEMBER 2ND, 2017
324
Pendekatan konstruktif merupakan pendekatan pembelajaran modern berorientasi inovasi dengan
penekanan pentingnya siswa membangun pengetahuan mereka lewat keterlibatan secara aktif dalam proses
belajar mengajar. Proses belajar mengajar lebih diwarnai student centered daripada teacher centered.
Sebagian besar waktu proses belajar mengajar berlangsung dengan berbasis pada aktivitas siswa. (Trianto,
2007, hlm.101-115).
Terkait dengan aktivitas siswa dalam pembelajaran di sekolah Matsumoto dan Juang (2013,
hlm.11) mengatakan bahwa “ Sekolah melembagakan nilai-nilai dan sikap budaya dan merupakan
kontributor yang signifikan tidak hanya untuk pengembangan intelektual anak tetapi, untuk membangun
interaksi sosial dan emosional anak.”
Berikutnya dalam sumber yang sama Matsumoto dan Juang mensitir pendapat Chao, 2000;
Russell, Crockett, & Chao, 2010 mengatakan sebagai berikut “ Terlepas dari cara pendidikan terjadi,
pilihan masyarakat dan pengguna budaya mengenai struktur, organisasi, perencanaan, dan pelaksanaan
semua mendorong dan memperkuat pandangan budaya tertentu. Perbedaan orangtua dan nilai budaya
keluarga dalam keyakinan orangtua tentang pendidikan berdampak pada pengalaman pendidikan anak-
anak.”
Di samping penyediaan lingkungan yang kreatif bagi siswa, guru dapat menggunakan pendekatan,
salah satunya pendekatan kreatif (Creative approach). Beberapa saran untuk pendekatan ini adalah
dikembangkannya; problem solving, braim storming, inquiry, dan role playing. (Joyce Weil dan Marsha
dalam Mulyasa, 2004), dan pendekatan; problem solving, discovery learning, learning base project,
saintifik learning (Kurikulum 2013).
Pandangan teori konstruktif dalam pembelajaran Surianto (Poedjiadi;1999, hlm. 61).dalam sumber
internet Piaget “ mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang,
melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka
aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri
merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan.”
Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak pada tahap tertentu cara maupun
kemampuan anak dalam membangun ilmu berbeda-beda berdasarkan tahapan pengetahuan bersifat
sederhana menunju kompleks dlam suatu keterhubungan. Utamanya pengetahuan dan pengalaman anak
bersumber lingkungan impiris anak. Artinya, bahwa setiap anak memiliki pengetahuan yang tidak
terpisahkan dari pola perkembangan kognitif anak dengan lingkungan sekitar ang menyertainya. Oleh
karena itu, prinsip skemata dalam pembelajaran, guru hendanya mengembangkan materi berlangsung
secara bertahap dari pengetahuan bersifat sederhana menuju arah perkembangan kritis dengan tujuan
terjadinya pemecahan masalah yang dihadapi siswa atau anak melalui pembelajaran.
Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan
dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang
anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar
merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring
laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo; 1998, hlm. 5).
THE 2nd INTERNATIONAL CONFERENCE ON SPECIAL EDUCATIONAL NEEDS UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA, SATURDAY, DECEMBER 2ND, 2017
325
Berkaitan dengan anak atau siswa dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme,
Driver dan Bell (Susan, Marilyn dan Tony, 1995, hlm. 222) mengajukan karakteristik sebagai berikut: (1)
siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan, (2) belajar
mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang
datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal, (4) pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan,
melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan
seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung
secara interaktif antara faktor intern pada diri pembelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga
melahirkan perubahan tingkah laku.
Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan
oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun
fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya
seseorang (Poedjiadi, 1999, hlm. 62). Dalam penjelasan lain Tanjung (1998, hlm. 7) mengatakan bahwa
inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada
lingkungan sosial dalam belajar.
Pandangan Vigotsky bahwa pengetahuan siswa atau anak sebagai pusat pembelajar hendaknya
dibangun melalui pengalaman belajar dengan melibatkan lingkungan sosial sebagai sumber belajar yang
tidak bisa dipisahkan dan tidak berjarak dengan pengetahuan bawaan anak. (ZPD ; zone of proximal
development). Disertai dengan hadirnya pola bimbingan dari orang dewasa dalam silang pengalaman dalam
mencapai tujuan pembelajara melalui diskusi kelompok. (scalfolding, perancahan).
Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi: 1999, hlm.
63) adalah sebagai berikut: (a) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah
menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan
yang dihadapi, (b) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan
pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan
masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan
sehari-hari dan (c) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai
bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang
kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
Sekaitan dengan pelaksanaan pembelajaran seni pada siswa tunarunggu, Bambang, (2001,hlm.9)
mengungkapkan bahwa:Salah satu faktor yang turut menentukan berhasil tidaknya pembelajaran seni di
sekolah luar biasa bagi siswa Tunarungu adalah penggunaan metode dan pendekatan yang sesuai.
Disamping itu metode yang berorientasi pada cara belajar siswa aktif dengan pendekatan keterampilan
memproses perolehan sangat diperlukan.
Peluang yang harus dicermati bahkan menjadikan acuan untuk para guru atau pelatih di sekolah
luar biasa dalam mengambil keputusan bagi pelaksana pendidikan, Penyelenggaraan pelayanan pendidikan
THE 2nd INTERNATIONAL CONFERENCE ON SPECIAL EDUCATIONAL NEEDS UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA, SATURDAY, DECEMBER 2ND, 2017
326
untuk siswa berkelainan tidak boleh menitikberatkan pada ketidakmampuannya akibat kecacatannya
(hambatannya), tetapi harus memperhitungkan kompetensi yang masih mungkin dikembangkan.
(Kurikulum SLB-B:2007, hlm.1).
Dengan merujuk pendapat para pakar yang menekankan pada aspek kemampuan siswa yang
dimiliki dari hambatan yang dialami telah memberikan peluang bagi guru untuk senantiasa aktif dan kreatif
dalam melakukan upaya-upaya perbaikan, pengembangan dan inovasi dalam pelaksanaan pembelajaran.
Hal ini, termasuk didalamnya pembelajaran di sekolah luar biasa siswa Tunarungu dan sekolah normal
pada umumnya.
Menggarisbawahi keadaan dan perkembangan aspek motorik siswa Tunarungu mengandung
isyarat bahwa materi pelajaran apapun yang diberikan kepada siswa Tunarungu hendaknya dimulai dari
pemahaman guru untuk mendiagnosis siswa dan materi ajar yang memungkinkan untuk dibelajarkan atau
dilatihkan. Dalam hal ini, termasuk pemilihan materi seni yang akan dibelajarkan pada siswa Tunarungu
di dalam dan atau luar kelas.
4. Karakteristik Kecerdasan Siswa Tunarungu
Tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap
perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap perkembangan mental. Ruseffendi (1988, hlm. 133)
mengemukakan; (1) perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi
dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan
urutan yang sama, (2) tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental
(pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang
menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan (3) gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh
keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara
pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).
Distribusi kecerdasan yang dimiliki siswa tuanrungu sebenarnya tidak berbeda dengan anak
normal umumnya. Hal ini disebabkan anak Tunarungu ada yang memiliki tingkat kecerdasan di atas rata-
rata (superior), rata-rata (average), maupun di bawah rata-rata (subnormal). Namun, untuk menggambarkan
secara riil keragaman kecerdasan anak Tunarungu seringkali mengalami kesulitan.
Atas dasar itulah dalam menyajikan perangkat tes apa pun terhadap anak Tunarungu, hendaknya
mempergunakan perintah-perintah yang akurat dan mudah dipahami anak Tunarungu. Hal ini disebabkan
tidak mustahil kekeliruan seoarang tester dalam menyampaikan perintah tes kepada anak tuanrungu
berdampak pada kesesatan interpretasi terhadap kondisi kecerdasan anak Tuanrungu yang sebenarnya.
(Efendi, 2008, hlm.79)
Rangsangan mental dan dorongan dari lingkungan sekitar dapat memberikan kesempatan bagi
anak Tunarungu untuk mengembangkan kecerdasannya. Pintner, seorang ahli psikolog yang bekerja paada
lembaga pendidikan anak Tunarungu mengemukakan, bahwa anak Tunarungu hanya dapat menunjukkan
kemampuan dalam bidang motoric dan mekanik, serta intelgensi konkret, tetapi memiliki keterbatasan
dalam intelgensi verbal dan kemampuan akademik (Siregar, 1981) (Efendi, 2008, hlm.80)
THE 2nd INTERNATIONAL CONFERENCE ON SPECIAL EDUCATIONAL NEEDS UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA, SATURDAY, DECEMBER 2ND, 2017
327
Jensema (1975) mencatat bahwa anak tuanrungu yang memasuki periode usia 10 tahun dari 8-10
tahun, rata-rata mengalami penambahan kosakata sebanyak pada murid-murid normal pendengarannya
antara permulaan taman kanak-kanak hingga akhir kelas II. Kemampuan membaca anak Tunarungu usia
14 tahun setingkat dengan anak kelas III. Demikian juga dalam kemampuan berhitung anak Tunarungu
usia 10 tahun setingkat dengan anak normal kelas III. (Efendi, 2008, hlm.80)
Van Uden (Efendi, 2008, hlm.84) Beberapa sifat kepribadian anak Tunarungu dapat dikemukakan
sebagai berikut.
(1) Anak Tunarungu lebih egosentris, (2) Anak Tunarungu lebih tergantung pada orang lain dan apa-
apa yang sudah dikenal, (3) Perhatian anak Tunarungu lebih sukar dialihkan, (4) Anak Tunarungu lebih
memerhatikan yang kongkret, (5) Anak Tunarungu lebih miskin dalam fantasi, (6) Anak Tunarungu
umumnya mempunyai sifat polos, sederhana, tanpa banyak masalah, (7) Perasaan anak Tunarungu
cenderung dalam keadaan esktrem tanpa banyak nuansa, (8) Anak Tunarungu lebih mudah marah dan
lekas tersinggung, (9) Anak Tunarungu kurang mempunyai konsep tentang hubungan, (10) Anak
Tunarungu mempunyai perasaan takut akan hidup yang lebih besar.
Klasifikasi anak Tunarungu ditinjau dari taraf kehilangan ketajaman pendengarnnya dapat
dikelompokan menjadi tuli (deafness) dan kelompok lemah pendengaran (hard of hearing). Sedangkan
untuk tujuan pendidikannya, anak Tunarungu dapat dikelompokan menjadi Tunarungu ringan sekali
(slight losses), Tunarungu ringan (mild losses) Tunarungu sedang (moderate losses), Tunarungu agak berat
(severe losses) dan Tunarungu berat sekali (profoundly losses). (Efendi, 2008, hlm.85)
KESIMPULAN
Artikel dengan tujuan untuk mendiskusikan konsep pembelajaran seni teater dengan pendekatan
konstruktif diharapkan dapat menguatkan pentingnya pembelajaran seni teater untuk membantu kelancaran
berbicara siswa Tunarungu di sekolah formal Indonesia.
Pentingnya pembelajaran seni teater pada siswa Tunarungu Pertama, pembelajaran seni teater di
sekolah formal Indonesia dilaksanakan belum merata terpusat di sekolah kota-kota besar (kota sentris).
Kedua,(1) berdasarkan pertimbangan karakteristik pada siswa Tunarungu bahwa seni teater adalah salah
satu bentuk seni pertunjukan drama yang dapat diekspresikan siswa melalui pembelajaran seni dengan
waktu dan bahan yang hemat, berdampak positif untuk membantu kemampuan verbal siswa Tunarungu
dan tidak menutup kemungkinan terjadinya pengembangan potensi lain yang mengarah pada mata
pelajaran layanan khusus bersifat terapeutik dalam membantu kelancaran berbicara. (2) berdasarkan
pertimbangan komponen pembelajaran seni teater memiliki karakteristik materi seni dengan media utama
totalitas tubuh manusia; (a) bersifat efektif, efisien dan aman, baik dalam praktik pembelajaran secara
individu ataupun kelompok dengan tidak membedakan jenis kelamin dan klasifikasi kecacatan; (b)
Pembelajaran dapat dilakukan dengan model terpadu atau terpisah dengan bidang seni lainnya. Artinya,
pembelajaran seni teater dengan teknik stilasi dapat dilakukan secara terpadu dengan bidang seni tari dan
musik dengan cara membangun imajinasi gerak tari yang indah dan musik sebagai pengiring melalui
ekspresi gerak; (c) Memberikan ruang kreativitas secara optimal dan bermakna bagi siswa Tunarungu
dengan pendekatan pembelajaran yang sesungguhnya (terpusat pada siswa) melalui proses berpengalaman
THE 2nd INTERNATIONAL CONFERENCE ON SPECIAL EDUCATIONAL NEEDS UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA, SATURDAY, DECEMBER 2ND, 2017
328
seni teater; (d) Materi pembelajaran seni teater dapat dijadikan wahana pembelajaran apresiatif dan kreatif
pada mata pelajaran seni, yang selama ini belum dipraktikan secara merata dan optimal dalam kelas
intrakulikuler baik di sekolah luar biasa atau pun sekolah normal pada umumnya di Indonesia.
Untuk memperoleh tujuan pembelajaran dimaksud secara maksimal, bahwa seorang siswa harus
rajin dan disiplin melakukan olah tubuh sebagai materi penting dalam pembelajaran seni peran. Disamping
memiliki kemampuan tubuh yang memadai bagi seorang pemeran, jangan lupa harus sadar akan potensi
kamu dalam hal memfungsikan unsur suara atau vokal. Unsur suara sebagai sarana dalam seni peran
dalam seni teater berfungsi dengan baik, dan memiliki manfaat ganda dalam menunjang seni peran perlu
dilakukan pengolahan berupa pelatihan terhadap unsur-unsur anggota tubuh yang terkait dengan
pernapasan dan pengucapan melalui teknik seni peran.
Guru dalam melaksanakan pembelajaran seni teater dengan pendekatan konstruktif bagi siswa
diharapkan mampu memberikan citra, sebagai: a) Materi pembelajaran seni yang cocok dengan
karakteristik, gaya belajar, potensi kecerdasan yang dikembangkan siswa, b) Media seni dalam upaya
membantu kemampuan verbal dalam kelancaran berbicara. c) Upaya implementasi pembelajaran seni
teater sesuai tuntutan kurikulum seni berlaku 2016 berbasis konstruktif dan dapat integrasikan dengan mata
pelajaran Bahasa Indonesia dan layanan khusus bina komunikasi siswa berkebutuhan khusus (BKPBI).
Implikasi melalui pembelajaran seni teater diharapkan mampu memberikan sumbangsih ilmu
pengetahun dalam dunia pendidikan, lebih khusus sebagai alternatif konseptual dalam pembelajaran seni
teater dengan pendekatan konstruktif. Pada akhirnya konsep pembelajaran dalam pembelajaran seni teater
dapat diterapkan di sekolah formal siswa berkebutuhan khusus, sekolah inklusif dan sekolah normal pada
umumnya di Indonesia.
Rekomendasi melalui konsep kajian teoretik, lebih jauh dapat menjadi masukan bagi pihak-pihak
yang terkait di dalamnya. Terutama berkontribusi bagi para guru baik latar belakang pendidikan seni atau
non seni, siswa, sekolah berkubutuhan khusus dan lembaga terkait yakni Dinas Pendidikan luar Biasa
dalam pembelajaran seni budaya, bahasa Indonesia dan program khusus BKPBI (Bina Komunikasi,
Persepsi Bunyi dan Irama) melalui materi dan media seni teater dalam upaya membantu kelancaran
berbicara siswa Tunarungu di sekolah formal. Sehingga tidak menutup kemungkinan berdampak terjadinya
pengembangan kecerdasan lain, terutama dalam; mengaktualisasi diri, menjunjung harkat martabat dan
kesetaraan siswa dengan anak normal pada umumnya yang selama ini masih dianggap memiliki perbedaan
dan cenderung diasingkan (termarginalkan).
REFERENSI
Arayana S.B. (2005). Teknik Pemeranan, Diktat Bahan Pembelajaran Program Teater SMK Negeri 10
Bandung.
Asnawir, Usman B. (2002). Media Pembelajaran. Jakarta: Ciputat Pers.
Boleslavsky, R.(1975). Enam Pelajaran Pertama Bagi Seorang Aktor, (Terjemahan Asrul Sani). Pustaka
Jaya: Jakarta.
THE 2nd INTERNATIONAL CONFERENCE ON SPECIAL EDUCATIONAL NEEDS UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA, SATURDAY, DECEMBER 2ND, 2017
329
Cawthon, S.W., & Dawson, K.M. (2011). Drama-based instruction and educational research: Activating
praxis in an interdisciplinary partnership. International Journal of Education & the Arts, 12 (17).
Retrieved [date] from http://www.ijea.org/v12n17/. Diakses; Selasa, tanggal,31 Oktober 2017.
Creswell, JW. (2010) Research Design, Pendekatan Kualitatif, Kuantitaf dan Mixed, Edisi Ketiga,
Yogyakarya: Pustaka PelajarDelphi,B.(2005). Program Pembelajaran Individual Berbasis Gerak
Irama. Bandung: Penerbit Pustaka Bani Quraisy.
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Dirjen. Manajemen Dikdas dan Dikmen. (2007). Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar, Jakarta: Depdiknas dan BSNP.
Djamarah, Bahri S. (2002). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Dryden,G. Vos,J. (2000). Revolusi Cara Belajar. Sekolah Masa Depan. Bandung:Kaifa.
Dunn, J., Bundy, P., & Stinson, M. (2015). Connection and commitment: Exploring the generation and
experience of emotion in a participatory drama. International Journal of Education & the Arts, 16(6).
Retrieved from http://www.ijea.org/v15n6/. Diakses; Selasa, tanggal,31 Oktober 2017.
Efendi, M. (2006). Pengantar Psikopedagogik Siswa Berkelainan, Jakarta:PT. Bumi Aksara.
Gervais, Marie. (2006, April 14). Exploring moral values with young adolescents through process drama.
International Journal of Education & the Arts, 7 (2). Retrieved [date] from http://ijea.asu.edu/v7n2/.
Diakses; Minggu, tanggal,29 Oktober 2017.
Harjanto.(2005). Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Penerbit PT. Asdi Mahasatya.
Hopkin, David. (1993). A. Teacher’s Guide to Classroom Research..Buckingham: Open University Press
Jazuli, M. (2008). Paradigma Kontekstual Pendidikan Seni.Semarang: Penerbit Unesa University Press.
Joyce, B. Weil, Marsha. (2000) Model of Teaching. United Statis of America: Allyn & Bacon.
Kurikulum Pendidikan Luar Biasa. (1999). Pedoman Kegiatan Belajar Mengajar. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Lea, G. W., Belliveau, G., Wager, A., & Beck, J. L. (2011). A loud silence: Working with research-based
theatre and art autography. International Journal of Education & the Arts, 12(16). Retrieved [date]
from http://www.ijea.org/uv12n16/. Diakses; Minggu, tanggal,29 Oktober 2017.
Liliweri,A. (2014). Pengantar Studi Kebudayaan. Bandung: Nusa Media.
Matsumoto, D. Juang L. (2013) Culture and Psychology, Fifth Edition, Wadsworth, Cengage Learning
Publisher: Jon-David Hague.
Mulyana, D. (2011). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung:PT.Rosda Karya.
Mulyasa. (2004). Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep Karakteristik dan
Implementasi Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Rendra.WS. (1988). Tentang Bermain Drama. Bandung: Pustaka Jaya.
Riantiarno.(2003). Menyentuh Teater. Indonesia: Penerbit MU:3 Books.
Sextou, P.(2011). Drama Tickles Student’s Imagination and Verbal Expression. The Journal of
Imagination in Language LearningVol. 9 ‘The ‘X’ Point in Education: Where Imagination is Lost,
New York City University, 2011, pp.225-231. Diakses; Senin, tanggal,30 Oktober 2017.
Sextou, P and Hall, S.(2015).Newman University, United Kingdom hospital theatre: Promotingchild well-
being in cardiacand cancer wards, Applied Theatre Research Volume 3 Number 1 © 2015 Intellect Ltd
Article. English language. doi: 10.1386 /atr.3.1.67_1. Diakses; Senin, tanggal,30 Oktober 2017.
THE 2nd INTERNATIONAL CONFERENCE ON SPECIAL EDUCATIONAL NEEDS UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA, SATURDAY, DECEMBER 2ND, 2017
330
Stanislavsky.(1980). Persiapan Seorang Aktor, (Terjemahan Asrul Sani). Pustaka Jaya: Jakarta.
Sudjana, N. (2006). Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru.
Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta
Trianto.(2007). Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik,
Surabaya: Prestasi Pustaka Publisher.
Wijaya, P. (2007). Seni Teater. Buku Pelajaran Seni Budaya Kelas XII, Edisi Percobaan. Jakarta: PSN.
Wong, A. F. A, (2015). Internalizing the ephemeral – Impact of process dramas on teachers’ beliefs about
drama education, Asia-Pacific Journal for Arts Education, ISSN 1683-6995 Volume 14 Number 3
April 2015, http:// www.ied.edu.hk/cca/apjae/.htm. Diakses; Rabu, tanggal, 1 November 2017.
Sumber Wawancara:
Wawancara Bizo: Selasa, 3 Juni 2008 di Bandung.
Sumber Internet:
__________ Teori Pembelajaran Konstruktivisme Oleh: Surianto 200477/September 17,2009. Diakses;
Rabu, tanggal, 1 November 2017.